• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGAMA SAPTO DARMO DI DESA TURI GEDE BOJONEGORO:STUDI SEJARAH DAN AJARAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "AGAMA SAPTO DARMO DI DESA TURI GEDE BOJONEGORO:STUDI SEJARAH DAN AJARAN."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

AGAMA SAPTO DARMO DI DESA TURI GEDE BOJONEGORO

(Studi Sejarah dan Ajaran)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh:

MUHAMMAD AGUS DARMAWAN NIM : A0.22.10.069

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul ” Aliran Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro (studi sejarah dan ajaran)” adapun fokus pembahasannya adalah 1. bagaimana sejarah ajaran atau ritual Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro Dan 2. Bagaimana pandangan Tokoh-tokoh mengenai ajaran Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro.

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan metode kebudayaan dengan pendekatan fenemenologis untuk mengetahui pengalaman tentang kebenaran sebuah ajaran keagamaan Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro. Dengan hal tersebut dapat diketahui sejauh mana aliran Sapto Darmo menurut pandangan tokoh agama baik di Bojonegoro.

(8)

ABSTRACT

This thesis entitled "Flow Sapta Darma in Bojonegoro Turigede village (the study of history and doctrine)" while the focus of the discussion is 1. how history, doctrine or ritual in the village Turi Sapto Darmo Gede Bojonegoro and 2. The Islamic view of the teachings in the village Turi Sapto Darmo Gede Bojonegoro.

In answering this question, the researchers used the method to approach culture fenemenologis to know the experience of the truth of a religious doctrine in the village Turi Sapto Darmo Gede Bojonegoro. With this it can be seen the extent to which the flow Sapto Darmo in the view of religious leaders both in Bojonegoro.

(9)

DAFTAR ISI

E. Pendekatan dan Kerangka Teori... 6

F. Penelitian Terdahulu... 10

G. Metode Penelitian... 11

H. Sistematika Bahasan... 14

BAB II: ALIRAN SAPTO DARMO TURI GEDE, BOJONEGORO A. Keadaan Turi Gede 1. Menapak Tilas Alam Turi Gede... 15

2. Sejarah Desa... 17

3. Sejarah Pemerintahan Desa...18

4. Sejarah Pembangunan Desa...19

5. Kondisi Geografis Desa Turi Gede... 22

6. Perekonomian Desa Turi Gede... 23

7. Kalender Musiman... 24

8. Kodisi Demografis... 26

B. Aliran Sapto Darmo 1. Sejarah Masuknya Aliran Sapto Darmo Desa Turi Gede... 29

(10)

BAB III: AJARAN DAN RITUAL SAPTO DARMO TURI GEDE,

BOJONEGORO

A. Organisasi Sapto Darmo... 41 B. Ajaran Pokok Sapto Darmo... 43 C. Ritual Masyarakat Sapto Darmo... 57

BAB IV: PANDANGAN TOKOH-TOKOH MENGENAI SAPTO DAMO TURI GEDE, BOJONEGORO

A. Tanggapan Tokoh NU... 65 B. Tanggapan Tokoh Muhammadiyah... 69 C. Pandangan MUI (Al-Qur’an dan Hadits)... 72

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan... 76 B. Saran... 77

DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sapto Darmo diawali dengan tumbuhnya kebudayaan spritual sejak

jaman prasejarah dengan adanya kebudayaan animisme dan dinamisme. Masuk

jaman sejarah kebudayaan animisme dan dinamisme digantikan dengan kebudayaan

baru yaitu Hindu-Budha, Islam dan Kolonial. Arus kebudayaan baru yang masuk

sangat cepat diiringi dengan adanya kelelahan dalam revolusi kemerdekaan dan

krisis ekonomi yang berkepanjangan maka banyak kelompok masyarakat yang

ingin kembali pada budaya asli.1 Salah satu bentuk budaya asli adalah gerakan

kebatinan dan salah satunya adalah munculnya kerohanian Sapto Darmo. Pada

tanggal 27 Desember 1952, Ajaran Sapto Darmo ini pertama kali berdiri di daerah

Mojokuto yang terletak di Pare, Kediri, Jawa Timur. Sapto Darmo merupakan

sebuah organisasi aliran kepercayaan yang pokok ajarannya adalah melaksanakan

tujuh kewajiban suci yang bertujuan untuk membentuk kerohanian dan budi luhur

dan berusaha membina kebahagiaan hidup manusiadi dunia dan akhirat. Aliran

kejawèn ini didirikan oleh Hardjo Sopoero. Aliran ini mempunyai banyak pengikut

yang berasal dari kalangan rakyat biasa yaitu buruh dan petani, tidak seperti

1As’ad

(12)

2

Pangestu, Sumarah dan lain-lain yang memiliki pengikut terutama dari kelas

menengah.2

Sapto Darmo hadir untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan

hidup, baik mental-spiritual maupun fisik–material melalui ilham-ilham Sapto

Darmo yang diterima oleh Panuntun Agung Sri Gautama. Konsep Tuhan dalam

Sapto Darmo terlalu sederhana dan abstrak. Konsepsi penyelamatan hidup-isme

mementingkan penyelamatan di dunia ini. Dalam hal ini, Sapto Darmo sama

dengan Konsep penyelamatan hidup-isme. Dalam konsep penyelamatan Sapto

Darmo, pengikutnya mendapat penyelamatan di dunia ini. Sapto Darmo sebetulnya

mengabaikan konsep akhirat dan penyelamatan yang diberikan di akhirat.

Dipentingkan daya mengobati sakit dan budi luhur yang didapat dengan etika dan

moral sehari-hari.3

Hardjosopoero meninggal pada tanggal 16 Desember 1964. Nama Sapto

Darmo diambil dari bahasa Jawa: Sapto artinya tujuh dan Darmo artinya kewajiban

suci. Jadi, Sapto Darmo artinya tujuh kewajiban suci. Sekarang aliran ini banyak

berkembang di Yogya dan Jawa Tengah, bahkan sampai ke luar Jawa. Aliran ini

mempunyai pasukan dakwah yang dinamakan Korps Penyebar Sapto Darmo, yang

dalam dakwahnya sering dipimpin oleh ketuanya sendiri (Sri Pawenang) yang

bergelar juru bicara tuntunan agung.

2

Ibid., 54. 3

(13)

3

Sepeninggalan Hardjosopoero aliran Sapto Darmo ini mulai tumbuh dan

berkembang diberbagai wilayah. Dimulai dari desa plosok atau terpencil dahulu.

Seiring berjalanya waktu Sapto Darmo telah memasuki perkotaan. Secara

Sembunyi-sembunyi. Penganut aliran kebatinan Sapto Darmo dalam laku spiritual

maupun laku ritualnya, telah menjadi aset nilai budaya bangsa yang tidak ternilai

harganya. Namun pada kenyataannya, ada beberapa kelompok masyarakat

penganut agama tertentu tidak menginginkan keberadaanya bahkan menghalangi

legalitasnya karena menganggap penganut aliran kebatinan Sapto Darmo adalah

penganut aliran sesat. Sebenarnya, bagaimanakah laku spiritual maupun laku ritual

yang dilaksanakan oleh penganut aliran kebatinan Sapto Darmo yang berperan

sebagai pelestari budaya spiritual dengan mengangkat kearifan lokal yang diajarkan

para leluhur nenek moyang sehingga ada beberapa kelompok masyarakat yang

mengatakan penganut aliran sesat.

Sedangkan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa masih dianggap

sebagai kekayaan kebudayaan nasional karena merupakan warisan spiritual nenek

moyang yang eksistensinya masih di pandang sebelah mata oleh sebagian orang

maupun oleh pemerintah sendiri. Di dalam keadaan yang demikian, para penghayat

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetap berjuang untuk

mempertahankan eksistensinya. Agama-agama negara memang telah masuk dan

memberikan pengaruh yang berarti pada religi asli Jawa (terlepas dari banyak

sedikitnya masing-masing saling mempengaruhi). Dapat dikatakan bahwa sifat dari

(14)

4

sejauh nilai-nilai luar itu cocok dan mau beradaptasi dengan religi Jawa. Di pihak

lain, dikatakan bahwa agama-agama negara dari luar yang datang ke wilayah orang

Jawa juga adalah agama-agama yang yang memiliki unsur-unsur terbuka untuk

dimasuki, dipengaruhi, dan diolah oleh spiritualisme Jawa.

Dengan demikian, Sapto Darmo merupakan aliran kejawen yang memiliki

organisasi sendiri, tumbuh dan berkembangnya aliran Sapto Darmo ini tidak lepas

dari tuntunan Hardjo Sopoero. Sapto Darmo ini masih mempercayai hal-hal yang

spiritual dengan mengangkat kearifan lokal yang diajarkan para leluhur nenek

moyang mereka.4

Hal diatas merupakan alasan-alasan yang melatar belakangi penulis memilih

judul: “Aliran Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro. Penulis menganggap

bahwa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan karena aliran Sapto Darmo ini

mempunyai pengaruh penting dalam kehidupan masyarakat, sehingga banyak

orang-orang terjerumus masuk kedalam aliran ini. Dengan pokok ajaran dan kitab

sucinya sehingga banyak aliran-aliran kerohanian yang menganggap dan

menyatakan bahwa aliran kerohanian datang berdasarkan pemberitahuan dari

Tuhan.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang hendak dikaji

disini dapat diidentifikasi sebagai berikut:

4

(15)

5

1. Bagaimana sejarah dan ajaran/ ritual Sapto Darmo di desa Turi Gede ,

Bojonegoro?

2. Bagaimana pandangan Tokoh Islam mengenai ajaran Sapto Darmo di desa Turi

Gede, Bojonegoro ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah pada bab sebelumnya, penelitian ini

bertujuan antara lain untuk:

1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah dan ajaran serta ritual yang dilakukan

Aliran sapto Darmo didesa Turigede Bojonegoro.

2. Untuk mengetahui Pandangan Tokoh-tokoh islam mengenai ajaran yang

diajarkan oleh aliran sapto darmo tersebut khususnya di desa Turi Gede

bojonegoro

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah kajian di Perpustakaan dan

juga dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara Akademik (Praktis)

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan di Perpustakaan Fakultas

Adab dan Humaniora dan Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya.

(16)

6

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah keilmuan Sejarah dan

Kebudayaan Islam agar menjadi bacaan yang berguna bagi masyarakat, terutama

bagi mereka yang ingin mengetahui pandangan Islam (Al-Qur’an dan al-Sunnah)

tentang aliran Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro.

E. Pendekatan Dan Kerangka Teoritik

Metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati.5 Perilaku ini diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut

secara utuh. Dalam suatu penelitian, untuk mendapatkan hasil yang optimal harus

menggunakan metode penelitian yang tepat. Ditinjau dari permasalahan dalam

penelitian ini, yaitu tentang persepsi masyarakat terhadap hak dan kebebasan

meyakini kepercayaan mengenai ajaran Sapto Darmo di desa Turi gede kecamatan

Kepuh Baru Bojonegoro. Maka penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sejarah. Karena

dalam kaidah sejarah itu bersifat Diakronis, Ideografis dan unik.6 Pembahasan pada

sejarah lebih menekankan pada alur waktu, dengan kata lain bahasan sejarah itu

memanjang dalam waktu. Dalam sejarah, membicarakan satu tempat dari waktu A

sampai waktu B, melalui pendekatan sejarah akan dilihat tentang perubahan,

kesinambungan, ketertingalan, dan loncat-loncatan. Pendekatan ini digunakan agar

bisa mengungkapkan kebenaran sejarah ajaran Sapto Darmo di desa Turi Gede

5

Moh Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 63. 6

(17)

7

kecamatan Kepuh Baru Bojonegoro hingga memperoleh hasil yang lebih spesifik

dan sesuai dengan judul penelitian ini yakni “Aliran Sapto Darmo Di desa Turi

Gede Bojonegoro.7

Untuk memperoleh hasil yang lebih spesifik dan sesuai dengan judul

peneliti, maka peneliti ini juga meminjam penerapan teori dalam ilmu sosial.

Karena institusi sosial juga merupakan garapan sejarah sosial, sepanjang ia tetap

merupakan dari unit sebuah masyarakat dengan ruang lingkup dan waktu tertentu

dapat digolongkan sebagai sejarah sosial. Seperti dalam penerapan teori “Perubahan

Sosial”. Teori perubahan sosial ini berguna untuk menunjukan dan melukiskan

perkembangan sebuah lembaga/kelompok sosial itu dari berdiri sampai menjadi

sebuah lembaga yang kompleks.

Dalam kelompok Sapto Darmo di desa Turi Gede kecamatan Kepuh Baru

Bojonegoro, memiliki sejarah perkembangan yang bertingkat dan lebih kompleks

seiring dengan memanjangnya waktu. Dimulai dari berdirinya ajaran Sapto Darmo

didesa Turi Gede kecamatan Kepuh Baru Bojonegoro sebagai bentuk keprihatian

Hardjosapuro terhadap dunia yang ada. Pada awalnya hanya memiliki kelompok

tradisional yang kemudian dengan berjalannya waktu mengubah menjadi ajaran

yang diikuti banyak orang.8

Teori perubahan sosial August Comte (1798-1857 M) yang mengangkat

konsep Social Dinamics (dinamika struktural). Dinamika sosial merupakan hal-hal

yang berubah dari suatu waktu kewaktu yang lain, yang dibahas adalah dinamika

7

Ibid., 32. 8

(18)

8

sosial dari struktur yang berubah dari waktu kewaktu.9 Dinamika sosial adalah daya

gerak dari sejarah tersebut, yang pada setiap tahapan evolusi manusia mendorong

ke arah tercapainya keseimbangan baru yang tinggi dari satu masa (generasi)

kemasa berikutnya. Struktur dapat digambarkan sebagai hierarchy masyarakat yang

memuat pengelompokan masyarakat berdasarkan kelas-kelas tertentu (elit, middle,

dan class). Sedangkan dinamika sosial adalah proses perubahan kelas-kelas

masyarakat itu dari satu masa kemasa yang lain.

Perubahan sosial ada pada dinamika struktural (social dynamic), yaitu

perubahan atau isu perubahan sosial yang meliputi bagaimana kecepatannya,

arahnya, bentuk, agennya (perantara).10 Proses perubahan dilihat sebagai proses

perkembangan yang jelas sekwensi dan tahapan-tahapanya.

Perubahan sosial dalam pemberdayaan komunitas pada hakekatnya

merupakan suatu proses perubahan evolusioner yang disengaja dan terarah.

Menurut Kaplan dan Manners, pertumbuhan adalah proses pertambahan.

Sedangkan pembangunan mengandung pengertian transformasi struktur sosial.

Konsep transformasi struktur sosial menciptakan sebuah perubahan sosial yang

terarah dan bersifat linear.11 Walaupun diarahkan, perubahan sosial yang terjadi

bersifat dinamis. Dinamisasi pada asanya mencakup dua proses, yaitu penggalakan

kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada, selain mencakup pula pergantian

9

Ibid., 46. 10

Agus Salim, Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia

(Yogyakarta:Tiara Wacana, 2002), 9-10.

11Agus Darma, “

(19)

9

nilai-nilai lama itu dengn nilai-nilai yang diangap lebih sempurna. Proses

pergantian nilai itu dinamai modernisasi.

Dalam setiap perkembangan ajaran Sapto Darmo di desa Turi Gede,

Bojonegoro tidak terlepas dari peranan seorang panutan agung yang berprofesi

sebagai pengasuh maupun pendiri.12 Panutan agung mepunyai peran yang sentral

dalam perkembangan setiap ajaran Sapto Darmo ini. Panutan agung memiliki

kharisma dan memiliki otoritas yang tinggi dalam menyimpan dan menyebarkan

pengetahuan serta berkompenten mewarnai corak dan bentuk perkembangan Sapto

Darmo.

Dalam melaksanakan tugas maupun peruatan dan penyebaran ajaran Sapto

Darmo dibangun sangkar (tempat beribadah) yang diberi nama sanggar candi

Sapto Darmo di Bojonegoro, Dalam sistem pengajaranya murid-murid duduk

dilantai, menghadap sang guru, dan belajar tuntunan dalam ajaran Sapto Darmo.

Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari agar tidak menggangu

pekerjaan orang tua sehari-hari.

Teori kekuasaan di atas digunakan oleh penulis sebagai alat analisis

terhadap penulisan skripsi ini, diharapkan dapat menjelaskan bagaimana cara

masyarakat Sapto dalam menyebarkan ajaranya tersebut. Selain itu juga dengan

pokok ajaran dan kitab sucinya sehingga banyak aliran-aliran kebatinan yang

menganggap dan menyatakan bahwa aliran kebatinan datang berdasarkan

pemberitahuan dari Tuhan. Apakah semua itu benar menurut tokoh-tokoh Islam.

12

(20)

10

F. Penelitian Terdahulu

Dalam tinjauan penelitian terdahulu sudah ada yang membahas tentang

Sapto Darmo, seperti dalam bukunya H.M. Rasjidi yang menulis buku dengan judul

“Islam dan Kebatinan” yang fokus pembahasanya yaitu mengenai sejarah

munculnya aliran kebatinan. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh mahasiswa

UINSA Surabaya belum ada yang mengambil judul dengan tema Anwar Sadat.

Namun ada skripsi dari mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

melakukan penelitian mengenai yakni:

1. Skripsi M. Muhaimin, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah dan

Peradaban Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004,13 yang berjudul

“Ritual yang dilakukan oleh kelompok Sapto Darmo” skripsi ini memfokuskan

pembahasan mengenai ritualnya saja. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian

yang sedang dilakukan adalah penelitian ini membahas tentang ritualnya saja,

sedangkan penelitian yang sedang dilakukan adalah membahas tentang

padangan islam tentang aliran Sapto Darmo.

2. Skripsi Yopi Aris Widiyanto, Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan

Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang tahun 2011,14 yang

berjudul “Kerohanian Sapta Darma Kota Malang (Sebuah Kajian Historis,

Eksistensi, dan Makna Pendidikan yang Terkandung dalam Ajarannya “. Skripsi

13M. Muhaimin, “

Ritual yang dilakukan oleh kelompok Sapto Darmo(Skripsi,UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Adab dan Humaniora, Jakarta, 2004),43.

14

Yopi Aris Widiyanto, Skripsi: Kerohanian Sapta Darma Kota Malang (Sebuah Kajian Historis,

Eksistensi, dan Makna Pendidikan yang Terkandung dalam Ajarannya)”,(Skripsi,Universitas Negeri

(21)

11

ini memfokuskan pembahasan pada makna pendidikan yang terkandung dalam

ajaran "Kerohanian Sapta Darma" (KSD) di Kota Malang. Perbedaan penelitian

ini dengan penelitian yang sedang dilakukan adalah penelitian ini membahas

tentang makna pendidikan yang terkandung dalam ajaran Sapta Darma,

sedangkan penelitian yang sedang dilakukan adalah membahas tentang

padangan islam tentang aliran Sapto Darmo.

3. Muhammad Yusuf, Fakultas Ushuludin, Jurusan Perbandingan Agama, UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2010,15 yang berjudul “ Agama Islam Dalam

Kerohanian Sapto Darmo”. Skripsi ini membahas tentang unsur agama Islam

dalam kerohanian Sapto Darmo. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang

sedang dilakukan adalah penelitian ini membahas tentang unsur agama Islam

dalam kerohanian Sapto Darmo, sedangkan penelitian yang sedang dilakukan

adalah membahas tentang padangan islam tentang aliran Sapto Darmo didesa

Turi Gede kecamatan Kepuh Baru Bojonegoro. Sesuai dengan judul skripsi yang

saya susun ini, yakni “Aliran Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro”.

G. Metode Penelitian

Dalam melakukan penulisan penelitian, metode mempunyai peran yang

sangat penting. Berdasarkan hal tersebut, penulisan ini menggunakan metode

penulisan historis. Hasil rekonstruksi masa lampau berdasarkan fakta-fakta yang

telah tersusun yang didapatkan dari penafsiran sejarah terhadap sumber-sumber

15Muhammad. Yusuf, “

(22)

12

sejarah dalam bentuk-bentuk tertulis disebut historiografi.16 Pada tahap awal

penulisan ini, penulis menggunakan metode penulisan sejarah,17 yaitu:

1. Heuristik pada tahap ini penulis mengumpulkan data dari berbagai sumber

meliputi sumber tertulis dan sumber wawancara terhadap orang-orang yang

layak yaitu dengan Bapak Bambang Suhadmodjo , Bapak Jayus dan juga

Bapak Kasminto dengan penulisan yang dapat memberikan informasi yang

relevan mengenai penulisan ini. Sumber-sumber tersebut dapat dianggap sebagai

sumber primer. Selain itu penulis juga akan menggunakan sumber sekunder

berupa buku-buku yang relevan dengan permasalahan dalam penulisan ini.

Adapun teknik yang akan penulis lakukan dalam pengumpulan sumber.

2. Verifikasi (kritik sumber), yaitu untuk membuktikan apakah sumber-sumber

yang kita dapatkan tersebut kredibel atau tidak. Dalam hal ini penulis tidak

melakukan verifikasi terhadap sumber, baik intern maupun ekstern karena

keterbatasan jarak antara yang tidak memungkinkan untuk melakukan kritik.

Sehingga penulis melakukan pemilihan terhadap sumber-sumber, yang

terkumpul misalnya berupa buku-buku karangan Sapto Darmo, bisa juga

menggunakan buku-buku tokoh yang hidup pada masa dahulu, contohnya yaitu

buku dari H.M. Rasjidi, dan buku-buku refrensi lainnya yang ada hubungannya

dengan pembahasan skripsi ini.

3. Interpretasi atau penafsiran terhadap sumber atau data sejarah seringkali disebut

dengan analisis sejarah. Dalam hal ini data yang terkumpul dibandingkan

16

Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah (Surabaya: Fakultas Adab, IAIN Sunan Ampel, 2004), 17.

17

(23)

13

kemudian disimpulkan agar bisa dibuat penafsiran terhadap data tersebut

sehingga dapat diketahui hubungan kausalitas dan kesesuaian dengan masalah

yang diteliti.18 Dalam penulisan mengenai ajaran Sapto Darmo di desa Kepuh

Baru Bojonegoro ini penulis menganalisa secara mendalam terhadap

sumber-sumber yang telah diperoleh baik primer ataupun sekunder kemudian penulis

menyimpulkan sumber-sumber tersebut sebagaiman dalam kajian yang diteliti.

4. Historiografi merupakan tahap terakhir dalam metode sejarah, yakni usaha untuk

merekonstruksi kejadian masa lampau dengan memaparkan secara sistematis,

terperinci, utuh dan komunikatif agar dapat dipahami dengan mudah oleh para

pembaca. Dalam penulisan ini menghasilkan sebuah laporan penulisan yang

berjudul “Ajaran-ajaran Sapto Darmo di desa Turi Gede kecamatan Kepuh Baru

kabupaten Bojonegoro”.

Penulis dalam hal ini akan menggunakan metode deskriptif analitik, yang

berarti metode dengan cara menguraikan sekaligus menganalisis.19 Dengan

menggunakan kedua cara secara bersama-sama maka diharapkan objek dapat

diberikan makna secara maksimal. Jadi penulis akan menguraikan data-data

mengenai Ajaran-ajaran Sapto Darmo di desa Turi Gede kecamatan Kepuh Baru

kabupaten Bojonegoro dan kemudian akan menganalisis agar dapat memaparkan

makna Ajaran-ajaran Sapto Darmo di desa Turi Gede kecamatan Kepuh Baru

kabupaten Bojonegoro.

18

Ibid., 64.

19

(24)

14

H. Sistematika Bahasan

Bab pertama ini akan dijelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teori,

penelitian terdahulu, metode penelitian, serta sistematika bahasan.

Bab kedua ini akan menjelaskan mengenai asal usul aliran Sapto Darmo

mulai dari sejarahnya masuknya aliran tersebut bias menarik minat banyak orang

untuk mengikuti aliran tersebut dan juga disini akan dijelaskan gambaran gambaran

awal (letak geografis) desa Turi Gede dan juga proses masuknya Aliran Sapto

Darmo ke desa Turi Gede.

Bab ketiga ini dijelaskan tentang organisasi masyarakat Sapto Darmo dan

juga ajaran-ajaran Sapto Darmo yang dilakukan kelompok Sapto Darmo didesa turi

dan kebatinannya itu seperti apa. Dan juga di dalam bab ini juga akan di jelaskan

Ritual-ritual yang dilakukan oleh kelompok Sapto Darmo didesa Turi Gede

kecamatan Kepuh Baru kabupaten Bojonegoro disetiap tahunnya .

Bab keempat ini akan dijelaskan mengenai tanggapan-tanggapan Tokoh NU

dan juga Tokoh Muhammadiyah mengenai aliran Sapto Darmo di desa Turi Gede

beserta pandangan Islam menurut Qur’an dan hadist.

Dalam bab kelima ini memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan dari

(25)

BAB II

ALIRAN SAPTO DARMO TURI GEDE, BOJONEGORO

A. Keadaan Turi Gede

1. Menapak Tilas Alam Turi Gede

Desa Turi Gede merupakan sebuah desa yang termasuk dalam wilayah

kecamatan Kepoh Baru kabupaten Bojonegoro.1 Sepanjang perjalanan menuju

desa Turi Gede dikelilingi pemukiman warga serta wilayah persawahan dan

ladang yang membentang luas. Lahan persawahan sangatlah luas mencapai 152

Ha. Oleh karena itu, pemandangan berupa sawah dan ladang akan terlihat

sepanjang jalan menuju desa tersebut. Lahan persawahan tersebut mayoritas

ditanami padi.2

Gambar 1. : Peta Desa Turi Gede

1

Sunardi, Wawancara, Bojonegoro, 02 Februari 2015. 2

(26)

16

Untuk memasuki desa Turi Gede jarak yang harus ditempuh ± 25 km dari

kota Bojonegoro. Dan dari arah Babat kabupaten Lamongan jarak tempuh ± 15

km. Untuk menuju desa Turi Gede dari sebelah barat melewati desa Ngemplak.

Dari sebelah utara melewati desa Bayem Gede. Dari sebelah timur melewati desa

Sumber Agung. Dari sebelah selatan melewati desa Balong Dowo.

Kondisi jalan menuju desa Turi Gede banyak yang rusak dan masih berupa

jalan tanah dan berbatu jika melewati desa Ngemplak dan Bayem Gede. Kondisi

jalan tidak layak/rawan apabila setelah turun hujan, karena kondisi jalan becek

dan licin, berbahaya bagi pengguna jalan. Kondisi jalan akan berbeda jika

perjalanan melewati desa Sumber Agung ataupun Balong Dowo karena jalan

didua desa ini kondisi jalannya sudah dipasang paving. Berikut gambar jalan

masuk ke desa Turi Gede yang berbatasan dengan desa Sumber Agung:

(27)

17

Meskipun infrastuktur di desa Turi Gede berupa jalan poros sudah

terpaving tetapi kondisinya masih banyak yang rusak. Jalan berpaving tersebut

berlobang dan kondisi jalannya anjlok (ambles). Kurangnya penerangan jalan

diwaktu malam hari untuk menuju desa Turi Gede sangat membahayakan bagi

pengguna jalan. Kondisi jalan yang gelap dan sepi akan memicu terjadinya tindak

kejahatan.

2. Sejarah Desa Turi Gede

Desa Turi Gede, menurut keterangan yang bersumber dari cerita para

sesepuh desa, terbentuk pada tahun 1924 dengan kepala desa yang disebut

petinggi. Desa Turi Gede terbentuk dari gabungan tiga desa, yaitu desa Turi,

Sambong dan Saban yang sudah ada sejak sekitar tahun 1880-an.3

Pada awalnya, desa Turi dan Sambong dipimpin oleh seorang petinggi

bernama kasimin (sekitar tahun 1880-an s/d 1924) yang pemerintahannya berada

di desa Turi. Sedangkan desa Saban, mempunyai pemerintahan sendiri dengan

petinggi yang bernama Sarbo. Pada tahun 1924, tiga desa ini digabung menjadi

satu dengan nama “Turi Gede” dengan petinggi pertama bernama Kromo

Amijoyo Kasman. Sedangkan Turi, Sambong dan Saban menjadi bagian dari

lingkup pemerintahan desa Turi Gede yang disebut pedukuhan. Penggabungan ini

besar kemungkinan dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia-Belanda

mengingat pada tahun tersebut Indonesia masih dijajah oleh Belanda.

3

(28)

18

Menurut legenda, nama Turi Gede berasal dari bahasa jawa “Pitutur Sing

Gede” berarti “Nasehat yang besar”. Hal ini dikuatkan dengan mitos bahwa setiap

orang Turi Gede yang merantau kebanyakan mendapat kesuksesan. Di tiap dukuh

dari desa Turi Gede, setiap tahunnya diadakan Ritual „Sedekah Bumi‟ sebagai

ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang

melimpah, Dan khusus di dukuh Turi, setiap tahunnya diadakan perayaan dengan

menyuguhkan kesenian Tayub4 yang diadakan di Punden desa (sekarang bernama

Sasana Krida Budaya) terletak di RT.05 dukuh Turi. Punden ini merupakan

makam dari dua Sesepuh Turi yang disebut mbah Danyang, berasal dari kata

Datuk (Kakek) dan Nyang (Nenek). Di punden tersebut, terdapat dua sumber air

(sumur) yang dahulu disebut dengan Sendang Turi, sekarang sumber air tersebut

tidak difungsikan, diganti dengan PDAM yang dijadikan sumber utama untuk

memenuhi kebutuhan air bersih seluruh masyarakat desa Turi Gede. Untuk lebih

menkonkritkan hasil temuan data deskriptif desa Turi Gede, berikut juga

dipaparkan mengenai sejarah pemerintahan desa hingga sejarah pembangunan

desa Turi Gede berikut:

3. Sejarah Pemerintahan Desa

Di dalam sejarah desa Turi Gede, sudah beberapa kali berganti kepala

desa5. Dari arsip desa rencana pembangunan jangka menengah desa Turi Gede

diketahui pemerintahan desa Turi telah mengalami pergantian kepemerintahan

desa sebanyak sembilan kali. Sebagaimana dijelaskan dalam tabel dibawah ini :

5

(29)

19

Tabel 1. : Periode Kepemerintahan Desa Turi Gede

No Periode Nama Kepala Desa Keterangan

1 1880-1924 Kasiman

Kepala Desa Turi

dan Sambong

2 1880-1924 Sarbo Kepala Desa Saban

3 1924-1970 Kromo Amijoyo Kasman

Kepala Desa Turi

Gede

4 1970-1990 Kardi

Kepala Desa Turi

Gede

5 1990-1995 Bambang Sugiri

Kepala Desa Turi

9 2007-Sekarang Bambang Hariyanto

Kepala Desa Turi

Gede

4. Sejarah Pembangunan Desa

Mulai tahun 1970-sekarang di desa Turi Gede telah beberapa kali

(30)

20

fasilitas desa, tempat ibadah, jalan6, dan lain-lain. Proses pembangunan ini seperti

yang dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 2. : Perkembangan Pembangunan Desa

No Periode Nama Kepala Desa Pembangunan

1. 1970-1990 Kardi

2. 1990-1995 Bambang Sugiri

-Makadam Jalan Poros

(31)

21

-Perbaikan Saluran Irigasi

5. 2006-2007 Sunardi, BA. -Makadam Jalan Poros

6.

2007-Sekarang

Bambang Hariyanto

-Rehap Balai Desa

-Pagar Balai Desa

-Jembatan Plat Beton Balai Desa

-Gedung Pertemuan

-Pengerasan Jalan Poros

-Pengerasan Jalan Lingkungan

-Perbaikan Saluran Irigasi

-Gedung Madrasah Diniyah

-Jembatan Lingkungan Rt.9

-Pembuatan Gorong-Gorong

Dusun Saban Dan Sambong

-Rehab Pos Kamling Turi,

Sambong Dan Saban.

-Grosok Jalan Poros Dan

Lingkungan

- Rabat Beton Jalan Lingkungan

Dusun Sambong

- Renovasi Pagar Punden Desa

- Pembuatan Papan Nama Kantor

(32)

22

5. Kondisi Geografis

Luas wilayah desa Turi Gede 199 ha. Adapun batas desa Turi Gede

sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan desa Bayem Gede, sebelah

selatan berbatasan dengan desa Balong Dowo, sebelah barat berbatasan dengan

Ngemplak, desa Sumberoto, sebelah timur berbatasan dengan desa Sumber

Agung.7

Luas wilayah menurut penggunaan dengan konversi 1 Ha = 10.000 m² atau

1 m² = 0,0001 Ha. Untuk tanah sawah terdiri atas sawah irigasi ½ teknis seluas 52

Ha dan sawah tadah hujan luasnya 82 Ha. Tanah kering terdiri atas tegal/ladang

yang luasnya 13 Ha dan lahan pemukiman luasnya 52 Ha. Tanah fasilitas umum

yakni tanah kas desa/kelurahan yang terdiri atas tanah bengkok luasnya 30 Ha,

sawah milik desa luasnya 2,5 Ha. Lapangan olahraga luasnya 0,5 Ha begitu juga

luas perkantoran pemerintah 0,5 Ha. Tempat pemakaman desa/umum luasnya 1

Ha. Bangunan sekolah/perguruan tinggi 0,5 Ha. Luas jalan 3,5 Ha.

Untuk iklim desa Turi Gede memiliki jumlah bulan hujan kelembapan

yaitu 3 bulan, suhu rata-rata harian 35 ºC dan tinggi tempat dari permukaan laut

18 mdl. Desa Turi Gede memiliki warna tanah (sebagian besar) yakni merah,

kuning, hitam, abu-abu. Tekstur tanahnya lampungan, pasiran, debuan. Sementara

dari segi topografi, desa Turi Gede memiliki luas kemiringan lahan (rata-rata)

datar 199 Ha. Ketinggian diatas permukaan laut 15 m DPAL. Desa ini memiliki

suhu 20-30 derajat celcius serta curah hujan 2000/3000 mm.

7

(33)

23

6. Perekonomian Desa

Desa Turi Gede tidak mempunyai pos penerimaan dari sektor pajak,

sehingga perekonomian desa hanya bertumpu pada hasil sewa tanah kas desa dan

dana bantuan dari APBD melalui DPD/K atau ADD saja. Rincian jumlah sumber

penerimaan desa antara tahun 2007-2009 sebagai berikut: tahun 2007 retribusi

portal desa sebesar Rp 8.313.100, tetapi retribusi portal sejak tahun 2008

ditiadakan karena menambah Cost produksi/penjualan hasil panen para petani.

Hasil sewa tanah kas desa tahun 2007 sebesar Rp 4.000.000.

DPD/K atau ADD merupakan dana yang dialokasikan pemerintah

kabupaten untuk desa yang nominalnya disesuaikan dengan dana alokasi umum

yang diterima kabupaten dari pemerintah pusat. Jumlah DPD/K pada tahun 2007

sebesar Rp 100.000.000. Jumlah ADD pada tahun 2008 sebesar Rp 46.016.426

dan pada tahun 2009 sebesar Rp 81.133.689. 8

Disamping perhitungan rupiah mengenai pendapatan desa diatas melalui

dana kas dan bantuan dana APBD. Tidak dapat dipungkiri bahwa rantai

perekonomian desa tetaplah bertumpu dan dihasilkan dari hasil pertanian desa.

Mata pencaharian mayoritas warga sebagai petani sawah dan lading member

dukungan tertinggi untuk laju perekonomian masyarakat desa Turi Gede.

Seperti dibawah ini merupakan data kegiatan pertanian menurut kalender

musim tahunan berikut:

8

(34)

Tinggi Rendah Rendah Rendah sedang

(35)

25

Sumber: Hasil diskusi dengan Ibu-Ibu petani desa Turi (Asih, Suratmi, Siti Umini)9

Berdasarkan kalender musim di atas dapat dilihat kegiatan pertanian

masyarakat yang sekaligus merupakan penghasilan utama masyarakat di desa Turi

Gede dalam setiap tahunnya, baik dari masa panen dan masa tanamnya

masyarakat di desa Turi Gede. Kegiatan bertani masyarakat desa Turi Gede

dilakukan di lahan milik sendiri, dan lahan milik pemerintah yang letaknya

mengelilingi desa Turi Gede. Lahan ini merupakan lahan milik pemerintah yang

dikelola oleh masyarakat desa Turi Gede dengan sistem kontrak/sewa. Mayoritas

masyarakat desa memanfaatkan lahan tersebut untuk mencukupi kebutuhan hidup

dalam kesehariannya. Sedangkan untuk lahan milik sendiri yang lahannya luas,

dengan hasil yang banyak maka sebagian dikonsumsi sendiri, selebihnya mereka

jual untuk mendapatkan uang, meraup penghasilan untuk biaya hidup sehari-hari,

biaya sekolah anak dan pemenuhan kebutuhan sekunder lainnya.

Adapun jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat desa Turi Gede di

lahan milik pemerintah dan lahan milik sendiri adalah sebagai berikut: padi, cabe,

bawang merah dan tembakau. Dari semua jenis tanaman yang ditanam yang

disebutkan pada kalender musim diatas merupakan jenis tanaman yang dapat

menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat di desa Turi Gede.

Biasanya sawah ditanami padi. Untuk nampek (tabur benih padi) biasanya

pada bulan nopember dan bisa di tanam pada saat padi sudah berumur 27-30 hari,

pada saat itulah padi siap ditanam dan bisa dipanen bulan maret hingga april,

9

(36)

26

dalam waktu rentang itu kegiatan petani yaitu garemi/ngemes (memupuk padi)

dan selain itu kegiatan petani yaitu maton/dadak (membersihkan rumput-rumput

liar yang menghalangi pertumbuhan padi). Untuk bibit padi mereka awalnya

masih bergantung dengan bibit pabrik, akan tetapi dengan adanya bantuan bibit

padi dari pemerintah yang melewati kelompok tani membuat mereka lebih

terbantu, selebihnya bibit padi harus mereka peroleh dengan swadaya sendiri.

Dalam pembahasan ini disajikan dalam bentuk bagan, inti permasalahan

yang berkaitan dengan pengelolaan potensi alam yang sedang dialami masyarakat

desa Turi Gede beserta dampak dan akibat yang mengitarinya :

Pendapatan

MASYARAKAT BELUM MAMPU MEMANFAATKAN POTENSI ALAM

(37)

27

Gambar 3. : Pohon Masalah Desa Turi Gede10

Sebagian besar masyarakat desa Turi Gede bermata pencaharian sebagai

petani, hal ini menjadikan mereka banyak menghasilkan berbagai hasil bumi,

diantaranya adalah padi dan tembakau (sebagai hasil bumi primer masyarakat),

cabe, bawang merah, ketela rambat, pisang, pohon jati (hasil bumi sampingan

yang hanya beberapa warga saja yang menanam). Namun ini tidak didampingi

dengan penanaman tanaman yang tidak selalu bergantung kepada musim.

7. Kondisi Demografis

Desa Turi Gede merupakan salah satu diantara desa yang terdapat di

kecamatan Kepoh Baru kabupaten Bojonegoro. Penduduk desa Turi Gede

mayoritas merupakan suku Jawa, baik yang benar-benar penduduk asli kelahiran

desa Turi Gede maupun sebagai pendatang yang kemudian menetap. Warga

pendatang yang menetap di desa ini umumnya dikarenakan faktor perkawinan

atau tuntutan tugas seperti yang berprofesikan sebagai PNS. Untuk jumlah Rukun

Tetangga (RT) sebanyak 11 RT, dan jumlah Rukun Warga (RW) sebanyak 2 RW,

dengan rincian sebagai berikut:

Dusun Sambong-Turi terdiri dari 1 RW dan 6 RT, yakni RW 01 yang

dikepalai oleh Pak Samsuri dengan membawahi 6 RT, yaitu RT 01, RT 02, RT 03,

RT 04, RT 05 dan RT 06. RT 01 dan RT 02 dikepalai oleh Pak Kasmiran dan Pak

Mad Djais. Adapun RT 03 dan RT 04 dikepalai oleh Pak Ahmad Yudi dan Pak

10

(38)

28

Sadikun, sedangkan RT 05 dan RT 06 dikepalai oleh Pak Dasuki dan Pak

Yasemin.

Dusun Saban terdiri dari 1 RW dan 5 RT, yaitu RW 02 yang dikepalai

oleh Pak Tarmuji (Almarhum) sampai sekarang belum ada penggantinya,

membawahi 5 RT, yaitu RT 07, RT 08, RT 09, RT 10 dan RT 11. RT 07 dan RT

08 yang masing-masing dikepalai oleh Pak Sumarji dan Pak Ruslani. Adapun RT

09 dan RT 10 yang masing-masing dikepalai oleh Pak Indarto dan Pak Sumali dan

RT 11 dikepalai oleh Pak Supo.

Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah petani dan buruh tani. Hal

ini disebabkan karena sudah turun temurun sejak dulu bahwa masyarakat adalah

petani, dan juga minimnya tingkat pendidikan menyebabkan masyarakat tidak

punya keahlian lain dan tidak punya pilihan lain selain menjadi petani. Dari

keseluruhan jumlah penduduk yakni Jumlah penduduk antara laki-laki dan

perempuan hampir berimbang. Sehingga tidak ada kesenjangan sosial antara

laki-laki dan perempuan. Jumlah penduduk keseluruhan 2006 juta jiwa, terbagi atas

jumlah penduduk laki-laki 1083 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 923 jiwa.11

Terperinci 841 jiwa berprofesi sebagai buruh tani, 610 jiwa sebagai

petani, 1031 jiwa sebagai peternak, 204 jiwa sebagai pedagang, 41 jiwa sebagai

tukang kayu, 23 jiwa sebagai PNS, 14 jiwa sebagai pensiunan, 2 jiwa sebagai

TNI/POLRI, 9 jiwa sebagai perangkat desa, 4 jiwa sebagai pengrajin, 114 jiwa

terbagi atas pekerjaan yang lain.

11

(39)

29

A. Aliran Sapto Darmo

1. Sejarah Masuknya Sapto Darmo di desa Turi Gede

Dilihat dari potret keagamaan, seluruh masyarakat desa Turi Gede

memeluk agama Islam. Namun pengetahuan keagamaan mereka masih sangat

kurang dan aktifitas keagamaan mereka juga tidak seberapa kental. Faktor sejarah

memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan masyarakat Turi

Gede.

Menurut Pak Sanuri12 (60 tahun) ketua organisasi Islam tradisional

Nahdlatul Ulama (NU) desa Turi Gede, beliau memberikan keterangan bahwa

awalnya, di desa Turi Gede tidak ada sosok tokoh agama, atau sosok kyai yang

melakukan dakwah dan pengajaran agama Islam. Masyarakat Turi Gede tidak

mempunyai keinginan untuk nyantri (belajar agama Islam di pondok pesantren).

Hanya pada perkembangannya, ada sedikit orang yang belajar dipondok

pesantren.

Masyarakat Turi Gede merupakan masyarakat abangan. Waktu

pemerintahan Soekarno (Orde lama) terdapat ideologi merah yang diakui negara

yaitu komunis, dengan adanya PKI (Partai Komunis Indonesia). Masyarakat Turi

Gede (mulai tetua hingga keturunannya) khususnya penduduk dusun

Turi-Sambong merupakan (mantan) pengikut PKI. Jika menengok ulang sejarah, dusun

Turi Sambong merupakan basis kekuatan PKI, hingga di tahun 1965 terjadi

pemberontakan G30S/ PKI. Penganut-penganut PKI dibumi hanguskan oleh

12

(40)

30

pemerintah. Berjalannya waktu, pentolan-pentolan pengikut PKI beralih ke Islam

kejawen.

Menariknya, Dari berbagai macam Aliran Islam kejawen tersebut di desa

Turi Gede lahir kerohanian Sapto Darmo13(Ajaran kerohanian yang mengajarkan

tentang budi luhur manusia, membimbing manusia menuju kesempurnaan hidup

baik mental maupun spiritual), tetapi keberadaan mereka sangat tertutup.

Kepercayaan tersebut memiliki tujuh wewarah (kewajiban) yaitu:

A. Setia tuhu kepada Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha

Wasesa, Maha langgeng.

B. Dengan jujur dan suci hati, harus setia menjalankan perundang-undangan

negaranya.

C.Turut serta menyingsingkan lengan baju, menegakkan berdirinya Nusa dan

bangsanya.

D.Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu balasan,

melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih.

E. Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.

F. Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila beserta

halusnya budi pekerti, selalu merupakan penunjuk jalan yang mengandug jasa

serta memuaskan.

13Muhammad. Yusuf, “

(41)

31

G.Yakin bahwa keadaan dunia itu tiada abadi, melainkan selalu berubah-ubah

(Anyakra manggilingan).14

Berikut adalah diagram venn yang menjelaskan tentang keagamaan di

desa Turi Gede:

Gambar 4. : Diagram venn keagamaan desa Turi Gede

Sejarah berdirinya aliran kerohanian Sapto Darmo menurut cerita

yang diceritakan oleh Bapak Bambang Suhadmojo yang juga pengurus Sapto

Darmo wilayah Turi Gede, Sapto Darmo merupakan ajaran kerohanian yang

beberapa penelitian juga menyebutnya dengan aliran kerohanian15. Ajaran ini

pertama kali di pimpin oleh Hardjosopoero yang selanjutnya bergelar

penuntun agung Sri Gutama. Ajaran ini pertama kali turun dan berkembang di

dikampung pandean, gang koplakan yang terletak di Pare, Kediri, Jawa Timur

14

Sri Pawenang, Wewarah KerokhanianSapta Darma (Yogyakarta: Penerbit Surokarsan, 1962), 6. 15El Hafidi, As‟ad,

(42)

32

pada tanggal 27 Desember 1952. Organisasi yang menangani aliran ini yang

bernama persatuan warga Sapto Darmo (Persada) yang terbentuk pada tanggal

17 Maret 1986 di Yogyakarta. Dari apa yang di ceritakan Bambang

Suhatmodjo (54th) tidak ada yang tau pasti dari kapan ajaran Sapto Darmo

masuk wilayah Bojonegoro khususnya sampai di daerah Turi Gede. Saya

tidak tau kapan ajaran Sapto Darmo ini masuk ke wilayah Bojonegoro, tapi

yang saya tau sejak saya pindah ke Bojonegoro tahun 1978 ajaran Sapto

Darmo sudah ada di Bojonegoro. Saat itu saya masih menganut Kristen yang

taat, tapi setelah saya mendengar adanya ajaran Sapto Darmo tiba-tiba saya

tergetar dan tergugah untuk meyakini ajaran ini. Bagi saya tidak penting

kapan ajaran ini masuk wilayah Bojonegoro, yang penting bagi saya, saya

sudah menemukan apa yang saya cari untuk ketenangan hati saya.16

Masyarakat kecamatan Kepuh Baru berdasarkan data monografi Turi

Gede 2005. Agama yang dianut adalah agama Islam, Katholik. Di dusun Turi

Gede ini walaupun mayoritas penduduknya beragama Islam, pada dasarnya

banyak masyarakat kecamatan kepuh Baru yang merupakan Islam “Abangan”

atau beragamaIslam tetapi tidak menjalankan syari‟at agama Islam. Selain

agama Islam, agama Kristen, Katholik, di Turi banyak berkembang aliran

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun kelompok ini bukan

penganut agama akan tetapi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

16

(43)

33

merupakan suatu bentuk kebudayaan religi yang terus dikembangkan oleh

para penganutnya, sehingga mereka memiliki komunitas sendiri.

Sering kali dalam pendataan komunitas ini tidak tercatat hal ini karena

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa masih dianggap bukan agama,

sehingga dalam data-data yang ada mereka tercatat sebagai pemeluk agama

Islam. Untuk mempermudah dalam menjalankan ibadah kepada Tuhan Yang

Maha Esa maka di perlukan sarana ibadah . Sarana peribadatan untuk

agama-agama yang telah diakui oleh pemerintah.

Tetapi di dusun Turi Gede ini juga terdapat sarana ibadah untuk

penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang dinamakan

sanggar candi busana. Sanggar bagi pemeluk kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa selain digunakan sebagai sarana ibadah juga digunakan untuk

sarana perkumpulan bagi komunitas tersebut. Sanggar yang terdapat di desa

Turi ini merupakan satu- satunya sanggar yang ada di kecamatan kepuh Baru

bahkan sanggar ini merupakan sanggar pusat bagi warga Sapto Darmo di

wilayah Kepuh Baru.17

Upaya untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa, para pemeluk agama di kecamatan Kepuh Baru membentuk kegiatan

keagamaan berupa perkumpulan-perkumpulan yang berhubungan dengan

masalah keagamaan misalnya untuk para pemeluk agama Islam mengadakan

perkumpulan majelis taklim. Pemeluk agama Budha, Kristen dan Katholik

17

(44)

34

mengadakan kegiatan remaja dan penyelenggaraan sekolah minggu, para

penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga mengadakan

perkumpulan keagamaan setiap hari kamis dan minggu yang dilaksanakan di

sanggar.

Sanggar Candi Busono Sebagai tempat ibadah warga Sapto Darmo

kegiatan kerohanian warga Sapto Darmo dalam melakukan kegiatan memiliki

tempat sendiri, meskipun bisa di lakukan di sanggar atau di lakukan di rumah.

Dalam pelaksanaannya warga Sapto Darmo lebih sering dilakukan di sanggar

tempat pasujudan warga Sapto Darmo disebut "Sanggar" dengan seorang

tuntunan yang ditunjuk sebagai pemimpin dan bertanggungjawab dalam

membina spiritual warga di sanggar tersebut. Warga Sapto Darmo mengenal

dua nama sanggar yaitu "Sanggar Candi Sapto Renggo" dan "Sanggar Candi

Busono". Sanggar Candi Sapto Renggo hanya ada satu di Yogyakarta, adalah

pusat kegiatan kerohanian Sapto Darmo. Sanggar Candi Busono adalah

sanggar yang tersebar didaerah-daerah.“untuk melakukan aktifitas kerohanian

warga Sapto Darmo biasanya kumpul di sanggar. Sanggar sendiri merupakan

tempat peribadatan bagi penganut ajaran Sapto Darmo. Tidak hanya untuk

sujudan saja, tapi juga sanggar di gunakan untuk berdiskusi dan ceramah

tentang apapun mengenai ajaran Sapto Darmo ini”.18 Di kota Bojonegoro

tidak begitu banyak sanggar Candi Busono. Lokasi sanggar ini sendiri berada

di daerah Kedung Adem. Di antara sanggar-sanggar tersebut ada yang sudah

18

(45)

35

dalam bentuk bangunan permanen dan ada juga yang masih semi permanen

atau menumpang di rumah warga. Hasil observasi dan penelitian yang telah

dilakukan menunjukkan bahwa kegiatan kerohanian yang dilakukan tidak

terpusat pada tempat atau sanggar yang ada. Kegiatan kerohanian warga Sapto

Darmo dapat di lakukan di rumah pribadi dengan berbagai alasan, akan tetapi

akan menjadi lebih baik apabila bisa dilakukan di sanggar-sanggar yang ada.

2. Tokoh-tokoh yang berperan dalam masuknya Sapto Darmo di desa Turi

Gede

Perkembangan Sapto Darmo mulai mengalami kemajuan kembali terjadi

pada tahun 1978. Hal ini di tandai dengan bertambah banyaknya warga Sapto

Darmo, sehingga sanggar atau tempat peribadatan Sapto Darmo yang berada di

rumah Pak Suklar dianggap sudah tidak dapat menampung warga Sapto Darmo

yang melakukan peribadatan dan melakukan kegiatan. Sanggar yang berada di

rumah Pak Suklar biasa disebut dengan sebutan sanggar “Dompleng” yang di

dalam Bahasa Indonesia artinya adalah ikut. Jadi sanggar “dompleng” adalah

sanggar yang masih ikut atau menyatu dengan rumah tuntunan Sapto Darmo.

Dengan bertambahnya warga Sapto Darmo di dusun Turi Gede, kemudian

atas prakarsa sebelas orang yaitu :

A. Bapak Aryo, selaku tuntunan

B. Bapak Kunaidi

C. Bapak Bambang Suhadmodjo

(46)

36

F. Bapak Giri

G. Bapak Kasminto

H. Bapak Hadiwijoyo

I. Bapak Kunawi

J. Bapak Trowolojo

K. Bapak Supardjo

L. Bapak Jadi

Direncanakan pembangunan sanggar agar kegiatan warga dapat lebih

optimal. Tanah yang digunakan dalam pembangunan sanggar itu adalah tanah

pemberian dari kepala desa Kedung Adem. Perencanaan pembangunan Sanggar

itu dilaksanakan dengan rapat yang dihadiri oleh para pemrakarsa atau pencetus

ide pembangunan Sanggar. Dana yang digunakan berasal dari warga Sapto Darmo

dan juga bantuan dari sanggar pusat, yaitu Sanggar Sapto Renggo yang berada di

Yogyakarta. Sanggar yang berada di daerah dinamakan sanggar Candi Busana.

Pembangunan sanggar Candi Busana dilakukan dengan cara gotong royong antar

warga Sapto Darmo dimana pada waktu itu sudah mulai bertambah banyak.

Suasana gotong royong pembangunan sanggar Candi Busono pada tahun 1978.19

Setelah didirikan sanggar Candi Busono di Kedung Adem ini merupakan

sanggar satu- satu yang digunakan oleh warga Sapto Darmo di daerah kabupaten

Bojonegoro. Berbagai kegiatan dilakukan disini misalnya kegiatan perkumpulan

19

(47)

37

para warga KSD yang dilaksanakan pada malam Jum‟at wage,20kegiatan remaja

yang dilaksanakan pada hari minggu dan perkumpulan wanita yang dilaksanakan

pada hari Jumat wage, dan berbagai kegiatan pada saat peringatan hari-hari yang

penting dalam kerohanian Sapto Darmo.

Dalam perjalanan menyebar luaskan ajaran Sapto Darmo Hardjosopoero,

singgah dari Kota ke Kota. Salah satu Kota yang disinggahinya adalah

Bojonegoro. Hardjsopoero singgah di desa Mintomulyo di rumah Kepala Desa,

bernama Jokosuseno pada tahun 1958. kedatangan Hardjosapuro menyampaikan

ajaran Sapto Darmo di Kecamatan Kepuh Baru pertama kali disampaikan

kepada Pak Dargo yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala desa Turi Gede,

Pak Kunadi, Pak Giridan Pak Trojowolo, dari keempat orang inilah ajaran Sapto

Darmo mulai disebarkan di daerah kecamatan Kepuh Baru.21 Perkembangan

Sapto Darmo dikecamatan Kepuh Baru dapat dilihat dari :

A. Perkembangan Warganya

Di dalam Sapto Darmo pengikut atau penganut ajaran ini disebut sebagai

warga Sapto Darmo. Sejak masuk dan dikenalnya ajaran Sapto Darmo di

Kecamatan kepuh baru, masyarakat yang menjadi warga Sapto Darmo pada tahun

2005 bekisar antara 300 sampai 400 orang. Warga yang hanya mengenal

kepercayaan yaitu orang yang masuk Sapto Darmo dan sebelumnya tidak pernah

20

Ibid., 17. 21

(48)

38

mengenal agama apapun. Jadi orang tersebut pada dasarnya hanya mengenal

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.22

Di dalam Sapto Darmo warga juga dibedakan menurut keaktifan dalam

peribadatanny. Warga Sapta Darma yang menjalankan sujud dan juga aktif dalam

berbagai kegiatan yang diadakan oleh Sapto Darmo. Jadi warga Sapto Darmo

yang tidak aktif biasanya dapat dilihat pada waktu perayaan hari besar Sapto

Darmo yang jatuh pada malam 1 Suro dalam penanggalan Jawa, atau malam 1

Hijriah dalam penanggalan Islam. Jumlah warga aktif berkisar antara seratus

hingga seratus lima puluh orang, sedangkan warga yang tidak aktif jumlahnya

lebih banyak yaitu dua ratus orang lebih.23ṣ

Perkembangan warga Sapto Darmo di Turi Gede mengalami kemunduran

pada tahun 1965. Hal ini disebabkan karena adanya Pemberontakan G-30-S/PKI,

pada tahun ini masyarakat mulai masuk kedalam agama-agama yang telah diakuai

oleh pemerintah, karena pada saat itu masyarakat yang tidak memeluk satu agama

dianggap sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia). Walaupun demikian para

warga Sapto Darmo di daerah Turi Gede tetap menjalankan kegiatan peribadatan

dibawah tuntunan Pak Suklar, yaitu penuntun Sapto Darmo pertama di desa Turi

Gede ini.

Sapto Darmo di kecamatan Kepuh Baru pada waktu itu juga mengalami

pengawasan dari pihak kepolisian. Akan tetapi karena ajarannya dianggap tidak

melenceng atau sesat, maka ajaran ini diberi ijin dan dibiarkan berkembang.

22

Kasminto, Wawancara, Bojonegoro, 29 November 2014. 23

(49)

39

Didalam organisasi Sapto Darmo sebenarnya tiap warganya tidak memiliki ikatan,

keluar masuk menjadi warga Sapto Darmo adalah suatu kebebasan. Hanya setelah

G-30-S PKI, harus diadakan penelitian bagi warga yang baru, misalnya tanda

bersih diri, kartu tanda penduduk dan siapa yang bertanggung jawab dan

lain-lain.24

Perkembangan Sapto Darmo mulai mengalami kemajuan kembali terjadi

pada tahun 1978. Hal ini di tandai dengan bertambah banyaknya warga Sapto

Darmo, sehingga sanggar atau tempat peribadatan Sapto Darmo yang berada di

rumah Pak Suklar dianggap sudah tidak dapat menampung warga Sapto Darmo

yang melakukan peribadatan dan melakukan kegiatan. Sanggar yang berada di

rumah Pak Suklar biasa disebut dengan sebutan sanggar “Dompleng” yang di

dalam Bahasa Indonesia artinya adalah “ikut”. Jadi sanggar “dompleng” adalah

sanggar yang masih ikut atau menyatu dengan rumah tuntunan Sapto Darmo.

Direncanakan pembangunan sanggar agar kegiatan warga dapat lebih

optimal.25

Tanah yang digunakan dalam pembangunan sanggar itu adalah tanah

pemberian dari kepala desa kedungadem. Perencanaan pembangunan sanggar itu

dilaksanakan dengan rapat yang dihadiri oleh para pemrakarsa atau pencetus ide

pembangunan Sanggar. Dana yang digunakan berasal dari warga Sapto Darmo

dan juga bantuan dari sanggar pusat, yaitu sanggar Sapto Renggo yang berada di

Yogyakarta. Sanggar yang berada di daerah dinamakan sanggar Candi Busana.

24

Husaini Punomo Setiady dan Usman, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 27. 25

(50)

40

Pembangunan sanggar Candi Busana dilakukan dengan cara gotong royong antar

warga Sapto Darmo dimana pada waktu itu sudah mulai bertambah banyak.

Suasana gotong royong pembangunan sanggar Candi Busono pada tahun 1978

Setelah didirikan sanggar Candi Busono di Kedung Adem ini merupakan

sanggar satu- satu yang digunakan oleh warga Sapto Darmo di daerah kabupaten

Bojonegoro. Berbagai kegiatan dilakukan disini misalnya kegiatan perkumpulan

bapak-bapak yang dilaksanakan pada malam Jumat wage, kegiatan remaja yang

dilaksanakan pada hari Minggu dan perkumpulan wanita yang dilaksanakan pada

hari Jumat wage, dan berbagai kegiatan pada saat peringatan hari-hari yang

(51)

BAB III

AJARAN DAN RITUAL SAPTO DARMO TURI GEDE, BOJONEGORO

A. Organisasi Masyarakat Sapto Darmo

Masyarakat desa Turi Gede khususnya ibu-ibu rumah tangga telah memiliki

organisasi tersendiri, yaitu organisasi PKK. Adapun struktur kepemimpinan

keorganisasian PKK1, Antara lain :

Tabel 4. : Kepemimpinan Keoorganisasian PKK

No Periode Nama KetuaPKK Keterangan

1 1880-1924 Hj. Tasmining

7 1998-2006 Lilis Puspita Sari

Kepala Pengurus

Turi Gede

8 2006-2007 Dewi Anbar Wati Kepala Pengurus

1

(52)

42

Turi Gede

9 2007-Sekarang Nurul Sa’adah

Kepala Pengurus

Turi Gede

Organisasi PKK di desa Turi Gede memilki kepengurusan yang aktif hingga

saat ini dengan kegiatan yang terjadwal yakni kegiatan arisan dan untuk simpan

pinjam (Program Koperasi Wanita) pertanggal 14 dan 30 setiap bulannya.

Kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung di Balai desa. Selain itu, organisasi yang

diikuti ibu-ibu yang menjadi kader yakni posyandu balita, lansia dan kelas Ibu

hamil setiap satu bulan sekali, untuk mengisi waktu santai sehari-hari ibu-ibu biasa

kumpul mengobrol disalah satu rumah warga. Sementara kegiatan bapak-bapak

selain beberapa tergabung dalam HIPARI, Bapak-bapak diselang waktu istirahat

biasa „jagongan’ di warung membeli kopi kemudian melakukan obrolan-obrolan

mulai dari topik obrolan yang santai hingga berat (politik, desa, ekonomi, pertanian

dan sebagainya).2

Organisasi remaja yang terlihat mencolok hanya pencak silat, antara lain

perguruan SH (Setia Hati) dan perguruan KS (Kera Sakti). Organisasi tersebut

berkegiatan setiap hari sabtu malam minggu). Banyak masyarakat sekitar

khususnya pemuda Turi masuk kedalam organisasi Tersebut.

2

(53)

43

B. Ajaran pokok Agama Sapto Darmo3

Ada 12 Ajaran Sapto Darmo, Diantaranya :

1. Sujud

Warga sapto darmo diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam)

sedikitnya sekali. Tata cara sujud yaitu: duduk tegak menghadap ketimur ( jawa:

wetan, yang mengandung arti kawitan

= asalmula). Artinya pada waktu sujud

manusia harus menyadari/ mengetahui

asalnya. Bagi pria duduk bersila, dapat

dilakukan dengan sila tumpang (kaki

kiri dibawah kaki kanan diatas), dapat

sila jajar (kaki kiri di dalam/

dibelakang kaki kanan didepan/ diluar.

Bagi wanita duduk bertimpuh, ibu

jari kaki kiri ditindih ibu jari kaki

kanan. Tangan bersidakep, tangan kiri

memegang lengan kanan di atas siku

kemudian diikuti tangan kanan memegang lengan kiri diatas siku (tangan kiri

didalam, tangan kanan diluar).

Selanjutnya menenangkan badan dan pikiran, mata melihat kedepan kesuatu

titik yan terletak lebih kurang dari 1 meter ditanah / tikar, tepat didepanya dari

3

Sekertariat Tuntunan Agung kerohanian, Sejarah Penerimaan wahyu Wewarah Sapta Darma

(54)

44

tempat duduk (tulang kedudukan/tulang ekor). Kepala dan punggung (tulang

belakang) segaris lurus, sehingga duduknya tampak tegak lurus. Bila telah tenang

dan tentram, mulai mersakan getaran kasar(getaran pertama) naik dari bawah

keatas, maka pertandanya kepala terasa berat, kemudian getaran menurun menutup

mata.4 Setelah mata tertutup akibat turunya getaran, maka getaran itu mencul lagi

sampai kemulut (bibir terasa tebal). Selanjutnya, ada tanda-tanda lidah terasa dingin

seperti kna angin (pating trecep: jawa)dan keluar air liur, kemudian air liur ditelan,

lalu mengucap didalam hati/batin: “ALLAH HYANG MAHA AGUNG, ALLAH

HYANG MAHA ROHIM, ALLAH HYANG MAHA ADIL”.

Sebenernya sujud menurut Wewarah tersebut diatas bila didalami dan diteliti

sungguh-sungguh, membimbing jalanya getaran air suci yang tersaring berulang

kali serta membimbing jalannya sinar cahaya Allah yang meliputi seluruh tubuh,

diedarkan merata sampai ke sel-sel yang sedalam-dalamnya dan besar sekali

manfaat dan gunanya.

Yang perlu dimengerti ialah: apakah sebenarnya getaran sinar cahaya serta air

suci itu? Dari mana asalnya ? dan dimana tempatnya? Getaran atau sinar cahaya

Allah yang digambarkan bewarna hijau maya dalam simbol pribadi manusia atau

yang meliputi seluruh tubuh /pribadi manusia. Bersatu padunya getaran sinar

cahaya dengan getaran air suci yang merambat berjalan halus sekali keseluruh

tubuh menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali. Daya kekuatan ini disebut

4Tri Madiyono, “

(55)

45

atom berjiwa yang ada pada pribadi manusia. Jadi kekuatan ini mempunyai arti dan

guna besar sekali bagi kehidupan manusia5, seperti:

- Dapat memberantas kuman-kuman penyakit dalam tubuh.

- Dapat menentramkan/menindas nafsu angkara (pengendalian diri).

- Dapat mencerdaskan pikiran.

- Dapat memiliki kewaspadaan/kawaskitan, seperti kewaskitaan akan

penglihatan, pendengaran, tutur kata atau percakapan, serta kewaskitaan rasa6.

2. Racut

Racut berarti memisahkan rasa dengan perasaan (pangrasa: jawa), dengan

tujuan menyatukan diri dengan sinar sentral atau roh suci bersatu dengan sinar

setral. Ini berarti pada waktu racut dapat digunakan menhadapkan Hyang Maha

Suci/ roh suci manusia kehadapan Hyang Maha Kuasa. Jadi selagi kita masih hidup

di dunia, supaya berusaha dapat menyaksikan dimana dan bagaimana tempat kita

kelak bila kembali kealam abadi / langgeng. Dengan demikian benarlah apa yang

tersirat dalam kata-kata “ MANUSIA HARUS DAPAT DAN BERANI MATI

DIDALAM HIDUP, SUPAYA DAPAT MENGTAHUI / MENGENAL RUPA

DAN RASANYA”, bahasa aslinya (jawa) “ WANIA MATI SAJRONING URIP

KAREBEN WERUH RUPALAN RASANE”7

. Maksudnya yang dimatikan adalah

5

Sekertariat Tuntunan Agung. Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma. (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga, 2010), 167.

6

Tri Madiyono, “ Sapto Darmo dalam pandangan Islam Bag.1”, dalam http://ibnuramadan.wordpress.com/10/08/06 (17 Juni 2001).

7

(56)

46

alam pikiran / angan-angan atau gagasannya, sedang rasanya tetap hidup.maka

sewaktu racut, kita dapat mengetahui roh kita sendiri naik kealam abadi

(surga)menghadap Hyang Maha Kuasa. Dan sebaliknya roh kita dapat mengetahui

jasmani yang kita tinggalkan sementara terbaring dibawah.

Mengingat racut merupakan penghayat pekerjaan yang cukup rumit, maka

memerlukan latihan yang penuh kesabaran, dengan ketelitian dan kesungguhan

serta ketekunan.8 Latihan racut dilakukan disanggar dalam sujud penggalian,

selanjutnya dapat dilakukan disanggar atau dirumah sendiri. Racut ini tidak

memungkinkan seseorang memiliki kewaskitaan yang tinggi. Racut ini tidak

membahayakan, karena hanya Hyang Maha Suci yang menghadapi Hyang Maha

Kuasa, sedang saudara sebelas yang lain masih tetap menjaga tubuh/ badan,

karenanya maih bernapas dan menerima rangsangan dari luar melalui indera tetapi

tidak dirasakan / tanggapi.

3. SIMBOL PRIBADI MANUSIA, WEWARAH TUJUH DAN SUSANTI

Simbol berarti gambar atau lambang. Simbol Sapto Darmo (simbol pribadi

manusia) menggambarkan asal mula terjadinya, sifat serta pribadi manusia. Di

samping itu juga mengandung petunjuk bagaiman aharus berdarma / berbuat dan

kemana tujuan hidup manusia9.

Wewarah tujuh (sapto darmo):

a. Setia tuhu kepada adanya pancasila.

8

MohMuhaimin, Skripsi Ritual yang dilakukan oleh kelompok Sapto Darmo. (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), 63.

9

(57)

47

b. Dengan jujur dan suci hati, harus setia melaksanakan perundang-undagan

negaranya.

c. Turut serta menyingsingkan lengan baju, menegakkan berdirinya nusa dan

bangsanya.

d. Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu balasan,

melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih.

e. Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.

f. Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila beserta

halusnya budi pekerti, selalu

merupakan penunjuk jalan yang

mengandung jasa serta

memuaskan.

g. Yakin bahwa keadaan duia itu

tiada abadi, melainkan selalu

berubah-ubah (hanyakra

manggilingan).

Susanti (semboyan) yang

selengkapnya berbunyi “ING

NGENDI BAE MARANG SAPA BAE WARGA SAPTO DARMO KUDU

SUMUNAR PINDHA BASKARA” artinya dalam bahasa indonesia: “DiMANA

Gambar

Gambar 1. : Peta Desa Turi Gede
Gambar 2. : Batas Desa Turi Gede
Tabel 1. : Periode Kepemerintahan Desa Turi Gede
Tabel 2. : Perkembangan Pembangunan Desa
+7

Referensi

Dokumen terkait