AGAMA SAPTO DARMO DI DESA TURI GEDE BOJONEGORO
(Studi Sejarah dan Ajaran)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh:
MUHAMMAD AGUS DARMAWAN NIM : A0.22.10.069
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul ” Aliran Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro (studi sejarah dan ajaran)” adapun fokus pembahasannya adalah 1. bagaimana sejarah ajaran atau ritual Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro Dan 2. Bagaimana pandangan Tokoh-tokoh mengenai ajaran Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan metode kebudayaan dengan pendekatan fenemenologis untuk mengetahui pengalaman tentang kebenaran sebuah ajaran keagamaan Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro. Dengan hal tersebut dapat diketahui sejauh mana aliran Sapto Darmo menurut pandangan tokoh agama baik di Bojonegoro.
ABSTRACT
This thesis entitled "Flow Sapta Darma in Bojonegoro Turigede village (the study of history and doctrine)" while the focus of the discussion is 1. how history, doctrine or ritual in the village Turi Sapto Darmo Gede Bojonegoro and 2. The Islamic view of the teachings in the village Turi Sapto Darmo Gede Bojonegoro.
In answering this question, the researchers used the method to approach culture fenemenologis to know the experience of the truth of a religious doctrine in the village Turi Sapto Darmo Gede Bojonegoro. With this it can be seen the extent to which the flow Sapto Darmo in the view of religious leaders both in Bojonegoro.
DAFTAR ISI
E. Pendekatan dan Kerangka Teori... 6
F. Penelitian Terdahulu... 10
G. Metode Penelitian... 11
H. Sistematika Bahasan... 14
BAB II: ALIRAN SAPTO DARMO TURI GEDE, BOJONEGORO A. Keadaan Turi Gede 1. Menapak Tilas Alam Turi Gede... 15
2. Sejarah Desa... 17
3. Sejarah Pemerintahan Desa...18
4. Sejarah Pembangunan Desa...19
5. Kondisi Geografis Desa Turi Gede... 22
6. Perekonomian Desa Turi Gede... 23
7. Kalender Musiman... 24
8. Kodisi Demografis... 26
B. Aliran Sapto Darmo 1. Sejarah Masuknya Aliran Sapto Darmo Desa Turi Gede... 29
BAB III: AJARAN DAN RITUAL SAPTO DARMO TURI GEDE,
BOJONEGORO
A. Organisasi Sapto Darmo... 41 B. Ajaran Pokok Sapto Darmo... 43 C. Ritual Masyarakat Sapto Darmo... 57
BAB IV: PANDANGAN TOKOH-TOKOH MENGENAI SAPTO DAMO TURI GEDE, BOJONEGORO
A. Tanggapan Tokoh NU... 65 B. Tanggapan Tokoh Muhammadiyah... 69 C. Pandangan MUI (Al-Qur’an dan Hadits)... 72
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan... 76 B. Saran... 77
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sapto Darmo diawali dengan tumbuhnya kebudayaan spritual sejak
jaman prasejarah dengan adanya kebudayaan animisme dan dinamisme. Masuk
jaman sejarah kebudayaan animisme dan dinamisme digantikan dengan kebudayaan
baru yaitu Hindu-Budha, Islam dan Kolonial. Arus kebudayaan baru yang masuk
sangat cepat diiringi dengan adanya kelelahan dalam revolusi kemerdekaan dan
krisis ekonomi yang berkepanjangan maka banyak kelompok masyarakat yang
ingin kembali pada budaya asli.1 Salah satu bentuk budaya asli adalah gerakan
kebatinan dan salah satunya adalah munculnya kerohanian Sapto Darmo. Pada
tanggal 27 Desember 1952, Ajaran Sapto Darmo ini pertama kali berdiri di daerah
Mojokuto yang terletak di Pare, Kediri, Jawa Timur. Sapto Darmo merupakan
sebuah organisasi aliran kepercayaan yang pokok ajarannya adalah melaksanakan
tujuh kewajiban suci yang bertujuan untuk membentuk kerohanian dan budi luhur
dan berusaha membina kebahagiaan hidup manusiadi dunia dan akhirat. Aliran
kejawèn ini didirikan oleh Hardjo Sopoero. Aliran ini mempunyai banyak pengikut
yang berasal dari kalangan rakyat biasa yaitu buruh dan petani, tidak seperti
1As’ad
2
Pangestu, Sumarah dan lain-lain yang memiliki pengikut terutama dari kelas
menengah.2
Sapto Darmo hadir untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan
hidup, baik mental-spiritual maupun fisik–material melalui ilham-ilham Sapto
Darmo yang diterima oleh Panuntun Agung Sri Gautama. Konsep Tuhan dalam
Sapto Darmo terlalu sederhana dan abstrak. Konsepsi penyelamatan hidup-isme
mementingkan penyelamatan di dunia ini. Dalam hal ini, Sapto Darmo sama
dengan Konsep penyelamatan hidup-isme. Dalam konsep penyelamatan Sapto
Darmo, pengikutnya mendapat penyelamatan di dunia ini. Sapto Darmo sebetulnya
mengabaikan konsep akhirat dan penyelamatan yang diberikan di akhirat.
Dipentingkan daya mengobati sakit dan budi luhur yang didapat dengan etika dan
moral sehari-hari.3
Hardjosopoero meninggal pada tanggal 16 Desember 1964. Nama Sapto
Darmo diambil dari bahasa Jawa: Sapto artinya tujuh dan Darmo artinya kewajiban
suci. Jadi, Sapto Darmo artinya tujuh kewajiban suci. Sekarang aliran ini banyak
berkembang di Yogya dan Jawa Tengah, bahkan sampai ke luar Jawa. Aliran ini
mempunyai pasukan dakwah yang dinamakan Korps Penyebar Sapto Darmo, yang
dalam dakwahnya sering dipimpin oleh ketuanya sendiri (Sri Pawenang) yang
bergelar juru bicara tuntunan agung.
2
Ibid., 54. 3
3
Sepeninggalan Hardjosopoero aliran Sapto Darmo ini mulai tumbuh dan
berkembang diberbagai wilayah. Dimulai dari desa plosok atau terpencil dahulu.
Seiring berjalanya waktu Sapto Darmo telah memasuki perkotaan. Secara
Sembunyi-sembunyi. Penganut aliran kebatinan Sapto Darmo dalam laku spiritual
maupun laku ritualnya, telah menjadi aset nilai budaya bangsa yang tidak ternilai
harganya. Namun pada kenyataannya, ada beberapa kelompok masyarakat
penganut agama tertentu tidak menginginkan keberadaanya bahkan menghalangi
legalitasnya karena menganggap penganut aliran kebatinan Sapto Darmo adalah
penganut aliran sesat. Sebenarnya, bagaimanakah laku spiritual maupun laku ritual
yang dilaksanakan oleh penganut aliran kebatinan Sapto Darmo yang berperan
sebagai pelestari budaya spiritual dengan mengangkat kearifan lokal yang diajarkan
para leluhur nenek moyang sehingga ada beberapa kelompok masyarakat yang
mengatakan penganut aliran sesat.
Sedangkan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa masih dianggap
sebagai kekayaan kebudayaan nasional karena merupakan warisan spiritual nenek
moyang yang eksistensinya masih di pandang sebelah mata oleh sebagian orang
maupun oleh pemerintah sendiri. Di dalam keadaan yang demikian, para penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetap berjuang untuk
mempertahankan eksistensinya. Agama-agama negara memang telah masuk dan
memberikan pengaruh yang berarti pada religi asli Jawa (terlepas dari banyak
sedikitnya masing-masing saling mempengaruhi). Dapat dikatakan bahwa sifat dari
4
sejauh nilai-nilai luar itu cocok dan mau beradaptasi dengan religi Jawa. Di pihak
lain, dikatakan bahwa agama-agama negara dari luar yang datang ke wilayah orang
Jawa juga adalah agama-agama yang yang memiliki unsur-unsur terbuka untuk
dimasuki, dipengaruhi, dan diolah oleh spiritualisme Jawa.
Dengan demikian, Sapto Darmo merupakan aliran kejawen yang memiliki
organisasi sendiri, tumbuh dan berkembangnya aliran Sapto Darmo ini tidak lepas
dari tuntunan Hardjo Sopoero. Sapto Darmo ini masih mempercayai hal-hal yang
spiritual dengan mengangkat kearifan lokal yang diajarkan para leluhur nenek
moyang mereka.4
Hal diatas merupakan alasan-alasan yang melatar belakangi penulis memilih
judul: “Aliran Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro”. Penulis menganggap
bahwa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan karena aliran Sapto Darmo ini
mempunyai pengaruh penting dalam kehidupan masyarakat, sehingga banyak
orang-orang terjerumus masuk kedalam aliran ini. Dengan pokok ajaran dan kitab
sucinya sehingga banyak aliran-aliran kerohanian yang menganggap dan
menyatakan bahwa aliran kerohanian datang berdasarkan pemberitahuan dari
Tuhan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang hendak dikaji
disini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
4
5
1. Bagaimana sejarah dan ajaran/ ritual Sapto Darmo di desa Turi Gede ,
Bojonegoro?
2. Bagaimana pandangan Tokoh Islam mengenai ajaran Sapto Darmo di desa Turi
Gede, Bojonegoro ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah pada bab sebelumnya, penelitian ini
bertujuan antara lain untuk:
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah dan ajaran serta ritual yang dilakukan
Aliran sapto Darmo didesa Turigede Bojonegoro.
2. Untuk mengetahui Pandangan Tokoh-tokoh islam mengenai ajaran yang
diajarkan oleh aliran sapto darmo tersebut khususnya di desa Turi Gede
bojonegoro
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah kajian di Perpustakaan dan
juga dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Secara Akademik (Praktis)
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan di Perpustakaan Fakultas
Adab dan Humaniora dan Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya.
6
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah keilmuan Sejarah dan
Kebudayaan Islam agar menjadi bacaan yang berguna bagi masyarakat, terutama
bagi mereka yang ingin mengetahui pandangan Islam (Al-Qur’an dan al-Sunnah)
tentang aliran Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro.
E. Pendekatan Dan Kerangka Teoritik
Metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.5 Perilaku ini diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut
secara utuh. Dalam suatu penelitian, untuk mendapatkan hasil yang optimal harus
menggunakan metode penelitian yang tepat. Ditinjau dari permasalahan dalam
penelitian ini, yaitu tentang persepsi masyarakat terhadap hak dan kebebasan
meyakini kepercayaan mengenai ajaran Sapto Darmo di desa Turi gede kecamatan
Kepuh Baru Bojonegoro. Maka penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sejarah. Karena
dalam kaidah sejarah itu bersifat Diakronis, Ideografis dan unik.6 Pembahasan pada
sejarah lebih menekankan pada alur waktu, dengan kata lain bahasan sejarah itu
memanjang dalam waktu. Dalam sejarah, membicarakan satu tempat dari waktu A
sampai waktu B, melalui pendekatan sejarah akan dilihat tentang perubahan,
kesinambungan, ketertingalan, dan loncat-loncatan. Pendekatan ini digunakan agar
bisa mengungkapkan kebenaran sejarah ajaran Sapto Darmo di desa Turi Gede
5
Moh Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 63. 6
7
kecamatan Kepuh Baru Bojonegoro hingga memperoleh hasil yang lebih spesifik
dan sesuai dengan judul penelitian ini yakni “Aliran Sapto Darmo Di desa Turi
Gede Bojonegoro”.7
Untuk memperoleh hasil yang lebih spesifik dan sesuai dengan judul
peneliti, maka peneliti ini juga meminjam penerapan teori dalam ilmu sosial.
Karena institusi sosial juga merupakan garapan sejarah sosial, sepanjang ia tetap
merupakan dari unit sebuah masyarakat dengan ruang lingkup dan waktu tertentu
dapat digolongkan sebagai sejarah sosial. Seperti dalam penerapan teori “Perubahan
Sosial”. Teori perubahan sosial ini berguna untuk menunjukan dan melukiskan
perkembangan sebuah lembaga/kelompok sosial itu dari berdiri sampai menjadi
sebuah lembaga yang kompleks.
Dalam kelompok Sapto Darmo di desa Turi Gede kecamatan Kepuh Baru
Bojonegoro, memiliki sejarah perkembangan yang bertingkat dan lebih kompleks
seiring dengan memanjangnya waktu. Dimulai dari berdirinya ajaran Sapto Darmo
didesa Turi Gede kecamatan Kepuh Baru Bojonegoro sebagai bentuk keprihatian
Hardjosapuro terhadap dunia yang ada. Pada awalnya hanya memiliki kelompok
tradisional yang kemudian dengan berjalannya waktu mengubah menjadi ajaran
yang diikuti banyak orang.8
Teori perubahan sosial August Comte (1798-1857 M) yang mengangkat
konsep Social Dinamics (dinamika struktural). Dinamika sosial merupakan hal-hal
yang berubah dari suatu waktu kewaktu yang lain, yang dibahas adalah dinamika
7
Ibid., 32. 8
8
sosial dari struktur yang berubah dari waktu kewaktu.9 Dinamika sosial adalah daya
gerak dari sejarah tersebut, yang pada setiap tahapan evolusi manusia mendorong
ke arah tercapainya keseimbangan baru yang tinggi dari satu masa (generasi)
kemasa berikutnya. Struktur dapat digambarkan sebagai hierarchy masyarakat yang
memuat pengelompokan masyarakat berdasarkan kelas-kelas tertentu (elit, middle,
dan class). Sedangkan dinamika sosial adalah proses perubahan kelas-kelas
masyarakat itu dari satu masa kemasa yang lain.
Perubahan sosial ada pada dinamika struktural (social dynamic), yaitu
perubahan atau isu perubahan sosial yang meliputi bagaimana kecepatannya,
arahnya, bentuk, agennya (perantara).10 Proses perubahan dilihat sebagai proses
perkembangan yang jelas sekwensi dan tahapan-tahapanya.
Perubahan sosial dalam pemberdayaan komunitas pada hakekatnya
merupakan suatu proses perubahan evolusioner yang disengaja dan terarah.
Menurut Kaplan dan Manners, pertumbuhan adalah proses pertambahan.
Sedangkan pembangunan mengandung pengertian transformasi struktur sosial.
Konsep transformasi struktur sosial menciptakan sebuah perubahan sosial yang
terarah dan bersifat linear.11 Walaupun diarahkan, perubahan sosial yang terjadi
bersifat dinamis. Dinamisasi pada asanya mencakup dua proses, yaitu penggalakan
kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada, selain mencakup pula pergantian
9
Ibid., 46. 10
Agus Salim, Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia
(Yogyakarta:Tiara Wacana, 2002), 9-10.
11Agus Darma, “
9
nilai-nilai lama itu dengn nilai-nilai yang diangap lebih sempurna. Proses
pergantian nilai itu dinamai modernisasi.
Dalam setiap perkembangan ajaran Sapto Darmo di desa Turi Gede,
Bojonegoro tidak terlepas dari peranan seorang panutan agung yang berprofesi
sebagai pengasuh maupun pendiri.12 Panutan agung mepunyai peran yang sentral
dalam perkembangan setiap ajaran Sapto Darmo ini. Panutan agung memiliki
kharisma dan memiliki otoritas yang tinggi dalam menyimpan dan menyebarkan
pengetahuan serta berkompenten mewarnai corak dan bentuk perkembangan Sapto
Darmo.
Dalam melaksanakan tugas maupun peruatan dan penyebaran ajaran Sapto
Darmo dibangun sangkar (tempat beribadah) yang diberi nama sanggar candi
Sapto Darmo di Bojonegoro, Dalam sistem pengajaranya murid-murid duduk
dilantai, menghadap sang guru, dan belajar tuntunan dalam ajaran Sapto Darmo.
Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari agar tidak menggangu
pekerjaan orang tua sehari-hari.
Teori kekuasaan di atas digunakan oleh penulis sebagai alat analisis
terhadap penulisan skripsi ini, diharapkan dapat menjelaskan bagaimana cara
masyarakat Sapto dalam menyebarkan ajaranya tersebut. Selain itu juga dengan
pokok ajaran dan kitab sucinya sehingga banyak aliran-aliran kebatinan yang
menganggap dan menyatakan bahwa aliran kebatinan datang berdasarkan
pemberitahuan dari Tuhan. Apakah semua itu benar menurut tokoh-tokoh Islam.
12
10
F. Penelitian Terdahulu
Dalam tinjauan penelitian terdahulu sudah ada yang membahas tentang
Sapto Darmo, seperti dalam bukunya H.M. Rasjidi yang menulis buku dengan judul
“Islam dan Kebatinan” yang fokus pembahasanya yaitu mengenai sejarah
munculnya aliran kebatinan. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh mahasiswa
UINSA Surabaya belum ada yang mengambil judul dengan tema Anwar Sadat.
Namun ada skripsi dari mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
melakukan penelitian mengenai yakni:
1. Skripsi M. Muhaimin, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004,13 yang berjudul
“Ritual yang dilakukan oleh kelompok Sapto Darmo” skripsi ini memfokuskan
pembahasan mengenai ritualnya saja. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
yang sedang dilakukan adalah penelitian ini membahas tentang ritualnya saja,
sedangkan penelitian yang sedang dilakukan adalah membahas tentang
padangan islam tentang aliran Sapto Darmo.
2. Skripsi Yopi Aris Widiyanto, Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan
Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang tahun 2011,14 yang
berjudul “Kerohanian Sapta Darma Kota Malang (Sebuah Kajian Historis,
Eksistensi, dan Makna Pendidikan yang Terkandung dalam Ajarannya “. Skripsi
13M. Muhaimin, “
Ritual yang dilakukan oleh kelompok Sapto Darmo” (Skripsi,UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Adab dan Humaniora, Jakarta, 2004),43.
14
Yopi Aris Widiyanto, Skripsi: Kerohanian Sapta Darma Kota Malang (Sebuah Kajian Historis,
Eksistensi, dan Makna Pendidikan yang Terkandung dalam Ajarannya)”,(Skripsi,Universitas Negeri
11
ini memfokuskan pembahasan pada makna pendidikan yang terkandung dalam
ajaran "Kerohanian Sapta Darma" (KSD) di Kota Malang. Perbedaan penelitian
ini dengan penelitian yang sedang dilakukan adalah penelitian ini membahas
tentang makna pendidikan yang terkandung dalam ajaran Sapta Darma,
sedangkan penelitian yang sedang dilakukan adalah membahas tentang
padangan islam tentang aliran Sapto Darmo.
3. Muhammad Yusuf, Fakultas Ushuludin, Jurusan Perbandingan Agama, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2010,15 yang berjudul “ Agama Islam Dalam
Kerohanian Sapto Darmo”. Skripsi ini membahas tentang unsur agama Islam
dalam kerohanian Sapto Darmo. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang
sedang dilakukan adalah penelitian ini membahas tentang unsur agama Islam
dalam kerohanian Sapto Darmo, sedangkan penelitian yang sedang dilakukan
adalah membahas tentang padangan islam tentang aliran Sapto Darmo didesa
Turi Gede kecamatan Kepuh Baru Bojonegoro. Sesuai dengan judul skripsi yang
saya susun ini, yakni “Aliran Sapto Darmo di desa Turi Gede Bojonegoro”.
G. Metode Penelitian
Dalam melakukan penulisan penelitian, metode mempunyai peran yang
sangat penting. Berdasarkan hal tersebut, penulisan ini menggunakan metode
penulisan historis. Hasil rekonstruksi masa lampau berdasarkan fakta-fakta yang
telah tersusun yang didapatkan dari penafsiran sejarah terhadap sumber-sumber
15Muhammad. Yusuf, “
12
sejarah dalam bentuk-bentuk tertulis disebut historiografi.16 Pada tahap awal
penulisan ini, penulis menggunakan metode penulisan sejarah,17 yaitu:
1. Heuristik pada tahap ini penulis mengumpulkan data dari berbagai sumber
meliputi sumber tertulis dan sumber wawancara terhadap orang-orang yang
layak yaitu dengan Bapak Bambang Suhadmodjo , Bapak Jayus dan juga
Bapak Kasminto dengan penulisan yang dapat memberikan informasi yang
relevan mengenai penulisan ini. Sumber-sumber tersebut dapat dianggap sebagai
sumber primer. Selain itu penulis juga akan menggunakan sumber sekunder
berupa buku-buku yang relevan dengan permasalahan dalam penulisan ini.
Adapun teknik yang akan penulis lakukan dalam pengumpulan sumber.
2. Verifikasi (kritik sumber), yaitu untuk membuktikan apakah sumber-sumber
yang kita dapatkan tersebut kredibel atau tidak. Dalam hal ini penulis tidak
melakukan verifikasi terhadap sumber, baik intern maupun ekstern karena
keterbatasan jarak antara yang tidak memungkinkan untuk melakukan kritik.
Sehingga penulis melakukan pemilihan terhadap sumber-sumber, yang
terkumpul misalnya berupa buku-buku karangan Sapto Darmo, bisa juga
menggunakan buku-buku tokoh yang hidup pada masa dahulu, contohnya yaitu
buku dari H.M. Rasjidi, dan buku-buku refrensi lainnya yang ada hubungannya
dengan pembahasan skripsi ini.
3. Interpretasi atau penafsiran terhadap sumber atau data sejarah seringkali disebut
dengan analisis sejarah. Dalam hal ini data yang terkumpul dibandingkan
16
Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah (Surabaya: Fakultas Adab, IAIN Sunan Ampel, 2004), 17.
17
13
kemudian disimpulkan agar bisa dibuat penafsiran terhadap data tersebut
sehingga dapat diketahui hubungan kausalitas dan kesesuaian dengan masalah
yang diteliti.18 Dalam penulisan mengenai ajaran Sapto Darmo di desa Kepuh
Baru Bojonegoro ini penulis menganalisa secara mendalam terhadap
sumber-sumber yang telah diperoleh baik primer ataupun sekunder kemudian penulis
menyimpulkan sumber-sumber tersebut sebagaiman dalam kajian yang diteliti.
4. Historiografi merupakan tahap terakhir dalam metode sejarah, yakni usaha untuk
merekonstruksi kejadian masa lampau dengan memaparkan secara sistematis,
terperinci, utuh dan komunikatif agar dapat dipahami dengan mudah oleh para
pembaca. Dalam penulisan ini menghasilkan sebuah laporan penulisan yang
berjudul “Ajaran-ajaran Sapto Darmo di desa Turi Gede kecamatan Kepuh Baru
kabupaten Bojonegoro”.
Penulis dalam hal ini akan menggunakan metode deskriptif analitik, yang
berarti metode dengan cara menguraikan sekaligus menganalisis.19 Dengan
menggunakan kedua cara secara bersama-sama maka diharapkan objek dapat
diberikan makna secara maksimal. Jadi penulis akan menguraikan data-data
mengenai Ajaran-ajaran Sapto Darmo di desa Turi Gede kecamatan Kepuh Baru
kabupaten Bojonegoro dan kemudian akan menganalisis agar dapat memaparkan
makna Ajaran-ajaran Sapto Darmo di desa Turi Gede kecamatan Kepuh Baru
kabupaten Bojonegoro.
18
Ibid., 64.
19
14
H. Sistematika Bahasan
Bab pertama ini akan dijelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teori,
penelitian terdahulu, metode penelitian, serta sistematika bahasan.
Bab kedua ini akan menjelaskan mengenai asal usul aliran Sapto Darmo
mulai dari sejarahnya masuknya aliran tersebut bias menarik minat banyak orang
untuk mengikuti aliran tersebut dan juga disini akan dijelaskan gambaran gambaran
awal (letak geografis) desa Turi Gede dan juga proses masuknya Aliran Sapto
Darmo ke desa Turi Gede.
Bab ketiga ini dijelaskan tentang organisasi masyarakat Sapto Darmo dan
juga ajaran-ajaran Sapto Darmo yang dilakukan kelompok Sapto Darmo didesa turi
dan kebatinannya itu seperti apa. Dan juga di dalam bab ini juga akan di jelaskan
Ritual-ritual yang dilakukan oleh kelompok Sapto Darmo didesa Turi Gede
kecamatan Kepuh Baru kabupaten Bojonegoro disetiap tahunnya .
Bab keempat ini akan dijelaskan mengenai tanggapan-tanggapan Tokoh NU
dan juga Tokoh Muhammadiyah mengenai aliran Sapto Darmo di desa Turi Gede
beserta pandangan Islam menurut Qur’an dan hadist.
Dalam bab kelima ini memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan dari
BAB II
ALIRAN SAPTO DARMO TURI GEDE, BOJONEGORO
A. Keadaan Turi Gede
1. Menapak Tilas Alam Turi Gede
Desa Turi Gede merupakan sebuah desa yang termasuk dalam wilayah
kecamatan Kepoh Baru kabupaten Bojonegoro.1 Sepanjang perjalanan menuju
desa Turi Gede dikelilingi pemukiman warga serta wilayah persawahan dan
ladang yang membentang luas. Lahan persawahan sangatlah luas mencapai 152
Ha. Oleh karena itu, pemandangan berupa sawah dan ladang akan terlihat
sepanjang jalan menuju desa tersebut. Lahan persawahan tersebut mayoritas
ditanami padi.2
Gambar 1. : Peta Desa Turi Gede
1
Sunardi, Wawancara, Bojonegoro, 02 Februari 2015. 2
16
Untuk memasuki desa Turi Gede jarak yang harus ditempuh ± 25 km dari
kota Bojonegoro. Dan dari arah Babat kabupaten Lamongan jarak tempuh ± 15
km. Untuk menuju desa Turi Gede dari sebelah barat melewati desa Ngemplak.
Dari sebelah utara melewati desa Bayem Gede. Dari sebelah timur melewati desa
Sumber Agung. Dari sebelah selatan melewati desa Balong Dowo.
Kondisi jalan menuju desa Turi Gede banyak yang rusak dan masih berupa
jalan tanah dan berbatu jika melewati desa Ngemplak dan Bayem Gede. Kondisi
jalan tidak layak/rawan apabila setelah turun hujan, karena kondisi jalan becek
dan licin, berbahaya bagi pengguna jalan. Kondisi jalan akan berbeda jika
perjalanan melewati desa Sumber Agung ataupun Balong Dowo karena jalan
didua desa ini kondisi jalannya sudah dipasang paving. Berikut gambar jalan
masuk ke desa Turi Gede yang berbatasan dengan desa Sumber Agung:
17
Meskipun infrastuktur di desa Turi Gede berupa jalan poros sudah
terpaving tetapi kondisinya masih banyak yang rusak. Jalan berpaving tersebut
berlobang dan kondisi jalannya anjlok (ambles). Kurangnya penerangan jalan
diwaktu malam hari untuk menuju desa Turi Gede sangat membahayakan bagi
pengguna jalan. Kondisi jalan yang gelap dan sepi akan memicu terjadinya tindak
kejahatan.
2. Sejarah Desa Turi Gede
Desa Turi Gede, menurut keterangan yang bersumber dari cerita para
sesepuh desa, terbentuk pada tahun 1924 dengan kepala desa yang disebut
petinggi. Desa Turi Gede terbentuk dari gabungan tiga desa, yaitu desa Turi,
Sambong dan Saban yang sudah ada sejak sekitar tahun 1880-an.3
Pada awalnya, desa Turi dan Sambong dipimpin oleh seorang petinggi
bernama kasimin (sekitar tahun 1880-an s/d 1924) yang pemerintahannya berada
di desa Turi. Sedangkan desa Saban, mempunyai pemerintahan sendiri dengan
petinggi yang bernama Sarbo. Pada tahun 1924, tiga desa ini digabung menjadi
satu dengan nama “Turi Gede” dengan petinggi pertama bernama Kromo
Amijoyo Kasman. Sedangkan Turi, Sambong dan Saban menjadi bagian dari
lingkup pemerintahan desa Turi Gede yang disebut pedukuhan. Penggabungan ini
besar kemungkinan dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia-Belanda
mengingat pada tahun tersebut Indonesia masih dijajah oleh Belanda.
3
18
Menurut legenda, nama Turi Gede berasal dari bahasa jawa “Pitutur Sing
Gede” berarti “Nasehat yang besar”. Hal ini dikuatkan dengan mitos bahwa setiap
orang Turi Gede yang merantau kebanyakan mendapat kesuksesan. Di tiap dukuh
dari desa Turi Gede, setiap tahunnya diadakan Ritual „Sedekah Bumi‟ sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang
melimpah, Dan khusus di dukuh Turi, setiap tahunnya diadakan perayaan dengan
menyuguhkan kesenian Tayub4 yang diadakan di Punden desa (sekarang bernama
Sasana Krida Budaya) terletak di RT.05 dukuh Turi. Punden ini merupakan
makam dari dua Sesepuh Turi yang disebut mbah Danyang, berasal dari kata
Datuk (Kakek) dan Nyang (Nenek). Di punden tersebut, terdapat dua sumber air
(sumur) yang dahulu disebut dengan Sendang Turi, sekarang sumber air tersebut
tidak difungsikan, diganti dengan PDAM yang dijadikan sumber utama untuk
memenuhi kebutuhan air bersih seluruh masyarakat desa Turi Gede. Untuk lebih
menkonkritkan hasil temuan data deskriptif desa Turi Gede, berikut juga
dipaparkan mengenai sejarah pemerintahan desa hingga sejarah pembangunan
desa Turi Gede berikut:
3. Sejarah Pemerintahan Desa
Di dalam sejarah desa Turi Gede, sudah beberapa kali berganti kepala
desa5. Dari arsip desa rencana pembangunan jangka menengah desa Turi Gede
diketahui pemerintahan desa Turi telah mengalami pergantian kepemerintahan
desa sebanyak sembilan kali. Sebagaimana dijelaskan dalam tabel dibawah ini :
5
19
Tabel 1. : Periode Kepemerintahan Desa Turi Gede
No Periode Nama Kepala Desa Keterangan
1 1880-1924 Kasiman
Kepala Desa Turi
dan Sambong
2 1880-1924 Sarbo Kepala Desa Saban
3 1924-1970 Kromo Amijoyo Kasman
Kepala Desa Turi
Gede
4 1970-1990 Kardi
Kepala Desa Turi
Gede
5 1990-1995 Bambang Sugiri
Kepala Desa Turi
9 2007-Sekarang Bambang Hariyanto
Kepala Desa Turi
Gede
4. Sejarah Pembangunan Desa
Mulai tahun 1970-sekarang di desa Turi Gede telah beberapa kali
20
fasilitas desa, tempat ibadah, jalan6, dan lain-lain. Proses pembangunan ini seperti
yang dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 2. : Perkembangan Pembangunan Desa
No Periode Nama Kepala Desa Pembangunan
1. 1970-1990 Kardi
2. 1990-1995 Bambang Sugiri
-Makadam Jalan Poros
21
-Perbaikan Saluran Irigasi
5. 2006-2007 Sunardi, BA. -Makadam Jalan Poros
6.
2007-Sekarang
Bambang Hariyanto
-Rehap Balai Desa
-Pagar Balai Desa
-Jembatan Plat Beton Balai Desa
-Gedung Pertemuan
-Pengerasan Jalan Poros
-Pengerasan Jalan Lingkungan
-Perbaikan Saluran Irigasi
-Gedung Madrasah Diniyah
-Jembatan Lingkungan Rt.9
-Pembuatan Gorong-Gorong
Dusun Saban Dan Sambong
-Rehab Pos Kamling Turi,
Sambong Dan Saban.
-Grosok Jalan Poros Dan
Lingkungan
- Rabat Beton Jalan Lingkungan
Dusun Sambong
- Renovasi Pagar Punden Desa
- Pembuatan Papan Nama Kantor
22
5. Kondisi Geografis
Luas wilayah desa Turi Gede 199 ha. Adapun batas desa Turi Gede
sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan desa Bayem Gede, sebelah
selatan berbatasan dengan desa Balong Dowo, sebelah barat berbatasan dengan
Ngemplak, desa Sumberoto, sebelah timur berbatasan dengan desa Sumber
Agung.7
Luas wilayah menurut penggunaan dengan konversi 1 Ha = 10.000 m² atau
1 m² = 0,0001 Ha. Untuk tanah sawah terdiri atas sawah irigasi ½ teknis seluas 52
Ha dan sawah tadah hujan luasnya 82 Ha. Tanah kering terdiri atas tegal/ladang
yang luasnya 13 Ha dan lahan pemukiman luasnya 52 Ha. Tanah fasilitas umum
yakni tanah kas desa/kelurahan yang terdiri atas tanah bengkok luasnya 30 Ha,
sawah milik desa luasnya 2,5 Ha. Lapangan olahraga luasnya 0,5 Ha begitu juga
luas perkantoran pemerintah 0,5 Ha. Tempat pemakaman desa/umum luasnya 1
Ha. Bangunan sekolah/perguruan tinggi 0,5 Ha. Luas jalan 3,5 Ha.
Untuk iklim desa Turi Gede memiliki jumlah bulan hujan kelembapan
yaitu 3 bulan, suhu rata-rata harian 35 ºC dan tinggi tempat dari permukaan laut
18 mdl. Desa Turi Gede memiliki warna tanah (sebagian besar) yakni merah,
kuning, hitam, abu-abu. Tekstur tanahnya lampungan, pasiran, debuan. Sementara
dari segi topografi, desa Turi Gede memiliki luas kemiringan lahan (rata-rata)
datar 199 Ha. Ketinggian diatas permukaan laut 15 m DPAL. Desa ini memiliki
suhu 20-30 derajat celcius serta curah hujan 2000/3000 mm.
7
23
6. Perekonomian Desa
Desa Turi Gede tidak mempunyai pos penerimaan dari sektor pajak,
sehingga perekonomian desa hanya bertumpu pada hasil sewa tanah kas desa dan
dana bantuan dari APBD melalui DPD/K atau ADD saja. Rincian jumlah sumber
penerimaan desa antara tahun 2007-2009 sebagai berikut: tahun 2007 retribusi
portal desa sebesar Rp 8.313.100, tetapi retribusi portal sejak tahun 2008
ditiadakan karena menambah Cost produksi/penjualan hasil panen para petani.
Hasil sewa tanah kas desa tahun 2007 sebesar Rp 4.000.000.
DPD/K atau ADD merupakan dana yang dialokasikan pemerintah
kabupaten untuk desa yang nominalnya disesuaikan dengan dana alokasi umum
yang diterima kabupaten dari pemerintah pusat. Jumlah DPD/K pada tahun 2007
sebesar Rp 100.000.000. Jumlah ADD pada tahun 2008 sebesar Rp 46.016.426
dan pada tahun 2009 sebesar Rp 81.133.689. 8
Disamping perhitungan rupiah mengenai pendapatan desa diatas melalui
dana kas dan bantuan dana APBD. Tidak dapat dipungkiri bahwa rantai
perekonomian desa tetaplah bertumpu dan dihasilkan dari hasil pertanian desa.
Mata pencaharian mayoritas warga sebagai petani sawah dan lading member
dukungan tertinggi untuk laju perekonomian masyarakat desa Turi Gede.
Seperti dibawah ini merupakan data kegiatan pertanian menurut kalender
musim tahunan berikut:
8
Tinggi Rendah Rendah Rendah sedang
25
Sumber: Hasil diskusi dengan Ibu-Ibu petani desa Turi (Asih, Suratmi, Siti Umini)9
Berdasarkan kalender musim di atas dapat dilihat kegiatan pertanian
masyarakat yang sekaligus merupakan penghasilan utama masyarakat di desa Turi
Gede dalam setiap tahunnya, baik dari masa panen dan masa tanamnya
masyarakat di desa Turi Gede. Kegiatan bertani masyarakat desa Turi Gede
dilakukan di lahan milik sendiri, dan lahan milik pemerintah yang letaknya
mengelilingi desa Turi Gede. Lahan ini merupakan lahan milik pemerintah yang
dikelola oleh masyarakat desa Turi Gede dengan sistem kontrak/sewa. Mayoritas
masyarakat desa memanfaatkan lahan tersebut untuk mencukupi kebutuhan hidup
dalam kesehariannya. Sedangkan untuk lahan milik sendiri yang lahannya luas,
dengan hasil yang banyak maka sebagian dikonsumsi sendiri, selebihnya mereka
jual untuk mendapatkan uang, meraup penghasilan untuk biaya hidup sehari-hari,
biaya sekolah anak dan pemenuhan kebutuhan sekunder lainnya.
Adapun jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat desa Turi Gede di
lahan milik pemerintah dan lahan milik sendiri adalah sebagai berikut: padi, cabe,
bawang merah dan tembakau. Dari semua jenis tanaman yang ditanam yang
disebutkan pada kalender musim diatas merupakan jenis tanaman yang dapat
menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat di desa Turi Gede.
Biasanya sawah ditanami padi. Untuk nampek (tabur benih padi) biasanya
pada bulan nopember dan bisa di tanam pada saat padi sudah berumur 27-30 hari,
pada saat itulah padi siap ditanam dan bisa dipanen bulan maret hingga april,
9
26
dalam waktu rentang itu kegiatan petani yaitu garemi/ngemes (memupuk padi)
dan selain itu kegiatan petani yaitu maton/dadak (membersihkan rumput-rumput
liar yang menghalangi pertumbuhan padi). Untuk bibit padi mereka awalnya
masih bergantung dengan bibit pabrik, akan tetapi dengan adanya bantuan bibit
padi dari pemerintah yang melewati kelompok tani membuat mereka lebih
terbantu, selebihnya bibit padi harus mereka peroleh dengan swadaya sendiri.
Dalam pembahasan ini disajikan dalam bentuk bagan, inti permasalahan
yang berkaitan dengan pengelolaan potensi alam yang sedang dialami masyarakat
desa Turi Gede beserta dampak dan akibat yang mengitarinya :
Pendapatan
MASYARAKAT BELUM MAMPU MEMANFAATKAN POTENSI ALAM
27
Gambar 3. : Pohon Masalah Desa Turi Gede10
Sebagian besar masyarakat desa Turi Gede bermata pencaharian sebagai
petani, hal ini menjadikan mereka banyak menghasilkan berbagai hasil bumi,
diantaranya adalah padi dan tembakau (sebagai hasil bumi primer masyarakat),
cabe, bawang merah, ketela rambat, pisang, pohon jati (hasil bumi sampingan
yang hanya beberapa warga saja yang menanam). Namun ini tidak didampingi
dengan penanaman tanaman yang tidak selalu bergantung kepada musim.
7. Kondisi Demografis
Desa Turi Gede merupakan salah satu diantara desa yang terdapat di
kecamatan Kepoh Baru kabupaten Bojonegoro. Penduduk desa Turi Gede
mayoritas merupakan suku Jawa, baik yang benar-benar penduduk asli kelahiran
desa Turi Gede maupun sebagai pendatang yang kemudian menetap. Warga
pendatang yang menetap di desa ini umumnya dikarenakan faktor perkawinan
atau tuntutan tugas seperti yang berprofesikan sebagai PNS. Untuk jumlah Rukun
Tetangga (RT) sebanyak 11 RT, dan jumlah Rukun Warga (RW) sebanyak 2 RW,
dengan rincian sebagai berikut:
Dusun Sambong-Turi terdiri dari 1 RW dan 6 RT, yakni RW 01 yang
dikepalai oleh Pak Samsuri dengan membawahi 6 RT, yaitu RT 01, RT 02, RT 03,
RT 04, RT 05 dan RT 06. RT 01 dan RT 02 dikepalai oleh Pak Kasmiran dan Pak
Mad Djais. Adapun RT 03 dan RT 04 dikepalai oleh Pak Ahmad Yudi dan Pak
10
28
Sadikun, sedangkan RT 05 dan RT 06 dikepalai oleh Pak Dasuki dan Pak
Yasemin.
Dusun Saban terdiri dari 1 RW dan 5 RT, yaitu RW 02 yang dikepalai
oleh Pak Tarmuji (Almarhum) sampai sekarang belum ada penggantinya,
membawahi 5 RT, yaitu RT 07, RT 08, RT 09, RT 10 dan RT 11. RT 07 dan RT
08 yang masing-masing dikepalai oleh Pak Sumarji dan Pak Ruslani. Adapun RT
09 dan RT 10 yang masing-masing dikepalai oleh Pak Indarto dan Pak Sumali dan
RT 11 dikepalai oleh Pak Supo.
Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah petani dan buruh tani. Hal
ini disebabkan karena sudah turun temurun sejak dulu bahwa masyarakat adalah
petani, dan juga minimnya tingkat pendidikan menyebabkan masyarakat tidak
punya keahlian lain dan tidak punya pilihan lain selain menjadi petani. Dari
keseluruhan jumlah penduduk yakni Jumlah penduduk antara laki-laki dan
perempuan hampir berimbang. Sehingga tidak ada kesenjangan sosial antara
laki-laki dan perempuan. Jumlah penduduk keseluruhan 2006 juta jiwa, terbagi atas
jumlah penduduk laki-laki 1083 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 923 jiwa.11
Terperinci 841 jiwa berprofesi sebagai buruh tani, 610 jiwa sebagai
petani, 1031 jiwa sebagai peternak, 204 jiwa sebagai pedagang, 41 jiwa sebagai
tukang kayu, 23 jiwa sebagai PNS, 14 jiwa sebagai pensiunan, 2 jiwa sebagai
TNI/POLRI, 9 jiwa sebagai perangkat desa, 4 jiwa sebagai pengrajin, 114 jiwa
terbagi atas pekerjaan yang lain.
11
29
A. Aliran Sapto Darmo
1. Sejarah Masuknya Sapto Darmo di desa Turi Gede
Dilihat dari potret keagamaan, seluruh masyarakat desa Turi Gede
memeluk agama Islam. Namun pengetahuan keagamaan mereka masih sangat
kurang dan aktifitas keagamaan mereka juga tidak seberapa kental. Faktor sejarah
memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan masyarakat Turi
Gede.
Menurut Pak Sanuri12 (60 tahun) ketua organisasi Islam tradisional
Nahdlatul Ulama (NU) desa Turi Gede, beliau memberikan keterangan bahwa
awalnya, di desa Turi Gede tidak ada sosok tokoh agama, atau sosok kyai yang
melakukan dakwah dan pengajaran agama Islam. Masyarakat Turi Gede tidak
mempunyai keinginan untuk nyantri (belajar agama Islam di pondok pesantren).
Hanya pada perkembangannya, ada sedikit orang yang belajar dipondok
pesantren.
Masyarakat Turi Gede merupakan masyarakat abangan. Waktu
pemerintahan Soekarno (Orde lama) terdapat ideologi merah yang diakui negara
yaitu komunis, dengan adanya PKI (Partai Komunis Indonesia). Masyarakat Turi
Gede (mulai tetua hingga keturunannya) khususnya penduduk dusun
Turi-Sambong merupakan (mantan) pengikut PKI. Jika menengok ulang sejarah, dusun
Turi Sambong merupakan basis kekuatan PKI, hingga di tahun 1965 terjadi
pemberontakan G30S/ PKI. Penganut-penganut PKI dibumi hanguskan oleh
12
30
pemerintah. Berjalannya waktu, pentolan-pentolan pengikut PKI beralih ke Islam
kejawen.
Menariknya, Dari berbagai macam Aliran Islam kejawen tersebut di desa
Turi Gede lahir kerohanian Sapto Darmo13(Ajaran kerohanian yang mengajarkan
tentang budi luhur manusia, membimbing manusia menuju kesempurnaan hidup
baik mental maupun spiritual), tetapi keberadaan mereka sangat tertutup.
Kepercayaan tersebut memiliki tujuh wewarah (kewajiban) yaitu:
A. Setia tuhu kepada Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha
Wasesa, Maha langgeng.
B. Dengan jujur dan suci hati, harus setia menjalankan perundang-undangan
negaranya.
C.Turut serta menyingsingkan lengan baju, menegakkan berdirinya Nusa dan
bangsanya.
D.Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu balasan,
melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih.
E. Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.
F. Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila beserta
halusnya budi pekerti, selalu merupakan penunjuk jalan yang mengandug jasa
serta memuaskan.
13Muhammad. Yusuf, “
31
G.Yakin bahwa keadaan dunia itu tiada abadi, melainkan selalu berubah-ubah
(Anyakra manggilingan).14
Berikut adalah diagram venn yang menjelaskan tentang keagamaan di
desa Turi Gede:
Gambar 4. : Diagram venn keagamaan desa Turi Gede
Sejarah berdirinya aliran kerohanian Sapto Darmo menurut cerita
yang diceritakan oleh Bapak Bambang Suhadmojo yang juga pengurus Sapto
Darmo wilayah Turi Gede, Sapto Darmo merupakan ajaran kerohanian yang
beberapa penelitian juga menyebutnya dengan aliran kerohanian15. Ajaran ini
pertama kali di pimpin oleh Hardjosopoero yang selanjutnya bergelar
penuntun agung Sri Gutama. Ajaran ini pertama kali turun dan berkembang di
dikampung pandean, gang koplakan yang terletak di Pare, Kediri, Jawa Timur
14
Sri Pawenang, Wewarah KerokhanianSapta Darma (Yogyakarta: Penerbit Surokarsan, 1962), 6. 15El Hafidi, As‟ad,
32
pada tanggal 27 Desember 1952. Organisasi yang menangani aliran ini yang
bernama persatuan warga Sapto Darmo (Persada) yang terbentuk pada tanggal
17 Maret 1986 di Yogyakarta. Dari apa yang di ceritakan Bambang
Suhatmodjo (54th) tidak ada yang tau pasti dari kapan ajaran Sapto Darmo
masuk wilayah Bojonegoro khususnya sampai di daerah Turi Gede. Saya
tidak tau kapan ajaran Sapto Darmo ini masuk ke wilayah Bojonegoro, tapi
yang saya tau sejak saya pindah ke Bojonegoro tahun 1978 ajaran Sapto
Darmo sudah ada di Bojonegoro. Saat itu saya masih menganut Kristen yang
taat, tapi setelah saya mendengar adanya ajaran Sapto Darmo tiba-tiba saya
tergetar dan tergugah untuk meyakini ajaran ini. Bagi saya tidak penting
kapan ajaran ini masuk wilayah Bojonegoro, yang penting bagi saya, saya
sudah menemukan apa yang saya cari untuk ketenangan hati saya.16
Masyarakat kecamatan Kepuh Baru berdasarkan data monografi Turi
Gede 2005. Agama yang dianut adalah agama Islam, Katholik. Di dusun Turi
Gede ini walaupun mayoritas penduduknya beragama Islam, pada dasarnya
banyak masyarakat kecamatan kepuh Baru yang merupakan Islam “Abangan”
atau beragamaIslam tetapi tidak menjalankan syari‟at agama Islam. Selain
agama Islam, agama Kristen, Katholik, di Turi banyak berkembang aliran
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun kelompok ini bukan
penganut agama akan tetapi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
16
33
merupakan suatu bentuk kebudayaan religi yang terus dikembangkan oleh
para penganutnya, sehingga mereka memiliki komunitas sendiri.
Sering kali dalam pendataan komunitas ini tidak tercatat hal ini karena
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa masih dianggap bukan agama,
sehingga dalam data-data yang ada mereka tercatat sebagai pemeluk agama
Islam. Untuk mempermudah dalam menjalankan ibadah kepada Tuhan Yang
Maha Esa maka di perlukan sarana ibadah . Sarana peribadatan untuk
agama-agama yang telah diakui oleh pemerintah.
Tetapi di dusun Turi Gede ini juga terdapat sarana ibadah untuk
penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang dinamakan
sanggar candi busana. Sanggar bagi pemeluk kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa selain digunakan sebagai sarana ibadah juga digunakan untuk
sarana perkumpulan bagi komunitas tersebut. Sanggar yang terdapat di desa
Turi ini merupakan satu- satunya sanggar yang ada di kecamatan kepuh Baru
bahkan sanggar ini merupakan sanggar pusat bagi warga Sapto Darmo di
wilayah Kepuh Baru.17
Upaya untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, para pemeluk agama di kecamatan Kepuh Baru membentuk kegiatan
keagamaan berupa perkumpulan-perkumpulan yang berhubungan dengan
masalah keagamaan misalnya untuk para pemeluk agama Islam mengadakan
perkumpulan majelis taklim. Pemeluk agama Budha, Kristen dan Katholik
17
34
mengadakan kegiatan remaja dan penyelenggaraan sekolah minggu, para
penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga mengadakan
perkumpulan keagamaan setiap hari kamis dan minggu yang dilaksanakan di
sanggar.
Sanggar Candi Busono Sebagai tempat ibadah warga Sapto Darmo
kegiatan kerohanian warga Sapto Darmo dalam melakukan kegiatan memiliki
tempat sendiri, meskipun bisa di lakukan di sanggar atau di lakukan di rumah.
Dalam pelaksanaannya warga Sapto Darmo lebih sering dilakukan di sanggar
tempat pasujudan warga Sapto Darmo disebut "Sanggar" dengan seorang
tuntunan yang ditunjuk sebagai pemimpin dan bertanggungjawab dalam
membina spiritual warga di sanggar tersebut. Warga Sapto Darmo mengenal
dua nama sanggar yaitu "Sanggar Candi Sapto Renggo" dan "Sanggar Candi
Busono". Sanggar Candi Sapto Renggo hanya ada satu di Yogyakarta, adalah
pusat kegiatan kerohanian Sapto Darmo. Sanggar Candi Busono adalah
sanggar yang tersebar didaerah-daerah.“untuk melakukan aktifitas kerohanian
warga Sapto Darmo biasanya kumpul di sanggar. Sanggar sendiri merupakan
tempat peribadatan bagi penganut ajaran Sapto Darmo. Tidak hanya untuk
sujudan saja, tapi juga sanggar di gunakan untuk berdiskusi dan ceramah
tentang apapun mengenai ajaran Sapto Darmo ini”.18 Di kota Bojonegoro
tidak begitu banyak sanggar Candi Busono. Lokasi sanggar ini sendiri berada
di daerah Kedung Adem. Di antara sanggar-sanggar tersebut ada yang sudah
18
35
dalam bentuk bangunan permanen dan ada juga yang masih semi permanen
atau menumpang di rumah warga. Hasil observasi dan penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa kegiatan kerohanian yang dilakukan tidak
terpusat pada tempat atau sanggar yang ada. Kegiatan kerohanian warga Sapto
Darmo dapat di lakukan di rumah pribadi dengan berbagai alasan, akan tetapi
akan menjadi lebih baik apabila bisa dilakukan di sanggar-sanggar yang ada.
2. Tokoh-tokoh yang berperan dalam masuknya Sapto Darmo di desa Turi
Gede
Perkembangan Sapto Darmo mulai mengalami kemajuan kembali terjadi
pada tahun 1978. Hal ini di tandai dengan bertambah banyaknya warga Sapto
Darmo, sehingga sanggar atau tempat peribadatan Sapto Darmo yang berada di
rumah Pak Suklar dianggap sudah tidak dapat menampung warga Sapto Darmo
yang melakukan peribadatan dan melakukan kegiatan. Sanggar yang berada di
rumah Pak Suklar biasa disebut dengan sebutan sanggar “Dompleng” yang di
dalam Bahasa Indonesia artinya adalah ikut. Jadi sanggar “dompleng” adalah
sanggar yang masih ikut atau menyatu dengan rumah tuntunan Sapto Darmo.
Dengan bertambahnya warga Sapto Darmo di dusun Turi Gede, kemudian
atas prakarsa sebelas orang yaitu :
A. Bapak Aryo, selaku tuntunan
B. Bapak Kunaidi
C. Bapak Bambang Suhadmodjo
36
F. Bapak Giri
G. Bapak Kasminto
H. Bapak Hadiwijoyo
I. Bapak Kunawi
J. Bapak Trowolojo
K. Bapak Supardjo
L. Bapak Jadi
Direncanakan pembangunan sanggar agar kegiatan warga dapat lebih
optimal. Tanah yang digunakan dalam pembangunan sanggar itu adalah tanah
pemberian dari kepala desa Kedung Adem. Perencanaan pembangunan Sanggar
itu dilaksanakan dengan rapat yang dihadiri oleh para pemrakarsa atau pencetus
ide pembangunan Sanggar. Dana yang digunakan berasal dari warga Sapto Darmo
dan juga bantuan dari sanggar pusat, yaitu Sanggar Sapto Renggo yang berada di
Yogyakarta. Sanggar yang berada di daerah dinamakan sanggar Candi Busana.
Pembangunan sanggar Candi Busana dilakukan dengan cara gotong royong antar
warga Sapto Darmo dimana pada waktu itu sudah mulai bertambah banyak.
Suasana gotong royong pembangunan sanggar Candi Busono pada tahun 1978.19
Setelah didirikan sanggar Candi Busono di Kedung Adem ini merupakan
sanggar satu- satu yang digunakan oleh warga Sapto Darmo di daerah kabupaten
Bojonegoro. Berbagai kegiatan dilakukan disini misalnya kegiatan perkumpulan
19
37
para warga KSD yang dilaksanakan pada malam Jum‟at wage,20kegiatan remaja
yang dilaksanakan pada hari minggu dan perkumpulan wanita yang dilaksanakan
pada hari Jumat wage, dan berbagai kegiatan pada saat peringatan hari-hari yang
penting dalam kerohanian Sapto Darmo.
Dalam perjalanan menyebar luaskan ajaran Sapto Darmo Hardjosopoero,
singgah dari Kota ke Kota. Salah satu Kota yang disinggahinya adalah
Bojonegoro. Hardjsopoero singgah di desa Mintomulyo di rumah Kepala Desa,
bernama Jokosuseno pada tahun 1958. kedatangan Hardjosapuro menyampaikan
ajaran Sapto Darmo di Kecamatan Kepuh Baru pertama kali disampaikan
kepada Pak Dargo yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala desa Turi Gede,
Pak Kunadi, Pak Giridan Pak Trojowolo, dari keempat orang inilah ajaran Sapto
Darmo mulai disebarkan di daerah kecamatan Kepuh Baru.21 Perkembangan
Sapto Darmo dikecamatan Kepuh Baru dapat dilihat dari :
A. Perkembangan Warganya
Di dalam Sapto Darmo pengikut atau penganut ajaran ini disebut sebagai
warga Sapto Darmo. Sejak masuk dan dikenalnya ajaran Sapto Darmo di
Kecamatan kepuh baru, masyarakat yang menjadi warga Sapto Darmo pada tahun
2005 bekisar antara 300 sampai 400 orang. Warga yang hanya mengenal
kepercayaan yaitu orang yang masuk Sapto Darmo dan sebelumnya tidak pernah
20
Ibid., 17. 21
38
mengenal agama apapun. Jadi orang tersebut pada dasarnya hanya mengenal
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.22
Di dalam Sapto Darmo warga juga dibedakan menurut keaktifan dalam
peribadatanny. Warga Sapta Darma yang menjalankan sujud dan juga aktif dalam
berbagai kegiatan yang diadakan oleh Sapto Darmo. Jadi warga Sapto Darmo
yang tidak aktif biasanya dapat dilihat pada waktu perayaan hari besar Sapto
Darmo yang jatuh pada malam 1 Suro dalam penanggalan Jawa, atau malam 1
Hijriah dalam penanggalan Islam. Jumlah warga aktif berkisar antara seratus
hingga seratus lima puluh orang, sedangkan warga yang tidak aktif jumlahnya
lebih banyak yaitu dua ratus orang lebih.23ṣ
Perkembangan warga Sapto Darmo di Turi Gede mengalami kemunduran
pada tahun 1965. Hal ini disebabkan karena adanya Pemberontakan G-30-S/PKI,
pada tahun ini masyarakat mulai masuk kedalam agama-agama yang telah diakuai
oleh pemerintah, karena pada saat itu masyarakat yang tidak memeluk satu agama
dianggap sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia). Walaupun demikian para
warga Sapto Darmo di daerah Turi Gede tetap menjalankan kegiatan peribadatan
dibawah tuntunan Pak Suklar, yaitu penuntun Sapto Darmo pertama di desa Turi
Gede ini.
Sapto Darmo di kecamatan Kepuh Baru pada waktu itu juga mengalami
pengawasan dari pihak kepolisian. Akan tetapi karena ajarannya dianggap tidak
melenceng atau sesat, maka ajaran ini diberi ijin dan dibiarkan berkembang.
22
Kasminto, Wawancara, Bojonegoro, 29 November 2014. 23
39
Didalam organisasi Sapto Darmo sebenarnya tiap warganya tidak memiliki ikatan,
keluar masuk menjadi warga Sapto Darmo adalah suatu kebebasan. Hanya setelah
G-30-S PKI, harus diadakan penelitian bagi warga yang baru, misalnya tanda
bersih diri, kartu tanda penduduk dan siapa yang bertanggung jawab dan
lain-lain.24
Perkembangan Sapto Darmo mulai mengalami kemajuan kembali terjadi
pada tahun 1978. Hal ini di tandai dengan bertambah banyaknya warga Sapto
Darmo, sehingga sanggar atau tempat peribadatan Sapto Darmo yang berada di
rumah Pak Suklar dianggap sudah tidak dapat menampung warga Sapto Darmo
yang melakukan peribadatan dan melakukan kegiatan. Sanggar yang berada di
rumah Pak Suklar biasa disebut dengan sebutan sanggar “Dompleng” yang di
dalam Bahasa Indonesia artinya adalah “ikut”. Jadi sanggar “dompleng” adalah
sanggar yang masih ikut atau menyatu dengan rumah tuntunan Sapto Darmo.
Direncanakan pembangunan sanggar agar kegiatan warga dapat lebih
optimal.25
Tanah yang digunakan dalam pembangunan sanggar itu adalah tanah
pemberian dari kepala desa kedungadem. Perencanaan pembangunan sanggar itu
dilaksanakan dengan rapat yang dihadiri oleh para pemrakarsa atau pencetus ide
pembangunan Sanggar. Dana yang digunakan berasal dari warga Sapto Darmo
dan juga bantuan dari sanggar pusat, yaitu sanggar Sapto Renggo yang berada di
Yogyakarta. Sanggar yang berada di daerah dinamakan sanggar Candi Busana.
24
Husaini Punomo Setiady dan Usman, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 27. 25
40
Pembangunan sanggar Candi Busana dilakukan dengan cara gotong royong antar
warga Sapto Darmo dimana pada waktu itu sudah mulai bertambah banyak.
Suasana gotong royong pembangunan sanggar Candi Busono pada tahun 1978
Setelah didirikan sanggar Candi Busono di Kedung Adem ini merupakan
sanggar satu- satu yang digunakan oleh warga Sapto Darmo di daerah kabupaten
Bojonegoro. Berbagai kegiatan dilakukan disini misalnya kegiatan perkumpulan
bapak-bapak yang dilaksanakan pada malam Jumat wage, kegiatan remaja yang
dilaksanakan pada hari Minggu dan perkumpulan wanita yang dilaksanakan pada
hari Jumat wage, dan berbagai kegiatan pada saat peringatan hari-hari yang
BAB III
AJARAN DAN RITUAL SAPTO DARMO TURI GEDE, BOJONEGORO
A. Organisasi Masyarakat Sapto Darmo
Masyarakat desa Turi Gede khususnya ibu-ibu rumah tangga telah memiliki
organisasi tersendiri, yaitu organisasi PKK. Adapun struktur kepemimpinan
keorganisasian PKK1, Antara lain :
Tabel 4. : Kepemimpinan Keoorganisasian PKK
No Periode Nama KetuaPKK Keterangan
1 1880-1924 Hj. Tasmining
7 1998-2006 Lilis Puspita Sari
Kepala Pengurus
Turi Gede
8 2006-2007 Dewi Anbar Wati Kepala Pengurus
1
42
Turi Gede
9 2007-Sekarang Nurul Sa’adah
Kepala Pengurus
Turi Gede
Organisasi PKK di desa Turi Gede memilki kepengurusan yang aktif hingga
saat ini dengan kegiatan yang terjadwal yakni kegiatan arisan dan untuk simpan
pinjam (Program Koperasi Wanita) pertanggal 14 dan 30 setiap bulannya.
Kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung di Balai desa. Selain itu, organisasi yang
diikuti ibu-ibu yang menjadi kader yakni posyandu balita, lansia dan kelas Ibu
hamil setiap satu bulan sekali, untuk mengisi waktu santai sehari-hari ibu-ibu biasa
kumpul mengobrol disalah satu rumah warga. Sementara kegiatan bapak-bapak
selain beberapa tergabung dalam HIPARI, Bapak-bapak diselang waktu istirahat
biasa „jagongan’ di warung membeli kopi kemudian melakukan obrolan-obrolan
mulai dari topik obrolan yang santai hingga berat (politik, desa, ekonomi, pertanian
dan sebagainya).2
Organisasi remaja yang terlihat mencolok hanya pencak silat, antara lain
perguruan SH (Setia Hati) dan perguruan KS (Kera Sakti). Organisasi tersebut
berkegiatan setiap hari sabtu malam minggu). Banyak masyarakat sekitar
khususnya pemuda Turi masuk kedalam organisasi Tersebut.
2
43
B. Ajaran pokok Agama Sapto Darmo3
Ada 12 Ajaran Sapto Darmo, Diantaranya :
1. Sujud
Warga sapto darmo diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam)
sedikitnya sekali. Tata cara sujud yaitu: duduk tegak menghadap ketimur ( jawa:
wetan, yang mengandung arti kawitan
= asalmula). Artinya pada waktu sujud
manusia harus menyadari/ mengetahui
asalnya. Bagi pria duduk bersila, dapat
dilakukan dengan sila tumpang (kaki
kiri dibawah kaki kanan diatas), dapat
sila jajar (kaki kiri di dalam/
dibelakang kaki kanan didepan/ diluar.
Bagi wanita duduk bertimpuh, ibu
jari kaki kiri ditindih ibu jari kaki
kanan. Tangan bersidakep, tangan kiri
memegang lengan kanan di atas siku
kemudian diikuti tangan kanan memegang lengan kiri diatas siku (tangan kiri
didalam, tangan kanan diluar).
Selanjutnya menenangkan badan dan pikiran, mata melihat kedepan kesuatu
titik yan terletak lebih kurang dari 1 meter ditanah / tikar, tepat didepanya dari
3
Sekertariat Tuntunan Agung kerohanian, Sejarah Penerimaan wahyu Wewarah Sapta Darma
44
tempat duduk (tulang kedudukan/tulang ekor). Kepala dan punggung (tulang
belakang) segaris lurus, sehingga duduknya tampak tegak lurus. Bila telah tenang
dan tentram, mulai mersakan getaran kasar(getaran pertama) naik dari bawah
keatas, maka pertandanya kepala terasa berat, kemudian getaran menurun menutup
mata.4 Setelah mata tertutup akibat turunya getaran, maka getaran itu mencul lagi
sampai kemulut (bibir terasa tebal). Selanjutnya, ada tanda-tanda lidah terasa dingin
seperti kna angin (pating trecep: jawa)dan keluar air liur, kemudian air liur ditelan,
lalu mengucap didalam hati/batin: “ALLAH HYANG MAHA AGUNG, ALLAH
HYANG MAHA ROHIM, ALLAH HYANG MAHA ADIL”.
Sebenernya sujud menurut Wewarah tersebut diatas bila didalami dan diteliti
sungguh-sungguh, membimbing jalanya getaran air suci yang tersaring berulang
kali serta membimbing jalannya sinar cahaya Allah yang meliputi seluruh tubuh,
diedarkan merata sampai ke sel-sel yang sedalam-dalamnya dan besar sekali
manfaat dan gunanya.
Yang perlu dimengerti ialah: apakah sebenarnya getaran sinar cahaya serta air
suci itu? Dari mana asalnya ? dan dimana tempatnya? Getaran atau sinar cahaya
Allah yang digambarkan bewarna hijau maya dalam simbol pribadi manusia atau
yang meliputi seluruh tubuh /pribadi manusia. Bersatu padunya getaran sinar
cahaya dengan getaran air suci yang merambat berjalan halus sekali keseluruh
tubuh menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali. Daya kekuatan ini disebut
4Tri Madiyono, “
45
atom berjiwa yang ada pada pribadi manusia. Jadi kekuatan ini mempunyai arti dan
guna besar sekali bagi kehidupan manusia5, seperti:
- Dapat memberantas kuman-kuman penyakit dalam tubuh.
- Dapat menentramkan/menindas nafsu angkara (pengendalian diri).
- Dapat mencerdaskan pikiran.
- Dapat memiliki kewaspadaan/kawaskitan, seperti kewaskitaan akan
penglihatan, pendengaran, tutur kata atau percakapan, serta kewaskitaan rasa6.
2. Racut
Racut berarti memisahkan rasa dengan perasaan (pangrasa: jawa), dengan
tujuan menyatukan diri dengan sinar sentral atau roh suci bersatu dengan sinar
setral. Ini berarti pada waktu racut dapat digunakan menhadapkan Hyang Maha
Suci/ roh suci manusia kehadapan Hyang Maha Kuasa. Jadi selagi kita masih hidup
di dunia, supaya berusaha dapat menyaksikan dimana dan bagaimana tempat kita
kelak bila kembali kealam abadi / langgeng. Dengan demikian benarlah apa yang
tersirat dalam kata-kata “ MANUSIA HARUS DAPAT DAN BERANI MATI
DIDALAM HIDUP, SUPAYA DAPAT MENGTAHUI / MENGENAL RUPA
DAN RASANYA”, bahasa aslinya (jawa) “ WANIA MATI SAJRONING URIP
KAREBEN WERUH RUPALAN RASANE”7
. Maksudnya yang dimatikan adalah
5
Sekertariat Tuntunan Agung. Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma. (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga, 2010), 167.
6
Tri Madiyono, “ Sapto Darmo dalam pandangan Islam Bag.1”, dalam http://ibnuramadan.wordpress.com/10/08/06 (17 Juni 2001).
7
46
alam pikiran / angan-angan atau gagasannya, sedang rasanya tetap hidup.maka
sewaktu racut, kita dapat mengetahui roh kita sendiri naik kealam abadi
(surga)menghadap Hyang Maha Kuasa. Dan sebaliknya roh kita dapat mengetahui
jasmani yang kita tinggalkan sementara terbaring dibawah.
Mengingat racut merupakan penghayat pekerjaan yang cukup rumit, maka
memerlukan latihan yang penuh kesabaran, dengan ketelitian dan kesungguhan
serta ketekunan.8 Latihan racut dilakukan disanggar dalam sujud penggalian,
selanjutnya dapat dilakukan disanggar atau dirumah sendiri. Racut ini tidak
memungkinkan seseorang memiliki kewaskitaan yang tinggi. Racut ini tidak
membahayakan, karena hanya Hyang Maha Suci yang menghadapi Hyang Maha
Kuasa, sedang saudara sebelas yang lain masih tetap menjaga tubuh/ badan,
karenanya maih bernapas dan menerima rangsangan dari luar melalui indera tetapi
tidak dirasakan / tanggapi.
3. SIMBOL PRIBADI MANUSIA, WEWARAH TUJUH DAN SUSANTI
Simbol berarti gambar atau lambang. Simbol Sapto Darmo (simbol pribadi
manusia) menggambarkan asal mula terjadinya, sifat serta pribadi manusia. Di
samping itu juga mengandung petunjuk bagaiman aharus berdarma / berbuat dan
kemana tujuan hidup manusia9.
Wewarah tujuh (sapto darmo):
a. Setia tuhu kepada adanya pancasila.
8
MohMuhaimin, Skripsi Ritual yang dilakukan oleh kelompok Sapto Darmo. (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), 63.
9
47
b. Dengan jujur dan suci hati, harus setia melaksanakan perundang-undagan
negaranya.
c. Turut serta menyingsingkan lengan baju, menegakkan berdirinya nusa dan
bangsanya.
d. Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu balasan,
melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih.
e. Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.
f. Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila beserta
halusnya budi pekerti, selalu
merupakan penunjuk jalan yang
mengandung jasa serta
memuaskan.
g. Yakin bahwa keadaan duia itu
tiada abadi, melainkan selalu
berubah-ubah (hanyakra
manggilingan).
Susanti (semboyan) yang
selengkapnya berbunyi “ING
NGENDI BAE MARANG SAPA BAE WARGA SAPTO DARMO KUDU
SUMUNAR PINDHA BASKARA” artinya dalam bahasa indonesia: “DiMANA