NIKAH SIRRI DENGAN WALI KAKAK TIRI MENURUT
PERSPEKTIF TOKOH AGAMA DAN TINJAUAN
HUKUM ISLAM
(Studi Kasus di Desa Grogol, Kelurahan Dukuh, Kecamatan
Sidomukti, Kota Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Disusun Oleh:
YUNI SETIYANINGSIH
211.12.027
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI‟AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
ABSTRAK
Setiyaningsih, Yuni. 2017. Nikah Sirri Dengan Wali Kakak Tiri Menurut
Perspektif Tokoh Agama dan Tinjauan Hukum Islam (Studi Kasus Desa Grogol, Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga) Tahun 2017. Skripsi. Fakultas
Syari‟ah. Program Studi Ahwal al Syakhshiyyah. Institut
Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra.Siti Zumrotun, M.Ag.
Kata Kunci : Pernikahan sirri, wali, Hukum Islam.
Pernikahan adalah sunatullah yang merupakan salah satu perintah Allah kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya, sebab dengan adanya pernikahan akan menghindarkan dari perbuatan zina. Dalam pernikahan menurut agama Islam ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi, diantara rukun pernikahan itu diantaranya adalah wali nikah. Pernikahan tanpa adanya wali nikah maka nikahnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam yang
mebahas mengenai wali dalam pasal 19 yang berbunyi: “ wali nikah dalam
perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak untuk minikahkannya”. Kasus yang terjadi di Desa Grogol ada
beberapa warg yang melakukan praktek nikah sirri dengan wali kakak tiri, dimana dalam hal tersebut diatas wali kakak tiri bukan termasuk kedalam wali nasab. Dari kasus tersebut peneliti tertarik untuk meneliti mengapa praktek nikah sirri bisa terjadi di Desa Grogol, bagaimana persepsi masyarakat dan tokoh agama mengenai nikah sirri dengan wali kakak tiri, bagaimana tinjauan hukum Islam tentang wali nikah kakak tiri.
Jenis penelitian yang di gunakan peneliti adalah penelitian kualitatif, prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang atau pelaku yang di amati. Peneliti juga menggunakan pendekatan deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan segala aspek yang berhubungan dengan kasus yang akan di teliti, dalam penelitian ini kasusnya adalah nikah sirri dengan wali kakak tiri.
DAFTAR ISI
C. DASAR HUKUM
1. Al Qur‟an ... 22
2. Hadits ... 24
D. KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN ... 26
E. SYARAT-SYARAT WALI NIKAH ... 31
F. MACAM-MACAM WALI ... 32
G. ORANG YANG BRHAK MENJADI WALI NIKAH ... 35
H. URUTAN HAK PERWALIAN ... 37
I. KONSEKUENSI HUKUM DI INDONESIA TERHADAP TIDAK TERPENUHINYA WALI DALAM PERNIKAHAN ... 39
BAB III PRAKTEK NIKAH SIRRI DENGAN WALI KAKAK TIRI DAN PERSEPSI TOKOH AGAMA DI DESA GROGOL A. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN DI DESA GROGOL KELURAHAN DUKUH 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 42
2. Hasil Wawancara Pelaku Pernikahan Sirri di Desa Grogol ... 49
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nikah Sirri ... 54
4. Alasan Wali Nikah Kakak Tiri ... 56
5. Alasan Ustadz... 58
6. Persepsi Masyarakat dan Tokoh Agama tentang Pernikahan Sirri ... 60
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERSPKTIF TOKOH AGAMA DESA GROGOL TERHADAP KASUS NIKAH SIRRI TERHADAP WALI NIKAH KAKAK TIRI A. WALI NIKAH KAKAK TIRI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ... 66
B. ANALISIS PENDAPAT TOKOH AGAMA TERHADAP PRAKTEK NIKAH SIRRI DENGAN KAKAK TIRI ... 71
A. Kesimpulan ... 76
B. Saran ... 77
DATAR PUSTAKA... 78
DAFTAR TABEL
1. Tabel I fasilitas pendidikan di Desa Grogol
2. Tabel II daftar mata pencaharian masyarakat Desa Grogol
3. Tabel III jumlah penduduk berdasarkan agama
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar riwayat hidup
2. Surat penunjukan pembimbing skripsi
3. Surat ijin penelitian
4. Surat rekomendasi penelitian dari KESBANGPOL
5. Daftar nilai SKK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah sunatullah yang merupakan salah satu perintah
Allah kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya, sebab dengan
adanya perkawinan akan menghindarkan dari perbuatan zina. (Ali,2006:7).
Kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya interaksi satu
dengan yang lainnya yang terkumpul dalam suatu hubungan sosial atau
masyarakat yang dimaksud disini adalah keluarga. Keberadaan keluarga
sebagai inti dari masyarakat terbentuk dan diawali dengan adanya sebuah
perkawinan atau pernikahan. Perkawinan merupakan muara atas rasa
saling kasih dan mencintai antara lelaki dan perempuan yang diciptakan
oleh Tuhannya. Sudah menjadi qadrat dan iradah Allah manusia
diciptakan saling berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah mempunyai
keinginan untuk berhubungan antara lelaki dan perempuan.
(Ghazaly,2003:27).
Tidak hanya itu, perkawinan merupakan salah satu perintah dalam
agama, dimana sebagai umat Islam yang memiliki Al-qur‟an dan Al-
hadist sebagai pedoman yang harus diikuti aturannya. Selain itu,
perkawinan bertujuan untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman,
memenuhi kebutuhan biologis, dan berlatih bertanggung jawab. Hal ini
mendapatkan kehidupan rumah tangga yang tenang dan tentram, berikut
firman Allah dalam Surat Ar-ruum ayat 21 yang berbunyi:
“ Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-NYA ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-NYA diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda kaum yang berfikir” .( Q S.
Al-Ruum:21 ).
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan telah menyebutkan bahwa” Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa”. Selain itu juga dalam referensi yang berbeda,
dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan tujuan pernikahan
bahwa „perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawadah, dan rahmah‟. Sehingga Allah Swt memberikan
aturan berupa hak dan kewajiban dalam rumah tangga.
Tujuan pernikahan dapat tercapai dengan baik apabila suami dan
istri mau menjalankan kewajibannya, dan memperhatikan tanggung
Sehingga dapat tercapai atau sempurnanya kebahagiaan dalam rumah
tangga. Kewajiban suami merupakan hak istri dan sebaliknya, kewajiban
istri merupakan hak suami. (Amir, 2006:159)
Untuk mencapai tujuan perkawinan syarat sah perkawinan harus
diperhatikan baik menurut agama maupun hukum yang berlaku di daerah
atau negara tersebut. Syarat perkawinan merupakan dasar dari sah nya
perkawinan. Dalam fiqh sunnahnya, Sayyid Sabiq menyebutkan ada dua
syarat sahnya perkawinan, pertama perempuannya halal dikawini oleh
laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Kedua, akad nikahnya dihadiri
para saksi. (Sabiq, 1990:12).
Dalam pernikahan menurut agama islam ada beberapa syarat dan
rukun yang harus dipenuhi, diantara rukun perkawinan itu salah satunya
adalah wali nikah. Wali nikah yaitu orang yang menikahkan seorang
wanita dengan seorang pria. Wali nikah dalam perkawinan merupakan
rukun yang yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahkannya. Pernikahan tanpa adanya wali nikah
maka pernikahaanya tidak sah. (Zainudin, 2012:54).
Hal ini sesuai dengan KHI pasal 19 yang membahas tentang wali
nikah yang berbunyi:
“wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab, yaitu wali yang
mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita. Dalam
keadaan tertentu wali nasab boleh digantikan oleh wali hakim, yaitu
petugas pencatat nikah jika wali nasab tersebut tidak mau ditemukan.
Demikian pula, jika wali nasab tidak mau atau tidak bersedia menikahkan
calon mempelai wanita, maka wali hakimlah yang bertindak untuk
menikahkannya.(Saleh,2008:300)
Status wali nikah dalam hukum perkawinan merupakan rukun yang
menentukan sahnya akad nikah. Seseorang yang menjadi wali nikah harus
memenuhi syarat wali nikah, yaitu laki-laki, dewasa (baligh), mempunyai
hak perwalian dan tidak terdapat halangan perwalian. Seperti yang ada
dalam KHI pasal 20 ayat 1 “yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, akil
dan baligh.
Adapun yang berhak menjadi wali nikah menurut pandangan islam
adalah ayah dari mempelai perempuan, dan apabila dalam keadaan tertentu
wali mempelai perempuan tidak bisa menjadi wali nikah karena meninggal
atau berada ditempat yang jauh atau bahkan ghaib maka yang berhak
menjadi wali adalah kakek. Apabila kakeknya tidak ada juga maka
berpindah kepada derajat yang lebih jauh yakni saudara laki-laki kandung
dari calon mempelai perempuan dengan syarat beragama islam, adil,
baligh dan jika saudaranya yang laki-laki tidak ada maka bisa beralih pada
yang akan menjadi wali itu tidak ada juga maka saudara laki-laki dari ibu
calon mempelai wanita dengan syarat mengerti tentang hukum munakahat
atau yang disebut juga dengan hakam atau orang lain yang terpandang dan
disegani, ilmu luas tentang munakahat, adil, islam, dan laki-laki yang
disebut dengan wali muhakam. (Ramulyo,1996:216).
Rukun dan syarat pernikahan yang tidak terpenuhi maka
pernikahan tersebut tidak sah atau batal. Dalam pembahasan ini yang
menjadi pembahasan adalah wali nikah yang tidak terpenuhi. Dalam
pernikahan keberadaan wali nikah sangat penting karena menentukan sah
atau tidaknya suatu pernikahan.
Yang menjadi dasar hukum dalam masalah ini adalah hadist Nabi
Muhammad SAW yaitu :
يِلَوِب َّلاِإ َحاَكِن َلا : ِللها ُلْوُسَر َلاَق : َلاَق ِّيِرَعْشَلأا ىَسْوُم ِْبَِأ ْنَع
Dari Abu Musa al-Asy‟ari berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak
sah pernikahan kecuali dengan wali”. (Hadist Abu Musa al Asy‟ari)
(Ramulyo, 2000:3)
Desa Grogol merupakan salah satu desa yang terdapat di Kota
Salatiga yang tepatnya berada di kecamatan Sidomukti. Penduduk desa
Grogol masyarakatnya mayoritas beragama islam. Fenomena yang terjadi
akhir-akhir ini adalah maraknnya pernikahan yang dilakukan dengan sirri
dengan pernikahan siri yang lainnya yaitu pernikahan siri yang dilakukan
dengan wali nikah kakak tiri. Dalam agama sudah diatur jelas tentang
syarat dan rukun pernikahan, diantaranya dalam Kompilasi Hukum Islam
sudah dijelaskan dalam pasal 22 tentang wali, disitu sudah dijelaskan siapa
saja yang berhak menjadi seorang wali dalam pernikahan. Dalam hal itu
wali yang bukan wali nasab tidak diperbolehkan menjadi wali dalam
pernikahan tersebut sekalipun itu dengan menikah sirri, walaupun begitu
menikah siri adalah sah menurut agama walaupun tidak dicatatkan dalam
negara. Tetapi dalam kenyataannya di desa Grogol tersebut terjadi
pernikahan siri yang dilakukan dengan wali nikah kakak tiri. Dan uniknya
lagi kenapa naib tersebut mau menikahkan dengan wali yang bukan wali
kandung. Dalam hal ini peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana praktek
pernikahan tersebut dan bagaimana tinjauan hukum islam terhadap wali
nikah kakak tiri. Skripsi ini sangat menarik karena pada faktanya menikah
dengan wali yang bukan nasabnya tidak diperbolehkan akan tetapi itu
dilakukan oleh keluarga tersebut, kemudian berangkat dari latar belakang
masalah tersebut penulis tertarik untuk ,meneliti masalah tersebut ke dalam
sebuah skripsi yang berjudul:
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan
permasalahan penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengapa praktek nikah sirri dengan wali kakak tiri bisa terjadi di desa
Grogol?
2. Bagaimana persepsi masyarakat atau tokoh agama (ustaz) dengan
pernikahan sirri dengan kakak tiri tersebut?
3. Bagaimana tinjauan hukum islam tentang wali nikah kakak tiri?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai
adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana praktek nikah itu dilakukan.
2. Untuk mengetahui alasan apa yang digunakan ustaz saat menikahkan
pengantin tersebut.
3. Untuk mengetahui pandangan tokoh agama Desa Grogol mengenai
praktek nikah sirri dengan wali nikah kakak tiri.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat dan kegunaan dari penelitian ini diantaranya
sebagai berikut:
1. Penelitian ini sangat bermanfaat untuk memperkaya keilmuan
khususnya dalam Hukum Islam.
2. Sebagai wawasan kepada masyarakat yang lebih luas tentang
kedudukan seorang wali dalam pernikahan.
3. Sebagai wawasan kepada masyarakat untuk lebih mematuhi peraturan
dalam agama maupun negara.
E. Penegasan Istilah
1. Wali
Wali ialah suatu ketentuan hukum yanng dapat dipaksakan
kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya (Sabiq,1981:07)
Wali adalah orang yang menurut hukum (agama, adat) pengasuh
pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang melakukan janji
nikah dengan pengantin laki-laki (Ghazaly,2006:15).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:1007), wali
diartikan sebagai pengasuh pengantin perempuan ketika menikah
yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan lelaki.
Dapat disimpulkan bahwa wali dalam pernikahan adalah
2. Nikah sirri
Nikah sirri merupakan suatu istilah yang terbentuk dari dua kata,
yaitu nikah dan sirri. Kata nikah merupakan kata serapan dari bahasa
Arab, yaitu nakaha, yankihu, nikahaan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia nikah atau perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan
perempuan untuk bersuami istri. Dan kata sirri berasal dari bahasa
Arab yaitu sirran dan sirriyyun. Secara etimologi kata sirran berarti
secara diam-diam atau tertutup, secara batin, atau di dalam hati.
Sedangkan kata sirriyyun berarti secara rahasia,secara
sembuny-sembunyi, atau misterius. Kata nikah sirri sebagai kesatuan dari dua
kata (nikah dan sirri) yang dalam kalangan umat islam di Indonesia
sudah populer (Nurhaedi,2003:5-6).
3. Kakak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kakak berarti saudara
tua atau panggilan kepada orang (laki-laki atau perempuan) yanng
dianggap lebih tua.
F. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki tema besar
yang sama dengan penulis, namun yang menjadikan penelitian ini berbeda
adalah fokus penelitian. Dalam penelitian sebelumnya seperti skripsi dari
salah satu mahasiswaa IAIN Chusaeni Rafsanjani Assadami yang
tersebut beliau memfokuskan penetapan wali nikah hasil nikah sirri dan
alasan PPN kecamatan Bandungan mencatatkan wali hakim.
Penelitian yang lain adalah hasil skripsi mahasiswa IAIN juga yang
bernama Alim Rois dengan judul “Perkara Perpindahan Perwalian Dari
Wali Nasab Kepada Wali Hakim Karena Wali Adhol”. Beliau
memfokuskan dasar yang digunakan majelis hakim untuk menetapkan
adholnya wali adalah bukti-bukti serta fakta-fakta hukum yanng berkaitan
dengan perkara tersebut. Dan analisis putusan Penngadilan Agama
ditinjau dari hukum fiqh.
Dan penelitian yang ke tiga juga dari mahasiswa IAIN juga yang
bernama Muhammad Sulhi Mahbub dengan judul “Upaya Pembatalan
Pernikahan Atas Kesalahan Penetapan Wali Hakim Oleh Wali Nasab”
(Studi kasus pernikahan dengan akta 04/04/I/2012 di KUA Kecamatan
Pabelan). Beliau memfokuskan penelitian pembatalan pernikahan karena
penetapan wali hakim oleh wali nasab di KUA Kecamatan Pabelan. Dan
upaya yang dilakukan wali nasab mengenai kesalahan kesalahan
penetapan wali hakim.
Sedangkan penulis mengambil judul “Nikah Sirri Dengan Wali
Kakak Tiri Menurut Persektif Hukum Islam (Studi kasus Desa Grogol
Kota Salatiga)”. Fokus penelitian adalah bagaimana menurut hukum
islam tentang wali nikah kakak tiri. Sehingga walaupun memiliki tema
besar yang sama yaitu menngenai wali tetapi memiliki fokus penelitian
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan (field
research) yaitu penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif guna
memperoleh gambaran yang jelas dan dapat memberikan data yang
detail tentang obyek yang diteliti.
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang
utama dan penting karena seorang peneliti secara langsung
mengumpulkan data yang ada dilapangan.
3. Lokasi Penelitian
Dalam hal ini lokasi penelitian di lakukuan di desa Grogol
kelurahan dukuh kota Salatiga.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer
yaitu sumber yang langsung memeberikan data kepada peneliti,
sumber data ini meliputi para pihak yang terlibat dalam melakukan
pernikahan ini yang terdiri dari mempelai pria,wanita,wali,dan juga
naib yang menikahkan.
b. Sumber data sekunder
5. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data tidak lain
dari suatu proses penngadaan data primer untuk keperluan penelitian
(Nazir, 1988:21).
Dalam pengumpulan data disini, peneliti menggunakan beberapa
metode, yaitu:
a. Interview (wawancara)
yaitu proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan diantara 2 orang atau lebih betatap muka,
mendengarkan secara langsung informasi atau keterangan.
Adapun wawancara ini dilakukan terkait dengan penelitian
adalah pihak-pihak yang melakukan pernikahan pernikahan
tersebut yaitu naib pengantin laki-laki dan perempuan serta wali.
b. Dokumentasi
yaitu mengumpulkan data-data dari para pihak yang
bersangkutan.
6. Analisis Data
Seluruh data penelitian yang telah dikumpulkan ataupun
diperoleh, dianalisa secara kualitatif dengan cara mengambarkan
masalah secara jelas dan mendalam. Jenis analisis yang akan peneliti
penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa,
kejadian yang terjadi sekarang. Metode diskripsi kualitatif dalam
penelitian ini yaitu dengan mengambarkan keadaan yang sebenarnya
terjadi dilapangan untuk mengemukakan fakta-fakta atau kennyataan
dari hasil penelitian di desa grogol kota Salatiga, kemudian diteliti
sehingga ditemukan pemahaman yang terkait dengan adanya
pernikahan yang dilakukan dengan wali yang bukan wali yang
seharusnya menikahkan.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penalitian ini penulis mencoba menguraikan secara
sistematis yang terdiri dari lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub
bab yang terperinci sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan
istilah, tinjaun pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Kajian pustaka dalam bab ini akan menguraikan tentang
pengertian nikah pernikahan, pengertian nikah sirri, pengertian wali, dasar
hukum, kedudukan wali dalam perkawinan,syarat-syarat wali,
macam-macam wali, orang yang berhak menjadi wali, urutan hak Perwalian,
konsekuensi hukum di Indonesia terhadap tidak terpenuhinya wali dalam
BAB III: Berisi tentang gambaran umum Desa Grogol dan hasil
penelitian yang mengambarkan tentang praktik pernikahan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan yang mencakup
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya nikah sirri, kenapa
menggunakan wali kakak tiri, alasan ustaz menikahkan pasangan tersebut,
alasan wali kakak tiri, dan persepsi masyarakat mengenai pernikahan sirri.
BAB IV: Pertama berisi tentang analisis terhadap faktor pendorong
pernikahan sirri di Desa Grogol, kedua analisis mengenai pendapat
masyarakat dan tokoh agama di desa grogol, tinjauan hukum Islam
tentang nikah sirri dengan wali kakak tiri.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan
1. Pengertian Penikahan
a. Pengertian Pernikahan
Dalam Islam perknikahan atau perkawinan dalam bahasa Arab
disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi‟ dan dammu wa
al-jam’u yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad. Akad yang
ditetapkan oleh syar‟i agar seseorang laki-laki dapat mengambil
manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau
seballiknya.
Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 yang
termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 2 dikatakan
pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau miitsaqon ghalidhan
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
(nurrudin, 2004:42)
Menurut mahzab Hanafiah nikah adalah akad yang memberikan
sadar bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna
mendapatkan kenikmatan biologis. Sedangkan menurut mahzab Maliki,
nikah adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad yang
dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual)
semata-mata. Mahzab Syafi‟iyah berpendapat bahwa nikah dirumuskan
dengan akad yang menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan
menggunakan lafal “inkah atau tazwij” atau makna dari keduanya.
Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan nikah dengan akad yang
dilakukan dengan menggunakan kata inkah dan tajwiz guna
mendapatkan kesenangan(bersenang-senang). (Summa, 2004:45)
b. Tujuan pernikahan
Menurut Islam tujuan pernikahan atau perkawinan di jelaskan
dalam surat ar-ruum ayat 21 yang berbunyi:
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
Jika dilihat dari Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974
tujuan pernikahan dijelaskan pada pasal 1 yang berbunyi membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sedangkan tujuan pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam
dalam pasal 3 adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah. (Hussein, 2007:101)
c. Rukun dan Syarat Pernikahan
Dalam Islam menjelaskan bahwa dalam pernikahan harus ada:
Calon suami
Calon istri
Wali nikah
Saksi nikah
Ijab qabul
Sedangkan dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menjelaskan
tentang syarat perkawinan adalah sebagai berikut:
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak
(pasal 6 ayat 1 UU Perkawinan).
Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana
masing-masing calon belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2 UU
Perkawinan).
Bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahu,
lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (pasal 7 ayat 1
dan 2 UU Perkawinan).
Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi
mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami (pasal 9
Jo. Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 UU Perkawinan).
Bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk
kedua kali dan seterusnya, undang-undang mensyaratkan setelah
lewatnya masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang
putus perkawinannya karena perceraian, 130 hari bagi mereka yang
putus perkawinannya karena kematian suaminya (pasal 10 dan 11
UU Perkawinan).
d. Pencatatan Pernikahan
Keabsahan suatu pernikahan merupakan suatu hal yang sangat
prinsipil, karena berkaitan erat dengan akibat-akibat pernikahan, baik
yang menyangkut dengan anak (keturunan) maupun yang berkaitan
dengan harta. Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang pernikahan
telah merumuskan kriteria keabsahan suatu pernikahan yang dijelaskan
dalam pasal 2 ayat 2 yang berbunyi “bahwa suatu pernikahan harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
Kompilasi Hukum Islam pencatatan pernikahan diatur dalam pasal 5
2. Nikah sirri
Nikah sirri adalah nikah rahasia, lazim juga disebut dengan nikah
nikah di bawah tangan atau nikah liar. (Anshory, 2010:25)
Istilah pernikahan di bawah tangan atau yang sering disebut nikah
sirri muncul setelah diberlakukannya Undang-Undang No.1 tahun 1974
tentang perkawinan. Pernikahan sirri pada prinsipnya adalah pernikahan
yang menyalahi hukum, yakni pernikahan yang dilakukan diluar
ketentuan hukum pernikahan yang berlaku secara positif di Indonesia.
Pernikahan yang dilakukan secara sirri tidak selalu merupakan
perkawinan yang tidak sah baik dilihat dari aspek hukum islam maupun
hukum positif. Hal itu karena pasal 2 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tetang
Perkawinan menyatakan bahwa keabsahan suatu pernikahan apabila
dilakukan sesuai dengan ajaran agama orang yang melakukan pernikahan
tersebut. Karena itu, pernikahan sirri tersebut apabila telah memenuhi
syarat dan rukun nikah menurut hukum islam adalah sah secara hukum
islam maupun hukum positif. Hanya saja pernikahan tersebut tidak
dicatatkan, sehingga bisa dikatakan pernikahan tersebut adalah nikah di
B. Pengertian Wali dalam Pernikahan
Secara bahasa wali bisa berarti bisa rasa cinta (mahabah) dan
pertolongan (nushrah), bisa juga berarti kekuasaan (sulthah) dan
kekuatan (qudrah). Ini berarti seorang wali adalah orang yang menolong
atau orang yang memiliki kekuasaan. Sedangkan secara istilah, kata
“wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat)
diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa
dan sebagai pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu
menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria.
Sayyid sabiq(1998:11) mendefinisikan wali adalah suatu ketentuan
hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan
hukumnya. Maksudnya wali dalam pernikahan termasuk rukun yang
harus dipenuhi sebagai sahnya suatu pernikahan.
Perwalian dalam istilah fiqh disebut wilayah yang berarti
penguasaan atau perlindungan. Yang dimaksud perwalian ialah
penguasaan penuh yang diberikan oleh oleh agama kepada seseorang
untuk menguasai orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaan
perwalian disebut wali. Adanya penguasaan dan perlindungan
dikarenakan adanya beberapa hal seperti berikut:
1. Pemilikan atas orang atau barang, seperti perwalian atas budak yang
dimiliki atau barang yang dimiliki.
2. Hubungan kekerabatan atau keturunan, seperti perwalian seseorang
3. Karena memerdekakan seorang budak, seperti perwalian seseorang
atas budak-budak yang telah memerdekakannya.
4. Karena pengangkatan, seperti perwalian seseorang kepala negara atas
rakyatnya atau perwalian seseorang pemimpin atas orang-orang yang
dipimpinnya. (Mukhtar, 1974:9)
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan perwalian dapat ditinjau
sebagai berikut:
1. Perwalian terhadap orang.
2. Perwalian terhadap barang.
3. Perwalian atas orang dalam perkawinan.
Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya
berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya
dia bertindak dan atas nama orang lain itu memiliki suatu kekurangan
pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri dalam
hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya. Oleh
karena itu, yang dimaksud wali dalam pernikahan adalah seseorang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad
nikah dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pihak laki-laki itu sendiri
dan pihak peremuan yang dilakukan oleh walinya. (Syarifudin, 2006: 69)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wali diartikan sebagai
pengasuh pengantin perempuan ketika nikah, yaitu orang yang
Adapun KHI dengan tegas memasukan wali nikah sebagai salah satu
rukun nikah yang dijelaskan dalam pasal 14.
Untuk mencapai perkawinan harus ada :
Calon suami
Calon istri
Wali nikah
Dua orang saksi
Ijab dan qabul
Selanjutnya dalam pasal 19 disebutkan “wali nikah dalam
perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai
wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. (DEPAG RI,2000:69)
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah
mewakili pihak mempelai wanita. Karena wali merupakan syarat sah
suatu pernikahan.
C. Dasar Hukum
Memang dalam Al-quran dan hadist yang secara ibarat al-nash yang
menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan tidak ada, namun
dalam Al-Quran terdapat petunjuk nash yang ibaratnya tidak menunjuk
kepada keharusan adanya wali, tetapi dari ayat tersebut secara
Diantara ayat Al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali adalah sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Al
-Baqarah:221)
Ayat ini mengandung pengertian bahwa para wali dilarang
mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan orang muyrik. Paling
tidak ada dua hal yang bisa digaris bawahi:
Pertama, penggalan ayat tersebut ditunjukan kepada para wali,
atau wanita yang ada dalam perwaliaannya. Pernikahan yang yang
dikehendaki Islam adalah pernikahan yang harmonis antara suami istri
serta kedua orang tuanya. Oleh karena itu peranan seorang wali sangatlah
penting.
Kedua, larangan menikahkan wanita-wanita dengan orang-orang
musyrik. Larangan tersebut menurut ayat diatas para wali dilarang
menikahkan wanita-wanita muslimah dengan orang-orang yang musyrik
dan juga para ahli kitab.
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui”. (Al-Baqarah: 232)
ayat disini mengandung arti bahwa para wali dilarang menghalangi
para wanita yang sehabis cerai untuk menikah lagi dengan calon
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”. (An-Nuur: 32)
Ayat ini mengandung arti bahwa hendaklah laki-laki yang belum
kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu (wali) agar
mereka dapat kawin.
2. Hadist-hadist yang menunjukkan perwalian
نن ا يِلَوننِب َّلاِا َحاننَكِن َلا :َلاننَق : َِِّننَّ ِّا ِنننَع َر ىننَسْوُم ِىَا ْننَع
Maksud dari hadist tersebut pada kata “la nikaaha illa bi waliyyin”
adalah diarahkan atau dimaksudkan kepada sah,sehingga nikah tanpa
ْرُع ْنَع ِيِرْهُّزِّا ِنَع ىَسْوُم ِنْب َناَ ْيَلُس ْنَع
ََِّنَّ ِّا َّنَا َ نََِئاَع ْننَع َةَو
ننننِ اَب اننننَطُ اَكِ َ اننننَطِّنيَِِّو ِنْكِا ِْاننننَِِب ِْننننَ َكَن ِةَأَرننننْما اننننَُّ َا :َلاننننَق :
اننَِ ُرننْطَ ْا اننَطَلَن اننََِ َ ننَ َا ْنِاننَ ننِ اَب اننَطُ اَكِ َ ننِ اَب اننَطُ اَكِ َ
ُرَ َحننْشا ِنِاننَ اننَطِاْرَن ْنننِم َّ َ َحننْسا
ُ ننَِّ َِّلَو َلا ْنننَم ُِّلَو ُناَاْلننُّ ِّاَ اْو
ىئا ِّا لاا ا
Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah dari
„Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Siapa saja
wanita yang menikah tanpa idzin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Kemudian jika (suaminya) telah mencampurinya, maka bagi wanita itu berhak memperoleh mahar sebab apa yang telah ia anggap halal dari mencampurinya. Kemudian jika mereka (wali-walinya) berselisih, maka penguasa (hakimlah) yang
menjadi walinya”. [HR. Khamsah kecuali Nasai].
(Ramulyo, 2000:3)
Menurut hadist diatas sudah jelas bahwasanya wali dalam
pernikahan itu harus terpenuhi karena hadist tersebut menyatakan bahwa
menikah tanpa izin dari wali maka nikahnya batal. Dan dapat diambil
kesimpulan dari kedua hadist diatas bahwa wali sangat berperan penting
dalam sebuah pernikahan, dan nikah tanpa adanya seorang wali maka
D. Kedudukan Wali Dalam Pernikahan
Seorang wali bisa dikatakan kunci dalam sebuah pernikahan. Jika
pernikahan tidak terdapat wali yang memenuhi syarat maka bisa jadi
pernikahan itu bisa jadi tidak sah atau bahkan bisa batal. Keberadaan
seorang wali dalam suatu akad pernikahan adalah suatu hal yang sangat
penting. Sudah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum islam bahwa wali itu
ditempatkan sebagai rukun dalam pernikahan. Dalam akad pernikahan
wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama
mempelai perempuan dan dapat juga sebagai sebagai orang yang diminta
persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut. (Syarifudin,
2006: 69-70)
Hal-hal yang berkenaan dengan pernikahan Allah SWT
mengalamtkan titahnya kepada wali, karena dalam kehidupannya
bermasyarakat terutama masyarakat Arab waktu turun ayat-ayat tentang
pernikahan itu berada ditangan wali.
tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-nisa: 25)
Maksudnya: orang merdeka dan budak yang dikawininya itu adalah
sama-sama keturunan Adam dan hawa dan sama-sama beriman. Dan jika
kamu mengawininya maka hendaklah izin kepada tuan nya (wali).
Sedangkan ayat Al-quan yang mengindikasikan bahwa pernikahan
itu tidak harus menggunakan wali atau perempuan itu kawin sendiri
“apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.” (Al-baqarah: 232)
Ayat diatas menunjukan bahwa pada saat masa idah mantan istrinya
sudah habis , mantan suami tidak berhak mencegah mantan istrinya
menikah dengan pria lain. Oleh karena itu, ayat ini tidak berhubungan
dengan wali , sebab yan dilarang mempersulit adalah suami-suami.
(Nasution,2002:169)
Jadi dapat diambil kesimpulan dari ayat-ayat diatas bahwasanya
kedudukan wali dalam pernikahan wajib ada jika mempelai
perempuannya masih kecil dan belum pernah menikah, sedangkan
seorang janda boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa harus dengan
seijin wali yang sudah di jelaskan dalam surat Al-baqarah ayat 232
E. Syarat-syarat Wali Nikah
Pernikahan adalah suatu prosesi akad yang sakral, sehingga dalam
suatu pernikahan dibutuhkan orang yang melakukan akad nikah adalah
orang yang cakap atau mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.
Disini yang dimaksud adalah seorang wali dalalam pernikahan. Jika
dalam suatu pernikahan syarat-syarat wali tidak terpenuhi salah satunya
maka pernikahan tersebut tidak sah atau bisa dibilang batal. Oleh sebab
itu, maka wali nikah harus mempunyai beberapa syarat, di antaranya:
1. Beragama islam
Agama adalah salah satu syarat wali yang sangat penting, oleh
karena itu kesamaan agama antara wali dan yang diwalikan haruslah
sama-sama beragama islam. Oleh sebab itu tidak layak perwalian non
muslim atas orang muslimah.
Hal ini sesuai dengan Al-Quran surat Ali-Imron ayat 28:
“ janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya
2. Seorang Laki-laki
Seorang laki adalah syarat perwalian yang kedua, karena
laki-laki dianggap lebih sempurna dibandingkan dengan wanita, karena
wanita tidak sanggup mewakili dirinya sendiri apalagi untuk mewakilkan
orang lain. Karena itu sesuai dengan hadist yang berbunyi:
َيِه َ َيِناَّزِّا َّنِإَ اَطَ ْفَنن ُةَأْرَ ِّْا ُجِّوَزُنت َلاَو َةَأْرَ ِّْا ُةَأْرَ ِّْا ُجِّوَزُنت َلا
اَطَ ْفَنن ُجِّوَزُنت ِْتَِِّّا
“Wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan tidak bolehpula wanita menikahkan dirinya sendiri. Sebab, hanya
pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri.”(H.R. Ibnu
Majah,hadist No 1882)
3. Dewasa dan berakal
Dewasa dan berakal dalam artian disini adalah anak kecil dan orang
gila tidak diperbolehkan atau tidak berhak menjadi wali ini adalah syarat
umum bagi seseorang yang akan menjadi wali nikah.
4. Adil
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah
tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang
tidak membiasakan diri berbuat munkar. (Daradjat,1995:82)
Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas.
Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW
:
لْدَع ْيَدِهاَشَو ،ٍّيِلَوِب َّلاِإ َحاَكِن َلا
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan duaorang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
5. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
Dari beberapa syarat sebagai wali yang sudah dijelakan diatas sesuai
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia yang diatur dalam KHI pasal
20 ayat (1) yang berbunyi bahwa “yang bertindak sebagai wali nikah
ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni
muslim, akil, dan baligh.
F. Macam-macam Wali Nikah
Berbicara mengenai macam-macam wali menurut agama islam
dalam sebuah pernikahan wali nikah hanya pihak perempuan saja yang
membutuhkan, adapun macam-macam wali tersebut sudah diatur dalam
pasal 20 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam. Yang bunyinya sebagai
berikut:
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 20 ayat 1 dan 2
menyebutkan:
Ayat (1) yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki
1. Wali Nasab
Wali nasab dibagi menjadi dua yaitu wali nasab aqrab dan wali
nasab ab‟ad penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Wali nasab aqrab
Wali aqrab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon
mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah
patrilinial dengan calon mempelai perempuan.
b. Wali ab‟ad
Perpindahan wali aqrab kepada wali ab‟ad adalah sebagai
berikut:
Apabila wali aqrabnya non muslim
Apabila wali aqrabnya fasik
Apabila wali aqrabnya belum dewasa
Apabila wali aqrabnya gila
Apabila wali aqrabnya bisu atau tuli
2. Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadhi. Orang-orang
yang berhak menjadi wali hakim adalah kepala pemerintahan, khalifah
(pemimpin). Penguasa atau qadhi nikah yang diberi wewenang dari
kepala negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim. Apabila
tidak ada orang-orang tersebut, maka wali hakim dapat diangkat oleh
orang-orang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang alim. Di
walihkim melalui Pengadilan Agama tau tergantung pada prosedur yang
dapat ditempuh.
Perwalian nasab dapat berpindah kepada perwalian hakim
dikarenakan :
Tidak terdapat wali nasab
Wali nasab berpergian jauh atau tidak ada ditempat tetapi tidak
memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada.
Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.
Wali nasab sedang haji atau umrah (ihram).
Wali nasab menolak bertindak sebagai wali (adhal).
Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dan dari perempuan yang ada
dibawah perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang menikah adalah
seorang perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, baik kandung
atau seayah.
G. Orang Yang Berhak Menjadi Wali Nikah
Yang berhak menjadi wali nikah itu terdapat dua kelompok yaitu
pertama wali nasab, yaitu wali yang berhubungan tali kekeluargaan
dengan perempuan yang akan nikah. Kedua Wali hakim, yaitu orang
yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.
Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa yang berhak menjadi
Pertama: wali dekat atau wali aqrab yaitu, ayah dan kalau tidak ada
ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang
mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Wali dapat
mengawinkan anaknya yang masih muda tanpa harus ada persetujun dari
anaknya dan wali dalam kedudukan tersebut disebut wali aqrab.
Kedua: wali jauh atau wai ab‟ad yaitu, wali dalam garis kerabat
selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu, karena anak
menurut ulama tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya. Bila anak
berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia mengawinkan ibunya
sebagai wali hakim. Adapun wali ab‟ad adalah sebagai berikut:
Saudara laki-laki kandung.
Saudara laki-laki seayah.
Anak saudara laki-laki kandung.
Anak saudara laki-laki seayah.
Paman kandung.
Anak paman kandung.
Anak paman seayah
Ahli waris kerabat lainnya kalu ada.
Ulama Hanafiyah menempatkan seluruh kerabat nasab, baik sebagai
ashabah dalam kewarisan atau tidak, sebagai wali nasa, termasuk zaul
dikawinkan itu adalah perempuan yang masih kecil atau tidak sehat
akalnya.
Ulama Malikiyah mnempatkan seluruh kerabat nasab yang ashabah
sebagai wali nasab dan membolehkan anak mengawinkan ibunya, bahkan
kedudukannya lebih utama dari ayah atau kakek. Berbeda dengan ulama
Hanafiyah golongan ini memberikan hak ijbar hanya kepada ayah saja
dan menempatkannya dalam kategori wali a‟rab. (Syarifudin, 2006: 75
-76)
H. Urutan Hak Perwalian
Dalam hal urutan hak perwalian para jumhur ulama
mempersyaratkan urutan yang berhak menjadi wali adalah wali nasab,
selama masih ada wali nasab wali hakim tidak dapat menjadi wali, dan
selama wali nasab yang lebih dekat masih ada wali yang lebih jauh tidak
dapat menjadi wali. Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali
nasab yang qarib. Bila wali aqrab tersebut tidak memenui syarat baligh,
berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil maka perwalian
berpindah kepada wali ab‟ad. Bila wali aqrab sedang melakukan haji atau
umrah, maka perwalian tidak pindah kepada wali ab‟ad tetapi pindah
kepada wali hakim secara perwalian umum. Demikian pula wali hakim
menjadi wali nikah apabila keseluruhan wali nasab sudah tidak ada, atau
wali aqrab dalam keadaan adhal atau enggan mengawinkan tanpa alasan
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) berkenaan dengan urutan hak
perwalian ini menjelaskan secarra lengkap dan keseluruhan urutan wali
diatur dalam pasal 21, 22, dn 23 dengan penjabaran sebagai berikut:
Pasal 21
a. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu diahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai. Pertama:
kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari
pihak ayah, dan seterusnya. Kedua: kelompok kerabat saudara
laki-laki kandung atau saudara laki-laki-laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki-laki-laki
mereka. Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki
kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara
leki-laki seayah kakek, dan keturunan leki-laki-leki-laki mereka.
b. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang
yang sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi
wali ialah yang paling dekat derajat kekerabtannya dengan calon
mempelai wanita.
c. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka
yang paling berhak menjadi wali ialah kerabat kandung dari kerabat
d. Apabila dalam satu kelompok sama yakni sama-sama berhak menjadi
wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi
syarat-syarat wali.
Pasal 22
“ Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi
syarat-syarat sebagai wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu
atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah
yang lain menurut derajat berikutnya.”
Pasal 23
a. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
b. Dalam hal wali adhal atau enggan,maka wali hakim baru bertindak
sebagai wali nikah setelah adanya putusan Pengadilan Agama tentang
wali tersebut. (Syarifudin,2006 :78-81).
I. Konsekuensi Hukum di Indonesia Terhadap Tidak Terpenuhinya Wali dalam
Pernikahan.
Di Indonesia terdapat dua undang-undang yang mengatur tentang
pernikahan yaitu undang-undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam. Pernikahan ialah suatu akad untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridlai Allah SWT.
Pelaksanaan perkawinan itu merupakan pelaksanaan hokum agama,
maka perlulah diingat bahwa dalam melaksanakan perkawinan itu oleh
agama ditentukan unsure-unsurnya yang menurut istilah hukumnya
disebut rukun-rukun dan masing-masing rukun memerlukan syarat-syarat
sahnya. (DEPAG, 1983:49)
Jika melihat system kekerabatan di Indonesia, masyarakat di
Indonesia banyak yang menganut system kekerabatan patrilineal. Dimana
otoritas bapak (suami) menempati posisi yang dominan dan berperan
penting dalam keluarga. Untuk itu kaum laki-laki pada umumnya
mendapatkan beberapa hak istimewa sebagai konsekuensi dari tanggung
jawab mereka yang sedemikian besar disbanding pihak perempuan (istri)
secara umum. Dalam sistem patriari, silsilah keturunan ditentukan
melalui jalur ayah dan peran lebih besar diberikan kepada laki-laki, baik
dalam urusan rumah tangga maupun dalam urusan masyarakat luas.
Sebaliknya perempuan mendapatkan peran yang tidak menonjol didalam
masyarakat. (Umar, 1999:128)
Jika dikaitkan dengan penjabaran diatas peran wali ditujukan kepada
pihak ayah(laki-laki) maka dari itu seorang ayah atau kakek boleh
menikahkan anak gadisnya tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.
Meminta izin kepada calon mempelai tidklah sebuah keharusan yang
telah dewasa. Oleh karena itu sah-sah saja apabila ayah memaksa anak
gadisnya menikah dengan pilihannya tanpa persetujuan dari sang gadis.
Wali dalam perkawinan adalah salah satu rukun dalam perkawinan
yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya (pasal 19 KHI), dan dasar hukumnya adalah firman
Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 232:
“ apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-baqarah:232)
Dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 26 ayat 1
menyebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai
pencatat pernikahan yang tidak berwenang, wali nikah tidak sah atau
dilaksanakan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi dapat dimintakan
suami atau istri,jaksa dan suami atau istri. Dari situlah dikatakan,apabila
melakukan perbuatan yang syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, maka
perbuatan itu tidak sah. Begitu juga dalam melaksanakan akad nikah,
unsur-unsur dalam akad juga harus terpenuhi di antara unsur itu adalah
adanya wali yang sah dari mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya. Apabila dari sederetan orang-orang yang berhak
menjadi wali tidak ada atau enggan maka mempelai wanita harus
mengangkat wali hakim atau wali muhakam. Kasus yang terjadi di desa
Grogol menurut penulis adalah akibat ketidak pahaman calon mempelai
terhadap urut-urutan orang berhak menjadi wali dan karena terdesak oleh
perbuatan zina yang mengakibatkan pasangan tersebut malu pada
BAB III
PRAKTEK NIKAH SIRRI DENGAN WALI KAKAK TIRI DAN PERSPEKTIF
TOKOH AGAMA DI DESA GROGOL
A. Gambaran lokasi penelitian di Desa Grogol Kelurahan Dukuh
1. Gambaran umum lokasi penelitian
a. Kondisi geografis dan lingkungan alam.
Desa Grogol adalah salah satu desa dari enam desa yang
ada di kelurahan Dukuh Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.
Letak Desa Grogol berada di bawah kaki gunung merbabu,dimana
desa tersebut memiliki luas 3,77 km, dan mempunyai udara yang
sejuk. Dusun yang ada di kelurahan dukuh ada enam yaitu Dusun
ngemplak,Grogol,Dukuh,Karangalit,Warak, dan Kembangarum.
Untuk menjangkau lokasi penelitian sangatlah mudah,
sarana transportasi pun banyak yang melewati seperti angkutan
umum no 9 dan bisa langsung menggunakan sepeda motor juga
bisa. Kondisi jalan di Grogol sangat lah baik, karena Grogol berada
dalam wilayah dekat pemerintahan Kota Salatiga.
Secara Geografis Grogol Kelurahan Dukuh memiliki batas
administrasi sebagai berikut:
1) Sebelah Utara : Kelurahan Mangunsari
2) Sebelah Selatan : Kelurahan Kumpulrejo
4) Sebelah Timur : Kelurahan Mangunsari
(Sumber: Monograf Kelurahan Dukuh Kecamatan Sidomukti
Kota Salatiga tahun 2016)
b. Keadaan Penduduk Desa Grogol Kelurahan Dukuh
Jumlah penduduk kelurahan Dukuh sebanyak 13.932 jiwa
yaitu ada sekitar 4.257 KK. Dengan rincian laki-laki berjumlah
6.901 jiwa dan yang perempuan ada 7.031 jiwa. Usia 0-15 tahun
itu sebanyak 3.396 jiwa, yang berusia 15-65 tahun sebanyak 9.734
jiwa, sedangkan usia 65 keatas sebanyak 802 jiwa. Dari penjabaran
diatas bahwasanya kebanyakan penduduk berusia 15-65 tahun.
Diamana jika dikaitkan dengan pengetahuan tentang pernikahan
sudahlah sangat matang. (Sumber: Monograf Kelurahan Dukuh
Kecamatan Sidomukti Salatiga)
c. Pendidikan
Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Grogol Kelurahan
Dukuh sudah bisa dikatan maju karena banyaknya fasilitas
pendidikan yang ada di daerah Kelurahan Dukuh ini sudah bertaraf
nasional.
Tabel 1 fasilitas pendidikan di Desa Grogol Kelurahan Dukuh
NO. FASILITAS JUMLAH
(Sumber: data monograf Kelurahan Dukuh tahun 2016)
Dari tabel diatas fasilitas pendidikan yang ada di kelurahan
dukuh sudahlah sangat maju dan bahkan sudah memenuhi kriteria
fasilitas pendidikan yang baik. Oleh karena itu masyarakat tidak
perlu khawatir tentang fasilitas pendidikan yang ada.
d. Mata Pencaharian
Jika berbicara mengenai status, otomatis kita cenderung
merajuk kepada kondisi ekonomi dan social seseorang yang ada
kaitannya dengan jabatan atau kekuasaan (Sugihen, 1997 :139).
Adapun masyarakat Desa Grogol sebagian bermata
pencaharian sebagai karyawan swasta, hal ini di buktikan dengan
tabel II dimana yang bekerja sebagai karyawan swasta adalah
2.281 orang. Karena lingkup desa Grogol dekat denngan pabrik.
Bidang ekonomi merupakan salah satu bidang yang amat penting
dalam suatu proses pembangunan potensi ekonomi yang dimiliki
oleh masing-masing individu, yang mana cukup berpengaruh pada
2. TK 6
3. SD 6
4. SLTP 2
5. SMU 5
perekonomian itu sendiri. Hal ini sesuai dengan letak geografis
Desa Grogol tidak jauh dari perkotaan sedangkan masyarakatnya
berpendidikan cukup dan berpenghasilan menengah.
Tabel II daftar mata pencaharian masyarakat Desa Grogol Kelurahan Dukuh.
(
S
u
NO. PEKERJAAN JUMLAH
1. PNS 559
2. TNI 98
3. SWASTA 2.281
4. WIRASWASTA 1.154
5. TANI 78
6. PERTUKANGAN 87
7. BURUH TANI 51
8. PENSIUNAN 336
9. NELAYAN -
10. PEMULUNG -
11. JASA 488
mber: data monograf kelurahan Dukuh tahun 2016)
e. Kehidupan Sosial,Ekonomi, dan Keagamaan di Desa Grogol
Kehidupan sosial masyarakat di Desa Grogol cukup baik,
masyarakatnya hidup rukun, saling tolong menolong, dan memiliki
rasa sosial yang tinggi terhadap satu sama lain. Jika melihat pada
taraf ekonomi sebagian masyarakat Grogol ada yang bekerja
sebagai pegawai pabrik sebesar 2.281 orang, dan sebagian kecil
sebagai buruh tani yakni 51 orang (lihat tabel II).
Jika melihat dari sisi keagaman, mayoritas agama
masyarakat Desa Grogol yang sebagian besar adalah muslim.
Beberapa kegiatan keagamaan yang dilakukan di Desa Grogol
dilaksanakan secara mingguan, bulanan, dan setiap satu tahun
sekali. Kegiatan keagamaan yang ada di Desa Grogol adalah
sebagai berikut:
a. Kegiatan keagamaan yang dilakukan setiap minggu
1) Setiap hari senin malam, kegiatan ini dilakukan rutin
setiap hari senin malam atau malam selasa dilakukan
oleh bapak-bapak dan biasanya pengajian rutin ini
dilakukan dirumah anggota pengajian dan digilir setiap
minggunya.
2) Selasa malam atau malam rabu adalah kegiatan
tempatanya dirumah beliau. Anggotanya hanya
bapak-bapak dan ibu-ibu masyarakat Desa Grogol.
3) Kamis malam atau malam jumat yaitu berjanjen khusus
ibu-ibu Desa Grogol. Kegiatan ini rutin dilakukan dan
tempatnya digilir setiap minggunya.
4) Jumat atau malam sabtu adalah kegiatan rutin
mujahadahan yang dipimpin oleh KH. Roni beliau yang
memimin mujahadahan yang dilakukan rutin tiap jumat
malam, tempat nya dilakukan dirumah beliau.
Jamaahnya adalah bapak,ibu, dan remaja Desa Grogol.
b. Kegiatan keagamaan yang dilakukan bulanan
1) Pengajian setiap tanggal 4, dilakukan oleh ibu-ibu pengurus
nahdhatul ulama (NU) biasanya dilakukan berjanjen setiap
bulan pada tanggal 4 dan dilakukan di masjid Kalimosodo
Desa Grogol.
2) Pengajian rutin malam jumat Kliwon, kegiatan ini
dilakukan oleh bapak- bapak dan biasanya dilakukan per
RT dan digilir utuk tempatnya sesuai kesepakatan
anggotanya.
c. Kegiatan keagamaan yang dilakukan setiap satu tahun sekali
1) Pengajian isro‟mi‟roj Nabi Muhammad SAW.
2) Pengajian Maulid Nabi.
4) Pengajian nuzulul qur‟an.
5) Pengajian pada tahun baru hijriah (suronan).
Sedangkan pada agama lain tidak ada acara keagamaan
yang melibatkan tetangganya yang seiman kecuali saat perayaan
hari besar misalnya acara natal.
Tabel III Jumlah pemeluk agama masyrakat Desa Grogol Kelurahan Dukuh
(Sumber data monograf jumlah pemeluk agama Desa Grogol
Kelurahan Dukuh)
TabeTabel IV Fasilitas ibadah yang ada di Desa Grogol Kelurahan Dukuh
No. Nama Tempat Ibadah Jumlah
1. Masjid 2
2. Mushola 2
3. Gereja 1
NO. AGAMA JUMLAH
1. ISLAM 4.532
2. KRISTEN 437
3. KATOLIK 149
4. HINDU 23
4. Pura -
5. Vihara -
6. Klenteng -
(Sumber: Data monograf fasilitas prasarana ibadah Kelurahan Dukuh
tahun 2016).
B. Hasil Wawancara Pelaku Pernikahan Sirri di Desa Grogol
1. Pernikahan sirri ibu ST dengan Pak AF
Wawancara dengan bapak AF dan ibu ST dilakukan pada
tanggal 3 februari 2017 di rumah bapak AF di Desa Grogol Kelurahan
Dukuh Kecamatan Sidomukti. Bapak AF yang berumur 37 tahun
bekerja sebagai karyawan di sebuah toko bangunan yang ada di
Salatiga. Sedangkan ibu ST berumur 35 tahhun memiliki sebuah usaha
warung yang menjual siomay, batagor, mpek-mpek, dan aneka macam
jus buah di depan rumahnya. Sebelum menikah pak AF berstatus duda
dan ibu ST sedang dalam proses perceraian dengan suami pertamannya
yan bernama pak SW. Dulu sebelum menikah dan tinggal di Desa
Grogol, pak AF adalah warga suruh dan ibu ST ikut suami pertamanya
di Desa Beji Kabupaten Semarang. Ibu ST menikah dengan bapak SW
pada tahun 2008 dan di karuniai satu anak perempuan. Pada saat ibu
ST hidup denga pak SW, beliau mulai merasakan ketidak cocokan lagi
dengan suaminya tersebut. Pada tahun ke dua pernikahan ketidak
cocokan tersebut mulai di rasakan ibu ST di karenakan suaminya tidak
menganggap tidak ada rasa tanggung jawab dari suami pertamanya
terhadap keluarga. Menyikapi sikap suaminya tersebut ibu ST
memutuskan untuk bekerja di luar negeri pada tahu 2010.
Proses awal perkenalan pak AF dan ibu ST adalah saat
sama-sama bekerja sebagai TKI di Taiwan. Pada tahun 2010 pak AF pergi
ke Taiwan untuk bekerja disana selama kurang lebih empat tahun. Dan
pada tahun yang sama ibu ST juga pergi ke Taiwan sebagai tenaga
kerja wanita (TKW) disana selama kurang lebih empat tahun. Pak AF
bekerja sebagai karyawan pabrik alumunim di Kaohsiung Taiwan dan
bu ST bekerja sebagai PRT (pembantu rumah tangga) di Chungli
Taiwan. Pada saat wawancara ibu ST mengatakan bahwa awal
perkenalan beliau dengan pak AF adalah melalui jejaring sosial
facebook. Mereka berkenalan dan saling chating melalui facebook
tersebut. Mereka menjalin hubungan di Taiwan selama kurang lebih
dua tahun. Setelah masa kontak kerja mereka habis mereka kembali ke
Indonesia. Pak AF pulang ke Suruh dan ibu ST pulang ke Jakarta di
rumah kakak nya.
Setelah pulang dari Taiwan mereka masih menjalin hubungan
sehingga menyebabkan ibu ST hamil diluar nikah. Pada saat itu ibu ST
masih berstatus istri dari suaminya dan belom menggugat cerai
suaminya. Dan setelah keluarga ibu ST mengetahui tentang hal itu ibu
sidang cerai yang pertama pada tahun 2015 ibu ST dan pak AF
melangsungkan pernikahan sirri. Pada saat pernikahan sirri ibu ST
sudah dalam masa kehamilan enam bulan dan masih dalam proses
perceraian dengan suami pertamanya.
Pak AF dan ibu ST melangsungkan pernikahan sirri di Desa
Grogol pada tanggal 10 desember 2015. Pada pernikahan pak AF dan
ibu ST terdapat dua orang saksi, yaitu pak YT sebagai saksi pihak
laki-laki dan pak MJ sebagai saksi pihak perempuan. Wali serta orang yang
mengijabkan mempelai pada pernikahan sirri tersebbut adalah pak SN
yang merupakan kakak tiri dari pihak perempuan ( ibu ST), sedangkan
yang memberikan doa pada pernikahan sirri tersebut adalah seorang
ustaz bernama Pak SR dari Pagergedok. Pernikahan sirri tersebut
dilakukan sekitar jam 10.00 WIB di rumah bapak TR sebagai kakak
ipar dari pihak perempuan. Pernikahan tersebut tidak mengundang
tokoh masyarakat satu pun, hanya pihak tertentu saja yang hadir dalam
pernikahan sirri tersebut.
2. Pernikahan pak MJ dengan ibu TM
Wawancara dengan bapak MJ dan ibu TM dilakukan pada
tanggal 5 februari 2017 di kediaman bapak MJ di desa Grogol. Bapak
MJ berumur 41 tahun. Sebelum tinggal di Grogol beliau adalah warga
Lebak Bringin Kabupaten Semarang. Pak MJ bekerja di pabrik
minyak nila di daerah Bandungan Kabupaten Semarang. Sebelum