PENINGKATAN SIKAP DISIPLIN SISWA MELALUI PENGGUNAAN PERMAINAN TRADISIONAL SISWA KELAS V SD NAHDLATUL
ULAMA’ SLEMAN YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Khusnia Ekawati NIM 09108241073
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
MOTTO
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan nasihat-menasihati
supaya menaati kebenaran, dan nasihat – menasihati supaya menetapi kesabaran”.
(Terjemanan Surat Al-‘Ashr : Ayat 1 - 3)
“Dari Ibnu Abbas RA. Beliau berkata: “Rasulullah SAW. Bersabda:”Dua
kenikmatan yang sering dilalaikan oleh sebagian besar manusia yaitu nikmat sehat
dan nikmat waktu luang”.
(HR. Bukhari dan Ibnu Majah)
“Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang. Karena itu, keunggulan
bukanlah suatu perbuatan melainkan sebuah kebiasaan”.
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan:
Untuk Ibu dan Bapak tersayang,
Siti Kalimah dan Suwarno atas segala dukungan doa dan kasih sayang yang tak pernah berhenti untuk anak-anaknya.
Untuk Sesepuh-sesepuh Keluarga tersayang
Mbah Sumitro, Mbah Kamilatun, Paman Seswoyo, Bibi lilies dan Bibi Ning yang selalu memberikan kasih sayang dan do’a untukku.
PENINGKATAN SIKAP DISIPLIN SISWA MELALUI PENGGUNAAN PERMAINAN TRADISIONAL SISWA KELAS V SD NAHDLATUL
ULAMA’ SLEMAN YOGYAKARTA
Oleh Khusnia Ekawati NIM 09108241073
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sikap disiplin siswa kelas V SD Nahdlatul Ulama’ Sleman Yogyakarta menggunakan permainan tradisional.
Metode penelitian ini menggunakan Action Research versi Metler dan Charles yang terdiri dari planning stage, acting stage, developing stage, dan reflecting stage. Penelitian ini terdiri dari tiga siklus dengan subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas V, sedangkan objek penelitiannya adalah sikap disiplin siswa. Pengumpulan data menggunakan angket, observasi, dan wawancara. Selanjutnya, data tersebut dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap disiplin siswa dapat meningkat melalui penggunaan permainan tradisional. Hal itu dibuktikan dengan adanya peningkatan pada hasil penelitian. Pada tahap pratindakan, hasilnya menunjukkan 60% siswa memiliki kedisiplinan kategori tinggi dan mayoritas siswa masuk pada kategori sikap disiplin mulai terlihat. Setelah mendapatkan tindakan yang menekankan pada penjelasan peraturan, kesepakatan antar pemain, pendampingan, dan diskusi diakhir permainan, pada Siklus III hasilnya meningkat menjadi 92% siswa masuk dalam kedisiplinan kategori tinggi dan mayoritas sikap disiplin siswa masuk pada kategori mulai berkembang.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya persembahkan ke hadirat Allah SWT. yang telah memberi karunia yang luar biasa sehingga karya penelitian dengan judul “Peningkatan Sikap Disiplin Siswa Melalui Penggunaan Permainan Tradisional Siswa Kelas V SD Nahdlatul Ulama’ Sleman, Yogyakarta” dapat terselesaikan.
Peneliti menyadari bahwa atas bantuan sejumlah pihak karya ini dapat terselesaikan, maka pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan studi pada Program Studi PGSD.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian dalam penyusunan skripsi ini.
3. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitaas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ketua Jurusan Pendidikan Pra Sekolah Dan Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian dalam penyususnan skripsi ini.
5. Ibu Woro Sri Hastuti, M.Pd, Dosen Pembimbing I dan Bapak Banu Setyo Adi, M.Pd, Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Fauzan, M.Pd, Kepala sekolah SD Nahdlatul Ulama’ Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian dalam penyusunan skripsi ini.
7. Ibu Atsari Wulandari, S,Si., Guru Kelas V SD Nahdlatul Ulama’ Yogyakarta sekaligus kolaborator penelitian yang telah membantu proses penelitian penyusunan skripsi ini.
8. Seluruh staf dan karyawan SD Nahdlatul Ulama’ Yogyakarta yang turut membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR ISI
hal
JUDUL ………..….……... i
PERSETUJUAN ………..……. ii
SURAT PERNYATAAN ……….….……... iii
PENGESAHAN ………..….. iv
MOTTO………..……….……... v
PERSEMBAHAN ………..……..………. vi
ABSTRAK ………...….…… vii
KATA PENGANTAR ………..………..…..…… viii
DAFTAR ISI ………...………...…….. ix
DAFTAR TABEL ……….……....… xii
DAFTAR GAMBAR ……….… xiii
DAFTAR LAMPIRAN….……….... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….…... 1
B. .Identifikasi Masalah ……….…...… 5
C. Batasan Masalah ………. 6
D. Rumusan Masalah ………. 6
E. Tujuan Penelitian ……… 6
F. Manfaat Penelitian ……….. 7
BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Sikap Disiplin ………. 8
1. Pengertian Sikap ………..………. 8
2. Pengertian Disiplin ……..………. 11
3. Jenis-Jenis Disiplin Untuk Anak ……… 14
4. Tujuan serta Pentingnya (Manfaat) Disiplin Bagi Anak …………..… 17
5. Unsur-Unsur dalam Disiplin dan Penerapannya ………..…… 18
B. Kajian Permainan Tradisional ... 26
2. Tinjauan Permainan Tradisional ... 29
3. Jenis Permainan Tradisional ... 30
4. Unsur Nilai Budaya dalam Permainan Tradisional ... 36
5. Unsur-Unsur Disiplin dalam Permainan Tradisional dan Penerapannya ... 40
C. Karakteristik Anak Sekolah Dasar ... 47
D. Disiplin Siswa Di Sekolah ... 49
E. Definisi Operasional ... 52
F. Kerangka Berpikir ... 52
G. Hasil Penelitian yang Relevan ... 55
H. Hipotesis Tindakan ... 55
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 56
B. Desain Penelitian ... 57
C. Rencana Tindakan ... 59
D. Subjek danSettingPenelitian ... 62
E. Teknik Pengumpulan Data ... 62
F. Instrumen Penelitian ... 64
G. Teknik Analisis Data ... 67
H. Teknik Keabsahan Data ... 69
I. Kriteria Keberhasilan ... 70
BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Situasi ... 71
1. Kondisi Fisik ... 71
2. Kondisi Non Fisik ... 71
B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 73
1. Pratindakan ... 74
2. Siklus I ... 75
3. Siklus II ... 89
4. Siklus III ... 97
D. Keterbatasan Penelitian ... 109
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 110
B. Saran ... 111
DAFTAR PUSTAKA ... 112
DAFTAR TABEL
hal Tabel 1. Jenis Permainan Kategori Bermain dan Bernyanyi dan (atau)
Dialog ... 34
Tabel 2. Jenis Permainan Kategori Bermain dan Olah Pikir ... 34
Tabel 3. Jenis Permainan Kategori Bermain dan Adu Ketangkasan ... 35
Tabel 4. Kisi- Kisi Lembar Angket Kedisiplinan Siswa ... 64
Tabel 5. Kisi- kisi Lembar observasi sikap disiplin siswa Di lingkungan sekolah ... 65
Tabel 6. Kisi- kisi lembar observasi sikap disiplin di lingkungan Pergaulan ... 65
Tabel 7. Kategori Penilaian Sikap Disiplin ………... 66
Tabel 8. Kategori Kedisiplinan Siswa Kelas Kelas V SD Nahdlatul Ulama’ Sleman, Yogyakarta ………. 68
Table 9. Inisial Subjek Penelitian ……… 73
Table 10. Jadwal Pengumpulan Data ………... 74
Tabel 11. Hasil Angket Kedisiplinan Siswa Tahap Pratindakan……… 75
Table 12. Hasil Observasi Sikap Disiplin Siswa Tahap Pratindakan ……… 75
Table 13. Hasil Observasi Siklus I ……… 83
Table 14. Hasil Angket Kedisiplinan Siswa Pada Siklus I……… 83
Table 15. Refleksi Siklus I ……… 88
Table 16. Hasil Observasi Siklus II ……….. 93
Table 17. Hasil Angket Pemahaman Budaya Siklus II ………. 93
Table 18. Refleksi Siklus II ……….. 96
Table 19. Hasil Observasi Siklus III ………. 101
Tabel 20. Hasil angket Pemahaman budaya Siklus III ………. 101
Tabel 21. Refleksi Siklus III ………. 102
DAFTAR GAMBAR
hal Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir Penelitian Tindakan yang akan
Dilaksanakan ... 54 Gambar 2. Model ProsesAction ResearchMertler dan Charle... 57 Gambar 3. Tahapan Penelitian Tindakan versi Mertler dan Charles secara
lebih detail ... 58 Gambar 4. Arena PermainanGobag Sodor... 79 Gambar 5. Siswa Menyiapkan Arena PermainanGobag Sodordengan
Media Tepung ………... 79 Gambar 6. Arena Permainan Jeg-Jegan ... 80 Gambar 7. Siswa Menyiapkan MediaNgejegan/ Benteng/ Pangkalan
Permainan ………..…………... 80 Gambar 8. Siswa BermainJeg-JeganDi Halaman Sekolah……….… 91 Gambar 9. Siswa Kelas V Sedang Mengisi Lembar Angket ……… 92 Gambar 10. Siswa Berkumpul Setelah Bermain Untuk Selanjutnya
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Contoh Angket Kedisiplinan Siswa Siklus I………. 116
Lampiran 2. Contoh Angket Kedisiplinan Siswa Siklus II……… 118
Lampiran 3. Contoh Angket Kedisiplinan Siswa Siklus III……….. 120
Lampiran 4. Contoh Lembar Observasi Sikap Disiplin Siswa Siklus I … 122 Lampiran 5. Contoh Lembar Observasi Sikap Disiplin Siswa Siklus II .. 130
Lampiran 6. Contoh Lembar Observasi Sikap Disiplin Siswa Siklus III . 138 Lampiran 7. Hasil Data Angket Tahap Pratindakan ………. 146
Lampiran 8. Hasil Data Angket Siklus I ……….…………. 147
Lampiran 9. Hasil Data Angket Siklus II ……….…………. 148
Lampiran 10. Hasil Data Angket Siklus III………. ………… 149
Lampiran 11. Contoh Pengumpulan Hasil Observasi Sikap Disiplin Siswa 150 Lampiran 12. Hasil Observasi Sikap Disiplin Siswa ……… 151
Lampiran 13. Perbandingan Hasil Angket dan Observasi Sikap Disiplin Siswa Pada Tiap Siklus ………... 152
Lampiran 14. Hasil Rangkuman Wawancara Siswa Siklus I ………. 153
Lampiran 15. Hasil Rangkuman Wawancara Siswa Siklus II ……… 155
Lampiran 16. Hasil Rangkuman Wawancara Siswa Siklus III ... 156
Lampiran 17. Foto Dokumentasi Penelitian ……….. 158
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring bertambahnya waktu kehidupan manusia mengalami
perkembangan yang lebih maju. Perkembangan tersebut tidak bisa lepas dari
keberadaan pendidikan yang selalu mengiringi kehidupan manusia. Hal ini sesuai
dengan pendapat dari Dwikarya (Dwi Siswoyo, 2011: 1) bahwa pendidikan
merupakan suatu gejala semesta (fenomena universal) dan akan berlangsung
sepanjang hayat manusia, di manapun manusia berada.
Thomas Lickona (2012: 7), mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan
adalah membimbing para generasi muda menjadi pribadi yang cerdas serta
berperilaku baik. Hal ini sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional di
Negara Indonesia. Pada UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dijelaskan bahwa:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab”
Oleh karena itu tugas pendidikan bukan hanya membentuk pribadi yang
cerdas namun juga membentuk pribadi yang bertakwa, berbudaya serta
berkarakter. Hal ini sebagai salah satu langkah dalam mewujudkan visi
pembangunan nasional, seperti yang termuat dalam Rencana Pembangunan
berakhlak mulia, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”
(Theresiana,dkk, 2014: 1).
Muchlas Samani, dkk. (2005: 43) mengungkapkan bahwa karakter atau
budi pekerti tidaklah diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara
berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi
pikiran, tindakan demi tindakan. Pendidikan budaya dan karate bangsa
meruapakan salah satu langkah tenaga pendidik dalam mengembangkan budaya
dan karakter bangsa dan salah satu karakternya adala disiplin.
Maria J. Wantah (2005: 143), mengemukakan bahwa melihat dari sisi
pendagogik anak, disiplin sangatlah penting bahkan merupakan keharusan bagi
pertumbuhan anak serta perkembangan anak yang akan mewujudkan
pengendalian diri. Disiplin merupakan salah satu kebutuhan perkembangan bagi
anak serta sekaligus upaya mengembangkan anak-anak untuk berperilaku sesuai
dengan aturan dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Ketika kedisiplinan
seseorang tinggi, maka keamanan dan ketertiban akan mudah untuk diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari. Peraturan itu ada untuk memberikan pedoman dalam
menjalani kehidupan agar menjadi lebih terarah dan lebih baik lagi.
Kehidupan anak-anak sangat akrab dengan kegiatan bermain.
Peraturan-peraturan yang terdapat dalam permainan harus diikuti oleh para pemainnya
sehingga dapat membantu mengajarkan anak dalam menaati peraturan serta
bertindak disiplin. Hurlock (1993: 320), mengungkapkan bahwa sebenarnya
bermain bukanlah kegiatan pemborosan waktu justru terdapat pengalaman belajar
Permainan tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang
menyimpan transformasi nilai di dalam permainan-permainannya (Sukirman,
1992/1993: 45). Hal ini sesuai dengan pendapat dari Christriyati A, dkk.
(1997/1998: 56) bahwa permainan anak tradisional sebagai salah satu warisan dari
leluhur bangsa Indonesia diyakini mengandung nilai-nilai positif yang sangat
berguna bagi perkembangan jiwa anak. Hal itu dikarenakan dalam permainan
tradisional menyimpan simbol-simbol yang dapat digunakan sebagai
pembelajaran nilai-nilai, sehingga keberadaannya memberikan sumbangan bagi
pembelajaran nilai-nilai kehidupan dalam diri anak.
Permainan tradisional yang dahulu sangat digemari anak-anak dan
merupakan sarana sosialisasi kini mulai terkikis keberadaannya (Sukirman D,dkk,
2004: 18). Chirstriyati A (dalam Sujarno, 2013: 2) mengatakan bahwa seiring
perkembangan zaman, permainan tradisional mulai tergantikan oleh permainan
yangrelative baru dan modern. Disamping itu, banyak orang dewasa memandang
bahwa permainan tidak memberikan sumbangan yang berarti untuk meningkatkan
prestasi anak khususnya dalam bidang akademik anak. Mayoritas beranggapan
bahwa prestasi belajar siswa sangatlah penting dan perlu mendapatkan porsi
belajar tambahan dengan mengikuti les-les belajar setelah jam sekolah (Marsono,
1999: 1). Hal ini sudah tentu mengurangi porsi bermain anak dalam kehidupan
sehari-harinya. Permainan elektronikpun menjadi pilihan yang dipandang tepat
untuk memenuhi porsi bermain anak. Padahal hal tersebut tidak seratus persen
tepat. Karena manfaat aktivitas bermain anak yang dimaksudkan untuk memenuhi
anak. Tapi juga terdapat manfaat lain yang bisa diambil dalam aktivitas bermain,
seperti kebutuhan sosial atau ketangkasan fisik yang tidak sepenuhnya mampu
diberikan oleh pemainan elektronik.
Sekolah Dasar Nahdlatul Ulama’ merupakan sekolah berbasis pesantren.
Selain pelajaran umum, siswa juga mendapatkan pelajaran keagamaan. Jadi, siswa
mengikuti jam sekolah lebih lama dibanding dengan siswa sekolah dasar pada
umunya. Karena terdapat tambahan waktu untuk pembelajaran keagamaan,
khususnya siswa yang mengikuti program asrama yaitu kelas V dan VI.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa siswa memiliki jadwal belajar
yang padat. Diantara jadwal pembelajaran tersebut, siswa sebenarnya sudah
diberikan waktu istirahat dan bermain. Namun sayangnya, siswa kurang dapat
memanfaatkan waktu tersebut dengan baik untuk bermain. Seringkali siswa
menghabiskan waktu istirahat tersebut dengan mengobrol di depan kelas,
berlari-larian di halaman sekolah atau di komplek perumahan yang berada di sekitar
sekolah atau melihat kartun animasi dengan meminjam komputer sekolah yang
tersambung dengan internet. Selain itu, suatu kali pernah siswa bermain air
dengan wastafel yang ada di sekolah hingga menimbulkan banyak genangan air
disekitarnya dan wastafel tersebut mengalami kerusakan karena tersumbat.
Berdasarkan hasil observasi pada siswa kelas V Sekolah Dasar Nahdalatul
Ulama Yogyakarta, muncul tanda-tanda kurang adanya kedisiplinan dalam diri
siswa. Hal ini dapat dilihat pada keseharian siswa ketika di lingkungan sekolah,
seperti saat siswa bermain di sekitar sekolah, saat siswa sedang dalam kegiatan
terhadap peraturan-peraturan sekolah. Pada saat bel masuk kelas telah berbunyi,
siswa tidak langsung memasuki kelas tetapi masih meneruskan aktivitas
bermainnya hingga dipanggil oleh guru untuk segera masuk ke dalam kelas.
Ketika sudah di dalam kelas, tak jarang siswa tidak memperhatikan pelajaran
karena sedang bermain atau menunjukkan sikap hiperaktif seperti bermain
glotekan (memukul-mukul bangku) yang membuat kelas menjadi gaduh.
Disamping itu, pada saat pembelajaran sedang berlangsung tak jarang siswa
berjalan keluar kelas tanpa meminta ijin kepada guru yang mengajar terlebih
dahulu. Berkenaan dengan peraturan sekolah, masih terdapat beberapa siswa yang
tidak tertib dalam pemakaian seragam seperti memakai seragam tidak sesuai
dengan jadwal atau pemakaian atribut sekolah yang kurang lengkap.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Peningkatan Sikap Disiplin Siswa Melalui Penggunaan
Permainan Tradisional Siswa Kelas V Sekolah Dasar Nahdlatul Ulama’ Sleman,
Yogyakarta.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, identifikasi masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Keberadaan permainan tradisional sebagai pengantar dalam mengajarkan
nilai-nilai kehidupan kini mulai ditinggalkan.
2. Permainan tradisional mulai dilupakan karena dipandang tidak memberikan
3. Kurangnya sikap disiplin yang ditunjukkan oleh siswa kelas V Sekolah Dasar
Nahdlatul Ulama Yogyakarta.
4. Siswa kurang menunjukkan kesopanan terhadap guru pada saat pembelajaran
di dalam kelas.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dengan melihat kondisi serta
permasalahan yang kompleks, maka penelitian ini akan dibatasi pada:
1. Keberadaan permainan tradisional sebagai pengantar dalam mengajarkan
nilai-nilai kehidupan kini mulai ditinggalkan.
2. Kurangnya sikap disiplin yang ditunjukkan oleh siswa kelas V Sekolah Dasar
Nahdlatul Ulama Yogyakarta.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi, dan batasan masalah
yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka rumusan masalah yang
dapat peneliti ajukan adalah sebagai berikut:
Bagaimana meningkatkan sikap disiplin siswa kelas V SD Nahdlatul Ulama
Yogyakarta melalui permainan tradisional?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk meningkatkan sikap
disiplin siswa kelas V SD Nahdlatul Ulama’ Yogyakarta menggunakan permainan
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peserta Didik
Menambah pengetahuan tentang permainan tradisional sebagai pengisi
waktu luang yang dapat memberikan banyak manfaat.
2. Bagi Tenaga Pendidik
Sebagai tambahan referensi dalam usaha meningkatkan kedisiplinan
siswa menggunakan permainan tradisional yang memiliki nilai-nilai luhur di
dalamnya.
3. Bagi Peneliti
Sebagai pengetahuan dan pengalaman yang berharga dalam pembentukan
sebagai tenaga pendidik yang professional dan menyenangkan serta sebagai
langkah melestarikan kebudayaan bangsa dalam mewujudkan kecintaan pada
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Sikap Disiplin
1. Pengertian Sikap
G.W. Allport (David O. Sears, 1985: 137) mengemukakan bahwa sikap
adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman
yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada
semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Sedangkan menurut Lapiere
(Azwar, 2009: 5) sikap adalah suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan
antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara
sederhana sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.
Jadi sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek
dengan cara tertentu. Selain itu, sikap tidak sama dengan perilaku karena sikap
merupakan bagian dari perilaku manusia.
Sikap menentukan jenis atau tindakan yang dilakukan dalam
hubungannya dengan suatu objek, seperti perangsang yang relevan, orang-orang
atau kejadian-kejadian. Abu Ahmadi (2002: 171) mengungkapkan beberapa
karakteristik atau ciri-ciri sikap, antara lain:
a. Sikap itu dipelajari (learnability)
Sikap merupakan hasil belajar. Hal ini perlu dibedakan dari motif-motif
psikologi lainnya. Beberapa sikap dipelajari tidak sengaja dan tanpa kesadaran
b. Memiliki kestabilan (Stability)
Sikap bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap dan
stabil melalui pengalaman.
c. Personal-societal sognificance
Sikap melibatkan antara seseorang dengan orang lain serta antara orang
dengan situasi atau barang.
d. Berisi kognisi dan afeksi
Komponen kognisi daripada sikap adalah berisi informasi yang faktual,
misalnya: objek itu dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan.
e. Approach – avoidance directionality
Bila seseorang memiliki sikap yang favorable terhadap suatu objek, maka
mereka akan mendekati atau membantunya. Sebaliknya, bila seseorang
memiliki sikap yangunfavorable, mereka akan menghindarinya.
Berdasarkan ciri-ciri sikap diatas dapat diketahui bahwa aspek kognitif
seseorang mempunyai peranan dalam penentuan sikap yang dilakukan. Hal ini
sesuai pula dengan pendapat Allport (Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 125) bahwa
sikap mempunyai tiga komponen, yaitu:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Keberadaan ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap
Pembentukan sikap menurut Abu Ahmadi (2002: 164) dapat dibagi
dalam dua faktor yang berpengaruh di dalamnya. Pertama, faktor intern yaitu faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri. Faktor ini merupakan daya
pilih seseorang dalam menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh yang datang
dari luar. Kedua, faktor ekstern yaitu faktor yang terdapat diluar pribadi manusia. Faktor ini berupa interaksi sosial diluar kelompok. Adapun cara-cara yang
digunakan dalam pembentukan dan perubahan sikap menurut Sarlito Wirawan.S.
(1976: 104) adalah:
a. Adaptasi, kejadian atau peristiwa yang berulang-ulang, lama-kelamaan,
secara bertahap diserap ke dalam diri individu dan mempengaruhi
terbentuknya sikap.
b. Diferensiasi, dengan berkembangnya intelegensi dan bertambahnya
pengalaman maka hal-hal yang terjadi dianggap sejenis, sekarang dipandang
tersendiri lepas dari jenisnya.
c. Intelegensi, pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap dimulai dengan
suatu hal tertentu.
d. Trauma, merupakan pengalaman yang tiba-tiba atau mengejutkan yang
meninggalkan kesan dan pengalaman, traumatis ini dapat pula menyebabkan
terbentuknya teori.
Tingkatan sikap menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003: 126) adalah
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa subjek (seseorang) memperhatikan dan mau
menerima stimulus yang diberikan (objek)
b. Menanggapi (responding)
Menanggapi diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap
pertanyaan atau objek yang dihadapi, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas
yang diberikan. Karena dengan adanya usaha dalam menjawab pertanyaan atau
mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari benar atau salah pekerjaan
tersebut menandakan bahwa orang (subjek) menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan subjek (seseorang) memberikan nilai yang positif
terhadap objek atau stimulus. Maksudnya ialah seperti membahasnya dengan
orang lain bahkan mengajak atau mempengaruhi orang lain. Mengajak orang
lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi
sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab(responsible)
Tingkatan yang paling tinggi ialah bertanggung jawab, yaitu bertanggung
jawab terhadap segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan menerima segala
resiko.
2. Pengertian Disiplin
Disiplin merupakan salah satu nilai karakter budaya yang dikembangkan
untuk pendidikan karakter berbasis budaya di Indonesia. The Liang Gie (Ali
tertib dimana orang-orang yang tergabung dalan suatu organisasi akan tunduk
pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang hati. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Hoffman (Maria J.Wantah, 2005: 139-140) bahwa disiplin
merupakan cara masyarakat (termasuk guru dan orang tua) mengajar anak
berperilaku moral yang disetujui dan diterima oleh kelompok. Berdasarkan
pemaparan diatas dapat diketahui bahwa disiplin sangat erat hubungannya dengan
peraturan dan tata tertib dalam suatu kelompok atau organisasi.
Hurlock (2000: 82) menambahkan tujuan adanya disiplin adalah agar
anak dapat menampilkan perilaku sesuai dengan standar kehidupan dalam suatu
kelompok masyarakat. Hal ini selaras dengan pendapat dari Maman Rachman
(1999: 168) bahwa pada hakikatnya disiplin adalah pernyataan sikap mental dari
individu maupun masyarakat yang mencerminkan rasa ketaatan, kepatuhan yang
didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas, dan kewajiban dalam rangka
pencapaian tujuan. Jadi bisa disimpulkan bahwa disiplin merupakan sikap patuh
dan taat terhadap peraturan, yang dipakai sebagai pedoman hidup agar dapat
bersesuaian dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat.
Namun, dalam prakteknya disiplin sering kali dihubungkan bahkan
ditafsirkan sama dengan hukuman dan upaya pengendalian perilaku seseorang
(Hurlock, 2000: 98-99). Pada tafsiran pengertian seperi ini, disiplin identik
dengan sikap tegas dan keras yang dihubungkan dengan hukuman (punishment) yang diberikan sebagai alat yang efektif dalam menegakkan disiplin anak. Seiring
perkembangan waktu, masyarakat dalam menanggapi disiplin anak pun mulai
Pada zaman dahulu disiplin yang digunakan lebih bersifat keras dan
otoriter yang berlandaskan pada kebiasaan sosial dan prinsip keagamaan.
Sedangkan, pada zaman sekarang ini disiplin digunakan secara lebih toleran,
permisif, dan bahkan bersikap laissez-faire (tidak ikut campur). Spock (Maria
J.Wantah, 2005: 142) mengungkapkan bahwa perkembangan sikap masyarakat
dalam disiplin dipengaruhi oleh dua pendekatan yang berbeda dalam pendidikan
dan bimbingan anak. Pertama, cara yang dilakukan adalah dengan terlalu
memberikan kebebasan, terlalu mengijinkan atau membiarkan anak (over permissiveness). Cara yang kedua adalah otoriter atau terlalu keras dalam
memberikan sanksi-sanksi yang tegas. Kedua pendekatan tersebut sebenarnya
sama-sama memberikan kerugian terhadap perkembangan anak.
Berdasarkan kedua pendekatan tersebut, memunculkan pemahaman
positif dan negatif terhadap konsep disiplin. Paham positif memandang disiplin
sama dengan pendidikan atau bimbingan karena lebih menekankan pada
pertumbuhan dari dalam diri, disiplin diri, dan pengendalian diri. Hal yang
diutamakan adalah penyesuaian tumbuh secara bertahap dalam diri anak terhadap
aturan-aturan, sambil anak memperoleh pengertian tentang makna disiplin bagi
dirinya sendiri sehingga mereka bisa lebih mawas diri serta dapat mengatur
pemikiran, penuturan dan tingkah sesuai dengan kaidah-kaidah yang dianut.
Sedangkan, paham negatif melihat disiplin sebagai pengawasan,
pengekangan, dan pengendalian oleh satu kekuasaan diluar diri. Sering kali
pengawasan dan pengekangan disini lebih mengarah ke cara-cara yang keras dan
siksa yang menghasilkan efek jera bagi anak agar tidak mengulangi perbuatan
yang melanggar peraturan. Walaupun, pemberian siksa tersebut sebenarnya tidak
memberikan kepastian bahwa anak tidak akan melakukan hal-hal yang tidak
diinginkan. Memandang dari perspektif bimbingan dan pendidikan anak maka
paham positiflah yang perlu untuk dikembangkan dalam konsep disiplin. Fungsi
pokok disiplin disini ialah mengajarkan anak untuk menerima pengawasan dan
pengekangan yang diperlukan dalam membantu mengarahkan energi anak ke
dalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial.
3. Jenis – Jenis Disiplin Untuk Anak.
Disiplin merupakan salah satu nilai karakter yang perlu untuk
dikembangkan dan ditanamkan dalam diri anak-anak bangsa. Hurlock (2000:
125-130) menyebutkan bahwa terdapat tiga jenis disiplin yang biasa digunakan untuk
menanamkan disiplin pada anak, yaitu:
a. Disiplin Otoriter
Hurlock (2000: 93) menjelaskan bahwa pada disiplin ini ditandai adanya
peraturan dan pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku agar sesuai
dengan yang diinginkan. Penerapan peraturan-peraturan pada disiplin ini tanpa
disertai penjelasan mengenai alasan wajibnya anak mematuhi peraturan tersebut.
Jadi anak hanya diberitahu bahwa mereka hanya harus patuh terhadap
peraturan-peraturan tersebut. Tekniknya mencakup hukuman berat jika terjadi kegagalan
dalam memenuhi standar (keinginan). Disamping itu, tidak ada ataupun sedikit
pujian, persetujuan atau tanda-tanda penghargaan lainnya ketika anak mampu
Hukuman seringkali berupa hukuman (fisik) yang keras dan diberikan
kepada pelanggar peraturan tak terkecuali anak-anak. Hal ini dianggap sebagai
cara yang tepat dalam mencegah pelanggaran peraturan dimasa mendatang.
Pemberlakuan disiplin ini dapat terjadi antara pengendalian perilaku anak yang
wajar hingga yang kaku yaitu tidak adanya pemberian kebebasan bertindak kecuali sesuai dengan standar yang ditentukan. Pada pelaksanaan disiplin
otoriter yang wajar, tindakan anak tetap dibatasi serta keputusan-keputusan
diambil oleh orang yang berkuasa (orang tua). Namun, keinginan anak tidak
seluruhnya diabaikan dan berkurangnya pembatasan tindakan yang kurang
beralasan dalam penerapannya.
b. Disiplin yang lemah atau permisif
Menurut Hurlock (2000: 93) disiplin permisif muncul dan berkembang
sebagai bentuk protes terhadap disiplin otoriter yang dialami oleh banyak orang
dewasa pada usia kanak-kanaknya. Disiplin ini sebenarnya berarti sedikit
disiplin atau tidak berdisiplin. Beberapa orang dewasa menganggap kebebasan
(permissiveness) sama dengan laissez-faire, yakni membiarkan anak belajar
(meraba-raba) dalam situasi sulit untuk ditanggulanginya sendiri tanpa adanya
bimbingan ataupun pengendalian. Pada penerapannya anak tidak diajarkan
peraturan-peraturan serta tidak pula ada hukuman ataupun penghargaan.
Disamping itu, anak-anak diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan
c. Disiplin demokratis
Disiplin demokratis menurut Hurlock (2000: 93) merupakan metode
yang lebih menekankan aspek edukatif daripada aspek hukuman. Pada
prinsipnya disiplin demokratis menggunakan penjelasan, diskusi, atau penalaran
dalam membantu anak memahami perilaku tertentu yang diharapkan.
Maksudnya terdapat penekanan hak anak untuk mengetahui alasan
peraturan-peraturan tersebut dibuat serta anak diberikan kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya sendiri mengenai keadilan dalam peraturan
tersebut. Sekalipun anak masih sangat muda tetapi dalam diri anak tidak
diharapkan berperilaku patuh buta-butaan. Selain itu, melalui disiplin demokratis diharapkan dapat memberikan pengertian bagi anak untuk dapat
memahami arti peraturan-peraturan serta mengapa suatu kelompok sosial
mengharapkan anak mematuhi peraturan-peraturan.
Hukuman disesuaikan dengan kesalahan yang dilakukan oleh pelanggar
atau masih berhubungan dengan kesalahan tersebut, bukan lagi hukuman fisik.
Penghargaan terhadap usaha-usaha untuk menyesuaikan dengan harapan sosial
yang tercakup dalam peraturan dan diperlihatkan melalui pemberian hadiah
terutama dalam bentuk pujian dan pengakuan sosial.
Berdasarkan uraian di atas, jenis disiplin yang kini dipandang tepat
untuk pendidikan adalah disiplin demokratis. Hal ini dikarenakan, hak-hak anak
cenderung tidak diabaikan dan diikut sertakan dalam pemahaman adanya
peraturan tersebut. Anak diharapkan dapat mengerti dengan baik akan tujuan
baik dalam menanggapi peraturan tersebut. Disamping itu, anak diharapkan dapat
memahami bahwa disiplin itu sebenarnya akan menguntungkan dirinya sendiri
serta orang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Maria J.Wantah (2005: 178)
bahwa suatu disiplin akan efektif apabila mampu membantu anak untuk
mengendalikan sikap dan perilakunya agar anak bertindak sesuai dengan
pandangan orang tua dan masyarakat mengenai perilaku mana yang baik dan
perilaku mana yang tidak baik, bukan karena takut terhadap hukuman.
4. Tujuan serta Pentingnya (Manfaat) Disiplin Bagi Anak
Hurlock (2000: 81) mengungkapkan bahwa tujuan disiplin adalah
membentuk perilaku sedemikian rupa agar perilaku tersebut sesuai dengan
peran-peran yang telah ditetapkan oleh kelompok budaya tempat individu tersebut
tinggal. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Gooman and Gurian (dalam Maria
J.Wantah, 2005: 176) bahwa tujuan khusus dalam disiplin anak adalah
pembentukan dasar tingkah laku sosial sesuai yang diharapkan masyarakat, dan
membantu mengembangkan pengendalian diri anak sejak usia dini. Hal ini dalam
perwujudannya perlu adanya dukungan dari orang dewasa dengan pengajaran,
bimbingan, dan dorongan untuk anak supaya dapat mencapai perkembangan
secara optimal.
Pada dasarnya, tujuan dari disiplin adalah membentuk perilaku anak
agar sesuai dengan keinginan masyarakat serta dapat menghindari perilaku yang
tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Secara esensial, disiplin merupakan
upaya membentuk perilaku saling menghargai, adil, dan konsisten melalui
untuk membentuk perilaku anak agar lebih bisa mengendalikan dirinya dan selalu
berperilaku baik sesuai dengan norma dan nilai yang ada di kelompok atau
masyarakat. Hal ini pastinya dilaksanakan secara bertahap dan berjangka yang
mana akhirnya dapat membantu anak dalam mengembangkan nilai-nilai moral di
dalam dirinya khususnya nilai disiplin.
Disiplin pada anak sebenarnya dapat pula diajarkan melalui cara
membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh anak. Peraturan tersebut
dilaksanakan oleh anak secara terus menerus sehingga pada nantinya muncul
pembiasaan pada diri anak untuk selalu menaati peraturan. Selain itu, Bandura
(William Crain, 2007: 302) mengemukakan bahwa pada situasi-situasi sosial,
manusia sering kali belajar jauh lebih cepat hanya dengan mengamati tingkah laku
orang lain. Melalui pengamatan, dapat diperoleh suatu pelajaran mengenai
konsekuensi yang memungkinkan dari sebuah tingkah laku dengan
memperhatikan apa yang kan terjadi ketika orang lain mencoba melakukan
tingkah laku tersebut. Proses ini disebutvicarious reinforcement(penguatan lewat pengamatan empatik, merasa seolah-olah kita yang melakukan).
5. Unsur-Unsur dalam Disiplin dan Penerapannya
Kurtinez dan Greif (dalam Hurlock, 2000: 84) terdapat empat unsur
pokok disiplin yang penting untuk selalu disertakan, yaitu: 1) peraturan sebagai
pedoman perilaku, 2) hukuman untuk pelanggaran peraturan, 3) penghargaan
untuk perilaku baik yang sejalan dengan peraturan yang berlaku, dan 4)
Keempat unsur pokok tersebut dalam prakteknya sangat penting untuk
selalu dilengkapi. Rincian keempat unsure tersebut adalah sebagai berikut
(Hurlock, 2000: 85- 92):
a. Peraturan
Istilah peraturan menurut Kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti
tatanan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur. Sedangkan
menurut Hurlock (1999: 85) peraturan merupakan pola yang ditetapkan untuk
tingkah laku. Pola tersebut kemungkinan ditetapkan oleh orang tua, guru, atau
teman bermain. Tujuannya adalah untuk membekali anak dengan pedoman
perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Misalnya peraturan yang ada di
lingkungan sekolah. Peraturan-peraturan tersebut memberikan pengertian atau
batasan pada anak mengenai apa saja yang harus dilakukan serta apa saja yang
tidak diperbolehkan untuk dilakukan ketika berada di kelas, di koridor sekolah,
ruang makan, di kamar kecil, dan sebagainya.
Maria J.Wantah (2005: 151) menambahkan bahwa peraturan juga dapat
dibuat untuk kegiatan-kegiatan anak dalam situasi dan kondisi tertentu, misalnya
dalam bermain. Ketika anak bermainjeg- jegan di rumah, maka kelompok yang ingin menangkap lawan tidak boleh memukul atau menjatuhkan anak lain yang
berperan sebagi lawan cukup memegang atau menyentuh saja. Demikian pula,
ketika kegiatan bermain di sekolah. Jika seorang anak bermain curang, maka dia
mendapatkan hukuman, misalnya tidak mendapatkan kesempatan bermain dalam
Anonimous (dalam Maria J.Wantah, 2005: 152) menerangkan bahwa
penggunaan aturan adalah untuk meningkatkan disiplin pada anak agar dapat
belajar hidup bersama dengan orang lain. Hal ini seakan menjelaskan bahwa
lambat laun peraturan dalam disiplin akan mampu menggiring anak mempunyai
moral yang baik dalam sebuah kelompok sosial.
b. Hukuman
Hukuman berasal dari kata kerja punier, yang memiliki arti menjatuhkan hukuman pada seseorang karena berbuat suatu kesalahan, perlawanan atau
pelanggaran sebagai suatu bentuk pembalasan atau ganjaran. Hal ini
menyiratkan bahwa kesalahan, perlawanan atau pelanggaran tersebut dilakukan
secara sengaja. Jadi, dapat diketahui bahwa sebenarnya orang tersebut sudah
mengetahui bahwa perbuatan tersebut salah akan tetapi tetap dilakukannya.
Schaefer (Maria J.Wantah, 2005: 160) menyebutkan bahwa terdapat dua
tujuan dalam memberikan hukuman. Pertama, tujuan dalam jangka pendek
yaitu menjatuhkan hukuman untuk menghentikan tingkah laku yang salah.
Kedua, tujuan dalam jangka panjang, yaitu mengejar atau mendorong
anak-anak agar menghentikan tingkah laku mereka yang salah supaya dapat
mengarahkan dirinya sendiri. Selain itu, Hurlock (1999: 87) juga menjelaskan
bahwa hukuman mempunyai fungsi penting untuk perkembangan moral anak.
1) Hukuman dapat menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan
oleh masyarakat.
2) Hukuman berfungsi untuk mendidik. Sebelum anak mengerti peraturan,
benar dan tidak akan mendapatkan hukuman. Sedangkan untuk tindakan
yang buruk itu salah dan akan mendapatkan hukuman sebagai balasannya.
3) Hukuman sebagai langkah memberikan motivasi untuk menghindari
perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.
Cara pemberian hukuman pun mempunyai beberapa jenis. Pertama, Hukuman fisik atau biasa juga disebut dengan hukuman badan, yaitu sebuah
tindakan yang diberikan dengan menimbulkan rasa sakit, bisa dengan
menempeleng, memukul, mencubit atau memecut. Kedua, hukuman dengan kata, misal dengan mempermalukan, meremehkan, dan menggunakan
kata-kata yang kasar.Ketiga, hukuman dengan bentuk sebuah larangan, misal dengan melarang anak menontom TV sebelum mereka selesai mengerjakan tugas.
Keempat, hukuman dengan penalti misalnya mengurangi uang saku anak
apabila anak merusak sesuatu (Hurlock 1999: 87, Maria J,Wantah 2005:157).
Berdasarkan keempat jenis hukuman tersebut, menurut Maria J.Wantah (2005:
157-158) jenis hukuman yang tepat untuk dipakai sebagai metode disiplin yang
efektif adalah jenis hukuman dalam bentuk larangan serta hukuman dengan
penalti daripada hukuman fisik dan hukuman dengan kata-kata. Karena lebih
menjaga perasaan dan badan mereka terhadap rasa sakit yang bisa saja
menimbulkan trauma.
Berdasarkan hal yang telah dijelaskan, dapat ditarik kesimpulan bahwa
hukuman sebenarnya dapat memberikan hal-hal yang dapat membantu dalam
perkembangan moral anak. Akan tetapi, ketika akan memberi hukuman kepada
efek jera tetapi bukan efek samping yang dapat memberikan rasa trauma kepada
anak.
c. Penghargaan
Maslow (Maria J.Wantah, 2005: 164) mengungkapkan bahwa
penghargaan adalah salah satu dari kebutuhan pokok yang mendorong seseorang
untuk mengaktualisasikan dirinya. Hurlock (1999: 90) menambahkan bahwa
istilah penghargaan merupakan setiap bentuk penghormatan untuk suatu hal
yang baik. Maria J.Wantah (2005: 164) juga memberikan pendapatnya bahwa
penguatan positif adalah teknik terbaik untuk mendorong tingkah laku yang
diinginkan. Jadi penghargaan merupakan salah satu bentuk tindakan yang dapat
memotivasi seseorang atau anak untuk berperilaku sesuai dengan yang
diinginkan oleh kelompok sosial.
Bentuk dari penghargaan bukan hanya berupa materi, tetapi bisa dengan
kata-kata pujian, senyuman, atau tepukan pada punggung. Penghargaan
merupakan suatu hal yang berbeda dengan suapan atau imbalan. Penghargaan
dilakukan setelah seseorang melakukan sebuah tindakan yang baik, sedangkan
suapan atau imbalan merupakan janji atau sesuatu (benda) yang diberikan
(dilakukan) sebelum seseorang melakukan tindakan baik.
Penghargaan mempunyai tiga fungsi yang berperan penting dalam
mengembangkan perilaku anak agar sesuai dengan hal-hal yang disepakati oleh
masyarakat. Pertama, penghargaan mempunyai nilai mendidik. Penghargaan
memberikan pengertian bahwa perbuatan tersebut merupakan hal yang baik dan
anak untuk malanjutkan perilaku yang disetujui secar sosial. Ketiga,
penghargaan berperan untuk menguatkan anak agar mengulangi perbuatan baik
tersebut, dan tidak adanya penghargaan sebenarnya dapat melemahkan
keinginan anak untuk mengulangi perbuatan baik yang disetujui secara sosial
tersebut.
Pemberian penghargaan kepada anak haruslah mempertimbangkan
perkembangan dalam diri anak. Cara memberikan penghargaan kepada anak pun
memiliki beberapa jenis.
1) Penerimaan sosial
Hal yang dimaksudkan disini adalah penghargaan secara verbal
(misalnya, tepuk tangan, pelukan atau senyuman) atau sebuah pujian. Bagi
anak yang sudah lebih besar dengan memberikan pujian saja itu sudah cukup,
karena mereka sudah mampu berpikir untuk memahami atau mengetahui
maksud dari pendidik. Berbeda dengan anak yang lebih kecil, harus dengan
disertai tindakan konkret seperti penghargaanverbal. 2) Hadiah
Hadiah dapat sebagai sebuah tanda kasih sayang, penghargaan atas
prestasi atau kemampuan seorang anak, atau sebagai bentuk dorongan atau
tanda kepercayaan untuk anak. Schaefer (dalam Maria J.Wantah, 2005: 166)
mengungkapkan bahwa penghargaan dalam bentuk hadiah selain dapat
memberikan motivasi juga akan meningkatkan percaya diri anak. Jadi, dapat
keyakinan dan kepercayaan diri pada anak terhadap semua perbuatan yang
dilakukannya.
3) Perlakuan istimewa
Hal ini bisa diwujudkan berupa sebuah tindakan yang diberikan yang
sebelum-sebelumnya tidak pernah dilakukan kepada anak. Misalnya,
memberikan ijin kepada anak untuk bermain lebih lama atau memberikan
waktu spesial untuk menonton film yang biasanya waktu tersebut digunakan
untuk beristirahat.
Namun, menurut Maria J.Wantah (2005: 166-167) hadiah merupakan
jenis penghargaan yang tepat untuk anak kecil daripada memakai perlakuan
istimewa. Sedangkan untuk anak yang lebih besar, perlakuan istimewa
merupakan cara yang tepat.
d. Konsistensi
Konsistensi adalah stabilitas atau tingkat keseragaman. Konsistensi disini
berbeda dengan ketetapan, karena makna konsistensi disini lebih cenderung
menunjukkan kesamaan daripada makna yang menunjukkan tidak adanya
perubahan.
Konsistensi haruslah ada dalam ciri-ciri semua aspek disiplin. Karena,
konsistensi memegang peranan penting dalam peraturan yang digunakan
sebagai pedoman perilaku. Pada prakteknya konsisten dalam peraturan itu
diajarkan serta dipaksakan, yaitu dengan adanya hukuman diberikan untuk
mampu menyesuaikan dengan standar perilaku yang telah ditetapkan kelompok
sosial.
Hurlock (1999: 91) menjelaskan bahwa konsistensi dalam disiplin
memiliki tiga peran penting.Pertama, konsistensi memiliki nilai mendidik yang
besar. Jika peraturan yang digunakan dapat konsisten, maka itu dapat memacu
atau mendorong anak untuk proses belajarnya. Kedua, konsistensi mempunyai
nilai motivasi yang kuat. Ketika anak menyadari bahwa adanya hukuman itu
selalu menyertai tindakan yang salah dan adanya penghargaan selalu menyertai
tindakan yang benar, maka anak akan memiliki keinginan yang kuat untuk
menghindari perilaku yang salah (tidak disetujui oleh kelompok sosial) dan
melakukan tindakan yang benar.Ketiga, adanya konsistensi dalam menjalankan
peraturan, memberikan hukuman serta penghargaan dapat mempertinggi
penghargaan anak terhadap peraturan serta orang yang memberikan
(menjalankan) peraturan tersebut.
Berdasarkan keterangan dari keempat unsur disiplin tersebut dapat
disimpulkan bahwa sebenarnya keempat unsur tersebut saling berhubungan dan
mendukung antara unsur yang satu dengan yang lainnya. Keempat unsur tersebut
juga sama-sama memiliki dua peran penting dalam disiplin yaitu memberikan
pendidikan kepada perkembangan anak serta mampu memotivasi dengan kuat
bagi anak untuk selalu berperilaku baik.
Pada penelitian ini, unsur disiplin yang digunakan adalah unsur disiplin
berdasarkan pendapat dari Hurlock, yaitu peraturan, hukuman, penghargaan dan
B. Kajian Permainan Tradisional
1. Hakekat Bermain Dan Permainan
Istilah Bermain (play) biasa dipakai secara bebas sehingga makna asli kata dimungkinkan telah menghilang. Hurlock (1999: 320) mengungkapkan
bahwa arti utama dari istilah bermain (play) ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk menimbulkan rasa senang tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Sedangkan
menurut Battelheim (dalam Hurlock, 1999: 320) kegiatan bermain merupakan
kegiatan yang tidak mempunyai peraturan kecuali yang ditetapkan pemain sendiri
dan tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realitas luar. Jadi dapat
disimpulkan bahwa istilah bermain memiliki makna tindakan yang menghasilkan
perasaan senang tanpa menitikberatkan pada hasil akhirnya.
Istilah bermain, tidak jarang dikaitkan dengan istilah permainan dan
mainan yang memiliki kata dasar yang sama yaitu “main”. Namun, ketiga istilah
tersebut memiliki makna yang berbeda. Secara sederhana, Iva Rifa (2012: 8)
menjelaskan perbedaan pengertian dari ketiga istilah tersebut yaitu makna dari
istilah bermain ialah kegiatan main. Sedangkan mainan ialah sesuatu yang
digunakan untuk main, dan permainan ialah kegiatan yang berisi bermain dan
mainan. Jadi, ketiga istilah tersebut walaupun memiliki makna yang berbeda
tetapi masih saling berhubungan. Misalnya dalam permainan egrang, ketika egrang dimainkan maka itu disebut dengan kegiatan bermain, dan egrang
merupakan mainannya.
Lev Vigotsky (Tedjasaputra, 2001: 9) meyakini bahwa kegiatan
Misalnya dalam perkembangan berpikir abstrak anak, menurut Vigotsky hal ini
dapat dibantu dengan mengajak anak bermain khayal atau pura-pura serta
melibatkan permainan simbolik. Hal ini dikarenakan anak belum mampu untuk
berpikir secara abstrak sebab bagi merekameaning (makna) dan objek tercampur
menjadi satu. Keberadaan pengantar (objek pengganti) diperlukan yaitu dengan
menggunakan permainan tersebut untuk membantu anak berpikir mengenai
meaningsecara terpisah dari objek yang mewakilinya.
Pada buku Play and Early Childhood Development karya Johnson et al
(1999), berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smith et al; Garvey; rubin,
Fein dan Vandenberg (Tedjasaputra 2001:16-17) diungkapkan tentang beberapa
ciri kegiatan bermain, yaitu:
a. Dilakukan berdasarkan motivasi intrinsik, maksudnya muncul atas
keinginan pribadi serta untuk kepentingan sendiri.
b. Perasaan dari orang yang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh
emosi-emosi yang positif. Kalaupun emosi positif tidak tampil setidaknya
kegiatan bermain memilki nilai (value) bagi anak.
c. Fleksibilitas yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktivitas ke
aktivitas yang lain.
d. Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil akhir.
e. Bebas memilih, dan ciri ini merupakan elemen yang sangat penting bagi
konsep bermain pada anak-anak kecil. Kebebasan memilih menjadi tidak
begitu penting bila anak beranjak besar. Menurut hasil penelitian King
(pleasure) lebih penting dibandingkan kebebasan untuk memilih sehingga
usia di atas pra sekolah pleasure menjadi parameter untuk membedakan bermain dengan bekerja.
f. Mempunyai kualitas pura-pura. Kegiatan bermain mempunyai kerangka
tertentu yang memisahkannya dari kehidupan nyata sehari-hari. Kerangka
ini berlaku terhadap semua bentuk kegiatan bermain. Realitas internal lebih
diutamakan daripada realitas eksternal. Karena anak memberikan makna
baru terhadap objek yang dimainkan dan mengabaikan keadaan objek yang
sesungguhnya. Keadaan ini bisa kita simak saat anak bermain.
Tindakan-tindakan anak akan berbeda dengan perilakunya saat sedang tidak bermain.
Misalnya anak yang pura-pura minum dari ‘cangkir’ yang sebenarnya
berwujud balok, atau menganggap kepingan gambar sebagai kue keju.
Kualitas ‘pura-pura’ memungkinkan anak bereksperimen dengan
kemungkinan-kemungkinan baru.
Disini dijelaskan bahwa parameter penting untuk antara anak pra sekolah dengan anak sekolah berbeda. Dikatakan bahwa parameter untuk anakpra
sekolah adalah kebebasan anak memilih permainan sedangkan untuk anak sekolah
lebih pada rasa senang yang didapat anak (pleasure).
Heddy SAP (dalam Sukirman, 2008: 21-25) mengungkapkan mengenai
kesimpulan yang didapat dari berbagi literatur asing yang memunculkan beberapa
perspektif dalam memahami dan menjelaskan fenomena bermain anak, yaitu :
a. perspektif fungsional : bermain sebagai “persiapan menjadi dewasa”.
c. perspektif psikologis : bermain sebagai wujud kecemasan dan kemarahan.
d. perspektif adaptasi : bermain sebagai peningkatan kemampuan beradaptasi.
2. Tinjauan Permainan Tradisional
Permainan tradisional merupakan salah satu bentuk kebudayaan bangsa.
Bentuk dan wujud permainan tradisional yang tumbuh dan berkembang di suatu
daerah dan pada umumnya mencerminkan kebudayaan setempat (Sukirman,dkk,
1993: 1). Lahirnya kebudayaan merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa
manusia. Permainan tradisional biasa juga disebut dengan permainan rakyat atau
dolanananak yang diwariskan oleh para leluhur secara turun temurun. Permainan
ini biasanya dimainkan oleh para rakyat khusunya anak-anak ketika cuaca cerah
baik ketika pagi atau malam hari. Pada zaman dahulu permainan tradisional biasa
dipakai sebagai sarana bersosialisasi masyarakat khusunya anak-anak.
Permainan tradisional merupakan salah satu bagian dalam folklor. Pada
Undang-Undang Republik Indonesia No 19 mengenai hak cipta telah diatur
tentang kepemilikan dari folklor, yaitu pada pasal 10 ayat 2 yang berbunyi:
“ Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya”.
Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat
oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan
identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai - nilai yang
diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk:
a. Cerita rakyat, puisi rakyat.
c. Tari - tarian rakyat, permainan tradisional.
d. Hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran - ukiran, pahatan,
mozaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun
tradisional.
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa permainan tradisional memiliki dasar
hukum yang kuat sebagi salah satu bagian kebudayaan negara yang patut untuk
dikembangkan serta dilestarikan keberadaannya.
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Negara
Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai luhur budaya, serta menjadikannya
sebagai bagian dari jati diri masyarakat Yogyakarta. Pada Perda DIY No.5 Tahun
2011 Pasal 3 mengenai pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan berbasis
budaya disebutkan bahwa salah satu tujuannya adalah mewujudkan daerah
sebagai pusat pendidikan terkemuka di Asia Tenggara tahun 2025. Berdasarkan
hal ini dapat diketahui bahwa pendidikan yang berlangsung di Daerah Yogyakarta
diharapkan tetap menyertakan atau tidak meninggalkan nilai-nilai budaya di
dalamnya.
3. Jenis Permainan Tradisional
Danandjaya (Christyanti Ariyani,dkk, 1997/ 1998: 2) menyebutkan
bahwa permainan tradisional ketika ditinjau dari sifat permainannya dapat
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu permainan yang bersifat bermain (play) dan permainan yang bersifat bertanding (games). Perbedaan keduanya dapat
dilihat pada karakter permainannya yang mana pada jenis permainan yang bersifat
permainan pertandingan mempunyai sifat khusus seperti lebih terorganisasi,
kompetitif, dimainkan paling sedikit dua orang, mempunyai kriteria yang
menentukan menang dan kalah, serta mempunyai peraturan permainan yang telah
diterima oleh pesertanya.
Sukirman,dkk (1992/ 1993: 45) berpendapat bahwa jenis-jenis
permainan tradisional itu sangat besar pengaruhnya terhadap mutu kegiatan
pembinaan anak-anak dalam masyarakat. Karena dalam permainan tidak sekedar
mengandung makna sebagai hiburan melainkan dapat dipergunakan untuk
menanamkan pengertian dan membina sikap serta ketrampilan tertentu pada
anggota masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan maksud atau makna yang terkandung dalam permainan
tradisional, Sukirman (1992/ 1993: 46) membaginya menjadi lima bagian, yaitu:
a. Permainan yang bersifat menirukan suatu perbuatan.
Misalnya : pasaran (berjual beli), mantenan (permainan mempelai), dhayoh-dhayohan, membuat wayang dari janur (daun kelapa) atau tangkai
rumput, dan lain sebagainya.
b. Permainan yang mencoba kekuatan dan kecakapan.
Misalnya : tarik menarik, bergantung, berkejar-kejaran, gobag sodor, gobag bunder, bangkat, benthik, uncal, jelungan, genukandengan gendhongan, obrog, tembung (ecu), bandhulandan banyak lainnya.
c. Permainan yang semata-mata bertujuan untuk melatih panca indera
dhakepan, menggambar di tanah, main bayang-bayangan seperti kidang talun
dan sebagainya.
d. Permainan dengan latihan bahasa
Misalnya Permainan Teka teki, seperti puk-puk bul, teng-teng cer, pitik walik sobo kebon, dan sebagainya.
e. Permainan dengan gerak lagu danwirama
Permainan yang beserta lagu dan wirama sangatlah luas dan banyak sekali perinciannya. Berikut golongan permainan beserta contohnya:
1) Golongan permainan yang semata-mata lagu yang menjadi pokok
Misalnya: lagu Padang bulan, Widadari tumurana, Uler-uler jedhung, dan sebagainya.
2) Golongan lagu yang disertai gerak permainan
a) Lagu yang menjadi pengantar suatu permainan
Misalnya, Jamuran, Tumbaran. Ancak-ancak alis, cublak-cublak suweng, dan sebagainya.
b) Lagu sebagai pengiring tari atau gerakwirama.
Misalnya, menggelangkan badan, mengangkat kaki, mencondongkan
lambung dan lain sebagainya.
c) Lagu yang bersifat undian
d) Lagu yang bersifat semacam teka-teki.
Misalnya, Lur kilir, kulir kombang, mbang, bangku dhuwur, wur, wora-wiri, ri, rina wengi, ngi, ngidul ngetan, tan, ...dan seterusnya.
e) Lagu yang dipakai pada suatu permainan yang membawa ke suasana
intrancebagi si pelaku.
Misalnya lagu:oncit, wedhus prucul, cit nong, dan lain sebagainya.
Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 1879 dan 1982 yang dilakukan
oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta di Daerah Istimewa
Yogyakarta, teridentifikasi kurang lebih terdapat empat puluh jenis permainan
tradisional yang tersebar di beberapa kecamatan di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta. Keempat puluh jenis permainan tradisonal tersebut sangat beraneka
ragam pola permainannya. Untuk mempermudah mengidentifikasinya Sukirman
Dhamarmulya (2008 : 35) telah membaginya menjadi 3 kategori sesuai dengan
pola permainannya, yakni :
a. Bermain dan bernyanyi dan (atau) dialog
Permainan anak pada pola bermain disertai dengan bernyanyi dan (atau)
berdialog maksudnya ialah pada waktu permainan itu dimainkan yang diawali
atau diselingi oleh nyanyian, dialog, atau nyanyian dan dialog. Inti dari
permainan ini yaitu nyanyian dan dialog. Permainan anak yang dilakukan
dengan bernyanyi, dengan irama tertentu sambil bertepuk tangan atau dengan
gerakan-gerakan fisik tertentu. Pada umumnya permainannya bersifat rekreatif,
sosial, tebak-tebakan, dan sebagainya. Berikut ini jenis-jenis permainan yang
[image:49.595.123.512.146.448.2]termasuk dalam kategori pola bermain dengan bernyanyi serta berdialog.
Tabel 1. Jenis Permainan Kategori Bermain dan Bernyanyi dan (atau) Dialog
No Jenis permainan Pelaku permainan Permainan Akhir permainan 1 Ancak-ancak alis Perempuan/laki-laki Bernyanyi, dialog Kalah – menang 2 Bethet Thing-thong Perempuan/laki-laki Bernyanyi Dadi – mentas 3 Bibi tumbas timun Perempuan Bernyanyi, dialog Tidak ada 4 Cacah Bencah Perempuan Bernyanyi Dadi – mentas 5 Cublak-cublaksuweng Perempuan Bernyanyi Dadi – mentas 6 Genukan Perempuan/ laki-laki Bernyanyi, menari Kalah – menang 7 Gowokan Laki-laki / perempuan Bernyanyi, menari Dadi – mentas 8 Jamuran Perempuan / laki-laki Bernyanyi , dialog Dadi – mentas 9 Koko – koko Laki-laki / perempuan Dialog Dadi – mentas 10 Lepetan Laki-laki saja, atauperempuan saja Bernyanyi, dialog Tidak ada 11 Nini thowong Perempuan Bernyanyi Tidak ada 12 Dhingklik oglak-aglik Laki-laki / perempuan Bernyanyi Tidak ada 13 Dhoktri Laki-laki saja, atauperempuan saja Bernyanyi Kalah – menang 14 Epek –epek Laki-laki / perempuan Bernyanyi Kalah – menang 15 Gajah telena Laki-laki Bernyanyi Dadi – mentas 16 Gatheng Perempuan / laki-laki Bernyanyi Kalah – menang
17 Kubuk Perempuan Bernyanyi Kalah – menang
18 Kubuk manuk Laki-laki / Perempuan Bernyanyi Kalah – menang 19 Kucing- kucingan Laki-laki saja, atauperempuan saja Bernyanyi Dadi – mentas 20 Layangan Laki-laki Bernyanyi Kalah – menang 21 Sliring gending Laki–laki / perempuan Bernyanyi Dadi – mentas 22 Soyang Perempuan Bernyanyi, dialog Kalah – menang
b. Bermain dan olah pikir
Jenis permainan ini lebih banyak membutuhkan konsentrasi berpikir,
ketenangan, kecerdikan, dan strategi. Pada umumnya permainan-permainan ini
bersifat kompetitif perorangan, oleh karena itu tidak memerlukan tempat atau
area permainan yang luas. Keempat jenis permainan tersebut dapat dilihat tabel
berikut.
Tabel 2. Jenis Permainan Kategori Bermain dan Olah Pikir
No Jenis permainan Pemain Pola permainan Akhir permainan
1 Bas-basan sepur Laki-laki Berpikir Kalah – menang
2 Dakon Perempuan Berpikir Kalah – menang
3 Macanan Laki-laki Berpikir Kalah – menang
[image:49.595.131.512.650.716.2]c. Bermain danaduketangkasan
Permainan jenis ini lebih banyak mengandalkan ketahanan dan kekuatan
fisik. Selain itu, permainan ini juga membutuhkan alat permainan dan tempat
bermain yang relatif luas. Permainannnya bersifat kompetitif, dan biasanya lebih
banyak dimainkan oleh anak laki-laki. Pada umumnya, pola permainan jenis ini
berakhir dengan posisi pemain menang – kalah atau mentas – dadi, dan ada
sanksi hukuman bagi yang kalah misalnya menggendong yang menang, yang
kalah menyanyi, dan sebagainya. Hukuman tersebut merupakan kesepakatan
dari kedua belah pihak. Jenis-jenis permainan tersebut dapat dilihat dalam tabel
[image:50.595.123.510.363.664.2]3.
Tabel 3. Jenis Permainan Kategori Bermain danAduKetangkasan
No Jenis Permainan Pemain Pola Permainan Akhir Permainan
1 Anjir Laki-Laki Ketangkasanmelempar air Taruhan rumput
2 Angklek Perempuan / laki-laki Ketangkasan kaki dantangan Tidak ada
3 Bengkat Laki-laki Ketangkasan tangan Kalah – menang 4 Benthik Laki-lakiperempuan / Ketangkasan kaki dantangan Kalah – menang
5 Dekepan Perempuan / laki-laki Ketangkasandan penglihatantangan Kalah – menang 6 Dhing-dhingan Laki-laki Ketangkasan berenang Kalah – menang 7 Dhukter Perempuan / laki-laki Ketangkasan tangan Kalah – menang
8 Dhul-dhulan Laki-lakiPerempuan / Ketangkasan berlari Mentas – dadi
9 Embek-embekan Laki-laki Kekuatanketahanan fisik dan Kalah – menang
10 Gobag sodor Laki-lakiPerempuan / Ketangkasan kaki dantangan Kalah – menang
Pada penelitian ini berdasarkan ketiga jenis permainan tradisional di
atas permainan tradisional yang digunakan adalah dari jenis permainan kategori
bermain dan adu ketangkasan.
4. Unsur Nilai Budaya dalam Permainan Tradisional
Sukirman (1992/ 1993: 1) mengungkapkan bahwa permainan
merupakan sarana sekaligus wadah kegiatan pembinaan budaya. Hal ini diperkuat
dengan pendapat Heddy Shri A.P. (dalam Sukirman, 2008 : 27) yang
mengungkapkan bahwa permainan tradisional anak-anak mengandung nilai-nilai
budaya tertentu serta mempunyai fungsi melatih pemainnya melakukan hal-hal
yang penting nantinya bagi kehidupan mereka di tengah masyarakat.
Christriyati Ariani,dkk (1997/ 1998 : 163- 169) mengungkapkan
nilai-nilai budaya yang terdapat dalam permainan anak tradisional, yaitu:
a. Nilai demokrasi
Nilai demokrasi tampak sebelum anak memulai bermain. Anak-anak
secara musyawarah (berunding) menentukan jenis permainan yang akan
dimainkan, lalu membuat kesepakatan terkait aturan-aturan pada permainan
yang disepakati yang harus diikuti bersama, serta segala sesuatu yang
berhubungan dengan permainan yang akan dilakukan. Semua hal tersebut
dilakukan secara sukarela tanpa paksaan atau tekanan dari luar. Hal ini
menunjukkan bahwa sebenarnya anak-anak sejak jaman dahulu telah memiliki
b. Nilai Pendidikan
Permainan anak tradisional diyakini dapat dimanfaatkan sebagai wahana
atau media pendidikan pada anak baik untuk aspek jasmani serta aspek rohani
dalam berbagai segi seperti sifat sosial, sifat disiplin, etika, kejujuran,
kemandirian dan percaya diri. Hadi sukatno (dalam Christriyati,dkk, 1997/ 1998:
164) mengakui bahwa permainan anak-anak dapat dijadikan sebagai alat
pendidikan untuk mendekatkan seorang anak kepada kebudayaan sendiri.
Ki Hajar Dewantara (Sukirman dkk, 1992/ 1993: 53) menganjurkan
persyaratan yang harus dipenuhi permainan untuk tujuan pendidikan, yaitu:
1) Permainannya haruslah menyenangkan untuk anak-anak.
2) Memberikan kesempatan pada anak untuk berfantasi atau berkreasi sesuai
dengan ekspresi jiwa mereka selama aktivitas bermain.
3) Permainannya haruslah menantang untuk diselesaikan dan bukanlah
permainan yang mudah agar permainannya tidak dapat disepelekan oleh
anak.
4) Permainan yang mengandung kesenian.
5) Aktivitas dalam permainan tersebut haruslah mengandung isi yang dapat
mendidik anak-anak ke arah ketertiban.
c. Nilai kepribadian
Pada setiap tahap perkembangan anak selalu diikuti oleh aktivitas bermain
yang berlainan. Aktivitas bermain dipandang sebagai media yang tepat bagi
anak dalam mengembangkan dan mengungkapkan jati dirinya. Pembentukan
lingkungan masyarakat melalui kegiatan bermain. Melalui aktivitas bermain,
anak dapat mengembangkan pribadinya seperti mengatasi masalah sehari-hari.
Selain itu, anak dapat juga berlatih mengolah cipta, rasa dan karsa sehingga
sikap seperti itu dapat menumbuhkan sikap arif dan bijaksana ketika sudah
dewasa.
Jika ditelusuri lebih lanjut, maka terdapat aspek-aspek tertentu dalam
permainan tradisional yang dapat dikembangkan dalam membentuk kepribadian
anak, yaitu:
1) Aspek jasmani, meliputi permainan yang mengandung unsur kekuatan dan
daya tahan tubuh serta kelenturan. Hal ini dapat melatih ketrampilan dasar
motorik anak, kemampuan komunikasi sosial serta mengembangkan aspek
emosional anak yang dapat mengarahakan pada sikap kepemimpinan pada
anak.
2) Aspek psikis, meliputi unsur kemampuan berpikir, kemampuan berhitung,
kemampuan bersiasat, kemampuan mengatasi hambatan, daya ingat,
kreatifitas, fantasi serta perasaan irama. Unsur ini dapat dibentuk dan
dikembangkan melalui permainan jamuran, cublek-cublek suweng, gatheng,dan sebagainya.
3) Aspek sosial, meliputi unsur kerjasama, suka akan keteraturan, hormat
menghormati, berbalas budi, sifat malu dan sebagainya. Hal ini dapat
d. Nilai keberanian
Permainan tradisional ada yang dilakukan pada siang hari dan ada pula
yang dilakukan pada malam hari, terutama pada saat bulan purnama. Ketika
bermain pada malam hari, keberanian anak diuji untuk bisa mengikuti serta
menyelesaikan permainan dengan baik. Selain itu, terdapat beberapa permainan
tradisional yang mengandung unsur magis yang biasanya dilakukan ditempat
angker. Pelaksanaan permainan ini sangatlah menuntut keberanian anak dalam
memainkannya terutama untuk pemimpin permainan yang telah ditunjuk.
Namun, sebenarnya sifat berani yang dimaksudkan disini ialah berani
mengambil keputusan dengan memperhitungkan strategi-strategi tertentu,
sehingga ia dapat memenangkan permainan tersebut.
e. Nilai kesehatan
Aktivitas bermain anak banyak menggunakan unsur berlari, melompat,
berkejar-kejaran sehingga otot-otot tubuh dapat bergerak dan berfungsi
sebagaimana mestinya. Secara tidak disadari hal terseut sangat membantu dalam
menjaga kesehatan anak. Karena anak yang sehat dapat bergerak dengan lincah.
Selain itu, emosi anak seperti rasa kesal atau yang lainnya dapat tersalurkan pula
dalam kegiatan bermain.
f. Nilai persatuan
Mayoritas permainan tradisional dimainkan secara berkelompok.
Permainan kelompok dapat dikatakan sebagai permainan yang positif karena
masing-masing anggota kelompok harus mempunyai jiwa persatuan dan
masing-masing anggota harus mempunyai solidaritas kelompok yang tinggi. Hal
ini sesuai dengan prinsiptepa sliramasyarakat jawa, yang lebih mengutamakan kepada kepentingan umum atau bersama daripada kepentingan pribadi.
Masyarakat jawa berpandangan bahwa manusia ada bukan demi dirinya sendiri,
melainkan ada solidaritas terhadap sesamanya.
g. Nilai moral
Nilai moral pada permainan tradisional sangat erat hubungannya dengan
nilai filosofis permainan itu sendiri, yaitu pada dasarnya dapat membentuk
kepribadian anak. Melalui permainan tradisional, anak dapat memahami dan
mengenal kultur atau budaya bangsanya serta pesan-pesan moral yang terdapat
di dalamnya.
5. Unsur-Unsur Disiplin dalam Permainan Tradisional dan Penerapannya
Sukirman (1993: 1) mengemukakan bahwa permainan anak tradisional
selain sebagai sarana dan sekaligus pembinaan budaya juga mempunyai fungsi
kultural edukatif didalamnya. Namun, bukan berarti semua permainan tradisional
mengandung nilai pendidikan. Terdapat beberapa syarat yang harus dimiliki oleh
permainan anak tradisional untuk tujuan pendidikan. Salah satunya ialah pada
aktivitas bermain tersebut haruslah mengandung isi yang dapat mendidik
anak-anak ke arah ketertiban. Hal ini menjadikan keberadaan peraturan permainan pada
permainan anak tradisional sangat penting. Selain itu, peraturan merupakan salah
satu bagian dari unsur – unsur disiplin.
Penerapan sikap disiplin tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsurnya,
saling melengkapi dan saling mendukung. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari
Hurlock (1999: 84