• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlakuan terhadap Orang Meninggal dalam Tradisi Penguburan Masyarakat Desa Trunyan Bali T2 752012015 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlakuan terhadap Orang Meninggal dalam Tradisi Penguburan Masyarakat Desa Trunyan Bali T2 752012015 BAB IV"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

ANALISIS DAN REFLEKSI

TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN

DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH

4.1.Ritual Masyarakat Trunyan

Dalam kehidupan suatu masyarakat yang berbudaya menghadirkan suatu tradisi-tradisi

yang beraneka ragam, salah satunya adalah tradisi perlakuan terhadap orang meninggal dalam

upacara kematian masyarakat Trunyan yang berbeda dengan daerah-daerah yang lain. Disini

kita akan melihat pembagian wilayah sakral dan profan dalam suatu tradisi lebih khusus dalam

tradisi perlakuan terhadap orang meninggal di Desa Trunyan Bali.

Upacara kematian di desa Trunyan merupakan serangkaian upacara yang dilakukan sejak

seorang warga Trunyan lahir. Bahkan proses ini sudah dimulai sejak seseorang masih dalam

kandungan. Proses ini nampak dari serentetan upacara dan larangan-larangan yang harus

dilakukan oleh ibu yang mengandung dan bayinya. Tidak hanya kelahiran proses kehidupan

seorang Tarumenyan juga merupakan bagian dalam rangkaian yang sama dengan upacara

kematian. Jika selama hidup seorang warga Trunyan memiliki moral yang baik selama hidupnya,

maka akan sangat berpengaruh pada bagaimana dia akan diupacarakan pada saat ia meninggal.

Hal ini menunjukan bahwa proses kelahiran dan kehidupan tidak kalah penting dengan kematian.

Proses yang rumit yang harus dilalui ibu dan bayi sejak mengandung hingga bayi

bertumbuh, jika dilihat dari kacamata Turner hal tersebut merupakan upaya untuk menjaga dan

mentransformasi kehidupan serta struktur sosial1. Ritus merupakan cara manusia untuk

1

(2)

menanggapi masalah-masalah kehidupan maupun kematian2. Berdasarkan kaca mata ini, cukup jelas bahwa larangan-larangan yang harus dipatuhi sang ibu serta upacara-upacara yang harus

dilalui oleh bayi untuk mengatasi permasalahan kehidupan, seperti cacat fisik dan kehidupan

yang aman dan sejahtera. Kerumitan proses yang harus dilalui menurut Turner adalah sesuatu

yang wajar, karena sudah pada dasarnya manusia adalah makhluk yang kompleks.3

Bahkan lebih jauh lagi, Dhavamony melihat ritus sebagai suatu usaha untuk membangun

hubungan dengan kekuatan Ilahi4. Bahkan Preusz menegaskan bahwa ritus sama sekali tidak akan berguna jika hanya bergantung pada rasional dan logika5. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika dalam ritus kelahiran masyarakat Trunyan mereka mempercayai sesuatu

yang tidak sesuai dengan logika berpikir modern, seperti ibu hamil yang dilarang mendekat

dengan orang cacat, agar anak yang dikandungnya tidak cacat, atau bayi yang dilahirkan dengan

empat roh.

Terlepas dari apakah tidakan tersebut rasional atau tidak, Geertz berpendapat bahwa

tindakan-tindakan tersebut merupakan resitasi sebuah mitos, konsultasi sebuah ramalan, atau

dekorasi sebuah makam- suasana-suasana hati atau motifasi-motifasi yang ditimbulkan oleh

simbol-simbol sakral dalam diri manusia dan konsep-konsep umum tentang tata eksistensi yang

dirumuskan oleh simbol-simbol bagi manusia bertemu dan saling memperkuat satu dengan yang

lain6. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Turner.

Lalu bagaimana kesungguhan tiap pemeluk dalam melaksanakan ritual? Menurut Robert

Smith, walaupun setiap orang dituntun untuk bersungguh-sungguh, tapi tetap saja ada saja yang

tidak bersungguh-sungguh. Menurut Smith mereka melakukan hal tersebut bukan untuk Tuhan

2

Ibid., 4.

3

Ibid., 3.

4

Dhavamony, ibid., 203.

5

Koentjaraninggrat, ibid,. 70.

6

(3)

atau dewa, melainkan untuk kewajiban sosial7. Akan tetapi jika melihat pandangan Durkheim, semua tindakan yang bersifat sakral adalah tindakan yang berkaitan dengan tidakan komunal.

Jadi, kewajiban sosial pun masih dapat dikatakan sebagai tindakan sakral jika dilihat dari sudut

pandang Durkheim. Apalagi jika melihat situasi Desa Trunyan, di mana kewajiban agama

menjadi sama dengan kewajiban sosial.

4.2Ritual Penguburan Masyarakat Trunyan

Lebih khusus membahas mengenai upacara kematian, menurut Dhavamony ritus yang

menyangkut kematian merupakan ritus peralihan yang terakhir dalam kehidupan manusia8. Dalam masyarakat Trunyan hal yang sama juga berlaku. Seperti yang sudah disebutkan

sebelumnya, upacara kematian masyakarat Trunyan berada dalam satu rangkaian dengan upacara

kelahiran, dan kehidupan masyarakat Trunyan.

Lebih lanjut upacara kematian sebagai suatu proses transisi, maka upacara kematian

dimaksudkan agar orang yang meninggal bisa sampai di dunia orang mati. Hal ini membuat

ritual pemakaman masyarakat Trunyan menjadi menarik. Bagi masyarakat Trunyan bagaimana

mayat diritualkan tergantung bagaimana ia hidup, bahkan bagaimana ia dikandung. Jika mayat

yang akan diritualkan adalah orang yang cacat, atau orang hidup dengan tidak benar harus

melalui upacara penyucian dosa dan tidak bisa disemayamkan di pemakaman utama. Hal yang

berbeda akan dialami oleh orang yang hidup bersih dan tidak bercacat cela.

Orang yang tidak bercacat cela akan dimakamkan di Sema Wayah. Sema Wayah menjadi

tempat yang menarik karena mayat yang akan disemayamkan pertama-tama tidak dikuburkan

melainkan hanya diletakan di atas tanah. Kedua adalah mayat yang disemayamkan di Sema

7

Koentjaraninggrat, ibid., 63

8

(4)

Wayah tidak akan berbau busuk. Seandainya mayat yang disemayamkan tersebut mengeluarkan

aroma busuk, berarti ia dahulunya tidak hidup dengan benar. Menjadi pertanyaan adalah, apakah

timbul perdebatan mengenai keputusan tempat menguburkan mayat?

Menurut Geertz, upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat istiadat

dan struktur sosial dari masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan

demikian menurutnya, upacara kematian itu harus lepas dari segala perasaan pribadi dari orang

yang meninggal tersebut, kepada orang-orang yang terlibat dalam upacara kematian itu, dan

harus dipandang dari sudut gagasan kolektif masyarakat tadi.9 Jika mempertimbangkan pendapat Geertz, maka akan sangat kecil kemungkinan untuk menggugat keputusan mengenai tempat

jenazah akan disemayamkan. Bahkan lebih jauh lagi menurut Turner hal tersebut bisa merupakan

upaya menjaga struktur sosial suatu masyarakat10. Jadi, upacara pemakaman ini telah menjadi sebagai suatu tatanan norma yang mengarahkan setiap masyarakat Trunyan untuk bisa hidup

bersih.

Lain lagi menurut Koentjaraninggrat, upacara kematian merupakan suatu peralihan dari

status sosial selama masih hidup, ke status sosial di dunia sana. Tapi menjadi pertanyaan ketika

masyarakat Trunyan tidak mengenal status sosial atau kasta. Orang-orang dimakamkan bukan

berdasarkan setinggi apa status sosialnya, melainkan seberapa bersih ia hidup di dunia ini.

Mungkin upacara kematian ini lebih cocok disebut dengan upacara inisiasi seperti yang

dikemukakan oleh Geertz11. Sementara menurut Turner, suatu upacara simbolis dibutuhkan untuk kepergian yang aman dan kedatangan kembali yang membahagiakan. Menurutnya

disinilah ritual memegang peranannya. Ritual berfungsi sebagai pembatas antara ruang dan

waktu.

9

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Ibid 69-77.

10

Turner, ibid. 3

11

(5)

Tapi jika melihat proses pemakanan masyarakat Trunyan, tidak hanya berfungsi sebagai

inisiasi. Pembedaan perlakuan terhadap jenazah juga berfungsi bentuk penyucian. Jenazah dari

orang yang selama hidupnya tidak hidup bersih harus melalui proses penyucian terlebih dahulu,

sehinga ia menjadi suci kembali. Nampak bahwa pembedaan terhadap jenazah tidak menunjukan

suatu bentuk pembedaan secara sosial, melainkan suatu proses agar menjadi setara. Upacara ini

juga dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kontrol sosial. Sebagai contoh adalah orang yang tidak

hidup bersih dapat disemayamkan tanpa harus melalui proses penyucian. Juga orang yang

menikah dengan orang di luar Trunyan tidak berhak mendapatkan upacara pemakanan Trunyan.

Tapi diatas semua hal tersebut dasar dari upacara kematian adalah beragamnya misteri

setelah kematian. Semua orang menginginkan kehidupan yang baru dan jelas setelah kematian12. Dalam sebuah upacara kematian terdapat pengharapan suatu masyarakat13. Dibalik ritual masyarakat Trunyan terdapat pengharapan mereka, yakni jika hidup bersih tanpa cela maka akan

mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah kematian.

Bagi masyarakat Trunyan upacara pemakaman merupakan sesuatu yang sakral. Tempat

persemayaman jenazah, Sema Wayah pun dianggap sebagai suatu yang sakral. Mungkin benar

pendapat Preusz yang mengatakan bahwa kematian merupakan puncak dari religi manusia.

Untuk pergi ke Sema Wayah seseorang harus dianggap suci, bahkan segala peralatan dianggap

suci.

Menurut Eliade, sesuatu menjadi sakral ketika terdapat peristiwa hierofani, yaitu ketika

peristiwa sakral memanifestasi dalam suatu tempat. Dalam Sema Wayah terdapat fenomena yang

oleh masyarakat Trunyan dianggap sebagai suatu peristiwa hierofani. Mayat yang disemayamkan

di Sema Wayah tidak akan mengeluarkan bau busuk walaupun tidak dikuburkan. Hal ini konon

12

Tri Widiarto, ibid., 12-14.

13

(6)

disebabkan karena pohon Taru Menyan yang dulu ada di Trunyan. Jika ada pihak yang berniat

jahat maka akan tercium bau yang busuk yang menyengat. Tapi jika ada orang yang datang

dengan niat baik, maka orang tersebut datang dengan bermaksud baik.

Jika mengikuti alur berpikir Eliade Sema Wayah bisa dikatakan sebagai ruang sakral.

Sema Wayah menjadi tempat untuk menyegarkan kembali dunia profan dari orang Trunyan.

Dengan adanya Sema Wayah masyarakat Trunyan menjadi memiliki kepekaan terhadap kosmik.

Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia non religious, jika menggunakan

pengelompokan Eliade.

Akan tetapi terdapat perbedaan mencolok dengan konsep sakral Eliade. Kesakralan

dalam mayarakat Trunyan selalu berkaitan dengan moral. Hal ini nampak dalam

pengelompokkan kepada orang yang meninggal. Sedangkan menurut Eliade sakral adalah sakral

non moral, yang menguasai segala kenyataan14. Perbedaan terhadap perlakuan jenazah menunjukan konsep sakral dari masyarakat Trunyan juga hampir sama dengan konsep yang

ditawarkan oleh Durkheim. Bagi masyarakat Trunyan kesakralan mereka merupakan refleksi

dari kehidupan sehari-hari. Ritus yang dilakukan bertujuan mengatur bagaimana seseorang

menempatkan diri dalam masyarakat Trunyan15.

4.3.Dimensi Sakral dan Profan dalam Upacara Kematian Masyarakat Trunyan

Sakral dan Profan bagi Emile Durkheim adalah suatu konstruksi manusia akan sesuatu.

Bagi Emile Durkheim dalam mengusung yang sakral dan profan, pemikirannya selalu dalam

konteks masyarakat dan kebutuhannya. Durkheim mengatakan: Yang Sakral: masalah sosial

yang berkait dengan kepentingan bersama ditengah-tengah masyarakat. Yang Profan: segala

14

Mircea Eliade, The Sacred and the Profane, ibid., 8-11.

15

(7)

sesuatu yang hanya berkait dengan unsur-unsur individu. Ide sebagai yang sakral selain dikaitkan

sebagai jiwa kolektif sakral juga merupakan sesuatu yang sama sekali berada di luar masyarakat,

misalnya dalam ritual upacara kematian khususnya dalam masyarakat Trunyan. Dalam

kehidupan masyarakat Trunyan lebih khusus dalam tradisi upacara kematian ada hal-hal yang

disakralkan oleh masyarakat seperti yang telah diuraikan dalam Bab III, dalam tradisi

masyarakat Trunyan ada yang dikenal dengan orang suci, pohon yang disakralkan, waktu baik

atau waktu suci dan benda-benda suci yang dipergunakan untuk suatu upacara.

Sesuatu yang sakral bagi Durkehim adalah masalah sosial yang berkaitan dengan

kepentingan masyarakat, begitu juga dengan hal-hal yang disakralkan oleh masyarakat Trunyan.

Semua hal-hal yang dinilai sakral oleh masyarakat sehingga mendapatkan perlakuan yang khusus

berkaitan dengan kepentingan masyarakat demi terciptanya suatu kehidupan kebersamaan yang

selaras. Setiap upacara yang adalah bagian dari tradisi masyarakat Trunyan mempunyai nilai

sakral dan profannya. Tiga upacara penting dalam kehidupan masyarakat Trunyan yaitu: upacara

kelahiran, upacara perkawinan dan upacara kematian. Upacara kelahiran dan perkawinan

menjadi penting dikarenakan untuk menentukan status seseorang dalam kehidupannya ketika

orang tersebut meninggal nanti. Dalam mengadakan upacara kematian masyarakat Trunyan,

mengatur suatu tatacara khusus untuk mereka yang meninggal dalam status bercacat-cela dan

bagi mereka yang meninggal dalam status sebagai orang suci. Kesucian seseorang dinilai dan

dilihat dari perjalanan kehidupan orang tersebut dari masa kelahirannya, di mana lahir dengan

mengikuti semua tradisi kelahiran masyarakat Trunyan, menikah dengan baik, dan meninggal

dalam keadaan yang baik pula. Meninggal dalam keadaaan baik di sini dalam artian kondisi fisik

tubuh tidak bercacat, moral hidup baik, dan jiwa yang baik. Semua yang sakral bagi masyarakat

(8)

dalam melaksanakan suatu upacara pemakaman masyarakat Trunyan tidak mengenal adanya

pembakaran mayat seperti kepercayaan agama Hindu Bali pada umumnya. Untuk itu di Trunyan

tidak mengenal adanya Ngaben bakar.

Sesuatu itu sacral ditentukan oleh masyarakat demi kepentingan masyarakat. Jadi

masyarakatlah yang sacral untuk itu masyarakat menentukan nasib dan perjalanan setiap

individu. Perjalanan setiap individu dalam menapaki jalan hidup: kelahiran, perkawinan dan

kematian.

Dalam suatu kepercayaan masyarakat Hindu Trunyan mereka membedakan wilayah yang

sakral dan yang profan, ini merupakan sesuatu hal yang penting karena sesuatu yang sakral bagi

kehidupan orang Trunyan memberikan suatu pengaruh yang besar dalam kehidupan mereka.

Untuk itu sesuatu yang profan bagi masyarakat Trunyan merupakan hal yang biasa. Contohnya

dalam hal perkawinan, dua orang yang saling mencintai diperbolehkan untuk melakukan

persetubuhan terlebih dahulu sebelum menikah, hal ini diperbolehkan karena ini merupakan

sesuatu kepentingan individu, untuk itu tidak ada larangan bagi mereka. Pembedaan antara yang

sakral dan profan dalam tradisi masyarakat Trunyan lebih khusus dalam upacara kematian sangat

kelihatan. Dengan adanya pembagian tiga macam kubur di desa tersebut, demikian juga ada

pembedaan perlakuan terhadap orang yang sudah meninggal. Orang yang meninggal dalam

masyarakat Trunyan dibedakan dalam dua kelompok yaitu orang yang meninggal sebagai orang

suci dan mereka tidak suci. Itu semua dilihat dari tiga macam penguburan yang ada di desa

tersebut. Selain pembedaan perlakuan sesuai tradisi ada upacara-upacara khusus yang dilakukan

bagi mereka yang meninggal tidak sebagai orang suci, itu ditandai dengan adanya upacara

(9)

Seseorang mendapatkan perlakuan atau pembedaan bukan karena keinginan individual,

namun karena kesepakatan dan ketentuan masyarakat. Masyarakat sebagai komunitas sacral

sangat berdaulat. Individu tunduk kepada masyarakat sebagai kelompok yang mengatur

kehidupan individu secara bersama.

Segala yang sakral dibedakan dari yang profan dalam tradisi masyarakat Trunyan bukan

semata-mata untuk membedakan yang baik dan yang buruk, tetapi lebih kepada apa yang akan

dipersembahkan kepada yang dianggap kudus yang mempunyai kekuatan yang besar yang

mampu untuk memberikan hal baik dalam kehidupan bersama para penyembahnya.

Sesuatu yang disakralkan oleh masyarakat Trunyan diperuntukkan untuk penyembahan

dan untuk itu ada pohon yang disakralkan yaitu Pohon Tarumenyan, yang dipercaya oleh

masyarakat Trunyan sebagai sesuatu yang hadir karena kehendak yang mempunyai kekuatan

dan kuasa di luar manusia dengan maksud dan tujuan untuk menciptakan suatu keselarasan

dalam kehidupan masyarakat atau umat penyembah yang ada, dan sebagai sesuatu yang

menyatukan umat dalam hal penyembahan kepada dewa yang dipercaya. Untuk itu sekalipun

keberadaan pohon Tarumenyan telah tumbang, sebagaimana yang telah dipaparkan dalam data

lapangan Bab III, masyarakat tetap menjaga kesakralan pohon tersebut, dan agar fungsi dari

pohon tersebut tetap ada maka ditempat tersebut dibangun Pura sebagai tempat beribadah para

umat dan tempat umat berkumpul untuk suatu pemujaan kepada yang Roh-roh dan Dewa-dewa

yang dipercayai. Dan untuk itu dalam pemujaan kepada yang dianggap mempunyai kekuatan

yang besar masyarakat Trunyan tidak sembarangan dalam menentukan waktu atau hari yang

dikenal dengan hari baik. Pemilihan dan penentuan hari baik dlakukan karena pada waktu/hari

tersebut masyarakat berkumpul untuk suatu pemujaan kepada dewa, disisi lain dapat dilihat suatu

(10)

mempertemukan dan mempererat tali kebersamaan masyarakat yang ada. Inilah fungsi sakral

yang dimaksudkan oleh Durkheim yaitu untuk kepentingan bersama.

Semua ketentuan yang ada pada bermacam-macam ritus kematian yang ada di desa

Trunyan seperti: pemahaman terhadap pohon Tarumenyan, pembagian tempat penguburan,

pembangunan tempat ibadah ditempat pohon Tarumenyan, ada waktu pemakaman yang

ditetapkan oleh masyarakat. Ketetapan masyarakat mengatur anggota masyarakat dengan muara

kesatuan masyarakat atau lebih tepat keteraturan masyarakat. Masyarakat sebagai komunitas

yang sacral begitu berwibawa dihadapan anggota dalam praktek ritual kematian.

Inilah yang dimaksudkan oleh Durkehim dalam pemahamannya tentang yang sakral.

Menurut Durkheim, seluruh keyakinan keagamaan, baik yang sederhana maupun yang

kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan antara ”yang sakral” dan

”yang profan”. Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada ”yang sakral”,

karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota

masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar dan hanya merupakan

refleksi keseharian dari setiap individu.

Dalam melaksanakan suatu upacara kematian, ada perlakuan yang berbeda bagi setiap

orang yang meninggal dibedakan dalam hal orang yang mati dalam keadaan suci dalam arti baik

secara jasmani, moral dan jiwa, dan mati dalam keadaan bercacat-cela. Orang yang meninggal

dalam keadaan yang suci orang tersebut akan dikuburkan di kuburan utama atau sema wayah.

Tempat kuburan sema wayah diyakini oleh masyarakat adalah tempat yang disanalah telah

terjadi peristiwa hierophany sebagaimana yang dikatakan oleh Eliade yang diartikan sebagai

(11)

setempat sebagai kuburan yang suci. Untuk menentukan seorang itu moral dan jiwanya baik

maka masyarakat lewat seorang pemangku yang dipercaya sebagai wakil dari para dewa dan

roh-roh, serta leluhur yang bersemayam di desa tersebut lewat dialah para dewa, dan leluhur

memberitahukan keadaan orang yang meninggal tersebut, dengan demikian peristiwa hierophany

yang dimaksudkan oleh Eliade terjadi dalam diri seorang pemangku. Selanjutnya peristiwa yang

bisa dikaitkan dengan peristiwa hierophany menurut Eliade dalam Tradisi kematian masyarakat

Trunyan adalah dalam hal menentukan hari baik untuk suatu upacara penguburan yaitu Ngaben.

Dalam hal menentukan waktu/hari para pemangku harus mengadakan suatu meditasi sebagai

jalan untuk bertemu dengan dewa, leluhur yang dipercaya oleh masyarakat. Hal lain lagi

peristiwa Hierophany terjadi dalam kehidupan masyarakat Trunyan adalah pemilihan seorang

untuk dapat menjadi pemangku adat, diadakan suatu upacara sakral yang mereka yakini akan

menghadirkan para dewa-dewa dan leluhur mereka, kehadiran dewa-dewa dan leluhur ditandai

dengan bersinarnya seorang dari anggota masyarakat lainnya, dan dari situlah mereka

mengetahui bahwa orang tersebut telah menjadi seorang pemangku sebagai perantara antara

masyarakat dengan dewa-dewa mereka.

Menurut Durkheim segala kegiatan dan segala sesuatu yang bertujuan untuk kepentingan

kolektif, semua itu adalah sakral itu berarti semua unsur upacara adalah sakral. Masalahnya

secara teoritis upacara atau ritus hanya bisa berjalan bila memiliki sifat sakral. Dan menurut teori

Durkheim upacara atau ritus itu tidak akan dijalankan lagi apabila dipandang sudah tidak

berfungsi lagi, hal ini disebabkan karena menurut Durkheim bukan binatangnya, bukan

orangnya, bukan bendanya yang sakral melainkan prinsip yang ada di dalamnya itulah yang

dipandang sakral, dan prinsip inilah yang sebenarnya fungsional di dalam masyarakat. Kalau

(12)

dimengerti kalaulah sesuatu yang pada mulanya sakral, kemudian dipandang tidak sakral lagi

oleh karena dipandang sudah tidak fungsional lagi. Durkheim juga menunjukkan bahwa yang

sakral itu unggul dalam kemuliaan, kekuatan, keluhuran, khususnya dalam kaitan dengan

manusia. Sekalipun manusia menghormati dan takut pada yang sakral tetapi itu tidak berat

bahwa manusia merasa inferior dihadapannya, melainkan karena ada sesuatu yang dimilikinya

dan itu dibutuhkan manusia yaitu yang sakral. Oleh karena itu manusia tidak akan menyembah

dan menghormatinya apabila ternyata sudah tidak berfungsi lagi atau sudah tidak sakral lagi.

Tapi bagi Eliade yang sacral itu adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan.

Dalam hubungan dengan itu manusia hanya menerima saja apa yang dikehendaki Tuhan untuk

dilaksanakan. Memang bisa saja dikatakan bahwa manusia berusaha memenuhi kehendak dan

perintah penguasa itu karena manusia menginginkan sesuatu, tetapi keputusan terakhir

ditentukan olehnya. Maka sekalipun sulit menemukan alat-alat, bahan-bahan dan tenaga yang

dibutuhkan, tetapi manusia akan berusaha untuk memenuhinya. Dengan alat, bahan dan tenaga

yang ada dan yang dapat diusahakannya. Kalau hal itu menimbulkan masalah baik dari segi

tenaga, waktu, dan financial, maka manusia memilih efesiensi, dengan cara demikian diharapkan

nilai sakralnya tetap terpenuhi. Dalam tulisan Durkheim menggunakan istilah quasi divini16 artinya quasi Ilahi, Karena pada uraian selanjutnya diuraikan bahwa yang Ilahi itu ada dalam

agama, tetapi agama berasal dari masyarakat. Jadi yang empiris (masyarakat) yang ditingkatkan

menjadi transenden (dalam agama dirumuskan yang Ilahi) bukan dari wahyu (menurut Eliade).

Kalau dilihat dari pandangan Eliade, maka seluruh rangkaian upacara dapat dipilah atas

pembagian yang sakral dan yang profan. Sakral yaitu yang menyangkut Tuhan, dunia

16

(13)

transenden, dunia rohani, dunia dewa-dewa dan dewa-dewa itu sendiri. Maka semua kegiatan

yang berhubungan dengan sajian, binatang yang dikorbankan, alat-alat yang dipakai pada saat

itu, orang yang melaksanakan upacara, benda-benda pelengkap upacara , dan waktu yang sudah

ditentukan untuk melaksanakan upacara adalah sakral. Karena semua itu sudah mengalami

inisiasi terlebih dahulu. Semua binatang, alat-alat kegiatan yang lain adalah profan karena semua

itu adalah untuk kepentingan hubungan antar individu dan kepentingan hidup individu itu.

Kesakralan tidak terletak pada ritual kematian naming pada masyarakat yang

menciptakan ritual kematian tersebut. Sampai sekarang ritual kematian itu masih terus

dilaksankan karena masyarakat masih membuatnya fungsional, dank arena anggota-anggota

melaksanakannya demi keutuhan masyarakat. Jadi ritual kematian sebagai kegiatan religious

Referensi

Dokumen terkait

menyampaikan data dan dokumen yang benar, sesuai dokumen asli serta bersedia menerima sanksi hukum yang berlaku apabila dokumen tersebut tidak sah;. menerima sanksi jika

[r]

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi model pembelajaran berbasis masalah dengan bantuan diagram Vee pada kelas eksperimen memiliki perbedaan

Mata Kuliah kesehatan dan keserlamatan kerja berisi bagaimana kita bekerja dengan memperhatikan keselamatan dan kesehatan, didalam kuliah ini juga dijelaskan bahaya – bahaya

Korosi : Peristiwa perusakan atau degradasi material logam akibat bereaksi secara kimia dengan lingkungan... Standar

telah sampai pada tahap klarifikasi dan pembuktian kualifikasi, untuk meneliti kembali dan membuktikan kebenaran dari isian dokumen pasca kualifikasi yang saudara masukkan,

Panggung pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Tegal akan melaksanakan Pemilihan Langsung dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara elektronik sebagai

Seorang penyanyi professional harus mampu menjangkau nada-nada dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi sesuai dengan kemampuannya.. CRESCENDO adalah suara