• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA TUNTUTAN PEKERJAAN DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA KARYAWATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA TUNTUTAN PEKERJAAN DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA KARYAWATI"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

i

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA TUNTUTAN PEKERJAAN DENGAN

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA KARYAWATI

Oleh: Frisca C. Pratista Thobagus Moh. Nu’man

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2016

(2)
(3)

iii

JOB DEMANDS AND PSYCHOLOGICAL WELL-BEING OF EMPLOYEES

Frisca C. Pratista Thobagus Moh. Nu'man

Abstract

This research describes the job demands and psychological well-being of the employee. The proposed hypothesis of this research is correlation between the job demands and psychological well-being of the employee. The subjects of this research were 120 people. The scale used is translation scale. The aspects of this research include aspects of psychological well-being, such as job satisfaction, family satisfaction and life satisfaction (Achour, et.al, 2011). The scale of the job demands used in this research is translational scale. The aspects of job demands is work overload and emotional demands (Schaufeli and Bakker, 2004). Methods of data analysis used in this study using SPSS (Statistical Package for Social Science) 17.00 for Windows to test whether there is the job demands and the psychological well-being of the employee. Correlation of Spearman showed a correlation of r = 0.011, p = 0.453 (p> 0.01), which means there is no relationship between the job demands with the psychological well-being of the employee. So the research hypothesis was rejected.

(4)

1

PENGANTAR

Studi tentang kesejahteraan psikologis pada karyawan dalam beberapa tahun terakhir mendapat perhatian yang cukup besar. Menurut Russel (2008) kesejahteraan psikologis karyawan merupakan salah satu faktor yang tidak bisa lepas dari isu penting dalam suatu perusahaan, karena kesejahteraan psikologis pada karyawan memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengefektifkan biaya yang berhubungan dengan kesehatan karyawan, ketidakhadiran (absenteeism), pergantian karyawan (turnover), performa kerja (job performance), dan kepuasan kerja (job satisfaction).

Danna dan Griffin (1999) menyatakan terdapat tiga alasan mengapa kesejahteraan pada karyawan merupakan hal yang patut diperhatikan oleh organisasi. Pertama, pengalaman di tempat kerja atau lingkungan sosial, baik fisik maupun psikis, akan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari individu. Besarnya porsi waktu yang dihabiskan karyawan di pekerjaan membuat pengalaman-pengalaman selama bekerja melekat pada diri individu tersebut dan terbawa kedalam kehidupan sehari-hari. Hal ini kemudian dipertajam oleh pernyataan Page (2005) bahwa kesejahteraan pada karyawan di tempat kerja memiliki hubungan positif dengan kesejahteraan pada karyawan di kehidupannya. King dan Diener (2005) juga menyatakan bahwa karyawan yang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi akan lebih bahagia dalam pekerjaan dan kehidupan rumah tangganya. Oleh karena itu, kesejahteraan di tempat kerja merupakan kebutuhan karyawan yang harus dipenuhi. Kedua, kesehatan dan

(5)

2

kesejahteraan karyawan tidak hanya memberikan dampak bagi karyawan itu sendiri namun juga pada perusahaan atau organisasi dimana ia bekerja. Apabila kesehatan dan kesejahteraan karyawan menurun maka kinerja karyawan tersebut juga akan menurun, sedangkan apabila kesehatan dan kesejahteraan karyawan meningkat maka kinerjanya juga akan meningkat.

Pemahaman terhadap kesehatan seseorang tidak hanya meliputi kesejahteraan fisik tetapi juga psikologis dan sosial. Individu yang kesejahteraannya lebih tinggi akan lebih produktif dan memiliki kesehatan mental serta fisik yang lebih baik dibandingkan dengan yang kesejahteraannya rendah (Ryff & Singer, 2002). Kesehatan fisik karyawan memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan psikologis karyawan, dimana kesehatan fisik karyawan akan meningkatkan kesehatan emosional sehingga karyawan dapat menghindar dari pemikiran yang negatif dan meningkatkan produktivitasnya (Envick, 2012).

Harter, Schmidt, dan Keyes (2002) mengungkapkan bahwa kesejahteraan psikologis karyawan berkaitan dengan produktivitas, pergantian karyawan (turn over), kesetiaan pelanggan (customer loyalty), dan keuntungan perusahaan. Spector menyatakan bahwa karyawan dengan kesejahteraan psikologis yang tinggi lebih kooperatif, lebih mudah menolong rekan kerjanya, tepat waktu dan efisien, jarang absen dan bertahan lebih lama di organisasi (Harter, dkk 2002). Tingkat kesejahteraan psikologis pada karyawan yang lebih baik dapat berguna untuk meningkatkan komitmen individu, produktivitas kerja, hubungan dengan rekan kerja, dan penguasaan lingkungan kerja (Horn, Taris, Schaufeli, dan Schreurs, 2004). Ciri-ciri orang yang memiliki kesejahteraan psikologis yang

(6)

3

tinggi adalah mandiri, memiliki kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya, keinginan untuk terus tumbuh dan berkembang dalam segala hal, hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai dalam hidup, dan penilaian positif terhadap dirinya sendiri (Ryff dan keyes, 1995).

Saat ini banyak dilakukan penelitian untuk mengukur kesejahteraan (misalnya kepuasan kerja, komitmen organisasi, ketegangan di tempat kerja dan kelelahan) terutama tekanan dimensi afektif dari kesejahteraan (Horn, dkk, 2004). Terdapat banyak kasus yang menunjukkan seberapa penting untuk melakukan penelitian terkait kesejahteraan psikologis. Salah satunya pada penelitian The Job Demands-Resources model: state of the art yang dilakukan oleh Bakker & Demerouti pada tahun 2007. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang model tuntutan pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir, Bakker & Demerouti (2007) menemukan bahwa banyak studi yang menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan (job characteristics), yang meliputi job demands, job control, dan job resources, dapat memiliki dampak negatif pada kesejahteraan pekerja (employee well-being).

Penilitian terhadap lebih dari 4.000 karyawan di Indonesia dilakukan oleh Kelly Global Workforce Index pada tahun 2012. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa karyawan di Indonesia adalah karyawan yang paling aktif dalam mencari pekerjaan baru, hampir tiga perempat karyawan berencana untuk pindah ke posisi lain di tahun berikutnya. Munculnya keinginan karyawan untuk berpindah posisi menunjukkan adanya ketidakpuasan karyawan terhadap pekerjaannya saat ini

(7)

4

(www.kellyservices.co.id). Kepuasan kerja berhubungan secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis karyawan (Russell, 2008).

Pada penelitian tentang tuntutan kerja, motivasi intrinsik, kelelahan kerja, peran pengawasan kerja, dan kesejahteraan karyawan yang mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Yperen & Hagedoorn (2003) pada penelitiannya, penulis mengambil subyek penelitian tenaga perawat rumah Sakit Panti Waluya Sawahan Malang. Perawat sebagai seorang pekerja dituntut untuk selalu siap sedia memberikan pelayanan kepada pasien. Perawat harus mampu dengan cepat, teliti dan akurat memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Hal tersebut merupakan tuntutan dari pekerjaan sebagai perawat. Tuntutan pekerjaan yang tinggi tersebut memberikan dampak bagi diri perawat itu sendiri. Di satu sisi tuntutan pekerjaan yang tinggi secara fisik akan meningkatkan kelelahan/ keletihan yang berdampak pada kesejahteraan perawat. Pekerjaan yang banyak dan bermacam-macam akan menyebabkan meningkatnya keletihan pada perawat. Hal ini membuat beberapa perawat memilih untuk mengambil cuti dari pekerjaannya.

Menurut Leka, Griffiths, dan Cox (2003) bahwa stres kerja merupakan respon individu saat dihadapkan pada tuntutan dan tekanan pekerjaan yang tidak sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki karyawan serta kemampuan mengatasi tantangan. Kondisi fisik karyawan dalam bekerja juga mempengaruhi hasil pekerjaanya yang berdampak pada kesejahteraan karyawan, seperti terlalu lelah karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan, sakit dan tidak mendapatkan ijin untuk istirahat, atau tidak puas dengan gaji dan jabatan

(8)

5

yang diperolehnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Goldstein (2007) mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi dapat menurunkan stres. Penelitian lain yang dilakukan oleh Karyono, dkk., (2008) juga mengungkapkan bahwa individu yang mengalami stres berkepanjangan dapat mengalami penurunan kesejahteraan psikologis.

Survei yang telah dilakukan oleh Life (2013) terhadap lebih dari 1.100 karyawan di Inggris. Seperempat dari karyawan tersebut merasa kesejahteraannya tidak dipedulikan oleh perusahaan, mereka terlalu banyak bekerja dan tidak bisa memiliki work-life balance. Akibatnya, 31% dari mereka mengaku memiliki tingkat produktivitas dan konsentrasi menurun dibandingkan tahun sebelumnya (www.portalhr.com).

Menurut Keyes, dkk (2002) kesejahteraan psikologis adalah kondisi dimana individu memperoleh pencapaian kesehatan mental ketika melakukan sesuatu atau mendapatakan kebahagiaan dari suatu pengalaman. Huppert (2009) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah suatu kehidupan individu yang berjalan dengan baik dan merupakan hasil kombinasi dari perasaan positif yang berfungsi secara efektif.

Sebagian besar hasil dari penelitian-penelitian yang telah diungkapkan sebelumnya telah menunjukkan betapa pentingnya pengaruh kesejahteraan psikologis pada karyawan baik terhadap karyawan itu sendiri maupun terhadap organisasi dimana mereka bekerja. Namun yang menjadi masalah adalah tidak setiap organisasi mampu mewujudkan kesejahteraan psikologis bagi para karyawan. Hal tersebut dikarenakan kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh

(9)

6

serangkaian faktor personal, lingkungan, situasi keuangan, status sosial, kesehatan fisik, kualitas perkawinan, status pensiun, tuntutan pekerjaan, dukungan sosial, tingkat kegiatan, harapan pensiun, self-efficacy, stres yang dirasakan, optimisme atau pesimisme, gejala depresif, dan kepuasan hidup (Salami, 2010). Bakker & Demerouti (2007) menyatakan bahwa banyak studi yang menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan (job characteristics), yang meliputi job demands, job control, dan job resources, dapat memiliki dampak negatif pada kesejahteraan psikologis karyawan.

Salah satu dari faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada karyawan adalah tuntutan pekerjaan. Menurut Love, Irani, Standing, dan Themistocleous (2007) tuntutan pekerjaan didefinisikan sebagai pemicu terjadinya kelelahan secara psikologis, misalnya seperti bekerja dalam waktu yang lama, beban pekerjaan yang terlalu banyak, dan terbatasnya waktu untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan adanya konflik pada tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan seorang karyawan di perusahan besar relatif padat dengan beban pekerjaan yang berat. Tuntutan pekerjaan yang tinggi tentunya memberikan dampak bagi kehidupan pribadi karyawan yang bersangkutan.

Menurut Parker dan Sprigg (Huang, Du, Chen,Yang, dan Huang, 2010) adanya tuntutan pekerjaan dan kontrol pekerjaan akan memunculkan motivasi pada seseorang tersebut untuk menyelesaikan pekerjaannya. Secara bersamaan, hal tersebut juga akan mengakibatkan stres yang berdampak pada kesehatan seseorang tersebut dan adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh karyawaan

(10)

7

untuk penyakit yang diderita, kehilangan waktu untuk bekerja dan kinerja menjadi menurun dalam perusahaannya.

Penelitian telah menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan yang meliputi tuntutan pekerjaan, kontrol pekerjaan, dan sumber pekerjaan, dapat memiliki dampak besar pada kesejahteraan karyawan. Selain itu tuntutan pekerjaan seperti tingginya tekanan kerja, tuntutan emosional, dan ambiguitas peran juga dapat menyebabkan masalah tidur, kelelahan, dan gangguan kesehatan sehingga dapat mempengaruhi kesejahteraan karyawan (Bakker & Demeranti, 2007). Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa tuntutan pekerjaan memiliki pengaruh terhadap stres dan depresi. Penelitian Higashiguchi, dkk (2002) menunjukkan bahwa semakin tinggi tuntutan pekerjaan maka semakin tinggi pula tingkat depresi seseorang. Tuntutan pekerjaan adalah satu hal yang mungkin menjadi penyebab buruknya kesejahteraan, kesehatan, dan kinerja karyawan. Dengan demikian, tuntutan pekerjaan dapat dikatakan memiliki hubungan yang negatif dengan kesejahteraan psikologis, dimana semakin rendah tingkat tuntutan pekerjaan maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan psikologis dan sebaliknya semakin tinggi tingkat tuntutan pekerjaan maka semakin rendah tingkat kesejahteraan psikologis.

Fenomena wanita bekerja sebenarnya bukanlah menjadi hal yang baru di era emansipasi seperti saat ini, bahkan sejak jaman purba ketika suami pergi berburu, istri bekerja dengan menukar hasil buruan dengan bahan yang lain (Siregar, 2007). Pada era emansipasi seperti saat ini telah meninggalkan kesan yang berbeda terhadap status dan peranan kaum wanita. Tingkat partisipasi

(11)

8

angkatan kerja wanita Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 1970-1980 sebesar 38,75% menjadi 51,65% pada tahun 1970-1980-1990. Bahkan menurut surat kabar Republika edisi 22 Desember 2004 hingga tahun 2007 diperkirakan mencapai 73,58% (Nurhayati, 2012). Sebagai contoh menurut Badan Pusat Statistik, di daerah Jakarta terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja wanita dari yang awalnya sebanyak 1.062.568 orang pada tahun 2002 menjadi 1.137.410 pada tahun 2006. Selain itu peningkatan juga terjadi antara rentang bulan Februari 2010 sebanyak 1.643.170 orang hingga Februari 2012 menjadi 1.803.530 orang (http://www.datastatistik- indonesia.com).

Primastuti (Permatasari, 2010) menjelaskan ada beberapa motif yang menyebabkan wanita bekerja yaitu menambah penghasilan keluarga, tidak tergantung secara ekonomi pada suami, mengisi waktu kosong di rumah, ketidakpuasan dalam pernikahan, mempunyai keahlian tertentu yang bisa dimanfaatkan, memperoleh status, pengembangan diri dan aktualisasi diri. Selain itu Junita (2011) juga menjelaskan mengenai motif dari wanita menjadi pekerja yaitu dengan bekerja memungkinkan seorang wanita mengekspresikan dirinya dengan cara yang kreatif dan produktif, untuk menghasilkan sesuatu yang mendatangkan kebanggaan terhadap diri sendiri, terutama jika prestasinya mendapatkan umpan balik yang positif. Junita (2011) menjelaskan bahwa wanita yang bekerja cenderung mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dan bervariasi, sehingga cenderung mempunyai pola pikir yang lebih luas dan dinamis.

Wanita cenderung lebih memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini dikaitkan dengan pola pikir yang berpengaruh

(12)

9

terhadap strategi koping yang dilakukan, serta aktivitas sosial yang dilakukan, dimana wanita memiliki kemampuan interpersonal yang lebih baik daripada laki-laki (Ryff & Singer, 2002). Selain itu wanita lebih mampu mengekspresikan emosi dengan bercerita kepada orang lain, dan wanita juga lebih senang menjalin relasi sosial dibanding laki-laki. Wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain (Ryff & Keyes, 1995). Sebagian besar wanita bekerja yang merasa bahagia dan sejahtera secara psikologis mampu mengatasi berbagai macam masalah yang terjadi dengan berbagai cara dan strategi hingga mampu mengarahkan diri sendiri pada proses pencapaian kesejahteran psikologisnya (Wright, Cropanzano, dan Bonett, 2007).

Levy dan Shiff ( Papalia, dkk., 2009) menyebutkan bahwa Wanita bekerja yang mencapai psychological well-being adalah yang mampu mengatur dirinya sendiri, mampu tumbuh dan berkembang, mampu menunjukan potensinya secara optimal, berani menghadapi berbagai macam tantangan yang dihadapi dan mampu mengatasi berbagai macam tuntutan dan permasalahan hidup termasuk dalam kehidupan keluarga maupun pekerjaan.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai kesejahteraan psikologis pada karyawati. Untuk itu judul penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Hubungan antara tuntutan pekerjaan dengan kesejahteraan psikologis pada karyawati”.

(13)

10

METODE PENELITIAN A. Responden Penelitian

Karakteristik subjek yang dipilih untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: karyawati, pekerja tetap (bukan pekerja magang), berusia lebih dari 21 tahun, sudah menikah, dan masa kerja minimal 1 tahun.

B. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa metode skala untuk mendapatkan jenis data kuantitatif. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala yaitu skala kesejahteraan psikologis dan skala tuntutan pekerjaan.

1. Skala Kesejahteraan Psikologis

Skala kesejahteraan psikologis mengacu pada teori Achour, dkk (2011) yang menjelaskan bahwa kesejahteraan karyawan memiliki tiga aspek yaitu kepuasan kerja, kepuasan keluarga, dan kepuasan hidup. Jumlah aitem yang direncanakan dalam skala ini adalah 24 aitem. Skala ini menggunakan 5 pilihan jawaban respon, yaitu angka 5 menunjukkan pernyataan SS (Sangat Setuju), angka 4 menunjukkan pernyataan S (Setuju), angka 3 menunjukkan pernyataan R (Ragu-ragu), angka 2 menunjukkan pernyataan TS (Tidak Setuju), dan angka 1 menunjukkan pernyataan STS (Sangat Tidak Setuju). Pernyataan dalam skala ini hanya terdapat kelompok pernyataan favourable.

(14)

11 2. Skala Tuntutan Pekerjaan

Skala tuntutan pekerjaan mengacu pada teori Schaufeli & Bakker (2004) yang menjelaskan bahwa tuntutan pekerjaan memiliki aspek yaitu work overload (beban kerja yang berlebihan) dan emotional demands (tuntutan emosional). Jumlah aitem yang direncanakan dalam skala ini adalah 31 aitem. Skala ini menggunakan 5 pilihan jawaban respon, yaitu angka 5 menunjukkan pernyataan SS (Sangat Setuju), angka 4 menunjukkan pernyataan S (Setuju), angka 3 menunjukkan pernyataan R (Ragu-ragu), angka 2 menunjukkan pernyataan TS (Tidak Setuju), dan angka 1 menunjukkan pernyataan STS (Sangat Tidak Setuju). Pernyataan dalam skala ini hanya terdapat kelompok pernyataan favourable.

C. Metode Analisis Data

Dalam mengolah data, peneliti melakukan penghitungan statistika dengan menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science) 17.00 for Windows. Teknik statistika yang digunakan adalah teknik Korelasi Product Moment. Dipilihnya Korelasi Product Moment karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tuntutan pekerjaan dengan kesejahteraan psikologis pada karyawati.

(15)

12

HASIL PENELITIAN A. Uji Asumsi

Uji normalitas dengan menggunakan teknik one-sample Kolmogorov-Smirnov Test dari program SPSS 17.00 for Windows menunjukkan nilai K-SZ sebesar 1,172 dengan nilai p = 0,128 (p>0,05) untuk kesejahteraan psikologis. Nilai K-SZ sebesar 0,879 dengan nilai p = 0,423 (p>0,05) untuk tuntutan pekerjaan. Hasil uji normalitas ini menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis dan tuntutan pekerjaan memiliki sebaran normal.

Hasil uji linearitas dengan menggunakan program SPSS 17.00 for Windows dengan teknik Compare Means menunjukkan F Linearity = 0,124 dan p = 0,726. Berdasarkan hasil analisis diatas, dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel tuntutan pekerjaan dan variabel kesejahteraan psikologis tidak linear karena p>0,05.

B. Uji Hipotesis

Hasil analisis data menunjukkan korelasi antara variabel tuntutan pekerjaan dengan kesejahteraan psikologis r = 0,011 dengan p = 0,453 (p>0,01). Hal ini berarti menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tuntutan pekerjaan dengan kesejahteraan psikologis pada karyawati sehingga hipotesis yang diajukan ditolak.

(16)

13

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tuntutan pekerjaan dengan kesejahteraan psikologis pada karyawati. Berdasarkan hasil korelasi Spearman dapat diketahui bahwa koefisien r = 0,011 dengan p = 0,453 (p>0,01). Berdasarkan hasil tersebut dapat diartikan bahwa semakin tinggi tuntutan pekerjaan maka semakin tinggi kesejahteraan psikologis pada karyawati dan sebaliknya semakin rendah tuntutan pekerjaan maka semakin rendah kesejahteraan psikologis pada karyawati. Hasil penelitian juga menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara aspek tuntutan pekerjaan dengan aspek kesejahteraan psikologis. Penyebab tidak adanya hubungan yang signifikan antara aspek tuntutan pekerjaan dengan aspek kesejahteraan psikologis kemungkinan karena tuntutan pekerjaan pada subjek penelitian ini tidak terlalu berat.

Ada beberapa penyebab hipotesis ditolak. Pertama, karena alat ukur yang digunakan peneliti merupakan alat ukur translasi dari sumber yang berbeda negara dengan peneliti. Sehingga mungkin terdapat perbedaan dalam hal budaya. Dalam sebuah penelitian, pernyataan yang diajukan peneliti haruslah bebas budaya sehingga tidak terjadi culture-bound. Dimana suatu pernyataan tersebut bisa saja bermakna bagi satu budaya namun tidak bagi budaya lain. Selain pernyataan yang culture-bound, peneliti harus memperhatikan penafsiran atas data yang didapat. Peneliti sering berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dengan para subjek yang dikaji. Yang terakhir adalah adanya response set yaitu, kecenderungan kultural untuk memberi respon dengan cara-cara tertentu terhadap

(17)

14

tes atau skala respon yang lebih merupakan cermin dari kecenderungan kultural dan bukan makna skala yang sebenarnya (Matsumoto, 2008).

Walaupun hipotesis “ada hubungan antara tuntutan pekerjaan dengan kesejahteraan psikologis pada karyawati” dalam penelitian ini ditolak, tidak berarti faktor-faktor lain di luar tuntutan pekerjaan tidak mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Menurut Bakker dan Demerouti (2007) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis karyawan yaitu, job demands, job control, dan job resources. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis menurut Salami (2010) adalah situasi keuangan, status sosial, kesehatan fisik, kualitas perkawinan, status pensiun, tantangan pekerjaan, dukungan sosial, dan kepuasa hidup.

Kualitas perkawinan menjadi faktor lain dalam terbentuknya kesejahteraan psikologis. Menurut Clayton (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan diantaranya adalah kualitas komunikasi, pelaksanaan tugas, pendidikan, tahap perkembangan keluarga, dan keberadaan anak. Meskipun kualitas perkawinan tidak dapat diartikan hanya dengan melihat lama waktu perkawinan, setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa perkawinan yang dijalani dapat memberikan kenyamanan bagi hidup. Para karyawati yang memiliki lama waktu perkawinan hingga berpuluh-puluh tahun ternyata memilik skor kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dibandingkan para karyawati yang baru saja menikah.

Jumlah anak juga dapat memberikan sedikit gambaran terhadap kepuasan perkawinan seseorang. Walaupun tidak berarti keluarga yang tidak dikarunia anak

(18)

15

tidak mengalami kepuasan dalam perkawinan. Hanya saja dengan memiliki anak proses dalam keluarga tentunya akan lebih kompleks. Berdasarkan data penelitian, rata-rata karyawati memiliki anak 2-3 orang dan hanya ada dua karyawati yang memiliki anak 4 orang. Selebihnya para karyawati yang baru menikah memiliki 1orang anak atau belum memiliki anak. Kesimpulan yang dapat diambil adalah lama waktu perkawinan sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan psikologis. Para karyawati yang memiliki lama waktu perkawinan hingga berpuluh-puluh tahun memiliki skor kesejahteraan psikologis lebih tinggi daripada para karyawati yang baru menikah. Para karyawati yang memiliki anak menunjukkan skor kesejahteraan psikologis yang baik. Oleh karena itu kualitas perkawinan juga merupakan salah satu faktor yang berperan positif dalam terbentuknya kesejahteraan psikologis pada karyawati.

Lama waktu bekerja menjadi salah satu faktor pendukung terbentuknya kesejahteraan psikologis pada karyawan. Berdasarkan data penelitian ditemukan hasil bahwa karyawati yang telah lama bekerja tidak memiliki skor kesejahteraan psikologis yang baik. Ada 14 orang dari 39 orang karyawati dengan lama waktu bekerja antara 20-35 tahun yang memiliki skor kesejahteraan psikologis yang tinggi. Selain itu karyawati hanya mampu mencapai skor rata-rata saja, walaupun begitu skor kesejahteraan psikologis para karyawati masih tergolong cukup baik.

Dalam suatu pekerjaan biasanya tidak mungkin hanya ada satu faktor saja yang dapat mempengaruhi. Tempat kerja merupakan lingkungan yang kompleks untuk munculnya suatu masalah, misalnya masalah komunikasi interpersonal, dukungan sosial, rekan kerja, dan lingkungan kerja itu sendiri. Sehingga wajar

(19)

16

saja apabila karyawati yang sudah lama bekerja memiliki kesejahteraan psikologis yang konstan dan tidak bertambah lebih baik.

Faktor pendukung terakhir yang dapat peneliti sampaikan pada penelitian ini adalah karakteristik demografis. Karakteristik demografis dalam penelitian ini adalah usia. Berdasarkan data penelitian diperoleh dua kelompok rentang usia, yaitu yang pertama rentang usia 24-40 tahun dan yang kedua rentang usia 41-56 tahun. Pada rentang usia yang pertama terdapat 14 orang yang memiliki skor kesejahteraan psikologis tinggi dan 15 orang yang memilki skor kesejahteraan psikologis rendah. Sedangkan rentang usia yang kedua terdapat 13 orang yang memiliki skor kesejahteran psikologis tinggi dan 9 orang yang memiliki skor kesejahteraan psikologis rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor usia karyawati dengan rentang usia 41-56 tahun lebih memiliki skor kesejahteraan psikologis yang tinggi dibanding karyawati dengan rentang usia 25-40 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian terdapat 111 orang yang termasuk dalam kategori kesejahteraan psikologis tinggi. Ada 9 orang yang termasuk dalam kategori kesejahteraan psiokolgis sedang. Rata-rata skor tuntutan pekerjaan dalam penelitian ini berada pada kategori sedang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tuntutan pekerjaan subjek tidak terlalu berat. Berdasarkan penelitian ini terdapat 42 orang subjek menunjukkan kategori tinggi dalam skor tuntutan pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua subjek mendapatkan tuntutan pekerjaan yang tinggi dari perusahaannya.

Selaras dengan variabel tuntutan pekerjaan, kategorisasi variabel kesejahteraan psikologis tergolong tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa

(20)

17

sebagian subjek memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi. Dalam hal ini subjek sudah memenuhi keseluruhan dari aspek kesejahteraan psikologis.

Penelitian ini masih terdapat beberapa kelemahan. Diantaranya pertama, alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua skala translasi meliputi skala kesejahteraan psikologis dan tuntutan pekerjaan. Walaupun skala ini telah melalui proses review, tidak menutup kemungkinan bahwa skala translasi tersebut masih banyak kekurangan. Penyebaran skala yang tidak dilakukan sendiri oleh peneliti dapat mempengaruhi jawaban subjek. Kedua, terdapat kesalahan dalam menentukan aitem yang termasuk favourable dan unfavourable sehingga terdapat dua aitem yang gugur dikarenakan salah tabulasi. Ketiga, kemungkinan bisa saja terjadi karena subjek ingin memberikan kesan positif atau faking good tentang dirinya dan tidak menginginkan orang lain tahu mengenai masalah atau kekurangan yang ada dalam diri subjek. Keempat, kurangnya referensi yang digunakan oleh peneliti sehingga teori yang digunakan pada variabel kesejahteraan psikologis dan tuntutan pekerjaan masih kurang relevan.

(21)

18

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara tuntutan pekerjan dengan kesejahteraan psikologis pada karyawati tidak signifikan. Dapat disimpulkan bahwa peran tuntutan pekerjaan tidak mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada karyawati.

A. Saran

1. Bagi Subjek penelitian (karyawati)

Disarankan kepada karyawati dapat mengatur tekanan kerja yang diberikan oleh perusahan, mengendalikan emosional, dan dapat mengatasi stres dan depresi, sehingga dapat mendukung perkembangan kesejahteraan psikologis dalam diri karyawati tersebut.

2. Bagi instansi yang bersangkutan

Penelitian ini diharapkan mampu untuk lebih memberikan pemahaman adanya faktor-faktor yang dapat menaikkan maupun menurunkan kesejahteraan psikologis. Karena faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain, maka penting bagi pihak manajemen untuk selalu meminimalisir faktor-faktor negatif yang menghambat perkembangan kesejahteraan psikologis karyawati.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya, jika memakai alat ukur dari negara lain diharapkan dapat memperhatikan dalam menerjemahkan alat ukur dengan

(22)

19

benar. Diharapkan juga melakukan penelitian kesejahteraan psikologis dengan variabel lain. Dan mampu untuk lebih mengembangkan penelitian baik dari segi tema, metode, maupun alat ukur khususnya pada bidang industri.

(23)

20

DAFTAR PUSTAKA

Achour, M., Boerhannoeddin, A.B., & Khan, A. (2011). Religiosity as a Moderator of Work-Family Demands and Employees’ Well-being, African Journal of Business Management, Vol 5, No 12.

Achour, M., Nor. M. R. M., & Yusoff, M. Y. Z. M. (2015). Islamic Personal Religiosity as a Moderator of Job Strain and Employee’s Well-Being: The Case of Malaysian Academic and Administrative Staff, Journal of Religion and Health, Vol DOI 10.1007

Amstad, F. T., Meire, L. L., Fasel, U., Elfering, A., & Semer, N. K. (2011). A Meta-Analysis of Work-Family Conflict and Various Outcomes With A Special Emphasis on Cross-Domain Versus Matching-Domain Relations. Journal of Occupational Health Psychology, 16, 151-169

Anwarsyah, dkk. (2012). Hubungan antara Job Demands dengan Workplace Well-being pada Pekerja Shift, Jurnal Psikologi Pitutur, Vol. 1 No. 1.

Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas edisi 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bakker, A. B., & Demerouti, E. (2007). The Job Demands-Resources model: state

of the art, Journal of Managerial Psychology, Vol. 22 No. 3.

Bassi, M., Bacher, G., Negri, L., & Fave, A. D. (2003). The Contribution of Job Happiness and Job Meaning to the Well-Being of Workers from Thriving and Failing Companies. Applied Research Quality Life, 8: 427-448 Chen, F. C., Ku, E. C. S., Shyr, Y.H., Chen, F. H., & Chou, S. S. (2009).Job

Demand, Emotional Awarness, And Job Satisfaction in Internship: The Moderating Effect Of Social Support. Journal of Social Behavior And Personality

Chida, Y., & Steptoe, A. (2008). Positive Psychological Well-Being and Mortality: A Quantitative Review and Motivation-After Downsizing. African Journal of Business Management, Vol. 4(5), pp. 604-613

Damerouti, E., Bakker, A. B., Nachreiner, F. & Schaufeli, W. B. (2001). The job demands–resources model of burnout. Journal of Applied Psychology, 86, 499–512.

Danna, K., & Griffin, R. K. (1999). Health and Well-Being in the Workplace: A Review and Synthesis of the Literature. Journal of Management, vol 25. 3. 357-384.

(24)

21

Diener, E. (2009). The Science of Well-Being. New York: Springer

Envick, B. R. (2012). Investing in A Healthy Workforce: The Impact of Physical Wellnes on Psychological Well-Being and The Critical Implications for Worker Performance. Academy of Health Care Management Journal, 21-32

Galginaitis, C.R. (1994). Managing the demands of work and home. Boston: Irwin.

Gibson, J. L., Ivancevich, J. M., & Donnelill, J. R. J. H. (2002). Organisasi. Edisi ke-8. Terjemahan Nunuk Adiarni. Jakarta: Binarupa Aksara

Goldstein, E. D. (2007). Sacred Moments: Implications on Well-Being and Stress. Journalof Clinical Psychology, 63(10), 1001-1019

Grebner, S., Semmer, N. K., & Elfering, A. (2005). Working Conditions and Three Types of Well-Being: A Longitudinal Study With Self-Report and Rating Data. Journal of Occupational Health Psychology, 10, 31-43 Hairudinor. (2014). The Effect of Compensation on the Psychological Well-being,

Work Engagement and Indidual Performance (Case Study on The Nurses of Private Hospital In South Borneo, indonesia), International Journal of Business and Management Invention, Vol. 3 No. 7.

Hamid, H. (2005) Hubungan antara Androginitas dengan Konflik Peran Ganda pada Wanita. Jurnal Intelektual

Harter, J. K., Schmidt, F. L., & Keyes, L. M. (2002). Well-Being in The Workplace and Its Relationship to Business Outcomes: A review of The Gallup Studied

Higashiguchi, K. K., Nakagawa, H., Morikawa, Y., Ishizaki, M.,Miura, K., Naruse,Y., & Kido, T. (2002). The Association Between Job Demand, Control, and Depression, in Workplaces in Japan. Journal of Occupational Health, 44, 427-428.

Horn, J. E. V., Taris, T. W., Schaufeli, W. B., & Schreurs, P. J. G. (2004). The Structure of Occupational Well-Being: A Study Among Dutch Teacher. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 77. 365-375 Huang, Y. H., Du, P. L., Chen, C. H., Yang, C. A., & Huang, I. C. (2010).

Mediating Effect Of Emotional Exhaustion On The RelationshipBetween Job Demand-Control Model And Mental Health. Journal of Stress And Health

(25)

22

Huppert, F. A. (2009). Psychological Well-Being: Evidence Regarding Its Causes and Cousequences. Journal of Health and Well-Being

Junita, A. (2011). Konflik Peran Sebagai Salah Satu Pemicu Stres Kerja Wanita Karir. Jurnal Keuangan dan Bisnis, 3 (2), 93-110

Karyono, Dewi, K. S., & Lela, T. A. (2008). Penanganan Stres dan Kesejahteraan Psikologis Pasien Kanker Payudara yang Menjalani Radioterapi di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Media Medika Indonesia, 43 (2), 102-105

Keyes, C. L.M., Hysom, S. J., & Lupo, K. L. (2000).The Positive Organization: Leadership Legitimacy, Employee Well-Being, and The Bottom Line. The Psychologist-Manager Journal, 4, 143-153

Kristensen, T. S. (2001). A New Tool for Assessing Psychosocial Work Environment Factors: The Copenhagen

Leka, S., Griffiths, A., & Cox, T. (2003). Work Organization & Stress: Systematic Problem Approaches for Employers, Managers and Trade Union Representatives

Life, C. (2013). Tingkat Stress Karyawan Meningkat diunduh dari http://www.portalhr.com/berita/tingkat-stress-karyawan-meningkat/ pada tanggal 24 April 2015.

Love, P.E.D, dkk. (2007). Influence of Job Demands, Job Control and Social Support on Information Systems Professionals’ Psychological Well-Being. International Journal of Manpower, Vol. 28 No. 6.

Matsumoto, D. (2008). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nawawi, H. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Papalia, D. G., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development: Perkembangan Manusia (Edisi 10, Buku 2). Jakarta: Salemba Humanika Rivai, V. (2003). Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada.

Robbins, S. P. (2003). Perilaku Organisasi. Jakarta: PT Index Kelompok Gramedia.

(26)

23

Russell, J. E. A. (2008). Promoting Subjective Well-Being at Work. Journal of Career Assessment, 16, 1, 117-131

Ryff, C. D., & Keyes,C. L. M. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727 Ryff, C. D., & Singer, B. (2002). From Social Structure to Biology: Integrative

Science in Pursuit of Human Health and Well-Being. C. R. Synder dan S. J. Lopez (Eds), Handbook of Positive Psychology (pp. 541-555). Oxford: Oxford University Press

Salami, S. O. (2010). Emotional Intelligence, Self-Efficacy,Psychological Well-Being and Students Attitudes: Implications for Quality Education. European Journal of Educational Studies, 2, 247-257

Schaufeli, W. B., & Bakker, A. B. (2004). “Job Demands, Job Resources, and Their Relationship with Burnout and Engagement: a Multi-Sample Study,” Journal of Organizational Behavior, 248 (25)

Siregar, M. (2007). Keterlibatan Ibu Bekerja dalam Perkembangan Pendidikan Anak. Jurnal Harmoni Sosial. 2 (1). 60-80

Wood, S., Stride, C., Threapleton, K., Wearn, E., Nolan, F., Osborn, D., Paul, M., & Johnson, S. (2011). Demands, Control, Supportive Relationship and Well- Being amongst British Mental Health Worker. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol, Vol. 46, 1055-1068

Wright, T. A., Cropanzano, R., & Bonett, D. G. (2007). The Moderating Role of Employee Positive Well Being on The Relation between Job Satisfaction and Job Performance. Journal of Occupational Health Psychology, 12, 93-104

Yperen, N. W. V., & Hagedoorn, M. (2003). Do High Job Demands Ingrease Intrinsic Motivation or Fatigue or Both? The Role of Job Control and Job Social Support. Academy of Management Journal, Vol. 48, No. 3

(2012). Karyawan Indonesia resah dan mempertimbangkan perubahan pekerjaan menurut survey tahunan dari Kelly Services diunduh dari

http://www.kellyservices.co.id/ID/Knowledge-Hub/Press-Releases/KGWI-Karyawan-Indonesia/#.VqCE40DxiVw pada tanggal 21 Januari 2016.

(27)

24

IDENTITAS PENULIS

Nama : Frisca C. Pratista

Alamat Rumah : Perumahan Margorejo Asri Blok H-14, Tempel, Sleman, Yogyakarta

Alamat Kampus : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia

Jalan Kaliurang Km. 14,5 Sleman, Yogyakarta 55584

No. Hp : 085743838982

Referensi

Dokumen terkait

dalam kegiatan belajar mengajar. Memberi pengalaman anak untuk bersikap mandiri dan tanggung jawab. Meningkatkan kerjasama pada anak dalam melakukan suatu hal atau kegiatan.

tinggi lebih baik daripada prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa jumlah citraan yang diperoleh dalam judul berita di surat kabar Kompas berjumlah lima jenis citraan, yaitu citraan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan motivasi belajar dengan hasil belajar praktik palpasi Leopold pada mahasiswa DIII Kebidanan.. Metode penelitian: Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang pengalaman bidan dalam menghadapi situasi kritis persalinan, yang lebih ditekankan pada

Adelin (2013) dan Ardiana (2016), menunjukkan bahwa ketaatan aturan akuntansi mempunyai hubungan yang negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi, hal ini

[r]

Disertasi Pengaruh faktor sosial ekonomi dan budaya ..... ADLN -