• Tidak ada hasil yang ditemukan

Balada Penulis Cantik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Balada Penulis Cantik"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Balada Penulis Cantik

ala nanti malam, Kau bertemu Tuhan.

Tolong tanyakan padanya. Apakah Adam diciptakan untuk memeperkosa Hawa?”

Brak..!!

Buku itu dilemparnya jauh-jauh, sejauh ia berlari dari kenangan-kenangan yang memburu.

Pikiranya kacau, psikologisnya terguncang saat membaca bait demi bait kumpulan puisi Rieke Diah Pitaloka.

Renungan Kloset, buku itu ia dapat dari tukang buku loakan langgananya tiga tahun silam, sebelum ia keluar sebagai seorang sarjana terbaik Universitas Indonesia. kali ini ia sial, maksud hati membaca untuk mengenang keberhasilan. Buku itu malah kembali membuka memoar kelam dalam hidupnya yang lama ingin ia buang ke laut lepas.

***

1998

Kala itu Dini hanyalah satu diantara mahasiswi yang melawan kerasnya pergaulan hidup kota Jakarta. Gadis polos dari desa, menuntut ilmu di Universitas tersohor di ibu kota. Perjumpaanya dengan Fian seorang senior di Fakultas Sastra telah mewarnai hari-hari Dini. Sejak itu ia semakin rajin berangkat kuliah, tentu dengan harapan dapat berjumpa Fian disela-sela kesibukan kuliah. Semakin hari rasa itu tumbuh subur diantara Dini dan Fian, mereka saling jatuh cinta bak tokoh Romeo Juliete Shakespear. Hari-hari sering mereka habiskan dengan canda tawa dan saling mengagumi satu sama lain. Ditengah hiruk pikuk kesibukan perkuliahan, dua insan yang jatuh cinta mampu mencuri waktu meski hanya bersua untuk saling sapa.

Sampai malam itu tiba, Dini dengan kepolosanya telah dengan mudah mempercayai Fian kekasih baru yang ia kenal tempo hari. Fian pria kelahiran Jakarta yang sudah terbiasa hidup ditengah kebebasan pergaulan ibu kota dengan mudah menjerat Dini dalam perangkap asmara dan birahi yang membabi buta. Satu tahun penuh mereka jalani dengan letupan-letupan asmara yang bergejolak menghiasi keseharian dua insan yang dimabuk cinta.

“Din, tahun ini abang wisuda,”

“iya, bang selamat ya. Tapi abang sabarkan menunggu sampai Dini sarjana,” ucap Dini bahagia dan melepas peluk hangat kepada kasihnya.

“iya sayang, abang tunggu Dini sampai selesai lalu kita menikah dan hidup bersama,” jawab Fian dengan lembut sembari mencium kening kekasihnya yang polos.

Setelah Fian menyandang gelar sarjana, ia bekerja pada perusahaan milik ayahnya. Pada bulan pertama selepas mereka terpisah, Fian masih intens memberi kabar pada Dini melalui surat, sesekali menelvon. Namun semuanya berubah ketika menginjak bulan kelima. Fian seakan hilang tertelan bumi, tak pernah sekalipun memberi kabar lewat surat maupun telefon. Sontak Dini terpuruk dan sedih merasa tertipu setelah semua yang ia miliki telah diberikan kepada kekasihnya, tak terkecuali kehormatanya sebagai wanita.

Masa-masa itu adalah masa terberat yang Dini lewati. Ia sangat terpuruk, hanya bisa meringkuk di losmen tempat tinggalnya. Dini merasa masa depanya hancur dan gairah belajarnya telah hilang sama sekali. Sempat terbesit dalam pikiranya untuk kedokter dan meminta agar dikebiri hingga naluri birahinya hilang kepada kaum Adam. Psikologisnya terguncang hebat, ia tidak mempercayai pria siapapun itu bahkan dosen dan ayah kandungnya sekalipu. Sampai akhrinya Fifi hadir bak malaikat yang diutus tuhan untuk Dini. Disaat kejatuhan

“K

(2)

Dini ia berjuang keras, dengan senang hati mendengarkan curahan hati dan sedikit demi sedikit membangun kembali semangat dan mengembalikan kembali keceriaan Dini yang lama hilang.

***

2000

“ Renungan Kloset.

Ada baiknya,

Tak mencatat hidup dalam lembar-lembar buku harian Suatu masa,

Jika membacanya lagi

Manis, membuat kita ingin kembali Pahit, membuat duka tak bisa lupa Ada baiknya,

Merenung hidup dalam kloset yang sepi

Tak perlu malu mengenang, tersenyum atau menangis Setelah itu,

Siram semua, bersiap menerima makanan baru yang lebih baik dari kemarin.”

Tepuk tangan menggemuruh dari bilik tribun. Ribuan orang bertepuk tangan terkesima atas pidato yang diahiri puisi indah karya Rieke Diah Pitaloka, disampaikan seorang sarjanawati muda. Dini-lah orang tersebut, sebagai wisudawati terbaik dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Namanya dibicarakan baik oleh koleganya maupun media masa. Selepas pidato Dini langsung turun dari podium lalu menghambur kearah teman-teman angkatanya duduk berbaris di tribun pojok ruang wisuda.

“Din, selamat ya,” ucap Fifi sahabat dekat sekaligus teman seangkatan di Jurusan Sastra Indonesia.

“Iya Fi, thanks a lot,” Dini melemparkan senyum haru dengan mata berkaca-kaca kepada sahabatnya.

“Pidatomu luar biasa, apalagi puisi yang kau bacakan it’s so amazing,”

“Ah, kau Fi. Ini semua karena jasa besarmu sahabat,” canda Dini diukuti gelak tawa kebahagiaan bersamaan.

***

Kini, Dini adalah seorang wanita karir yang bekerja pada penerbitan besar di Indonesia. kelulusanya sebagai wisudawan terbaik dari Universitas Indonesia, dengan IPK yang tinggi menjadikan beberapa perusahaan besar di Jakarta meliriknya. Sayang kecerdasan dan naluri kebebasanya hanya sebatas angan, karena ia harus rela menjadi pegawai di industri penerbitan. Meski dengan posisi strategis dan gaji tinggi tetap saja statusnya adalah buruh industri.

Orang memandangnya sebagai wanita karir yang cerdas dan kaya raya. Siapa sangka dibalik kesuksesan yang ia raih, tersimpan luka dalam yang setiap saat hadir menghantui setiap gerak pikir dan aktivitasnya. Sampai pada usia 35 tahun, Dini belum juga menikah. Hidupnya dihabiskan untuk bekerja dan berkarya. Dua hal itu telah menjadi nafas kehidupan sekaligus teman sejati dalam menuangakan pikiran dan curahan hati, setelah sahabatnya Fifi pergi mendahului menghadap sang ilahi.

Novel-novel karya Dini laris di pasaran, selain kekuatan bahasa yang indah Dini seolah menghadirkan tokoh- tokoh nyata dibenak pembaca setia bukunya. Entah sampai kapan kepercayaanya terhadap kaum adam akan kembali dan bersedia membuka hati yang lama mati. Ia tidak pernah memikirkan hal itu, seperti kloset ia telah menyiram kotoran dalam kehidupanya namun tidak dengan sisa kotoran yang menempel bak kebencian yang mengumpal menjadi batu. Sekali lagi Dini hanyalah penulis dengan paras cantik dikelilingi harta dan sederet kesuksesan lainya. Ia bukan Nelson Mandela yang berhati baja, ia hanya seorang gadis biasa yang pernah hancur karena pria.

(3)

KIRI

siaku kini tidak muda lagi. Tapi usia tidak menjadikan penghambat bagiku dalam produktivitas menulis. Ya, pekerjaanku dulu hingga kini adalah jurnalis dan penulis lepas. Dipenghujung usiaku kini, telah lahir 35 judul buku dari jari-jemari anakku dan pikiranku. 20 diantaranya bergenre fiksi dan sisanya buku-buku pemikiran. Sejak kecil aku memang akrab dengan sastra. Karena sejak kecil ibuku sering mendongeng tentang cerita-cerita penuh hikmah dan bait-bait indah untuk mengantarkanku terlelap. Wajar saja jika anakku mewarisi keahlianku dalam menulis, apalagi ia ku sarankan masuk jurusan sastra Indonesia. Sehingga bisa menjadi rekan kerjaku.

“Nak, Apa buku novel kemarin sudah di-layout?” Aku memanggil anaku untuk me-layout novel baruku yang siap terbit bulan ini. Anakku biasa membantuku menulis, biasanya aku mendekte, bercerita dan ia menuliskan poin-poin penting dari cerita dengan sedikit dipermak diksi-diksi indah. Sudah 20 tahun aku dibantu oleh anakku dalam menulis, karena setengah indra penglihatanku sudah tidak berfungsi lagi.

Anakku datang sembari membawa laptop dan secangkir kopi susu hangat untuk menemaniku ditengah panasnya cuaca kota Jakarta. Aku mulai mendikte anakku untuk menulis bait demi bait yang keluar dari mulutku untuk keperluan kata pengantar novel tersebut. Sebagai seorang penulis profesional aku tidak pernah kehabisan ide dalam menyampaikan isi pikiranku untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. Sesekali disaat kebuntuan melanda, aku habiskan untuk menikmati kopi dan rokok sebagai pemancing imaginasi, setelah mood dan imaginasi hadir lantas kuteruskan kembali bercerita.

“Pak, Mbok yo bapak istirahat saja. Bapak kan lagi sakit,” tiba-tiba terdengar suara istriku datang ditemani kursi rodanya menghampiriku.

“Buk, bapak ini akan tambah sakit jika dipaksa untuk berjauhan dengan dunia tulis menulis. Ibu kan tau, mata bapak sudah tidak bisa membaca lagi, setengah kehidupan bapak sudah hilang. Sekarang mumpung bapak masih hidup, bapak ingin habiskan sisa-sisa hidup bapak untuk menulis. Semoga nantinya akan bermanfaat bagi umat,” Jawabku sambil tersenyum lantas menyeruput kopi seduhan anakku.

“Yowis, bapak ini emang orange susah dinasehati kalo sudah berurusan dengan kertas dan pena. Yang penting jangan lupa minum obatnya ya pak,” pesan istriku sambil berlalu bersama kursi roda penyangga hidupnya.

Aku hanya membalas dengan senyum, memang kondisi kesehatanku akhir-akhir ini sedang menurun. Tapi aku tetap bersyukur kepada Tuhan dengan menganugerahi istri yang baik serta tulus mengabdi tanpa henti sampai usia tuaku kini.

U

(4)

***

Sebelum menjadi penulis terkenal, aku mempunyai kisah kelam dimasa mudaku. Saat masih dibangku perkuliahaan, Aku bergulat dengan dunia aktivis mahasiswa dan pers. sering kali aku terlibat aksi demonstrasi pada masa-masa menjelang reformasi. Usiaku waktu itu masih cukup muda 20 tahun. Ingatanku masih sangat jelas bagaimana para aktivis diburu dan dibunuh karena dianggap membuat keonaran di ibu kota. Bahkan tidak jarang dari kawanku yang hilang diculik, sampai saat ini entah bagaimana nasibnya para keluarga korban tidak pernah mendapat informasi kejelasan dari negara.

Pada saat pemburuan aktivis pergerakan, aku bersembunyi dari satu rumah ke rumah lain. Bahkan karirku sebagai jurnalis kampus hancur karena media ditempatku kerja di-bredel dan dilarang terbit selama-lamanya.

Setiap hari aku dihantui oleh kasus-kasus kekerasan yang terjadi disekitarku. Dimana bau anyir darah tercium disepanjang jalan kampusku. Sampai suatu hari dimana tragedi menjadi memoar kelam yang tidak bisa dilupakan hingga akhir usiaku kini.

Waktu itu aku sedang menginap dikontrakan salah satu teman kuliah untuk bersembunyi dari kejaran militer.

Pagi buta, dimana masyarakat kota masih tertidur pulas tiba-tiba segerombolan orang datang mengedor-gedor pintu rumah, kulihat mereka berpakaian serba hitam. Sontak kami terbangun dan berlari dari pintu belakang.

Kawanku Hariono, memang memiliki badan yang tambun, postur tubuhnya menjadikan sulit dalam berlari. Ia ditangkap dan diteriaki komunis, padahal sepengetahuanku ia sosok yang taat beribadah dan putra seorang kyai tersohor di desanya. Aku yang menyadari bahwa Hariono ditangkap, langsung berbalik arah dan memilih untuk menyerahkan diri.

Saat diperiksa di kantor. Mereka merampas bukuku dari kontrakan Hariono. Diantaranya buku Das Kapital karya Karl Marx, Max Havelar karya Multatuli, Dibawah Bendera Revolusi karya Soekarno, Madilog karya Tan Malaka, dan Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Buku-buku itu adalah koleksi kesayanganku yang memang dilarang untuk dibaca dimasa orde baru.

“Dasar anak komunis, mau jadi apa kau mengoleksi buku-buku kiri,” Teriak salah satu serdadu menghardikku.

“Saya bukan komunis pak, KTP saya islam boleh dilihat,” jawabku sembari mengeluarkan KTP dari dompet untuk melakukan pembelaan diri.

Brak..!!

Tiba-tiba seluruh ruangan terasa gelap. Aku terhuyung jatuh oleh pukulan salah satu anggota serdadu yang entah dari mana asalnya dan atas perintah siapa mereka melakukan penangkapan ini, aku tak tahu. Mata kiriku mengeluarkan darah, penglihatanku sudah tidak normal lagi yang terakhir aku lihat hanya Hariono. Ia dipukuli oleh anggota militer, setelah itu aku tidak sadarkan diri.

Berita kehilanganku terdengar oleh pamanku yang kala itu menjadi Dekan Fakultas Sastra Universitas Trisakti.

Lantas paman membayar orang untuk mencari keberadaanku untuk membawaku pulang. Semua anggota keluarga meresahkan keadaanku, terlebih setelah televisi menayangkan korban jiwa dari bentrok antara mahasiswa demonstran dan para serdadu militer.

Ingatanku juga masih segar, saat mengingat dimana aku ditinggalkan di pos ronda dengan keadaan mata berdarah. Aku tersadar saat sudah berada dirumah sakit dengan kondisi mata kiri dibalut perban. Aku kesulitan melihat sekitar, apalagi untuk membaca buku-buku sebagai suatu hobi dan pemuas aktivitasku sehari-hari.

Disaat kesadaranku memulih, aku tersontak dengan kehadiran seorang perempuan. Ia nampak ayu mengenakan hijab ditambah suara yang lemah lembut menambah pesona dalam dirinya. Benaku bertanya siapa gerangan bidadari ini?.

“Mas, sudah siuman. Minum dulu airnya mas”

(5)

Perempuan yang entah dari mana asalnya itu menyodorkan segelas air untuk membasahi tenggorokanku yang kering.

Pihak keluargaku telah dihubungi, pamanku sangat berterima kasih kepada perempuan yang menemukanku tergeletak tak berdaya di pos ronda. Ia dengan bantuan warga telah menyelamatkan nyawaku dengan membawa ke rumah sakit. Perempuan yang dengan tulus menyelamatkan nyawa orang yang tidak dikenalnya. Kini dengan setia telah menemani selama 50 tahun hingga usia tuaku, dengan penuh kesabaran menerima kekuranganku setelah dokter mem-vonis buta seumur hidup, terutama mata bagian kiriku.

Hingga saat ini yang menghantui pikiranku adalah nasib Hariono kawanku, sampai detik ini belum ditemukan keberadaanya. Ia hilang tanpa kabar bersama buku koleksi kesayanganku di malam itu. Dugaanku selama ini, ia pasti berkorban menaruh badan untuk keselamatanku dengan mengakui bahwa ia sang pemilik buku tersebut serta terlibat aktivis mahasiswa dalam kerusuhan 98 di Trisakti.

Hariono, andai waktu dapat berhenti dan terulang kembali. Rasanya aku ingin sembuh dan mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM dimasa itu. Hariono sahabatku, dimanapun kau berada kau tetaplah Hariono yang alim, cerdas dan berani. Maafkan aku, membuat susah hidupmu kawan. Andai saja malam itu aku tidak menginap di tempatmu, semuanya tidak seperti ini. Ah, rasanya ingin kupukuli tubuh tuaku yang hanya bisa menyesali masa lalu.

***

“Pak, tulisanya sudah Reni layout. Total halamanya berjumlah 200 halaman,” kata anakku membuyarkan lamunanku.

“Iya nak, terima kasih,”

“Mau dikasih judul apa pak novel ini?”

Aku sejenak berpikir disaat anakku menanyakan judul novel yang selesai dilayout-nya. Terbesit dipikiranku untuk memberi judul Hikayat Hariono namun aku tak sampai hati jika novel ini dibaca oleh pihak keluarga Hariono, hanya menambah beban pikir dan perasaan keluarga korban yang ditinggalkan.

“KIRI” jawabku dengan tegas setengah emosi terbawa memoar tentang kawanku Hariono.

Anakku langsung mengetik dan siap mengantarkan naskahnya kepada penerbit. Dan aku masih terdiam dalam hening, duduk menikmati secangkir kopi dengan sedikit rasa legah setelah menyelesaikan novel pamungkasku.

Bagiku novel ini bukan novel biasa, semuanya diambil dari kisah nyataku dengan sahabatku Hariono. Semoga para penguasa negeriku sudi meluangkan waktunya untuk membaca karyaku, hingga nasib sahabatku Hariono beserta korban penculikan aktivis yang lain dapat menemukan titik terang. Maaf Har, hanya ini yang bisa aku lakukan disisa-sisa hidupku.

Referensi

Dokumen terkait

Interface) berbasis bahasa pemrograman JAVA yang digunakan untuk merancang aplikasi berbasis platform android BAHASA C JAVA PHP PASCAL VB ANDROID FRAMEWORK ….. Untuk dapat

Alexander Liu (2017), merancang suatu aplikasi sistem pakar diagnosa penyakit pernafasan pada anak dengan metode certainty factor yang berbasis web.. Hasil penelitian adalah

"Saya berpikir: "Bukan sekedar berdasarkan keyakinan Alara Kalama menyatakan, "Saya telah mengikuti dan menjalankan Dhamma ini, setelah saya realisasikan

Skripsi yang berjudul “Uji Kepekaan (Sensitivity Test) Bakteri Penyebab Mastitis pada Kambing Peranakan Etawa (PE) di Beberapa Kecamatan Kabupaten Banyuwangi

Mereka hanya mengetahui bahwa si Bungsu sudah mati ditebas Saburo dan anak buahnya sekitar dua tahun yang lalu!. Apakah si Bungsu menyangka bahwa kebocoran rahasia

25/POJK.03/2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing terkait Perpajakan Kepada Negara Mitra atau Yuridiksi Mitra (POJK Informasi nasabah Asing) dan Surat

Ada tiga values, pertama dengan Creative values adalah kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab,

Nilai impor Italia dari Jerman dan Perancis yang tergabung dalam Uni Eropa, serta China sebagai negara di luar Uni Eropa pada periode ini, pangsanya mencapai