• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI. Judul... i. Kata Pengantar... iii. Daftar Isi... v. Prinsip Penanganan Infeksi di Bidang Dermatologi... 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DAFTAR ISI. Judul... i. Kata Pengantar... iii. Daftar Isi... v. Prinsip Penanganan Infeksi di Bidang Dermatologi... 1"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

v

DAFTAR ISI

Judul ... i

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Prinsip Penanganan Infeksi di Bidang Dermatologi ... 1

Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Beban Masalah Kusta di Indonesia dan Beberapa Kebijakan Baru... 19

Prof. Dr. dr. Indropo Agusni, Sp.KK(K) Pseudomonas aeruginosa: Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak ... 31

dr. Ni Made Dwi Puspawati, Sp.KK Manifestasi Dermatologis pada Diabetes Melitus ... 51

dr. IGAA Dwi Karmila, Sp.KK Anal Warts (Condylomata Acuminata): Current Issues ... 65

Prof. Dr. med. Isaak Effendy

(3)

vi Herpes Simpleks Rekuren: Tatalaksana dan Pencegahan ... 67

dr. Hanny Nilasari, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

Update on the Management of Post Herpetic Neuralgia ... 77

dr. IGAA Elis Indira, Sp.KK

Challenges in the Management of HPV Infection in

Immunocompromised Patients ... 103

Dr. dr. AAGP Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

Cysticercosis: Emerging Parasites Diseases ... 117

Dr. dr. I Made Sudarmaja, M.Kes

Immunology of Susceptibility and Resistance in Scabies ... 123

Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV

Arthropod Borne Infection in Dermatology ... 139

dr. Pati Aji Achdiat, Sp.KK, M.Kes

Molecular Mechanism of Antibiotic Resistance in Gram-

Positive and Gram-Negative Bacteria Infection ... 181

Dr. dr. Nyoman Sri Budayanti, Sp.MK(K)

Viral Exanthema Management: Role of Immunomodulator and Antiviral ... 182

dr. Ni Luh Putu Ratih Vibriyanti Karna, Sp.KK

(4)

vii Obat Antijamur Sistemik: Klasifikasi Obat dan Perkembangan Terbaru Golongan Azol ... 197

Dr. dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K)

Etik dan Keselamatan Pasien ... 199

Prof. dr. Menaldi Rasmin, Sp.P(K), FCCP

Managemen Perubahan Pigmen Pasca Infeksi pada Kulit ... 201

Dr. dr. IGAA Praharsini, Sp.KK, FINSDV

Penatalaksanaan Ulkus Kulit yang Berhubungan dengan Infeksi ... 215

Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV

Penggunaan Antibiotika yang Rasional untuk Infeksi Kulit ... 225

Dr. dr. I Made Jawi, M.Kes

Abstract Free Paper Presentations

(5)

National Symposium Tropical Skin Infection | 77 UPDATE ON THE MANAGEMENT OF

POSTHERPETIC NEURALGIA

Dr. IGAA Elis Indira, SpKK Bag/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar-Bali

Abstract

Postherpetic neuralgia (PHN) is a main complication of shingles which form of chronic pain (> 3 months) after the skin lessions of herpes zoster improved. PHN is often found in the elderly and the risk also increase in chronic conditions such as respiratory disease, diabetes and immunosuppression status. PHN is a condition that should take into account considering negative effect on the quality of life of patients and the impact of economic factors. This fact increases the need for the clinician to understand more about the management of PHN and its upadated. Management of PHN include the prevention of initial infection, aggressive treatment in the acute phase of herpes zoster infection and multimodality treatment of chronic pain. Pharmacological treatment consisting of systemic drugs, topical medications, psychological interventions, and surgical intervention.

Key word: Postherpetic Neuralgia, quality of life, management.

Abstrak

Neuralgia pascaherpetik atau postherpetic neuralgia (PHN) merupakan salah satu komplikasi herpes zoster yang utama, berupa nyeri kronis (> 3 bulan) setelah gejala kulit pada herpes zoster membaik. PHN sering dijumpai pada usia lanjut dan risiko juga meningkat pada kondisi penyakit kronis seperti gangguan pernafasan, diabetes dan kondisi imunosupresi. PHN merupakan penyakit yang patut diperhitungkan mengingat efek negatif yang ditimbulkan pada kualitas hidup penderita dan dampak dari segi

(6)

National Symposium Tropical Skin Infection | 78 ekonomi. Fakta ini meningkatkan kebutuhan klinisi untuk memahami lebih lanjut mengenai penatalaksanaan PHN serta perkembangannya. Penatalaksanaan PHN meliputi pencegahan infeksi inisial, pengobatan yang agresif pada fase akut infeksi herpes zoster dan multimodalitas penanganan nyeri kronis mencakup terapi farmakologi yang terdiri dari obat-obat sistemik, obat topikal, intervensi psikologis, dan intervensi bedah. Beberapa pengobatan baru masih dalam penelitian lebih lanjut.

Kata kunci: Neuralgia pascaherpetik, kualitas hidup, penatalaksanaan.

PENDAHULUAN

Neuralgia pascaherpetik atau postherpetic neuralgia (PHN) merupakan salah satu komplikasi herpes zoster yang utama, berupa nyeri kronis (> 3 bulan) setelah gejala kulit pada Herpes Zoster membaik.1,2,3 Nyeri neuropatik pada PHN sering dijumpai pada usia lanjut dan kondisi imunosupresi.4,5

Insiden dan prevalen PHN adalah bervariasi. Pada studi klinis dan komunitas, insiden PHN adalah 8% - 15% tergantung dari definisi yang digunakan. Satu studi menyebutkan insiden 10 %-34%.

Jika definisi menggunakan waktu 3 bulan setelah onset gejala kulit maka insiden sebesar 10-20 %. Faktor usia merupakan faktor resiko utama pada PHN. Data analisis dari United Kingdom General Practice Research Data menunjukkan insiden meningkat dari 8%

pada usia 50-54 tahun sampai 80% pada usia 80-84 tahun. Faktor risiko lain adalah tingkat keparahan gejala prodromal, tingkat keparahan gejala kulit, dan intensitas nyeri pada fase akut. Risiko juga meningkat pada kondisi penyakit kronis seperti gangguan pernafasan, diabetes dan kondisi imunosupresi. Data dari register poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah selama satu tahun (tahun 2015) menunjukkan insiden PHN mencapai 21 kasus (16,6%) dari

(7)

National Symposium Tropical Skin Infection | 79 126 kasus herpes zoster yang ada. Sebanyak 75% dari penderita PHN tersebut berusia lebih dari 60 tahun.1,2,3,4,6

Patofisiologi neuralgia pascaherpetik dapat dijelaskan sebagai kelanjutan dari patofisiologi herpes zoster yaitu akibat menurunnya sistem imunitas seluler terjadi reaktivasi virus, selanjutnya terjadi migrasi virus menuju saraf sensoris dan menimbulkan injuri pada saraf, sehingga timbul alodinia dan nyeri dermatomal yang menetap walaupun lesi herpes zoster telah menyembuh. Manifestasi klinis PHN meliputi nyeri yang konstan (nyeri seperti berdenyut, sensasi seperti terbakar), nyeri yang hilang timbul (nyeri seperti tertusuk), dan nyeri yang timbul oleh stimulus termasuk alodinia.Nyeri pada PHN dapat menyebabkan gangguan tidur, depresi, anoreksia, penurunan berat badan, chronic fatigue, dan terkucilnya penderita dari lingkungan sosial, yang akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup penderita. Penderita herpes zoster usia tua memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita PHN, seiring dengan menurunnya sistem imunitas seluler.7,8

Pada penelitian yang berbasis populasi di Italia menyimpulkan bahwa PHN dan herpes zoster merupakan penyakit yang patut diperhitungkan mengingat efek negatif yang ditimbulkan pada kualitas hidup penderita dan dampak dari segi ekonomi.9 Fakta di atas meningkatkan kebutuhan klinisi untuk memahami lebih lanjut mengenai penatalaksanaan PHN.

Penatalaksanaan PHN meliputi pencegahan infeksi inisial dan pengobatan yang agresif pada fase akut infeksi Herpes Zoster.

Seperti pada kasus nyeri kronis lainnya, pendekatan multimodalitas perlu dilakukan pada penderita dengan PHN.2 Pada makalah ini disampaikan penatalaksanaan PHN terkini dengan tujuan menambah wawasan, dan dapat menjadi pertimbangan dalam

(8)

National Symposium Tropical Skin Infection | 80 penanganan PHN, sehingga dapat mengurangi morbiditas penderita.

Definisi Neuralgia pascaherpetik

Neuralgia pascaherpetik merupakan komplikasi neurologis dari herpes zoster berupa nyeri neuropatik dimana nyeri yang timbul merupakan akibat langsung dari keruskan saraf perifer yang terjadi saat serangan herpes zoster. 3 Meskipun beragam definisi yang digunakan oleh klinisi dan peneliti, hasil dari studi terkini mengemukakan bahwa nyeri yang berhubungan dengan herpes zoster terdiri dari 3 fase yaitu fase akut neuralgia herpetik ( nyeri yang menyertai lesi kulit berlangsung sampai 30 hari setelah onset lesi kulit ), fase subakut neuralgia herpetik ( berlangsung 30 – 120 hari ) dan neuralgia pascaherpetik ( nyeri menetap lebih dari 120 hari setelah lesi kulit).2 Definisi PHN yang diterima secara umum yaitu nyeri dermatomal yang signifikan atau sensasi abnormal yang terjadi dalam 120 hari atau lebih dari timbulnya lesi awal herpes zoster dan nyeri secara klinis yang relevan didefinisikan sebagai PHN, yaitu nyeri dengan Visual Analogue Score ≥ 3.10,11

Faktor Predisposisi

Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor predisposisi PHN antara lain usia lanjut, keadaan imunosupresi, gejala prodromal pada infeksi herpes zoster, neuralgia herpetik akut yang berat, derajat keparahan herpes zoster , lokasi lesi herpes zoster, penderita yang tidak mendapat terapi antivirus, status imunokompromais, jenis kelamin wanita. Beberapa faktor seperti , kebiasaan merokok, faktor psikologis, defisiensi micronutrient dalam beberapa penelitian berperan sebagai faktor predisposisi PHN, namun masih dalam metode dan sampel penelitian yang terbatas.12,13,14,

(9)

National Symposium Tropical Skin Infection | 81 Patofisiologi Neuralgia Pascaherpetik

Secara umum, patofisiologi terjadinya PHN merupakan kelanjutan dari proses yang terjadi pada infeksi herpes zoster. Apabila sistem pertahanan seluler berada di bawah level kritis, maka terjadi reaktivasi dari virus variella zoster. Infeksi virus varicella zoster mencangkup lesi pada kulit dan injuri pada saraf. Virus varicella zoster yang bermultiplikasi selanjutnya menyebar secara antidromikal menuju saraf sensoris menyebabkan neuritis, dan virus yang keluar dari ujung saraf sensoris pada kulit menyebabkan lesi kulit berupa vesikel yang berkelompok. Inflamasi pada saraf perifer ini menyebabkan demeilinisasi, degenerasi Wallerian dan fibrosis. Selanjutnya aktivitas yang tidak dapat dihambat dan diamplifikasi pada serat saraf aferen primer ini menimbulkan nyeri pada PHN.1

Terdapat beberapa mekanisme yang berbeda namun bersifat overlapping dalam patogenesis PHN. Kerusakan saraf pada medula spinalis dan ganglion dorsalis hingga saraf perifer merupakan mekanisme penting dalam patogenesis PHN.1

Patofisiologi dari PHN adalah injuri saraf baik mengenai saraf perifer maupun SSP. Kerusakan saraf perifer dan SSP ini menyebabkan perubahan spontan pada saraf dan terjadi penurunan ambang respon nyeri, sehingga terjadi respon nyeri yang disproporsional terhadap stimuli yang secara normal tidak menimbulkan respon nyeri. Pada tingkat seluler, bukti menunjukkan peningkatan proporsi subtipe voltage-gated sodium chanels, gangguan pada potassium voltage-gated dan terjadi upregulasi reseptor yang berhubungan dengan nyeri seperti transient receptor potential vanilloid 1 (TRPVI). Perubahan ini berhubungan dengan nyeri yang timbul secara spontan maupun akibat rangsangan, akibat menurunnya ambang respon nyeri terhadap potensial aksi. Transient receptor potential vanilloid 1

(10)

National Symposium Tropical Skin Infection | 82 (TRPVI) diketahui sebagai calcium channel non selektif dengan permeabilitas yang tinggi terhadap kalsium yang diekskresikan pada ujung terminal serat saraf sensoris yang berdiameter kecil.

Selanjutnya penghambatan terhadap reseptor TRPVI dapat mencegah potensial aksi pada serat saraf perifer yang menimbulkan transmisi nyeri.13

Neuralgia pascaherpetik dapat dibedakan dalam tiga kelompok berdasarkan perbedaan patofisiologi yang mendasarinya, yaitu:

a. Nosiseptor iritabel

b. Deafferentation (kerusakan koneksi serat saraf aferen) dengan alodinia

c. Deafferentation tanpa alodinia

Nosiseptor iritabel pada PHN berhubungan dengan aktivitas serat saraf C, yang timbul sebagai alodinia taktil, mekanis, dan termal yang berat dengan hilangnya sensoris ringan. Nosiseptor serat C secara normal hanya dapat dirangsang oleh stimulus yang berat, namun akibat perubahan seluler yang terjadi pada PHN, nosiseptor serat C akan tersensitasi, menurunnya respon ambang nyeri terhadap potensial aksi, dan peningkatan penyebaran respon nyeri.

Manifestasi klinis yang tampak dari model fatofisiologi ini adalah timbulnya nyeri spontan dan alodinia.16

Model deafferentation berhubungan dengan alodinia dan hilangnya sensoris pada dermatom yang terkena. Deafferentation perifer menyebabkan reorganisasi medula spinalis kornu posterior.

Pada deafferensiasi, serat saraf C sel saraf perifer yang tersensitasi akan berkurang jumlahnya, menyebabkan pertumbuhan baru serat A-ß (serat dengan diameter besar yang berespon terhadap stimulus mekanis seperti sentuhan atau tekanan). Pertumbuhan baru serat A-ß menyebabkan hubungan dengan saluran spinotalamikus pada medula spinalis yang sebelumnya disinapsis oleh serat C untuk

(11)

National Symposium Tropical Skin Infection | 83 mentransmisikan nyeri. Pada proses deafferentation ini terjadi reorganisasi medula spinalis bagian dorsalis akibat degenerasi serat saraf C dan akibat pertumbuhan baru serat saraf A-ß, maka stimulus perifer berupa sentuhan atau tekanan akan tercampur sebagai nyeri yang ditransmisikan melalui saluran spinotalamikus pada medula spinalis, sehingga terjadi alodinia yang dimediasi oleh SSP.

Penderita yang mengalami tipe nyeri deafferentation dengan alodinia sering mengeluhkan hilangnya sensibilitas pada area yang awalnya mengalami nyeri paling hebat. Hilangnya sensibilitas pada penderita terutama terhadap perbedaan suhu namun dapat juga terjadi alodinia mekanis seperti nyeri saat menggosok gigi. 13,16

Terakhir tipe nyeri deafferentation tanpa alodinia diduga disebabkan sensitasi CNS oleh serat dorsalis medula spinalis. Pada tipe nyeri ini tidak terjadi alodinia karena terjadi diskoneksi saraf aferen secara total. Pada pemeriksaan sensibilitas kuantitatif menunjukkan terutama hiperagelsia. 16

Gambar 1. Sensitasi sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat pada PHN (dikutip dari kepustakaan no 11)

(12)

National Symposium Tropical Skin Infection | 84 Diagnosis Neuralgia Pascaherpetik

Definisi PHN yang diterima secara umum yaitu nyeri yang signifikan atau adanya sensasi abnormal yang terjadi dalam 120 hari atau lebih dari timbulnya lesi awal herpes zoster.1,11Dapat sebagai nyeri konstan berupa rasa panas, berdenyut; sebagai nyeri intermiten termasuk rasa tertusuk, seperti tersetrum listrik atau sebagai nyeri yang distimulus yang disebut allodinia (rasa nyeri timbul oleh stimulus yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri, seperti hembusan angin, sentuhan ringan dari pakaian). 9,14 Berdasarkan Visual Analogue Score, intensitas nyeri pada PHN dikategorikan berdasarkan skala numerik dengan nilai 0 hingga 10.

Skala 0 berarti tidak didapatkan nyeri dan skala 10 berarti nyeri yang sangat berat sehingga tidak terbayangkan. Pada penggunaan skala ini, penderita diberikan kesempatan untuk menggambarkan nyeri yang dialaminya sepanjang hari berdasarkan skala nyeri yang disebutkan sebelumnya.2 Dengan skala ini yang relevan didefinisikan sebagai PHN, yaitu nyeri dengan Visual Analogue Score ≥ 3.10,11

Intensitas nyeri yang berhubungan dengan PHN juga dapat dikategorikan berdasarkan skala menggunakan ZBPI (Zoster Brief Pain Inventory). Skala ZBPI disusun berdasarkan BPI (Brief Pain Inventory) untuk mengukur derajat nyeri dengan kategori nyeri yang paling hebat, nyeri yang paling ringan, nyeri rata-rata, nyeri yang dialami saat ini serta pengaruh nyeri pada aktivitas sehari-hari, suasana hati, kemampuan untuk berjalan, bekerja, hubungan sosial penderita, kualitas tidur penderita dan bagaimana penderita menikmati hidupnya. Dengan skala ini PHN didefinisikan nyeri dengan skore ≤ 3 selama 3 bulan atau lebih setelah onset lesi kulit.9

(13)

National Symposium Tropical Skin Infection | 85 Komplikasi

Neuralgia pasca herpetik seperti nyeri kronis lainnya pada akhirnya dapat mengganggu kesehatan dan menurunkan kualitas hidup penderitanya. Pada penderita usia lebih tua yang lebih suseptibel untuk menderita PHN, memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami komplikasi PHN. Efek buruk PHN pada kualitas hidup penderita sebanding dengan yang disebabkan oleh penyakit yang berat, atau kondisi psikologis yang serius. Neuralgia paska herpetik dapat berpengaruh secara signifikan pada banyak aspek kehidupan penderita, dan menyebabkan seperti timbulnya kelemahan, anoreksia, kecemasan, penurunan berat badan, insomnia, depresi, kesulitan berkonsenterasi, dan gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti untuk mandi dan melakukan pekerjaan rumah tangga. 8,13

Penatalaksanaan Neuralgia Pascaherpetik

Penatalaksanaan PHN mencangkup terapi farmakologi yang terdiri dari obat-obat sistemik, obat topikal, selanjutnya intervensi psikologis, dan intervensi bedah. Secara umum protokol yang digunakan pada penatalaksanaan PHN dapat dilihat pada gambar 2.

Penggunaan gabapentin dan lidokain patch 5% merupakan terapi lini pertama pada PHN, sedangkan terapi lini kedua yaitu opioid dengan TCAs (triyclicantidepressant). Kombinasi terapi lini pertama dengan lini kedua dapat digunakan untuk meningkatkan efek analgesik dan mencapai peningkatan kualitas hidup penderita PHN.

Salah satu penelitian RCT menunjukkan kombinasi gabapentin dengan morfin pada pengobatan PHN memberikan efek analgesia yang lebih kuat dengan dosis masing-masing obat yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan kedua agen tersebut secara tunggal. Namun demikian, kombinasi terapi ini dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti kondisi penderita,

(14)

National Symposium Tropical Skin Infection | 86 derajat nyeri, respon terhadap terapi, pilihan penderita dan modalitas terapi yang ada.17,18

Gambar 2. Protokol penatalaksanaan PHN (dikutip dari kepustakaan no 1 ).

Neuralgia Pasca Herpetikum

Terapi farmokologi Terapi intervensi

Nyeri PHN yang refrakter

 Blok epidural/ blok saraf interkostal/ stellate gangglion block

 Lidokain IV/ antagonis

 NMDA

 Capsaicin 0,75%

Terapi konseling psikologis, TENS dan akupuntur

Nyeri PHN yang berat dan refrakter

 Stimulasi medula spinalis

 Injeksi steroid intratekal

 Tindakan bedah neuroablatif Gabapentin +/-

Lidokain 5%

Opioid + TCA

(15)

National Symposium Tropical Skin Infection | 87 Terapi Farmakologi

Terdapat beberapa agen terapi farnakologi yang digunakan dalam pengobatan PHN. Dosis dan efek samping pemberian agen farmakologi dalam pengobatan PHN dapat dilihat pada tabel 1 dan 2.

Terapi farmakologi sistemik

1. Antidepresan trisiklik/ Tricyclic Antidepressant (TCA)

Antidepresan trisiklik sering digunakan secara luas sebagai pengobatan pada beberapa nyeri neuropati, termasuk PHN.

Terdapat beberapa mekanisme kerja dari TCA yaitu dengan menghambat reuptake dari serotonin dan norepinefrin, sebagai blokade jalur natrium sehingga berfungsi sebagai anestesi lokal.

Pada penelitian meta-nalisis yang meneliti penggunaan amitriptilin, nortriptilin dan desipramin, menunjukkan ketiga agen TCA tersebut secara signifikan berfungsi sebagai analgesik dalam pengobatan PHN. Dari penelitian-penelitian tersebut juga menunjukkan amitriptilin memiliki efektivitas yang sama dengan nortriptilin. Umumnya despiramin memiliki efek samping yang lebih ditolerir dibandingkan amitriptilin terutama pada penderita usia tua.2,17 Dalam pengobatan PHN, amitriptilin, nortriptilin atau despiramin diberikan mulai dosis 10-25 mg satu kali perhari, dan dosis dapat ditingkatkan secara perlahan setiap dua hingga empat minggu hingga timbul respon adekuat atau tercapai dosis maksimal 75-150 mg (tabel 2). Kontraindikasi pemberian TCA yaitu pada penderita dengan penyakit jantung, glaukoma, penderita dengan riwayat kejang, dan penggunaan bersama tramadol. Efek samping yang dapat timbul seperti sedasi, kekeringan pada mulut, penurunan daya pengelihatan, peningkatan berat badan, retensi urin, konstipasi dan disfungsi seksual. Pada penderita usia tua, pemberian TCA sebaiknya dimulai dari dosis rendah (10 mg) kemudian ditingkatkan secara perlahan. Disarankan melakukan

(16)

National Symposium Tropical Skin Infection | 88 pemeriksaan elektrokardiografi pada penderita usia lanjut yang akan mendapat pengobatan TCA.2,18

2. Anti epilepsi

Antiepilepsi yang sering digunakan sebagai pengobatan PHN yaitu gabapentin dan pregabalin. Mekanisme kerja gabapentin sebagai analgesik belum diketahui secara pasti, diduga gabapentin bekerja sebagai subunit α2ᵟ-1 yang tergantung pada aliran ion Ca2+ untuk menurunkan influks kalsium, sehingga menghambat pelepasan neurotransmiter seperti glutamat menuju ujung terminal serat aferen primer pada medula spinalis. Beberapa penelitian RCT dan meta-analisis menunjukkan efikasi gabapentin sebagai analgesik pada pengobatan PHN. 18 Suatu tinjauan sistematis merekomendasikan pemberian gabapentin dengan dosis 900 mg/hari, mulai dari dosis 300 mg/hari pada hari pertama, kemudian dosis ditingkatkan 300 mg/hari hingga tercapai dosis 900 mg/hari.

Dosis ditingkatkan hingga 1800 mg/hari dalam waktu 2 minggu (tabel 2). Gabapentin yang diberikan bersama opioid dapat menjadi analgesik yang lebih superior dengan dosis gabapentin yang lebih rendah, dibandingkan hanya dengan pemberian gabapentin.18 Gabapentinoid golongan lebih baru, yaitu pregabalin memiliki efek analgesik dengan mekanisme kerja yang hampir sama dengan gabapentin. Walaupun dosis optimal pregabalin belum dapat ditentukan, penderita dapat merasakan penurunan derajat nyeri pada dosis pertama pregabalin diberikan, dan dosis pregabalin yang fleksibel ataupun menetap tampaknya efektif pada penderita PHN.

Pregabalin diberikan dalam dosis 50 mg tiga kali sehari atau 75 mg dua kali sehari, dosis ditingkatkan hingga 150 mg dua kali sehari dalam waktu satu minggu (tabel 2). Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, gabapentinoid diberikan dalam dosis yang lebih rendah sekitar 50% dari dosis biasanya.33,36 Secara umum pemberian gabapentinoid dapat ditoleransi dengan baik oleh

(17)

National Symposium Tropical Skin Infection | 89 penderita. Efek samping yang paling sering timbul yaitu somnolen, pening, edema perifer, kelelahan, sakit kepala, ataksia dan kekeringan pada mulut. 19

3. Analgesik opioid

Penggunaan opioid dipertimbangkan bila penderita PHN mengalami nyeri derajat menengah hingga berat yang berefek secara signifikan terhadap kualitas hidup penderita, dan pada penderita ini telah mendapat berbagai modalitas terapi, namun belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Penelitian RCT double blind lainnya mendapatkan manfaat morfin yang diberikan dalam dosis 60 mg/ hari secara signifikan mengurangi nyeri, disabilitas, dan alodinia.2

Terapi opioid diawali dengan penggunaan agen yang bersifat short acting oksikodon saja atau dikombinasi dengan nonstreroidal anti-inflamatory drugs (NSAID) dalam dosis yang ekuivalen dengan pemberian morfin sulfat intraoral. Setelah satu hingga dua minggu, dilakukan konversi ke dosis ekuivalen dari opioid yang bersifat long acting seperti controlled-release morphine, controlled-release oksikodon, transdermal fentanil, levorfanol dan metadon hidroklorida seperti tercantum pada tabel 2. Konversi dari regimen yang bersifat short acting menjadi long acting membutuhkan waktu penyesuaian dosis hingga satu minggu.

Efek samping analgesik opioid pada umumnya konstipasi, sedasi, abuse potential, dan mual. Analgesik opiod yang diberikan pada penderita usia lanjut dapat menimbulkan efek samping seperti gangguan mobilitas dan fungsi kognitif.Efek samping penggunaan opioid dalam jangka waktu lama, yaitu adanya gangguan hormonal sehingga menyebabkan disfungsi seksual pada penderita.2

Walaupun opioid bersifat efektif, dibutuhkan monitoring yang intensif dan efek samping penggunaannya, mengarahkan peneliti untuk beralih pada tramadol sebagai opioid lemah pada

(18)

National Symposium Tropical Skin Infection | 90 penatalaksanaan PHN. Tramadol merupakan salah satu agen analgesik opioid yang digunakan dalam pengobatan PHN.

Mekanisme kerja tramadol yaitu sebagai agonis opioid lemah dan menghambat reuptake monoamin (norepinefrin dan serotonin).

Pada penelitian RCT terhadap 127 sampel penderita PHN, menunjukkan penurunan derajat nyeri hingga terjadi perbaikan kualitas hidup pada kelompok penderita yang mendapat terapi tramadol 100-400 mg/hari dengan dosis rata-rata 275 mg, selama 6 minggu. 20. .Efek samping tramadol mencangkup rasa mual, muntah, konstipasi dan rasa pening. Efek samping yang jarang timbul yaitu vertigo, retensi urin, pruritus, somnolen, dan sakit kepala. Kombinasi tramadol dengan agen terapi lainnya yang bersifat menghambat enzim CYP2D6 seperti fluoksetin, paroksetin, venlafaksin, duloksetin, dan TCA dapat meningkatkan konsetrasi tramadol dalam sirkulasi karena penghambatan metabolisme tramadol oleh agen terapi tersebut, sehingga meningkatkan risiko timbulnya efek samping seperti kejang dan sindrom serotonin.21

Terapi sistemik lainnya

Beberapa agen terapi sistemik pernah diberikan pada penderita PHN, namun pemberian agen ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Agen tersebut seperti antagonis N-metil-D-aspartat, vitamin C intravena dan ketamin. Mekanisme kerja N-metil-D- aspartat diperkirakan dengan menghambat interaksi input nosiseptif dengan reseptor NMDA pada bagian dorsal medula spinalis (sensitasi perifer). Agen ini juga mampu menghambat alodinia, nyeri yang peristen akibat resistensi terhadap opioid (sensitasi sentral).2

Pada laporan kasus oleh Chen dkk menunjukkan injeksi vitamin C secara intravena dengan dosis 2,5 gram perhari, setiap dua hari, dan didapatkan hilangnya nyeri setelah seminggu

(19)

National Symposium Tropical Skin Infection | 91 pemberian dan bertahan hingga 3 bulan pengamatan pada penderita PHN yang telah mengalami nyeri selama 8 bulan sebelumnya. Ketamin yang digunakan secara IV atau subkutan sebagai pengobatan PHN dalam beberapa penelitian RCT berefek pada penurunan derajat nyeri pada penderita. Namun efek samping yang timbul seperti kelemahan, pening, perubahan suasana hati, dan lainnya menyebabkan ketamin digunakan secara terbatas. 2,22

Terapi farmakologi topikal

Aplikasi farmakologi topikal pada PHN lebih dipilih karena potensi sebagai analgesik dengan efek samping yang lebih ringan dibandingkan agen farmakologi sistemik. Agen topikal sangat efektif pada penderita PHN dengan alodinia termal atau mekanis.

Agen topikal yang dibahas pada tinjauan pustaka ini yaitu capsaicin, lidocaine patch 5%, NSAID topikal, dan beberapa sediaan lainnya.2 1. Capsaicin (trans-8-metil-N-vanilil-6-nonenamid)

Capsaicin bersifat agonis selektif kuat terhadap reseptor transien yaitu potential vanilloid 1 receptor (TRPV1). Setelah paparan capsaicin reseptor kutaneus menjadi kurang sensitif terhadap berbagai stimulus dan efek capsaicin ini secara garis besar disebut sebagai “desensitasi”. Capsaicin memicu perubahan pada nosiseptor kutaneus yang bersifat reversibel dan fungsi nosiseptor kutaneus ini kembali normal (diditeksi sensasi noxius) dalam beberapa minggu pada orang normal. Efek samping penggunaan capsaicin adalah timbulnya rasa perih atau sensasi terbakar pada area ditempelkannya agen ini. Disarankan menggunakan sarung tangan saat menempelkan agen ini, dan agar menghindari kontak dengan mata dan mukosa. Terdapat 3 sediaan konsentrasi capsaicin yang telah diteliti dan digunakan dalam pengobatan PHN.

(20)

National Symposium Tropical Skin Infection | 92 Penelitian oleh Webster yang meneliti efikasi penggunaan capsaicin 8% selama 60 menit yang ditoleransi dengan baik setelah diberikan pretreatment dengan krim lidokain 2,5% atau prilokain 2,5% selama 60 menit. Capsaicin 8% terbukti efektif baik digunakan sebagai agen tunggal maupun dikombinasi dengan agen farmakologi lainnya.2,23 Pada penelitian double blind oleh Watson menunjukkan efektivitas capsaicin cream 0,075% agen ini sebagai pengobatan PHN, dengan menempelkannya pada area yang sakit tiga hingga lima kali perhari. Beberapa penelitian terdahulu mununjukkan efektivitas capsaicin dengan konsentrasi yang lebih rendah (0,025%) yang mampu mengurangi derajat nyeri hingga 15%, walaupun harus digunakan selama dua minggu atau lebih untuk mendapatkan efektivitas maksimal dari krim ini.2

2. Lidokain tempel 5%

Pada pengobatan PHN, lidokain tempel 5% diaplikasikan pada area yang mengalami nyeri paling hebat atau alodinia, maksimal tiga kali perhari, dengan waktu tempel maksimal selama 12 jam. Pada tahun 2009 dilakukan penelitian RCT oleh Baron dkk, menyimpulkan lidokain tempel 5% memberikan efek analgesik pada penderita PHN, dengan efek samping yang lebih ringan dibandingkan pregabalin.41 Oleh karena efikasi yang telah terbukti dengan efek samping minimal, maka agen ini merupakan salah satu terapi lini pertama pada penatalaksanaan PHN.2

3. Agen topikal lainnya

Aspirin topikal dengan nama kimia triethanolamine salicylate, telah digunakan oleh beberpa peneliti sebagai pengobatan PHN. Dua penelitian RCT menunjukkan penggunaan agen ini pada PHN dengan hasil yang baik, pada 82% dari sampel penelitian, namun hasil ini memiliki level evidence yang lemah (level C). Preparat lain yang digunakan dalam penatalaksanaan PHN yaitu ethyl chloride

(21)

National Symposium Tropical Skin Infection | 93 (Chloroethane), fluori-methane, dan sediaan menthol topikal yang masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.2

Tabel 1. Pilihan Terapi dengan Agen Farmakologi Sistemik (dikutip dari kepustakaan no. 2)

Agen Sistemik Dosis Efek Samping

 Antiepilepsi Gabapentin

Pregabalin

 Antidepresan trisiklik Amitriptilin Nortriptilin Imipramin Despiramin

 Opioid Oksikodon Morfin Metadon Buprenorfin transdermal

Fentanil transdermal Tramadol

100-300 peroral pada malam hari, dosis ditingkatkan 100- 300 mg setiap tiga hari hingga tercapai dosis 300-900 mg tiga kali perhari atau didapatkan respon yang adekuat.

75 mg peroral dua kali sehari, dosis ditingkatkan hingga 150 mg dua kali sehari

10-25 mg secara oral pada malam hari, dosis ditingkatkan 25 mg setiap dua hingga 4 minggu, hingga didapatkan respon yang adekuat atau mencapai dosis maksimal 150 mg perhari.

10-40 mg @ 12 jam dititrasi 5-50 mg @ 12 jam dititrasi 2,5 mg – 10 mg tiga kali/hari 5-20 mcg/jam, dititrasi 25 mcg/jam – 100 mcg/ jam 50 mg/hari, titrasi hingga dosis maksimal 400 mg/hari.

Edema perifer ringan,

gangguan kognitif, somnolen, kelemahan, pening, ataksia

Gangguan tidur, pening

(22)

National Symposium Tropical Skin Infection | 94 Tabel 2. Pilihan Terapi dengan Agen Farmakologi Topikal (dikutip dari kepustakaan no. 2)

Agen Topikal Dosis Efek Samping

 Capsaicin 0,025%

Capsaicin 0,075%

Capsaicin 8%

 Gel lidokain 5%

Lidokain transdermal 5%

EMLA

Ditempelkan pada area yang terasa nyeri 3-5 kali perhari.

Ditempelkan sekali selama 60 menit, setelah pretreatment dengan krim lidokain dan dapat diulang setiap tiga bulan.

Aplikasikan pada area yang terasa nyeri setiap 4 hingga 12 jam (sesuai kebutuhan) Satu hingga tiga sediaan dapat digunakan selama 12 jam

Aplikasikan pada area yang terkena setiap 6- 12 jam, sesuai kebutuhan.

Eritema lokal, dan rasa tidak nyaman.

Iritasi lokal pada kulit.

Terapi intervensi Intervensi psikologis

Neuralgia pascaherpetik dapat menurunkan kualitas hidup penderita dengan mempengaruhi suasana hati, fungsi fisik dan sosial penderita. Strategi dalam menghadapi depresi dan nyeri dapat mempengaruhi derajat nyeri yang dialami oleh penderita.

Penelitian mengenai kognitif dan tingkah laku penderita usia lanjut yang mempengaruhi cara penderita menghadapi nyeri PHN

(23)

National Symposium Tropical Skin Infection | 95 menunjukkan bahwa catastrophizing mempengaruhi derajat nyeri secara independen. 17.

Intervensi Bedah

Tindakan intervensi bedah dapat dilakukan kasus PHN yang refrakter. Tindakan intervensi tersebut meliputi injeksi epidural, blok saraf simpatetik, opioid intratekal, dan radiofrekuensi.2,5 Injeksi epidural dengan anestesi lokal baik secara intermiten atau kontinyu menggunakan kateter bersifat efektif dalam mengurangi nyeri pada PHN atau selama episode herpes zoster. Masih sedikit penelitian yang menunjukkan bahwa injeksi epidural dapat mempengaruhi perjalanan klinis PHN, selain hanya mengurangi nyeri secara sementara.2,5

Blok saraf paravertebra untuk mengurangi nyeri pada PHN yang dilakukan oleh Naja, dengan injeksi secara repetitif campuran anestesi lokal (bupivacaine 0,5% sebanyak 19 ml dan klonidin 150 µg ml) setiap 48 jam selama 3 minggu, menggunakan kateter yang disuntikkan setingkat T2-T3. Pada penatalaksanaan tersebut, penderita tetap bebas dari nyeri selama 8 bulan pengamatan, dan tidak ditemukan efek samping penggunaan metode ini. Namun pembuktian lain yang mendukung penatalaksanaan ini masih perlu dilakukan.2,5

Penggunaan agen intraspinal seperti opioid dan anestesi lokal menunjukkan efektivitasnya terutama dengan penambahan anestesi lokal pada blok segemental. Pada beberapa penelitian awal penatalaksanaan PHN dengan injeksi metilprednisolon intratekal bersifat efektif namun dengan timbulnya efek samping araknoiditis, penggunaan agen ini tidak direkoendasikan oleh FDA.2,5 Pulsed radiofrequency (PRF) bersifat aman, dan nondestruktif, membantu memodulasi nyeri dan dapat digunakan berkali-kali sesuai kebutuhan. Mekanisme kerja modalitas ini belum

(24)

National Symposium Tropical Skin Infection | 96 diketahui secara pasti diduga melalui modulasi proses nyeri pada ganglion dorsalis, bagian dorsal medula spinalis, dan pada tingkat molekuler. Pada penelitian RCT dengan 49 penderita PHN yang mendapatkan pentalaksanaan pulsed radiofrequency pada serat ganglion dorsalis dengan suhu 42˚C selama 120 detik, menunjukkan efektivitas berupa penurunan derajat nyeri secara signifikan pada terapi minggu keempat.2,25.

Stimulator medula spinalis merupakan alat yang terdiri dari komponen penerima yang diimplan di bawah kulit dan elektrode yang diletakkan pada ruang epidural di atas medula spinalis. Stimulasi elektrik pada medula spinalis bagian posterior mengaktivasi penghambatan nyeri supraspinal dan spinal.

Penelitian terhadap efektifitas peggunaan stimulator medula spinalis, mendapatkan hasil yang bervariasi.2

Agen terapi lainnya

Terapi laser dan transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) merupakan agen terapi lain yang digunakan pada penatalaksanaan PHN, namun belum terdapat penelitian RCT yang membandingkan efektifitasnya dibandingkan dengan plasebo.2

Jenis laser yang sering digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yaitu low-level laser therapy (LLLT) seperti Gallium Aluminium Arsenid (GaA1As) yang memancarkan gelombang inframerah (820- 830 nm) dengan daya 60 mW. Penelitian oleh Moore dkk menunjukkan penatalaksanaan PHN dengan laser diode GaA1As (830 nm, 60 mW) diberikan dua kali seminggu selama 4 minggu menunjukkan pengurangan nyeri hingga 74% berdasarkan VAS. 2

Salah satu penelitian mengenai efikasi penggunaan TENS pada PHN menunjukkan 60% penderita melaporkan adanya pengurangan nyeri setelah terapi TENS. Pada penelitian tersebut dilakukan terapi TENS dengan meletakkan elektrode dekat area

(25)

National Symposium Tropical Skin Infection | 97 dimana nyeri dirasakan paling berat, dengan frekwensi 70 Hz dan amplitudo 0,2 kemudian ditingkatkan secara perlahan hingga terjadi parestesia yang masih dapat ditolerir namun tidak menyebabkan kontraksi atau fasikulasi. Terapi ini dilakukan selama 20 menit dalam waktu 10 hari. Penelitian lainnya menunjukkan efikasi pemberian terapi kombinasi farmakologi seperti pemberian pregabalin 300-600 mg/hari dengan TENS selama 4 minggu terapi pada PHN.2

Perkembangan Penatalaksanaan Neuralgia pascaherpetik

Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan efek analgesik dari antidepresan terbaru seperti venlafaksin, bupropion, dan paroksetin. Efektivitas obat-obat golongan baru ini, mungkin lebih rendah dibandingkan antidepresan trisiklik, namun dengan efek samping yang lebih rendah. Agen lain yang sedang diteliti yaitu DM- 1796 merupakan gabapentin dengan extended release dengan dosis satu kali perhari. Agen ini diproduksi dengan tujuan mengurangi frekuensi dosis dan meminimalisir efek samping obat.

Semenjak mendapat persetujuan dari FDA sebagai pengobatan neuralgia paskaherpetik , dilakukan penelitian RCT tentang dosis terapi dan efek samping obat ini pada pada penderita dengan repolarisasi jantung. 25

Pencegahan Neuralgia Pascaherpetik

Sekitar 40% hingga 50% penderita PHN masih mengalami nyeri walaupun telah mendapat berbagai pengobatan. Oleh karena itu usaha pencegahan timbulnya PHN merupakan langkah penting dalam mengurangi morbiditas penderita. Pada pencegahan PHN dilakukan identifikasi kelompok yang berisiko tinggi untuk menderita PHN dan pengobatan efektif pada infeksi herpes zoster.

(26)

National Symposium Tropical Skin Infection | 98 Tindakan pencegahan PHN terutama dengan pemberian vaksin zoster, agen antivirus, dan antidepresan trisiklik/tricyclic antidepressant (TCA).Pemberian vaksin zoster diharapkan dapat meningkatkan sistem imunitas seluler terhadap VZV, sehingga insiden dan derajat nyeri akut pada herpes zoster dan PHN dapat diturunkan. Pada tahun 2011, FDA menyetujui penggunaan vaksin zoster pada individu yang berusia 50 tahun atau lebih. Vaksin zoster disuntikkan 0,65 mililiter secara subkutan. Daya proteksi vaksin ini diperkirakan hingga 5 tahun. Sedangkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2006 merekomendasikan pemberian vaksin VZV pada individu yang berusia lebih dari 60 tahun dan rekomendasi ini masih dipertahankan pada tahun 2014 . Kontraindikasi pemberian vaksin VZV yaitu pada individu dengan keadaan imunodefisiensi yang berat ( kanker hematologi, HIV dengan kadar CD4 ≤ 200 ), pada penderita yang mendapat kemoterapi atau radioterapi akibat penyakit kanker yang dialami, dan penderita yang mendapat terapi imunosupresan.26,27 Pencegahan PHN dengan pemberian antivirus (asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir) dalam waktu tidak lebih dari 72 jam setelah timbulnya lesi herpes zoster, berdasarkan pertimbangan pemberian antivirus ini mengurangi replikasi virus, sehingga mengurangi derajat kerusakan saraf lebih lanjut.

Walaupun risiko PHN pada penderita herpes zoster yang mendapat terapi antiviral menurun secara signifikan, pemberian antiviral tersebut, tidak mencegah timbulnya PHN pada keseluruhan penderita herpes zoster. 26 Tindakan pencegahan PHN lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut yaitu pemberian kortikosteroid, blok saraf paravertebra, blok saraf simpatetik, dan dan pemberian vitamin C dosis tinggi.2

(27)

National Symposium Tropical Skin Infection | 99 DAFTAR PUSTAKA

1. Stephen ES, Michael NM, Kenneth ES. Varicella and Herpes Zoster. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th Ed. New York: McGraw Hill; 2008. p.1885-98.

2. Singh S, Gupta R, Kaur S, Kaur J. Post-herpetic neuralgia: A review of current management strategies. Indian Journal of Pain. 2013; 27 (1): 12-21

3. Johnson RW, Rice ASC. Postherpetic Neuralgia. N Engl J Med.2014;1526-33. Available at:

http://www.nejm.org/Accessed : 2016, September 27th.

4. Nalamachu S.Forster PM. Diagnosing and Managing Postherpetic Neuralgia. Drug Aging. 2012; 29: 863-869.

5. Jeon YH. Herpes zoster and Postherpetic Neuralgia : Practical Consideration for Prevention and treatment. Korean J Pain.

2015; 28(3) : 177-184.

6. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Data Pasien Rawat Jalan Poliklinik RSUP Sanglah Tahun 2014-2015. RSUP Sanglah: 2015.

7. Truini A, Galeotti F. Pathophysiology of pain in post herpetic neuralgia: a clinical and neurophysiological study. Pain. 2008;

140 (3): 405-10.

8. Oster G, Harding G, Dukes E, Edelsberg J ,Cleary PD. Medication use, and health related quality of life in older persons with postherpetic neuralgia: results from a population based survey.

The Journal of Pain. 2005;6:356-363.

9. Dwornkin R, Gnann JW, Oaklander AL, Raja SN, Schmader KE, Whitley RJ. Diagnosis and Assessment of pain associated with herpes zoster and postherpetic neuralgia. The Journal of Pain.

2008; 9 (1): 37-44.

10. Thyregod HG, Rowbotham MC, Peters M, Possehn J, Berro M, Petersen KL. Natural history of pain following herpes zoster.

Pain. 2007; 128(1): 148-56.

11. Gharibo C, Carolyn Kim. Postherpetic Neuralgia : An Overview of the Pathopysiology, Presentation and Management. Pain Medicine News. 2011: 1-7. Available at:

(28)

National Symposium Tropical Skin Infection | 100 http://www.painmedicinenews.com /Accessed : 2016, September 27th

12. Cebula SR, Groninger H. Postherpetic Neuralgia #272. Journal of Palliative Medicine. 2013; 16(9).

13. Gupta R, Smith PF. Post herpetic neuralgia. Continuing Education in Anesthesia, Critical Care&Pain. 2012; 12(4): 181-5.

14. Johnson, R., McEllhaney, J. Postherpetic neuralgia in the elderly. Int J Clin Pract . 2009; 63(9): 1386-91.

15. Chen J, Chang C., Lin Y, Hu M. Nutritional factors in herpes zoster, post herpetic neuralgia, and zoster vaccination. Popul Health Manag. 2012; 15(6): 391-7.

16. Coplan PM, Schmader K., Nikas A, Chan IS, Choo P, Levin M, Et al. Development of a Measure of the Burden of Pain Due to Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia for Prevention Trials:

Adaptation of the Brief Pain Inventory. The Journal of Pain.

2004; 5 (6): 344-56.

17. Wu LC, Raja S. An update on the treatment of Post Herpetic Neuralgia. The Journal of Pain. 2008; 9 (1): 19-30.

18. Rice, A, Maton S. Gabapentin in postherpetic neuralgia: A randomized, double blind, placebo controlled trial. Pain. 2001;

94: 215-24.

19. Frampton J, Foster R. Pregabalin in the treatment of postherpetic neuralgia. Drugs. 2005; 65: 111-8.

20. Panlilio L, Raja S. Current management of postherpetic nuralgia.

Neurlogist. 2002; 8: 339-50.

21. Gilron I., Bailey J, Tu D, Holden R, Weaver D, Houlden, R.

Morphine, gabapentine, or their combination for neuropathic pain. N Engl J Med. 2003; 352: 1324-34.

22. Chen J, Chu S, So, E. Treatment of postherpetic neuralgia with intravenous administration of vitamin C. Anesth Analg. 2006;

103:1616-1617.

23. Baron, R, Mayiral, V, Leijon G, Binder A., Steigerwald,I, Serpell M. Efficacy and safety of 5% lidocaine medicated plaster in comparison with pregabalin in patients with postherpetic neuralgia and diabetic polyneuropathy: Interm analysis from an

(29)

National Symposium Tropical Skin Infection | 101 open label, two-stage adaptive, randomized, controled trial.

Clin Drug Investig. 2009; 29: 231-41.

24. Kim Y. Lee C, Lee S, Huh J, Nahm F, Kim H. Effect of pulsed radiofrequency for postherpetic neuralgia. Acta Anaesthesiol Scand. 2008; 52: 1140-3.

25. Thomas BM, Smith PF. Gabapentin enacarbil extended release for the treatment of postherpetic neuralgia in adults.

Therapeutics and Clinical Risk Management.2013; 9: 469-475.

26. Whitley RJ, Volpi A., McKendrick M, Wijck A, Oaklander A.

Management of herpes zoster and post-herpetic neuralgia now and in the future. Journal of Clinical Virology. 2010; 48: 20-8.

27. Hales CM, Harpaz R, Sanchez IO, Bialek SR. Update on Recommendations for Use of Herpes Zoster Vaccine. Morbidity and Mortality Weekly Report 2014; 63(33):729-731.

Gambar

Gambar 1. Sensitasi sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat pada PHN    (dikutip dari kepustakaan no 11)
Gambar 2. Protokol penatalaksanaan PHN   (dikutip dari kepustakaan no 1 ).
Tabel 1. Pilihan Terapi dengan Agen Farmakologi Sistemik (dikutip  dari kepustakaan no

Referensi

Dokumen terkait

peningkatan produktivitas karet kering lima kali lebih tinggi dengan menggunakan klon - klon unggul dibandingkan bahan tanaman.. semaian terpilih dan mas a

Orientasi politik berkaitan dengan upaya menafsirkan tindakan politik atau peristiwa politik melalui suatu pencarian kebijakan yang tepat dalam mengatasi persoalan politik

Matematika apakah yang membuat Google bisa menghubungkan kita dengan website tertentu?... Matematika apakah yang membuat Google bisa menganjurkan jalan yang harus

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi bagaimana kepatuhan RSU GMIM Bethesda dalam menempatkan tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan di masing-masing

Pada penelitian ini melihat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam penggunaan garam beriodium di tingkat rumah tangga di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat

Hasil evaluasi terhadap narasumber pelatihan menunjukkan bahwa lebih dari separuh peserta menyatakan narasumber pelatihan sangat baik, hal itu menggambarkan bahwa narasumber

Data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada penulis, misalnya lewat komite sekolah, orang tua peserta didik atau dokumen-dokumen

Oleh peraturan pelaksana mengenai konversi, pemohon pendaftaran tanah-tanah adat obyek konversi cukup menunjukan tanda bukti hak, surat keterangan Kepala Desa/Lurah