• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN MIKROBISIDA DALAM MENCEGAH INFEKSI HIV YANG DITRANSMISIKAN MELALUI HUBUNGAN SEKSUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAN MIKROBISIDA DALAM MENCEGAH INFEKSI HIV YANG DITRANSMISIKAN MELALUI HUBUNGAN SEKSUAL"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth:

Dipersentasikan pada Hari/Tanggal : Waktu :

PERAN MIKROBISIDA DALAM MENCEGAH INFEKSI HIV YANG DITRANSMISIKAN MELALUI

HUBUNGAN SEKSUAL

Oleh:

Novi Junita Pembimbing

Dr. dr. AAGP Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD / RS SANGLAH DENPASAR

2015

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Tingginya angka kejadian infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), terutama yang ditransmisikan melalui hubungan seksual saat ini sangat menjadi perhatian.

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) dan United Nation Acquired Immunodeficiency Syndrome (UNAIDS), 34 juta orang yang hidup dengan HIV meninggal pada tahun 2011. Pada tahun yang sama, sejumlah 2,5 juta orang terdeteksi sebagai kasus baru infeksi HIV, termasuk diantaranya adalah 30.000 anak –anak. Lebih dari 95% dari seluruh kasus baru HIV ditemukan di negara berkembang, dimana 87% diantaranya ditransmisikan melalui hubungan seksual (heteroseksual).1

Pencegahan transmisi melalui hubungan seksual telah dilakukan melalui berbagai metode seperti penggunaan kondom, sirkumsisi pada laki -laki dan intervensi perilaku dengan membatasi jumlah pasangan seksual yang telah digalakkan oleh WHO dan UNAIDS, namun sayangnya hal tersebut tidak cukup untuk melindungi wanita dari infeksi HIV.2,3 Wanita dinyatakan berisiko 8 kali lipat lebih tinggi mengalami infeksi HIV dibandingkan laki-laki.4 Penelitian pada wanita yang menetap di Afrika Selatan, didapatkan 40% positif terinfeksi HIV dimana 66%

dilaporkan hanya memiliki satu pasangan seksual seumur hidupnya. Oleh sebab itu, wanita memerlukan pilihan pencegahan lain yang dapat melindunginya dari transmisi HIV melalui hubungan seksual.2

Pilihan terapi infeksi HIV dengan obat highly active anti-retroviral therapy (HAART) telah meluas selama beberapa tahun terakhir. Pasien yang diterapi dengan HAART, gabungan dari tiga golongan obat yaitu dua nucleoside Reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) dan satu protease inhibitor, dapat menurunkan kadar virus dalam darah hingga pada kadar yang tidak terdeteksi (<50 copies RNA virus/mL plasma). Penelitian mengenai pre-exposure prophylaxis (PrEP) sebagai pencegahan infeksi HIV memperlihatkan efektivitas kombinasi obat, emtricitabine dan tenofovir disoproxil fumarate (TDF), yaitu sebesar 44% mencegah infeksi HIV.1,3

(3)

Mengingat belum adanya terapi yang dapat menyembuhkan infeksi HIV hingga saat ini, maka terapi lebih difokuskan pada pencegahan transmisi infeksi HIV. Salah satu metode yang cukup menjanjikan untuk mencegah transmisi melalui hubungan seksual baik hetero- maupun homoseksual adalah mikrobisida yang berperan sebagai salah satu PrEP. Terdapat mikrobisida yang mengandung komponen anti- HIV, dalam bentuk krim, gel atau tablet yang dapat diaplikasikan secara topikal pada mukosa vagina maupun rektal sebelum berhubungan seksual. Wanita yang sulit menyarankan penggunaan kondom pada pasangan seksualnya, dapat menurunkan risiko transmisi HIV melalui hubungan seksual dengan penggunaan mikrobisida. Mikrobisida juga dapat bermanfaat untuk melindungi laki – laki yang berhubungan seksual dengan laki – laki melalui rektal.2,3

Kurang lebih selama 20 tahun terakhir, para peneliti giat mengembangkan serta mengevaluasi formulasi mikrobisida (terutama yang berbasis ARV), yang berpotensi tinggi untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual.4 Berdasarkan data – data diatas, penting bagi kita untuk mengetahui peran mikrobisida dalam pencegahan transmisi HIV melalui hubungan seksual. Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai siklus hidup HIV yang menjadi target mikrobisida, jenis dan mekanisme kerja mikrobisida, serta penelitian – penelitian terbaru dan efikasi penggunaan mikrobisida sebagai terapi pencegahan transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual. Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat menambah wawasan serta mengoptimalkan upaya pencegahan transmisi HIV melalui hubungan seksual dengan penggunaan mikrobisida.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

(4)

2.1 Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) 2.1.1 Definisi Infeksi HIV

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah masuk dan berkembang biaknya HIV ke dalam tubuh host. HIV merupakan retrovirus yang menyerang, merusak atau mengganggu fungsi sistem imunitas tubuh manusia terutama sel T CD4. Seiring dengan berkembangnya penyakit, sistem imunitas akan semakin lemah dan individu tersebut semakin rentan untuk mengalami infeksi lainnya.5

2.1.2 Epidemiologi Infeksi HIV

Penyebaran infeksi HIV semakin meningkat dan menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan sebanyak 36,9 juta orang di dunia terinfeksi virus ini pada tahun 2014 dengan 2 juta infeksi baru setiap tahunnya.6 Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah kumulatif infeksi HIV di Indonesia dari tahun 1987 hingga September 2014 mencapai 150.296 kasus, dengan 22.869 kasus baru pada tahun 2014.7 Bali menempati urutan kelima dengan 9.637 kasus kumulatif, yang sebagian terdata dari Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah sebanyak 2.965 kasus mulai tahun 2004 hingga 2014 dengan 304 kasus baru pada tahun 2014.7,8

2.1.3 Siklus Hidup HIV

Komponen – komponen HIV yang berperan penting dalam siklus hidupnya antara lain: HIV capsid (inti sel HIV yang berbentuk bulat, mengandung RNA HIV), HIV envelope (lapisan atau pembungkus luar HIV), enzim HIV (protein yang bekerja dalam tahap – tahap siklus hidup HIV), glikoprotein HIV (protein yang berada di permukaan HIV envelope) dan RNA HIV yang mengandung materi genetik.9

(5)

Gambar 1. Komponen virus HIV9

Saat ini dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Keduanya merupakan virus yang berbeda namun sama – sama tergolong retrovirus family lentivirus. Struktur genetiknya hampir serupa, dimana HIV-1 memiliki gen vpu namun titak memiliki gen vpx, sedangkan HIV-2 sebaliknya memiliki gen vpx namun tidak memiliki gen vpu. Walaupun hanya terdapat sedikit perbedaan struktur diantara kedua virus ini, tetapi perbedaan ini diduga mempengaruhi perbedaan patogenitas serta perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut. Saat orang menyebut HIV, pada umumnya yang dimaksud adalah HIV-1 karena HIV-2 sangat jarang ditemukan (biasanya di Afrika Barat atau daerah lain yang sangat terbatas). HIV-2 lebih sulit ditularkan dan progresifitasnya lebih lambat dibandingkan HIV-1 sehingga pencegahan mikrobisida ditujukan untuk transmisi HIV-1.10

Human Immunodeficiency Virus dapat masuk melalui jaringan yang rusak maupun lubang kecil pada vagina intak atau jaringan epitel serviks untuk mencapai sel limfosit host yang rentan atau menyerang langsung makrofag, limfosit, sel Langerhans, serta sel dendritik pada lumen vagina maupun serviks. Berbeda dengan makrofag dan limfosit yang akan langsung mengalami infeksi setelah HIV melekat pada membran sel target, HIV akan memanfaatkan sel Langerhans untuk mencerna serta menghantarkan virus ke reservoir sel T di kelenjar limfe regional sehingga mengaktivasi respon imun dan dapat lebih banyak lagi

(6)

menarik sel rentan lainnya ke tempat infeksi.2,11 Secara garis besar terdapat tujuh fase siklus hidup HIV dalam tubuh manusia, yaitu :2,9,11 2.1.3.1 Fase perlekatan

HIV akan berusaha melekat atau berikatan dengan reseptor diatas permukaan sel T CD4. Perlekatan ini melalui glikoprotein HIV (gp 120 atau gp41) yang berada pada HIV envelope dengan koreseptor CCR5 atau CXCR4 pada permukaan sel T CD4.

Interaksi ini akan menginisiasi perbahan konformasi gp41 dan gp120 sehingga akan mempermudah terjadinya fusi HIV dengan sel limfosit.

2.1.3.2 Fase penyatuan atau fusi

Virus menyatu dengan membran sel host dan mengeluarkan materi genetiknya (RNA HIV). Proses ini akan memicu fase transkripsi balik.

2.1.3.3 Fase transkripsi balik

Fase ini merupakan karakteristik unik dari siklus hidup retrovirus, dimana dengan bantuan enzim reverse transcriptase, RNA HIV akan diubah menjadi DNA HIV untuk menggantikan DNA sel host.

2.1.3.4 Fase integrasi

Setelah DNA HIV berhasil masuk ke dalam nukleus, enzim integrase akan memotong sebagian sel DNA host dan menggantikannya dengan DNA HIV.

2.1.3.5 Fase transkripsi dan translasi (replikasi)

Setelah DNA HIV bersatu dengan sel DNA CD4, HIV mulai bereplikasi membentuk rantai yang lebih panjang. Enzim RNA polymerase akan bertugas membuat salinan RNA HIV dari DNA HIV. RNA HIV akan menyatu dengan partikel virus baru atau translasi menjadi protein HIV.

2.1.3.6 Fase penyusunan

(7)

Protein HIV yang baru, RNA virus HIV akan berkembang menjadi bakal virus inaktif yang keluar dari sel host.

2.1.3.7 Fase pengeluaran dan maturasi

Virus inaktif akan dikeluarkan dari sel host dan menjadi matur sehingga mampu menginfeksi sel lainnya.

Gambar 2. Tujuh fase siklus hidup HIV 10

Menurut Haase (2011), infeksi HIV dapat terjadi akibat ketidakseimbangan lingkungan mukosa, antara lain flora normal yang terganggu oleh infeksi, faktor imunitas alamiah yang berkurang serta epitel yang bersifat protektif mengalami kerusakan atau peradangan.10

2.1.4 Cara Transmisi HIV

Beberapa cara transmisi HIV antara lain melalui hubungan seksual tanpa pengaman baik melalui vagina maupun rektal, transfusi darah yang terkontaminasi, penggunaan bersama jarum yang terkontaminasi dan

(8)

penularan dari ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan serta menyusui. Berdasarkan penelitian Salazar-Gonzalez et al. (2009) dan Keele (2010), infeksi HIV paling tinggi ditransmisikan melalui hubungan seksual, yaitu 87%.12

2.1.5 Gejala dan Stadium Klinis Infeksi HIV

Gejala dan stadium klinis infeksi HIV, antara lain :12,13 2.1.5.1 Infeksi primer HIV

a. asimptomatis

b. sindrom retrovirus akut 2.1.5.2 Infeksi HIV stadium I

a. asimptomatis

b. limfadenopati generalisata persisten 2.1.5.3 Infeksi stadium II

a. penurunan berat – badan sedang yang tidak diketahui sebabnya (<10% dari berat badan yang terukur)

b. infeksi traktus respiratorius rekuren (sinusitis, bronkitis, otitis media, faringitis)

c. herpes zoster d. cheilitis angular e. ulserasi oral rekuren f. erupsi pruritik papular g. dermatitis seboroik

h. infeksi jamur pada kuku jari ektremitas 2.1.5.4 Infeksi stadium III

Kondisi dimana dugaan diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis atau dengan investigasi sederhana

a. penurunan berat badan yang berat (>10% berat badan yang terukur)

b. diare kronis tanpa diketahui penyebabnya selama >1bulan c. demam persisten yang tidak diketahui penyebabnya

(9)

(intermiten atau konstan selama >1bulan) d. kandidiasis oral

e. oral hairy leukoplakia

f. tuberkulosis paru, didiagnosis selama 2 tahun terakhir g. infeksi bakteri berat (pneumonia, empiema, piomiositis,

infeksi tulang atau sendi, meningitis, bakteremia)

h. stomatitis, gingivitis / periodontitis ulseratif nekrosis akut Kondisi yang dikonfirmasi melalui uji diagnostik jika perlu adalah anemia yang tidak diketahui penyebabnya (<8g/dl) dengan atau neutropenia (500/mm3) atau trombositopeni

(<50.000/mm3) selama >1 bulan 2.1.5.5 Infeksi stadium IV

Kondisi dimana dugaan diagnosis dibuat berdasarkan tanda klinis atau pemeriksaan sederhana a. HIV wasting syndrome b. Pneumonia pneumocystis

c. Pneumonia bakteri berat atau secara radiologi dan rekuren d. Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau

anorektal dalam durasi >1 bulan) e. Kandidiasis esofageal

f. Tuberkulosis ekstraparu g. Sarkoma Kaposi

h. Toksoplasmosis pada sistem saraf pusat i. Ensefalopati HIV

Kondisi dimana dibutuhkan konfirmasi pemeriksaan diagnosis a. Kriptokokosis ekstrapulmoner, termasuk meningitis

b. Infeksi mycobacteria non-tuberculous progresif c. Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML) d. Kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru

e. Kriptosporidiosis f. Isosporiasis

g. Infeksi herpes simpleks viseral

(10)

h. Infeksi cytomegalovirus (rinitis atau organ lain selain hati, limpa dan kelenjar limfe)

i. Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis, penicillosis)

j. Recurrents non typhoidal salmonella septicaemia k. Limfoma (serebri atau non-Hodgkin sel B)

l. Karsinoma serviks invasif m. Leishmaniasis viseral.

2.1.6 Penegakan Diagnosis Infeksi HIV

Diagnosis HIV ditegakkan berdasarkan gejala – gejala klinis yang muncul dalam 1 bulan terakhir serta riwayat perilaku berisiko tinggi terinfeksi HIV seperti multisexual partner, homoseksual, menggunakan jarum yang tidak steril dan berganti – gantian dengan orang lain, dll. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan antibodi HIV (ELISA), deteksi virologi HIV (DNA, RNA atau antigen p24), perhitungan viral load HIV, nilai CD4 dan limfosit.13,15

2.1.7 Terapi Infeksi HIV

Terapi infeksi HIV secara garis besar dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:16

Tabel 1. Terapi infeksi HIV16

Pencegahan paparan HIV Pencegahan transmisi HIV Terapi HIV

Perubahan perilaku Barier serviks Terapi ARV

Vaksin Kondom perempuan & laki – laki Terapi infeksi oportunistik PREP (pre-exposure prophylaxis) Mikrobisida Nutrisi Penggunaan jarum steril

Terapi infeksi menular seksual

Terapi antiretrovirus transmisi ibu ke anak HIV

PEP (post-exposure prophylaxis)

Terapi HIV lebih dipusatkan pada pencegahan baik sebelum terpapar maupun transmisinya. Metode pencegahan yang telah banyak dilakukan antara lain intervensi perilaku, pemeriksaan serta konseling HIV, penggunaan kondom perempuan dan laki – laki, sirkumsisi pada laki – laki, terapi infeksi menular seksual (IMS) serta PrEP oral. Mikrobisida

(11)

sebagai terapi topikal PrEP dan pencegahan transmisi mulai berkembang saat ini. Mikrobisida dipercaya efektif menurunkan angka penularan infeksi HIV melalui hubungan seksual.18

2.2 Peran Mikrobisida dalam Mencegah Infeksi HIV yang Ditransmisikan Melalui Hubungan Seksual

2.2.1 Definisi Mikrobisida

Mikrobisida merupakan produk kimiawi yang diaplikasikan secara vagina maupun rektal ntuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual.

Mikrobisida diformulasikan dalam bentuk gel, krim, supositoria, film, tablet, barier fisik dan vaginal ring. Variasi sediaan mikrobisida ini mengijinkan laki – laki dan wanita untuk memilih produk yang paling sesuai berdasarkan waktu terbaik saat berhubungan seksual serta kesehatan reproduktifnya.11,18

2.2.2 Sejarah Perkembangan Mikrobisida

Kurang dari 2 tahun setelah pelaporan kasus pertama yang dikenal sebagai AIDS, sebuah serial kasus dipublikasikan pada tahun 1983 yang mengindikasikan bahwa sindrom ini telah mulai ditemukan di kalangan wanita. Faktor risiko yang dapat diidentifikasi dari mereka adalah pasangan seksual laki – laki yang terinfeksi AIDS. Kurang dari satu dekade berikutnya, insiden infeksi HIV lebih banyak pada kalangan wanita dibandingkan laki – laki di seluruh dunia, dimana sebagian besar sumber penularan infeksi berasal dari pasangan laki-laki tunggal seumur hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan wanita dalam melindungi diri terhadap infeksi HIV, penelitan mengenai “germisida serta mikrobisida lainnya untuk HIV” meluas menjadi prioritas utama dalam agenda pencegahan HIV.2

Pada musim panas tahun 1992, muncul hasil dari uji coba klinik pertama mengenai commercial spermicide-impregnated sponge sebagai upaya pencegahan infeksi HIV melalui transmisi vagina. Meskipun bahan

(12)

aktifnya, nonoxynol-9 (N-9) efektif menghancurkan HIV secara in vitro, namun pada uji coba ini N-9 tidak berhubungan signifikan dengan peningkatan risiko penularan HIV dibandingkan dengan bahan non-N-9.

Produk N-9 ditemukan memicu angka kejadian vulvitis serta ulkus genital. 2,19

Pada dekade berikutnya, penyebaran HIV selanjutnya tidak berhenti secara global, dengan peningkatan dampak yang tidak proporsional pada wanita, terutama wanita muda dan gadis remaja.

Diantara wanita yang menetap di Afrika Selatan, 40%-nya positif terinfeksi HIV bahkan 66% dilaporkan hanya memiliki satu pasangan seksual seumur hidupnya dan 79% melakukan hubungan seksual minimal setelah berusia 17 tahun. Pada sebagian besar wanita di berbagai negara berkembang, sumber penularan risiko tertinggi adalah suaminya.

Meskipun akses memperoleh kondom wanita mudah, namun kurang dari 5% wanita menikah yang menggunakan kondom secara teratur di seluruh dunia. Tingginya penolakan laki – laki untuk menggunakan kondom, keengganan wanita menyarankan penggunaan kondom kepada laki- laki, norma budaya dan keluarga yang membuat melahirkan merupakan faktor penting dari status wanita, menyebabkan tidak efektifnya penggunaan kondom dalam melawan risiko paparan HIV oleh suami yang tidak monogami.2

Pada dekade yang sama tersebut, rangkaian komersial lain yang mengandung formula N-9 masuk uji klinik untuk efikasi melawan HIV dan IMS. Fakta telah disetujuinya produk ini oleh otoritas regulasi Amerika sebagai kontrasepsi menunjukkan bentuk alternatif dari produk N-9 dapat dievaluasi cepat dalam uji coba. Uji coba lain juga didukung oleh harapan mengenai penurunan dosis N-9 serta pemberian dengan formulasi yang berbeda seperti dalam bentuk film atau gel mampu mempertahankan potensi mikrobisida serta mencegah toksisitas terhadap jaringan sehat. Pada uji coba fase I dan II formulasi N-9 memberikan bukti yang memperkuat keamanan penggunaannya, namun fase III menyatakan

(13)

produk ini tidak terbukti bersifat proteksi dalam pencegahan HIV. Bukti lain mengenai toksisitas terhadap epitel vagina ditemukan diantara pengguna dengan frekuensi tinggi, bahkan dengan dosis rendah dan dengan cara penggunaan yang berbeda – beda. Penemuan ini memicu larangan N-9 sebagai mikrobisida potensial untuk mencegah HIV serta peringatan keras terhadap efek toksik dari kandidat surfaktan lainnya.2,19

Ketika uji coba N-9 dilakukan, golongan mikrobisida baru lainnya, polyanions, sedang dibuat. Produk – produk ini masuk ke uji efikasi pada tahun 2004-2005 diantara wanita yang tinggal di Afrika subSahara.

Golongan produk terbaru berdasarkan terapi retrovirus HIV telah dibuat dan dievaluasi pada uji keamanan preklinik dan klinik. Pentingnya fokus pada mekanisme multipel sebagai dasar terapi antiretrovirus HIV yang dapat meningkatkan efikasi serta memperlambat onset resistensi telah mulai mempengaruhi konsep produk mikrobisida. Bagaimanapun juga, semua produk mikrobisida dievaluasi efikasinya pada uji coba gelombang pertama dan mayoritas produk mewakili satu agen dalam uji coba preklinik, beberapa diantaranya memiliki peran ganda dari aktivitas anti- HIV.2,20

Selain penggunaan mikrobisida vagina, peningkatan perhatian diarahkan pada keamanan penggunaan produk melalui rektal. Penerimaan produk pengganti mikrobisida rektal sedang diinvestigasi. Selain metode tambahan untuk kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam menurunkan risiko hubungan seksual tanpa perlindungan antara laki – laki dengan laki-laki, hasil penting didapatkan dari berbagai penelitian yang menunjukkan hubungan seksual melalui anus merupakan hubungan seksual berulang yang dilakukan diantara sebagian besar heteroseksual yang berhubungan seksual aktif di seluruh dunia. Lebih dari itu, paparan terhadap rektal menunjukkan transmisi virus HIV lebih efisien dibandingkan hubungan seksual melalui vagina.2,21

Banyak penelitian mikrobisida yang telah dilakukan namun beberapa diantaranya menunjukkan tidak efektif mencegah transmisi

(14)

infeksi HIV dan gagal pada uji coba fase III. Hasil yang mengecewakan tersebut membawa babak baru dalam penelitian pembuatan mikrobisida yang fokus pada obat ARV yang spesifik poten terhadap HIV.

Mikrobisida berbasis ARV ini, kemudian dikembangkan dengan mekanisme kerja utama yaitu mencegah replikasi DNA HIV.11,22

2.2.3 Karakteristik dan Konsep Mikrobisida

Mikrobisida topikal dibuat untuk membunuh atau menonaktifkan HIV dengan menghalangi transmisinya pada area paparan dan sekitarnya yaitu, pada mukosa vagina maupun rektal. Kriteria yang bervariasi

menggambarkan keberhasilan suatu mikrobisida antara lain: 22,23 a. Aman

Mikrobisida yang aman berarti tidak menunjukkan adanya toksisitas lokal, tidak berpotensi mengganggu permukaan epitel mukosa serta barrier imunitas alamiah, tidak berdampak pada fertilitas dan tidak menyebabkan abnormalitas pada fetus. Berhubungan dengan frekuensi serta durasi penggunaan mikrobisida dalam jangka waktu panjang, diharapkan tidak menimbulkan toksisitas sistemik.

b. Efikasi

Mikrobisida perlu memiliki beberapa derajat efikasi serta tidak mudah terjadi resistensi. Efikasi mikrobisida diharapkan berlaku dalam waktu yang panjang.

c. Biaya

Biaya mikrobisida harus murah atau mampu dibeli saat didistribusikan secara masal pada populasi terutama pada populasi risiko tinggi.

d. Kemampuan menerima

Mikrobisida mampu diterima sebagai salah satu alat tambahan saat berhubungan seksual. Tingkat penerimaan yang tinggi diharapkan

(15)

berlaku di seluruh dunia dan secara umum mampu diadaptasi oleh populasi risiko tinggi.

e. Hantaran obat

Kadar obat tertentu harus dapat dipertahankan di traktus genitalis atau rektal selama terpapar virus serta tepat mencapai area target.

f. Dampak terapi

Mampu menunjukkan dampak signifikan dari pencegahan serta terapi infeksi dan tidak menginduksi resistensi obat.

g. Prioritas

Hal – hal yang menjadi prioritas meliputi aktivitas in vitro (luas potensi), tahap pembentukan produk (termasuk proses produksi) serta stabilitasnya pada kondisi lingkungan yang berbeda – beda.

Prioritas perlu dilakukan untuk memaksimalkan perkembangan dan mencegah duplikasi.

Kriteria - kriteria diatas penting dimiliki oleh suatu mikrobisida karena mampu efikasi suatu produk. Peningkatan kepatuhan individu terhadap penggunaan mikrobisida akan diiring dengan peningkatan efikasi suatu produk.10

2.2.4 Jenis-Jenis dan Mekanisme Kerja Mikrobisida 1,11 2.2.4.1 Inaktivasi virus di dalam vagina

Generasi pertama mikrobisida seperti nonoxynol-9, savvy dan sodium lauryl sulphate menginaktivasi virus di dalam vagina dengan mengganggu membran sel virus atau mengubah struktur membran sel sehingga lebih mudah untuk dirusak. a.

Nonoxynol-9

Merupakan agen spermisida pertama yang dievaluasi efektivitasnya dalam mencegah transmisi HIV. Produk ini tersedia di pasaran dengan formulasi yang berbeda – beda seperti gel, suppositori dan film. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) serta World Health Organization

(16)

(WHO) menyatakan produk ini aman serta efektif sebagai kontraseptif bagi wanita dengan risiko rendah mengalami HIV maupun infeksi menular seksual (IMS), namun FDA baru – baru ni mengemukakan bahwa N-9 tidak memberikan proteksi terhadap HIV atau PMS.

b. Savvy (C31G/ cetyl betaine dan myristamine oxide)

Savvy merupakan agen spermisida yang bersifat antimikroba. Mekanisme utamanya adalah berperan sebagai surfaktan, yang lebih cepat menyebar melalui cairan serviks dibandingkan N-9. Pada konsentrasi yang rendah, tidak bersifat toksik pada epitel vagina. C31G mampu membunuh sel sperma serta berbagai patogen IMS, termasuk HIV.

Setelah dilakukan beberapa penelitian, savvy dinyatakan tidak memiliki efek proteksiterhadap infeksi HIV pada uji coba fase III dan di salah satu penelitian dinyatakan dapat meningkatkan IMS sehingga produksi savvy dihentikan sejak 5-6 tahun yang lalu.

c. Sodium lauryl sulphate

Komponen surfaktan ini dapat merusak virus dengan atau tanpa selaput pembungkus luar (envelope). Agen ini diformulasikan bekerja sebagai kondom yang tidak terlihat.

Produk ini dapat melindungi dinding vagina dengan berubah menjadi cairan pada suhu ruangan dan berubah menjadi gel dalam suhu tubuh serta menghalang transmisi HIV-1 dan IMS. Keamanan dari produk ini telah ditunjukkan setidaknya melalui dua fase uji coba klinis.

2.2.4.2 Mencegah perlekatan serta penyatuan virus di dalam traktus genitalis

Mikrobisida generasi kedua bekerja mencegah perlekatan serta penyatuan virus dengan trakturs genitalis dengan menghambat masuknya virus ke dalam sel yang rentan melalui hambatan

(17)

perlekatan virus pada CD4 atau mengganggu perlekatannya pada sel host.

a. Polynaphtalene sulphonate (PRO2000)

PRO2000 mengikat HIV dan patogen IMS lainnya untuk memberikan perlindungan terhadap infeksi untuk sel manusia. Uji coba klinis fase pertama menunjukkan penggunaan PRO2000 dosis rendah yang aman dan mudah diterima, meskipun se-per-tiga hingga dua-per-tiga wanita mengalami iritasi vulva ringan atau kebocoran mikrobisida dalam vagina. Sama seperti savvy, produk ini gagal memperlihatkan efikasinya pada uji coba fase III sehingga dihentikan penggunaannya.

b. Carraguard (PC-515)

Carraguard mengandung carrageenan, yang berhasil mengikat virus (baik HIV, HPV, maupun virus herpes simpleks) dan menghambat jalur dari tempat perlekatannya hingga ke sel yang sehat. Carrageenan pada umumnya ditemukan di kosmetik, pasta gigi, dan makanan karena aman dan nontoksik. Carraguard juga gagal membuktikan efikasinya pada uji coba fase III sehingga dihentikan produksinya.

c. Cellulose suphate

Polyanion cellulose sulphate merupakan polisakarida rantai panjang yang dibuat sebagai kontraseptif san agen mikrobisida. Secara in vitro, produk ini memiliki aktivitas spectrum luas melawan pathogen IMS dan sebagai inhibitor timbulnya reaksi setelah 8 jam terpapar infeksi. Produk ini aman dan mudah diadaptasi, namun pada uji coba fase III gagal menunjukkan proteksi melawan infeksi HIV.

(18)

2.2.4.3 Inaktivasi virus dengan pertahanan alamiah vagina Kandidat mikroba diharapkan dapat membantu atau memperluas pertahanan imunitas alamiah vagina. pada normalnya, vagina terlalu asam untuk sperma bertahan, membuat lingkungan yang mengahncurkan pathogen termasuk HIV. Gambaran penting dari lingkungan tersebut adalah kemampuan flora normal lactobacilli (secara alami berada di vagina) mempertahankan pH asam.

Lactobacilli mengeluarkan berbagai komponen antimikroba seperti asam laktat, hidrogen peroksida, bakteriosin serta biosurfaktan. Semen, memiliki pH basa, menetralisasi keasaman vagina, mempermudah sperma bertahan, HIV serta patogen lainnya. Vaginosis bakterialis merupakan kondisi yang dapat meningkatkan risiko infeksi HIV dengan berkurangnya lactobacilli, sehingga pH vagina meningkat, dan perubahan ini akan terlihat dalam peningkatan kerentanan transmisi HIV.

Semen yang bersifat alkali dibuat menjadi asam oleh mikrobisida acid buffering, sehingga mmpertahankan keasaman vagina dan menginaktivasi sperma serta beberapa organisme IMS termasuk HIV. Mikrobisida dibuat untuk mempertahankan keasaman pH (buffer gel, acid form) atau menggantikan ketidakhadiran lactobacilli (lactobacillus crispatus). a. acid forms

Produk ini merupakan acidic buffering gel yang disetujui sebagai lubrikan dalam hubungan seksual atau sebagai mikrobisida spermisida. Sistem hantaran baru dirancang untuk mempertahankan lingkungan asam vagina, membentuk lapisan proteksi sepanjang epitel vagina dan serviks (meminimalisir kontak denga organisme patogen) serta memberikan hambatan dalam vagina jangka panjang.

Produk ini juga dilaporkan efektif melawan virus herpes simpleks, chlamydia, gonorrhea, papillomavirus dan

(19)

leukosit yang terinfeksi HIV serta memberikan proteksi ganda terhadap kehamilan serta IMS.

b. Buffer gel

Buffer gel memiliki aktivitas spermisida serta mempertahankan keasaman vagina meskipun dengan kehadiran semen dan menciptakan barrier fisik yang menghentikan atau memperlambat jalan masuk patogen ke dalam dindin vagina/serviks. Uji preklinik menunjukkan buffer gel mampu mencegah kehamilan, transmisi HIV, HPV, HSV dan infeksi chlamydia tanpa merusak epitel atau mikroflora. Pembentukan buffer gel dihentikan setelah uji coba fase III karena tidak efektif.

2.2.4.4 Mencegah replikasi virus

Kandidat mikrobisida generasi III yang bertujuan untuk mencegah replikasi virus dbuat berbasis antiretrovirus (ARV).

Mikrobisida berbasis ARV ini bekerja lokal dalam mukosa traktus reproduktif dengan langkah yang spesifik dalam siklus replikasi HIV. Reverse transcriptase inhibitors berperan menghambat HIV-1 reverse transcriptase, suatu enzim penting yang dibutuhkan virus dalam mengkonversi RNA menjadi DNA sebelum integrasinya dengan genom host. Dengan adanya Reverse transcriptase inhibitors, proses ini ditekan sehingga mereduksi replikasi virus secara kuantitatif. Berbagai keuntungan mikrobisida kelas Reverse transcriptase inhibitors antara lain beberapa jumlah produk pasaran dan biaya produksi efektif tanpa kegawatan resistensi antiretrovirus yang dihubungkan dengan penggunaan Reverse

transcriptase inhibitor.

(20)

Gambar 3. Mekanisme kerja mikrobisida berbasis ARV dengan target siklus hidup HIV 10

a. Nucleoside Reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) Tenofovir (9-[(R)-2-(phosphomethoxy)propyl] adenine monohydrate, atau PMPA) merupakan salah satu NRTIs yang menghambat enzim Reverse transcriptase dengan berperan sebagai kompetitor nukleosida yang dibutuhkan dalam pembentukan DNA HIV yang baru. Bentuknya yang menyerupai nukleosida membuatnya mudah bergabung dengan rantai DNA HIV yang sedang dibuat dan sintesis DNA akan segera terhenti.

Tenofovir hanya memerlukan dua fosforilasi, dimana NRTIs lainnya (seperti zidovudin) memerlukan tiga fosforilasi. Tenofovir memiliki waktu paruh yang panjang, sehingga setelah diaplikaskan obat ini akan aktif dalam jangka waktu yang lama. Dobar, dkk, 2010 menyatakan proteksi dari tenofovir dapat bertahan hingga 3 hari setelah diaplikasikan.

(21)

Gambar 4. Mekanisme kerja tenofovir dalam menghambat enzim Reverse transcriptase sehingga mengganggu replikasi HIV10

b. Non-nucleoside Reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs) Golongan mikrobisida ini tidak bertindak sebagai kompetitor dari enzim reverse transcriptase. Dapivirine merupakan prioritas dari golongan ini. Mekanisme kerja dari dapivirine yaitu dengan mengikat enzim Reverse transcriptase secara ireversibel sehingga menghambat kerja dari enzim tersebut dan sintesis DNA HIV tidak terjadi.

Bioavalabilitas oral dapivirine buruk namun secara topikal menunjukkan konsentrasi yang tinggi secara lokal sehingga sangat berguna sebagai mikrobisida dengan paparan sistemik yang minimal. Pada uji preklinik pada hewan coba, dapivirine berpotensi aktif mencegah transmisi HIV saat digunakan sebagai mikrobisida.

(22)

Gambar 5. Mekanisme kerja dapivirine yang mengikat enzim Reverse transcriptase dan menghambat pembentukan DNA HIV10

Selain golongan NRTIs dan NNRTIs, mikrobisida generasi III lainnya yang berbasis ARV juga dapat dimanfaatkan untuk mencegah transmisi HIV melalui hubungan seksusal dengan mekanisme kerja yang berbeda – beda. a. Inhibitor gp120 dan gp41

Glikoprotein120 dan glikoprotein41 dimanfaatkan oleh virus HIV untuk masuk dan menyatu dengan sel rentan CD4 pada host. Inhibitor gp120 (BMS-06, DS003) akan mengikat gp120 sehingga mencegah konformasi perubahan gp120 yang memicu penyatuan protein gp41 dan membentuk six helix bundles yang berakhir pada penyatuan virus dengan membran seluler.

Dua peptida inhibitor gp41 (C52L dan T1249) menunjukkan proteksi terhadap transmisi HIV pada hewan coba tikus.

Mekanismenya adalah menghalangi pembentukan six helix bundles yang dibutuhkan untuk posisi virus menyatu dengan membran sel. Pendekatan biologi ini memiliki kekurangan yaitu biaya produksi peptida yang mahal serta tantangan dalam membuat formulasi yang stabil di dalam lingkungan mukosa.

(23)

b. Antagonis CCR5

Koreseptor utama yang berperan dalam penyatuan HIV dengan membran sel adalah koreseptor CCR5 (>90%) dan CXCR4 sehingga menargetkan hambatan CCR5 dipercaya dapat menghalangi transmisi infeksi HIV. Terdapat beberapa antagonis CCR5 yaitu analog protein RANTES, CMPD167 serta maraviroc, namun yang paling aman sebagai obat terapeutik bagi manusia adalah maraviroc.

Secara normal, gp120 akan berikatan denga koreseptor CD4 (CCR5) sehingga akan memicu perubahan konformasi gp120. Proses ini akan memfasilitasi ikatan gp120 dengan koreseptor CCR5 sehingga terjadi penyatuan virus dengan sel. Maraviroc bekerja sebagai anatagonis CCR5, yang mengubah bentuk CCR5 sehingga tidak dapat berikatan dengan gp120 dan menghalangi perlekatan HIV.

Gambar 6. Mekanisme kerja maraviroc dalam menghambat penyatuan virus dengan sel host.10

(24)

c. Integrase inhibitor

Raltegravir merupakan satu – satunya integrase inhibitor yang dimanfaatkan sebagai terapi. Raltegravir mencegah insersi DNA HIV ke dalam DNA sel host sehingga mencegah proses penyebaran virus. Penelitian mikrobisida ini masih dalam tahap uji preklinik.

d. Protease inhibitor

Darunavir merupakan Protease inhibitor yang saat ini diteliti. Golongan ini merupakan barrier terbaik terhadap resistensi sehingga menjadi focus yang menarik sebagai mikrobisida yang potensial. Meskipun obat ini dapat menghalangi proses postintegrasi namun kemampuan untuk pencegahan transmisi HIV belum diketahui jelas. Infeksi pada jaringan mukosa merupakan inisiasi dari focus kecil dari sel yang terinfeksi dan memgembangkan infeksi lanjut dengan penyebaran sel yang telah terinfeksi virus ke sel rentan lainnya. Protease inhibitor dipercaya mampu menghalangi proses penyebaran tersebut. Beberapa penelitian secara in vitro mengemukakan potensi darunavir sebagai mikrobisida yang dikombinasikan dengan obat lain.

2.2.5 Intervensi Mikrobisida Berbasis ARV Berdasarkan Time Line Infeksi HIV 11

Intervensi aplikasi mikrobisida berbasis ARV sebaiknya diberikan berdasarkan time line infeksi HIV untuk mendapatkan hasil terapi yang maksimal. Masuknya virus kedalam sel target merupakan point pertama tempat mikrobisida bekerja sehingga mengganggu transmisi HIV.

Penelitian pada hewan coba, didapatkan bahwa infeksi pada mukosa terjadi sangat cepat, sesaat setelah terpapar HIV. Menurut Shattock dan Moore (2003) lamanya paparan HIV selama ± 30-60 menit pada inokulum mukosa cukup menyebabkan terjadinya infeksi HIV.

(25)

Waktu ini merupakan batasan waktu yang dibutuhkan virus melakukan perlekatan pada sel target dan merupakan waktu yang optimal untuk melakukan prevensi infeksi awal dengan menggunakan entry inhibitors.

Virus akan mudah ditemukan pada sel target primer, sel T CD4 sentral maupun populasi sel memori efektor yang berada di jaringan mukosa, yang memiliki ekspresi tinggi koreseptor CCR5. Virus yang diapoptosis oleh makrofag atau antigen presenting cells lainnya tidak menjadi target utama hambatan infeksi awal. Infeksi akan berkembang cepat, dalam waktu 16-72 jam, pada jaringan mukosa membentuk fokus awal infeksi.

Reverse transcriptase serta integrase inhibitor yang menargetkan fase preintegrasi dari siklus hidup virus bersiap untuk mencegah pembentukan fokus lainnya. Dengan kata lain, penggunaan NRTIs, NNRTIs dan integrase inhibitor paling potensial diberikan maksimal 72 jam setelah paparan HIV.

Infeksi yang tidak terkontrol, mampu mempropagandakan virus dengan adanya peningkatan sel CD4 yang teraktivasi. Ekspansi lokal dari sel yang terinfeksi ini diperkirakan terjadi setelah 24-72 jam dan memproduksi virus baru untuk kemudian menyebar ke kelenjar limfe. Protease inhibitor dapat dimanfaatkan untuk menghambat ekspansi lokal tersebut.

Penyebaran virus yang mencapai kelenjar limfe akan memicu propaganda spontan dari virus dan merupakan reservoir laten refrakter mikrobisida topikal sehingga aplikasi mikrobisida tidak dianjurkan pada tahap perkembangan virus ini. Diseminasi sistemik akan terjadi dalam beberapa hari. Terapi yang dianjurkan adalah terapi PrEP oral.

(26)

Gambar 7. Waktu aplikasi mikrobisida efektif sesuai time line infeksi HIV.

2.2.6 Sediaan Mikrobisida serta Keuntungan dan Kerugiannya 24,25 2.2.6.1 Tablet vagina

Formulasi vagina yang tersedia selama ini di pasaran adalah tablet vagina. Tablet vagina konvensional yang dapat diperoleh di seluruh dunia meliputi agen anti-infeksi, hormon ekstrak tumbuhan dan lactobacillus. Kandidat mikrobisida yang diformulasikan dalam bentuk tablet, yaitu cellulose sulfate, acid form, polystyrene sulfonate, dapivirine, DS003, tenofovir dan UC781. Diantara mikrobisida diatas, cellulose sulfate, polystyrene sulfonate dan UC781 sudah tidak lagi diproduksi.

(27)

Kelebihan mikrobisida tablet vagina antara lain : a.

mudah diaplikasikan b. biaya terjangkau

c. bentuk yang diterima baik oleh penggunanya d. mudah dibawa dan disimpan

e. dosis mudah disesuaikan

f. dapat diproduksi dalam skala besar

g. mampu mempertahankan stabilitas pada suhu serta lingkungan yang ekstrim.

h. dihantarkan secara lokal sehingga toksisitas sistemiknya minimal

Kekurangan mikrobisida tablet vagina

a. Kurangnya standar regulator yang mengevaluasi formulasi b. Kompleksitas memastikan keseragaman konten dalam dosis

aktif yang rendah

c. Kompleksitas dalam optimalisasi komposisi d. Kombinasi produk dan kompatibilitasnya 2.2.6.2 Solusio, suspensi dan emulsi vagina

Sediaan ini berupa preparat cairan yang cenderung menimbulkan efek lokal, untuk irigasi atau untuk tujuan diagnostik serta mencegah infeksi HIV. Keuntungan sediaan ini, yaitu

a. mudah diaplikasikan

b. melewati efek jalur pertama hepatik c. absorpsi sistemik obat yang rendah

d. peningkatan permeabilitas dibandingkan dengan obat oral kekurangan sediaan ini, antara lain

a. perubahan vagina (berhubungan dengan siklus menstruasi) b. masalah kebersihan vagina

c. efek samping lokal

d. permeabilitas berbagai obat.

2.2.6.3 Gel, krim, supositori vagina

(28)

Sediaan ini memiliki mekanisme kerja secara lokal maupun sistemik. Prinsip umum obat supositori adalah bentuk solid saat dimasukkan ke vagina dan terurai atau mencair di dalam tubuh, menghantarkan obat yang diterima oleh beberapa pembuluh darah hingga ke usus besar. Sediaan ini umumnya berbentuk kerucut, batang atau wedges dan lebih besar dari supositori rektal (4-8g). Semua formulasi diatas berperan sebagai barier untuk mencegah masuknya sperma kedalam vagina bagian atas.

Sediaan ini umumnya digunakan secara lokal sebagai terapi infeksi vagina seperti transmisi HIV, HPV, HSV dan infeksi chlamydia. Keuntungan penggunaan sediaan ini adalah a.

Mampu menghindari metabolisme lini pertama

b. Mekanisme kerja yang lokal sehingga mengurangi distribusi sistemik

c. Mengurangi toksisitas sistemik Kekurangan sediaan ini

a. Dapat menimbulkan iritasi mukosa

b. Dapat memicu reaksi defekasi saat diaplikasikan c. Biaya produksi yang mahal

d. Ketidakpatuhan penggunanya 2.2.6.4 Vaginal Ring

Intravaginal ring (IVRs) menawarkan metode hantaran unik dibandingkan bentuk solid maupun semisolid. Faktor kontrol utama IVRs adalah fleksibelnya rangka cincin polimer. Cincin harus mudah dikompresi saat dimasukkan ke dalam vagina dan diletakkan dalam sepertiga atas vagina untuk mencegah pengeluaran yang tidak diinginkan. Vaginal ring mengandung bahan obat, yang secara homogen tersebar disepanjang matriks.

Tiga mekanisme penting pengeluaran obat adalah disolusi, difusi dan partisi. Kelebihan sediaan vaginal ring adalah

a. Long acting

(29)

Biasanya bekerja hingga 1 bulan atau lebih sehingga meningkatkan kepatuhan penggunanya.

b. Mudah digunakan dan nyaman

Fleksibel dan mudah dimasukkan ke dalam vagina. Biasanya tidak disadari oleh pasangan seksualnya.

c. Biaya produksi yang rendah d. Mudah diterima oleh penggunanya e. Berpotensi sebagai kombinasi obat 2.2.6.5 Vaginal films

Bentuk dosis film berupa lapisan tipis berbahan polymeric watersoluble yang akan larut ketika diletakkan di permukaan mukosa vagina dan segera melepaskan bahan aktifnya.

Keuntungan Vaginal films a. Mudah dibawa dan disimpan

b. Penggunaannya dapat dilakukan secara rahasia c. Tidak ada kebocoran

d. Biaya rendah dengan dosis rendah

Film yang tipis dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan stailitas obat yang rentan terhadap degradasi pada lingkungan berair. Administrasi melalui vagina perlu pemahaman yang baik mengenai hidrasi serta disolusi pada volume yang terbatas, yaitu 1mL cairan vagina. Pemilihan bahan aktif obat yang tepat sangat penting untuk memahami mekanisme kerja obat. Penggunaan aplikator, model aplikator untuk film serta menentukan bagaimana membersihkan aplikator merupakan elemen penting dalam perkembangan aplikator serbaguna.

(30)

2.2.7 Uji Klinik Mikrobisida Terbaru1,26,27

Penelitian preklinik serta klinik mikrobisida memerlukan waktu yang panjang dengan tahapan – tahapan tertentu untuk mendapatkan mikrobisida yang aman dan efektif. Tahap – tahap uji klinis mikrobisida

Tabel 2. Fase, target serta waktu uji klinis kandidiat mikrobisida1

Penelitian Tujuan Penelitian Periode waktu

Preklinik a. Skrining & uji laboratorium

b. Uji hewan coba untuk mengevaluasi aktivitas dan toksisitas agen aktif

1-10 tahun

Uji klinik fase I a. Tes awal dalam kelompok kecil (voluntir 10- 20 orang)

b. Konfirmasi minimal toksisitas & hantaran dosis efektif

2-3 tahun

Uji klinik fase II Uji coba skala besar dilakukan pada ratusan hingga ribuan voluntir untuk mendapatkan data efektivitas kandidat yang menjanjikan

2-5 tahun

Uji klinik fase III a. Menggambarkan efektivitas, keamanan dan penerimaan ribuan orang sebagai voluntir yang terlibat dalam uji skala besar

b. Menyediakan data signifikan secara statistik sebagai review untuk perusahaan regulator seperti FDA dan lainnya sebelum produk baru dipasarkan dan digunakan

2-6 tahun

Fase IV Untuk mikrobisida, surveilens postmarketing juga meliputi efek jangka panjang perkembangan penyakit HIV dan terapi (termasuk kemungkinan seleksi resistensi obat HIV saat relevan), risiko perilaku HIV dan interaksi dengan penyakit, terapi & produk lain

Tidak terbatas

Penelitian lain sebelum disetujui

a. Data dari penelitian lain sering dibutuhkan oleh perusahaan regulator untuk menyetujui produk baru

b. Perusahaan regulator juga membutuhkan informasi berdasarkan metode produksi produk dan penilaian control kualitas untuk memastikan produk yang dipasarkan sama dengan produk yang diuji.

2-6 tahun

Pengenalan produk dan pendukung penelitian

Menargetkan masalah ketentuan dan logistik sering menjadi kunci untuk memperkenalkan produk kesehatan baru. Untuk mikrobisida, banyak Negara yang memerlukan penelitian preintrodustion di populasi mereka sebelum mengimport atau mendistribusikan produk baru.

Hingga 10 tahun

Berikut adalah daftar penelitian kandidat mikrobisida yang telah masuk uji coba preklinik maupun klinik serta penelitian terbaru mikrobisida yang direncanakan.

(31)

Tabel 3. Fase uji klinis kandidat – kandidat mikrobisida.26

Tabel 4. Kandidat mikrobisida yang direncanakan masuk uji preklinik beserta mekanisme kerjanya27

(32)

2.2.8 Efikasi Mikrobisida dalam Mencegah Infeksi HIV yang Ditransmisikan melalui Hubungan Seksual

Penelitian mikrobisida selama 20 tahun terakhir, belum ada yang menunjukkan proteksi komplit terhadap infeksi HIV. Berbagai data uji klinis menyatakan beberapa kandidat mikrobisida dihentikan penelitiannya karena tidak signifikan efektif mencegah transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual. Bahkan beberapa diantaranya menimbulkan efek samping lokal atau meningkatkan risiko terjadinya IMS. Hingga saat ini, uji klinis yang telah selesai dilakukan dan disetujui sebagai mikrobisida yang efektif untuk mencegah transmisi infeksi HIV adalah tenofovir gel 1%. Selain tenofovir gel 1%, dapivirine intravaginal ring merupakan mikrobisida lain yang diharapkan memiliki efikasi signifikan dalam pencegahan transmisi HIV.28,29

Sebuah penelitian double-blind, randomized control trial oleh Q.Abdul Karim, dkk, di KwaZulu-Natal, Afrika Selatan pada Mei 2007 – Maret 2010, dilakukan untuk mengetahui keamanan serta efektifitas tenofovir gel dalam mencegah infeksi HIV pada wanita. Penelitian ini dilakukan pada 889 wanita berusia 18-40 tahun yang berhubungan seksual aktif dan memiliki hasil seronegatif HIV. Sejumlah 445 wanita menggunakan tenofovir gel dan 444 wanita menggunakan plasebo sebelum berhubungan seksual. Waktu aplikasi tenofovir gel 1% minimal 30 menit – 12 jam sebelum berhubungan seksual dan dalam 12 jam setelah berhubungan seksual, aplikasi maksimal 2x dalam 24 jam.

Observasi terhadap perilaku seksual yang aman, penggunaan kondom serta serostatus HIV dilakukan setiap bulan selama 30 bulan. Insiden HIV pada kelompok tenofovir gel sebesar 5,6/100 wanita/tahun sedangkan pada kelompok plasebo sebesar 9,1/100 wanita/ tahun. Insiden HIV pada kelompok tenofovir gel menurun 50% pada masa follow up bulan ke-12 dan menurun 40% bulan ke-24. Efikasi tenofovir gel dipengaruhi oleh kepatuhan penggunanya, semakin tinggi kepatuhan akan meningkatkan efikasi tenofovir gel sebagai mikrobisida yang mencegah transmisi HIV

(33)

melalui hubungan seksual. Dari hasil penelitian ini, didapatkan efikasi tenofovir gel 1% dalam menurunkan insiden HIV sebanyak 54% pada tingkat kepatuhan >80%, 38% pada tingkat kepatuhan 50-80% dan 28%

pada tingkat kepatuhan <50%.30,31

Annalene Nel,dkk, melakukan penelitian keamanan serta efikasi dapivirine intravaginal ring dalam mencegah HIV-1 di kalangan wanita Afrika. Penelitian ini dilakukan pada 1959 wanita berusia 18-45 tahun, seksual aktif dengan seronegatif HIV, yang dibagi ke dalam 2 kelompok (kelompok I menggunakan dapivirine 25mg intravaginal ring, kelompok II menggunakan plasebo) dan diobservasi selama 24 bulan. Waktu aplikasi dapivirine 25mg intravaginal ring yaitu sekali setiap 4 minggu selama 24 bulan. Insiden HIV pada kelompok dapivirine sebanyak 4,08/100wanita/tahun sedangkan pada kelompok plasebo sebesar 6,10/100wanita/tahun. Hasil penelitian ini memperlihatkan efikasi dapivirine intravaginal ring dalam menurunkan insiden infeksi HIV sebesar 30,7% dibandingkan plasebo.30,31

Efikasi dari kedua mikrobisida yang diharapkan ini masih belum memuaskan sehingga penelitian mikrobisida kombinasi dilakukan.

Tujuan dari pembentukan mikrobisida kombinasi ini adalah untuk meningkatkan aktifitas mikrobisida, dapat menggunakan konsentrasi dosis yang lebih rendah karena cara kerja yang sinergis dari kedua mikrobisida, dapat mencegah proses transmisi HIV dengan mekanisme kerja yang berbeda yang bekerja pada tahap siklus hidup HIV yang berbeda serta menurunkan risiko terjadinya resistensi. Kekurangan dalam pembuatan mikrobisida kombinasi ini antara lain sulitnya dalam menciptakan koformulasi, biaya yang lebih mahal serta potensi toksisitas yang meningkat. Saat ini produk mikrobisida kombinasi yang sedang diteliti adalah dapivirine/tenofovir intravaginal ring dan dapivirine/

maraviroc dalam sediaan gel, film serta intravaginal ring.30,31

(34)

BAB III RINGKASAN

Tingginya angka kejadian infeksi HIV, terutama yang ditransmisikan melalui hubungan seksual (87%), menjadi latar belakang penelitian mikrobisida topikal sebagai salah satu terapi preventif transmisi infeksi HIV. Berbagai penelitian mikrobisida topikal telah dilakukan sejak tahun 1985. Mekanisme kerja mikrobisida antara lain inaktivasi virus dalam vagina, mencegah perlekatan dan penyatuan virus dengan sel traktus genitalis, inaktivasi virus dengan pertahanan alamiah vagina serta mencegah replikasi HIV.

Mikrobisida dikemas dalam berbagai sediaan yaitu dalam bentuk gel, krim, supositoria, film, intravaginal ring, dll. Dari berbagai uji klinis mikrobisida, terdapat beberapa kandidat yang dihentikan akibat tidak signifikan efektif mencegah transmisi infeksi HIV dan berpotensi menyebabkan IMS. Mikrobisida yang saat ini diakui efektivitasnya adalah mikrobisida berbasis antiretrovirus yang menjadikan siklus hidup HIV sebagai target kerja. Tenofovir gel 1% (salah satu NRTIs) dan dapivirine intravaginal ring (salah satu NNRTIs) merupakan mikrobisida yang berkembang saat ini. Efikasi tenofovir gel 1% mampu menurunkan insiden infeksi HIV sebesar 54% dengan kepatuhan yang tinggi, sedangkan dapivirine intravaginal ring sebesar 30,7%. Proteksi inkomplit dari mikrobisida ini, memicu ketidakpuasan dari para peneliti sehingga dikembangkan pembuatan mikrobisida kombinasi, yang diharapkan dapat meningkatkan perlindungan yang efektif dan aman terhadap transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual.

Referensi

Dokumen terkait

konsep yang digunakan untuk menggambarkan berbagai konsep komputasi yang melibatkan beberapa konsep yang digunakan untuk menggambarkan berbagai konsep komputasi yang melibatkan

Menurut Irawan menjelaskan bahwa proses alih fungsi lahan pertanian pada tingkat mikro dapat dilakukan oleh petani sendiri atau dilakukan pihak lain. Alih fungsi

- Menimbang, bahwa selanjutnya dalam mempertimbangkan suatu perbuatan pidana, sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri Para Terdakwa, maka dalam hukum pidana terdapat dua hal

Ketiga landasan filosofis pendidikan tersebut menjadi pijakan pembelajaran berbasis lingkungan bagi anak, dimana Sekolah Gajahwong dalam mengembangkan berbagai

Pra Produksi merupakan elemen kerja terpenting dalam pembuatan Film Dokumenter, karna pada proses inilah yang menentukan sukses atau tidaknya produksi film

1.2 Tujuan Pembuatan Produk Berdasarkan latar belakang diatas tujuan penulis dalam pembuatan produk “Direktori Online Klinik Psikologi se – Jawa Bali ” adalah : 1.2.1 Tujuan

(SERATUS EMPAT PULUH LIMA MILIAR SEMBILAN RATUS TUJUH PULUH TUJUH JUTA ENAM RATUS DELAPAN PULUH ENAM RIBU RUPIAH)5. (dalam

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar mahasiswa di Prodi Pendidikan Biologi FPMIPA Universitas PGRI Semarang sudah memenuhi kriteria