• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hama Kumbang Tanduk (O. rhinoceros)

Kumbang penggerek pucuk yang menimbulkan masalah pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah O. rhinoceros. Kumbang berukuran sekitar panjang 4 cm dan berwarna coklat tua kehitaman. Pada bagian kepala terdapat satu tanduk kecil, sehingga sering disebut kumbang tanduk atau kumbang badak (Sulistyo, 2010).

Kumbang ini bukan hanya merusak keluarga palmae saja (sagu, pinang, nipah, kelapa sawit, dan enau), tetapi juga tanaman lain seperti tebu, pisang dan pakis haji. Hama ini tersebar dari India bagian Selatan, Sri Lanka, Birma, Muangthai, Semenanjung Malaya, Vietnam, Cina Selatan, Taiwan, Indonesia, Filipina, dan pulau-pulau Pasifik. Kumbang badak ini diketahui sampai di bagian Pasifik Selatan pada tahun 1909, mungkin ikut dalam pengiriman bibit stump karet yang dibungkus dengan tanah dan kompos dari Sri Lanka (Pracaya, 2010).

Sistematika kumbang kelapa sawit menurut Zaini (1991, dalam Naibaho, 2017) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Coleoptera Famili : Scarabaeidae Genus : Oryctes

Spesies : Oryctes rhinoceros.

(2)

6

Kumbang betina mempunyai bulu lebat pada bagian ujung perutnya, sedangkan yang jantan tidak berbulu. Kumbang yang baru keluar langsung menyerang kelapa sawit, kemudian kawin. Selanjutnya kumbang betina meletakkan telur pada bahan organik yang sedang mengalami pembusukan seperti batang kelapa/kelapa sawit mati, kotoran kerbau/sapi, kompos/sampah dan lain-lain (Sulistyo, 2010).

Menurut Pracaya (2010) kumbang badak betina bertelur di tempat sampah, daun-daun yang telah membusuk, pupuk kandang, serta batang kelapa, sagu dan nipah yang telah membusuk. Tempat lainnya adalah sisa batang tebu (ampas) yang basah, tempat kompos, dan tempat yang lainnya yang memungkinkan untuk dapat bertelur.

Jika lingkungannya cocok dan pakan cukup, kumbang badak terbang dalam jarak yang dekat saja. Namun, jika pakan kurang baik, kumbang bisa terbang sampai sejauh 10 km. Kadang di daerah pantai terlihat kumbang ini terapung bersama buah kelapa. Uretnya masih bisa hidup jika hanya terendam air beberapa jam saja (Pracaya, 2010).

2.1.1 Siklus Hidup Hama O. rhinoceros

Hama O. rhinoceros yang menyerang pertanaman kelapa sawit ini mengalami metamorfosis sempurna yang melewati stadia telur, larva, pupa dan imago. Kumbang ini berukuran 40-50 mm, berwarna coklat kehitaman, pada bagian kepala terdapat tanduk kecil. Pada ujung perut O. rhinoceros betina terdapat bulu-bulu halus, sedangkan pada yang jantan tidak berbulu (Susanto, dkk 2012, Maisaroh, 2015).

Menurut Susanto, dkk (2012, dalam Maisaroh, 2015) siklus hidup kumbang tanduk bervariasi tergantung pada habitat dan kondisi lingkungan. Iklim kering dan kondisi makanan akan merusak perkembangan larva, yang dapat bertahan selama 14 bulan dan

(3)

7

memberikan ukuran dewasa lebih kecil. Suhu perkembangan larva yang sesuai adalah 27oC – 29oC dengan kelembapan relatif 85-95%. Di lapangan siklus hidup dari kumbang tanduk dan khususnya masa larva di dalam batang busuk bervariasi tergantung pada kondisi iklim.

Gambar 2.1. Siklus hidup O. rhinoceros Sumber : Soenarko, 2014

a) Telur

Menurut Pracaya (2010) warna telur O. rhinoceros putih dengan garis tengah lebih kurang 3 cm, jumlah telurnya 30-70 butir atau lebih, setelah sekitar 12 hari telur akan menetas.

Gambar 2.2 : Telur O. rhinoceros Sumber : Maisaroh (2015)

(4)

8 b) Larva

Larva hama ini berwarna putih dengan bentuk yang khas. Tubuhnya berbentuk silinder, gemuk, berkerut-kerut, dan melengkung membentuk setengah lingkaran. Kepalanya bertekstur keras serta dilengkapi dengan rahang yang kuat (Lubis & Widanarko, 2011).

Larva berkembang di kayu lapuk, kompos, dan hampir di seluruh bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan. Batang kelapa sawit dan batang kelapa yang membusuk merupakan tempat yang baik untuk tempat hidup larva ((Lubis & Widanarko, 2011).

zMenurut Pracaya (2010) lamanya periode larva berubah-ubah menurut keadaan temperatur dan kelembapan, yaitu sekitar 2,5-6 bulan. Jika telah cukup dewasa, larva behenti makan, tidak aktif lagi, dan mulai membentuk pupa. Biasanya larva mencari tempat terlindung dalam keadaan dingin dan lembap. Menurut Susanto, dkk (2012 dalam Maisaroh, 2015) stadia larva O. rhinoceros terdiri dari 3 instar, Instar I berlangsung selama 10-21 hari, instar II berlangsung selama 12-21 hari, dan instar III berlangsung selama 60-165 hari.

Larva O. rhinoceros kemudian berubah menjadi prepupa dan selanjutnya menjadi pupa.

Gambar 2.3 : Larva O. rhinoceros

(5)

9 c) Pupa

Sebelum memasuki masa menjadi pupa, maka akan terjadi masa prapupa. Menurut Pracaya (2010) masa prapupa ini biasanya terjadi berlangsung selama 6 hari dan periode pupa lebih kurang 2-4 minggu. Saat stadium pupa, hama ini berwarna cokelat kekuning- kuningan dan berkembang di dalam selubung yang dibuat oleh larva (Lubis & Widanarko, 2011).

Gambar 2.4 : Pupa O.rhinoceros Sumber : Maisaroh (2015)

d) Imago

Kumbang berwarna cokelat gelap sampai hitam, mengkilap, panjang 35-50 mm dan lebar 20-23 mm dengan satu tanduk yang menonjol pada bagian kepala. Imago jantan memiliki tanduk yang lebih panjang dari betina. Jantan dapat dibedakan lebih akurat dengan ujung ruas abdomen terakhir dimana betina memiliki rambut. Umur betina lebih panjang dari umur jantan. Imago betina mempunyai lama hidup 274 hari, sedangkan imago jantan mempunyai lama hidup 192 hari. Dengan demikian, satu siklus hidup hama ini dari telur sampai dewasa sekitar 6-9 bulan (Susanto, dkk 2012 dalam Maisaroh, 2015).

(6)

10

Gambar 2.5 : Imago O. rhinoceros

2.1.2 Kerusakan dan Gejala Serangan Hama O. rhinoceros

Bagian tanaman yang sering diserang hama O. rhinoceros biasanya pupus daun (daun tombak). Stadium hama yang merugikan saat menjadi kumbang. Kumbang hanya meninggalkan tempat bertelurnya pada malam hari, lalu menyerang pohon kelapa sawit (Lubis &

Widanarko, 2011).

Serangan hama ini bisa mengakibatkan kematian pada tanaman muda.

Saat hama ini mengebor pucuk tanaman, biasanya juga merusak bagian daun muda yang belum terbuka (janur) sehingga pada waktu daun terbuka akan telihat bekas potongan yang simetris berbentuk segitiga atau seperti huruf V. Akibatnya adalah mahkota daun tampak compang-camping semrawut, tidak teratur, serta tidak indah lagi.

Kadang pelepah daunnya putus di tengah atau ujung daunnya rusak.

Ada juga yang putus pada bagian pangkal pelepah daun (Pracaya, 2010). Sedangkan menurut Sulistyo (2010) pucuk kelapa sawit yang terserang , apabila nantinya membuka pelepah daunnya akan kelihatan seperti kipas atau bentuk lain yang tidak normal.

(7)

11

Kumbang tanduk banyak menimbulkan kerusakan pada tanaman belum menghasilkan (TBM) yang baru ditanam hingga berumur 2-3 tahun (Hartanto, 2011). Biasanya serangan kumbang ini akan diikuti oleh kumbang Rhychoporus sp, atau bakteri ataupun cendawan, sehingga terjadi pembusukan yang berkelanjutan. Dalam keadaan seperti ini, tanaman mungkin akan mati atau harus hidup dengan gejala pertumbuhan yang tidak normal (Sulistyo, 2010).

2.1.3 Metode Pengendalian Hama O. rhinoceros

Secara umum pengendalian O. rhinoceros yang selama ini telah dilakukan meliputi : pengutipan larva dan kumbang, mengurangi Breeding site hama, aplikasi insektisida kimiawi, penggunaan jamur

entomopatogen serta pemanfaatan feromon agregat. Keberhasilan pengendalian O. rhinoceros sangat tergantung pada kondisi kebun kelapa sawit (Susanto, dkk 2012 dalam Maisaroh, 2015).

Menurut Lubis & Widanarko (2011) pengendalian hama ini sebaikmya dititikberatkan kepada tindakan pencegahan untuk menghambat perkembangan larva. Pengendalian ini penting untuk areal replanting.

Pasalnya, hama ini sering ditemukan berkembang biak di dalam batang atau tunggul kelapa sawit yang telah melapuk.

Adapun tindakan pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan adalah :

1. Penanaman kacangan Mucuna sp. Di sepanjang kanan-kiri batang tunggul kelapa sawit. Tujuannya agar semua permukaan batang atau tunggul tertutup rapat oleh kacangan dalam waktu cepat sehingga tidak menjadi tempat berkembang biak bagi hama oryctes (Lubis &

Widanarko, 2011).

(8)

12

2. Pembedahan batang atau tunggul yang telah melapuk (bekas tanaman lama) dengan cara membelah bagian yang lapuk, lalu cari larva (lundi) dan pupanya. Kumpulkan dan musnahkan (Lubis &

Widanarko, 2011).

3. Lakukan pemangkasan pelepah di bagian pucuk untuk setiap pohon yang terserang hingga jaringan batang yang muda agar pertumbuhan pucuk bisa normal. Berikan insektisida Curater3G sebayak 5 gram/pohon di bagian yang telah dipangkas dengan cara menaburkan di atasnya (Lubis & Widanarko, 2011).

4. Larva O.rhinceros pada mulsa TKS di areal TM dapat dikendalikan dengan menaburkan biakan murni jamur Metharizium anisopliae sebanyak 20 g/m2 (Sulistyo, 2010).

5. Semprotkan larutan pathogen berupa jamur M. anisopliae dan virus Bacilovirus oryctes di tempat penetasan telur dan larva. Cara ini

tidak dapat dianggap sebagai obat yang mujur seketika, tetapi sifatnya berupa pengendalian jangka panjang (Lubis & Widanarko, 2011).

6. Pemerangkapan kumbang O.rhinoceros dengan menggunakan ferotrap (Sulistyo, 2010).

Setiap teknik pengendalian memiliki kelebihan dan kekurangan yang berdampak cukup nyata terhadap hasil pengendalian.

2.2 Pengendalian Hama Terpadu

Gagasan untuk mengurangi dan membatasi penggunaan pestisida kimia dalam upaya pengendalian hama supaya dapat mengurangi dampak samping yang merugikan telah lama dibahas oleh pakar-pakar dunia demikian pula di Indonesia. Konsep pengendalian hama secara terpadu (Integrated Pest Control =IPM) pertama dikemukakan oleh Stern et al. (1959) yaitu

pengendalian dengan sistem kombinasi rasional antara penggunaan pestisida kimia dan pengendalian alami serta cara pengendalian yang lain untuk mengendalikan populasi hama (Indiati dan Marwoto, 2017).

(9)

13

Empat elemen dasar dalam IPM yang dikemukakan Stern et al. (1959, dalam Indiati dan Marwoto, 2017) yaitu :

(1) Penentuan ambang kendali untuk menentukan saat perlunya dilakukan tindakan pengendalian.

(2) Sampling untuk menentukan titik kritis tanaman atau stadium pertumbuhan hama.

(3) Pemahaman tentang kemampuan pengendalian alami yang ada.

(4) Penggunaan jenis insektisida yang selektif dan cara aplikasinya.

Menurut Indiati dan Marwoto (2017), strategi pengendalian hama yang dapat digunakan dalam PHT yaitu:

(1) Mengusahakan pertumbuhan tanaman sehat.

(2) Pengendalian hayati.

(3) Penggunaan varietas tahan.

(4) Pengendalian secara mekanik.

(5) Pengendalian secara fisik.

(6) Pengendalian dengan menggunakan senyawa kimia semio (semiochemicals) yaitu dengan memanfaatkan senyawa kimia alami yang dihasilkan oleh organisme tertentu untuk mempengaruhi sifat hama.

(7) Pengendalian secara genetik, dan (8) Penggunaan pestisida kimia.

Salah satu strategi pengendalian hama yang sering dilakukan di perkebunan kelap sawit adalah pengendalian secara hayati. Pengendalian secara hayati adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama. Pengendalian serangga hama dengan mikroorganisme di negara-negara maju sudah berkembang sejak lama, sedangkan di Indonesia baru dimulai sekitar tahun 1986 melalui Proyek FAO pada kapas. Entomopatogen yang potensial mengendalikan serangga hama adalah jamur. Indrayani (2011) mengatakan bahwa Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae adalah spesies jamur entomopatogen yang sudah dikomersialkan di sejumlah Negara (Hanchinal, 2000; Nirmala et al., 2006; James, 2003). Jamur lainnya seperti:

(10)

14

Paecilomyces fumosoroseus, Verticillium lecanii dan N. rileyi juga diketahui

dapat mengendalikan populasi serangga hama (Vega et al., 1999;

Sulistyowati et al., 2002; Sheroze et al., 2003; Fatiha et al., 2007; Indrayani 2011).

2.3 Cendawan Entomopatogen Beauvaria bassiana

B. bassiana merupakan jamur entomopatogen yang banyak diteliti sebagai

agensia hayati pengendali hama tanaman. Cendawan ini memiliki spektrum inang yang luas dan mampu menginfeksi serangga pada berbagai stadia, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera. Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera (McCoy et al., 1988, dalam Harahap, 2018). Barron (2001, dalam Ramdhania, 2015) menyatakan bahwa, B. bassiana memproduksi spora secara simpodial pada ujung sel induk spora. B. bassiana memiliki miselia bersekat dan secara makroskopis berwarna putih.

a b

Gambar 2.6 : Struktur makroskopis (a) dan struktur mikroskopis (b) B. bassiana

Wan (2003, dalam Ramdhania, 2015) menyatakan bahwa, B. bassiana memiliki tipe pertumbuhan dimorfik. Pada saat tidak ada serangga inang yang spesifik, B. bassiana mengalami siklus hidup vegetatif aseksual yang meliputi perkecambahan konidia, pertumbuhan filamen hifa, dan pembentukan konidia

(11)

15

secara simpodial. Siklus hidup B. bassiana beralih menjadi patogen ketika ada inang.

Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B. bassiana juga sangat ditentukan oleh kelembapan lingkungan. Namun demikian, cendawan ini juga memiliki fase resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam menyebabkan B.bassiana secara cepat menginfeksi populasi serangga hingga menyebabkan kematian.

Selain itu, kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh serangga menyebabkan cendawan ini juga dengan mudah menginfeksi serangga hama pengisap, seperti aphid (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. yang tidak mudah terinfeksi oleh bakteri maupun virus (Indrayani & Soetopo, 2007, dalam Harahap, 2018).

Aplikasi efektif B. bassiana adalah dengan cara menyemprot kanopi tanaman dengan suspensi B. bassiana agar terjadi kontak antara konidia dengan hama sasaran. B. bassiana juga dapat diaplikasikan dengan cara ditaburkan atau disemprotkan pada permukaan tanah, atau dicampur dengan tanah maupun kompos. Konidia B. bassiana mudah diinaktifkan oleh sinar ultraviolet sehingga pencegahannya dapat dilakukan dengan melakukan aplikasi pada pagi hari yaitu sebelum pukul 08.00 atau sore hari setelah pukul 15.00 (Soetopo dan Igaa 2007, dalam Ramdhania, 2015).

Klasifikasi cendawan B. bassiana : Kingdom : Fungi

Filum : Ascomycota Kelas : Sordariomycetes Ordo : Hypocreales Famili : Cordycipitaceae Genus : Beauveria

Spesies : Beauveria bassiana

Sumber : Berman (2012, dalam Ramdhania, 2015).

(12)

16

B. bassiana merupakan jamur imperfekti yang membentuk koloni berwarna

putih seperti kapas dengan pertumbuhan tidak teratur (Barnett, 1972).

Konidiofor jamur ini memiliki bagian fertil yang bercabang dengan bentuk zig-zag dan di ujungnya terbentuk konidia yang berbentuk bola. Konidia memiliki dinding yang licin, diameter 2-3 mm, dan bersifat hidrofob. Hifa hialin, berbentuk massa yang berwarna putih atau kuning pucat, namun kadang berwarna merah muda atau kemerahan (Steinhaus, 1949) dalam (Indrayani & Soetopo, 2007)(Harahap, 2018).

Proses infeksi B. bassiana diawali dengan konidiospora menempel pada permukaan kutikula, kemudian pembuluh hifa berkecambah menembus integumen serangga secara langsung. Ketika menembus kutikula, cendawan merubah morfologi pertumbuhannya menjadi fase mirip ragi dan memproduksi hifa yang beredar di hemolimfa lalu berkembang biak dengan tunas. Setelah kematian inang, pertumbuhan cendawan kembali menjadi bentuk hifa yang khas yaitu tahap saprotrof (Ramdhania, 2015). Kematian serangga yang terinfeksi B. bassiana disebabkan adanya toksin dan rusaknya jaringan atau organ secara mekanis. Jaringan atau organ yang dirusak jamur ini antara lain saluran pencernaan, otot, kelemjar sutra, urat saraf, lemak, dan sistem pernafasan (Suntoro, 1991, dalam Harahap, 2018).

Selain secara kontak, B. bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pakan. Broome et al. (1976) menyatakan bahwa 37% dari konidia B. bassiana yang dicampurkan ke dalam pakan semut api, Selenopsis richteri, berkecambah di dalam saluran pencernaan inangnya

dalam waktu 72 jam, sedangkan hifanya mampu menembus dinding usus antara 60-72 jam. Di dalam tubuh inangnya cendawan ini dengan cepat memperbanyak diri hingga seluruh jaringan serangga terinfeksi. Serangga yang telah terinfeksi B. bassiana biasanya akan berhenti makan, sehingga

(13)

17

menjadi lemah, dan kematiannya bisa lebih cepat. Serangga yang mati tidak selalu disertai gejala pertumbuhan spora. Serangga yang mati tidak selalu disertai gejala pertumbuhan spora. Contohnya, aphid yang terinfeksi B.

bassiana hanya mengalami pembengkakan tanpa terjadi perubahan warna.

Demikian pula tempayak lalat yang terinfeksi B. bassiana sering ditemukan secara berkelompok pada ujung-ujung rerumputan (Plate, 1976) dalam (Indrayani & Soetopo, 2007)(Harahap, 2018).

2.4 Cendawan Entomopatogen Nomuraea rileyi

Di Indonesia, penelitian pemanfaatan potensi N. rileyi sebagai agensi hayati pengendalian serangga hama belum banyak peningkatan meskipun serangga inangnya sering dijumpai pada berbagai komoditas penting, seperti kapas, jagung, tomat, tembakau, dan kacang-kacangan (Hidayah & Indrayani, 2011).

Di Brasil, N. rileyi telah digunakan secara intensif dalam pengendalian ulat Anticarsia gemmatalis yang menyerang tanaman kedelai (ONOFRE et al.,

2002) dan di India digunakan untuk mengurangi kerusakan buah kapas akibat serangan Helicoverpa armigera (UMA DEVI et al., 2003) dan S. frugiperda pada kacang-kacangan (PAVONE et al., 2009) (Hidayah & Indrayani, 2011).

Klasifikasi cendawan N. Rileyi : Kingdom : Fungi

Filum : Deuteromycotina

Kelas : Hypomycetes (Anonim, 2009) Ordo : Monillales (Anonim, 2009) Family : Moniliaceae (Anonim, 2009)

Genus : Nomuraea

Spesies : Nomuraea rileyi

Filum Deuteromycotina merupakan keluarga besar berbagai jamur Imperfecti, termasuk N. rileyi yang berkembangbiak secara aseksual (anamorfik) dengan spora pasif yang disebut konidia. Penelitian terhadap berbagai genus dan spesies jamur dari klas Hypomycetes sudah banyak dilakukan dan salah satu

(14)

18

yang siklus hidupnya telah dikarakterisasi secara lengkap adalah N. rileyi.

Jamur ini sangat infektif terhadap larva-larva Lepidoptera. Larva yang terinfeksi N. rileyi biasanya menunjukkan gejala “mumifikasi” atau pengerasan yang diikuti dengan pertumbuhan miselium pada seluruh permukaan tubuhnya. Konidiofor yang terbentuk dari miselium memproduksi konidia yang warnanya hijau kekuningan atau biru kehijauan (Indrayani, 2011).

Genus Nomuraea memiliki konidia berbentuk oval tidak bersepta dan dalam kelompok berwarna hijau pucat, hifa tipis dan halus, bersepta, dan hialin agak berpigmen. Hifa vegetatif berukuran 2-3 μm, sedangkan fialidnya pendek dan agak bulat dengan ukuran 3-3,5 μm. Konidiofor tegak seperti beludru dan bersepta dengan ukuran (3-4)x(2,5-3,5) μm (Nuraida dan A.

Hasyim, 2009).

Gambar 2.7 : Nomuraea (perbesaran 400x) a.konidia, b. hifa Sumber : Nuraida dan A. Hasyim(2009)

Unit utama infeksi jamur N. rileyi adalah konidia. Konidia bersifat menyerap air (hidrofob) yang penyebarannya di alam melalui angin atau air hujan.

Siklus infeksi pada serangga diawali dengan menempelnya konidia pada integument (kulit), kemudian diikuti dengan masa perkecambahan dalam waktu ± 24 jam. Kematian pada larva biasanya terjadi sekitar 5-7 hari setelah

(15)

19

terinfeksi dan penyebabnya antara lain: gangguan fisiologis akibat pengaruh toksin yang diproduksi jamur ( Indrayani, 2011).

Seperti jamur umumnya, suhu dan kelembaban lingkungan juga sangat mempengaruhi perkembangan N. rileyi. Kelembapan tinggi (80-90%) lebih dibutuhkan dalam proses perkecambahan dibanding dengan kelembapan rendah (<60%), terutama untuk melakukan kontak dengan kutikula serangga.

Sebaliknya, untuk pembentukan konidia dan melakukan penyebaran secara horizontal pada inang lain biasanya terjadi pada kelembapan lingkungan yang lebih rendah (50-60%). Pada kelembapan tinggi miselium N. rileyi akan tumbuh dari larva yang telah bermumifikasi dan memproduksi konidiofor sebagai alat invasi ke seluruh bagian internal serangga (Indrayani, 2011).

Gambar 2.8 : Pertumbuhan N. rileyi pada media agar Sumber : Hidayah & Indrayani, 2011

Gambar

Gambar 2.1. Siklus hidup O. rhinoceros  Sumber : Soenarko, 2014
Gambar 2.3 : Larva O. rhinoceros
Gambar 2.4 : Pupa O.rhinoceros  Sumber : Maisaroh (2015)
Gambar 2.5 : Imago O. rhinoceros
+4

Referensi

Dokumen terkait

Iterations, Shipment with costs, Shipping list ). Perusahaan akan mencapai biaya angkut total minimum apabila Pabrik A mengirim barang ke gudang 2 sebanyak 10 ton dan ke

[r]

Dari hasil analisa dan kriteria desain yang dihasilkan, maka kriteria dan konsep permukiman tanggap kebakaran yang sebaiknya dipertimbangkan pada permukiman di Kelayan

Dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana peyebutan bilangan dan sistem bilangan pada masyarakat Maumere sehingga dapat menjadi dasar bagi guru dalam pembuatan rancangan

Maka mesin Hydraulic Press selama beroperasi 8 jam peluang rusaknya tergolong cukup besar , sehingga pemeliharaan mingguan yang di lakukan selama ini tidak dapat

  This  system  is created  to make the  students  in  STT  X easier to download 

Bab empat, bab ini merupakan laporan dari hasil penelitian yang menggambarkan latar belakang, objek penelitian, dan peranan kreativitas guru dalam pembelajaran tematik

Dana waqaf tunai yang diperoleh dari para waqif (orang yang mewakafkan hartanya) dikelola oleh nadzir (pengelola waqaf) dalam hal ini bertindak sebagai manajemen