commit to user 6 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Pustaka
1. Keterampilan Menyimak Cerita Anak a. Pengertian Keterampilan Menyimak
Keterampilan merupakan tujuan utama dari proses pembelajaran.
Keterampilan juga menjadi alasan mengapa manusia belajar secara terus menerus, karena pada dasarnya seorang manusia belajar untuk bisa terampil.
Keterampilan inilah yang digunakan oleh manusia untuk melanjutkan kehidupan.
Pada pembelajaran Bahasa Indonesia, terdapat empat keterampilan berbahasa yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Begitu juga dengan keterampilan menyimak yang tidak dapat dipisahkan dari ketiga keterampilan berbahasa lainnya yaitu keterampilan berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan berbahasa ini saling berkaitan erat dan saling mempengaruhi. Menyimak merupakan suatu kegiatan untuk mendapatkan informasi dari yang disampaikan oleh pembicara.
Keterampilan pada dasarnya sama artinya denga kecekatan. Dalam kehidupan sehari-hari keterampilan sering dikaitkan dengan kecepatan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Soemarjadi, dkk (2001: 2) yang menyatakan bahwa
“keterampilan adalah kepandaian melakukan suatu pekerjaan dengan cepat dan benar”. Jadi, siswa akan dapat dikatakan memiliki keterampilan apabila siswa tersebut bisa menyelesaikan tugas atau pekerjaan secara cepat dan tepat.
Jika siswa melakukan tugas atau pekerjaan dengan cepat tetapi salah, maka siswa tersebut tidak bisa dikatakan terampil. Begitu juga dengan siswa yang dapat melakukan tugas atau pekerjaan dengan benar tetapi lambat tidak bisa dikatakan terampil. Sedangkan menurut Syah (2009: 117) keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot
commit to user
(neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olah raga, dan sebagainya.
Seperti halnya dalam kegiatan jasmaniah, menyimak juga merupakan suatu aktivitas yang memerlukan kerja syaraf-syaraf pendengaran. Menyimak hampir sama dengan kegiatan kegiatan mendengarkan. Menurut Mudjianto dan Gatut Susanto (2010: 1) “menyimak sama dengan mendengarkan, yaitu aktivitas mental untuk menerima dan memproses semua informasi melalui alat pendengaran atau indra pendengaran.”
Menurut Moeliono (1988) mendengar dengan menyimak adalah suatu kegiatan yang berbeda. Mendengar hanya mengenal bunyi sedangkan menyimak adalah memperhatikan baik-baik apa yang diucapkan atau dibaca orang lain” (Slamet, 2009: 3).
Menyimak merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif dan apresiatif. Reseptif berarti bahwa dalam menyimak pelibat harus mampu memahami apa yang terkandung dalam bahan simakan. Bersifat apresiatif artinya bahwa menyimak menuntut pelibat untuk tidak hanya mampu memahami pesan apa yang terkandung dalam bahan simakan tetapi lebih jauh memberikan respons atas bahan simakan tersebut (Abidin, 2012: 93). Pendapat ini didukung dengan pendapat Slamet (2009: 2) yang mengemukakan bahwa menyimak dapat dikatakan sebagai bahasa reseptif dalam suatu kegiatan becakap-cakap dengan medium dengar maupun medium pandang.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Tarigan (2008: 31) mengemukakan menyimak adalah suatu proses kegiatan yang mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apreasiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan, serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.
Seperti halnya dengan pendapat Brown (2004) mengenai keterampilan menyimak sebagai berikut:
“Many students fall shoer of achieving their goals because they have difficulty listening and comprehending. Hearing is merely a sense, while listening is learned behavior. Just a decoding the written word 15 is not the
commit to user
same as comprehending its meaning, hearing a sound is not is not the same as understanding what is being said.” (Brown, 2004). Developing Positive Listening Skills, School Library Journal, Vol. 50 No. 4 April 2004 page 72)
Pendapat di atas dapat diartikan sebagai banyak siswa yang jatuh dalam mencapai tujuan karena mereka memiliki kesulitan dalam menyimak memahami. Mendengarkan hanyalah menggunakan indera, sedangkan menyimak adalah perilaku yang dipelajari. Hanya menerjemahkan kata yang tertulis tidak sama dengan memahami maknanya, mendengarkan suara tidak sama dengan memahami apa yang diucapkan.
Berkenaan dengan menyimak sebagai kegiatan aktif, terdapat minimalnya tiga istilah yang kadang dipertukarkan penggunaannya. Ketiga istilah tersebut adalah mendengar, mendengarkan, dan menyimak. Mendengar adalah kegiatan menangkap bunyi bahasa yang dilakukan tanpa sengaja.
Mendengarkan adalah kegiatan yang dilakukan secara sengaja untuk menangkap bunyi bahasa walaupun belum berorientasi pada pembentukan pemahaman atas pesan yang terkandung dalam bunyi bahasa tersebut.
Menyimak di sisi lain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sungguh- sungguh untuk beroleh pesan, pengetahuan, dan informasi yang terkandung dalam bunyi bahasa yang didengarkan dengan serius dan penuh perhatian.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa keterampilan menyimak merupakan suatu kegiatan aktif yang bersifat reseptif dan apresiatif yang memerlukan perhatian dan pemahaman untuk memperoleh informasi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan secara cepat dan tepat.
b. Tahapan-tahapan Menyimak Cerita Anak
Menyimak sebagi suatu proses memiliki beberapa tahapan, tahapan dalam kegiatan menyimak ada tiga, yaitu (1) tahap prasimak, (2) tahap menyimak, dan (3) tahap pascasimak (Abidin 2012: 104).
Pada tahap prasimak terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan, antara lain memprediksi cerita, menebak cerita, curah pendapat, observasi gambar dan
commit to user
ilustrasi, arisan keinginan, pertanyaan pemandu, menyusun peta semantik, memerankan adegan/tokoh, dan membongkar skemata. Pada tahap menyimak ada kegiatan mengisi peta konsep, menangkap ide pokok, menjawab pertanyaan pemandu,diskusi ide pokok, membedakan fakta dan opini, membengun peta cerita, menyusun ide pokok mrnjadi kerangka karangan, menguji prediksi, dan membandingkan bahan simak dengan wacana lain.
Sedangkan pada tahap pascasimak, tujuan utamnya adalah untuk menguji kemampuan siswa dalam menyimak.
Berbeda dengan pendapat di atas, Tarigan (2009: 63) menyatakan bahwa tahap-tahap menyimak, antara lain:
1) Tahap Mendengar; dalam tahap ini pendengar baru mendengar segala sesuatu yang dikemukakan oleh pembicara dalam ujaran atas pembicaraannya. Jadi, kita masih berada dalam tahap hearing.
2) Tahap Memahami; setelah pendengar mendengar maka ada keinginan bagi pendengar untuk mengerti atau memahami dengan baik isi pembicaraan yang disampaikan oleh pembicara. Kemudian, sampailah pendengar pada tahap understanding.
3) Tahap Menginterpretasi; penyimak yang baik, cermat, dan teliti, belum puas kalau hanya mendengar dan memahami isi ujaran sang pembicara, dia ingin menafsirkan atau menginterpretasikan isi, butir- butir pendapat yang terdapat dan tersirat dalam ujaran itu; dengan demikian, sang penyimak telah tiba pada tahap interpreting.
4) Tahap Mengevaluasi; setelah memahami serta dapat menafsirkan atau menginterpretasikan isi pembicaraan, penyimak pun mulailah menilai atau mengevaluasi pendapat serta gagasan pembicara mengenai keunggulan dan kelemahan serta kebaikan dan kekurangan pembicara; dengan demikian sudah sampai tahap evaluating.
5) Tahap Menanggapi; tahap ini merupakan tahap terakhir dalam kegiatan menyimak. Penyimak menyambut, mencamkan dan menyerap serta menerima gagasan atau ide yang dikemukakan oleh pembicara dalam ujaran atau pembicaraannya. Lalu, penyimak pun sampailah pada tahap menanggapi (responding).
Sejalan dengan hal tersebut, Slamet (2009: 12) menjelaskan tahapan menyimak, antara lain mendengarkan, memahami, menginterpretasi, mengevaluasi, dan menanggapi. Dalam setiap tahapan menyimak diperlukan kemampuan tertentu agar proses menyimak berlangsung dengan baik.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pendapat para ahli tersebut saling berkaitan dan saling melengkapi untuk
commit to user
keberhasilan pembelajaran menyimak. Jadi pembelajaran menyimak cerita anak dapat dikatakan berhasil apabila siswa mampu menjawab pertanyaan- pertanyaan tentang bahan simakan baik yang tersurat maupun tersirat. Selain itu juga siswa harus mampu menjaga konsentrasinya selama proses menyimak.
c. Prinsip-prinsip Menyimak
Selain memiliki tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya, pembelajaran keterampilan menyimak juga memiliki beberapa prinsip yang perlu untuk diperhatikan. Prinsip-prinsip pembelajaran menyimak menurut Brown (2001) menyatakan minimalnya ada 6 prinsip yang harus diperhatikan dalam pembelajaran menyimak sebagai berikut:
1) Pembelajaran menyimak hendaknya dilakukan secara terpadu dengan keterampilan berbahasa yang lain dengan tepat memfokuskan diripada pengembangan kemampuan penyimak pemahaman.
2) Pembelajaran menyimak hendaknya dilakukan dengan menerapkan strategi pembelajaran yang mampu memotivasi siswa secara intrinsik.
3) Pembelajaran menyimak hendaknya dilakukan dengan menggunakan bahasa dan konteks yang otentik bagi siswa.
4) Pembelajaran menyimak hendaknya dilakukan dengan menggunakan bentuk respons yang tepat.
5) Strategi pembelajaran menyimak yang digunakan hendaknya secara nyata mampu mendorong perkembangan kemampuan menyimak siswa.
6) Gunakan model yang tepat selama pembelajaran menyimak (Abidin,2012: 101).
Selain pembelajaran menyimak seperti yang dikemukakan Brown di atas, ada pula beberapa prinsip penting yang perlu diperhatikan guru, antara lain:
1) Pembelajaran menyimak hendaknya tidak dilakukan sebatas menguji kemampuan siswa menyimak tetapi harus diarahkan pada pembentukan keterampilan menyimak.
2) Pembelajaran mmenyimak hendaknya dikemas oleh guru melalui berbagai aktivitas aktif kreatif bagi siswa selama pembelajaran sehingga mampu membentuk keterampilan menyimak dan mampu pula mengembangkan karakter siswa.
3) Pembelajaran menyimak harus dilakukan dengan berbasis proses menyimak disertai dengan penilaian otentik di dalamnya.
4) Pembelajaran menyimak hendaknya dilakukan sesuai dengan kemampuan siswa dengan berorientasi terhadap pembentukan perilaku menyimak yang baik.
commit to user
5) Pembelajaran menyimak hendaknya dilakukan dengan menggunakan berbagai media pembelajaran yang tepat (Abidin, 2012: 102-103).
Demikianlah berbagai prinsip pembelajaran menyimak yang dikemukakan oleh para ahli. Jadi semua prinsip pembelajaran menyimak ini harus digunakan sebagai jiwa bagi pembelajaran menyimak cerita anak sehingga pembelajaran menyimak benar-benar berorientasi pada tujuan pembelajaran menyimak yang telah ditetapkan.
d. Tujuan Keterampilan Menyimak
Semua bentuk kegiatan yang dilakuan manusia pastilah memiliki tujuan yang ingin dicapai, tak terkecuali dengan menyimak. Menurut Abidin (2012:
95), menyimak memiliki berbagai tujuan, namun secara esensial minimalnya ada tiga tujuan penting pembelajaran menyimak di sekolah. Ketiga tujuan tersebut adalah untuk (1) melatih daya konsentrasi siswa, (2) melatih daya paham siswa, dan (3) melatih daya kreatif siswa.
Tujuan pertama menyimak adalah untuk melatih daya konsentrasi siswa.
Hal ini berarti untuk dapat mengukur daya konsentrasi siswa dalam menyimak guru perlu menggunakan berbagai kegiatan yang mampu melatih dan membiasakan siswa untuk memusatkan perhatiannya pada bahan simakan.
Kegiatan yang digunakan untuk melatih dan membiasakan siswa untuk memusatkan perhatian juga harus dipilih dengan tepat. Tujuan yang kedua adalah untuk melatih daya paham siswa, maksudnya pembelajaran menyimak tidak hanya melibatkan kemampuan auditif siswa tapi juga melibatkan kemampuan kognitif. Sehingga tidak akan terbentuk keterampilan menyimak yang semu, yaitu siswa yang hanya mampu menjawab pertanyaan terkait isi simakan dan tidak lebih dari itu. Tujuan yang terakhir yaitu, melatih daya kreatif siswa. Hal ini berarti bahwa menyimak juga harus berorientasi pada kemampuan siswa untuk mengembangkan kreativitas berdasarkan atas isi simakan yang diperoleh.
Berbeda dengan pendapat Abidin, Tarigan (2008: 62) menyatakan bahwa tujuan menyimak ada 8, yaitu (1) menyimak untuk belajar, (2) menyimak untuk menikmati, (3) menyimak untuk mengevaluasi, (4) menyimak untuk
commit to user
mengapresiasi, (5) menyimak untuk mengomunikasikan ide-ide, (6) menyimak untuk membedakan bunyi-bunyi, (7) menyimak untuk memecahkan masalah, dan (8) menyimak untuk meyakinkan.
Gary T. Hunt (1981: 14) menyatakan bahwa tujuan menyimak sebagai berikut:
(1) Untuk memperoleh informasi yang bersangkut paut denga pekerjaan/profesi;
(2) Agar menjadi lebih efektif dalam hubungan antarpribadi dalam kehidupan sehari-hari di rumah, di tempat bekerja, dan di dalam kehidupan bermasyarakat;
(3) Untuk mengumpulkan data agar dapat membuat kesimpulan- kesimpulan yang masuk akal; dan
(4) Agar dapat memberikan respons yang tepat terhadap segala sesuatu yang didengar (Slamet, 2009: 10).
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan menyimak antara lain untuk mendapatkan informasi atau pesan dari bahan simakan yang telah disimak. Selain itu, jika sudah memahami bahan simakan, maka tujuan selanjutnya yaitu untuk mengevaluasi, mengasah kreatifitas, mengapresiasi, mengomunikasikan ide, dan untuk memecahkan masalah.
e. Urgensi Keterampilan Menyimak
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, terdapat empat keterampilan berbahasa yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis.
Dari keempat jenis keterampilan berbahasa tersebut, keterampilan menyimak merupakan keterampilan yang perlu mendapat banyak perhatian, karena keterampilan menyimak merupakan keterampilan yang menjadi dasar keterampilan berbahasa lain yang harus bisa dikuasai pertama kali oleh seseorang. Sesuai dengan pendapat Tarigan (2008 : 2) yang menyatakan bahwa mula-mula pada masa kecil anak belajar menyimak bahasa kemudian berbicara, sesudah itu anak belajar membaca dan menulis.
commit to user
Dari pendapat Tarigan di atas dapat diketahui betapa pentingnya pembelajaran keterampilan menyimak bagi manusia. Sedangkan bagi siswa, keterampilan menyimak memiliki peran yang sangat penting dalam pembelajaran. Hal itu dikarenakan keterampilan menyimak dijadikan sebagai dasar bagi siswa untuk dapat menguasai keterampilan-keterampilan berbahasa lainnya.
Pada siswa kelas V sekolah dasar, siswa diajarkan untuk menyimak cerita anak. Hal-hal yang perlu disimak dalam cerita anak salah satunya adalah unsur- unsur yang membangun cerita anak tersebut, yang meliputi tema, penokohan, setting, latar, alur, dan amanat. Unsur yang membangun cerita anak ini sama halnya dengan unsur yang membangun sebuah cerita pada umumnya, jadi pembelajaran menyimak cerita anak ini juga bisa mengantarkan siswa untuk pembelajaran menyimak selanjutnya.
f. Jenis Menyimak
Dalam kegiatan menyimak terdapat beberapa jenis kegiatan menyimak.
Diantara pendapat yang mengemukakan jenis menyimak adalah Tarigan (2008:
38) yang membedakan aktivitas menyimak berdasarkan cara penyimakan menjadi meyimak ekstensif dan menyimak intenisif. Menyimak ekstensif adalah sejenis kegiatan menyimak mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran, tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari seorang guru. Sedangkan menyimak intensif lebih diarahkan pada kegiatan menyimak secara lebih bebas dan lebih umum serta perlu di bawah bimbingan langsung para guru, selain itu menyimak intensif juga diarahkan pada suatu kegiatan yang jauh lebih diawasi, dikontrol terhadap satu hal tertentu.
Berbeda dengan pendapat di atas, Green dan Petty (1969: 162) mengelompokkan jenis menyimak berdasarkan hasil simakan menjadi sembilan jenis. Kesembilan jenis menyimak tersebut adalah sebagai berikut:
1) Menyimak tanpa mereaksi. Dalam jenis menyimak ini, penyimak mendengar suara tetapi yang bersangkutan tidak memberikan reaksi apapun.
2) Menyimak Pasif. Dalam menyimak pasif, kegiatan penyimak hampir sama dengan menyimak tanpa mereaksi. Hanya saja dalam menyimak pasif, penyimak sudah memberi reaksi meskipun relatif sedikit.
commit to user
3) Menyimak terputus-putus. Dalam menyimak terputus-putus, penyimak tidak kontinyu menyimak bahan simakan.
4) Menyimak dangkal. Penyimak hanya menangkap sebagian isi simakan.
5) Menyimak terpusat. Pikiran penyimak terpusat pada pembicaraan.
6) Menyimak untuk membandingkan. Penyimak menyimak pesan kemudian membandingkan isinya dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh si penyimak.
7) Menyimak organisasi materi. Penyimak berusaha mengetahui bagaimana organisasi materi yang disampaikan oleh pembicara, ide pokok beserta detail-detail penunjangnya.
8) Menyimak kritis. Penyimak nenganalisis secara kritis isi simakan yang disampaikan oleh pembicara.
9) Menyimak kreatif dan aspiratif. Penyimak berusaha memberikan respons mental dan fisik yang asli terhadap pembicaraan yang disampaikan oleh si pembicara (Slamet, 2009: 16-17).
Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis menyimak didasarkan pada hasil simakan dan juga cara penyimakan. Untuk tingkat siswa kelas V SD dapat disesuaikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Anderson (1972: 22-3) berpendapat bahwa dalam hal ini menyimak cerita anak pada siswa kelas V SD sebaiknya menggunakan jenis menyimak intensif, sedangkan berdasarkan hasil simakan dapat menggunakan jenis menyimak kritis (Tarigan, 2008: 65).
g. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Menyimak
Aktivitas menyimak, terutama menyimak pembicaraan orang lain, bukanlah suatu kegiatan yang yang berdiri sendiri, melainkan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur. Setiap orang selalu berusaha agar penyimaknya dapat efektif, untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Beberapa unsur yang mempengaruhi keefektifan menyimak tersebut antara lain: (1) pembicara, (2) pembicaraan, (3) situasi, dan (4) penyimak (Slamet, 2009: 19).
Pembicara adalah orang yang menyampaikan pembicaraan, ide, pesan, informasi kepada penyimak melalui bahasa lisan, dalam kegiatan pembelajaran pembicaranya adalah guru. Pembicaraan adalah materi, isi, pesan, atau informasi yang disampaikan oleh pembicara kepada penyimak, dalam pembelajaran yang dimaksud adalah materi pembelajaran itu sendiri. Situasi menyimak diartikan sebagai sesuatu yang menyertai kegiatan menyimak di luar
commit to user
pembicara, pembicaraan, dan penyimak. Faktor menyimak yang terakhir, yaitu penyimak adalah orang yang mendengarkan dan memahami isi bahan simakan yang disampaikan oleh pembicara dalam suatu peristiwa menyimak berlangsung.
Berbeda dengan pendapat di atas, Tarigan (2008: 105) menyatakan bahwa faktor pemengaruh menyimak ada delapan, yaitu: (1) fisik, (2) psikologis, (3) pengalaman, (4) sikap, (5) motivasi, (6) jenis kelamin, (7) lingkungan, dan (8) peranan dalam masyarakat.
Selain beberapa faktor di atas ada juga faktor penghambat menyimak.
Faktor-faktor penghambat tersebut menurut Linz dan Anderson antara lain:
1) Sususan informasi (teks yang berisi informasi yang disusun secara kronologis lebih mudah dipahami dari pada yang tidak kronologis).
2) Latar belakang pengetahuan penyimak mengenai topikyang disimak.
3) Kelengkapan dan kejelasan informasi yang disimak.
4) Pembicara lebih banyak menggunakan kata ganti dari pada menggunakan kata benda secara lengkap maka teks itu lebih sulit dipahami.
5) Yang dideskripsikan dalam teks yang disimak mengandung hubungan statis, misalnya ataukah hubungan statis (Rofi’uddin dan Zuhdi, 2002: 3).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam proses pembelajaran menyimak terdapat beberapa faktor pendukung, yaitu pembicara, penyimak , situasi, dan pembicaraan atau materi. Sedangkan untuk faktor fisik, jenis kelamin, lingkungan, dan pengalaman lebih pada faktor penunjang untuk pembicara dan penyimak.
h. Penilaian Menyimak
Pada dasarnya penilaian menyimak terdapat dua penilaian yaitu penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian proses ini meliputi kemampuan siswa dalam menyebutkan unsur-unsur dan menjawab pertanyaan sesuai isi dongeng.
Sedangkan penilaian hasil ini berdasarkan pada kemampuan siswa dalam menceritakan kembali isi dongeng yang didengarnya secara runtut.
commit to user
Menurut Nurgiyantoro (2001: 231) tes keterampilan menyimak dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa menangkap dan memahami informasi yang terkandung di dalam wacana yang diterimanya melalui saluran pendengaran. Untuk tes keterampilan menyimak, pemilihan bahan tes lebih ditekankan pada keadaan wacana, baik dilihat dari segi tingkat kesulitan, isi, dan cakupan, maupun jenis-jenis wacana. Nurgiyantoro (2001: 239) mengungkapkan empat tingkatan tes keterampilan menyimak pada aspek kognitif yaitu :
1) Tes Keterampilan Menyimak Tingkat Ingatan
Tes keterampilan menyimak pada tingkat ingatan sekedar menuntut siswa untuk mengingat fakta atau menyatukan kembali fakta-fakta yang terdapat di dalam wacana yang telah diperdengar. Bentuk tes yang dipergunakan dapat tes bentuk objektif, isian singkat, ataupun bentuk pilihan ganda.
2) Tes Menyimak Tingkat Pemahaman
Tes keterampilan menyimak ini pada tingkat pemahaman menuntut siswa untuk dapat memahami wacana yang dipergunakan.
Pemahaman pada tingkat ini belum kompleks benar, belum menuntut kerja kognitif tingkat tinggi. Bentuk tes yang dipergunakan tes esai atau bentuk objektif.
3) Tes Menyimak Tingkat Penerapan
Amran Halim (1984) dalam Nurgiyantoro (2001:242) mengungkapkan bahwa “Butir-butir tes keterampilan menyimak yang dapat dikategorikan tes tingkat penerapan adalah butir tes yang terdiri dari pernyataan (diperdengarkan) dan gambar-gambar alternatif jawaban yang terdapat di lembar tugas. Tingkat kesulitan tes ditentukan oleh kompleksitas gambar.
4) Tes Keterampilan Menyimak Tingkat Analisis
Tes keterampilan menyimak tingkat analisis menuntut siswa untuk melakukan kerja analisis, yaitu memilih alternatif jawaban yang tepat. Analisis yang dilakukan berupa analisis detil-detil informasi, mempertimbangkan bentuk, dan aspek kebahasaan tertentu, menemukan hubungan kelogisan, sebab akibat dan lain-lain.
Hubungan antara rangsang yang diperdengarkan dengan alternatif jawaban yang disediakan kurang menunjukkan hubungan secara langsung.
Jadi penilaian menyimak terdiri dari empat tingkatan yaitu tes menyimak ingatan, pemahaman, penerapan dan analisis. Dalam penelitian ini menggunakan penilaian tes jenis menyimak pemahaman, karena sesuai dengan kemampuan siswa Kelas V SD pada umumnya. Sedangkan untuk bentuk tes
commit to user
dapat berupa isian singkat ataupun uraian tentang materi yang telah disimaknya.
Penilaian keterampilan menyimak yang digunakan dalam penelitian ini adalah penilaian keterampilan menyimak secara tertulis dari Nurgiyantoro (2013: 367), yaitu meliputi: 1) pemahaman isi teks, 2) pemahaman detil isi teks, 3) ketepatan organisasi tes, 4) ketepatan diksi, 5) ketepatan struktur kalimat, 6) ejaan dan tata tulis, serta 7) kebermaknaan penuturan.
i. Pengertian Cerita Anak
Sastra terbagi menjadi dua jenis, yaitu prosa dan puisi. Cerita merupakan salah satu bentuk karya sastra yang berbentuk prosa dan tidak terikat pada aturan bait maupun rima seperti halnya puisi dan pantun.
Cerita anak juga merupakan salah satu bentuk sastra anak. Sastra anak adalah sastra yang secara emosionanl psikologis dapat ditanggapi dan dipahami oleh anak, dan itu pada umumnya berangkat dari fakta yang konkret dan mudah diimajinasikan. (Nurgiyantoro, 2005: 6). Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut ukuran dewasa tidak masuk akal.
Misalnya kisah binatang yang dapat berbicara, bertingkah laku, berpikir, dan berperasaan layaknya manusia. Imajinasi dan emosi anak dapat menerima cerita semacam itu secara wajar dan memang begitulah seharusnya menurut jangkauan pemahaman anak.
Sejalan dengan pendapat di atas, Sarumpaet (2002) cerita anak adalah cerita yang ditulis untuk anak, yang berbicara mengenai kehidupan anak dan sekitarnya yang mempengaruhi anak, dan tulisan itu hanyalah dapat dinikmati oleh anak dengan bantuan dan pengarahan orang dewasa.
Sedangkan Departemen Pendidikan Nasionl dalam modulnya yang berjudul
“Mengenal Cerita Anak” menyatakan bahwa, cerita anak adalah karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang; kejadian dan sebagainya, yang merupakan rekaan belaka, bersifat imajinatif dan fiktif.
Selain pendapat tersebut, Hardjana HP mengemukakan bahwa cerita anak atau cerita anak-anak adalah cerita yang ditujukan untuk anak-anak, dan bukan cerita tentang anak (2011: 2)
commit to user
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita anak adalah salah satu jenis sastra anak yang menuturkan tentang kehidupan anak dan sekitarnya serta bersifat imajinatif dan fiktif yang hanya dapat dinikmati oleh anak dengan didampingi orang dewasa.
j. Karakteristik Cerita Anak
Untuk membedakan setiap jenis karya sastra anak, baik itu prosa maupun puisi dapat diketahui dari ciri dari masing-masing jenis karya sastra. Begitu pula dengan cerita anak yang termasuk jenis prosa dalam sastra anak.
Menurut Sarumpaet (1976: 24) cerita anak memiliki tiga ciri yang membedakannya dengan cerita dewasa, ketiga ciri tersebut adalah:
1) Unsur pantangan, yaitu unsur yang berkaitan dengan tema dan amanat.
2) Unsur langsung dalam cerita anak, yaitu cara penyajian cerita cenderung beralur datar, tidak menyajikan cerita bertele-tele ataupun berbelit-belit.
3) Fungsi terapan dalam cerita anak, maksudnya adalah digunakannya cerita anak-anak sebagai sarana pendidikan oleh orang dewasa.
Berbeda dengan pendapat di atas, Hasyim (1981) mengemukakan bahwa cerita yang diberikan kepada anak sebagai bahan belajar di sekolah dasar hendaknya memiliki ciri sebagai berikut:
a) Bahasa yang digunakan haruslah sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa anak.
b) Isi ceritanya haruslah sesuai dengan tingkat umur dan perhatian anak.
Pada tahap pertama (kelas 1-3 SD), bacaan untuk anak laki-laki dan wanita dapat disamakan. Untuk selanjutnya (kelas 4-6 SD), secara berangsur-angsur akan kelihatan bahwa anak laki-laki lebih menyenangi cerita petualangan, olahraga, dan teknik, sedangkan anak wanita lebih menyenangi cerita yang bersifat kekeluargaan dan social.
c) Hedaknya jangan diberikan cerita yang bersendikan politk tetapi mengutamakan pendidikan moral dan pembentukan watak.
Demikian ciri-ciri cerita anak menurut ahli. Selain ciri di atas, hal yang membuat cerita anak berbeda dengan cerita dewasa adalah cerita anak memiliki sifat yang fiktif dan imajinatif yang disesuaikan dengan perkembangan anak.
commit to user k. Unsur Pembangun Cerita Anak
Seperti pada umumnya cerita, cerita anak juga memiliki unsur-unsur yang membangunnya menjadi satu kesatuan cerita yang utuh. Menurut modul Depdiknas (11-14), unsur-unsur cerita anak memiliki ciri tersendiri yang membedakan dengan cerita orang dewasa. Unsur-unsur tersebut antara lain:
1) Tema. Berkaitan dengan adanya pantangan dalam cerita anak, tema- tema cerita anak harus ditentukan dengan memperhatikan pantangan yang ada.
2) Tokoh. Tokoh dalam cerita anak tidak harus manusia. Tokoh dalam cerita anak bisa siapa saja, bahkan golongan hewan, tumbuhan, dan benda mati sekalipun.
3) Latar. Latar dalam cerita anak dapat dilihat dariisi cerita anak itusendiri.
4) Sudut pandang. Sudut pandang atau pusat pengisahan adalah sudut tinjau yang diambil pengarang dalam menuturkan kisahnya.
5) Alur. Dalam cerita ana, cenderung menggunakan alur yang datar dan tidak serumit cerita orangdewasa.
Selain pendapat di atas, Musfiroh (2005: 38) menyatakan bahwa unsur pembangun cerita untuk anak-anak adalah tema dan amanat, alur, setting, sudut pandang, dan sarana kebahasaan. Sejalan dengan pendapat di atas, Kurniawan (2013: 24-40) mengemukakan bahwa unsur pembangun cerita anak sebagai brikut:
1) Tema. Tema adalah pokok permasalahan dalam cerita.
2) Tokoh. Dibandingkan dengan tokoh dalam cerita dewasa, tokoh dalam cerita anak termasuk sederhana, yaitu protagonis, antagonis, serta protaginis dan antagonis.
3) Latar. Latar adalah tempat terjadinya peristiwa yang dialami para tokoh.
4) Alur. Alur adalah rangkaian peristiwa dalam cerita.
5) Suasana. Suasana adalah keadaan yang terdapat dalam peristiwa- peristiwa cerita.
6) Amanat. Amanat adalah pesan berupa nilai-nilai yang akan disampaikan cerita pada pembaca.
Demikian pendapat beberapa ahli tentang unsur pembangun cerita anak yang dalam setiap pembahasan secara umum adalah sama, yaitu tema, tokoh, latar, dana amanat. Unsur-unsur secara umum itulah yang dipelajari dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar.
commit to user
2. Metode Cooperative Script a. Pengertian Metode Cooperative Script
Cooperative Script merupakan salah satu metode dari model pembelajaran Cooperative Learning atau pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Slavin. Sedangkan Cooperative Script dikembangkan lebih lanjut oleh Dansereau pada tahun 1985.
Menurut Suprijono (2013: 54) pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Dalam pembelajaran dengan model ini, yang dimaksud dengan dipimpin oleh guru adalah guru sebagai fasilitator. Dalam pembelajaran kooperatif lebih menitik beratkan pada kerjasama kelompok untuk dapat menyelesaikan permasalahan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Lau (2013: 83) dalam jurnalnya bahwa
“Cooperative learning is the use of small teams so that students work on real tasks with each other to achieve the purpose of learning.” Hal itu dapat diartikan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan kelompok kerja siswa dengan anggota yang terbatas dimana mereka bekerja untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam model pembelajaran Kooperatif, terdapat pengelompokan metode yaitu, metode pendukung pembelajaran Kooperative dan juga metode pembelajaran aktif. Dalam metode pembelajaran aktif terdapat Learning Start With A Question, Tean Quiz, Snowball Throwing, Cooperative Script, dll (Suprijono, 2013: 111). Tetapi dalam penelitian ini, metode yang akan peneliti gunakan adalah metode Cooperative Script yang akan dikaji secara lebih mendalam.
Sehubungan dengan Cooperative Script yang merupakan salah satu metode dari model pembelajaran kooperatif, maka metode Cooperative Script ini juga menitik beratkan pada kerjasama antarkelompok untuk menyelesaikan masalah yang diberikan.
A’la (2011: 98) menyatakan bahwa metode Cooperative Script adalah metode belajar di mana siswa bekerja berpasangan dan secara lisan
commit to user
mengikhtisarkan bagian-bagian materi yang dipelajarinya dalam rung kelas.
Sejalan dengan pendapat di atas, Suprijono (2013: 126) menyatakan bahwa Cooperative Script merupakan metode belajar di mana siswa bekerja berpasangan dan bergantian secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian materi yang dipelajari.
Selain itu, Hertz dan Miller (1995: 129) mengungkapkan bahwa,
“Cooperative Script is the mechanism that guides the interaction of cooperating groups as they complete the designated task.” Maksud dari pernyataan Hertz dan Miller ini bahwa Cooperative Script adalah mekanisme yang memandu interaksi kerja sama kelompok untuk menyelesaikan tugas yang telah dibuat.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa metode Cooperative Script adalah salah satu metode dari model Cooperative Learning yang pelaksanaannya dengan cara siswa berpasangan dan dalam pasangan tersebut terjadi pembagian tugas secara bergantian sebagai pembaca dan pendengar untuk mengikhtisarkan bagian-bagian materi yang dipelajari.
b. Langkah-langkah Metode Cooperatine Script
Sebagai salah satu metode pembalajaran dalam model Cooperative Learning, metode Cooperative Script memiliki ciri khas atau karakteristik yang membedakannya dengan meode-metode pembelajaran lain dari model Cooperative Learning, yaitu langkah-langkah pembelajarannya.
Langkah-langkah penerapan metode Cooperative Script dalam kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Guru membagi siswa untuk berpasangan.
2. Guru membagikan wacana atau materi pada setiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan.
3. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
4. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya.
Sementara pendengar:
Menyimak/mengoreksi/menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap.
commit to user
Membantu mengingat/menghafal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.
5. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya. Serta lakukan seperti di atas.
6. Kesimpulan siswa bersama-sama dengan guru.
7. Penutup. (Suprijono, 2009: 126-127).
Sejalan dengan pendapatdi atas, Warsono dan Hariyanto (2013: 205) menyatakan bahwa sintaks atau cara kerja metode Cooperative Script sebagai berikut:
1. Siswa duduk berpasangan.
2. Guru membagikan wacana/materi kepada siswa untuk dibaca dan diringkas.
3. Setelah semua siswa memiliki ringkasannya sendiri, guru menugasi setiap pasangan, siapa yang berperan sebagai pembaca dan siapa yang berperan sebagai pendengar. Pembaca membacakan ringkasan selengkap-lengkapnya dengan memasukkan gagasan-gagasan dalam ringkasannya.
4. Kemudian bertukar peran, pembaca menjadi pendengar dan sebaliknya.
5. Guru memimpin kelas membuat kesimpulan.
6. Refleksi akhir.
7. Evaluasi.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran yang menggunakan metode Cooperative Script siswa bekerja secara berpasang-pasangan dan pembagian peran akan dapat terbagi secara merata. Sesuai dengan langkah-langkah dalam pelaksanaan metode Cooperative Script sebagai berikut:
1. Guru membagi siswa untuk berpasangan.
2. Guru membagikan wacana atau materi pada setiap siswa untuk dibacakan kepada temannya.
3. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
4. Pembicara membacakan cerita yang diterima.
Sementara pendengar menyimak dan menulis ide-ide pokok cerita yang didengar/disimak.
5. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya. Serta lakukan seperti di atas.
6. Berbagi hasil simakan dan saling memberi masukan tentang hasil simakan.
7. Kesimpulan siswa bersama-sama dengan guru.
commit to user 8. Penutup.
c. Urgensi Metode Cooperative Script
Dalam metode Cooperative Script yang memiliki beberapa langkah dalam pelaksanaannya, pastilah juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh metode-metode pembelajaran lain. Kelebihan Cooperative Script sebagai metode pembelajaran, antara lain: 1) melatih pendengaran, ketelitian/kecermatan, 2) setiap siswa mendapat peran, dan 3) melatih mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan. (A’la, 2011: 98).
Sejalan dengan pendapat di atas, Huda (2013: 215) menyatakan bahwa metode Cooperative Script memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
1) dapat menumbuhkan ide-ide atau gagasan baru, daya berpikir kritis, serta mengembangkan jiwa keberanian dalam menyampaikan hal-hal baru yang diyakini benar; 2) mengajarkan siswa untuk percaya kepada guru dan lebih percaya lagi pada kemampuan sendiri untuk berpikir,mencari informasi dari sumber lain, dan belajar dari siswa lain; 3) mendorong siswa untuk berlatih memecahkan masalah dengan mengungkapkan idenya secara verbal dan membandingkan ide siswa dengan ide temannya; 4) membantu siswa belajar menghormati siswa yang pintar dan siswa yang kurang pintar serta menerima perbedaan yang ada; 5) memotivasi siswa yang kurang pandai agar mampu mengungkapkan pemikirannya; 6) memudahkan siswa berdiskusi dan melakukan interaksi sosial; dan 7) meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.
Dari beberapa uraian di atas, dapat diketahui kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh metode Cooperative Script yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilaksanakan dengan metode ini.
d. Penerapan Metode Cooperatine Script dalam Pembelajaran Menyimak Cerita Anak
Dalam pelaksanaan metode Cooperative Script pada pembelajaran menyimak cerita anak terdapat beberapa langkah yang merupakan langkah pembelajaran metode Cooperative Script sebagai berikut
1) Guru membagi siswa untuk berpasangan.
2) Guru membagikan wacana atau cerita anak pada setiap siswa untuk dibacakan dan disimak oleh teman kelompok/pasangan kelompoknya.
3) Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
commit to user
4) Pembicara membacakan cerita yang diterima dengan suara yang keras dan mudah dipahami pendengar/penyimak. Sementara pendengar menyimak dan menulis ide-ide pokok cerita yang didengar/disimak.
5) Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya. Serta lakukan seperti di atas.
6) Berbagi hasil simakan dan saling memberi masukan tentang hasil simakan teman kelompok/pasangan kelompoknya.
7) Menyimpulkan hasil simakan yang telah diberi masukan oleh masing- masing anggota kelompok (pasangan) dengan guru secara bersama-sama 8) Penutup.
B. Penelitian yang Relevan
Ada beberapa penelitian yang dipandang relevan dengan penelitian ini, yaitu:
1. Penelitian Anesa Surya (2012) dengan berjudul Peningkatan Keterampilan Menyimak Dongeng Melalui Model Cooperative Learning Teknik Inside- Outside Circle (IOC) Siswa Kelas II SDN JOGOROGO 1 Ngawi Tahun Pelajaran 2011/2012. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan keterampilan menyimak dongeng siswa kelas II SDN Jogorogo 1 melalui penggunaan model Cooperative Learning teknik Inside-Outside Circle (IOC).
Peningkatan tersebut dapat terlihat dari peningkatan persentase setiap indikator keterampilan Bahasa Indonesia dari siklus I ke siklus II, yaitu:
keaktifan dari 72,72 % menjadi 87,89%, kerjasama dari 78,79% menjadi 93,94%, dan demonstrasi dari 60,61% menjadi 81,82%
Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian Anesa Surya terletak pada variabel terikat, yaitu keterampilan menyimak. Perbedaannya, penelitian tersebut menggunakan model Cooperative Learning teknik Inside-Outside Circle (IOC), sedangkan penelitian ini menggunakan metode Cooperative Script. Perbedaan lainnya terdapat pada subjek penelitian, subjek penelitian tersebut adalah siswa kelas II SDN JOGOROGO 1, sedangkan dalam penelitian ini subjeknya adalah siswa kelas V SD Negeri 02 Klodran.
commit to user
2. Penelitian dengan judul Efektivitas Penggunaan Metode Pembelajaran Cooperative Script Terhadap Hasil Belajar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas IV SDN Sidorejo Lor 01 yang disusun oleh Masturoh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan cooperative script efektif untuk meningkatkan hasil belajar bahasa Indonesia siswa kelas IV. Data yang diperoleh dari hasil tes Bahasa Indonesia dari dua kelas, IV A(Kelas eksperimen yang diberi perlakuan menggunakan cooperative script) dan kelas IV B (kelas kontrol, kelas yang tidak diberi perlakuan) menunjukkan bahwa pembelajaran cooperative script berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar bahasa Indonesia siswa kelas IV SD Negeri Sidorejo Lor 01 Salatiga. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan uji t yang menunjukkan bahwa t hitung sebesar 2.009 dengan signifikansi 0.040 (p <
0.05).
Kesamaan dengan penelitian ini terletak pada variabel bebas yakni penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script, sedangkan pebedaannya terletak pada variable terikat, pada penelitian ini adalah hasil belajar bahasa Indonesia, sedang penelitian yang akan dilakukan menggunakan variabel terikat keterampilan berbicara. Pada penelitian ini terbukti cooperative script adalah strategi pembelajaran yang efektif dan dapat meningkatkan hasil belajar bahasa Indonesia, diharapkan juga cooperative script dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V SD N 03 Gemolong.
3. Penelitian Azizah Nurlaili (2014) dengan judul Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara dengan Menggunakan Model Kooperatif Tipe Cooperative Script pada Siswa Kelas V SDN 03 Gemolong Tahun Ajaran 2013/2014. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan keterampilan berbicara dengan menggunakan model Kooperative tipe Cooperative Script.
Peningkatan tersebut dapat terlihat dari peningkatan persentase pada pra- tindakan yaitu sebesar 20,59%, setelah dilakukan siklus I meningkat menjadi 70,58%, dan meningkat pada siklus II menjadi 91,17%.
commit to user
Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian Azizah Nurlaili terletak pada variabel bebas, yaitu Cooperative Script. Perbedaannya, penelitian tersebut meneliti tentang keterampilan berbicara, sedangkan penelitian ini meneliti keterampilan menyimak. Perbedaan lainnya terdapat pada subjek penelitian, subjek penelitian tersebut adalah siswa kelas V SDN 03 Gemolong, sedangkan dalam penelitian ini subjeknya adalah siswa kelas V SD Negeri 02 Klodran.
C. Kerangka Berpikir
Pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya keterampilan menyimak cerita anak pada siswa kelas V SD Negeri 02 Klodran tahun ajaran 2013/2014 masih menunjukkan hasil yang rendah.
Pada kondisi awal pembelajaran yang digunakan oleh guru masih pembelajaran yang bersifat konvensional. Pusat pembelajaran adalah guru (Teacher Centered Learning), sehingga siswa masih belum memiliki pengalaman belajar, hasilnya pembelajaran yang bermakna pun tidak dapat tercapai. Selain itu, guru juga kurang dalam memberikan umban balik tentang cerita anak yang telah disimak untuk mengetahui tingkat keterampilan menyimak cerita anak pada siswa kelas V SD Negeri 02 Klodran tahun ajaran 2013/2014. Hal ini yang membuat siswa merasa bosan dan cenderung tidak fokus pada pembelajaran yang sedang berlangsung, karena jika siswa sudah merasa bosan, siswa akan mencari kegiatan lain untuk mengatasi rasa bosan tersebut. Selain itu, siswa juga menjadi pasif dalam kegiatan pembelajaran, karena siswa kurang memiliki pengalaman belajar tentang apa yang baru saja disampaikan oleh guru, sehingga kualitas pembelajaran menyimak siswa kelas V SD Negeri 02 Klodran masih rendah. Siswa yang nilainya mampu mencapai KKM hanya sejumlah 7 anak.
Berdasarkan kondisi awal tersebut, maka tindakan peneliti adalah mencari alternatif yang tepat untuk mengatasi permasalahan pada pembelajaran tersebut. Alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pembelajara tersebut adalah dengan menggunakan metode pembelajaran yang
commit to user
tepat dan dapat menarik perhatian siswa terhadap pembelajaran yang sedang berlangsung. Metode yang tepat untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan metode Cooperative Script. Cooperative Script adalah metode pembelajaran yang dilaksanakan dengan cara berpasangan, dalam setiap pasangan nantinya setiap anggota akan mendapat peran yang sama secara bergantian, yaitu sebagai pembaca dan sebagai pendengar. Dalam pelaksanannya, penelitian ini memerlukan kolaborasi antara guru kelas dengan dan peneliti, metode Cooperative Script diterapkan pada siklus I dan siklus II melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Dalam penelitian ini peneliti menetapkan indikator ketercapaian klasikal sebesar 85 %.
Dengan penerapan metode Cooperative Script diharapkan dapat meningkatkan keterampilan menyimak cerita anak pada siswa kelas V SD Negeri 02 Klodran, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar tahun ajaran 2013/2014.
Sejalan dengan judul penelitian ini, hubungan antarvariabel penerapan metode Cooperative Script dengan peningkatan keterampilan menyimak cerita anak pada siswa kelas V SD Negeri 02 Klodran tahun ajaran 2013/2014 secara sederhana dapat dibuat kerangka berpikir sebagai berikut:
commit to user
Gambar 2.1. Alur Kerangka Berpikir Penelitian Tindakan
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas sebagai berikut: “ Penggunaan metode Cooperative Script dapat meningkatkan keterampilan menyimak cerita anak pada siswa kelas V SD Negeri 02 Klodran Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Ajaran 2013/2014.”
Kondisi Awal
Tindakan
Kondisi Akhir
Guru mengajar dengan menggunakan metode konvensional
Guru
menggunakan metode
Cooperative Script dalam
pembelajaran menyimak cerita anak
Melalui metode Cooperative Script keterampilan menyimak cerita anak meningkat
Keterampilan menyimak cerita anak rendah
Siklus I
1. Perencanaan 2. Tindakan 3. Observasi 4. Refleksi
Siklus II
1. Perencanaan 2. Tindakan 3. Observasi 4. Refleksi menyimak cerita anak
pembelajara