• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN AKHIR RISBINKES

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN AKHIR RISBINKES"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

1

LAPORAN PENELITIAN AKHIR RISBINKES

GAMBARAN FAKTOR RISIKO PASCA ENAM TAHUN

PEMBERIAN OBAT MASSAL PENCEGAHAN (POMP) FILARIASIS DI KABUPATEN BANGKA BARAT

drh. Nungki Hapsari Suryaningtyas Maya Arisanti, SKM

Ade Verientic Satriani, SKM Nur Inzana, SKM

Loka Penelitian Dan Pengembangan

Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Baturaja Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan

2016

(2)

2

SUSUNAN TIM PENELITI

No Nama Keahlian/

Kesarjanaan

Kedudukan Dalam Tim

Uraian tugas

1 Nungki Hapsari Suryaningtyas

Profesi Kedokteran Hewan

Ketua Pelaksana

Bertanggung jawab terhadap seluruh aspek penelitian, pembuatan proposal dan laporan 2 Maya Arisanti Statistik Anggota Bertanggung jawab terhadap aspek

entry data dan analisis data

3 Nur Inzana Kesehatan

Masyarakat

Anggota Bertanggung jawab terhadap wawancara dan administrasi

4 Ade Verientic Kesehatan Masyarakat

Anggota Bertanggung jawab terhadap aspek pengambilan darah dan pemeriksaan slide

(3)

3

SURAT KEPUTUSAN PENELITIAN

(4)

4

(5)

5

(6)

6

(7)

7

(8)

8

(9)

9

(10)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat- Nya maka penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian yang berjudul: “Gambaran Faktor Risiko Pasca Enam Tahun Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) Filariasis di Kabupaten Bangka Barat” tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa dalam pelaksanaan penelitian maupun penulisan laporan ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Kami sangat mengharapkan masukan dari semua pihak demi perbaikan penelitian maupun laporan di kemudian hari.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembuatan proposal dan protokol penelitian, pelaksanaan kegiatan penelitian serta pembuatan laporan hasil penelitian ini.

Akhirnya penulis berharap semoga laporan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Barat dalam upaya eliminasi filariasis serta bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan terutama dalam rangka mendukung program Eliminasi Filariasis di Indonesia.

Baturaja, Desember 2016 Tim Peneliti

(11)

ii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Program Eliminasi Filariasis telah dicanangkan sejak tahun 1999 oleh WHO dengan menetapkan dua pilar utama berupa upaya memutus rantai penularan dengan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) Filariasis di daerah endemik dan membatasi kecacatan dengan Penatalaksanaan Penderita Filariasis Klinis.

Kegiatan POMP telah dilakukan selama lima tahun. Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengukur keberhasilan POMP filariasis dan sejauh mana pemutusan rantai penularan filariasis telah dicapai.Monitoring dan evaluasi POMP filarisis melalui survei penilaian penularan (TAS) pada tahun 2014 yang dilakukan pada anak usia 6-7 tahun menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT) di enam wilayah menunjukkan hasil 9 anak terdeteksi positif antibodi Brugia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor risiko pasca enam tahun POMP filariasis di Kabupaten Bangka Barat. Sampel penelitian ini adalah penduduk berusia ≥ 20 tahun di Desa Tuik, Desa Puput, Desa Teluk Limau dan Desa Cupat. Jumlah sampel untuk penelitian ini sebanyak 150 penduduk. Variabel yang akan diteliti meliputi kejadian filariasis, karakteristik responden, pengetahuan, sikap, perilaku, dan lingkungan.

Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner wawancara dan peralatan untuk pemeriksaan filtrasi darah vena. Wawancara dengan kuesioner dilakukan untuk memperoleh data karakteristik responden, data lingkungan, data pengetahuan, sikap dan perilaku terkait filariasis. Pemeriksaan filtrasi darah vena dilakukan dengan cara mengambil darah vena sebanyak 1 ml, kemudian disaring menggunakan metode membran filter untuk memperoleh data kejadian filariasis, kepadatan parasit dan spesies mikrofilaria. Analisis dilakukan terhadap seluruh variabel yang akan diteliti untuk memperoleh distribusi frekuensi dari masing-masing variabel..

Hasil penelitian mendeteksi 3 individu positif mikrofilaria di Desa Tuik sehingga didapat proporsi kejadian filariasis sebesar 2%. Pengetahuan responden tentang filariasis kurang baik sebesar 96%. Sedangkan sikap responden sebesar 96,7%

setuju mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan filariasis. Kepatuhan minum obat pencegahan selama lima kali hanya dilakukan oleh 2% responden. Perilaku perlindungan diri terhadap gigitan nyamuk yang menggunakan kelambu sebesar 73,3%, sedangkan perilaku keluar malam yang merupakan faktor risiko terjadinya penularan filariasis sebesar 78,7%.

(12)

iii ABSTRAK

Program eliminasi filariasis menjadi prioritas nasional dengan agenda utama melaksanakan kegiatan Pemberian Obat Pencegahan secara Massal Filariasis untuk memutus rantai penularan pada penduduk di semua Kabupaten/Kota endemis filariasis.

Kabupaten Bangka Barat merupakan salah satu kabupaten yang telah melaksanakan program eliminasi filariasis dan telah memasuki tahap surveilans periode stop POPM filariasis. Berdasarkan hasil survei penularan/Transmission Assesment Survey (TAS) kedua didapatkan hasil 9 anak terdeteksi positif antibodi Brugia dalam darah. Hal ini menunjukkan bahwa adanya penularan cacing mikrofilaria pada rentang waktu 6-7 tahun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor risiko pasca enam tahun pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis di Kabupaten Bangka Barat melalui pemeriksaan filtrasi darah dan mengidentifikasi gambaran pengetahuan, sikap, perilaku dan lingkungan tentang filariasis melalui wawancara menggunakan kusioner. Pemeriksaan menggunakan filtrasi darah menunjukkan 3 orang positif mikrofilaria sehingga didapatkan proporsi kejadian filariasis sebesar 2%. Pengetahuan responden sebesar 4% yang telah mengetahui tentang penyebab, gejala, cara penularan, akibat yang ditimbulkan dan cara pencegahan. Sikap responden sebesar 96,7% terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan filariasis. Kepatuhan responden minum obat pencegahan filariasissebesar 2%. Perilaku keluar rumah dapat menjadi faktor risiko adanya penularan sebesar 78,7%.

(13)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

TIM PENELITI ... i

RINGKASAN EKSEKUTIF ... ii

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB IITUJUAN DAN MANFAAT ... 3

2.1. Tujuan Umum ... 3

2.2. Tujuan Khusus ... 3

2.3. Manfaat Penelitian ... 3

BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 4

3.1. Kerangka Teori ... 4

3.2. Kerangka Konsep ... 4

3.3. Desain dan Jenis Penelitian ... 6

3.4. Tempat dan Waktu... 6

3.5. Populasi dan Sampel ... 6

3.6. Besar Sampel, Cara Pemilihan atau Penarikan Sampel ... 6

3.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 6

3.8. Variabel ... 7

3.9. Definisi Operasional ... 8

3.10.Instrumen dan Cara Pengumpulan Data ... 12

3.11.Bahan dan Prosedur Kerja ... 12

3.12.Manajemen Data dan Analisis Data ... 16

BAB IVHASIL PENELITIAN ... 17

4.1. Gambaran Umum Wilayah ... 17

4.2. Program Pengendian Filariasis di Kabupaten Bangka Barat ... 17

4.3. Karakteristik, Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat tentang Filariasis ... 22

BAB VPEMBAHASAN ... 29

A. Karakteristik Subyek Penelitian ... 29

B. Kejadian Filariasis Pasca Enam Tahun Pemberian Obat Massal Pencegahan Filariasis...31

C. Faktor Lingkungan Responden ... 32

(14)

v

D. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Subyek Penelitian 33

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN ... 35

6.1. Kesimpulan ... 35

6.2. Saran ... 36

UCAPAN TERIMA KASIH ... 36

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 37

(15)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi kronis filariasis per puskesmas dan per desa di Kabupaten Bangka Barat

tahun 2016 ... 18

Tabel 2 Hasil pemeriksaan TAS-2 di Kabupaten Bangka Barat tahun 2014 ... 19

Tabel 3 Hasil pemeriksaan darah menggunakan metode membran filter ... 20

Tabel 4 Karakterisasi responden berdasarkan hasil pemeriksaan darah ... 21

Tabel 5 Sosiodemografi karakteristik responden ... 22

Tabel 6 Distribusi jumlah sampel menurut jumlah ART, lama tiggal, status ... 23

Tabel 7 Pengetahuan Responden Mengenai Filariasis ... 24

Tabel 8 Proporsi perilaku perlindungan diri responden terhadap gigitan nyamuk dan perilaku keluar rumah pada malam hari ... 26

Tabel 9 Lingkungan Responden Mengenai Filariasis ... 27 Tabel 10 Karakteristik penderita berdasarkan pengetahuan, sikap, perilaku dan lingkungan . 28

(16)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Grafik pengetahuan responden tentang filariasis ... 25 Gambar 2 Grafik sikap responden terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan filariasis 25 Gambar 3 Grafik Kepatuhan responden minum obat pencegahan filariasis ... 26

(17)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Persetujuan Etik ... 40

Lampiran 2 Ijin Penelitian ... 42

Lampiran 3 Naskah Penjelasan... 44

Lampiran 4 Informed Consent ... 45

Lampiran 5 Kuesioner ... 46

Lampiran 6 Dokumentasi Kegiatan ... 53

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filarial dan ditularkan oleh nyamuk. Data WHO menunjukkan bahwa di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berada di negara berisiko tertular filariasis, dan 60% negara-negara tersebut berada di Asia Tenggara1.

Sejak tahun 2000 sampai tahun 2009 kasus kronis filariasis di Indonesia dilaporkan sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 kabupaten/kota. Berdasarkan data kasus klinis kronis yang ditindaklanjuti dengan survei endemisitas filariasis dan dilaporkan oleh kabupaten/kota sampai dengan tahun 2009 terdapat 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota non endemis2. Infeksi mikrofilaria dapat terdeteksi pada semua kelompok usia. Penelitian Sukhvir3 menunjukkan bahwa kelompok usia dengan tingkat mikorilaria tertinggi ditemukan pada usia 21-30 tahun (9%). Hasil penelitian lain dari Weil et all4 juga menunjukkan prevalensi mikrofilaria meningkat pada usia diatas 20 tahun.

Program eliminasi filariasis telah dicanangkan sejak tahun 1999 oleh WHO yaitu dengan menetapkan dua pilar utama Program Eliminasi Filariasis berupa upaya memutus rantai penularan filariasis dengan melaksanakan kegiatan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) Filariasis di daerah endemik filariasis dan upaya pencegahan serta membatasi kecacatan karena filariasis dengan melaksanakan kegiatan penatalaksanaan penderita filariasis klinis5.

Langkah pertama sebelum pelaksanaan kegiatan POMP adalah menentukan kabupaten/kota endemis filariasis. Penentuan daerah endemis filariasis dilakukan dengan mengidentifikasi adanya penderita filariasis kronis kemudian dilanjutkan dengan survei darah jari pada 2 desa dengan jumlah penderita filariasis kronis terbanyak untuk menentukan tingginya angka Mikrofilaria rate (Mf rate). Apabila salah satu desa ditemukan angka Mf rate 1% atau lebih, maka kabupaten/kota tersebut adalah kabupaten/kota endemis filariasis, sehingga perlu melaksanakan kegiatan POMP filariasis. Pengobatan massal dilakukan dengan menggunakan obat DEC dikombinasikan dengan Albendazole sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut.

Pengobatan massal diikuti seluruh penduduk di daerah endemis yang berusia 2 tahun

(19)

2

keatas. Pengobatan ditunda pada orang yang sakit, anak dibawah 2 tahun, dan wanita hamil2.

Keberhasilan POMP filariasis dan sejauh mana pemutusan rantai penularan filariasis telah dicapai ditentukan dengan angka Mf rate <1%. Angka Mf rate diperoleh berdasarkan perbandingan jumlah penduduk yang sediaan darahnya positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa. Penderita dengan kepadatan mikrofilaria rendah mempunyai peran utama dalam mempertahankan rantai penularan.6 Langkah pertama untuk menilai angka Mf rate setelah pengobatan adalah menentukan jenis pemeriksaan yang tepat untuk mendeteksi adanya mikrofilaria dalam darah. Hasil penelitian Dreyer6 dengan membandingkan dua metode berbeda yaitu pemeriksaan darah jari dengan volume darah 20µl dan 60µl serta metode penyaringan menggunakan membran polikarbonat dengan darah sebanyak 1ml menunjukkan bahwa volume 20µl dan 60µl darah yang dipakai untuk pemeriksaan kurang optimal dalam mendeteksi mikrofilaria dibandingkan dengan volume 1ml.

Banyak faktor yang dapat memicu terjadinya kejadian filariasis. Beberapa faktor diantaranya adalah faktor lingkungan dan perilaku. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Tersedianya lingkungan fisik berupa genangan air di sekitar pemukiman penduduk dapat memungkinkan untuk menjadi tempat perkembangbiakan vektor pembawa filariasis sehingga meningkatkan terjadinya penularan filariasis7. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyono8 menunjukkan adanya hubungan antara keberadaan genangan air di sekitar rumah dan kejadian filariasis. Selain faktor lingkungan, penyebaran filariasis tergantung juga dengan perilaku seseorang terhadap upaya pencegahan terhadap gigitan nyamuk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardias9 menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian filariasis.

Hasil penelitian Santoso10 di Jambi menunjukkan determinan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis adalah adanya genangan air di sekitar rumah, waktu tempuh ke sarana kesehatan, perilaku pencegahan gigitan nyamuk di dalam rumah, lama tinggal, tingkat pendidikan dan jenis kelamin.

Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa di Kabupaten Bangka Barat masih berpotensi terjadinya penularan filariasis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko pasca enam tahun pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis di Kabupaten Bangka Barat.

(20)

3 BAB II

TUJUAN DAN MANFAAT

2.1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran faktor risiko pasca enam tahun pemberian obat massal pencegahan filariasis di Kabupaten Bangka Barat.

2.2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah anggota keluarga, lama tinggal, status migrasi, dan riwayat demam berulang).

2. Mengukur kejadian filariasis (Mf rate, kepadatan, spesies mikrofilaria) pasca enam tahun POMP filariasis.

3. Mengidentifikasi faktor lingkungan responden pasca enam tahun POMP filariasis (keberadaan rawa di sekitar rumah, jarak rumah responden dengan rumah penderita, keberadaan hewan reservoir dan keberadaan hewan ternak).

4. Mengidentifikasi pengetahuan responden pasca enam tahun POMP filariasis (gejala, cara penularan, akibat, cara pencegahan penyakit filariasis)

5. Mengidentifikasi sikap responden pasca enam tahun POMP filariasis (upaya pencegahan dan pemberantasan filariasis).

6. Mengidentifikasi faktor perilaku responden pasca enam tahun POMP filariasis (riwayat pengobatan, perilaku pengobatan, perilaku penggunaan kelambu, perilaku penggunaan antinyamuk, perilaku keluar rumah).

2.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi terkait evaluasi kegiatan pengobatan massal dalam menentukan keberhasilan POMP filariasis dan sejauh mana pemutusan rantai penularan filariasis telah dicapai. Selain itu, mengetahui faktor risiko pasca enam tahun POMP filariasis di Kabupaten Bangka Barat terkait dengan kejadian filariasis, faktor lingkungan, pengetahuan, sikap dan perilaku.

(21)

4 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Teori

Menurut Hendrik L. Blum, terdapat 4 faktor yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat yaitu faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor keturunan11. Diantara keempat faktor tersebut, lingkungan dan perilaku mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap status kesehatan. Bagan kerangka Blum dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

3.2. Kerangka Konsep

Pada penelitian ini tidak semua indikator dikumpulkan, indikator yang ditanyakan adalah sebagai berikut :

a. Status kesehatan yang akan diukur adalah filariasis berdasarkan pemeriksaan filtrasi darah vena.

b. Faktor lingkungan mencakup variabel : - Keberadaan rawa di sekitar rumah

- Jarak rumah responden dengan rumah penderita - Keberadaan Hewan Reservoir

- Keberadaan Hewan Ternak c. Faktor Perilaku mencakup variabel :

Status Kesehatan Keturunan

Lingkungan

Pelayanan Kesehatan

Perilaku

(22)

5

- Pengetahuan terhadap gejala, cara penularan, akibat, cara pencegahan penyakit filariasis

- Sikap terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan filariasis - Riwayat Pengobatan

- Perilaku Pengobatan

- Perilaku Penggunaan Kelambu - Perilaku Penggunaan antinyamuk - Perilaku keluar rumah malam hari

Variabel-variabel penelitian digambarkan dalam kerangka konsep berikut :

Perilaku

- Riwayat Pengobatan - Perilaku Pengobatan

- Perilaku Penggunaan Kelambu - Perilaku Penggunaan antinyamuk - Perilaku keluar rumah malam hari Karakteristik Responden

- Umur

- Jenis kelamin - Pendidikan

- Jumlah Anggota Rumah Tangga - Lama tinggal

- Status migrasi

- Riwayat demam berulang -

KEJADIAN FILARIASIS - Pemeriksaan filtrasi

darah vena : a. Mf rate b. Kepadatan

mikrofilaria

c. Spesies mikrofilaria

Lingkungan

- Keberadaan rawa di sekitar rumah - Jarak rumah responden dengan rumah

penderita

- Keberadaan Hewan Reservoir - Keberadaan Hewan Ternak Pengetahuan

- Penyebab filariasis - Gejala filariasis - Penularan filariasis

- Akibat yang ditimbulkan filariasis - Pencegahan filariasis

Sikap

- Sikap terhadap pencegahan - Sikap terhadap pemberantasan

(23)

6 3.3. Desain dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dan menggunakan desain cross sectional dengan penyajian hasil pengamatan secara deskriptif.

3.4. Tempat dan Waktu

Penelitian telah dilakukan di Kabupaten Bangka Barat selama 8 bulan (April sampai dengan November 2016).

3.5. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah seluruh penduduk di Kabupaten Bangka Barat dengan target penduduk tinggal di daerah yang telah melakukan kegiatan pengobatan massal selama 5 tahun.

Sampel penelitian adalah penduduk usia ≥ 20 tahun yang tinggal di Desa Tuik, Desa Teluk Limau, Desa Puput dan Desa Cupat. Pemilihan desa berdasarkan hasil pelaksanaan Transmission Assesment Survey (TAS) tahun 2014 dengan menggunakan RDT pada anak usia 6-7 tahun yang menunjukkan hasil 9 anak positif.

3.6. Besar Sampel, Cara Pemilihan atau Penarikan Sampel

Jumlah responden untuk wawancara dan pemeriksaan filtrasi darah vena sebanyak 150 orang. Sampel diambil dari empat desa yaitu Desa Tuik, Desa Teluk Limau, Desa Puput dan Desa Cupat. Pemilihan sampel diambil secara purposive sampling yaitu peneliti memilih dari populasi sampel yang memenuhi kriteria sampel yang telah ditetapkan dalam penelitian. Penarikan sampel dilakukan dengan cara quota sampling. Sampel diambil dengan menentukan terlebih dahulu rumah penderita kronis dan atau baru berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Barat, kemudian dilanjutkan dengan tetangga terdekat sampai mencapai besar sampel dari masing-masing desa. Besar sampel untuk setiap desa di ambil berdasarkan proporsi kasus filariasis data Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Barat.

3.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria Inklusi :

1. penduduk berusia ≥ 20 tahun.

2. Bersedia diambil darah vena.

(24)

7 Kriteria Eksklusi :

1. Menderita penyakit berat seperti diabetes, hipertensi, penyakit cardiovaskuler 2. Tidak mau dilakukan wawancara

3.8. Variabel

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari kejadian filariasis, karakteristik responden, pengetahuan, sikap, perilaku, dan lingkungan.

1. Kejadian filariasis berdasarkan pemeriksaan filtrasi darah vena untuk menilai Mf rate, kepadatan mikrofilaria dan menentukan spesies mikrofilaria.

2. Karakteristik Responden meliputi : umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota rumah tangga, lama tinggal, status migrasi dan riwayat demam berulang.

3. Pengetahun meliputi : gejala, cara penularan, akibat, cara pencegahan penyakit filariasis.

4. Sikap meliputi : upaya pencegahan dan pemberantasan filariasis.

5. Perilaku meliputi : riwayat pengobatan, perilaku pengobatan, perilaku penggunaan kelambu, perilaku penggunaan antinyamuk, dan perilaku keluar rumah malam hari.

6. Lingkungan meliputi : Keberadaan rawa di sekitar rumah, jarak rumah responden dengan rumah penderita, keberadaan hewan reservoir dan keberadaan hewan ternak.

(25)

8 3.9. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur Skala

1 Umur Umur subyek penelitian berdasarkan ulang tahun terakhir 1. 20-29 tahun 2. 30-39 tahun 3. 40-49 tahun 4. ≥ 50 tahun

Ordinal

2 Jenis kelamin Jenis kelamin berdasarkan ciri fisik dari subyek penelitian 1. Pria 2. Wanita

Nominal

3 Pendidikan Status pendidikan tertinggi yang ditamatkan 1. Tidak sekolah 2. Tidak tamat SD 3. SD

4. SMP 5. SMA

6. Akademi/PT

Ordinal

4 Pekerjaan Jenis pekerjaan utama yang menyita waktu paling banyak 1. Petani/nelayan 2. Buruh

3. PNS/TNI/POLRI 4. Wiraswasta 5. Tidak bekerja 6. Lainnya

Nominal

(26)

9

No Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur Skala

4 Jumlah Anggota Rumah Tangga

Jumlah orang yang tinggal dalam rumah tangga tersebut dalam 6 tahun terakhir

...orang Rasio

5 Lama tinggal Berdasarkan rumah yang ditinggali terakhir saat survei dilakukan

...tahun Rasio

6 Status migrasi Berdasarkan rumah yang ditinggali sebelum rumah yang sekarang ditempati (< tahun 2010)

1. Ya 2. Tidak

Nominal

7 Riwayat demam berulang Riwayat demam berulang 3-4 kali dalam sebulan untuk 1 tahun terakhir

1. Ya 2. Tidak

Nominal

8 Riwayat Pemeriksaan SDJ Riwayat pemeriksaan darah jari oleh petugas kesehatan kepada responden

1. Ya 2. Tidak

Nominal

9 Kejadian Filariasis Berdasarkan hasil pemeriksaan filtrasi darah vena berdasarkan pemeriksaan mikroskop

1. Positif 2. Negatif

Nominal

10 Mikrofilaria rate Angka mikrofilaria rate dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan darahnya positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali 100%

...% Rasio

11 Kepadatan mikrofilaria Kepadatan parasit mikrofilaria pada penderita filariasis dengan perhitungan kepadatan parasit dalam 1 ml darah

...mikroliter Rasio

(27)

10

No Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur Skala

12 Spesies mikrofilaria Spesies mikrofilaria berdasarkan pemeriksaan spesimen di bawah mikroskop dengan pembesaran (10x40)

1.Wuchereria bancrofti 2. Brugia malayi 3. Brugia timori

Nominal

13 Pengetahuan Pengetahuan yang dimiliki responden meliputi gejala, cara penularan, akibat, cara pencegahan penyakit filariasis.

1. Baik

2. Kurang baik

Ordinal

14 Sikap Peryataan sikap responden terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit filariasis.

1. Setuju 2. Tidak Setuju

Nominal

15 Riwayat pengobatan Riwayat pengobatan filariasis yang diterima subyek secara selektif maupun massal

1. 1 kali 2. 2 kali 3. 3 kali 4. 4 kali 5. 5 kali

6. Tidak pernah

Ordinal

16 Perilaku pengobatan Perilaku subyek untuk minum obat filariasis yang diberikan petugas kesehatan

1. Ya 2. Tidak

Nominal

17 Perilaku penggunaan kelambu Kebiasaan responden tidur menggunakan kelambu pada malam hari berdasarkan jawaban responden

1. Tidak 2. Ya

Nominal

(28)

11

No Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur Skala

18 Perilaku penggunaan antinyamuk

Kebiasaan responden menggunakan obat antinyamuk pada malam hari

1. Tidak 2. Ya

Nominal

19 Perilaku keluar rumah malam hari

Kebiasaan responden keluar rumah pada malam hari 1. Tidak 2. Ya

Nominal

20 Keberadaan rawa disekitar rumah

Rawa disekitar rumah responden dengan jarak 500 meter berdasarkan jawaban responden

1. Ada 2. Tidak

Nominal

21 Jarak rumah responden dengan rumah penderita

Jarak tempat tinggal subyek dengan tempat tinggal penderita berdasarkan jawaban responden

1. ≤ 500 m 2. > 500 m

Ordinal

22 Keberadaan hewan reservoir Hewan peliharaan kucing dan atau kera di sekitar rumah responden berdasarkan jawaban responden

1. Ada 2. Tidak

Nominal

23 Keberadaan hewan ternak Hewan ternak sapi, kerbau, dan kambing di sekitar rumah responden berdasarkan jawaban responden

1. Ada 2. Tidak

Nominal

(29)

12 3.10. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data

Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pengambilan filtrasi darah vena, alat pewarnaan spesimen darah, alat pemeriksaan darah dengan menggunakan mikroskop, dan kuesioner wawancara.

Cara pengumpulan data

1. Pemeriksaan filtrasi darah vena dilakukan untuk memperoleh data mikrofilaria rate, kepadatan parasit dan spesies mikrofilaria.

2. Wawancara dengan kuesioner dilakukan untuk memperoleh data karakteristik responden.

3. Wawancara dengan kuesioner dilakukan untuk memperoleh data pengetahuan, sikap dan perilaku.

4. Wawancara dengan kuesioner dilakukan untuk memperoleh data lingkungan.

5. Data kejadian filariasis diperoleh dari laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Barat

3.11. Bahan dan Prosedur Kerja

1. Bahan dan alat pengambilan darah dengan metode filtrasi a. Spuit 5 ml

b. Spuit 20 ml c. Beacker glass d. Filter holders

e. Membran polikarbonat ukuran 25 mm, dengan ukuran pori-pori 3-5 um f. Tabung darah dengan EDTA

g. Cover glass h. Plester i. Object glass j. Kapas kering k. Kapas alkohol l. Sarung tangan m. Masker

n. Metanol absolut o. Alkohol 70%

(30)

13 p. Garam fisiologis

q. Giemsa r. Aquades s. Tissue gulung t. Box slide u. Trombophobe

v. Formulir pengambilan darah

2. Prosedur Kerja

a. Persiapan penelitian

Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan perijinan ke Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kesbangpol dan Linmas.

b. Pengumpulan data Pengetahuan, sikap, perilaku dan lingkungan

1) Pengumpulan data lingkungan dan perilaku dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner. Responden yang akan dilakukan wawancara dan pemeriksaan filtrasi darah vena dikumpulkan di tempat umum seperti di balai desa.

2) Responden untuk pengumpulan data wawancara dan pemeriksaan filtrasi darah vena adalah penduduk usia ≥ 20 tahun.

3) Wawancara dilakukan oleh tim penelitian dari Loka Litbang P2B2 Baturaja.

4) Sebelum dilakukan wawancara, pewawancara harus menerangkan secara jelas sesuai dengan naskah penjelasan mengenai tujuan wawancara dan pemeriksaan sehingga responden dapat memahami tujuan pelaksanaan penelitian. Meminta persetujuan dari responden atau yang mewakili bahwa mereka tidak keberatan atau secara sukarela setuju untuk diwawancarai dan dilakukan pemeriksaan. Bila setuju, maka responden diminta untuk menandatangani/’cap jempol’ pada lembar persetujuan setelah penjelasan (PSP/informed consent)

(31)

14

c. Pengambilan Spesimen darah untuk pemeriksaan mikroskopis

Pengambilan spesimen filtrasi darah vena dilakukan pada malam hari dimulai pukul 20.00-00.00 WIB. Pengambilan volume darah sebanyak 1 ml dilakukan oleh perawat dan didampingi oleh dokter. Langkah-langkah pengambilan spesimen darah dengan filtrasi darah vena (Nucleopore filters) adalah sebagai berikut12:

1) Menyiapkan formulir survei darah.

2) Mencatat dalam formulir survei darah berupa nomor urut, nama, umur, jenis kelamin, dan kode sediaan bagi warga yang akan diambil spesimen darah

3) Memberi nomor dengan spidol waterproof sesuai dengan kode sediaan yang telah ditetapkan dalam formulir survei darah pada kaca benda (slide) yang sudah bersih dari lemak dan kotoran.

4) Mengumpulkan darah vena sebanyak 1 ml dari masing-masing responden menggunakan spuit 5 ml.

5) Sampel darah segar dimasukkan ke dalam tabung darah berisi EDTA.

6) Menempatkan membran nucelopore ke dalam filter holder kemudian letakkan karet sebagai penahan membran dan kencangkan.

7) Menyiapkan spuit ukuran 20 ml, kaca benda dan beacker glass.

8) Memasangkan spuit 20 ml yang telah dilepas bagian pendorongnya ke bagian holder yang telah disiapkan.

9) Memasukkan darah 1 ml ke dalam spuit 20 ml kemudian tambahkan larutan garam fisiologis sebanyak 10 ml, tutup bagian bawah holder menggunakan jari telunjuk

10) Meletakkan holder yang telah disatukan dengan spuit berisi darah dan larutan garam fisiologis di atas beacker glass

11) Memasang kembali pendorong spuit untuk mendorong sampel melalui membran.

12) Mengisi kembali spuit dengan aquades 10 ml kemudian mendorong sampel melalui membran

13) Mengulangi kembali no. 12 dengan mengisi spuit dengan udara dan mendorong sampel melalui membran

(32)

15

14) Melepas spuit dari holder kemudian membuka holder dan mengeluarkan membran secara hati-hati dengan menggunakan pinset

15) Meletakkan membran di atas object glass dan diamkan hingga kering.

d. Pembuatan larutan Giemsa

Masukkan larutan giemsa sebanyak 25 ml ke dalam beacker glass kemudian tambahkan buffer pH 7,2 atau aquadest sampai 500 ml dengan perbandingan 1:20 kemudian homogenkan.

e. Pewarnaan Sediaan Darah

1) Sediaan darah diletakkan berjajar di tempat yang datar.

2) Letakkan spesimen membran di atas rak pewarnaan kemudian fiksasi menggunakan metanol sebanyak 3 ml, diamkan hingga kering

3) Spesimen membran diwarnai dengan cara ditetesi larutan Giemsa sampai semua permukaan sediaan tergenang larutan Giemsa (kurang lebih 20 tetes) dan didiamkan selama 30 menit.

4) Kemudian spesimen membran dibilas dengan air bersih dan dikeringkan dalam suhu kamar selama 24-72 jam

5) Setelah kering, sediaan membran disusun dan disimpan dalam box slide.

f. Pemeriksaan mikroskopis

1) Sediaan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran rendah (10x10)

2) Jumlah mikrofilaria yang tampak pada seluruh lapangan pandang dihitung dengan cara menggeser sediaan. Hasil pemeriksaan dilakukan untuk menentukan antara lain :

a) Kepadatan mikrofilaria

Kepadatan rata-rata mikrofilaria dari hasil survei filtrasi darah vena di satu desa adalah angka rata-rata mikrofilaria per ml darah, yaitu dengan menjumlahkan semua mikrofilaria yang ditemukan pada semua sediaan, dibagi dengan jumlah orang yang sediaanya positif mikrofilaria dikalikan faktor pengali.

(33)

16

b) Menghitung angka mikrofilaria rate

Angka mikrofilaria rate dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan darahnya positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali 100%.

c) Menentukan spesies mikrofilaria

Spesies mikrofilaria ditentukan dengan memeriksa spesimen di bawah mikroskop dengan pembesaran tinggi (10 x 40). Perbedaan jenis-jenis mikrofilaria yang terdapat di Indonesia didasarkan pada morfologi atau karakteristiknya.

3.12. Manajemen Data dan Analisis Data

Analisis univariat dilakukan terhadap seluruh variabel penelitian untuk memperoleh distribusi frekuensi dari masing-masing variabel. Hasil analisis univariat disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan grafik. Analisis bivariat dilakukan untuk mengkaji korelasi antara karakteristik, faktor lingkungan, faktor pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap kejadian filariasis. Spesimen darah yang telah diperiksa akan dilakukan cross check terhadap semua sediaan positif mikrofilaria dan minimal 10%

sediaan darah negatif.

(34)

17 BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah

Kabupaten Bangka Barat dengan ibukota Muntok memiliki luas wilayah 2884,15 km2 dan berpenduduk sebanyak 192.395 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 66 jiwa per km2 pada tahun 2014. Secara geografis kabupaten ini terletak pada 105° Bujur Timur dan 1° sampai 2° Lintang Selatan. Daerah ini terletak di bagian barat Pulau Bangka dengan batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Bangka, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bangka, Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Natuna dan Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Bangka.

Wilayah Kabupaten Bangka Barat untuk tahun 2014 memiliki variasi curah hujan antara 0,8 hingga 311 mm tiap bulan dengan curah hujan terendah pada bulan September.

Suhu rata-rata antara 25,7 hingga 28,2°C, sedangkan kelembaban udara antara 70 sampai dengan 86 %. Tanah di daerah Kabupaten Bangka Barat mempunyai pH rata-rata di bawah 5, dengan kandungan didalamnya berupa mineral biji mineral dan bahan galian seperti pasir kwarsa, kaolin, batu gunung dan lain-lain.

Ditinjau dari sudut geografisnya, Bangka Barat merupakan daerah strategis karena posisinya yang dekat dengan Pulau Sumatera sehingga menjadi pintu gerbang masuknya barang dan penumpang dari Pulau Sumatera yang melewati laut. Kabupaten in terbagi menjadi enam kecamatan yaitu Muntok, Simpang Teritip, Kelapa, Jebus, Parit Tiga dan Tempilang.

4.2. Program Pengendian Filariasis di Kabupaten Bangka Barat 1. Distribusi Penderita Filariasis

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Barat tahun 2016 jumlah keseluruhan kasus kronis yang dilaporkan sebanyak 27 kasus terdiri dari 15 kasus pada laki-laki dan 12 pada wanita. Wilayah puskesmas yang memiliki kasus terbanyak adalah Puskesmas Tempilang dengan jumlah kasus sebesar 10 penderita yang tersebar di enam desa. Desa Sangku merupakan desa dengan jumlah kasus

(35)

18

kronis terbanyak (5 penderita). Tabel 1 menyajikan data kasus kronis filariasis yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Barat tahun 2016.

Tabel 1 Distribusi kronis filariasis per puskesmas dan per desa di Kabupaten Bangka Barat tahun 2016

Puskesmas Desa Penderita Kronis

Pria Wanita

Muntok Kelapa

Jebus Puput Sekar Biru Tempilang

Air Putih Tanjung Kayu Arang Tuik

Mancung Dendang Kedondong Air Gantang Semulut Sangku Penyamak Tempilang Buyan Kelumbi Tanjung Niur Sinar Surya

1 1 2 2 0 0 1 1 1 2 1 1 1 1 0

0 0 2 1 1 1 0 3 0 3 0 0 0 0 1

Jumlah 15 12

2. Kegiatan POMP dan Evaluasi Pasca POMP

Kegiatan POMP filariasis dilaksanakan sekali setahun, selama minimal lima tahun berturut-turut, kemudian diikuti dengan evaluasi dampak setelah POMP dihentikan serta menerapkan surveilans ketat pada periode stop POMP filariasis.

Data Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Barat tahun 2014 menyebutkan lima kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bangka Barat merupakan daerah dengan filariasis. Kegiatan pengobatan massal filariasis di Bangka Barat memasuki putaran kelima pada tahun 2009. Implementation Unit (IU) yang digunakan dalam program eliminasi filariasis adalah Kabupaten, baik untuk penentuan endemisitas maupun pengobatan massal.

Survei evaluasi prevalensi mikrofilaria sesudah POMP filariasis tahun ke-5 telah dilakukan pada tahun 2010 dengan menggunakan metode SDJ. Hasil dari survei evaluasi ini menunjukkan angka microfilaria rate <1%. Hal ini berarti bahwa Kabupaten Bangka Barat telah mencapai kondisi Pre Eliminasi Filariasis, sehingga dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan survei evaluasi penularan filariasis atau Transmission Assesment Survey (TAS). Kegiatan surveilans ini dilakukan

(36)

19

untuk memonitor dan evaluasi ada tidaknya rantai penularan filariasis setelah serangkaian kegiatan POMP filariasis. Sasaran survei TAS ini adalah anak-anak berumur 6-7 tahun menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT).

Pelaksanaan survei TAS telah dilakukan pada tahun 2012 (TAS-1) dan 2014 (TAS-2). TAS-1 didapatkan hasil negatif untuk semua anak yang diperiksa, sedangkan TAS-2 diperoleh 9 anak positif berdasarkan hasil RDT. Pelaksanaan TAS-2 dilakukan di lima desa yaitu Tuik, Kelapa, Cupat, Teluk Limau dan Puput.

Tabel 1 menggambarkan data hasil TAS-2 tahun 2014.

Tabel 2 Hasil pemeriksaan TAS-2 di Kabupaten Bangka Barat tahun 2014 Puskesmas Desa Jenis Kelamin Hasil Pemeriksaan

RDT Jumlah

Laki-laki Perempuan Kelapa

Puput

Tuik Kelapa Cupat Teluk Limau Puput

0 3 1 0 0

1 1 1 1 1

Positif Positif Positif Positif Positif

1 4 2 1 1

Jumlah 4 5 9

3. Pemeriksaan dengan Metode Membran Filter

Survei darah filariasis menggunakan metode membran filter telah dilakukan terhadap penduduk terpilih di empat desa, yaitu Desa Cupat, Teluk Limau, Puput dan Tuik. Proporsi jumlah responden yang diperiksa untuk masing-masing desa diambil berdasarkan jumlah kasus yang ada di setiap desa tersebut, sehingga didapatkan jumlah seluruh penduduk yang diperiksa sebanyak 150 orang. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan tiga orang positif mikrofilaria di Desa Tuik, sedangkan responden di Desa Teluk Limau, Cupat dan Puput tidak ditemukan mikrofilaria. Hasil pemeriksaan darah telah dilakukan crosscheck antara petugas Loka Litbang P2B2 Baturaja dengan Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar.

Hasil survei darah di Desa Tuik menunjukkan proporsi kejadian filariasis di desa tersebut sebesar 3,6 persen, sedangkan proporsi kejadian filariasis di empat desa penelitian adalah 2 persen. Jenis cacing yang berhasil ditemukan dalam penelitian ini adalah Brugia malayi yang ditandai dengan adanya sarung berwarna merah muda serta perbandingan lebar dan panjang ruang kepala adalah 1:2.

(37)

20

Kepadatan mikrofilaria dari tiga responden yang positif mikrofilaria adalah 116, 245, dan 112 per 1 ml darah.

Jumlah positif mikrofilaria paling banyak dijumpai pada responden yang belum pernah minum obat pencegahan filariasis. Responden dengan mikrofilaria teridentifikasi pada golongan umur 50 tahun ke atas, dimana dua dari tiga respondennya adalah perempuan. Salah satu responden mengalami riwayat demam berulang pada satu bulan terakhir.

Hasil pemeriksaan darah menggunakan metode membran filter dan karakterisasi responden dengan mikrofilaria dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.

Tabel 3 Hasil pemeriksaan darah menggunakan metode membran filter Kecamatan Desa Jumlah

Sampel

Positif Mf

Proporsi Kejadian Filariasis

Kelapa Tuik 83 3 3,6%

Puput Teluk Limau Cupat Puput

17 33 17

0 0 0

0%

0%

0%

Jumlah 150 3 2%

(38)

21 Tabel 4 Karakterisasi responden berdasarkan hasil pemeriksaan darah

No Id

Subyek

Umur/Jenis Kelamin

Pendidikan Pekerjaan Alamat Riwayat

Demam

Berapa kali minum obat

Penderita di keluarga/tetangga

Hasil Pemeriksaan

L P Ya Tdk Ya Tdk Spesies Kepadatan

1

2

3

T.19

T.58

T.69 85 th

70 th

50 th

SD

Tidak Tamat SD

SD

Petani

Petani

Petani

Desa Tuik

Desa Tuik

Desa Tuik

2 kali

-

1 kali

Brugia malayi Brugia malayi Brugia malayi

116 Mf/ml

245 Mf/ml

112 Mf/ml

(39)

22

4.3. Karakteristik, Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat tentang Filariasis 1. Karakteristik Responden

Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 150 orang terdiri dari 17 responden berasal dari Desa Teluk Limau, 33 responden dari Desa Cupat, 17 responden dari Desa Puput dan 83 responden dari Desa Tuik. Berdasarkan kelompok umur, populasi yang paling tinggi adalah umur 50 tahun ke atas (34,7%).

Petani merupakan pekerjaan yang ditekuni oleh mayoritas masyarakat setempat.

Sebanyak 150 responden yang berhasil diwawancarai , 44 persen diantaranya merupakan petani karet maupun sahang, sisanya bekerja sebagai nelayan, PNS, wiraswasta, honor dan buruh. Sebagian besar responden yang diwawancarai berpendidikan tamatan SD (49,3%), sedangkan yang mempunyai pendidikan tinggi (lulusan perguruan tinggi) hanya sebesar 0,7 persen (Tabel 5).

Tabel 5 Sosiodemografi karakteristik responden

Variabel Sampel (N=150) Persen (%) Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

Kelompok Umur (tahun) 20-29

30-39 40-49 50 + Pendidikan

Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA

Tamat Akademi/PT Pekerjaan

Petani Buruh

PNS/TNI/POLRI Wiraswasta Nelayan Honor

Tidak Bekerja/IRT

44 106 28 35 35 52 9 30 74 18 18 1 66 5 1 9 5 2 62

29,3 70,7 18,7 23,3 23,3 34,7 6,0 20,0 49,3 12,0 12,0 0,7 44,0 3,4 0,7 6,0 3,3 1,3 41,3

Hasil wawancara dengan responden didapatkan bahwa sebagian besar adalah penduduk asli yang telah tinggal selama lebih dari 10 tahun (92,7%), sedangkan 2,7 persennya adalah penduduk yang sebelumnya berasal dari Belitang, Bengkulu, Jebus dan

(40)

23

Parit Tiga. Suatu keluarga di desa tersebut memiliki jumlah anggota keluarga kurang dari lima orang dengan rata-rata jumlah anggota keluarga dalam satu rumah adalah 4 orang.

Sebanyak 10,7 persen responden mempunyai riwayat demam berulang dalam satu bulan terakhir yang merupakan gejala awal adanya infeksi mikrofilaria dalam darah. Tujuh (4,7%) responden menyatakan pernah mendapatkan pemeriksaan darah jari oleh petugas kesehatan untuk mengetahui adanya cacing mikrofilaria (Tabel 4).

Tabel 6 Distribusi jumlah sampel menurut jumlah ART, lama tinggal, status Variabel Sampel (N = 150) Persen (%) Jumlah Anggota Rumah Tangga

< 5

≥ 5

Lama Tinggal

< 10 tahun

≥ 10 tahun Status Migrasi

Ya Tidak

Riwayat Demam Berulang Ya

Tidak

Riwayat Pemeriksaan Darah Jari Ya

Tidak

122 28 11 139 4 146 16 134 7 143

81,3 18,7 7,3 92,7 2,7 97,3 10,7 89,3 4,7 95,3 2. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Responden tentang Filariasis

a. Pengetahuan responden

Jumlah responden yang mengetahui tentang penyebab filariasis sebesar 2,7 persen, sedangkan sebagian besar responden (72%) tidak mengetahui mengenai penyebab filariasis. Sebanyak 4,7 persen responden dapat memberikan jawaban mengenai gejala awal dari filariasis yaitu adanya demam berulang, sedangkan 13,3 persen responden menyatakan gejala adanya perbesaran tubuh pada bagian kaki dan tangan.

Cara penularan filariasis melalui gigitan nyamuk hanya diketahui oleh 35,3 persen dari seluruh responden. Penyebab penularan filariasis lainnya menurut anggapan responden adalah melalui bersentuhan dan makan makanan penderita.

Sebanyak 11,3 persen responden menyatakan akibat yang ditimbulkan apabila seseorang terkena filariasis adalah cacat seumur hidup. Hasil wawancara menunjukkan pengetahuan responden terkait dengan upaya pencegahan terhadap

(41)

24

filariasis dengan minum obat pencegahan filariasis sebesar 20 persen, sedangkan pengetahuan pencegahan lainnya merupakan perlindungan terhadap gigitan nyamuk melalui penggunaan kelambu (2%), obat antinyamuk (4,7%) dan penggunaan kain kassa (0,7%) (Tabel 7).

Tabel 7 Pengetahuan Responden Mengenai Filariasis

Variabel Sampel

(N = 150)

Persentase (%) Penyebab Filariasis

Cacing Virus Keturunan Nyamuk Tidak tahu Gejala Filariasis

Demam berulang Benjolan

Perbesaran kaki/tangan/payudara Demam menggigil

Tidak tahu Cara Penularan

Gigitan nyamuk Bersentuhan Makanan Tidak tahu

Akibat yang Ditimbulkan Tidak dapat bekerja Cacat seumur hidup Rendah diri

Tergantung kepada orang lain Meninggal

Lainnya Tidak tahu Cara Pencegahan

Menggunakan kelambu

Menggunakan obat antinyamuk Memasang kawat kasa

Minum obat pencegahan filariasis Tidak Tahu

4 1 1 36 108 7 1 20 3 119 53 2 10 37 14 17 5 3 4 22 85 3 7 1 30 109

2,6 0,7 0,7 24,0 72,0 4,7 0,7 13,3 2,0 79,3 35,3 1,3 6,7 24,7 9,3 11,3 3,3 2,0 2,7 14,7 56,7 2,0 4,7 0,7 20,0 72,6

Hasil wawancara dan analisa data diketahui bahwa pengetahuan responden tentang filariasis kurang baik (96%). Hanya 4 persen responden yang mengetahui penyebab, gejala, cara penularan, akibat yang ditimbulkan dan cara pencegahan.

Status pengetahuan responden terhadap filariasis dapat dilihat pada grafik 1.

(42)

25

Gambar 1 Grafik pengetahuan responden tentang filariasis b. Sikap responden

Sikap responden dalam upaya pencegahan dan pemberantasan filariasis termasuk dalam kategori baik. Hal ini terlihat dari tingginya persentase responden yang menyetujui untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan filariasis. Hampir seluruh responden setuju untuk minum obat pencegahan (99,3%), melakukan pemeriksaan darah sebesar 98 persen, memanfaatkan rawa menjadi lahan produktif sebanyak 93,3 persen serta menghindari gigitan nyamuk (92,7%)

Gambar 2 Grafik sikap responden terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan filariasis

4

96

2.7

18

35.3 34

27.3 97.3

82

64.7 66

72.7

0 20 40 60 80 100 120

Baik Kurang baik Penyebab Gejala Cara

penularan

Akibat yang ditimbulkan

Cara pencegahan

86.7

13.3

92.7 99.3 98

93.3

7.3 0.7 2 6.7

0 20 40 60 80 100 120

Setuju Tidak setuju Menghindari

gigitan nyamuk

Memakan obat pencegahan

Pemeriksaan darah

Pemanfaatan rawa

(43)

26 c. Perilaku responden

Proporsi responden yang sudah pernah mendapatkan pengobatan pencegahan filariasis sebesar 70 persen, dimana 66 persen dari responden tersebut bersedia minum obat tersebut. Sedangkan 4 persen responden menolak minum karena alasan hamil (33,3%), efek samping pusing dari obat (16,7) dan merasa sehat sehingga tidak perlu minum obat (50%). Meskipun 66 persen responden sudah pernah mimun obat pencegahan filariasis, namun hanya 2 persen responden yang minum obat pencegahan sebanyak lima kali (Grafik 3).

Gambar 3 Grafik Kepatuhan responden minum obat pencegahan filariasis

Hasil wawancara terhadap responden menunjukkan bahwa 73,3 persen responden menggunakan kelambu pada saat tidur malam hari. Selain itu, reponden juga menggunakan obat antinyamuk sebagai upaya perlindungan diri terhadap gigitan nyamuk (65,3%). Aktifitas keluar rumah pada malam hari dilakukan oleh sebagian masyarakat (78,7%). Hal ini akan menyebabkan seseorang lebih mudah untuk tergigit nyamuk.

Tabel 8 Proporsi perilaku perlindungan diri responden terhadap gigitan nyamuk dan perilaku keluar rumah pada malam hari

Variabel Sampel Jumlah Persen (%)

Perilaku penggunaan kelambu Ya

Tidak

Perilaku penggunaan antinyamuk Ya

Tidak

Perilaku keluar malam Ya

Tidak

150

150

150

110 40 98 52 118 31

73,3 26,7 65,3 34,7 78,7 21,3

70%

30%

Mendapat obat Tidak mendapat obat

66

4

38 17.3

7.3 1.3 2 0

10 20 30 40 50 60 70

(44)

27

Lingkungan mempunyai pengaruh terhadap distribusi filariasis dan mata rantai penularannya. Sebanyak 23,2 persen responden menyatakan bahwa di sekitar rumahnya terdapat rawa. Keberadaan rawa merupakan tempat potensial yang erat kaitannya dengan kehidupan vektor. Lima puluh (33,3%) responden tinggal berdekatan dengan penderita filariasis. Rumah responden yang jaraknya ≤ 500 m dengan rumah penderita sebesar 29,3 persen. Keberadaan hewan reservoir seperti kucing dan kera di sekitar rumah responden sebesar 40,7 persen. Kucing dan kera mempunyai peran sebagai sumber penularan filariasis, terutama untuk cacing Brugia malayi. Hasil wawancara menunjukkan bahwa 2 persen responden disekitar rumahnya terdapat hewan ternak besar seperti sapi dan kambing. Hewan ternak dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk ke manusia (cattle barrier).

Tabel 9 Lingkungan Responden Mengenai Filariasis

Variabel Sampel Jumlah Persen (%)

Keberadaan rawa di sekitar rumah Ya

Tidak

Keberadaan penderita filariasis disekitar rumah Ada

Tidak

Jarak rumah responden dengan rumah penderita

≤ 500 m

> 500 m

Keberadaan hewan reservoir Ya

Tidak

Keberadaan hewan ternak Ya

Tidak

150

150

50

150

150

35 115 50 100 44 6 61 89 3 147

23,3 76,7 33,3 66,7 88,0 12,0 40,7 59,3 2,0 98,0 Pengetahuan responden di Desa Tuik dan responden positif mikrofilaria menunjukkan hasil belum mengetahui mengenai penyebab, gejala, dan cara penularan filariasis. Perilaku untuk menghindari gigitan nyamuk dilakukan dengan menggunakan kelambu dan obat antinyamuk. Akan tetapi, ketiga responden positif mikrofilaria mempunyai kebiasan keluar malam hari. Faktor lingkungan yang dapat berpotensi sebagai sumber penularan filariasis adalah keberadaan hewan reservoir seperti kucing di sekitar rumah.

(45)

28

Tabel 10 Karakteristik penderita berdasarkan pengetahuan, sikap, perilaku dan lingkungan

Variabel

% Kategori baik

responden T.19 T.58 T.69

Semua desa Desa Tuik

Pengetahuan Penyebab Gejala

Cara Penularan

Akibat yang ditimbulkan Cara pencegahan Sikap

Menghindari gigitan nyamuk Minum obat pencegahan filariasis

Pemeriksaan darah Pemanfaatan rawa

2,7 18,0 35,3 34,0 27,3 92,7 99,3 98,0 93,3

2,4 21,7 32,5 30,1 32,5 97,6 98,8 98,8 97,6

Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu Tahu Tahu Setuju Setuju Setuju Setuju

Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu Tdk setuju Setuju Tdk setuju Setuju

Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu Setuju Setuju Setuju Setuju Perilaku

Penggunaan kelambu Penggunaan antinyamuk Kebiasaan keluar malam Lingkungan

Keberadaan rawa di sekitar rumah

Keberadaan penderita di sekitar rumah

Jarak rumah responden dengan rumah penderita

Keberadaan hewan reservoir Keberadaan hewan ternak besar

73,3 65,3 78,7 23,3 33,3 29,3 40,7 2,0

95,2 73,5 86,7 18,1 32,5 26,5 39,8 2,4

Ya Ya Ya Tidak Tidak

≥500 m Ya Tidak

Ya Tidak Ya Tidak Tidak

≥500 m Tidak Tidak

Ya Tidak Ya Tidak Tidak

≥500 m Ya Tidak

(46)

29 BAB V PEMBAHASAN

A. Karakteristik Subyek Penelitian 1. Umur dan Jenis Kelamin

Berdasarkan kelompok umur, proporsi responden yang positif mikrofilaria ditemukan pada kelompok umur >50 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian Santoso yang menunjukkan proporsi kelompok umur yang paling banyak positif mikrofilaria adalah diatas 55 tahun. Risiko tertular filariasis pada usia diatas 50 tahun ke atas berkaitan dengan lamanya seseorang tersebut tinggal di daerah endemis, sehingga potensi untuk mendapatkan gigitan nyamuk vektor filariasis semakin besar. Penelitian di Sulawesi Tengah yang dilakukan Garjito dkk mengemukakan tidak ada hubungan antara umur dengan infeksi filaria (r= -0,094; p

= 0,214). Dalam hal ini semua golongan umur mempunyai kesempatan yang sama untuk terinfeksi filariasis.

Penularan filariasis dapat terjadi pada siapa saja tidak tergantung pada umur maupun jenis kelamin, tetapi terjadi karena adanya kontak dengan vektor filariasis (nyamuk) atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan 2 dari 3 responden dengan mikrofilaremia adalah perempuan. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat bahwa jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terinfeksi filariasis dibanding wanita.13 Hasil serupa yang dilakukan di Muaro Jambi juga menunjukkan bahwa responden dengan jenis kelamin laki-laki memiliki risiko 6,179 kali terkena filariasis dibandingkan dengan responden perempuan.10

Risiko penularan filariasis yang terjadi pada responden positif mikrofilaria lebih berhubungan dengan aktivitas keluar malam hari untuk mencari hiburan dengan menonton televisi di rumah tetangga tanpa menggunakan perlindungan diri terhadap gigitan nyamuk. Pencegahan kontak dengan nyamuk dapat dilakukan dengan pemakaian lotion antinyamuk ataupun menggunakan pakaian panjang pada saat melakukan aktivitas di luar rumah pada malam hari.

(47)

30 2. Pendidikan dan Pekerjakan

Tingkat pendidikan responden di wilayah penelitian masih rendah, dapat dilihat dari hasil menunjukkan lebih dari 50% responden berpendidikan SD ke bawah. Responden positif mikrofilaria memiliki tingkat pendidikan SD dan tidak tamat SD. Penelitian Santoso10 menyatakan bahwa pendidikan rendah memiliki risiko 9 kali terkena filariasis dibandingkan dengan pendidikan tinggi. Tingkat pendidikan berhubungan dengan pengetahuan seseorang. Penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi relatif lebih mudah menerima informasi yang diberikan oleh petugas kesehatan sehingga cenderung berperilaku lebih positif terhadap pencegahan suatu penyakit. Hasil berbeda dilaporkan dalam penelitian Nazeh et al14 di Malaysia didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian filariasis.

Jenis pekerjaan sebagian besar responden adalah petani termasuk responden positif mikrofilaria. Penelitian yang dilakukan Nasrin15 di Kabupaten Bangka Barat menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan kejadian filariasis (p=0,025; OR = 3,695). Orang yang memiliki pekerjaan berisiko seperti petani karet akan berpeluang untuk terinfeksi filariasis. Kebiasaan penduduk sebagai petani karet yang berangkat ke kebun pada pagi hari dan pulang pada sore hari meningkatkan risiko untuk kontak dengan nyamuk vektor filariasis, didukung juga dengan kebiasaan bermalam di kebun. Upaya pencegahan yang bisa dilakukan untuk mengurangi kontak dengan nyamuk vektor filariasis saat melakukan aktivitas di kebun adalah menggunakan pakaian panjang atau obat lotion antinyamuk.

3. Lama tinggal dan riwayat demam berulang

Responden dengan mikrofilaremia merupakan penduduk asli yang telah tinggal lebih dari 10 tahun di wilayah tersebut. Hasil penelitian Santoso10 di Muaro Jambi melaporkan bahwa responden yang tinggal di daerah endemis > 5 tahun memiliki risiko 6,850 kali terkena filariasis dibandingkan dengan responden yang tinggal di daerah endemis ≤ 5 tahun.

Apabila suatu daerah terdapat seseorang yang di dalam tubuhnya terdapat cacing filaria dan di tempat tinggalnya terdapat nyamuk penular yang sesuai, maka daerah sekitarnya adalah daerah penularan. Orang yang mengidap cacing dewasa dalam tubuhnya, maka cacing tersebut akan bertahan hidup cukup lama mencapai

(48)

31

periode waktu hidup 5-7 tahun, artinya penularan terus terjadi pada orang-orang disekitarnya. Selain itu, mobilisasi penduduk dari daerah endemis ke non endemis atau sebaliknya, juga berpotensi menjadi media terjadinya penyebaran filariasis antar daerah.

Gejala demam berulang merupakan salah satu gejala awal akibat infeksi larva stadium tiga infektif dari mikrofialria. Reaksi yang ditimbulkan akibat perkembangan larva dalam tubuh berupa respon imun yang mengakibatkan timbulnya demam secara berulang. Satu dari tiga responden yang positif mikrofilaria mengalami demam berulang dalam 1 bulan terakhir.

Gejala awal filariasis berupa demam sering dianggap demam biasa oleh masyarakat. Penderita biasanya baru mengetahui penyakitnya setelah timbul gejala kronis berupa pembengkakan di kaki maupun tangan.16 Penelitian yang dilakukan oleh Santoso17 di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, melaporkan ada hubungan bermakna antara riwayat demam berulang dengan kejadian filariasis (P = 0,0007; OR 21,2; CI = 4,1-108,7).

B. Kejadian Filariasis Pasca Enam Tahun Pemberian Obat Massal Pencegahan Filariasis

Program eliminasi filariasis di Kabupaten Bangka Barat telah dilaksanakan melalui pemberian obat massal pencegahan filariasis sampai dengan tahun kelima.

Hasil evaluasi prevalensi mikrofilaria pasca pengobatan massal di Kabupaten Bangka Barat turun menjadi < 1% pada tahun 2010 . Hal ini sesuai dengan penelitian Taniawati18 di Desa Mainang, Pulau Alor Nusa Tenggara Timur yang menunjukkan adanya penurunan prevalensi Mf rate dari 26% menjadi kurang dari 1% setelah pemberian obat massal putaran ke empat. Didukung dengan hasil penelitian yang di lakukan di Papua Nugini yang menunjukkan bahwa pemberian obat massal dapat menurunkan Mf rate dari 18,6% sebelum pengobatan massal menjadi 1,3% setelah pemberian obat massal tahun ketiga.4

Pemberian obat massal akan mengurangi kepadatan mikrofilaria secara cepat.

Akan tetapi apabila terdapat kontribusi orang dengan mikrofilaria yang tidak patuh dalam minum obat atau penderita dengan kepadatan mikrofilaria rendah maka akan mempertahankan rantai penularan filariasis. Berdasarkan hasil pemeriksaan darah menggunakan metode membran filter didapatkan 3 individu positif mikrofilaria dari

(49)

32

150 orang diperiksa (proporsi kejadian filariasis 2%±0,6%), terdiri dari dua perempuan (70 dan 50 tahun) dan satu laki-laki (85 tahun) dengan kepadatan mikrofilaria 116, 245, dan 112 MF/ml. Ketiganya merupakan penderita mikrofilaremia yang baru terdeteksi pada saat penelitian.

Masih ditemukannya individu positif mikrofilaria pasca pengobatan massal berhubungan dengan kepatuhan seseorang untuk minum obat pencegahan filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan. Tiga orang dengan mikrofilaria yang ditemukan, dua diantaranya pernah mendapatkan pengobatan 2 kali dan 1 kali. Satu orang lainnya belum pernah mendapatkan pengobatan dan pemeriksaan darah sebelumnya. Berdasarkan pengakuan responden yang telah mendapatkan obat pencegahan selama dua kali, obat tersebut di minum pada tahun 2014. Sedangkan yang mendapat obat 1 kali, tidak ingat kapan mendapatkan obat tersebut. Hasil serupa pada penelitian di Alor menyebutkan bahwa 1 responden mengalami peningkatan kepadatan mikrofilaria dari 88 menjadi 1356Mf/ml dan setelah ditelusuri ternyata responden tidak minum obat pada tahap pertama pengobatan dengan alasan efek samping dari obat yang membuat pusing.18

Pembagian obat secara langsung kepada masyarakat disertai dengan pengawasan dalam minum obat oleh petugas kesehatan merupakan salah satu upaya yang efektif untuk memaksimalkan cakupan minum obat pencegahan filariasis. Selain itu, keberhasilan pengobatan filariasis juga tergantung pada penyampaian program pengobatan kepada masyarakat dan pengetahuan dari masyarakat sebagai penerima program tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Lasbudi19 yang menyatakan bahwa ketidaktahuan responden terhadap kegiatan pengobatan filariasis di daerahnya dan kurangnya sosialisasi berhubungan bermakna dengan kesediaan minum obat.

C. Faktor Lingkungan Responden

Ditemukannya penderita filariasis di suatu wilayah menggambarkan adanya sumber penularan di wilayah tersebut. Selain itu, kondisi lingkungan juga menjadi salah satu faktor penentu adanya penularan filariasis. Tersedianya habitat tempat perindukan akan berpengaruh terhadap munculnya sumber penularan filariasis. Faktor lingkungan yang mempunyai risiko terhadap penularan filariasis di wilayah penelitian adalah keberadaan rawa, keberadaan penderita filariasis dan adanya hewan reservoir (kucing).

Gambar

Gambar  2  Grafik  sikap  responden  terhadap  upaya  pencegahan  dan  pemberantasan filariasis 4 96  2.7  18  35.3  34  27.3 97.3 82 64.7 66  72.7 020406080100120
Gambar 3 Grafik Kepatuhan responden minum obat pencegahan filariasis

Referensi

Dokumen terkait

NHLNXWVHUWDDQ GDODP RUJDQLVDVL VRVLDO 7LQJNDW SDUWLVLSDVL SHWDQL KXWDQ GDODP 3+%0 0XQJJRUR GDQ $OLDGL SHUHQFDQDDQ NHJLDWDQ SURJUDP 3+%0 SHQDQDPDQ WDQDPDQ NHUDV GDQ WDQDPDQ

Dalam eksperimen pesawat atwood ini terdapat gerak lurus beraturan (GLB) dan geral lurus berubah beraturan (GLBB), yang mana GLB adalah gerak lurus pada arah mendatar dengan

Saat ini HPP seharusnya tidak terlalu memfokuskan diri bagaimana mendapatkan dana untuk dikelola secara mandiri namun fokusnya adalah untuk dapat meningkatkan

Rencana strategis biasanya mencakup periode lima tahun ke depan. Lima tahun adalah periode yang cukup panjang untuk megestimasikan konsekuensi dari keputusan program yang dibuat

Lokasi yang dijadikan studi instalasi cahaya panggung pertunjukan ini adalah gedung kesenian Sunan Ambu STSI Bandung.. Gambar 3.1 denah

Secara lebih spesifik, penelitian ini akan menunjukkan wilayah-wilayah yang telah menjadi basis usahaternak ayam ras petelur di Tasikmalaya, dan wilayah-wilayah yang

Perlu dilakukan penelitian dengan modifikasi media kultur untuk meningkatkan konsentrasi biomassa dan kadar protein mikroalga Chaetoceros calcitrans serta

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pelayanan kesiswaan dalam kegiatan ekstrakurikuler dapat mengembangkan nilai-nilai Islami melalui