5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Siklus Hidrologi
Menurut CD Soemarto (1995), hidrologi yaitu bidang ilmu tentang kehadiran serta gerakan air di alam, seperti bentuk air, yang terkait dengan bentuk perubahannya antara lain kondisi cair, padat, dan gas di dalam atmosfir bumi yang posisinya berada di atas dan di bawah permukaan tanah. Umumnya, Sri Harto (1990) menerangkan bahwasanya hidrologi merupakan bidang ilmu yang terkait persoalan tentang air. Berdasarkan agenda internasional yang berlangsung di Swiss tahun 1938 tentang kajian ilmiah dalam lingkup hidrologi, maka hidrologi dikelompokkan atas 3 cabang ilmu, yakni (1). Potamologi (yang berhubungan dengan air di permukaan tanah); (2). Kriologi (yang berhubungan dengan air es);
(3). Limnologi (yang berhubungan dengan perairan daratan).
Daur hidrologi merupakan suatu peristiwa alam yang menjelaskan alur pergerakan air dari bumi menuju lapisan atmosfer lalu kembali ke bumi, proses ini berlangsung secara koninyu (Chow, V.T., 1998). Poin-poin penting yang terkait dengan siklus hidrologi:
1. Daur hidrologi terdiri dari daur pendek, yaitu diwali hujan mengalir ke sungai, danau dan berakhir di laut.
2. Peristiwa daur hidrologi terjadi pada masa yang berbeda.
3. Intesitas dan frekuensi pada siklus hidrologi tergantung dengan letak geografis dan kondisi iklim. Perubahan posisi matahari sepanjang tahun juga menjadi faktor .
4. Beberapa bagian dalam daur hidrologi memili rangkaian sangat kompleks.
Penguapan terjadi akibat air di permukaan bumi terkena sinar matahari. Uap air mengalami pengembunan lalu berubah wujud dalam bentuk awan. Selanjutnya tetesan air turun ke permukaan bumi yang disebut hujan. Hujan yang turun tertahan alirannya oleh tumbuhan dinamakan intersepsi. Air yang berhasil mencapai permukaan tanah selanjutnya mengalami proses infiltrasi. Air juga mengalir di permukaan tanah (surface run off) untuk memenuhi cekungan pada tanah, danau,
6 sungai dan terakhir mengalir menuju laut. Air kemudian masuk ke pori-pori tanah (perkolasi) untuk mengisi ruang di dalam tanah dan menjadi sumber air dan proses selanjutnya yaitu mengalir ke arah sungai. Aliran-aliran yang berasal dari sungai nantinya akan menuju ke laut, dan proses ini dikenal sebagai siklus hidrologi (Bambang Triatmodjo, 2008). Gambar dibawah ini menjelaskan alur peristiwa daur hidrologi.
Gambar 2.1. Siklus Hidrologi
Sumber: Buku Apllied Hidrology,1988
2.2 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai (DAS) yakni suatu daerah dimana semua airnya mengalir ke sungai yang batas-batasnya telah ditentukan. DAS merupakan konsep dasar dalam hidrologi untuk memahami proses berlangsungnya hidrologi, perencanaan dan pengelolaan sumber daya air. Umumnya dibatasi oleh batas-batas topografi, artinya ditentukan oleh limpasan, tidak dipengaruhi adanya air bawah tanah hal ini karena perubahan selalu terjadi pada muka air tanah sesuai dengan perubahan musim dan aktivitas pemanfaatannya (Sri Harto, 1993). DAS memiliki peranan penting dalam berlangsungnya daur hidrologi dan menjadi bagian lingkup ekosistem. Air hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalir menuju sungai utama yang ditinjau, sedangkan yang jatuh di luar DAS akan mengalir ke sungai lain disebelahnya (Triadmodjo, 2008). Bentuk Daerah Aliran Sungai dapat
7 digolongkan menjadi 3 pola berdasarkan perbedaan besarnya debit banjir (Sosrodarsono dan Takeda, 2003). Berikut ini adalah pola DAS yang dikemukakan oleh Sosrodarsono dan Takeda.
1. Pola bulu burung
DAS dengan pola bulu burung terdapat pola fisik yang tidak luas dan posisinya yang memanjang. Aliran sungai kecil (sub DAS) kemudian menuju sungai utama. Biasanya debit banjir kecil akibat proses yang berlangsung lama, hal ini disebabkan air yang datang bergantian dari setiap anak sungai.
2. Pola radial
Bentuk dari DAS ini menyerupai kipas atau lingkaran dimana anak-anak sungainya terkonsentrasi pada satu titik secara radial. DAS dengan pola seperti radial, umumnya mengalami banjir yang cukup besar pada titik pertemuan anak sungai.
3. Pola paralel
DAS yang memiliki pola paralel memiliki dua aliran yang bersatu di bagian hilir sungai namun pada bagian hulu memiliki percabangan dua sub-DAS yang cukup besar. Karakteristik yang berbeda-beda pada tiap sub DAS, disaat hujan turun secara bersamaan, maka menimbulkan potensi banjir relatif besar.
Gambar 2.2. Daerah Aliran Sungai
Sumber: Sosrodarsono dan Takeda , 2003
2.3. Kelengkapan Data Hujan
Data hujan yang lengkap merupakan data yang dibutuhkan untuk analisis hidrologi.
Data hujan diperoleh dari hasil pencatatan oleh petugas pada stasiun hujan dengan prosedur yang telah ditentukan. Tetapi hasil pencatatan sering dijumpai tidak lengkap datanya, hal ini disebabkan antara lain human error, alat yang rusak,
8 penggantian jenis alat pencatat dan sebagainya. Keadaan tersebut menjadi faktor yang menyebabkan data hujan yang hilang pada rentang waktu tertentu. Data hujan yang hilang dapat diperkirakan apabila stasiun hujan yang terdekat (minimal 2 stasiun) memiliki data yang lengkap. Untuk melengkapi data hujan yang hilang dapat menggunakan beberapa metode yaitu dengan Metode Normal Ratio dan Metode Rata-Rata Aljabar.
2.3.1. Metode Normal Ratio
Perhitungan dalam metode Normal Ratio dilakukan dengan memperhitungkan data hujan pada stasiun hujan yang berdekatan untuk mencari data hujan yang hilang pada stasiun yang ingin dicari. Variabel yang dicari dalam metode ini yaitu curah hujan harian dan jumlah curah hujan tahunan di stasiun yang berdekatan. Metode Normal Ratio dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
𝑃𝑋 = 1
𝑁(𝑁𝑥
𝑁𝐴𝑃𝐴+𝑁𝑥
𝑁𝐵𝑃𝐵+𝑁𝑥
𝑁𝐶𝑃𝐶) (2.1) Keterangan rumus :
PX = Nilai data hujan di stasiun X (mm)
NX = Nilai hujan rata-rata tahunan stasiun X (mm) PA, PB, PC = Nilai data hujan di stasiun PA, PB, PC (mm)
NA, NB, NC = Nilai hujan rata-rata tahunan stasiun PA, PB, PC (mm) 2.3.2. Metode Rata-rata Aljabar
Metode Rata-Rata Aljabar merupakan metode yang umum dan praktis digunakan untuk menghitung data hujan yang hilang. Perhitungan dilakukan dengan craa menjumlah data hujan beberapa stasiun hujan yang berdekatan dalam waktu bersamaan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun yang diketahui. Metode Rata- Rata Aljabar dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
𝑃𝑋 = 𝑃𝐴+𝑃𝐵+𝑃𝐶+⋯+𝑃𝑛
𝑁 (2.2) Keterangan rumus :
PX = Nilai data hujan di stasiun X (mm)
PA, PB, …Pn = Nilai data hujan di stasiun PA, PB, Pn (mm) N = Jumlah stasiun hujan
9 2.4. Uji Konsistensi Data Hujan
2.4.1. Uji Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS)
Uji konsistensi RAPS bertujuan untuk mengetahui tingkat konsistensi data hujan dilapangan pada tiap stasiun. Pengujian dengan metode ini dilakukan untuk menguji ketidakpanggahan data pada stasiun itu sendiri. Pengujian menggunakan data dari Stasiun pengamatan untuk mengetahui adanya pergeseran nilai rata-rata. Uji konsistensi RAPS dihitung dengan rumus berikut:
𝑆𝑘0∗ = 0 (2.3) 𝑆𝑘0∗ = ∑𝑘𝑖+1(𝑌𝑖− 𝑌𝑟) (2.4) 𝐷𝑦2 = ∑𝑘𝑖+1(𝑌𝑖−𝑌𝑟)
𝑛 (2.5) 𝑆𝑘∗∗=𝑆𝑘∗
𝐷𝑦 (2.7) Nilai statistik Qy :
𝑄𝑦 = 𝑀𝑎𝑘𝑠 [𝑆𝑘∗] (2.8) 0 ≤ 𝑘 ≤ 𝑛 (2.9)
Nilai statistik Ry :
𝑅𝑦 = 𝑀𝑎𝑘𝑠 [𝑆𝑘∗∗] − 𝑀𝑖𝑛[𝑆𝑘∗∗] (2.10) 0 ≤ 𝑘 ≤ 𝑛 (2.11) Keterangan rumus :
Yi = Data curah hujan Yr = rerata curah hujan
n = jumlah data hujan
K = 1,2,3,….,n
Sk*0 = Simpangan awal
Sk* = Simpangan mutlak
Sk** = Nilai konsistensi data Qy = Nilai statistik Q Ry = Nilai statistik (rangee)
Dy = Simpangan Rerata
10 Jika hasil Qhitung dan Rhitung < Qtabel dan Rtabel maka seri data hujan adalah konsisten atau panggah.
Tabel 2.1 Nilai Statistik Q dan R
n
Q/n0.5 R/n0.5
90% 95% 99% 90% 95% 99%
10 1,05 1,14 1,29 1,21 1,28 1,38
20 1,10 1,22 1,42 1,34 1,43 1,60
30 1,12 1,24 1,48 1,40 1,50 1,70
40 1,31 1,27 1,52 1,44 1,55 1,78
100 1,17 1,29 1,55 1,50 1,62 1,85
ꚙ 1,22 1,36 1,63 1,62 1,75 2,00
Sumber: Sri Harto Br, 2009
2.4.2. Uji Homogenitas
Hasil pengamatan dapat disebut homogen jika data tersebut diukur dari suatu regim yang tidak mengalami perubahan. Perubahan regim berasal dari fenomena hidrologi yang dapat terjadi disebabkan oleh faktor alam seperti perubahan alam, bencana alam, perubahan iklim dan banjir besar. Hasil uji konsistensi digunakan untuk mengetahui homogenitas antar stasiun curah hujan. Uji Homogenitas dihitung dengan rumus berikut:
𝑆1 =∑ √(𝑋𝑖1−𝑋𝑟𝑎𝑡𝑎1)2
𝑁−1 (2.12) 𝑆2 =∑ √(𝑋𝑖2−𝑋𝑟𝑎𝑡𝑎2)2
𝑁−1 (2.13) 𝜎 = √(𝑁1𝑆1)2+(𝑁2𝑆2)2
(𝑁1+𝑁2)−2 (2.14) 𝑡 =(𝑋𝑟𝑎𝑡𝑎1−𝑋𝑟𝑎𝑡𝑎2)
𝜎√(1 𝑁1+1
𝑁2)
(2.15) Keterangan rumus :
S1 = Nilai rerata sampel stasiun ke 1 S2 = Nilai rerata sampel stasiun ke 2 N1 = Jumlah sampel ke 1
N2 = Jumlah sampel ke 2 t = Nilai t-terhitung
Jika hasil thitung < ttabel maka seri data hujan adalah homogen dan berasal dari satu populasi yang sama.
11 2.5. Curah Hujan Rerata Daerah
Defenisi dari curah hujan adalah satu bentuk pengendapan, dimana tetesan air yang berada diawan kemudian jatuh ke permukaan bumi karena massa udara yang naik dan suhu menurun. Apabila massa udara telah mencapai titik jenuh maka terjadilah kondensasi yang menyebabkan terjadinya hujan dengan jumlah air yang turun di atas tanah yang datar diukur dengan durasi yang telah ditentukan sebelumnya, satuan tinggi (mm) pada pemukaan horizontal apabila runoff, infiltrasi dan evaporasi tidak terjadi. Untuk mendapatkan perhitungan atau analisa hidrologi data yang digunakan perlu diinput dari stasiun-stasiun yang sudah ditentukan pada daerah tadah hujan yang dianggap dapat mewakili kondisi hujan didaerah yang diteliti.
2.5.1 Metode Rata-Rata Aljabar
Pengukuran menggunakan Aritmatika di beberapa pos hujan, dilaksanakan dalam periode yang sama. Data yang diperoleh dijumlahkan semua lalu dibagi berdasarkan banyaknya pos hujan dalam DAS. Metode Aritmatika merupakan metode yang familiar penggunaanya untuk mendapatkan nilai hujan rerata. Nilai rerata curah hujan dihasilkan cukup baik, jika lokasi dari pos hujan tersebar merata dan distribusi hujan relatif merata pada keseluruhan DAS yang ditinjau.
Penggunaan rata-rata aljabar dapat dilihat pada rumus berikut:
Pr= 1
𝑛(P1 + P2 + ⋯ + Pn) (2.16) Keterangan rumus :
Pr = Nilai dari curah hujan rerata areal (mm) P1,P2,…,Pn = Nilai dari curah hujan tiap pos hujan (mm) n = Jumlah dari pos hujan
Gambar 2.3. Stasiun Hujan Disuatu DAS
Sumber: Triadmodjo, 2008
12 2.5.2 Metode Poligon Thiessen
Penggunaan metode thiessen sering dipakai untuk analisis hidrologi. Metode ini lebih objektif dibandingkan metode lain, tetapi penentuan titik pengamatan mempengaruhi ketelitian nilai yang didapat. Metode poligon thiessen digunakan jika persebaran pos hujan tidak merata pada daerah pengamatan. Hujan yang turun pada daerah dalam lingkup DAS diasumsikan bernilai sama dengan yang turun di lokasi pos hujan, sehingga hujan tercatat telah mewakili pos tersebut. Rumus perhitungan dapat dilihat pada rumus berikut:
𝑃 =
𝐴1𝑃1+𝐴2𝑃2+...+𝐴𝑛𝑃𝑛𝐿1+𝐿2+...+𝐿𝑛 (2.17) Keterangan rumus :
P = merupakan nilai dari curah hujan rata-rata areal (mm) P1,P2,…,Pn = merupakan nilai dari curah hujan pada pos penakar hujan
1,2,…,n (mm)
L1,L2,…,Ln = merupakan luas dari areal pos hujan (km2)
Gambar 2.4. Thiessen
Sumber: Triadmodjo, 2008
2.5.3 Metode Poligon Ishoyet
Perhitungan dengan Metode ishoyet adalah teknik perhitungan yang paling terperinci dalam memperoleh nilai kedalaman hujan rerata pada lokasi pengamatan, namun diperlukan keahlian dan pengalaman pada proses pengamatan.
Pada metode Ishoyet jumlah pos harus tersebar merata, memiliki jumlah yang banyak dan diasumsikan bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis adalah rata dan sama dengan nilai rerata pada dua garis Ishoyet. Luas area diantara ishoyet yang posisinya berdekatan kemudian dihitung dan nilai rerata yang diperoleh
13 selanjutnya dijadikan nilai rerata kontur. Tahapan selanjutnya dilakukan proses perkalian dengan masing-masing luasan. Hasil dari perhitungan kemudian dijumlahkan dan dibagi dengan total luas area untuk memperoleh nilai curah hujan area yang dicari. Perhitungan metode Ishoyet dapat dilihat pada rumus berikut:
𝑃 =
𝐿1𝐼1+𝐼2
2 +𝐿2𝐼2+𝐼3
2 +……+𝐿𝑛𝐼𝑛+𝐼𝑛+1
2
𝐿+𝐿2+𝐿+……+𝐿𝑛 (2.18) Keterangan rumus :
P = merupakan nilai dari curah hujan rata-rata areal (mm) I1,I2,…,In = merupakan garis ishoyet ke 1,2,…,n,n+1
L1,L2,…,L3 = merupakan luas dari area yang dibatasi ishoyet (km2)
Gambar 2.5. Poligon Ishoyet
Sumber : Triadmodjo, 2008
2.6. Analisis Frekuensi Curah Hujan
Parameter yang digunakan dalam analisis data hidrologi seperti : nilai rerata, koefisien variasi, kemencengan (koefisien skewness), simpangan baku (standar deviasi) dan koefisien kurtosis. Berikut adalah rumus perhitungan :
1. Nilai Rata-Rata (x̅ )
Central tendency merupakan pengukuran untuk mendapatkan nilai rerata dari kumpulan variabel. Menghitung central tendency dapat dilihat pada persamaan berikut :
𝑋̅ =1
𝑛 ∑𝑛𝑖=1𝑋𝑖 (2.19)
14 2. Simpangan Baku (s)
Simpangan baku menjadi parameter variabilitas yang paling tepat dalam analisis statistik. Nilai simpangan baku dicari nilainya dengan persamaan berikut :
𝑆 = [ 1
𝑛−1 ∑𝑛𝑖=1(𝑋𝑖 − 𝑋 )2]
1
2 (2.20) 3. Koefisen Variasi (Cv)
Koefisien variasi ialah nilai perbandingan antara simpangan baku dengan nilai rerata yang dihitung dari suatu distribusi. Nilai koefisien variasi dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
𝐶𝑣 = 𝑆
𝑋 (2.21) 4. Kemencengan (Cs)
Kemencengan merupakan nilai yang menerangkan keberadaan derajat asimetri pada distribusi. Nilai kemencengan ditentukan dengan cara menggunakan persamaan berikut :
𝐶𝑠 =𝑛 ∑𝑛𝑖=1(𝑋𝑖−𝑋̅)
3
(𝑛−1)(𝑛−2) 𝑆3 (2.22) 5. Koefisien Kurtosis
Koefisien kurtosis merupakan sutau nilai untuk mengetahui keruncingan dari bentuk kurva distribusi, biasanya disandingkan dengan distribusi normal.
Nilai dari koefisien kurtosis dihitung dengan persamaan berikut :
𝐶𝑘 =(𝑛−1)(𝑛−2)(𝑛−3)𝑆𝑛2∑𝑛𝑖=1(𝑋𝑖−𝑋̅)4 4 (2.23)
Tabel 2.2. Jenis Distribusi
Jenis Distribusi Persyaratan
Gumbel
Ck ≈ 5,4 Cs ≈ 1,14
Log Pearson Type III Selain dari nilai diatas Normal
Log Normal
Ck ≈ 3 Cs ≈ 0
= 3+
= + + + 2+
Sumber: Triadmodjo, 2008
15 2.6.1 Metode Distribusi Normal
Metode ini sering disebut juga dengan sebaran Gauss. Penerapannya sering dijumpai dalam bidang hidrologi. Distribusi normal umumnya digunakan untuk analisis debit rata-rata tahunan, analisis statistik dari distribusi curah hujan tahunan, menganalisis frekuensi curah hujan dan sebagainya. Nilai distribusi normal dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut:
𝑋𝑇 = 𝑋̅ + 𝐾𝑇+ 𝑆𝑑 (2.24) Keterangan rumus :
XT = merupakan nilai rerata hujan X̅ = merupakan nilai median Sd = merupakan simpangan baku
KT = merupakan standard variable tiap kala ulang T tahun 2.6.2. Metode Distribusi Log Normal
Metode distribusi log normal, merupakan suatu distribusi probabilitas hasil yang simetris atau membentuk kurva lonceng. Distribusi log normal dapat ditransformasikan ke distribusi normal atau sebaliknya menggunakan perhitungan logaritma. Pada umumnya sebagian besar adalah perolehan hasil dari pengambilan log natural dimana basisnya sama dengan e=2,718. Secara keseluruhan distribusi log normal memplot log variabel acak dari kurva distribusi normal. Distribusi log normal dapat diskalakan menggunakan basis yang berbeda yang mempengaruhi bentuk distribusi itu sendiri.
Menentukan nilai dari distribusi log normal dapat menggunakan persamaan berikut ini :
𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑇 = 𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑟+ 𝑇. 𝐿𝑜𝑔 𝑆𝑥 (2.25) Keterangan rumus :
XT = merupakan nilai rerata hujan Xr = merupakan nilai median Sx = merupakan simpangan baku
T = merupakan variabel standar, besarnya bergantung pada koefisien
16 2.6.3. Metode Distribusi Log Pearson Type III
Dalam menentukan nilai Log Pearson Tipe III terdapat parameter penting yakni nilai rata-rata, koefisien kemencengan dan simpangan baku. Apabila nilai koefisien kemencengan sama dengan nol maka distribusi kembali ke distribusi Log Normal.
Berbeda dengan konsep yang melatar belakangi penggunaan distribusi normal untuk debit puncak, maka probabilitas distribusi Log Pearson III masih digunakan karena fleksibilitasnya (Suripin, 2004). Tata cara perhitungan dapat menggunakan langkah-langkah dibawah ini :
1. Data debit hujan diubah menjadi n :
(M1,M2,…,Mn) menjadi Log M1,Log M2,…,LogMn (2.26) 2. Menentukan nilai rata-rata :
𝐿𝑜𝑔 𝑋̅̅̅̅̅̅̅̅ =∑𝑛𝑖=1𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑖
𝑛 (2.27) 3. Menghitung harga simpangan baku (dalam log) :
𝑆 = √∑𝑛𝑖=1(𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑖−𝐿𝑜𝑔 𝑋)2
𝑛−1 (2.28) 4. Menentukan nilai koefisien kemencengan (dalam log) :
𝐶𝑠 =𝑛 ∑(𝐿𝑜𝑔 𝑥−𝐿𝑜𝑔 𝑥̅̅̅̅̅̅̅̅)3
(𝑛−1)(𝑛−2)𝑆3 (2.29) 5. Menentukan nilai ekstrem:
𝐿𝑜𝑔 𝑋 = 𝐿𝑜𝑔 𝑋̅̅̅̅̅̅̅̅ + 𝐺∗𝑆
(2.30) Nilai G untuk fungsi Cs (koefisien kemencengan) dan probabilitas (kala ulang) dilihat pada tabel.
6. Selanjutnya adalah tahapan menghitung debit banjir rancangan yang telah ditentukan sebelumnya maka terlebih dahulu mencari antilog dari Log X.
17 Tabel 2.3. Distribusif Log Pearson Tipe III Nilai G untuk Cs Positif
1.0101 1.053 1.1111 1.2500 2 5 10 25 50 100 200
99 95 90 80 4 2 1 0.5
50 20 10
3 -0.667 -0.665 -0.660 -0.636 -0.636 0.420 1.180 2.278 3.152 4.051 4.970 2.9 -0.69 -0.688 -0.681 -0.651 -0.390 0.440 1.195 2.277 3.134 4.013 4.909 2.8 -0.714 -0.711 -0.702 -0.666 -0.384 0.460 1.210 2.275 3.114 3.973 4.847 2.7 -0.740 -0.736 -0.724 -0.681 -0.376 0.479 1.224 2.272 3.097 3.932 4.783 2.6 -0.769 -0.762 -0.747 -0.695 -0.368 0.499 1.238 2.267 3.071 3.889 4.718 2.5 -0.799 -0.790 -0.771 -0.711 -0.360 0.518 1.250 2.262 3.048 3.845 4.652 2.4 -0.832 -0.819 -0.795 -0.725 -0.351 0.537 1.262 2.256 3.023 3.800 4.584 2.3 -0.867 -0.850 -0.819 -0.739 -0.341 0.555 1.274 2.248 2.997 3.753 4.515 2.2 -0.905 -0.882 -0.844 -0.752 -0.330 0.574 1.284 2.240 2.970 3.705 4.454 2.1 -0.946 -0.914 -0.869 -0.765 -0.319 0.592 1.294 2.230 2.942 3.656 4.372 2 -0.990 -0.949 -0.896 -0.777 -0.307 0.609 1.302 2.219 2.912 3.605 4.298 1.9 -1.037 -0.984 -0.920 -0.788 -0.294 0.627 1.310 2.207 2.881 3.553 4.223 1.8 -1.087 -1.020 -0.945 -0.799 -0.282 0.643 1.318 2.193 2.848 3.499 4.147 1.7 -1.140 -1.056 -0.970 -0.808 -0.268 0.660 1.324 2.179 2.815 3.444 4.069 1.6 -1.197 -1.093 -0.994 -0.817 -0.254 0.675 1.329 2.163 2.780 3.388 3.990 1.5 -1.256 -1.131 -1.018 -0.825 -0.240 0.690 1.333 2.146 2.743 3.330 3.910 1.4 -1.318 -1.163 -1.041 -0.832 -0.225 0.705 1.337 2.128 2.706 3.271 3.828 1.3 -1.388 -1.206 -1.064 -0.838 -0.210 0.719 1.339 2.108 2.666 3.211 3.745 1.2 -1.449 -1.243 -1.086 -0.844 -0.195 0.732 1.340 2.087 2.626 3.149 3.661 1.1 -1.518 -1.280 -1.107 -0.848 -0.180 0.745 1.341 2.066 2.585 3.087 3.575 1 -1.588 -1.317 -1.128 -0.852 -0.164 0.758 1.340 2.043 2.542 3.022 3.489 0.9 -1.660 -1.353 -1.147 -0.854 -0.148 0.769 1.339 2.018 2.498 2.957 3.401 0.8 -1.733 -1.388 -1.166 -0.856 -0.132 0.780 1.336 1.993 2.453 2.891 3.312 0.7 -1.806 -1.423 -1.183 -0.857 -0.116 0.790 1.333 1.967 2.407 2.824 3.223 0.6 -1.880 -1.458 -1.200 -0.857 -0.099 0.800 1.328 1.939 2.359 2.755 3.132 0.5 -1.965 -1.491 -1.216 -0.856 -0.083 0.808 1.323 1.910 2.311 2.686 3.041 0.4 -2.029 -1.524 -1.231 -0.855 -0.066 0.816 1.317 1.880 2.261 2.615 2.949 0.3 -2.104 -1.555 -1.245 -0.853 -0.050 0.824 1.309 1.849 2.211 2.544 2.856 0.2 -2.175 -1.586 -1.258 -0.850 -0.033 0.830 1.301 1.818 2.159 2.472 2.763 0.1 -2.225 -1.616 -1.270 -0.846 -0.017 0.836 1.292 1.785 2.107 2.400 2.670 0 -2.326 -1.645 -1.282 -0.842 0.000 0.842 1.282 1.751 2.054 2.326 2.576 Skew Coef. (Cs)
Percent Change
Sumber : Limantara , 2010
18 Tabel 2.4. Distribusif Log Pearson Tipe III Nilai G untuk Cs Negatif
1.0101 1.053 1.1111 1.2500 2 5 10 25 50 100 200
99 95 90 80 4 2 1 0.5
50 20 10
0 -2.336 -1.645 -1.282 -0.824 0.000 0.842 1.282 1.751 2.064 2.326 2.576
-0.1 -2.400 -1.673 -1.292 -0.836 0.017 0.846 1.270 1.716 2.000 2.252 2.482
-0.2 -2.472 -1.700 -1.301 -0.830 0.033 0.850 1.258 1.680 1.945 2.178 2.388
-0.3 -2.544 -1.762 -1.309 -0.824 0.050 0.853 1.245 1.643 1.890 2.104 2.294
-0.4 -2.615 -1.750 -1.317 -0.816 0.066 0.855 1.231 1.606 1.834 2.029 2.201
-0.5 -2.686 -1.774 -1.323 -0.808 0.083 0.856 1.216 1.567 1.777 1.955 2.108
-0.6 -2.755 -1.797 -1.328 -0.800 0.099 0.857 1.200 1.528 1.720 1.880 2.016
-0.7 -2.824 -1.819 -1.333 -0.790 0.116 0.857 1.183 1.488 1.663 1.806 1.926
-0.8 -2.891 -1.839 -1.336 -0.780 0.132 0.856 1.166 1.448 1.606 1.733 1.837
-0.9 -2.957 -1.858 -1.339 -0.769 0.148 0.854 1.147 1.407 1.549 1.660 1.749
-1.0 -3.022 -1.877 -1.340 -0.758 0.164 0.852 1.128 1.366 1.492 1.588 1.664
-1.1 -3.087 -1.894 -1.341 -0.745 0.180 0.848 1.107 1.324 1.435 1.518 1.581
-1.2 -3.149 -1.910 -1.340 -0.732 0.195 0.844 1.086 1.282 1.379 1.449 1.501
-1.3 -3.211 -1.925 -1.339 -0.719 0.210 0.838 1.064 1.240 1.324 1.383 1.424
-1.4 -3.271 -1.938 -1.337 -0.705 0.225 0.832 1.041 1.198 1.270 1.318 1.351
-1.5 -3.330 -1.961 -1.333 -0.690 0.240 0.825 1.018 1.157 1.217 1.256 1.282
-1.6 -3.388 -1.962 -1.329 -0.675 0.254 0.817 0.994 1.116 1.166 1.197 1.216
-1.7 -3.444 -1.972 -1.324 -0.660 0.268 0.808 0.970 1.075 1.116 1.140 1.155
-1.8 -3.499 -1.981 -1.318 -0.643 0.282 0.799 0.945 1.035 1.069 1.087 1.097
-1.9 -3.533 -1.989 -1.310 -0.627 0.294 0.788 0.920 0.996 1.023 1.037 1.044
-2.0 -3.605 -1.996 -1.302 -0.609 0.307 0.777 0.896 0.969 0.980 0.990 0.996
-2.1 -3.656 -2.001 -1.294 -0.592 0.319 0.765 0.869 0.923 0.939 0.946 0.949
-2.2 -3.705 -2.006 -1.284 -0.574 0.330 0.752 0.844 0.888 0.900 0.906 0.907
-2.3 -3.753 -2.009 -1.274 -0.555 0.341 0.739 0.819 0.855 0.864 0.867 0.869
-2.4 -3.800 -2.011 -1.262 -0.537 0.351 0.725 0.796 0.823 0.830 0.832 0.833
-2.5 -3.845 -2.012 -1.250 -0.518 0.360 0.711 0.771 0.793 0.798 0.799 0.800
-2.6 -3.889 -2.013 -1.238 -0.499 0.368 0.696 0.747 0.764 0.768 0.769 0.769
-2.7 -3.932 -2.011 -1.224 -0.479 0.376 0.681 0.724 0.738 0.740 0.740 0.741
-2.8 -3.973 -2.010 -1.210 -0.460 0.384 0.666 0.702 0.712 0.714 0.714 0.714
-2.9 -4.013 -2.007 -1.195 -0.440 0.330 0.651 0.681 0.683 0.689 0.690 0.690
-3.0 -4.051 -2.003 -1.180 -0.420 0.390 0.636 0.660 0.666 0.666 0.667 0.667
Skew Coef. (Cs)
Percent Change
Sumber : Limantara (2010)
2.6.4. Metode Distribusi Gumbel
Metode yang satu ini merupakan metode yang paling sering digunakan untuk pemodelan curah hujan tahunan, memprediksi puncak banjir dan lain sebaginya.
Metode Distribusi Gumbel juga dikenal sebagai distribusi nilai ekstrim tipe 1 yang
19 telah diterapkan pada analisis nilai ekstrim curah hujan. Nilai distribusi Gumbel dapat dihitung menggunakan rumus berikut :
𝑋𝑇 = 𝑥 +𝑆𝑑
𝑆𝑛 (𝑌𝑇 − 𝑌𝑁) (2.31) Keterangan rumus :
𝑋𝑇 = merupakan hujan rencana dengan kala ulang T tahun x̅ = meruapakan nilai untuk rerata
YT = merupakan suatu fungsi probabilitas
𝑌𝑇 = −𝑙𝑛 [𝑙𝑛 ( 𝑇𝑟
𝑇𝑟−1)] (2.32) Yn = merupakan rerata reduksi variat, lihat Tabel
Sn = merupakan simpangan baku, lihat Tabel
𝑆𝑑 = √∑ (𝑥𝑖−𝑥 )
𝑛𝑖=1 2
𝑛−1 (2.33) Syarat distribusi Gumbel:
1. Koefisien kemencengan (skewness) : Cs =1,14 2. Koefisien kurtois : Ck = 5,4
Tabel 2.5. Korelasi antara Yn dengan n
n Yn n Yn n Yn n Yn
8 0,4843 33 0,5388 58 0,5518 83 0,5574
9 0,4902 34 0,5396 59 0,5518 84 0,5576
10 0,4592 35 0,5402 60 0,5521 85 0 5578
11 0,4996 36 0,54 10 61 0,5524 86 0,5580
12 0,5053 37 0,5418 62 0,5527 87 0 5581
13 0,5070 38 0,5424 63 0,5530 88 0,5583
14 0,5100 39 0,5430 64 0,5533 89 0,5585
15 0,5128 40 0,5436 65 0,5535 90 0,5586
16 0,5157 41 0,5442 66 0,5538 91 0,5587
17 0,5181 42 0,5448 67 0,5540 92 0,5589
18 0,5202 43 0,5453 68 0,5543 93 0,5591
19 0,5220 44 0,5458 69 0,5545 94 0,5592
20 0,5236 45 0,5463 70 0,5548 95 0,5593
21 0,5252 46 0,5468 71 0,5550 96 0,5595
22 0,5268 47 0,5473 72 0,5552 97 0,5596
23 0,5283 48 0,5477 73 0,5555 98 0,5598
24 0,5296 49 0,5481 74 0,5557 99 0,5599
25 0,5309 50 0,5485 75 0,5559
26 0,5320 51 0,5489 76 0,5561
27 0,5332 52 0,5493 77 0,5563
28 0,5343 53 0,5497 78 0,5565
29 0,5353 54 0,5501 79 0,5567
30 0,5362 55 0,504 80 0,5569
31 0,5371 56 0,5508 81 0,5570
32 0,5380 57 0,5511 82 0.5572
100 0,5600
Sumber : Triadmodjo (2010)
20 2.7. Uji Kecocokan (Goodness of Fit Test)
Pengujian parameter dibutuhkan untuk menguji kesesuaian distribusi frekuensi sampel data dengan fungsi distribusi probabilitas yang diharapkan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi. Uji parameter yang sering digunakan adalah Chi-Square dan Smirnov-Kolmogorov (Suripin, 2004).
2.7.1 Uji Chi-Square
Pengujian ini adalah cara untuk melakukan pemeriksaan penyimpangan dari analisis data berdasarkan pengujian yang telah dipilih. Teknik ini digunakan untuk menguji apabila persamaan distribusi yang telah ditentukan terwakili oleh distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Prinsip pengujian berdasarkan pada banyak pengamatan yang ingin ditentukan pada pembagian banyaknya kelas, kemudian penentuan terhadap banyaknya data pengamatan yang berhasil terbaca pada tahap pengujian. Nilai kecocokan Chi-Square dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :
𝑋2 = ∑ (𝑂𝑖−𝐸𝑖)2
𝐸𝑖
𝑛𝑖=1 (2.34) Keterangan rumus:
X2 = merupakan nilai dari Chi-Suare yang dihitung
Oi = merupakan nilai dari jumlah frekuensi pengamatan kelas Ei = merupakan nilai dari jumlah frekuensi teoritis kelas n = merupakan nilai dari jumlah kelas
2.7.2 Uji Smirnov-Kolmogorov
Pengujian Smirnov-Kolmogorov merupakan percobaan kesesuaian distribusi deviasi evidensi dalam arah horizontal untuk menentukan apakah suatu evidensi sesuai atau tidak, dengan berbagai macam distribusi teoritis yang telah ditetapkan.
Dalam proses pengujian, akan membandingkan probabilitas dari setiap evidensi, antara distribusi empirik dengan distribusi teoritik dinyatakan menggunakan notasi
∆. Nilai ∆ terbesar (∆ maks) kemudian dibandingkan nilai dari ∆ kritis berdasarkan tingkat ketelitian (α) yang telah ditentukan. Sebelum uji kecocokan dilakukan, kemudian data diplot mengikuti langkah-langkah dibawah ini :
1. Menyusun data hujan harian maksimum yang ada dimulai dari yang paling besar sampai paling kecil.
21 2. Tiap data dihitung peluangnya menggunakan formula Weibull :
𝑃 = 𝑚
𝑛+1𝑥 00% (2.35) 3. Tahapan berikutnya plot data debit (X) bersama probabilitas P.
4. Kemudian menghitung nilai dari ∆𝑚𝑎𝑘𝑠. Persamaan yang digunakan adalah (Soetopo dan Limantara,2017) sebagai berikut:
∆𝑚𝑎𝑘𝑠= [𝑃𝑒 − 𝑃𝑡] (2.36) Keterangan rumus:
∆ maks = merupakan nilai dari beda maksimum antara probabilitas empirik dengan teoritik
Pe = merupakan nilai dari probabilitas empirik Pt = merupakan nilai dari probabilitas teoritik
∆cr = merupakan nilai dari simpangan kritis (dari tabel) 2.8. Debit Banjir Rancangan
Defenisi dari debit banjir rancangan yaitu nilai puncak sesaat yang menjadi dasar dalam merencanakan suatu proyek pengendalian banjir. Periode ulang (return period) didefenisikan sebagai peluang terjadinya banjir pada suatu daerah dengan jangka waktu tertentu. Perhitungan debit banjir rancangan (design flood) menggunakan metode empiris. Metode empiris adalah langkah pendekatan untuk memperkirakan debit banjir rancangan yang diperoleh dari pengolahan data curah hujan. Metode empiris yang umum digunakan dalam menghitung debit banjir rancangan yaitu metode Rasional dan metode Weduwen.
2.8.1. Metode Rasional
Metode Rasional merupakan metode dengan menentukan nilai debit banjir rencana (design flood). Debit puncak yang dihasilkan hanya non hidrograf. Poin penting dalam metode ini adalah luas Daerah Aliran Sungai berkisar antara 40-80 ha, berdasarkan ketetapan PU luas Daerah Aliran Sungai < 500 ha. Prosedur perhitungan metode rasional dapat dilihat pada langkah berikut:
1. Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi yaitu lamanya waktu tempuh limpasan pada saat bergerak secara hidraulik dari posisi terjauh menuju outlet. Posisi terjauh secara hidraulik adalah titik dengan waktu tempuh terlama ke outlet DAS. Waktu
22 konsentrasi umumnya diterapkan hanya untuk limpasan permukaan dan dapat dihitung dengan menggunakan banyak metode. Waktu konsentasi akan bervariasi tergantung pada kemiringan dan karakter DAS dan jalur aliran.
Dalam analisis hidrograf, diasumsikan apabila lamanya hujan berlangsung seragam dengan waktu konsentrasi, maka memberikan kontribusi aliran ke titik kontrol secara bersamaan.
Menentukan nilai waktu konsentrasi dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
𝑇𝑐 = (0, 7.𝐿
1000.𝑆 2)
0,3 5
(2.37) Keterangan rumus:
Tc = merupakan nilai dari waktu konsentrasi (jam)
L = merupakan nilai panjang lintasan air dari titik terjauh ke titik ditinjau (km)
S = merupakan nilai dari kemiringan rata-rata lintasan Tabel 2.6. Nilai n Tiap Permukaan Lahan
Tata Guna Lahan n
Tahan air 0,02
Timbunan tanah 0,10
Tanaman pangan dengan sedikit rumput pada tanah gundul yang kasar dan tekstur lunak
0,20
Padang rumput 0,40
Tanah gundul yang kasar dengan reruntuhan daun 0,60
Hutan dan beberapa semak belukar 0,80
Sumber : Triadmodjo, 2008
2. Koefisien Limpasan
Defenisi dari koefisien limpasan (C) dijelaskan sebagai puncak pergerakan limpasan terhadap intensistas curah hujan. Laju infiltrasi tanah, tanaman penutup tanah, dan intensitas hujan adalah faktor utama yang mempengaruhi nilai C (Suripin, 2003). Untuk karakteristik Daerah Aliran Sungai yang tata guna lahannya tidak seragam, maka nilai debit puncak (Qp) ditentukan menggunakan persamaan dibawah ini :
23 𝑄𝑝 = 0,278 . 𝐼 ∑ 𝐶𝑖𝐿𝑖 (2.38) Keterangan rumus:
Qp = merupakan nilai debit banjir rancangan (m3/det) I = merupakan nilai intensitas hujan (mm/jam) Ci = merupakan koefisen pengaliran
Li = merupakan luas Daerah Aliran Sungai (km2/ha)
Tabel 2.7. Koefsien pengaliran (C) untuk rumus metode Rasional
No Deskripsi Lahan/Karakter Permukaan C
Daerah : Daerah Kota Daerah pinggiran Kawasan Perumahan : Rumah tinggal Multi unit, terpisah Multi unit, tergabung Perkampungan Apartemen Jenis Perkerasan : Aspal dan beton Batu bata, paving Halaman berpasir : Datar (2%) Curam (7%) Halaman tanah : Datar (2%) Curam (7%) Kawasan Hutan : Datar 0-5%
Bergelombang 5-10%
Berbukit 10-30%
3 1.
2.
7 0−1− , 0−1
0−1− 0−1 0−1− 7 0−1
0−1− 0−1 0−1− 7, 0−1 2, 0−1− 0−1
7 0−1− , 0−1
7 0−1− , 0−1 0−1− 7 0−1
0−2− 0−1 , 0−1− 2 0−1
, 0−1− ,7 0−1 ,8 0−1− 2,2 0−1
0−1− 0−1 2, 0−1− 0−1 0−1− 0−1 Sumber : Suripin, 2003
3. Intensitas Curah Hujan
Intensitas hujan memiliki pengertian yaitu volume air yang jatuh tiap satuan waktu, dinyatakan dalam mm/jam. Besarnya nilai I dapat diperoleh dari analisis perekaman hujan otomatis, kemudian distribusi hujan per jam didistribusikan. Selanjutnya, dilakukan penggambaran kurva durasi hujan dan dari gambar kurva masa dapat dibuat gambar Hyetograph. Jika tidak terdapat stasiun hujan otomatis di sekitar daerah penelitian, sebaiknya pendekatan
24 menggunakan beberapa rumus empiris dalam hidrologi diantaranya metode Talboth (1881) yang biasanya digunakan untuk durasi hujan antara 5 menit sampai 120 menit, metode Sherman ( 1905) biasanya digunakan untuk durasi hujan antara 5 menit sampai lebih dari 120 menit, metode Ishigiro (1953), dan metode terakhir adalah metode Mononobe, metode ini sering digunakan dalam perhitungan karena dapat digunakan untuk hujan sembarang berdasarkan percobaan di Jepang. Pada penelitian ini, untuk menghitung intensitas hujan akan menggunakan metode Mononobe seperti persamaan yang ada dibawah ini :
𝐼 =𝑅24
2 (2
𝑡)
2
3 (2.39) Keterangan rumus:
I = merupakan nilai dari intensitas hujan (mm/jam) R24 = merupakan nilai dari hujan harian (mm)
t = merupakan nilai dari waktu konsentrasi (jam) 2.8.2. Metode Weduwen
Metode Weduwen merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam menghitung nilai debit banjir rancangan. Syarat dalam menggunakan Metode Weduwen adalah luas DAS < 100 km2. Persamaan dalam menghitung debit banjir rancangan menggunkan metode ini adalah sebagai berikut:
𝑄𝑛 = 𝛼 𝛽 qn 𝐴 (2.40) Keterangan rumus:
Qn = debit banjir rancangan α = koefisien limpasan
β = koefisien pengurangan daerah hujan qn = curah hujan
A = luas DAS
Langkah-langkah dalam menghitung metode ini adalah sebagai berikut:
1. Mengasumsikan nilai t
2. Menghitung nilai koefisien limpasan 𝛼 = − ,1
𝑏 x 𝑞𝑛+7 (2.41)
25 3. Menghitung nilai koefisien reduksi daerah hujan
𝛽 =120+
𝑡+1 𝑡+9 x 𝐴
120+𝐴 (2.42) 4. Menghitung hujan maksimum
𝑞𝑛 = 7, 5
𝑡+1, 5 (2.43) 5. Menghitung nilai QPerkiraan
𝑄𝑃𝑒𝑟𝑘𝑖𝑟𝑎𝑎𝑛 = 𝛼 𝛽 𝑞 𝐴 (2.44) 6. Menghitung t perhitungan
𝑡 = 0, 2 𝐿 𝑄−0,125 𝑆−0,25 (2.45) 7. Mengkontrol nilai t asumsi = t hitung
8. Menentukan debit banjir rancangan
𝑄𝑖 = 𝑄𝑃𝑒𝑟𝑘𝑖𝑟𝑎𝑎𝑛 𝑅𝑖
2 0 (2.46)
2.9. Aspek Hidraulika
Hidraulika merupakan salah satu bagian dari hidrodinamika yang berhubungan dengan mekanika aliran. Dilihat dari aspek mekanika aliran, dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis aliran. Dalam hal ini jenis aliran yang dimaksud adalah jenis aliran dengan penampang tertutup serta jenis aliran dengan penampang terbuka.
Kedua jenis aliran ini memiliki kesamaan dalam banyak hal namun tetap terdapat perbedaan. Perbedaannya terletak pada posisi permukaan bebas, dimana pada aliran yang terbuka memiliki permukaan bebas dan pada aliran yang tertutup tidak memiliki permukaan bebas disebabkan air masuk memenuhi penampang saluran.
2.10. Jenis-Jenis Aliran
Dalam lingkup hidraulika terdapat berbagai jenis aliran yang memiliki perbedaan.
Perbedaan ini bergantung pada kondisi aliran dan bentuk saluran, sehingga bisa dikelompokkan menjadi empat jenis aliran.
2.10.1. Aliran Tetap (Steady Flow)
Aliran tunak atau aliran permanen merupakan suatu kondisi dimana komponen pada aliran tidak mengalami perubahan terhadap waktu. Contohnya yaitu pada aliran sungai dalam kondisi yang tidak mengalami perubahan aliran (tidak banjir, tidak hujan, dan sebagainya).
26 2.10.2. Aliran Tidak Tetap (Unsteady Flow)
Aliran tidak tetap merupakan suatu kondisi dimana komponen pada aliran mengalami perubahan terhadap waktu. Contoh kasus yaitu pada suatu saluran dalam kondisi tertentu mengalami perubahan aliran (ada banjir, ada hujan dan sebagainya) atau dipengaruhi oleh adanya pasang surut air laut.
2.11. Program HEC-RAS 4.1.0
Proses menganalisis daya tampung awal sungai, digunakan suatu program yang disebut HEC-RAS (Hydrology Engineering Center-River Analysis System).
Program ini bisa digunakan untuk menghitung aliran tetap dan juga aliran tidak tetap. Sungai Way Bulok merupukan sungai yang terbentuk secara alamiah dengan penmpang yang tidak beraturan ( tidak seragam dan berkelok) sehingga digolongkan sungai dengan aliran steady flow. Komponen-komponen utama yang dicakup dalam analisa HEC-RAS pada perhitungan spesifikasi bentuk dari muka air tetap dan proses simulasi pada aliran tidak tetap serta perhitungan profil muka air.
2.12. Perhitungan Menggunakan HEC-RAS 4.1.0
Dalam melakukan perhitungan menggunakan program HEC-RAS terlebih dahulu menentukan penampang sungai atau saluran dan kemudain luas penampang akan dihitung secara otomatis. HEC-RAS akan melakukan pendekatan dengan pembagian penampang saluran berdasarkan n. Berikut ini adalah rumus yang digunakan dalam menghitung nilai Q dan K :
𝑄 = 𝐾. 𝑆𝑓1⁄2 (2.47) 𝐾 =1,
𝑛 𝐴. 𝑅2⁄3 (2.48) Keterangan rumus :
K = merupakan nilai dari penghantar aliran pada tiap unit A = merupakan nilai dari luas area bagian penampang n = merupakan nilai dari koefisien kekasaran manning R = merupakan nilai dari jari-jari hidraulik
27 Gambar 2.6. Penampang Melintang Sungai
Sumber : Dokumentasi Pribadi (2021)
Penampang sungai yang telah ditentukan selanjutnya akan dihitung profil muka airnya menggunakan HEC-RAS. Konsep perhitungan berdasarkan persamaan energi yakni :
𝑌2+ 𝑍2+∝2𝑉22
2𝑔 = 𝑌1+ 𝑍1+∝1𝑉12
2𝑔 + ℎ𝑒 (2.49) Keterangan rumus :
Y1, Y2 = merupakan nilai dari kedalaman penampang melintang 1 dan 2 Z1, Z2 = merupakan nilai dari elevasi dasar penampang melintang 1 dan 2 he = merupakan nilai dari energi yang hilang
V = merupakan nilai dari kecepatan aliran 𝛼 = merupakan nilai dari koefisien kecepatan 2.13. Pengendalian Banjir
Pengendalian banjir pada dasarnya merupakan suatu upaya mencegah terjadinya banjir. Dalam merencanakan suatu pengendalian banjir, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti mengetahui besarnya debit banjir, mengisolasi daerah genangan banjir dan mengurangi tinggi muka air banjir. Menurut teknis penanganan pengendalian banjir dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengendalian banjir secara teknis (metode struktur) dan pengendalian banjir secara non teknis ( metode non- struktur).
Upaya pengendalian banjir dikelompokkan menjadi dua:
1. Bagian Hulu
Pada bagian hulu diperlukan bangunan pengendali banjir yang dapat memperlambat waktu tiba banjir dan menurunkan besarnya debit banjir.
28 2. Bagian Hilir
Pada bagian hilir yaitu melakukan pencegahan seperti memperbaiki alur sungai, memperkuat tanggul sungai, dan kolam retensi disekitar alur sungai.
Gambar 2.7. Pengendalian Banjir Metode Struktur dan Non Struktur
Sumber : Dokumentasi PUPR (2021)
PENGENDALIAN BANJIR
METODE STRUKTUR METODE NON STRUKUTUR
Bangunan Pengendali Banjir : 1. Bendungan (DAM)/ Waduk 2. Kolam retensi
3. Check Dam 4. Bangunan pengurang
kemiringan sungai seperti Groundsill dan Drop Structure
5. Pembuatan Polder
Sistem Perbaikan dan Pengaturan Sungai :
1. Peningkatan Sungai 2. Perkuatan Tanggul 3. Sudetan
4. Floodway
5. Sistem drainase khusus
Jenis Pengendalian 1. Pengelolaan DAS 2. Pengaturan tata guna lahan 3. Pengendalian erosi
4. Pengembangan daerah banjir 5. Penangan kondisi darurat 6. Sistem Peringatan Banjir 7. Penyuluhan kepada
masyarakat