• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEOLOGI KEMATIAN DI MASA PANDEMI PERSPEKTIF BIBLIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TEOLOGI KEMATIAN DI MASA PANDEMI PERSPEKTIF BIBLIS"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TEOLOGI KEMATIAN DI MASA PANDEMI PERSPEKTIF BIBLIS

Jon Riahman Sipayung

Sekolah Tinggi Teologi Abdi Sabda Medan [email protected] Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan Teologi Kematian. Bagi banyak orang, kematian menjadi momok yang menakutkan, sebab kematian itu akan memisahkannya dengan orang-orang yang dikasihinya. Kematian berarti berakhirnya kehidupan. Banyak sekali penyebab kematian seperti karena menderita sakit-penyakit, karena bencana alam, bisa tertimpa tanah longsor, gempa, banjir, bahkan ada yang dibunuh dan penyebab kematian lainnya termasuk dikarenakan Pandemi. Untuk korban bencana alam, kematian ini menjadi sesuatu yang menakutkan dan melukai keluarga yang ditinggalkan karena sering sekali mayat dari korban yang meninggal tidak dapat ditemukan sehingga dalam proses pemakamannya tidak bisa dilangsungkan secara normal seperti pemakaman pada umumnya. Konteks sekarang, Pandemi menyebabkan kuantitas orang yang mengalami kematian bertambah dengan pesat.

Memahami makna kematian tidak terlepas dari kesatuan manusia itu di dalam tubuh, roh dan jiwa. Manusia itu adalah satu kesatuan dan tidak terpisahkan sehingga bila seseorang itu mati, maka yang mati bukan saja tubuh/dagingnya, melainkan kematian yang totalitas. Di dalam diri manusia tidak ada yang bersifat kekekalan, kekekalan hanya ada di dalam Allah saja (bnd. 1 Tim 6:16). Meskipun demikian, tetap ada harapan bagi orang percaya. Harapan yang tumbuh dalam hidup orang percaya adalah harapan dalam Allah sebagai satu-satunya pribadi yang melingkupi sejarah manusia dalam hal pemberian kasih-Nya. Harapan itu adalah kehidupan setelah kematian bagi mereka yang percaya di dalam Yesus Kristus. Orang percaya yang mengalami kematian akan dibangkitkan untuk menerima kehidupan dan kebahagiaan di dalam Yesus Kristus.

Kata Kunci: Kematian, Harapan, Kebangkitan, Kehidupan, Yesus Kristus

Abstract

This study aims to explain the Theology of Death. For many people, death is a frightening specter, because it will separate them from their loved ones. Death means the end of life. There are so many causes of death, such as suffering from illness, due to natural disasters, landslides, earthquakes, floods, even being killed and other causes of death including the pandemic. For victims of natural disasters, this death becomes something frightening and injures the bereaved family because often the bodies of those who died cannot be found so that the funeral process cannot be carried out normally like funerals in general. In the current context, the pandemic has caused the number of people who have died to increase rapidly.

Understanding the meaning of death cannot be separated from the human unity in body, spirit and soul. Humans are one and inseparable so that when a person dies, it is not only the body/flesh that dies, but the totality of death. There is nothing eternal in man, eternity exists only in God (cf. 1 Tim 6:16) Nevertheless, there is hope for believers. The hope that grows in the life of a believer is hope in God as the only person who covers human history in terms of the gift of His love. That hope is life after death for those who believe in Jesus Christ. Believers who experience death will be resurrected to receive life and happiness in Jesus Christ.

Keywords: Death, Hope, Resurrection, Life, Jesus Christ

(2)

I. Pendahuluan

Kematian selalu menyedihkan, menakutkan dan menyengsarakan bagi manusia.

Kematian merupakan duka cita yang sangat mendalam dengan orang yang kita kasihi dan mengasihi kita. Suka atau tidak suka manusia harus menerimanya sebagai sebuah fakta kehidupan yang tak terelakkan dan tak terbantahkan. Pada umumnya manusia sadar, dirinya akan mengalami kematian, sekalipun kapan, di mana dan bagaimana cara kematiannya serta bagaimana hidupnya setelah kematian tetap menjadi sebuah pertanyaaan yang kita tidak tahu jawabannya. Kematian antonim dengan kehidupan karena orang yang sudah mati tidak bisa menjalani/ melakukan aktivitas layaknya orang yang masih hidup di dunia. Pemazmur dan Nabi Yesaya menyebut bahwa orang yang sudah mati tidak dapat mengucap syukur dan tidak dapat lagi memuji Tuhan (bnd. Mazm. 30:10; Yes 38:18-19) (Sipayung, 2021: 64).

Kematian juga menunjukkan putusnya komunikasi dengan mahkluk hidup yang lain.

Bahkan putusnya hubungan manusia dengan Tuhan. Tegasnya kematian merupakan fakta kehidupan yang terbantahkan manusia. Menolak kematian/ rasa takut berlebih terhadap kematian sebagaimana dijelaskan oleh Gladys Hunt, bisa berujung kepada kepelbagian penyakit kejiwaan (Hunt, 2001: 3). Menolak kematian itu berarti menolak hakekat dan kuasa Allah dalam hidup manusia. Dan memang banyak manusia yang belum siap menghadapi kematiannya, meskipun memang itu sesuatu yang pasti yang akan dijalaninya. Ketidaksiapan menerima fakta kematian itu bukan hanya berasal dari personal, tetapi juga dari pihak keluarga yang mengalinya.

Kematian menjadi momok yang menakutkan bagi banyak orang karena pada umumnya pemahaman yang berkembang, orang mati tidak mempunyai akses lagi kepada orang yang hidup. Orang Israel sendiri mengembangkan pemahaman mereka tentang kematian dengan konsep Syeol. Istilah ini menunjuk pada dunia orang mati. Hal ini boleh dibandingkan dalam Ayub 17:13-14 “Apabila aku mengharapkan dunia orang mati sebagai rumahku, menyediakan tempat tidurku di dalam kegelapan dan berkata kepada liang kubur: Engkau ayahku, ibuku dan saudara perempuanku….”. Tentang orang mati ada memahaminya berada di Syeol, bukanlah sebagai tempat penghukuman, dalam artian siksaan atau deraan, sebaliknya Syeol menandakan keterbuangan dari Allah, yang pada manusia itu merupakan nasib yang pantas disesalkan.

Dalam kepercayaan umat Israel, hakikat dari kehidupan adalah kemampuan untuk memuliakan Allah. Dalam hal ini, keberadaan orang mati di Syeol tidak memungkinkan lagi untuk memuji Tuhan karena tidak ada lagi kontak dengan Sang Ilahi (King & Stager, 2010: 428-429). Tentu pemahaman seperti ini akan semakin membuat rasa takut bagi seseorang dalam menghadapi kematian karena tidak akan bisa lagi komunikasi dengan orang-orang yang disayangi, demikian juga sebaliknya orang akan kehilangan keluarga yang disayangi. Ketidakmampuan orang mati berkomunikasi dengan orang hidup maupun untuk memuji Sang Ilahi bisa dilihat dalam kata- kata Raja Hizkia setelah sembuh dari sakitnya, dalam Yesaya 38:28 menyebutkan “Sebab dunia orang mati tidak dapat mengucap syukur kepada-Mu, dan maut tidak dapat memuji-muji Engkau, orang-orang yang turun ke liang kubur tidak menanti-nanti kesetiaan-Mu”. Sekalipun di dalam prakteknya masih sering dipraktekkan bahwa seolah-olah yang meninggal itu masih memiliki kemauan untuk berkomunikasi dengan orang yang hidup. Misalnya dengan perkataan seseorang, di mana orang tuanya yang meninggal menggatakan demikian: “Biarlah bapak menjadi pendoa bagi yang hidup kami…” Artinya seolah–olah yang meninggalnya itu akan menjadi pendoa bagi keluarga yang masih hidup.

Orang Yahudi sendiri mendambakan kematian di masa tua, dengan keturunan yang lengkap dan kehidupan yang baik (bnd. Kej 25:18; 46:30) (Sipayung, 2021: 63). Sama halnya dalam konteks warga Gereja di Indonesia, termasuk suku Batak sendiri, maupun suku lainnya pada umumnya mengkehendaki kematian yang demikian. Hanya saja, bagaimana jika kematian

(3)

itu tidak di masa tua? Apakah manusia akan mengutuknya? Atau apakah Allah tidak menerima orang yang mati di masa muda? Dan banyak sekali orang meninggal di usia yang belum mencapai seperti yang dikatakan Mazmur 90:10. Bahkan dewasa ini banyak orang yang meninggal di bawah usia setengah abad (50 tahun). Kadang kala juga manusia lebih memilih mati yang membawa ketenangan daripada hidup yang mencelakakan. Mati itu pasti, sudah defenitif, sudah jelas. Tidak terbantahkan. Hidup tidak dapat diperkirakan, terbuka lebar.

Sesuatu yang terdapat pada diri manusia digoda supaya memiliki kematian karena setidak- tidaknya, ia akan tahu apa yang akan ia dapatkan. Sehingga ada orang yang menderita dalam kehidupan, mencoba mencari jalan keluar dengan bunuh diri (Nouwen, 2012: 339). Realita ini menunjukkan ada orang yang mengakhiri hidupnya dengan caranya sendiri, misalnya dengan meminum racun. Kemudian ada juga yang meninggal karena korban bencana alam, pembunuhan, kecelakaan, bahkan seperti situasi saat ini, karena dampak pandemi. Proses kematian seseorang tentu tidak serupa dengan orang lain. Tentu berbagai cara proses kematian manusia, yang tidak terprediksi bagaimana proses kematian itu sendiri. Hal itu menjadi sebuah fakta kehidupan yang tidak terbantahkan. Kematian mendadak, kematian ini sering terjadi secara tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda kematian seperti sakit, sehingga kematian itu menimbulkan rasa kejut yang sangat besar bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal yang demikian sering sekali manusia baru menyadari bahwa dirinya tidak pernah tahu kapan hidupnya akan berakhir. Kematian juga dapat disebabkan oleh bencana seperti bencana alam tanah longsor, gempa, banjir dan sebagainya. Kematian ini menjadi sesuatu yang menakutkan dan melukai keluarga yang ditinggalkan karena sering sekali mayat dari korban yang meninggal tidak dapat ditemukan sehingga dalam proses pemakamanya tidak bisa dilangsungkan secara normal seperti pemakaman pada umumnya. Kematian karena pembunuhan dan bunuh diri, kematian dengan cara ini menimbukan kemarahan yang mendalam, kekerasan yang diterima oleh korban menjadi mengerikan bagi keluarga maupun orang yang melihat/ mendapat berita proses kematian tersebut (Raharjo, 2003: 39-46). Kondisi kesehatan yang kurang baik juga sering sekali merenggut nyawa manusia, tidak bekerjanya organ-organ tubuh terutama di bagian vital menjadi alasan yang kuat seseorang itu kehilangan nyawanya, bahkan seperti situasi saat ini, karena pandemi Covid-19.

Berbicara tentang kematian, tentu sesuatu yang meninggalkan duka dan ada air mata.

Kematian bisa saja meninggalkan duka yang dalam bagi keluarga yang ditinggalkan (Sipayung, 2021: 60). Alkitab mencatat, pada akhirnya semua manusia akan menghadapi kematian (Pkh.

3:19-21), kecuali Henokh dan Elia (Kej.5:24, Ibr. 11:5, 2 Rj. 2:11). Tentu waktu kapan tiba seseorang mengalami kematian masih menjadi misteri dan rahasia Ilahi meskipun hal ini juga menimbulkan perbedaan pendapat tentang intervensi Ilahi tersebut, sebab ada juga manusia yang mati bunuh diri (dalam artian dia menentukan kematiannya) dan juga kerena dibunuh (dalam artian orang lain menentukan kematianya). Tetapi pembahasan kali ini, bukan fokus ke hal tersebut melainkan kematian di masa pandemi Covid ini sangat banyak menelan korban jiwa. Kematian di masa pandemi ini menimbulkan pertanyaan dan diskusi hangat di ranah teologi, khususnya berangkat dari munculnya pandemi ini. Pertanyaannya adalah mengapa semua ini terjadi? Adakah yang menciptakannya? Unde Mallum? Apakah Tuhan yang menyebabkan pandemic ini? Atau Iblis tetapi dalam “kerjasama” dengan Allah seperti kisah Ayub untuk menguji iman? Kalau malapetaka/ pandemi ini dari Tuhan, bukankah Ia Mahakasih? Tentu hal ini menimbulkan pro-kontra di kalangan warga Gereja maupun teolog akan eksistensi Allah, sehingga ada yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan Allah adalah baik (Ngelow, 2021: 173). Tentu belum ada kajian mendalam yang diakui secara bersama akan hal ini, tapi satu hal yang menjadi catatan penting bahwa dampak pandemi ini dapat menimbulkan banyak kematian, tanpa membedakan latar belakang status, sosial dan agama.

(4)

Dalam faktanya virus Covid-19 dapat mempercepat kematian seseorang karena menyerang ke pernapasan (Sipayung, 2021: 412). Kuantitas orang meninggal pun bertambah pesat. Tentu karena jumlah yang meninggal dalam watu yang sama/ waktu yang berdekatan semakin bertambah banyak, maka masalah baru juga muncul. Lahan pemakaman juga kian sulit untuk ditemukan karena besarnya jumlah orang yang meninggal. Adapun tempat pemakaman, bisa jadi bukan lokasi yang diinginkan oleh keluarga, sebab tradisi kita masih memegang erat acara ziarah. Tentu konteks negara Indonesia, termasuk orang Kristen yang meninggal, pada umumnya jenazahnya dimasukkan ke dalam tanah (dikuburkan). Jika berangkat dari tradisi Israel, mayat yang tidak terkubur merupakan kehinaan dan sebagai tanda dari hukuman ilahi (King & Stager, 2010: 414). Pemakaman orang mati sesuai tradisi dan keimanan merupakan perhatian yang penting. Semuanya situasi ini telah menimbulkan problem bersama mengingat kuantitas orang yang meninggal di masa pandemi meningkat menyebabkan sumber daya lahan yang digunakan untuk tempat memakamkan orang-orang yang meninggal juga sangat pesat. Berbeda lagi konteks di India, yang mayoritas beragama Hindu, tradisi yang dianut adalah pembakaran jenazah (kremasi). Tetapi karena pasokan kayu bakar tidak memadai dibanding dengan jumlah yang meninggal di masa pandemi, maka banyak mayat dibuang begitu saja ke sungai Gangga (Lihat https://www.bbc.com/indonesia/dunia- 57167592).Selain persoalan pro kontra etis akan hal ini, hal ini juga berdampak pada pencemaran lingkungan dan berujung pada efek negatif terhadap kesehatan manusia. Persoalan mengenai pemakaman terhadap orang yang meninggal akibat Covid-19 semakin diperkeruh dengan pelaksanaan praktek penguburan tidak sesuai dengan keimanannya dengan cara penguburan yang hanya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu saja dalam rangka meminimaliser penyebaran Covid-19.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas muncullah pertanyaan-pertanyaan teologis yang kontekstual khususnya dalam situasi saat ini dan untuk menjawab tantangan kekinian ini mendorong penulis menelitinya dalam sebuah penelitian dengan judul: “Kematian Di Masa Pandemi” Perspektif Biblis.

II. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini “Teologi Kematian Di Masa Pandemi Covid 19” Perspektif Biblis, penulis menggunakan metode library research yaitu dengan penelitian kepustakaan.

III. Pembahasan Arti dan Makna Kematian

Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary mendefisikan kematian berarti berhentinya secara permanen hidup manusia. Kematian berarti akhir kehidupan manusia.

Dalam KBBI, kematian manusia berarti nyawa manusia telah hilang. Nyawa manusia tidak hidup lagi. Manusia tidak bernyawa dan tidak bergerak lagi. Kematian seperti ini disebut juga

"kematian otak" atau "kematian biologis", tujuannya untuk mendefinisikan bahwa seseorang sebagai mati; sebab orang dianggap mati yaitu ketika aktivitas listrik di otak mereka sudah berhenti. Sigmun Freud juga menyebut bahwa Kematian merupakan tujuan hidup manusia.

Sebab manusia pada akhirnya mengalami kematian. Dengan pemahaman di atas jelaslah bahwa kematian itu sebuah fakta hidup yang tak terbantahkan. Dalam kaitan ini dapat diallegorikan sebagaiamana perkataan Yesus dalam perumpamaan itu “Jika biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja” (Yoh 12:24a). Dalam artian manusia baik cepat atau lambat akan mengalami kematian. Sekalipun manusia akan menghadapi kematian sebagaimana ditegaskan Teresa dari Avila tetap menyemangati kita: “Jangan biarkan apapun

(5)

mengganggumu: Jangan biarkan apapun membuatmu takut; semua akan berlalu’ Tetapi Allah tidak berubah, kesabaran cukup untuk menangung segalanya” (Yaconelli, 2019: 146).

Dalam pandangan Yunani tentang kematian, Kematian dalam kultur Yunani menunjukkan pertentangan yang keras dengan kehidupan (Yunani: Joe). Kematian manusia adalah terbebasnya jiwa dari tubuh manusia. Dalam dunia Yunani, tubuh adalah penjara bagi jiwa. Tubuh dimaknai sebagai hal yang buruk dibanding dengan jiwa. Dari pemahaman ini orang Yunani memiliki paham dikhotomi terhadap hakekat manusia, yaitu adanya perbedaan atau pertentangan antara tubuh / jasmani dengan jiwa manusia. Di saat manusia mati, maka yang mati hanyalah badannya / jasmaninya sedangkan jiwa (psukhe) nya tetap hidup. Oleh karena itu dalam dunia Yunani kematian manusia hanya sepihak, yaitu hanya berdampak kepada kematian tubuh / jasmani, sedangkan jiwa nya tetap hidup. Bagi dunia Yunani kematian merupakan sebuah kewajaran. Kematian adalah “nothingness”, tidak ada apa-apanya, kematian itu hanya tidur yang kekal, atau kematian itu dimaknai sebagai istirahat setelah sebuah perjalanan yang panjang (Veyne, 1997: 218-220). Dengan anggapan ini sekalipun manusia mati, namun jiwanya tetap hidup. Karena itu dengan kematian manusia maka jiwanya terlepas dari penjara tubuhnya. Dalam literatur Yunani menyebutkan bahwa jiwa dipahami sebagai kombinasi dengan tubuh manusia, namun di saat manusia mati jiwa meninggalkan tubuhya. Sehingga jiwa itu tetap mengalami kehidupan (Brown, 1986: 676-677). Dari pemahaman tersebut kematian manusia dimaknai sebagai keterpisahan tubuh jasmani dengan jiwa manusia. Kematian itu merupakan sebuah kewajaran, bahkan sebuah kebaikan sebab dengan adanya kematian menjadi terbebasnya jiwa dari tubuh sebab tubuh adalah penjara bagi jiwa manusia.

Dalam pandangan orang Yahudi memahami kematian berbeda dengan pandangan Yunani. Perbedaan ini khususnya di dalam memaknai kehidupan setelah kematian manusia.

Sekalipun dalam ke-Yahudian ada pro-kontra terhadap hidup setelah kematian. Misalnya ada kelompok Saduki tidak menerima adanya kebangkitan setelah kematian manusia. Orang Saduki tidak mengakui eksistensi malaikat. Sedangkan kelompok orang Yahudi, kelompok Farisi mengakui adanya kebangkitan setelah kematian. Perbedaan pandangan antara paham Yunani dengan Orang Yahudi sangat nyata. Orang Yunani memaknai adanya kekekalan terhadap jiwa, sedangkan bagi orang Yahudi kekekalan sekalipun ada namun kekekalan itu adalah hanya bagi manusia yang melakukan perbuatan dan tindakan kebaikan. Hal ini diungkapkan dengan perkataan: “All souls are imperishable, but only the souls of good passed into another body, while the souls of bad are punished with everlasting punishment”

(War.2:8.14)…souls have an immortal vigor, and under the earth there are rewards and punishments…Virtuous souls possess) the capability of returning to life” (Pfeiffer, 1949: 54- 55). Dengan pemahaman ini memberi makna jika manusia melakukan kebaikan, maka konsekwensinya ia akan memperoleh kekekalan, sebaliknya manusia atau jiwa manusia yang jahat akan mendapat hukuman yaitu hukuman yang kekal. Karena itu kekekalan hidup manusia itu tergantung kepada kemampuan manusia melakukan yang baik atau yang jahat.

Arti dan Kematian Perspektif Biblis

Dalam Alkitab baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, memberi referensi yang beragam mengenai penyebutan tentang mati atau kematian. Ini menunjukkan bahwa topik ini mendapat perhatian bagi para penulis dalam Alkitab. Hal ini juga menunjukkan sekalipun kematian merupakan kesedihan yang mengharubirukan hati manusia, namun inilah fakta nyata yang perlu dihadapi.

Dalam Alkitab istilah tentang kematian sangat bervariasi sebagai berikut: Mawet, atau mut, arti mati. Tuhan telah menegaskan bahwa manusia tidak boleh memakan makanan

(6)

pengetahuan tentang yang baik dan jahat, pada hari mereka memakannya mereka pastilah mati, mooth (Kej. 2:17). Orang yang mati (mawet) tidak akan mengingat Tuhan (Mzm. 6:6).

Demikian juga kepada orang yang tewas / mati akibat peperangan (1 Sam. 14:13). Orang Israel memaknai mawet, orang meninggal akan terpisah dari Allah. Manusia tidak memiliki hubungan lagi dengan Allah. Dari pemahaman ini kematian mearuakan keterpisahan dengan Allah. Misalnya orang yang sudah mati tidak dapat bermazmur bagi Tuhan (Yes. 38:18). Abad, artinya binasa (Ayub 4:7; 9, 11, 20). Harag, artinya membunuh. Dalam arti seseorang yang membunuh dapat menimbulkan kematian bagi yang lain, misalnya ada rencana orang Mesir akan membunuh Abraham manakala istrinya tidak disebut sebagai adiknya (Kej. 12:12; bnd. 2 Sam. 3: 30). Halal, artinya mati. Pemazmur menegaskan bahwa orang yang mati itu tidak memiliki hubungan lagi dengan Tuhan (Mzm. 88:6). Nakah artinya memukul, menghantam atau membunuh seseorang. Dengan pukulan ini mengakibatkan kematian seseorang (Kej. 4:

15, bnd. Mzm. 135:10). hamam, artinya menghancurkan (Ul. 2: 14-15). Shakab, ada mengartikannya sebagai orang yang tidur, dan ada juga menerjemahkan sebagai tujuan perhentian (Ul. 31:16).

Dari istilah-istilah kematian di tersebut nyata bahwa penggunaan istilah untuk kematian beragam. Semua ini menunjukkan keadaan orang yang sudah mati tidak lagi memiliki akses komunikasi lagi baik kepada manusia dan kepada sang pencipta-Nya. Dan kematian itu merupakan akibat dosa manusia. Namun menjadi catatan penting seperti yang dijelaskan di atas bahwa orang mati bagaikan orang tidur (Shakab), menandakan akan ada kebangunan atau kebangkitan (bnd. Mat. 9:24).

Dalam Perjanjian Baru melaporkan bahwa pengunaan kata “mati atau kematian juga bervariasi, seperti yang ditemukan juga dalam kitab Perjanjian Lama sebagai berikut:

Aphothnesko, artinya meninggal, di mana manusia meninggal secara alami. Arti kematian ini dikenakan bukan hanya kematian manusia juga, kematian hewan dan tumbuh-tumbuhan.

(Yoh. 6: 50, 12:24; Gal. 6:2, 19 dan Kol. 3:3). Apoktheino, atinya menghancurkan, membunuh.

Artinya dampak pembunuhan itu adalah kematian. Misalnya Herodes melakukan pembunuhan terhadap Yohanes pembaptis (bnd. Mat. 14:5, 10:28 dan Rom. 6:7). Teleutao, berarti mati, yaitu menunjukkan seserorang yang mati, misalnya kematian Lazarus saudara laki-laki Maria dan Martha dan atau kematian Herodes (Mat. 2:19; 15:4). Thanatos artinya menunjuk keberadaan seseorang yang mati. Kata thanatosini juga dipakai menunjukkan kematian Yesus.

Misalnya seperti pengakuan Paulus, Kristus telah mati untuk dosa-dosa kita (1 Kor. 15:3, Rom.

5:8). Nekros, artinya menunjuk kematian, baik secara moral maupun secara spiritual (Rom.

8:10). Kata nekros ini juga digunakan untuk menggambakran kehidupan manusia yangmasih hidup namun di hadpaan Allah sudah mati. Inilah yang ditegaskan Yakobus: di mana orang yang beriman tanpa diwujudkan dalam perbuatan pada hakekatnya adalah mati (bnd. Yak.

2:17). Inilah yang sering dikiaskan bagaikan “mayat-mayat berjalan”. Komao artinya tidur.

Kata komao di samping makna tidur secara hurufiah, juga dimaknai secara metaphor menunjuk seseorang dalam keadaan mati. Misalnya Yesus menyebut Lazarus dalam posisi “tidur”

(komao), namun faktanya sudah mati (Yoh. 11:13-14). Kata Komao sinonim dengan katheudo artinya tidur sebagai gambaran untuk orang mati (Mrk. 5:39). Sehingga sekalipun debut tidur dalam faktanya sudah mati. Penjelasan tentang kematian dalam Perjanjian Baru memiliki persamaan dengan pemahan dalam PL, bahwa istilah yang digunakan dalam PB juga bervariasi, namun sama-sama memiliki pemahaman dan penekanan yang mirip dan memiliki landasan pemahaman yang sama di manasecara mendasar bahwa kematian itu merupakan konsekwensi karena dosa dan pelanggaran manusia terhadap perintah Allah. Dalam PB menyebutkan bahwa upah dosa adalah kematian (Rom. 6:23) atau akibat dosa akan berdampak pada hukuman kepada manusia (Rom. 15:9; bnd. Amsal 8:35-36).

(7)

Hakekat kematian dalam perspektif Biblis, ialah Pertama bila seseorang itu mati maka yang mati itu adalah badan atau jasmaninya. Misalnya dalam Kej. 2:7 menegaskan manusia adalah mahluk yang totalitas, satu kesatuan. Sedangkan jiwanya atau rohnya bersifat menetap, baka. Artinya bila seseorang itu mati maka jiwanya terus hidup sedangkan badannya mati bahkan akan membusuk. Tubuhnya kembali menjadi debu, sedangkan jiwa/rohnya kembali Allah yang memberikan roh itu kepadanya. Konsep inilah mirip seperti yang dipahami dalam konsep Yunani yang memiliki paham dualistis (Phan, 2005: 143-144). Bagi orang Yunani tubuh adalah penjara jiwa, sehingga bila manusia mati jiwanya akan tetap hidup (immortality) (Guley, 1992: 110-111). Di sini nyata pertentangan antara tubuh dan jiwa atau dengan kata lain bahwa jiwa manusia itu tidak pernah mengalami kematian. Dalam dunia Yunani kematian manusia itu merupakan sebuah berkat yang besar, sebab ada pencapaian hidup dan hal ini merupakan sebuah peneguhan sebab dengan kematian itu sendiri pelepasan jiwa dari tubuh akan terwujud. Tubuh manusia dipahami sebagai kesia-siaan saja (Schmithals, 1986: 430-433).

Dengan pemahaman ini semakin nyata bahwa tubuh secara jasmani hanyalah bersifat fana dan sia-sia belaka, sehingga tubuh itu bagaikan kuburan bagi jiwa saja. Dampak dari pemahaman ini tubuh manusia itu dapat diperlakukan sesuka manusia saja. Kedua, pemahaman bahwa baik badan/ jasmani, dan jiwa manusia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hakekat manusia, tidak terpisahkan sekalipun punya penyebutan yang berbeda satu dengan yang lain.

Tubuh/jasmani dan jiwa merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Hal ini sangat kontras berbeda dengan yang dipraktekkan oleh orang Yunani. Dalam pandangan secara biblis tubuh disebut soma bukanlah penjara bagi jiwa. Sangat penting dipahami bahwa kejahatan itu bukanlah dilakukan tubuh saja, sedangkan jiwa terlepas dari kejahatan. Dalam Perjanjian Baru menyebut bahwa manusia sekalipun terdiri dari tubuh, jiwa dan roh ini merupakan satu kesatuan yang hakiki (Phan, 2005: 145-146). Dengan demikian hakekat manusia sekalipun pada saatnya akan mati tapi identitas orang percaya jelas dan tegas kita hidup bersama Kristus, sebab kita adalah milik-Nya (1 Kor. 3:22). Jika kita sebagai orang yang percaya yakin berada di dalam Kristus: bahwa baik mati, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada di dalam Kristus Yesus, Tuhan kita ( Bnd. Rom.

3:38-39).

Memahami Pandemi Covid-19 Dari Berbagai Sudut Pandang

Melihat Pelonjakan penyebaran virus Covid-19 pemerintah melakukan perubahan terjadi secara besar-besaran, melalui aturan-aturan pemerintah menerapkan aturan Social Distancing dan Stay at Home yang mengaturkan setiap orang menjaga jarak dengan orang lain dalam jangka 1 Meter dan setiap orang untuk memilih tetap berada di dalam rumah masing- masing, peraturan persebut kemudian memaksa setiap orang mengubah kebiasaan manusia dalam bersosialisasi dengan cara berkumpul untuk berinteraksi sesama manusia. Perubahan ini kemudian semakin nyata dengan aturan semakin besar dalam upaya menghentikan penyebaran Covid-19 dengan melakukan karantina nasional dari banyak negara-negara, penutupan perbatasan negara, penutupan transpotrasi skala besar, sekolah-sekolah beserta Universitas, pusat-pusat perbelanjaan, mall ditutup, acara olahraga, seni dan budaya bertaraf Internasional di batalkan bahkan tempat-tempat ibadah ditutup. Pandemi Covid-19 telah mendatangkan banyak perubahan–perabauhan yang mendasar, yang berdampak keputusasaan dan ketidakpastian bagi umat manusia di seluruh dunia. Kecemasan dan ketakutan dirasakan di mana-mana. Pemerintah di berbagai negara telah menerapkan lock down atau pembatasan aktivitas sosial warganya, sebagai langkah pandemi Covid-19 yang masuk ke berbagai negara di belahan dunia. Masyarakat diminta tinggal di rumah atau melakukan kegiatan di rumah seperti: bekerja, belajar, dan beribadah. Aktivitas publik juga menjadi dampak, seperti: di

(8)

bidang ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain-lainnya. Banyak yang terkena dampak, bahkan banyak yang ditutup. Krisis ekonomi menjadi ancaman pada semua negara. Kehadiran pandemi Covid-19 juga telah membuat gereja atau umat Kristen untuk melakukan berbagai perubahan dalam pelayanan. Pandemi Covid-19 ini memang menakutkan dan hal yang dirasakan paling menakutkan adalah ancaman kematian. Kematian terjadi di mana-mana dan terus bertambah setiap harinya. Siapa saja bisa terinfeksi dan bahkan hingga ada yang meninggal. Sebagaimana ditegaskan Ingravallo, “Pandemi Covid-19 ini telah membuat kecemasan dan ketakutan, baik yang terinfeksi maupun yang tidak”. Pandemi Covid-19 memang sangat menakutkan dan hal yang paling dirasakan adalah ancaman kematian. Kematian terjadi di mana-mana dan terus bertambah setiap hari (Ingravallo, 2020: 268). Melihat kondisi ini menimbulkan sebuah perasaan kekhawatiran yang sangat dalam di mana Kematian yang akan dihadapi manusia terasa sangat dekat.

Berdasarkan data per tanggal 30 November 2021, dari Pemerintah RI menyebutkan bahwa jumlah negara yang terpapar Covid-19 sebanyak 226 negara dengan 260.867.011 jiwa terkonfimasi terpapar Covid-19 dengan 5.200.267 jiwa yang meninggal dunia. Jumlah penyebaran Virus Corona sendiri di Indonesia terkonfirmasi 4.256.409 positif dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 143.830 jiwa (lihat Https://Covid19.go.id). Tentunya data- data ini akan selalu berubah dan bertambah mengingat tingginya persentase terpapar Covid- 19.

Selama pandemi Covid-19 melanda dunia jarak antar sesama baik kepada keluarga, teman, tetangga, dan dengan yang lainnya terlihat ada jarak. Dengan tujuan agar tidak tertular oleh virus pandemi Covid-19. Seperti yang kita ketahui seluruh dunia ikut terkena dampak dari pandemi Covid-19 ini. Angka terpapar, sembuh, dan kematian yang menambah mengakibatkan dan mengingatkan kita untuk hati-hati dan waspada. Dampak sosial, kultural, ekonomi, politis, dan lainnya yang muncul telah dan akan terus mengubah wajah dunia yang tak terbayangkan dan tak terprediksi oleh manusia. Semua tak lagi sama, yang dulunya sebelum pandemi melanda dunia, saling bertatapan dan saling menyapa lewat bersalaman dan saling berpelukan antar sesama yang menandakan akan kerinduan. Namun, pada saat Covid-19 melanda dunia semuanya berubah. Seperti, “kapal yang berlayar di lautan bebas, harus berputar balik dikarenakan di depan ada badai yang akan terjadi”. Kita lihat bagaimana dampak pandemi Covid-19 ini yang mengakibatkan saling tegur sapa, bersalaman dan berpelukan secara langsung telah dilarang agar tidak terpapar dari Covid-19. Apabila ada yang terpapar dari Covid-19 ini akan diisolasi, dibawa ke rumah sakit rujukan yang bertujuan agar tidak menyebar kepada yang lain. Tapi juga ada yang diisolasi secara mandiri yaitu bila ada anggota keluarga yang terpapar akan dirawat oleh keluarga, namun anggota yang terpapar harus dirawat dan dijaga oleh pihak keluarga tentunya di pantau oleh pihak kesehatan dan pemerintahan setempat.

Karena banyaknya lonjakan pasien yang dirawat di rumah sakit dan adanya beberapa faktor lain yang membuat orang untuk memilih di isolasi secara mandiri di rumah. Hingga saat ini kita tidak tahu sampai kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir.

Pandemi Covid-19 adalah situasi di mana orang Kristen dan semua penduduk di dunia berhadapan dengan keadaan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya: ternyata penderitaan dan kematian begitu dekat dan sekaligus begitu menakutkan. Tetapi berita Injil meneguhkan manusia bahwa: Yesus Kristus sudah mengalahkan dosa dan kematian, dan bagi mereka yang percaya, “…meskipun dahulu mati oleh pelanggaran [kita] …telah dihidupkan Allah bersama- sama dengan [Kristus], sesudah Kristus mengampuni segala perbuatan dosa kita” (bnd. Kol.

2:13). Mengenai kematian jasmani yang akan kita hadapi di dalam kehidupan ini, Yesus Kristus memberikan jaminan kepastian dan yang tidak dapat dibeli dengan harta benda apa pun juga:

“Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia

(9)

sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama- lamanya (Lukito, 2020: 11-13).

Teologi Kematian Di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 ini ternyata menyadarkan hakikat manusia itu sendiri adalah tercipta dari debu tanah (Kej. 2:7). Hakikat manusia sesungguhnya menjelaskan kesiapaan manusia yaitu sangat lemah dan rentan. Musa sendiri menunjukkan kerentanan manusia di hadapan Allah dalam Mazmur 90: 1-12. Kerentanan akan hidup manusia diibaratkan seperti rumput yang pada waktu pagi berkembang namun pada waktu petang menjadi layu. Dalam menatap peristiwa yang terjadi pada masa pandemic Covid-19 ini menyadarkan manusia memahami makna yang diajarkan Musa dalam Mazmur 90:12 tentang menghitung hari-hari. Manusia diajarkan untuk mempergunakan waktu dengan sangat bijaksana dalam hidupnya yang rapuh tersebut.

Hakikat manusia sebagai mahluk yang sangat rentan karena terbuat dari debu mengungkapkan bahwa manusia dapat menjadi kuat hanya dengan pemberian kekuatan dari Allah saja. Dalam Kejadian 2:7 menyatakan manusia yang dari debu itu dapat hidup setelah Tuhan Allah sendiri yang menghembuskan nafas (Roh)-Nya kepada manusia. Terlihatlah bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa Allah (bnd. Yoh. 15:5). Meskipun manusia memiliki kecerdasan yang sangat luar biasa melalui teknologi-teknologi di bidang medis, dan bidang lainnyanamun manusia tidak dapat menghalang kematian yang terjadi pada dirinya, manusia tidak dapat menghalangi dirinya sebagai debu untuk kembali menjadi debu. Kematian dimaknai secara rohani dan secara jasmani. Arti dari kematian secara rohani adalah sekalipun manusia itu masih hidup secara jasmani, namun ketika hidupnya tidak lagi mengucap syukur dan memuji kepada Tuhan, pada hakekatnya manusia tersebut sudah mati secara rohani di hadapan Allah (bnd. Yak. 2:17). Di dalam surat 1 Yohanes menyebutkan bahwa kematian secara rohani ialah ditujukan kepada mereka yang tidak mangasihi saudaranya. Artinya tanpa mengasihi berarti hidup dalam thanatos (kematian) (1 Yoh. 3: 14). Kematian secara jasmani menjelaskan bahwa manusia yang telah mati, manusia tersebut tidak lagi punya hubungan dengan Allah. Kematian secara rohani bila manusia tidak ada pertobatan dalam hidupnya akan berdampak kematian yang kekal, yang di dalam Alkitab sering disebut dengan kematian yang kedua (Yud. 12; Why. 2:11) (Sipayung, 2021: 64-65). Orang yang sudah meninggal tidak kembali lagi ke dunia dan tidak lagi berhubungan dengan manusia. Orang mati terpisah dari manusia yang masih hidup. Tujuan-tujuan manusia akan diputuskan saat ia mati, dan pada saat hari penghakiman, orang percaya akan diselamatkan dan orang yang tidak percaya akan dihukum (Mrk. 16:16). Tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki kondisi seseorang setelah mengalami kematian (Koiman, 1986: 201). Meskipun demikian, bagi orang percaya kematian bukan lagi hal mengerikan, menakutkan dan dihindari. Paulus mengatakan bahwa kematian itu adalah keuntungan, karena bertemu dengan Yesus (Flp.1:21). Menurut Anthony De Mello, kematian adalah sesuatu yang mengagumkan. Kematian menakutkan hanya bagi orang yang belum pernah memahami arti kehidupan. Supaya dapat benar-benar hidup, caranya adalah kematian (Situmorang, 2016: 5). Kedukaan adalah tamu tak diundang yang datang sewaktu-waktu tanpa kata permisi dan tanpa mengenal keadaan. Setiap orang akan mengalami perpisahan baik sementara maupun selamanya yakni disebut kematian. Ada yang dapat menghadapi dengan baik dan ada yang menghadapi dengan tidak siap dan memerlukan proses waktu cukup panjang untuk berduka. Kita membutuhkan Tuhan sebagai sumber kekuatan dan penghiburan serta pengharapan dalam menghadapi kedukaan. Kedukaan adalah proses yang perlu dijalani dan bukan disangkali oleh setiap orang yang berada di sekitarnya. Semakin kita semakin terbuka dengan perasaan sedih dan menyalurkannya dengan baik, semakin sempurna penyertaan Tuhan membalut segala luka, kesedihan dan kedukaan (Sudirgo, 2019: 1). Bagi

(10)

orang Kristen inti dari semua pengharapan itu adalah harapan akan Tuhan, karena bagi orang Kristen menjadi manusia berarti berhubungan dengan Tuhan. Yang paling jelas mengungkapkan harapan yang ada dalam inti kehidupan adalah keterbatasan yang kita rasakan dalam semua pengalaman kita. Harapan yang tumbuh dalam hidup terdalam adalah harapan dalam Allah sebagai satu-satunya pribadi yang melingkupi sejarah manusia dalam hal pemberian kasihNya (Hentz, 2004: 34-35). Kematian Yesus juga pada awalnya adalah kesedihan dan kekecewaan bagi para murid. Karena mereka telah mengharapkan begitu banyak dari Yesus, tetapi maut telah menghancurkan harapan mereka. Kemudian ketidakpercayaan dan kesedihan mereka berubah menjadi sukacita. Yesus berkata “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun sudah mati, dan setiap orang yang hidup tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh. 11:25-26). Meskipun banyak kerabat yang mengalami kematian di masa pandemic ini, itu bukan berarti Allah tidak peduli kepada mereka, bukan berarti pula mereka menerima hukuman. Semua orang cepat atau lambat akan mengalami kematian. Dan giliran merekalah saat ini, tetapi pengharapan orang percaya, kematian adalah proses menerima kehidupan kekal. Sebab orang yang mati dalam Yesus akan dibangkitkan suatu saat saat hari penghakiman untuk masuk dalam kerajaan Sorga, seperti yg difirmankan Tuhan Yesus dan Ia sedang mempersiapkan semuanya itu (Yoh. 5:24, Yoh. 14:1- 3).

“Kematian adalah ujung dari perjuangan, akhir dari kemenangan, pintu dari kehidupan”

sebuah ungkapan yang memberikan pengharapan yang menyiratkan adanya kebahagiaan di balik kematian. Paulus dalam suratnya ke jemaat Filipi, memberikan sebuah narasi yang membalikkan cara berpikir konteks masyarakat saat itu, di mana kematian dianggap sebagai musibah, tetapi Paulus memberikan penegasan bahwa baginya “Hidup merupakan Kristus sedangkan mati adalah sebuah keuntungan” (Bnd. Fil. 1:21). Kemudian dalam menghantarkan kepada pemahaman Teologi terkait hal ini, Alkitab menegaskan dalam 2 Samuel 14:14a,

“Sebab kita semua pasti mati”. Kematian memang pasti, tetapi kapan waktunya masih menjadi misteri. Alasannya sebab seseorang mengalami kematian bukan karena sakit saja, bisa karena bencana, kecelakaan, dan tidak memandang usia tua atau muda (Munthe, 2020: 178-179).

Pandemi menyebabkan kuantitas kematian meningkat dengan pesat. Bagi keluarga yang kehilangan orang yang dikasihi, tentu kematian pasti menyayat hati. Lalu apakah memang kematian semengerikan itu? Tentu untuk ini perlu penjelasan-penjelasan teologis terkait hal ini. Memang Alkitab meriwayatkan bahwa seseorang yang telah mengalami kematian (Yunani:

Thanatos) maka orang mati itu akan berada dalam suatu tempat, yang dalam konsep PL disebutkan sebagai sheol. Dimaksud dengan sheol ialah diartikan sebagai tempat atau keberadaan orang yang telah mati (Bnd. Bilangan 16: 30-33, Amos 9:2). Dalam terjemahan Bahasa Inggris, sheol diartikan sebagai dunia orang yang telah mati (Fleming, 1990: 403).

Orang Israel kuno memahami bahwa sesudah manusia meninggal, maka seluruh pribadi manusia itu turun ke dunia orang mati. Kematian antonim dari kehidupan, karena orang yang sudah mati tidak bisa menjalani/ melakukan aktivitas layaknya orang yang masih hidup di dunia. Ia tidak mampu lagi berkomunikasi dengan yang hidup. Pemazmur dan Nabi Yesaya menyebut bahwa orang yang sudah mati tidak dapat mengucap syukur dan tidak dapat lagi memuji Tuhan (bnd. Mazm 30:10; Yes 38:18-19) (Sipayung, 2021: 64). Keberadaan orang mati di Syeol tidak memungkinkan lagi untuk memuji Tuhan karena tidak ada lagi kontak dengan Sang Ilahi (King & Stager, 2010: 428-429). Dalam Perjanjian Baru, dunia orang mati disebut dengan hades (Yunani). Semua orang akan memasukinya pada saat kematian (Vaux, 1961: 56). Alkitab menjelaskan bahwa orang mati akan memasuki tempat pemberhentian yakni dunia orang mati. Manusia hanya mati sekali, lalu setelah kematian maka akan menghadapi penghakiman (Bnd. Ibr. 9:27. Lih. juga Yoh. 5:28-29). Alkitab menjelaskan ketika seseorang meninggal, maka ia akan memasuki dunia orang mati. Alkitab juga memberikan penjelasan

(11)

lebih lanjut bahwa akan ada juga kebangkitan orang mati (1 Kor. 15:42-44). Tokoh Reformasi Gereja, Martin Luther memahami bahwa dirinya suatu saat akan mati, maka ia juga akan masuk dalam dunia orang mati. Tetapi ia percaya, bahwa ia juga akan mengalami kebangkitan. Luther memiliki pandangan yang didasari dari Yohanes 5:28-19 yang menjelaskan bahwa “semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum (Luther, 2020: 166). Jadi ada harapan kehidupan setelah kematian menurut apa yang dipahami oleh Luther melalui dengan adanya kebangkitan setelah kematian.

Bagi mereka yang hidupnya adalah Kristus, kematian merupakan keuntungan.

Keuntungan itu besar, keuntungan waktu sekarang, dan keuntungan di masa akan datang dan yang kekal. Bagi manusia duniawi yang fana, kematian merupakan kerugian yang besar, sebab ia kehilangan segala kesenangan hidup dan semua pengharapannya. Tetapi bagi seorang Kristen yang percaya, mati adalah keuntungan, sebab mati itu menjadi akhir dari segala kelemahan dan kesengsaraannya, serta merupakan penyempurnaan dari kesenangan dan penggenapan harapan-harapannya. Kematian akan membebaskan dia dari segala kejahatan kehidupan, serta membawanya menjadi pemilik atas hal yang terbaik. Atau, bagiku mati adalah keuntungan, yaitu “bagi Berita Injil dan juga bagi diriku sendiri, yang akan memperoleh penegasan lebih lanjut melalui dimeterainya darahku, sebagaimana sebelumnya melalui segala jerih payah hidupku” (Fil. 1:21-22)”. Begitulah Kristus akan dimuliakan oleh kematiannya.

Sebagian orang menafsirkannya seperti ini: Bagiku, hidup dan mati, Kristus adalah keuntungan, artinya, “Tidak ada yang kuingini lagi, baik sementara aku hidup atau ketika aku mati, selain menerima Kristus dan didapati ada di dalam Dia.” Hal itu bisa saja diartikan, jika kematian menjadi keuntungan baginya, mungkin karena ia merasa letih dalam kehidupan ini, dan tidak sabar menantikan kematiannya. Diam bersama dengan Kristus itulah yang membuat orang-orang percaya mengingini kepergian itu. Itu bukan mati begitu saja, juga bukan masalah mati itu sendiri atau demi kematian itu sendiri, melainkan ia perlu dikaitkan dengan suatu hal lain yang dapat membuatnya benar-benar berarti sebagaimana mestinya. Kematian, bahagia bersama Kristus yang bangkit. Maka sebab itu, seseorang yang mengalami kematian di masa pandemi bukan lah orang yang menerima kutukan. Dalam pembahasan sebelumnya, sudah cukup banyak dijelaskan tentang kematian. Defenisi kematian tersebut juga berlaku bagi orang yang mengalami kematian di masa pandemi. Ia juga akan mengalami kebangkitan. Dalam kajian Biblisnyabanyak menjelaskan tentang kebangkitan orang mati (1 Kor. 15:42-44), yang berlaku juga bagi mereka yang mengalami kematian di masa pandemi. Kebangkitan ini tidak terlepas dari kebangkitan Kristus, sebab Ia lah buah sulung dari kebangkitan (1 Kor. 15:20-21, 1 Tim. 6:16). Orang yang percaya akan dibangkitkan untuk hidup yang kekal sedangkan yang tidak percaya akan dibangkitkan untuk siksaan kekal (Dan. 12:2, Mat. 25:46). Peristiwa kebangkitan terjadi saat kedatangan Kristus kembali/ datang yang kedua kalinya (Mat. 24:27, Lukas 17:24, Kis. 1:11). Melalui kebangkitan Kritus, itu menunjukkan bahwa kebangkitan orang mati. Itulah pengharapan yang dijelaskan secara biblis bagi orang percaya. Meskipun realitanya memang, seseorang yang mengalami kematian di masa pandemi seolah-olah mendapat perlakukan berbeda, seperti beberapa kasus, ada yang dikubur tanpa menerima liturgi penguburan dari gereja, proses penguburan yang dipersingkat dengan memakai sistem penguburan jenazah pasien Covid, tidak ada pesta adat, dan sebagainya. Hal-hal tersebut dapat membuat keluarga seolah-olah berada dalam situasi, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tetapi dalam hal ini, perlu dipertegas, mereka yang mengalami kematian di masa pandemi, juga akan mengalami kebangkitan. Hakekat yang mendasar adalah adanya kebangkitan orang mati itu bukan karena menerima liturgi penguburan atau tidak menerima, atau karena meninggal sebelum/sesudah Covid atau di masa Covid, melainkan karena Kristus sudah bangkit dari kematian (1 Kor. 15:21). Itulah pengharapan dan jaminan bagi orang yang percaya dan akan

(12)

mendapatkan kebahagiaan yang diterima oleh setiap umat percaya. Itu jugalah yang menguatkan keluarga orang yang percaya sekalipun tertimpa kemalangan, kehilangan orang terkasih. Mati itu bahagia bersama Kristus yang bangkit.

IV. Kesimpulan

1. Kematian berarti berhentinya segala aktivitas manusia. Dengan berhentinya aktivitas otak dan yang berkaitan dengan hal-hal biologis, maka dipahami manusia itu tidak lagi memiliki akses komunikasi baik kepada Allah, maupun terhadap manusia lainnya.

Orang yang sudah mati tidak dapat menaikkan pujian terhadap Allah dan komunikasi terhadap manusia lainnya. Dalam kitab Yesaya tegas menyebutkan “Sebab dunia orang mati tidak dapat mengucap syukur kepada-Mu, dan maut tidak dapat memuji-muji Engkau, orang-orang yang turun ke liang kubur tidak menanti-nanti kesetiaan-Mu”

(Yes.38:28).

2. Dalam dunia Yunani, kematian manusia dipahami hanya kematian sepihak, artinya kematian hanya berlaku untuk tubuh manusia, sedangkan jiwa tidak mengalami kematian. Kematian hanya dialami oleh tubuh jasmani manusia sedangkan jiwa manusia tetap hidup. Orang Yunani sangat merendahkan tubuh dan meninggikan jiwa.

Tubuh adalah penjara bagi jiwa. Bagi orang Yunani kematian merupakan sebuah suka cita bagi jiwa sebab dengan kematian itu sendiri jiwa terlepas dari tubuh yang selama ini menjadi penjara bagi jiwanya.

3. Orang Yahudi memahami kematian berkaitan dengan ketidaktaatan manusia melakukan kehendak Allah. Pelanggaran manusia terhadap aturan dan hukum Allah menjadi faktor penyebab kematian. Kematian manusia adalah dampak dosa atau pelanggaran. Orang Yahudi sangat menekankan paham “tabur tuai”. Perbuatan baik manusia menjadi syarat memperoleh kehidupan, sebab kehidupan adalah milik orang yang mampu melakukan perbuatan baik. Oleh sebab itu, teologi Yahudi selalu menekankan konsep “reward” dan “punishment”. Reward bagi yang berjasa, yang mampu melakukan kebaikan dan punishment kematian bagi orang yang melanggar aturan.

4. Kematian dalam perspektif Biblis, memiliki kesamaan dalam kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Alkitab menekankan pelanggaran dan dosa manusia adalah penyebab kematian (bnd. Amsal 8:35-36; Rom 6:23). Kematian itu juga dipahami sebagai keterpisahan manusia dengan Allah. Secara Biblis, kematian itu dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu kematian fisik, kematian spiritual dan kematian yang kekal.

Kematian fisik orientasinya kepada kematian manusia dan kematian mahkluk ciptaan lainnya. Hanya Allah saja pribadi yang tidak takluk kepada maut (bnd. 1 Tim 6:16).

Kematian spiritual artinya menunjukkan bahwa secara biologis manusia masih hidup, namun secara teologis ia sudah sudah mati. Hal ini lah ditekankan oleh Kitab Yakobus.

Di mana iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati (bnd. Yak 2:17, 26).

Kematian seperti ini sering terjadi dalam kehidupan manusia hingga saat ini. Dan kematian ketiga yaitu kematian yang kekal. Kematian yang kekal artinya kematian untuk selama-lamanya (bnd. Dan 12:2). Dalam pemahaman Biblis, kematian itu hakekatnya adalah kematian totalitas (bnd. Kej 2:7), berbeda dengan kematian dalam dunia Yunani. Artinya tubuh dan jiwa adalah satu kesatuan. Namun sekalipun ada kematian totalitas, lewat kebangkitan Kristus sebagai anak sulung kebangkitan itu, maka setiap orang yang percaya kepada Kristus akan dibangkitkan untuk mendapatkan kehidupan dan tinggal bersama-sama dengan Kristus. Orang yang percaya di dalam Kristus memiliki identitas yang jelas yaitu berdiam bersama Kristus (bnd. Fil 1:23).

Pandangan kematian totalitas memang masih tetap dalam perdebatan, artinya tidak

(13)

menerima pandangan di atas dengan berbagai alasan. Misalnya ketika Yesus bercerita tentang Lazarus dan seorang kaya, dan juga Abraham yang sudah lama mati namun di dalam cerita yang disampaikan Yesus itu mereka sama-sama berkomunikasi (Luk. 16:

19-31). Dengan bukti ini jelas menunjukkan bahwa jiwa itu tetap hidup dan bukan mati. Memang itu merupakan alasan yang teologis namun kisah itu hanya lah sebuah perumpamaan saja. Tanpa mempertentangkan paham kematian secara totalitas atau tidak, saya menyetujui bahwa manusia itu bukan lah terpisah-pisah, tapi satu kesatuan.

Demikian juga dengan kematian manusia adalah kematian yang totalitas.

5. Pandemi Covid-19 adalah wabah penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang disingkat dengan Covid-19. Pandemi ini adalah sesuatu yang menyengsarakan. Pandemi ini mendatangkan dan menyisakan luka yang dalam, khususnya bagi keluarga yang mengalami kematian. Pandemi ini bukanlah kutukan dari Allah, sehingga orang yang mengalami kematian itu bukanlah yang dikutuk Allah (bdn. Borong: Ekologi: Bencana dan Ciptaan, 2021: 119; bnd. Munthe: Gempa Rohani: 73). Banyak misteri yang tidak kita mengerti terjadi di dalam kehidupan, namun dalam iman percaya dan pengharapan kepada Kristus, kita semakin diteguhkan dan dikuatkan, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Roma 8:18).

V. Kepustakaan Sumber Utama:

LAI. (1974). Alkitab dengan Kidung Jemaat, Jakarta: LAI.

Sumber Buku:

Borong, Tobert P. (2021). “Ekologi: Bencana dan Ciptaan”, Teologi Pandemi, Panggilan Gereja di Tengah Pandemi Covid-19, Intim: Yayasan Oase Intim.

Brown C. (1986). “spil”, Dictionary of New Testament Theology Vol 3, Mic.

Zondervan: Colin Brown general Ediitor.

Fleming, Don. (1990). Bible Knowledge Dictionary, Colorado Springs: Scripture Press.

Gulley, Norman R. (1992). “Death New Testament”, The Anchor Bible Dictionary, vol 2, D-G, David Noel Freedman, editor in Chief, New York: Doubleday.

Hunt, Gladys. (2001). Pandangan Kristen tentang Kematian. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

King, Philip J & Lawrence E. Stager. (2010). Kehidupan Orang Israel Alkitabiah.

Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Lukito, Daniel Lucas. (2020). Iman Kristen Di Tengah Pandemi: Hidup Realitas Ketika Penderitaan dan Kematian Merebak. Malang: LP2M STT SAAT.

Luther, Martin. (2020). Katekismus Kecil Luther dan Penjelasannya, terj.

Rawamangun: Luheran Heritage Foundation.

Munthe, Pardomuan. (2020). Gempa Rohani. Medan: PT Penerbit Mitra Grup.

Ngelow, Zakaria dkk. (2021). Teologi Pandemi – Panggilan Gereja di Tengah Pandemi Covid-19. Makasar: Oase Intim.

Nouwen, Henri. (2012). The Road to Peace. Yogyakarta: Kanisius.

Pfeiffer, Robert H. (1949). History of the New Testament Times with an Introduction to the Apocrypha. New York: Harper & Brothers Publsihers.

(14)

Phan, Peter C. (2005). 101 Tanya Jawab tentang Kematian & Kehidupan Kekal.

Yogyakarta: Kanisius.

Raharjo, Tulus. (2003). Sekolah Kematian. Yogyakarta: ANDI.

Schmithals, W. (1986). “Death, Kill, Sleep”, Dictionary of New Testament Thdeology Vol. I Gen.editor Collin Brown. Mic. Grand Rapids: Zondervan.

Sipayung, Jon Riahman. (2021). Layanilah Tuhan dengan Semangat Menyala- nyala. Medan: CV. Sinarta.

Sudirgo, Jeffry. (2019). Bersama Tuhan Dalam Kekelaman. Italia: PaInT Ministry.

Vaux, Roland de. (1961). Ancient Israel It’s Life and Institution. New York:

Mcgraw-Hill Book Company.

Veyne, Paul. (1997). The Roman Empire. Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press.

Yaconelli Mark. (2019). Karunia Penderitaan Menemukan Allah dalam Situasi Sulit dan Mencekam. trans., Jakarta: Literatur Perkantas.

Sumber Jurnal:

F, Ingravallo. (2020). Death in the Era of the Covid-19 Pandemic, dalam jurnal N, Sardono, E. E., Hermiawan, N & Wekin, O. K, Makna Fenomena Kematian Massal Di Tengah Pandemi Covid-19 Berdasarkan Refleksi Dari Ayub 1:1-22 Visio Dei:

Jurnal Teologi Kristen.

Sumber Internet:

Https://Covid19.go.id/ diakses tanggal 30 November 2021 pukul 20:00 WIB Virus Corona: Pangeran Charles, Ahli Waris Tahta Kerajaan Inggris Terkena Covid-19 Dan Lakukan Isolasi Mandiri Dalam Https://Www.bbc.Com/Indonesia diakses tanggal 30 November 2021 pukul 23:00 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

"Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup baik malaikat-malaikat maupun pemerintah- pemerintah baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang

Kita yakin, bahwa baik mau, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, ataupun sesuatu makhluk lain, apapun itu, tidak akan dapat memisahkan kita dari

Sesungguhnya orang-orang nan mengatakan, Rabb kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan),

Ayat 8, “Jadi jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya, bahwa kita akan hidup juga dengan Dia.” Pada bagian sebelumnya Paulus telah menjelaskan salah satu sisi dari

4 8:38 Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, 8:39

Sebagai pengikut Kristus, kita percaya bahwa kita mengambil bagian dalam kematian Kristus dengan cara ‘mati’ atau ‘menguburkan’ atau meninggalkan dosa kita, dan bangkit

Kasih karunia itu adalah orang percaya dipersatukan dengan kematian dan kebangkitan Kristus (Rm. 6:1-13), sehingga ketaatan Kristus menjadi kebenaran orang percaya

Roma 8:38-39 Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau