• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi kesehatan. Sinar matahari dapat meningkatkan kesehatan tubuh karena sinar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi kesehatan. Sinar matahari dapat meningkatkan kesehatan tubuh karena sinar"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Paparan sinar matahari memiliki efek menguntungkan maupun merugikan bagi kesehatan. Sinar matahari dapat meningkatkan kesehatan tubuh karena sinar matahari dapat membantu memperlancar peredaran darah dengan meningkatkan pembentukan hemoglobin. Selain itu, sinar matahari juga dapat membantu pembentukan provitamin D menjadi vitamin D yang berguna dalam metabolisme kalsium dalam tubuh. Namun, paparan sinar matahari juga dapat membahayakan kesehatan karena menghasilkan radiasi ultraviolet (UV). Radiasi sinar matahari yang mengenai kulit dapat memicu terjadinya radikal bebas. Radikal bebas ini bersifat reaktif, mudah bereaksi dengan jaringan sehingga dapat menyebabkan terjadinya sunburn (terbakar surya) pada kulit, kulit kemerahan, bahkan terjadi kerusakan oksidatif pada kulit (Halliwell dan Gutteridge, 1999).

Salah satu upaya pencegahan dari efek merugikan tersebut, dapat dilakukan pemakaian tabir surya. Tabir surya berfungsi menyerap atau menyebarkan sinar matahari sehingga intensitas sinar yang mampu mencapai kulit jauh lebih sedikit dari yang seharusnya (Wasitaatmadja, 1997). Saat ini mayoritas sediaan tabir surya yang beredar di pasaran kandungan bahan aktifnya berupa senyawa sintetik.

Mahalnya obat-obat sintetik dan adanya anggapan bahwa bahan alam lebih aman daripada bahan sintetik menjadi faktor pendorong untuk dilakukannya penelitian pembuatan tabir surya dari bahan alam.

(2)

Temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.] merupakan tanaman temu- temuan (Zingiberaceae) yang telah banyak digunakan sebagai tanaman obat.

Temu putih mengandung berbagai senyawa kimia seperti zedoaron, minyak atsiri, kurkumin, flavonoid, trimethoxyflavone, tetramethoxyflavone, dihidrokurkumin, dan polifenol yang bermanfaat secara farmakologis (Putri, 2014). Kurkumin merupakan golongan senyawa fenolik yang diketahui mampu mencegah penetrasi sinar matahari ke kulit dengan cara mengurangi intensitas radiasi matahari yang mengenai kulit (Pawening, 2009). Senyawa kurkumin dapat berfungsi untuk melindungi kulit dari paparan sinar UV (sebagai fotoprotektor) karena kurkumin dapat mengabsorpsi sinar UV yang memiliki panjang gelombang antara 200 - 400 nm (Badmaev, 2005). Menurut Stevanato (2014) berbagai jenis flavonoid memiliki nilai SPF untuk UV-A dan UV-B.

Berdasarkan kandungan senyawa kurkumin dan flavonoid dalam temu putih yang memiliki nilai SPF serta dapat berfungsi sebagai fotoprotektor, maka temu putih dapat digunakan sebagai alternatif untuk pembuatan tabir surya alami. Hal tersebut dijadikan dasar dilakukannya penelitian tentang pengaruh konsentrasi ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.]

terhadap stabilitas fisik lotion dan aktivitasnya sebagai tabir surya alami.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nur Fitriana (2007) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak rimpang kunir putih maka nilai SPF akan semakin meningkat, sehingga diharapkan pada penelitian ini pengaruh peningkatan konsentrasi ekstrak juga akan meningkatkan aktivitas tabir surya yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai SPF. Menurut Gozali (2014)

(3)

penambahan konsentrasi ekstrak tanaman akan berpengaruh pada sifat fisik sediaan, dimana sediaan akan mengalami perubahan viskositas, pH, dan perubahan kestabilan sediaan selama penyimpanan.

Penelitian ini menggunakan sediaan jenis lotion karena lotion adalah sediaan topikal tabir surya yang sering dipakai masyarakat. Konsistensi lotion yang berbentuk cair atau semi-padat dan juga bertekstur lembut akan meningkatkan akseptabilitas pengguna. Tujuan penelitian ini untuk mengamati stabilitas fisik lotion dengan penambahan variasi konsentrasi ekstrak temu putih dan mengamati aktivitasnya sebagai tabir surya. Optimasi basis lotion dilakukan menggunakan software trial Design Expert® versi 9.0.4.1. dengan metode Simplex Lattice Design. Hasil optimasi basis tersebut selanjutnya diformulasikan dengan penambahan variasi konsentrasi ekstrak temu putih. Stabilitas fisik yang diamati meliputi uji organoleptis, viskositas, daya sebar, daya lekat, dan rasio pemisahan.

Sedangkan aktivitas lotion diamati dengan pengukuran nilai SPF lotion secara spektrofotometri.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.] dapat digunakan sebagai bahan aktif tabir surya?

2. Bagaimanakah stabilitas fisik dan aktivitas tabir surya pada lotion dengan penambahan variasi konsentrasi ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.] ?

(4)

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui aktivitas ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.] sebagai bahan aktif tabir surya.

2. Mengetahui stabilitas fisik dan aktivitas tabir surya pada lotion dengan penambahan variasi konsentrasi ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.].

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang stabilitas fisik dari lotion ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.] dan mengetahui aktivitasnya sebagai tabir surya. Oleh karena itu, diharapkan formula dari lotion ekstrak temu putih dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif sediaan kosmetik tabir surya alami.

E. Tinjauan Pustaka

1. Uraian tanaman temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.]

Klasifikasi tanaman temu putih adalah sebagai berikut : Divisi : Spermathophyta

Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Marga : Curcuma

Jenis : Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.

(Backer dan Van den Brink, 1968)

(5)

Gambar 1. Rimpang temu putih yang diperoleh dari daerah Suroloyo, Kulonprogo, Yogyakarta

Gambar 1 menunjukkan rimpang temu putih yang digunakan dalam penelitian ini. Tanaman temu putih tumbuh liar pada tempat-tempat terbuka yang tanahnya lembab pada ketinggian 0 - 1.000 m di atas permukaan laut.

Tanaman ini mirip dengan temulawak dan dapat dibedakan dari rimpangnya.

Tanaman ini tingginya dapat mencapai 2 m. Batangnya merupakan batang semu yang dibentuk dari pelepah-pelepah daun yang tumbuh dari rimpangnya, berbentuk silindris dan lunak. Salah satu ciri khas dari spesies ini adalah adanya warna ungu di sepanjang ibu tulang daun. Helaian daun berwarna hijau muda sampai hijau tua dengan punggung daun berwarna pudar dan berkilat. Bentuk daunnya bundar, lonjong ke ujung, pertulangan daun menyirip, warnanya hijau dengan panjang 25-70 cm dan lebar 8-15 cm.

Mahkota bunga berwarna putih, dengan tepi bergaris merah tipis atau kuning.

Rimpang berwarna putih atau kuning muda dengan rasa sangat pahit. Dari

(6)

rimpangnya keluar akar-akar yang kaku dan pada ujungnya terdapat kantong air (Dalimartha, 2003).

Temu putih mengandung berbagai senyawa kimia seperti zedoaron, minyak atsiri, kurkumin, flavonoid, trimethoxyflavone, tetramethoxyflavone, dihidrokurkumin, dan polifenol yang bermanfaat secara farmakologis (Putri, 2014). Dari hasil penelitian lain ditemukan kurkumanolid A, kurkumanolid B, dan kurkumenon (Shibara, dkk., 1985).

Rimpang dan daun Curcuma zedoaria mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol (Hutapea, 1993). Umbi akar Curcuma zedoaria mengandung minyak atsiri yang terdiri dari zingiberen (sebagai komponen utama), 1,8- sineol, D-kamfor, D-kamfen, D-borneol, α-pinen, kurkumol, zederon, kurkumeneol, kurkulon, furanodienon, isofuranodienon, kurkuminoid (kurkumin, desmetoksikurkumin, bisdmetoksikurkumin), dan tepung (Sudarsono, dkk., 2002).

2. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk sisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Departemen Kesehatan RI, 1995).

Menurut Voigt (1984), berdasarkan sifatnya, ekstrak digolongkan menjadi empat, yaitu:

(7)

a. Ekstrak encer (extractum tenue)

Jenis ekstrak ini memiliki konsistensi seperti madu dan dapat dituang.

b. Ekstrak kental (extractum spissum)

Jenis ekstrak ini liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang.

Kandungan airnya mencapai 30%.

c. Ekstrak kering (extractum siccum)

Jenis ekstrak ini memiliki konsistensi kering dan dapat digosokkan.

Kandungan airnya tidak lebih dari 5%.

d. Ekstrak cair (extractum fluidum)

Jenis ekstrak ini diartikan sebagai ekstrak cair yang dibuat sedemikian rupa sehingga satu bagian simplisia sesuai dengan dua bagian (kadang- kadang satu bagian) ekstrak cair.

Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna dari obat (Ansel, 2005).

Maserasi merupakan proses paling tepat dimana obat yang sudah halus memungkinkan untuk direndam dalam menstruum sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel, 2005). Maserasi adalah salah satu cara yang digunakan dalam penyarian simplisia nabati maupun hewani, maserasi dilakukan sesuai dengan tingtur (Departemen Kesehatan RI, 1995).

(8)

3. Sinar matahari

Cahaya matahari merupakan energi dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang terdiri dari berbagai macam panjang gelombang mulai dari sinar ultraviolet yang memiliki panjang gelombang 200-400 nm, sinar inframerah dengan panjang gelombang > 770 nm, dan sinar tampak dengan panjang gelombang 400-770 nm. Sinar ultraviolet dapat dibagi menjadi 3 yaitu, sinar UV A (320-400 nm), sinar UV B (290-320 nm), dan sinar UV C (200-290 nm) (Wilkinson dan Moore, 1982).

Berdasarkan kemampuan menembus kulit, sinar UV A dapat menembus kulit sampai bagian dermis, UV B sampai bagian epidermis, dan sinar UV C terserap di lapisan ozon sebelum mencapai permukaan bumi. Sinar UV A memiliki pigmen awal-efek menggelapkan kulit (tanning) diikuti oleh eritema jika pemaparan yang berlebihan. Sinar UV B merupakan radiasi sinar UV yang paling merusak karena memiliki energi yang cukup untuk menyebabkan kerusakan pada sel DNA. Sinar UV B juga diperlukan oleh manusia untuk sintesis vitamin D, namun efek yang merugikan dapat termasuk sunburn (terbakar sinar matahari), katarak, dan terjadinya kanker kulit. Sedangkan, sinar UV C hampir tidak pernah terlihat di alam karena diserap sepenuhnya di atmosfer. Sinar UV A memiliki energi lebih rendah dari UV B, tetapi memiliki kelimpahan 100 kali lebih banyak di bumi. Sinar UV A dapat mencapai bagian dermis sebanyak 80% dan 20% terpenetrasi sangat dalam (Kochevar dkk., 2008).

(9)

Tubuh manusia telah dilengkapi suatu sistem pertahanan pertama untuk menanggulangi paparan sinar ultraviolet yang berlebihan yaitu terjadinya penggelapan kulit (tanning) atau pigmentasi. Efek pigmentasi yang terjadi pada setiap individu ditentukan secara genetik dan tergantung pada kemampuannya membentuk melanin dalam melanosit (Wilkinson dan Moore, 1982).

4. Lotion

Lotion adalah sediaan cair berupa suspensi atau dispersi, digunakan sebagai obat luar. Dapat berbentuk suspensi zat padat dalam bentuk serbuk halus dengan bahan pensuspensi yang cocok atau emulsi tipe minyak dalam air dengan surfaktan yang cocok (Departemen Kesehatan RI, 1995).

Pada umumnya pembawa dari losio adalah air. Losio dimaksudkan untuk digunakan pada kulit sebagai pelindung atau untuk obat karena sifat bahan- bahannya. Kecairannya memungkinkan pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas. Losio dimaksudkan segera kering pada kulit setelah pemakaian dan meninggalkan lapisan tipis dari komponen obat pada permukaan kulit (Ansel, 2005). Dosis zat aktif yang digunakan pada sediaan lotion umumnya kecil, sehingga kurang efektif dalam menimbulkan efek.

Selain itu, sediaan lotion juga cepat mengering setelah pemakaian sehingga bisa mengurangi efektivitasnya (Endarti, dkk.,2007).

5. Tabir surya

Tabir surya adalah suatu sediaan yang mengandung senyawa kimia yang dapat menyerap, menghamburkan atau memantulkan sinar surya yang

(10)

mengenai kulit sehingga dapat digunakan untuk melindungi fungsi dan struktur kulit manusia dari kerusakan akibat sinar surya (Bondy, dkk., 1991).

Jenis tabir surya terbagi menjadi dua macam, yaitu yang bersifat kimia dan bersifat fisik. Tabir surya kimia contohnya PABA, salisilat, dan antranilat yang dapat mengabsorpsi hampir 95% radiasi sinar UV B yang dapat menyebabkan sunburn (eritema dan kerut), namun tidak dapat menghalangi UV A penyebab direct tanning, kerusakan sel elastin, dan timbulnya kanker kulit. Macam tabir surya yang kedua adalah yang bersifat fisik (contohnya titanium dioksida, Mg silikat, ZnO, dan kaolin) yang dapat memantulkan sinar serta menahan UV A maupun UV B (Wasitaatmadja, 1997).

Tabir surya kimia bekerja dengan cara mengabsorbsi radiasi sinar UV.

Mekanismenya melalui reaksi fotokimia dengan mengabsorbsi sinar UV sehingga dapat menghambat penetrasi sinar ke dalam kulit. Kemampuan menghambat gelombang tertentu dari cahaya matahari menyebabkan tabir surya dapat berperan sebagai filter penyaring dan mengurangi radiasi cahaya matahari pada panjang gelombang tertentu (Stanfield, 2003).

Tabir surya fisik bekerja dengan memantulkan/menghamburkan radiasi UV yang membentuk lapisan buram di permukaan kulit. Selain itu, tabir surya ini juga menyebabkan rasa berminyak di permukaan kulit sehingga kurang bisa diterima oleh konsumen (Bondy, dkk., 1991).

6. SPF

SPF (Sun Protecting Factor) merupakan parameter yang menggambarkan keefektifan perlindungan yang diberikan oleh tabir surya

(11)

dari paparan sinar matahari. Harga SPF dapat ditentukan secara in vitro maupun in vivo.

Pengukuran SPF secara in vitro bertujuan untuk memprediksi nilai SPF produk di laboratorium dengan menggunakan spektrofotmeter. Apabila pengukuran SPF secara in vitro akurat, maka formulator dapat meminimalisir biaya yang digunakan dalam skrining formula baru untuk diuji selanjutnya.

Pengujian secara in vitro dapat dilakukan menggunakan teknik spektroskopi UV dengan mengukur aktivitas serapan sinar UV pada panjang gelombang sinar UV (200-400 nm). Sedangkan pengukuran secara in vivo dilakukan dengan menguji tabir surya langsung pada sel biologis (Wilkinson dan Moore, 1982).

Pembagian nilai SPF berdasarkan Murphy (2005) : a. Nilai SPF 2-11, memberikan perlindungan minimal.

b. Nilai SPF 12-29, memberikan perlindungan sedang.

c. Nilai SPF ≥ 30, memberikan perlindungan tinggi.

7. SLD

SLD (Simplex Lattice Design) merupakan metode yang digunakan untuk menentukan optimasi formula pada berbagai perbedaan jumlah komposisi bahan (dinyatakan dengan berbagai bagian) yang jumlah totalnya dibuat sama yaitu sama dengan satu bagian. Syarat untuk menggunakan metode Simplex Lattice Design yaitu jumlah total komponen bahan yang berbeda harus konstan. Kombinasi bahan dari Simplex Lattice Design diformulasikan untuk mendapatkan data eksperimental. Data hasil eksperimen digunakan untuk

(12)

mendapatkan persamaan yang akan memprediksi respon yang dihasilkan (Bolton, 2010).

Persamaan Simplex Lattice Design untuk kombinasi dua bahan yang berbeda adalah sebagai berikut :

Y = B1(A) + B2(B) + B12 (A)(B) (1)

Keterangan : Y = respon

A = konsentrasi/proporsi komponen A B = konsentrasi/proporsi komponen B B1 = koefisien komponen A

B2 = koefisien komponen B B12 = koefisien komponen A & B

8. Monografi bahan

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian, antara lain : a. Asam stearat

Asam stearat memiliki nama lain asam setilasetat, crodacid, E570, pristerene, asam stereofanat, tegostearic. Asam stearat memiliki rumus empiris C18H36O2 dan bobot molekul 284,47. Fungsi asam stearat sebagai bahan pengemulsi, bahan pelarut, dan lubrikan pada tablet dan kapsul.

Asam stearat digunakan secara luas dalam sediaan farmasi oral dan topikal. Asam stearat digunakan sebagai bahan pengemulsi dan pelarut dalam sediaan topikal. Penggunaan asam stearat antara 1 - 20% pada salep dan krim (Allen, 2005).

Asam stearat memiliki konsistensi keras, berwarna putih atau sedikit kuning, agak mengkilap berupa kristal padat atau serbuk putih atau putih kekuningan, sedikit berbau dan berasa seperti lemak. Titik lebur asam

(13)

stearat ≥ 540C. Kelarutan asam stearat : larut bebas dalam benzen, kloroform, karbon tetraklorida, dan eter; larut dalam etanol (95%), heksana, propilen glikol; praktis tidak larut dalam air. Asam stearat merupakan materi stabil yang dapat disimpan dalam wadah tertutup baik pada tempat kering dan dingin (Allen, 2005).

b. Setil alkohol

Setil alkohol merupakan campuran alkohol padat, terdiri terutama dari setil alkohol. Berbentuk sisik butiran, kubus atau lempengan yang licin, warna putih, bau khas lemah, dan rasa tawar. Kelarutan setil alkohol praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol (95%) P dan dalam eter P, kelarutan bertambah dengan kenaikan suhu (Departemen Kesehatan RI, 1980).

Setil alkohol digunakan dengan asam borat (1:1) atau dengan talc (1:5) untuk tangan pecah-pecah, weeping eczema (sejenis penyakit kulit), prurigo, dan lain sebagainya. Dalam pembuatan sabun digunakan sebagai pengemulsi, dalam kosmetik digunakan sebagai emolien. Sebagian campuran sulfat dari setil dan stearil alkohol secara luas digunakan dalam sediaan farmasi, salap kulit, dan krim kosmetik (Greenberg, 1954).

c. Span 80 (sorbitan monooleat)

Span 80 atau yang disebut juga sorbitan monooleat adalah surfaktan non ionik dan senyawa pengemulsi berbentuk cairan kental berwarna kuning, larut dalam air, etanol, minyak jagung, etil asetat, metanol, dan toluen. Gugus hidrofilik senyawa ini merupakan polieter

(14)

yang dikenal juga sebagai polioksietilen grup. Penomoran berdasarkan pada lipofilisitasnya. Struktur molekul span 80 dapat dilihat dalam gambar 2. Span 80 ini biasa dipakai sebagai emulgator dalam makanan dan obat-obatan (Budavari, dkk.,1989).

Gambar 2. Struktur molekul span 80 (Song, dkk., 2012)

d. Tween 80

Tween 80 atau polioksietilen 20 sorbitan monooleat merupakan surfaktan non ionik yang berupa cairan viscous berwarna kuning.

Struktur tween 80 dapat dilihat dalam gambar 3. Tween 80 tidak menimbulkan iritasi, higroskopis, sensitif terhadap oksidasi, dan dapat mengurangi efektivitas paraben. Nilai HLB tween 80 adalah 15, sehingga emulsi yang akan terbentuk adalah tipe o/w. Tween 80 memiliki pH 6,0 - 8,0 dalam larutan 5% b/v. Tween 80 larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam minyak mineral dan minyak lemak alami. Sebagai emulsifiying agent, tween 80 biasanya dikombinasi dengan pengemulsi hidrofil lain dengan konsentrasi tween 1-10% (Rowe, dkk., 2009).

(15)

Gambar 3. Struktur molekul tween 80 (Song, dkk., 2012)

e. Lanolin

Nama lain dari lanolin adalah cera lanae, E913, lanolina, lanolin anhidrous, protalan anhidrous. Lanolin digunakan secara luas dalam sediaan topikal dan kosmetik. Lanolin berfungsi sebagai emulsifiying dan basis. Lanolin dapat digunakan sebagai pembawa hidrofobik dalam formulasi sediaan krim dan salep air dalam minyak (Winfield, 2005).

Lanolin berwarna kuning pucat, manis, substansi seperti lemak dengan bau yang khas. Lanolin larut bebas dalam benzen, kloroform, eter, dan petroleum; sedikit larut dalam etanol (95%); lebih larut dalam etanol mendidih (95%); praktis tidak larut dalam air. Lanolin sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup, terlindungi cahaya yang dingin dan kering (Winfield, 2005).

f. Vaselin flavum

Vaselin flavum atau vaselin kuning adalah campuran hidrokarbon setengah padat, diperoleh dari minyak mineral. Vaselin kuning bewujud masa lunak, lengket, bening, kuning muda sampai kuning. Vaselin

(16)

flavum berflourosensi lemah ketika dicairkan. Vaselin kuning tidak berbau dan hampir tidak berasa (Departemen Kesehatan RI, 1995).

Kelarutan vaselin kuning memenuhi syarat yang tertera pada Vaselinum album, yaitu praktis tidak larut dalam air dan etanol 95%

P, larut dalam klorofom P dan eter P. Penyimpanan dilakukan dalam wadah tertutup baik. Khasiat dan penggunaan sebagai zat tambahan (Departemen Kesehatan RI, 1995).

g. Metil Paraben (Nipagin)

Metilparaben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C8H8O3. Berbentuk serbuk halus, berwarna putih, hampir tidak berbau, rasa sedikit membakar dan diikuti rasa tebal. Metilparaben bersifat sukar larut dalam air, larut dalam air mendidih, mudah larut dalam etanol 95% P, dalam aseton P, dalam eter P, dan dalam larutan alkali hidroksida. Metilparaben biasa digunakan sebagai zat tambahan, yaitu sebagai pengawet (Departemen Kesehatan RI, 1980).

h. Propil Paraben (Nipasol)

Propil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C10H12O3. Berupa serbuk halus, berwarna putih, tidak berbau, dan tidak berasa. Sangat sukar larut dalam air dan gliserol P, mudah larut dalam etanol 95% P dan dalam aseton P, agak sukar larut dalam minyak lemak, dan mudah larut dalam larutan alkali hidroksida.

Propilparaben digunakan sebagai bahan pengawet (Departemen Kesehatan RI, 1980).

(17)

i. Sorbitol

Nama kimia dari sorbitol adalah D-Glucitol dengan rumus kimia C6H14O6. Sorbitol merupakan bahan tambahan dalam sediaan farmasi yang berfungsi sebagai humektan, bahan plasticizer, bahan pemanis, dan bahan diluent tablet dan kapsul. Sorbitol digunakan secara luas untuk kosmetik, produk makanan dan sediaan farmasi sebagai bahan tambahan untuk injeksi dan topikal. Jumlah penggunaan sorbitol untuk bahan pengemulsi sediaan topikal adalah 2-18% (Rowe, dkk., 2009).

Sorbitol berwarna jernih dan memiliki rasa manis 50-60% dari sukrosa, serta terasa dingin. Titik lebur sorbitol sediaan anhydrous 110- 1120 C, gamma polimorph 97,70 C, dan sediaan metastabil 930C. Sorbitol larut dalam etanol 1 : 25, dalam air 1 : 0,5 dan praktis tidak larut dalam kloroform (Rowe, dkk., 2009).

F. Landasan Teori

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.] mengandung senyawa kurkumin dan flavonoid yang bisa beraktivitas sebagai fotoprotektor. Menurut Stevanato (2014) berbagai jenis flavonoid memiliki nilai SPF untuk UV-A dan UV-B. Kurkumin dapat berfungsi untuk melindungi kulit dari paparan sinar UV sebagai fotoprotektor karena kurkumin mampu mengabsorpsi sinar UV yang memiliki panjang gelombang antara 200 - 400 nm (Badmaev, 2005).

(18)

Berdasarkan kandungan senyawa kurkumin dan flavonoid dalam temu putih, maka temu putih dapat digunakan sebagai alternatif untuk pembuatan tabir surya alami. Temu putih diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 70% (Departemen Kesehatan RI, 2000). Ekstrak kental yang diperoleh lalu diuji kontrol kualitasnya, meliputi rendemen, uji organoleptis, susut pengeringan, daya lekat, analisis kuantitatif kandungan kurkumin dan flavonoid, serta uji nilai SPF ekstrak dengan spektrofotometri. Menurut Nur Fitriana (2007), semakin tinggi konsentrasi ekstrak rimpang kunir putih maka nilai SPF yang dihasilkan akan semakin besar. Oleh karena itu, peningkatan konsentrasi ekstrak temu putih juga diharapkan mampu meningkatkan aktivitas nilai SPF sebagai tabir surya.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui stabilitas fisik dan aktivitas tabir surya dari lotion dengan penambahan variasi konsentrasi ekstrak etanolik rimpang temu putih. Lotion merupakan sediaan cair semi padat yang digunakan sebagai obat luar. Sediaan lotion dipilih karena merupakan bentuk sediaan yang sering dipakai masyarakat dan memiliki tekstur yang lembut sehingga membuat pemakaian menjadi lebih nyaman (Ansel, 2005). Kecairannya memungkinkan pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas. Namun, dosis zat aktif yang digunakan pada sediaan lotion umumnya kecil, sehingga kurang efektif dalam menimbulkan efek. Selain itu, sediaan lotion juga cepat mengering setelah pemakaian sehingga bisa mengurangi efektivitasnya (Endarti, dkk.,2007).

Aktivitas lotion sebagai tabir surya dinyatakan dalam nilai SPF (Sun Protecting Factor) menggunakan metode in vitro secara spektrofotometri. Metode penentuan nilai SPF berdasarkan dari rumus Mansur (1986) dengan mengukur

(19)

absorbansi pada panjang gelombang 290-320 nm tiap interval 5 nm. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nur Fitriana (2007) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak rimpang kunir putih maka nilai SPF akan semakin meningkat, sehingga diharapkan pada penelitian ini pengaruh peningkatan konsentrasi ekstrak juga akan meningkatkan aktivitas tabir surya yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai SPF. Selain itu, menurut Gozali (2014) penambahan konsentrasi ekstrak tanaman akan berpengaruh pada sifat fisik sediaan, dimana sediaan akan mengalami perubahan viskositas, pH, dan perubahan kestabilan sediaan selama penyimpanan. Pengamatan stabilitas fisik dari lotion meliputi uji organoleptis, uji viskositas, uji daya sebar, uji daya lekat, dan uji rasio pemisahan (F). Sediaan yang stabil tidak akan mengalami perubahan sifat fisik yang signifikan selama masa penyimpanan. Selain itu parameter kestabilan sediaan dapat diamati dari hasil uji rasio pemisahan (F). Sediaan dikatakan stabil apabila nilai F mendekati 1 yang artinya sediaan tidak memisah (Mollet dan Grubenmann, 2001).

G. Hipotesis

1. Ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.]

diduga dapat beraktivitas sebagai bahan aktif dalam tabir surya.

2. Stabilitas fisik lotion dan aktivitasnya sebagai tabir surya diduga dipengaruhi oleh penambahan variasi konsentrasi ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.].

Gambar

Gambar 1. Rimpang temu putih yang diperoleh dari daerah Suroloyo,  Kulonprogo, Yogyakarta
Gambar 2. Struktur molekul span 80 (Song, dkk., 2012)
Gambar 3. Struktur molekul tween 80 (Song, dkk., 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Petikan keputusan - keputusan Jawatankuasa Tetap Kewangan (JKTK) UPSI ini disusun bermula daripada keputusan mesyuarat yang terawal iaitu pada tahun 1998

Penyebaran Kuesioner dilakukan untuk mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa terhadap keputusan pembelian produk sikat gigi formula dan dimensi persepsi mana yang paling

Tujuan penelitian ini bertujuan mengungkap 1) ragam kondisi wilayah Desa Capar Kulon, Jlamprang, Kecamatan Leksono Kabupaten Wonosobo; 2) Perkembangan Seni Dolalak

Pilihan “Demo and Full Installation” digunakan jika anda ingin menjalankan Live CD atau melakukan instalasi Ubuntu secara permanen, baik instalasi penuh (membuang sistem Windows

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan DaerahDaerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Tengah (Berita Negara tanggal 8 Agustus 1950) sebagaimana telah diubah

Determinan kejadian komplikasi persalinan di Indonesia adalah paritas satu atau lebih sama dengan empat anak, adanya komplikasi kehamilan dan adanya riwayat komplikasi

dan optimis agat dapat membangkitkan pengharapan setiap pengikutnya. g) Disipilin, pengendalian diri mutlak diperlukan agar seseorang dapat mencapai keberhasilan dalam