• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Psychological Well-Being

II.A.1. Definisi Psychological Well-Being

Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff (dalam Strauser, Lustig, dan Ciftcy, 2008) mendefinisikan psychological well- being sebagai suatu dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005). Pada intinya, psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan, dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn, dalam Ryff dan Keyes, 1995).

Ryff (1989) mengoperasionalkan definisi psychological well-being menjadi enam dimensi yaitu dimensi penerimaan diri (dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan dapat menerima segi positif dan negatif diri), dimensi hubungan positif dengan orang lain (memiliki hubungan yang hangat, intim dan terpercaya dengan orang lain), dimensi otonomi (bebas, mampu untuk menentukan nasib dan mengontrol perilaku sendiri), dimensi penguasaan

(2)

lingkungan (mampu memilih, menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologis dalam rangka mengembangkan diri), dimensi tujuan hidup (memiliki arah, tujuan, dan makna hidup), dan dimensi pertumbuhan diri (mampu dan memiliki keinginan untuk terus berkembang dan mengembangkan potensi).

II.A.2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being

Ryff dalam buku Human Development (2000) mengemukakan enam dimensi psychological well-being, yaitu:

1. Penerimaan diri (self acceptance)

Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif. Menurut Maslow (dalam Calhoun dan Accocela, 1990), penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya, memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri.

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan simpati dan kasih sayang yang kuat terhadap sesama manusia dan mampu memberikan cinta, memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain dengan baik.

(3)

3. Otonomi (autonomy)

Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri.

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam rangka mengembangkan diri.

5. Tujuan hidup (purpose of life)

Individu yang berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dan arah bagi kehidupannya. Individu yang memiliki psychological well-being perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat mengabdikan dirinya pada masyarakat.

6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu dan dapat berfungsi secara penuh (fully functioning).

Individu yang dapat berfungsi secara penuh adalah individu yang dapat terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya.

(4)

II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada diri seseorang, yaitu:

a. Usia

Dari penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertumbuhan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka ia semakin mengetahui kondisi yang terbaik bag i dirinya.

Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.

b. Jenis Kelamin

Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia &

Feldman, 2001). Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.

(5)

c. Status Sosial Ekonomi

Ryff, dkk (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya. Menurut Davis (dalam Robinson & Andrews, 1991), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi.

d. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

e. Faktor Dukungan Sosial

Hasil penelitian menemukan bahwa dukungan sosial dari lingkungan sekitar individu akan sangat mempengaruhi psychological well-being yang dirasakan oleh individu tersebut.

(6)

II.B. Dewasa Awal

Istilah adult berasal dari kata kerja Latin. adultus yang berarti “tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna”, atau “telah dewasa.’ Oleh karena itu, individu dewasa awal adalah individu yang telah menyelesaikan menjadi pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan individu dewasa lainnya (Hurlock, 2004).

Masa dewasa awal pada umumnya dimulai pada umur 18 sampai 40 tahun saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif (Hurlock, 2004). Individu dewasa awal dituntut memulai kehidupannya memerankan peran ganda seperti suami/istri, orang tua dan peran dalam dunia kerja (berkarir), dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan- keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini.

Levinson (dalam Monks, 1999) kemudian menspesifikkan masa dewasa awal ini dalam tiga periode. Periode pertama, yang berada pada rentang usia 22 hingga 28 tahun, adalah periode pengenalan dengan dunia orang dewasa. Dalam periode ini, orang mengakui dirinya sendiri serta dunia yang ia masuki dan berusaha untuk membentuk struktur kehidupan yang stabil. Pada akhir usia 20 tahun maka pemilihan struktur hidup ini makin menjadi penting. Pada usia antara 28 hingga 33 tahun, yaitu memasuki periode kedua, pilihan struktur kehidupan ini menjadi lebih tetap dan stabil. Memasuki periode ketiga, dalam fase kemantapan, yang berada pada rentang usia 33 hingga 40 tahun, individu dengan keyakinan yang mantap menemukan tempatnya dalam masyarakat dan berusaha untuk

(7)

memajukan karir sebaik-baiknya. Pada periode ketiga inilah tercapai puncak masa dewasa.

Menurut Hurlock (2004) ada beberapa ciri-ciri masa dewasa awal, antara lain:

a. Masa Usia Reproduktif

Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini adalah masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah, dan berproduksi/menghasilkan anak. Pada masa ini organ reproduksi sangat produktif dalam menghasilkan individu baru (anak).

b. Masa Bermasalah

Masa dewasa dini dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah. Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan peran barunya (perkawinan VS pekerjaan). Jika ia tidak bisa mengatasinya maka akan menimbulkan masalah. Ada 3 faktor yang membuat masa ini begitu rumit yaitu; Pertama, individu tersebut kurang siap dalam menghadapi babak baru bagi dirinya dan tidak bisa menyesuaikan dengan babak/peran baru tersebut. Kedua, karena kurang persiapan maka ia kaget dengan 2 peran/lebih yang harus diembannya secara serempak. Ketiga, ia tidak memperoleh bantuan dari orang tua atau siapapun dalam menyelesaikan masalah.

(8)

c. Masa Keterasingan Sosial

Masa dewasa dini adalah masa dimana seseorang mengalami “krisis isolasi”, ia terisolasi atau terasingkan dari kelompok sosial. Kegiatan sosial dibatasi karena berbagai tekanan pekerjaan dan keluarga. Hubungan dengan teman-teman sebaya juga menjadi renggang. Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat untuk maju dalam berkarir.

d. Masa Komitmen

Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya sebuah komitmen. Ia mulai membentuk pola hidup, tanggungjawab, dan komitmen baru.

e. Masa Perubahan Nilai

Nilai yang dimiliki seseorang ketika ia berada pada masa dewasa dini berubah karena pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas. Nilai sudah mulai dipandang dengan kaca mata orang dewasa. Nilai-nilai yang berubah ini dapat meningkatkan kesadaran positif. Alasan kenapa seseorang berubah nilia-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat diterima oleh kelompoknya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati. Pada masa ini juga seseorang akan lebih menerima/berpedoman pada nilai konvensional dalam hal keyakinan.

Egosentrisme akan berubah menjadi sosial ketika ia sudah menikah.

(9)

f. Masa Penyesuaian Diri dengan Hidup Baru

Ketika seseorang sudah mencapai masa dewasa berarti ia harus lebih bertanggungjawab karena pada masa ini ia sudah mempunyai peran ganda (peran sebagai orang tua dan sebagai pekerja).

II.B.2.Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Hurlock (2004) membagi tugas perkembangan pada individu dewasa awal, antara lain:

g. Mulai bekerja h. Memilih pasangan i. Mulai membina keluarga j. Mengasuh anak

k. Mengelola rumah tangga

l. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara m. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

II.C. Cacat

II.C.1. Definisi Cacat

UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Psl. 1 menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik,

(10)

penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda) (http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/1997/04-97.pdf).

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap.

Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau fungsi psikologis atau anatomis. Sedangkan disability adalah ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan (http://evakasim.multiply.com/journal/item/12/tinjauan_terhadap_

kebijakan_integrasi_sosial_penyandang_cacat_ke_dalam_mainstream_masyaraka t_).

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2) Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3) Cela atau aib; 4) Tidak (kurang sempurna) (Alwi, 2005).

ADA atau Americans of Disabilities Act (1990), yaitu sebuah lembaga yang memperhatikan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan cacat tubuh, menjelaskan definisi mengenai cacat tubuh atas tiga hal, yaitu: 1) memiliki kelemahan fis ik ataupun mental yang pada dasarnya membatasi satu atau lebih

(11)

aktivitas kehidupan sehari-hari; 2) memiliki catatan mengenai kelemahan tersebut;

atau 3) dipandang memiliki kelemahan. Kelemahan fisik yang dimaksud disini merupakan segala gangguan atau kondisi fisiologis, kerusakan akibat kosmetik, atau kehilangan anggota tubuh yang mempengaruhi satu atau lebih sistem tubuh berikut: neurologis, musculoskeletal, organ panca indera khusus, pernapasan (termasuk alat berbicara), cardiovascular, reproduktif, digestif, genitourinary, hemic dan lymphatic, kulit dan endokrin (http://www.access-board.gov/

about/laws/ada.htm).

II.C.2. Jenis-jenis Cacat

Ada beberapa jenis kecacatan fisik yang dibagi kedalam beberapa kategori, yaitu:

1) tuna netra, dimana indra penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas;

2) tuna rungu, dimana individu kehilangan daya dengarnya sedemikian rupa, dan ;

3) tuna daksa, yaitu individu yang mengalami kelainan anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga mengakibatkan turunnya kemampuan normal untuk melakukan gerakan- gerakan tubuh tertentu, misalnya kelainan pada bagian tulang-tulang, otot- otot tubuh maupun daerah persendian dan kelainan yang disebabkan oleh gangguan pada urat syaraf.

(12)

II.C.3. Faktor-faktor Penyebab Kecacatan

Kecacatan yang dialami oleh seseorang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor dari dalam ataupun faktor dari luar individu.

Cacat genetik (bawaan) adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak lahir baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian sebelum kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal.

Cacat ini dapat disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik sebelum pembuahan (bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan (bahan teratogenik) (Faradz, 2001). Sedangkan cacat akibat kecelakaan merupakan kelainan/cacat yang terjadi pada individu akibat kecelakaan yang dapat berupa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kebakaran, tersiram air keras, jatuh, tertimpa benda-benda berat, dan lain-lain.

II.C.4. Bentuk-bentuk Kecelakaan yang Mengakibatkan Kecacatan

Ada beberapa jenis kecelakaan yang dapat menyebabkan kecacatan pada individu, yaitu: cacat akibat kecelakaan lalu lintas seperti tertera dalam UU Pasal 93 tahun 1992, yaitu suatu keadaan dimana korban yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak terjadi kecelakaan (Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, 1992); kecelakaan kerja, yaitu kecelakaan yang terjadi ketika individu sedang melakukan tugas pekerjaannya dan mengalami kecacatan akibat kecelakaan kerja dan mengakibatkan berkurangnya dan terputusnya penghasilan tenaga kerja dan/atau membutuhkan perawatan medis. Selain yang tertera diatas,

(13)

ada juga beberapa bentuk kecelakaan lainnya, seperti kecacatan akibat tersiram air keras, kebakaran, dan jatuh.

II.C.5. Hambatan-hambatan

Hambatan-hambatan yang dialami oleh orang yang mengalami kecacatan antara lain:

a. Sosialisasi

Dalam aspek sosialisasi terdapat dua faktor yang menjadi penghambat bagi orang cacat, yaitu faktor dari dalam diri (internal) dan dari luar (eksternal).

Faktor internal meliputi rasa rendah diri, tidak percaya diri, merasa berbeda dari orang lain yang kondisi fisiknya normal dan sering kali merasa takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain. Perasaan-perasaan tersebut yang sering kali menjadi penghambat seorang yang cacat untuk bersosialisasi dengan orang lain. Selain itu, lingkungan yang tidak aksesibel juga menjadi penghambat utama bagi penyandang cacat untuk dapat melakukan mobilitas sosial.

b. Pekerjaan

Tantangan lainnya yang dirasa berat bagi penyandang cacat adalah masalah pekerjaan. Kondisi mereka yang cacat kurang memungkinkan mereka untuk bergerak dengan bebas seperti orang normal. Ini membuat kebanyakan orang beranggapan bahwa orang cacat kurang berkompeten untuk melakukan pekerjaan dan hanya akan memberikan kesulitan bagi orang lain karena kecacatan yang dimilikinya. Padahal orang cacat juga

(14)

perlu untuk memiliki pekerjaan sebagai bentuk penyaluran hobi dan pengetahuan yang dimilikinya.

c. Mencari pasangan

Setiap individu memiliki hasrat untuk memiliki pasangan, menikah dan berkeluarga apalagi ketika individu memasuki tahap dewasa awal karena hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilewatinya. Akan tetapi kondisi fisik yang cacat membuat individu membatasi diri dari lingkungan sosial dan memiliki sedikit teman. Hal itu dikarenakan mereka merasa rendah diri dan malu dengan kondisi fisiknya apalagi sebelumnya mereka memiliki fisik yang normal. Mereka juga beranggapan apabila mereka kelak menikah, mereka hanya akan mempersulit hidup pasangannya kelak. Selain itu, masyarakat juga beranggapan bahwa memiliki menantu yang cacat merupakan suatu hal yang memalukan.

d. Emosi

Secara umum, kekurangan fisik yang dimiliki individu akan membuat individu tersebut memiliki perasaan yang sensitif. Perasaan tidak mampu dan rendah diri yang berlebihan sering menjadikan mereka mudah tersinggung oleh kata-kata dan segala sesuatu yang dianggap menyepelekan dan menyinggung kekurangan mereka. Mereka juga sering berprasangka dan mudah curiga terhadap orang lain.

(15)

II.D. Kondisi Psikologis Orang yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan

Individu yang memiliki cacat fisik seringnya mendapat stigma negatif dari orang-orang lain disekitarnya bila dibandingkan dengan orang yang memiliki fisik yang normal karena mereka memiliki banyak hambatan untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari, seperti bekerja, mengurus diri sendiri juga lingkungan, dan lain-lain, apalagi ketika mereka mengalami kecacatan setelah kelahiran (bukan cacat bawaan) dan akan semakin memburuk kondisi psikologisnya ketika individu memasuki masa dewasa awal dimana individu dituntut untuk bekerja, memiliki pasangan, menikah dan mempunyai anak, dan masuk dalam suatu kelompok sosial. Tuntutan-tuntutan memasuki tahap perkembangan dewasa awal itu membuat individu mengalami tekanan besar apalagi ketika individu menyadari kondisi fisiknya yang cacat, yang membuat hubungannya dengan orang lain terganggu.

Stigma negatif yang dialami individu tersebut, seperti teralienasi karena tidak normalnya kondisi mereka sering membuat individu merasa rendah diri karena kurang bisa menerima kondisinya sehingga mengalami ketidakpuasan dalam hidupnya, hubungan dengan orang lain pun terganggu, tidak berdaya, cemas, merasa didiskriminasi, dan sebagainya. Kondisi psikologis tersebut membuat individu tidak mampu merealisasikan seluruh potensi diri yang dimilikinya walaupun sebenarnya ia mampu dan itu berdampak pada kehidupannya dan akan membuat ia tidak bahagia. Ketika ia memiliki psychological well-being yang positif dan memiliki gambaran yang positif tentang

(16)

diri, orang lain, lingkungan dan mengenai hidupnya sendiri pada saat itulah individu mencapai kebahagiaan.

(17)

PARADIGMA BERPIKIR

Keterangan :

Dewasa Awal

Kecelakaan

Perubahan Kehidupan Kecacatan/Tidak Lengkap

fisik

Psychological Well-Being?

Penerimaan Diri

Pertumbuhan Pribadi Hubungan Positif dengan Orang Lain

Otonomi

Tujuan Hidup Penguasaan Lingkungan Tujuan hidup

Stres

Aktivitas Hubungan dengan

orang lain Perhatian

: berakibat pada : dimensi-dimensi

Tugas-tugas Perkembangan

Memilih pasangan

Mengasuh anak Bekerja

Mengelola rumah tangga Membina keluarga

Mengambil tanggung jawab

b i

Mencari kelompok sosial

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Melalui perbandingan arah umum pergerakan sesar, kekar dan pergerakan tanah, dapat diketahui bahwa pergerakan tanah yang terjadi mempunyai arah umum yang relatif

State Institute of Islamic Studies (IAIN) of Tulungagung. Advisor: Dr.H Mashudi, M.Pd.I. Keywords : Effectiveness, Collaborative Writing Method, Teaching Writing, and Pre

Studi Komparasi Efektifitas Metode Sarrus, Ekspansi Kofaktor, dan Reduksi Baris dalam Pencarian Nilai Determinan Matriks Berordo 3X3 (Studi Eksperimen pada

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1)Pengaruh tripton dan arang aktif pada pembesaran kecambah anggrek Phalaenopsis menunjukkan pengaruh yang nyata

Analisis univariat terhadap variabel- variabel prediktor perdarahan intrakranial lainnya seperti umur, jenis kelamin, mekanisme cedera, muntah, jejas, kejang, riwayat

Analisi lisis s kep kepuasa uasan n kon konsum sumen en Ind Indom omaret aret den dengan gan kep kepuasa uasan n kon konsum sumen en Alfamart terhadap

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukan berbagai macam hasil yang berbeda mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan