• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA) MODUL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA) MODUL"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU BAGI PENEGAK HUKUM DAN PIHAK TERKAIT MENGENAI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)

MODUL

MEMBANGUN SISTEM PERLINDUNGAN

ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM (ABH) YANG TERINTEGRASI

Penulis:

Haidan, Widyaiswara

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM DAN HAM KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 2016

(2)

Hak Cipta © Pada : (BPSDM Hukum dan HAM) Edisi Tahun (2016)

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum & HAM Kementerian Hukum dan HAM RI

Jalan Raya Gandul-Cinere Jakarta Selatan 16512 Telp. (021) 754077, 7540124 Fax (021) 7543709

Membangun Sistem Perlindungan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (ABH) Yang Terintegrasi

Jakarta – Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum & HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI – 2016

… hlm: 15 x 21 cm

ISBN: xxx – xxxx – xx – x v i

(3)

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM DAN HAM

SAMBUTAN

.

Jakarta, Juni 2016 KEPALA

(Isi dengan nama instansi)

(NAMA)

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga, sehingga Pusat Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan (P4) Teknis dan Kepemimpinan BPSDM Hukum dan HAM dapat menyelesaikan Revisi modul Membangun sistem perlindungan ABH Yang terintegrasi

Dengan perkembangan kondisi hukum dan sosial di Indonesia, menuntut Penegak Hukum dan Pihak Terkait saling bersinergi dalam pelaksanaan tugasnya. Oleh sebab itu melalui modul ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari modul-modul lain, upaya penyamaan persepsi melalui Diklat Terpadu Bagi Penegak Hukum dan Pihak Terkait Mengenai SPPA dapat terlaksana dengan baik.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada para narasumber yang telah membantu dan membimbing dalam revisi modul ini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa modul ini masih jauh dari kesempurnaan, kritik dan Saran serta partisipasi dari berbagai pihak sangatlah besar untuk perbaikan modul ini.

Akhirnya kami berharap modul ini dapat bermanfaat dan dapat memberi kontribusi dalam meningkatkan kompetensi Penegak hukum dan pihak terkait lainnya.

Depok, 15 Juni 2016 Kepala

Pusat Pengembangan

Pendidikan Dan Pelatihan (P4) Teknis dan Kepemimpinan,

Ida Chaerani.

(5)

DAFTAR ISI

Sambutan ………..……… 3

Kata Pengantar ……… 4

Daftar Isi ……….... 5

BAB I PENDAHULUAN ..……..……… A. Latar Belakang………. 6

B. Deskripsi Singkat ..……… 7

C. Manfaat Modul………. 8

D. Tujuan Pembelajaran ... 8

E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok ... 8

BAB II F Petunjuk Belajar……….. PENGERTIAN MEMBANGUN SISTEM PERLINDUNGAN ABH ………...………. 9 10 A. Pengertian membangun sistem ……… 10

B. Elemen dalam Sistem Perlindungan Anak………. 12

C. Tujuan Perlindungan Anak………. 23

BAB III D. Rangkuman……….. E. Evaluasi……….. KONVENSI HAK ANAK TERKAIT ABH………. 27

A. Konvensi Hak Anak……… B. Memperhatikan hak-hak semua elemen pelaku, korban, dan saksi……… 27 33 C. Rangkuman……….. 34

BAB IV D. Evaluasi……….. KOMPONEN SISTEM PERLINDUNGAN ABH YANG TERINTEGRASI ……….. 34 35 A. Pembangunan Sistem Perlindungan Anak………. B. Komponen Sistem Perlindungan ABH yang Terintegrasi dengan Sistem Pembangunan Sistem Perlindungan Anak……….. 35 37 C. Rangkuman……….. 38

D. Evaluasi……….. 38

BAB V STRATEGI PENANGANAN ABH ………... 39

A. Penangan ABH ……… 39

B. Strategi Penanganan ABH Berbasis masyarakat. C. Strategi Penanganan ABH dengan Pendekatan Sistem Yang Terintegrasi……….. 40 41 D. Rangkuman……….. 41

E. Evaluasi……….. 41

BAB VI PENUTUP ……… 42

A. Kesimpulan ………. 42

B. Tindak Lanjut……….. 43

DAFTAR PUSTAKA……… 44

(6)

E

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

ra globalisasi seperti sekarang ini pembentukan karakter dan pola pikir anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan, cara bergaul dan teman-teman sepermainannya atau hal-hal lain yang mudah sekali didapat, diantaranya melalui media informasi baik secara elektronik maupun non elektronik. Sehingga, memungkinkan suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh Anak Yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) memang atas kehendak ABH dan dia juga memahami apa akibat dari perbuatan yang dilakukannya itu, akan tetapi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum dinilai sebagai subyek hukum yang belum cakap dan tidak dapat memahami apa yang dilakukannya.

Secara konstitusional Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pasal 28B ayat (2) menyatakan setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,

dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dan Pasal 28I ayat 1 menegaskan Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Ketentuan ini jelas berlaku tanpa terkecuali termasuk bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum.

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan YME, yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan martabatnya anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda, anak dalam konteks Indonesia adalah sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan dan memiliki peran sangat strategis sebagai successor suatu bangsa.

Oleh karena itu, Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-

Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip

pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk

memberikan pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum.

(7)

Didalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606). Pasal 22 menyatakan; ”Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak”. Dan pada Pasal 23;

(1) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban Orang Tua, Wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap Anak.

(2) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah mengawasi penyelenggaraan Perlindungan Anak.”

Sejalan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dalam konsideran mengatakan bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, Anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka disusunlah revisi atas modul membangun sistem perlindungan ABH Yang Terintegrasi dengan tujuan untuk memperbaharui dan menambah hal hal yang terus berubah dengan cepat terkait implementasi UU SPPA dan untuk menselaraskan kinerja APH dan Pihak terkait lainnya dalam membangun sistem perlindungan terhadap Anak Yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) secara terintegrasi, untuk mewujudkan sinergitas dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi pada masing masing instansi Aparat Penegak Hukum (APH) dan Pihak terkait lainnya mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), demi kepentingan terbaik bagi anak.

B. Deskripsi singkat

Mata Diklat ini membekali peserta dengan kemampuan memahami

dalam membangun sistem perlindungan anak yang berhadapan dengan

hukum (ABH) yang terintegrasi melalui pembelajaran Pengertian

membangun sistem perlindungan ABH; Konvensi Hak Anak terkait

ABH; Komponen Sistem Perlindungan ABH Yang Terintegrasi ; serta

Strategi Penanganan ABH; Pembelajaran disajikan secara komunikatif

dengan metode pembelajaran orang dewasa, meliputi ceramah, tanya

(8)

kemampuan peserta membangun sinergitas APH dan Pihak Terkait dalam menerapkan Pengetahuan Pengertian membangun sistem perlindungan ABH; Konvensi Hak Anak terkait ABH; Sistem Perlindungan ABH; Strategi Penanganan ABH.

C. Manfaat Modul

Modul merupakan sebuah buku yang berisi materi bahan ajar yang sifatnya lebih praktis dan teknis dalam mempelajari sebuah kajian tertentu. Modul disusun untuk memberi kemudahan belajar pada peserta diklat sehingga mereka mempunyai pemahaman baik secara konsep maupun praktis. Adapun beberapa manfaat dari modul ini antara lain:

1. Memberikan kemudahan belajar dalam memahami konsep yang dikombinasikan dengan aspek teknis.

2. Sebagai upaya untuk memberikan persepsi yang sama bagi peserta pelatihan sehingga mempunyai basic dan pola pikir yang relatif terstandar dalam membangun sistem perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) yang terintegrasi.

3. Mempermudah tahapan pemahaman peserta diklat karena modul disusun dengan disertai tujuan pembelajaran serta kompetensi yang harus dicapai dengan skenario pembelajaran yang baik.

D. Tujuan Pembelajaran

a. Hasil Belajar

Hasil dari belajar melalui modul ini Peserta Diklat mampu memahami secara komprehensif membangun sistem perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) yang terintegrasi.

b. Indikator Hasil Belajar

1. Peserta dapat menjelaskan pengertian membangun sistem perlindungan ABH.

2. Peserta dapat menjelaskan Konvensi Hak Anak terkait ABH.

3. Peserta dapat menjelaskan Komponen Sistem Perlindungan ABH.

4. Peserta dapat menerapkan Strategi Penangan ABH.

E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

1. Pengertian membangun sistem perlindungan ABH a. Pengertian membangun sistem

b. Elemen dalam Sistem Perlindungan Anak

c. Tujuan Perlindungan Anak

(9)

d. Rangkuman e. Evaluasi

2. Konvensi Hak Anak Terkait ABH a. Konvensi Hak Anak

b. Memperhatikan hak-hak semua elemen pelaku, korban dan saksi c. Rangkuman

d. Evaluasi

3. Komponen Sistem Perlindungan ABH

a. Pembangunan Sistem Perlindungan Anak

b. Komponen Sistem Perlindungan ABH yang Terintegrasi dengan Pembangunan Sistem Perlindungan Anak

c. Rangkuman d. Evaluasi

4. Strategi Penanganan ABH a. Penangan ABH

b. Strategi Penanganan ABH Berbasis Masyarakat

c. Strategi Penanganan ABH dengan Pendekatan Sistem Yang Terintegrasi

5. Penutup

a. Kesimpulan b. Tindak Lanjut

Daftar Pustaka

F. Petunjuk Belajar

Untuk mempermudah penggunaan modul dan memberikan hasil yang optimal dalam proses pembelajaran, maka ada beberapa petunjuk yang harus dilakukan, yaitu:

1. Bacalah tahap demi tahap dari bab/sub bab yang telah disusun secara kronologis sesuai dengan urutan pemahaman.

2. Selesaikan belajar dalam bab pertama dahulu, setelah paham dan selesai melakukan semua petunjuk dari bab tersebut diselesaikan secara menyeluruh baru dapat beranjak ke bab berikutnya.

Sehingga peserta diklat dapat mengukur keberhasilan masing- masing secara bertahap.

3. Pahami setiap penjelasan dan tugas yang ada dalam modul,

apabila belum mengerti maka dapat dikonsultasikan kepada

widyaiswara/Fasilitator.

(10)

S

Setelah mempelajari Materi pada bab ini diharapkan Peserta diklat mampu memahami pengertian membangun sistem perlindungan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum (ABH).

BAB II

PENGERTIAN MEMBANGUN SISTEM PERLINDUNGAN ABH

A. Pengertian membangun sistem

istem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai suatu tujuan. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat.

Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti negara. Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara di mana yang berperan sebagai penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut.

Kata "sistem" banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari- hari, dalam forum diskusi maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula, sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka.

Elemen dalam Sistem

Pada prinsipnya, setiap sistem selalu terdiri atas empat elemen:

 Objek, yang dapat berupa bagian, elemen, ataupun variabel. Ia dapat benda fisik, abstrak, ataupun keduanya sekaligus;

tergantung kepada sifat sistem tersebut.

 Atribut, yang menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan objeknya.

 Hubungan internal, di antara objek-objek di dalamnya.

 Lingkungan, tempat di mana sistem berada.

(11)

Elemen sistem

Ada beberapa elemen yang membentuk sebuah sistem, yaitu : tujuan, masukan, proses, keluaran, batas, mekanisme pengendalian dan umpan balik serta lingkungan. Berikut penjelasan mengenai elemen- elemen yang membentuk sebuah sistem :

a. Tujuan

Setiap sistem memiliki tujuan (Goal), entah hanya satu atau mungkin banyak. Tujuan inilah yang menjadi pemotivasi yang mengarahkan sistem. Tanpa tujuan, sistem menjadi tak terarah dan tak terkendali. Tentu saja, tujuan antara satu sistem dengan sistem yang lain berbeda.

b. Masukan

Masukan (input) sistem adalah segala sesuatu yang masuk ke dalam sistem dan selanjutnya menjadi bahan yang diproses.

Masukan dapat berupa hal-hal yang berwujud (tampak secara fisik) maupun yang tidak tampak.

c. Proses

Proses merupakan bagian yang melakukan perubahan atau transformasi dari masukan menjadi keluaran yang berguna dan lebih bernilai, misalnya berupa informasi dan produk, tetapi juga bisa berupa hal-hal yang tidak berguna.

d. Keluaran

Keluaran (output) merupakan hasil dari pemrosesan. Pada sistem informasi, keluaran bisa berupa suatu informasi, saran, cetakan laporan, dan sebagainya.

e. Batas

Yang disebut batas (boundary) sistem adalah pemisah antara sistem dan daerah di luar sistem (lingkungan). Batas sistem menentukan konfigurasi, ruang lingkup, atau kemampuan sistem.

f. Mekanisme Pengendalian dan Umpan Balik

Mekanisme pengendalian (control mechanism) diwujudkan dengan menggunakan umpan balik (feedback), yang mencuplik keluaran.

Umpan balik ini digunakan untuk mengendalikan baik masukan maupun proses. Tujuannya adalah untuk mengatur agar sistem berjalan sesuai dengan tujuan.

g. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di luar sistem.

Lingkungan bisa berpengaruh terhadap operasi sistem dalam arti bisa merugikan atau menguntungkan sistem itu sendiri.

Lingkungan yang merugikan tentu saja harus ditahan dan dikendalikan supaya tidak mengganggu kelangsungan operasi sistem, sedangkan yang menguntungkan tetap harus terus dijaga, karena akan memacu terhadap kelangsungan hidup sistem.

Sistem merupakan elemen-elemen yang berdiri sendiri atau

independen, namun saling berkaitan dan menciptakan satu kesatuan

(12)

yang utuh. Karakteristik suatu sistem ditandai dengan adanya tujuan bersama, memiliki daya prediksi, keseimbangan antar elemen.

Setiap elemen sistem akan berfungsi dengan baik jika memiliki tiga komponen yaitu norma, struktur, dan proses.

Pembangunan perlindungan ABH Berbasis sistem yang terintegrasi bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi sistem perlindungan ABH untuk menjamin pencegahan dan penanganan anak dari kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran.

B. Elemen dalam Sistem perlindungan Anak

1. Sistem hukum dan Kebijakan.

2. Sistem Peradilan.

3. Sistem Kesejahteraan Sosial bagi Anak dan Keluarga 4. Sistem Perubahan Perilaku Sosial.

5. Sistem Data dan Informasi Perlindungan Anak 1. Sistem Hukum dan Kebijakan

Sistem hukum dan kebijakan merupakan salahsatu elemen dalam sistem perlindungan ABH. Sistem hukum dan kebijakan memiliki peran penting dalam pencegahan kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran dengan menyelesaikan akar penyebab dari berbagai pelanggaran tersebut. Bagian terpenting dalam sistem ini, yaitu kerangka hukum dan kebijakan, yang memberikan kerangka hukum untuk pelaksanaan perlindungan anak.

Sistem hukum dan kebijakan dapat diartikan sebagai berikut :

a. Sebuah entitas yang terus berkembang yang mengembangkan dan menegakkan aturan-aturan dengan tujuan untuk mengatur perilaku.

b. Sistem hukum dan kebijakan tidak boleh dilihat secara sempit hanya sebagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan atau

“hal-hal yang tertulis”.

Melihat sistem hukum dan kebijakan secara sempit hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan akan menyebabkan kegagalan untuk mempertimbangkan sistem yang lebih luas karena peraturan perundang-undangan dan kebijakan dibuat dan di tegakkan untuk, diantaranya melindungi anak dari bahaya atau berbagai persoalan perlindungan anak.

Pada praktiknya hukum (peraturan perundang-undangan) dan

kebijakan mengatur dan dilaksanakan melalui sistem peradilan, sistem

kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga, dan sistem-sistem lainnya

di suatu Negara. Ini berarti bahwa kerja dan operasi sistem hukum itu

(13)

harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan sistem-sistem pencegahan dan penanganan.

Sistem Hukum di suatu Negara dipengaruhi oleh tradisi hukum.

Bila sistem hukum terdiri atas sejumlah aturan tertulis (kerangka hukum dan kebijakan), struktur yang mengatur perilaku dan proses tempat hukum dibentuk, di interpretasikan, dan di tegakkan; tradisi hukum mengacu pada perspektif budaya tempat sistem hukum dibangun. Secara singkat, tradisi hukum memberikan filosofi atas bagaimana sebuah sistem hukum harus dikelola dan bagaimana hukum diciptakan dan dilaksanakan.

Sistem hukum dan kebijakan membentuk, mengatur, memberikan mandat dan sumber daya untuk elemen sistem perlindungan ABH lainnya, yaitu Sistem Kesejahteraan Sosial bagi Anak dan Keluarga, Sistem Peradilan, Sistem Data dan Informasi Perlindungan Anak, serta Sistem Perubahan Perilaku Sosial. Khusus untuk sistem perubahan perilaku sosial, sistem hukum dan kebijakan memiliki efek langsung melalui penegakkan hukum dan sanksi. Sedangkan sistem data dan informasi perlindungan anak memberikan gambaran tentang perkembangan dan efektivitas pelaksanaan sistem hukum dan kebijakan tersebut.

Sistem hukum dan tradisi hukum saling berhubungan.

Permasalahan mengenai konteks dari suatu Negara merupakan hal penting karena konteks hukum, selain sosial ekonomi dan politik, memengaruhi pelaksanaan berbagai kesepakatan internasional, seperti Konvensi Hak Anak, dan memengaruhi pengembangan sistem untuk perlindungan anak. Di sisi lain, konteks-konteks tersebut juga memengaruhi bagaimana pelaksanaan hukum maupun reformasi institusi. Sebagai contoh, sentralisasi atau disentralisasi yang diatur oleh undang-undang dapat memperkuat ataupun melemahkan penguatan layanan keluarga dan anak di daerah. Contoh lain adalah apakah ketetapan dan pelaksanaan hukum adat memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan hukum formal, seperti undang-undang.

Indonesia merupakan Negara Yang memiliki tradisi hukum

campuran/pluralis, sebagian aturan yang berasal dari hukum agama

islam (Syari’ah) menjadi bagian hukum formal, seperti yang tercantum

dalam kompilasi hukum Islam. Khususnya di aceh, pengadilan negeri

(pengadilan publik) memiliki yurisdiksi tertentu mencakup sejumlah

pelanggaran yang diatur oleh hukum agama, seperti zina dan bermabuk-

mabukan. Di banyak wilayah, hukum adat masih dipakai dalam

pengambilan keputusan atas sengketa antar anggota masyarakat

maupun pelanggaran norma umum di suku atau wilayah tersebut.,

antara lain pengangkatan anak, kekerasan terhadap anak, dan

kekerasan seksual terhadap perempuan, sebenarnya di atur dalam

peraturan perundang-undangan.

(14)

Pemenuhan Hak Anak

Perlindungan Apabila Hak

Anak Tidak Terpenuhi

Kerangka Hukum dan Kebijakan

Monitoring dan Evaluasi

Membangun sistem hukum dan kebijakan dapat dilakukan dengan mendukung lembaga eksekutif dan legislatif untuk membuat undang- undang dan kebijakan yang sesuai dengan kebijakan internasional untuk memberikan perlindungan yang komprehensif dalam mencegah dan menangani kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran terhadap anak termasuk sistem hukum dan kebijakan, struktur pengembangan dan penegakkan hukum dan kebijakan, serta proses pelaksanaan hukum/peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak.

PENANGANAN ABH

Sistem Kesejahteraan Sosial bagi Anak dan

Keluarga

Sistem Peradilan Penyelesaian Masalah

Anak

Dukungan Parenting Pengasuhan Anak pengasuhan Anak, Konseling, dll Peradilan anak, Pelayanan dasar lain, yaitu Perawatan, Adopsi, saksi Kesehatan dan Pendidikan Anak dan Korban Anak

Pem

P

e

e

n

r

u

u

h

b

a

a

n

ha

H

n

ak

P

A

er

n

i

a

la

k

ku Sosial

Gambar .1

Diadaptasi dari CP SBA Training yang dikembangkan oleh UNICEF EAPRO – Child Frontiers – The Children’s Legal Centre

2. Sistem Peradilan Anak

Sistem peradilan anak merupakan salah satu elemen dalam sistem perlindungan anak, yang menetapkan kerangka hukum dan menegakkan hukum dalam masyarakat. Sistem peradilan anak memberikan pandangan independen terhadap setiap masalah yang berkaitan dengan anak, terutama ketika keputusan formal perlu diambil demi kepentingan terbaik anak dalam perkara pidana, perdata, dan administrasi dalam peradilan formal maupun informal. Misalnya dalam ajudikasi (proses persidangan) perkara perdata seperti kasus adopsi, penetapan kuasa asuh, hak milik dan warisan, atau masalah-masalah lain yang langsung membawa dampak pada kehidupan anak.

Dalam perkara pidana, sistem peradilan anak harus menjamin

bahwa kebutuhan dan hak ABH sebagai pelaku, korban, maupun saksi

tindak pidana, dipenuhi dan semua keputusan diambil demi

kepentingan terbaik anak. Hal ini berlaku untuk anak sebagai pelaku

(15)

tindak pidana ketika anak dituduh, didakwa, dituntut, atau dihukum atas pelanggaran hukum.

Dalam hal anak menjadi korban tindak pidana, sistem peradilan anak juga harus memastikan bahwa kebutuhan dan hak anak dipenuhi, dan semua keputusan diambil demi kepentingan terbaik anak. Hal ini termasuk hak atas kompensasi dan restitusi untuk setiap penderitaan yang dialami, reintegrasi, dan akses kepelayanan lainnya.

Seperti halnya anak sebagai pelaku dan korban, sistem peradilan anak juga harus melindungi anak sebagai saksi tindak pidana dengan memenuhi kebutuhan dan haknya.

Dalam pelaksanaan sistem peradilan anak seharusnya berinteraksi dengan sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga untuk menentukan situasi dan kebutuhan demi kepentingan terbaik anak. Misalnya, dalam penerapan pengasuhan anak, reintegrasi ABH, dan layanan sosial lainnya sehingga akar masalah yang mendorong munculnya ABH dapat diatasi dan dicegah.

Intervensi sistem peradilan anak merupakan hal penting dalam segala keputusan resmi yang menyangkut kepentingan terbaik anak.

Sistem peradilan meliputi peradilan:

1. Pidana 2. Perdata 3. Administrasi 4. Informal

Sistem peradilan berperan untuk menjamin bahwa setiap keputusan diambil demi kepentingan terbaik anak dan kebutuhannya dipenuhi. Sistem peradilan tidak bisa menyelesaikan akar masalah yang memengaruhi anak sendiri, perlu intervensi dari sistem kesejahteraan sosial. Kerja sama antar sistem peradilan dan sistem kesejahteraan sosial adalah upaya penting untuk melindungi anak.

Ada standar internasional yang lengkap mengenai penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Dasar pendekatan PBB meliputi prinsip-prinsip berikut ini:

1. Kewajiban Negara untuk membangun sistem peradilan bagi anak khusus dan tersendiri.

2. Kepentingan terbaik anak merupakan pertimbangan utama dalam semua keputusan, di semua tahap.

3. Perlakuan adil, manusiawi, setara dan yang bersifat non diskriminatif.

4. Partisipasi aktif anak dalam proses.

(16)

5. Melindungi dari pelecehan, eksploitasi, penelantaran, dan kekerasan selama prosesnya.

6. Mencegah konflik dengan hukum harus diutamakan (bantuan terhadap keluarga, dukungan masyarakat).

7. Penahanan dan pemenjaraan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang paling singkat.

8. Alternatif terhadap penahanan dan pemenjaraan terhadap anak harus diutamakan : diversi dan restorative justice.

9. Semua keputusan diambil terhadap anak harus proporsional dengan kondisi dan situasi anak, harus juga melihat akar masalah.

10. Kerangka hukum Indonesia telah mengakomodasi kebanyakan prinsip tersebut, khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam memetakan sistem peradilan dilakukan dengan langkah:

1. Identifikasi norma, struktur dan proses.

2. Analisis kesenjangan.

3. Identifikasi intervensi prioritas.

Komponen norma berkaitan dengan kerangka hukum dan kebijakan Negara mengenai penanganan anak dalam sistem peradilan dan sejauhmana hukum nasional sesuai KHA dan standar Internasional;

Komponen struktur berkaitan dengan kapasitas instansi dalam sistem peradilan termasuk kapasitas sumber daya manusia (jumlah, keterampilan, pelatihan), sarana dan prasarana, anggaran, dll.

Komponen prosedur berkaitan dengan prosedur internal aparat penegak hukum dan instansi terkait lain dalam penanganan kasus anak yang berhadapan dengan hukum dan sejauh mana prosedur tersebut mencukupi untuk melaksanakan hukum internasional serta sejauh mana kesesuaian dengan hukum nasional dan internasional.

3. Sistem Kesejahteraan Sosial bagi Anak dan Keluarga

(1) Komponen dan karakteristik Sistem Kesejahteraan Sosial bagi Anak dan Keluarga.

Sistem kesejahteraaan sosial bagi anak dan keluarga merupakan

salah satu elemen dari Sistem Perlindungan Anak, yang secara khusus

berperan dalam mencegah resiko dan merespon kekerasan, eksploitasi,

perlakuan salah, dan penelantaran terhadap anak, termasuk mencegah

terulangnya kembali pelanggaran tersebut. Untuk itu, sistem

kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga yang efektif harus

(17)

komprehensif, ditandai dengan adanya ketersediaan layanan yang bersifat pro-aktif dan reaktif. Layanan pro-aktif merupakan layanan yang mampu mendeteksi kerentanan anak dan keluarga dan mencegah terjadinya kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran terhadap anak. Sedangkan layanan reaktif adalah layanan yang mampu merespon ketika terjadi kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran terhadap anak.

Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam perlindungan anak. Hal ini sejalan dengan fokus Sistem Kesejahteraan Sosial bagi Anak dan Keluarga yang menekankan peran penting keluarga dalam memberikan pengasuhan dan perlindungan bagi anak.

Sistem Kesejahteraan bagi Anak dan Keluarga bertujuan untuk memberikan layanan sosial yang mendukung peningkatan kemampuan keluarga untuk melindungi anak-anaknya dari berbagai kerentanan.

Dengan demikian, sistem ini harus memiliki karakteristik komprehensif yang berarti memberikan layanan baik pencegahan (primer), penanganan resiko (sekunder), maupun penanganan korban (tersier). Yang dimaksud layanan pencegahan atau primer adalah layanan yang ditujukan kepada masyarakat untuk memperkuat kemampuannya dalam mengasuh dan melindungi anak dari kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran. Layanan sekunder atau layanan Intervensi adalah layanan yang ditujukan kepada anak dan keluarga yang telah teridentifikasi rentan atau beresiko mendapat kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran dikarenakan berbagai faktor termasuk akses pada layanan. Sedangkan layanan tersier adalah layanan bagi anak yang telah mengalami kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran.

Hal ini bermaksud untuk memberikan layanan penyembuhan, rehabilitasi dan reintegrasi.

Efektivitas pelaksanaan sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga dapat dinilai berdasarkan komponen sistem yaitu norma, struktur dan proses yang selanjutnya menjadi acuan untuk menyusun intervensi prioritas dalam memperkuat sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga secara khusus dan perlindungan anak secara umum.

a. Sistem Kesejahteraan Sosial bagi Anak dan Keluarga mempunyai 3 (tiga) komponen.

 Norma: kebijakan dan peraturan yang menggaris bawahi layanan yang harus dilakukan oleh penyedia layanan yang dimandatkan;

 Struktur: lembaga yang dimandatkan untuk melakukan layanan- layanan yang komprehensif, termasuk kapasitas penyedia layanan dan fasilitas pendukung;

 Proses: standar dan mekanisme dalam melaksanakan layanan-

layanan yang komprehensif;

(18)

b. Sistem Kesejahteraan Sosial bagi Anak dan Keluarga memiliki karakteristik yang komprehensif, pro-aktif, dan responsif yang tercermin dalam ketersediaan dan aksesibilitas rangkaian layanan.

 Layanan primer ditujukan kepada seluruh masyarakat, misalnya pendidikan tentang hak anak dan perlindungan anak, pentingnya pencatatan kelahiran anak, dampak buruk kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran.

 Layanan sekunder ditujukan kepada anak dan keluarga yang rentan atau beresiko, seperti pendidikan pengasuhan (parenting education), layanan konseling, kunjungan keluarga (home visit), penjangkauan, tempat pengasuhan anak sementara, dan memberikan dukungan financial.

 Layanan tersier ditujukan kepada anak yang telah mengalami kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran, misalnya layanan pengobatan, rehabilitasi psikososial, penempatan anak dalam pengasuhan di luar keluarga ketika rumahnya dinilai tak lagi aman bagi anak.

c. dalam memberikan layanan yang komprehensif tersebut di atas, sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga harus berinteraksi dengan pelayanan lain, seperti pendidikan, kesehatan dan jaring pengaman sosial.

d. Sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga memiliki prinsip:

 Mempromosikan kesejahteraan sosial anak dan keluarga;

 Mengutamakan pengasuhan berbasis keluarga. Apabila ada situasi yang mengancam anak di lingkungan keluarga maka kepentingan terbaik bagi anak harus di utamakan;

 Memahami dan menganalisis kondisi sosial keluarga yang mengakibatkan anak beresiko dan mengalami kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran;

 Dalam memberikan pelayanan yang komprehensif, sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga harus berinteraksi dengan pelayanan lain, seperti pendidikan, kesehatan dan jaring pengaman sosial, dll.

Layanan-layanan dalam sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan

keluarga harus mampu mencegah terjadinya ABH maupun pada layanan

rehabilitasi dan reintegrasi bagi ABH. Sejalan dengan itu maka Sistem

Peradilan harus memberikan kepastian menyangkut keputusan formal

yang harus diambil demi kepentingan terbaik anak, diantaranya adopsi

anak, hak untuk warisan. Sedangkan sistem perubahan perilaku harus

memastikan penyedia layanan mengikuti etika baik dari efektivitas ,

akses dan kualitas layanan-layanan Sistem Kesejahteraan Sosial bagi

Anak dan Keluarga. Hal tersebut penting sebagai acuan baik dalam

penyususnan kebijakan, intervensi program-program dan menentukan

sasaran.

(19)

(2) Konsep pengasuhan sebagai suatu kesatuan.

Setiap anak dalam proses tumbuh kembang membutuhkan pengasuhan yang memadai dari keluarganya atau lingkungan tempat ia berada. Pengasuhan anak berarti memberikan perawatan dan pengawasan anak agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal.

untuk itu diperlukan keluarga yang mampu melaksanakan tanggung jawab untuk mengasuh, membesarkan, membimbing, dan melindungi anak.

Konvensi Hak Anak (KHA) menegaskan pentingnya peranan keluarga dalam upaya pemenuhan hak anak. Dalam situasi dan kondisi anak tidak dimungkinkan diasuh oleh keluarga intinya, KHA menegaskan pentingnya pengasuhan pengganti yang berbasis keluarga.

Pengasuhan oleh keluarga atau keluarga pengganti penting agar anak mendapatkan kemananan dan kenyamanan secara emosional dan psikososial yang diperlukan untuk membentuk kepribadian (attachment) dan ketahanan (resilience) bagi anak.

Rangkaian pengasuhan tersebut terutama harus dilakukan oleh keluarga dan jika keluarga tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya dalam mengasuh dan melindungi anak maka Negara berkewajiban untuk memperkuat kemampuan keluarga-keluarga melalui intervensi yang bersifat memberdayakan keluarga tersebut. Jika anak tidak dimungkinkan untuk tinggal dalam keluarganya karena kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran yang mengancam keselamatan anak maka Negara berkewajiban untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan melalui pengasuhan alternatif.

Pengasuhan anak merupakan satu kontinum dari pengasuhan keluarga sampai dengan pengasuhan yang dilakukan oleh pihak lain di luar keluarga atau disebut dengan pengasuhan alternatif. Keluarga bertanggung jawab untuk mengasuh, membimbing, dan melindungi anak. Setiap anak berhak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pilihan terakhir.

Prinsip utama pengasuhan adalah anak berada dalam lingkungan

keluarga. Oleh karena itu, prioritas layanan adalah untuk memperkuat

peran keluarga dalam mengasuh dan melindungi anak. Jika

berdasarkan hasil penilaian oleh instansi sosial/pekerja sosial

ditemukan bahwa pengasuhan di dalam keluarga tidak dimungkinkan

atau tidak sesuai dengan kepentingan terbaik anak, maka pengasuhan

anak dilakukan berbasis keluarga pengganti melalui orang tua asuh

(fostering), perwalian, dan pengangkatan anak. Selanjutnya, jika

pengasuhan alternatif berbasis keluarga tidak dimungkinkan, maka

pengasuhan anak dapat dilakukan melalui LKSA sebagai alternatif

(20)

Perlu diingat bahwa semakin tinggi resiko yang dialami anak dalam pengasuhan keluarga maka intervensi yang dibutuhkan semakin membutuhkan pendekatan khusus dan individual. Pelayanan ini harus diberikan oleh petugas yang memiliki mandat khusus seperti pekerja sosial, atau profesi lain.

Negara berkewajiban melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkuat kemampuan keluarga-keluarga yang membutuhkan agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya melalui intervensi yang bersifat memberdayakan keluarga tersebut.

Jika anak tidak dimungkinkan untuk tinggal dalam keluarganya, karena kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran yang mengancam keselamatan anak maka Negara berkewajiban untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan melalui pengasuhan alternatif, hal itu merupakan bagian dari rangkaian pengasuhan (continuum of care)

4. Sistem Perubahan Perilaku Sosial

Sistem Perubahan Perilaku Sosial merupakan salah satu elemen dalam sistem perlindungan anak yang memengaruhi dan saling terkait dengan sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga, dan sistem peradilan anak. Sistem Perubahan Perilaku Sosial mencakup pola pikir, sikap, kepercayaan, dan perilaku penyedia layanan, penegak hukum dan masyarakat terhadap perlindungan anak.

Dalam Sistem Perlindungan Anak, sistem hukum dan kebijakan juga mempunyai pengaruh untuk merumuskan perilaku, sikap dan praktik sesuai prinsip-prinsip hak-hak anak yang menjadi acuan bagi penyedia layanan dan penegak hukum dan masyarakat. Selanjutnya, Sistem Data dan Informasi mempunyai peran penting dalam melihat kesenjangan sikap, perilaku dan praktik di masyarakat serta menjadi acuan dalam pengembangan strategi perubahan perilaku yang mendukung perlindungan anak.

Perubahan pola pikir, sikap, kepercayaan, dan perilaku negatif kepada anak yang tidak sesuai dengan standar hak anak, merupakan fokus utama bagi pembangunan sistem perlindungan anak. Pola pikir, sikap, kepercayaan, dan perilaku merupakan bagian yang melekat dalam kehidupan setiap orang yang dipengaruhi pengetahuan, nilai-nilai dan praktik yang bersifat dinamis. Hal tersebut akan berdampak langsung terhadap individu, masyarakat, dan institusi.

Terkait dengan perlindungan anak, sikap dan perilaku negatif

terhadap anak berupa perilaku kasar, eksploitatif, dan tindakan

kekerasan seringkali tidak terlihat karena adanya budaya yang

melanggengkan relasi kuasa dalam keluarga dan antar generasi. Selain

(21)

itu, ada beberapa bentuk kekerasan disebabkan adanya praktik diskriminatif dan ketidaksetaraan gender.

Praktik yang merugikan tersebut telah mengakar di dalam masyarakat sehingga dibutuhkan keterlibatan semua pemangku kepentingan untuk membuat perubahan. Salah satu ciri penting dari pendekatan sistem perlindungan anak adalah dapat memengaruhi terjadinya perubahan perilaku individu, masyarakat, dan institusi untuk meningkatkan dan menjamin perlindungan anak.

Ada 5 (lima) area strategis untuk perubahan perilaku sosial:

1) Peningkatan pengetahuan dan pengumpulan data tentang perlindungan anak;

2) Penguatan peran keluarga dalam mengasuh dan melindungi anak;

3) Penguatan peran masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang melindungi anak;

4) Promosi pemberdayaan dan partisipasi anak;

5) Pemberian dukungan pendidikan masyarakat dan penyelenggaraan dialog sosial.

Sistem Perubahan Perilaku juga mencakup 3 komponen yaitu:

a. Norma:

Norma, terkait dengan perilaku yang terkadang dalam peraturan perundang-undangan sesuai prinsip dan standar hak-hak anak dan nilai-nilai kearifan di masyarakat.

b. Struktur:

Struktur, terkait dengan pola relasi diantara berbagai komponen di masyarakat terkait dengan anak, hal ini terkait dengan orang-orang terdekat dengan anak seperti keluarga, pengasuh pengganti atau keluarga besar. Hal ini juga terkait dengan orang-orang yang berinteraksi dengan anak seperti guru, pekerja sosial, petugas kesehatan, penegak hukum dan lain-lain. Selain itu, eksekutif, legislatif, dan yudikatif mempunyai peran penting dalam mempromosikan perilaku sosial masyarakat yang melindungi anak.

c. Proses:

Proses, merupakan pola interaksi dinamis di masyarakat dalam relasi sosial terkait dengan nilai, sikap dan perilaku yang dijalankan dalam konteks kelompok atau institusi. Penting untuk diingat bahwa perubahan perilaku merupakan bagian dari proses reformasi pembangunan sosial dan budaya yang lebih luas dan membutuhkan waktu serta kesadaran bagi semua pihak untuk melakukan perubahan sesuai prinsip-prinsip hak anak. Meskipun sulit dan butuh waktu, perubahan tersebut sesungguhnya dapat terjadi.

Di beberapa Negara, kebijakan anti penghukuman badan (Corporal

(22)

kebijakan dan mekanisme pelaporan yang sistematis, dapat mendorong terjadinya perubahan sikap dan perilaku individu. Strategi perubahan perilaku harus diikuti oleh penyediaan layanan yang mudah diakses dan berkualitas. Contohnya: pemerintah mewajibkan pelaporan bagi siapa yang menyaksikan kekerasan pada anak seperti yang dimandatkan undang-undang perlindungan anak (PA). untuk itu pemerintah mengembangkan telepon sahabat anak.(TeSA).

Dalam suatu evaluasi tentang TeSA, masyarakat yang mulai menghubungi TeSA kemudian berhenti menghubungi TeSA untuk memberikan laporan kekerasan karena tidak pernah ada yang menerima telepon mereka. Perubahan harus dilaksanakan secara konsisten dan sistematis, serta pelaksanaannya melibatkan partisipasi seluruh lapisan dalam masyarakat, termasuk anak-anak, orang dewasa, kelompok masyarakat dan agama, pemerintah, legislatif serta sektor swasta.

Partisipasi individu penting di dalam perubahan perilaku karena bisa memengaruhi perubahan perilaku sosial keluarga, masyarakat lembaga pemerintah dan sektor swasta atau sebaliknya. Adanya aturan hukum tidak serta-merta memberikan dampak pada perubahan perilaku tanpa adanya kemauan, pemahaman dan komitmen semua.

Misalnya:

a) Dalam UU KDRT ada pasal yang mewajibkan orang yang mengetahui terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) untuk melapor. Akan tetapi, masyarakat tidak melapor karena tidak tahu bahwa aturan itu ada, tidak tahu kemana harus melapor, takut ada pembalasan dari orang yang dilaporkan, masih percaya bahwa KDRT adalah urusan rumah tangga yang tidak boleh diurusi oleh orang lain, dll.

b) Walau telah mengetahui kendaraan tidak boleh parkir di tempat yang ada tanda larangan parkir, banyak orang melakukan karena tidak ada yang menghukum untuk melanggar hal tersebut atau lebih mudah parkir di tempat yang terlarang daripada di tempat parkir yang jauh. Sistem perubahan Perilaku Sosial harus di integrasikan dan sejalan dengan elemen sistem perlindungan anak lainnya.

5. Sistem data dan Informasi Perlindungan Anak.

Sistem Data dan Informasi Perlindungan Anak merupakan salah

satu elemen dalam sistem perlindungan anak yang mengatur mekanisme

pengumpulan data, analisis data, penyimpanan, dan pemanfaatan data

dan informasi untuk perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan

evaluasi program perlindungan anak. Dengan demikian Sistem Data dan

Informasi Perlindungan Anak memberikan informasi tentang

perkembangan, efektivitas, dan kesenjangan dalam pelaksanaan Sistem

Perlindungan Anak secara keseluruhan.

(23)

Efektivitas dari Sistem Data dan Informasi Perlindungan Anak dapat dinilai berdasarkan komponen sistematis, norma, struktur, dan proses yang selanjutnya menjadi acuan untuk menyusun intervensi prioritas dalam memperkuat Sistem Data dan Informasi Perlindungan Anak secara khusus dan Sistem Perlindungan Anak secara umum.

Data dan Informasi Perlindungan Anak seharusnya terdiri atas beberapa jenis, yaitu data populasi, data prevalensi faktor resiko, data prevalensi permasalahan, data kasus, data cakupan layanan, serta data pemantauan dan evaluasi. Namun demikian data perlindungan anak yang tersedia saat ini masih bersifat sektoral dan parsial. Data yang tersedia belum lengkap, umumnya adalah data kasus dan data cakupan layanan. Disamping itu, definisi yang digunakan oleh Kementerian/Lembaga untuk indikator yang sama terkadang berbeda dan belum sesuai dengan definisi internasional. Keterbatasan data perlindungan anak tersebut mengakibatkan kesulitan dalam melakukan pemantauan dan evaluasi efektivitas layanan, pengembangan kebijakan, perencanaan program dan penganggaran untuk perlindungan anak.

Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perlindungan anak berbasis sistem haruslah didasarkan pada data dan informasi yang sahih (valid) dan dapat di pertanggung jawabkan keabsahannya. Oleh karena itu Sistem Data dan Informasi harus di bangun sejalan dengan elemen sistem perlindungan anak lainnya karena Sistem Data dan Informasi Perlindungan Anak.

 Mengatur mekanisme rutin untuk pengumpulan data, analisis data, penyimpanan dan pemantauan data dan informasi untuk perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program perlindungan anak.

 Mencakup data populasi, data prevalensi faktor resiko, data prevalensi permasalahan perlindungan anak, data kasus dan cakupan layana, dan data permasalahan dan evaluasi.

 Data prevalensi faktor resiko memberikan gambaran tentang hubungan persoalan dalam bidang-bidang lain dengan resiko terhadap perlindungan anak, seperti anak yang tidak memiliki akta kelahiran, angka putus sekolah, akses terhadap layanan kesehatan, presentasi penduduk di tingkat kesejahteraan terbawah, dan angka kemiskinan.

 Harus diatur dengan norma yang memberikan mandat untuk pengelolaan data dan informasi perlindungan anak dan koordinasi;

 Dapat berjalan bila ada lembaga koordinasi, dan berbagai lembaga pengelola data yang dilengkapidengan sumber daya manusia dan infrastruktur yang memadai;

1) Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk pengelolaan data harus tersedia.

2) Indikator yang menyangkut perlindungan anak perlu

(24)

3) Pengelolaan data harus dilakukan secara rutin.

C. Tujuan Perlindungan Anak

PERPPU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 angka 2 menyatakan Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, pernyataan pasal tersebut mengandung 2 (dua) Pengertian :

a. Pemenuhan Hak. Hak hidup, tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi dipenuhi oleh Negara melalui hak kesehatan (UU Kesehatan), hak pendidikan (UU sisdiknas), dan Kesejahteraan anak termasuk pengasuhan anak (UU nomor 4 tahun 1979 dan UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan).

b. Perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Negara wajib memenuhi dalam bentuk norma melalui undang-undang perlindungan anak. Dengan demikian turunan sistem hokum/perundang-undangan mengenai penyelenggaraan perlindungan anak dari klekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran di semua situasi kehidupan anak. Situasi kehidupan anak tersebut meliputi pengasuhan anak dalam keluarga/keluarga asuh/keluarga angkat/wali/pengasuhan.

Pasal 19 Konvensi Hak anak (KHA). Negara wajib mengambil langkah langkah administratif, legislatif, sosial, pendidikan untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan (fisik, psikis, seksual dan penelantaran). Sehubungan hal tersebut, perlindungan anak harus dalam semua situasi kehidupan anak, yakni :

a. Pengasuhan keluarga;

b. Pengasuhan alternatif, yaitu pengasuhan oleh keluarga asuh, pengasuhan oleh orang tua angkat, pengasuhan oleh wali, pengasuhan oleh LKSA ( lembaga kesejahteraan 24ector anak) atau panti;

c. Institusi yang mengandung unsur pengasuhan anak misalnya:

asrama anak, tahanan polisi, tahanan imigrasi, penjara, bangsal anak di rumah sakit, klinik khusus/perawatan khusus, lembaga pendidikan. Perlindungan ini harus dilakukan dalam situasi normal maupun ketika terjadi bencana alam maupun konflik.

Semua anak bergantung kepada kapasitasnya yang terus

berkembang dan karenanya membutuhkan perlindungan dan

(25)

pengasuhan, serta memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari dampak buruk.

Pencegahan dan penanganan kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah menjadi penting untuk memastikan hak anak atas kelangsungan hidup, perkembangan, dan kesejahteraan (UNICEF Child Protection Strategy, juni 2008).

Perlindungan anak adalah upaya untuk mencegah dan merespons dari kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran, terhadap anak. Prioritas perlindungan anak ditujukan kepada anak-anak yang tidak memiliki pengasuh utama ( yatim piatu, anak anak dalam lembaga, anak yang berkonflik dengan hukum, dll.)

a. Anak yang terjebak dalam kerja paksa dan kerja ijon.

b. Perdagangan anak (Trafficking).

c. Eksploitasi seksual anak.

d. Perlindungan anak dalam konflik senjata.

e. Kekerasan terhadap anak di sekolah, di rumah, di penjara, panti asuhan, praktik-praktik tradisional yang berbahaya, dll.

Dampak yang ditimbulkan jika anak tidak dilindungi, antara lain : a. Menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak

b. Memengaruhi kesehatan anak

c. Memengaruhi kemampuan untuk belajar dan kemauannya untuk bersekolah

d. Mengakibatkan anak lari dari rumah. Hal tersebut menjadikan anak lebih rentan terhadap pada risiko lain, seperti trafficking.

e. Menghancurkan rasa percaya diri anak.

f. Dapat mengganggu kemampuannya untuk menjadi orang tua yang baik di kemudian hari .

g. Kematian dll.

Perlindungan ABH merupakan hal yang kompleks karena berurusan dan saling bergantungan dengan berbagai aspek kehidupan sehingga penanganannya memerlukan tindakan yang komprehensif dan berkelanjutan. Pola pendekatan perlindungan anak bergeser kepada pendekatan berbasis sistem, yang menekankan kepada pencegahan, koordinasi antar 25ector, dan tindakan terpadu yang ramah anak.

Perlindungan ABH adalah upaya untuk mencegah dan menangani

kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran terhadap

anak. Hal ini menegaskan bahwa semua anak mempunyai resiko

mengalami kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran.

(26)

Kelangsungan hidup dan Tumbuh kembang

Prinsip Perlindungan Anak

Kepentingan terbaik bagi anak

Nondiskriminasi Partisipasi

Gambar. 2 Tujuan perlindungan anak

Sebagaimana pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyatakan

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera”.

D. Rangkuman

Sistem merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti Negara, setiap sistem selalu terdiri atas empat elemen, yaitu Objek, Atribut, Hubungan internal, di antara objek-objek di dalamnya, Lingkungan, tempat di mana sistem berada. Sistem merupakan elemen-elemen yang berdiri sendiri atau independen, namun saling berkaitan dan menciptakan satu kesatuan yang utuh. Karakteristik suatu sistem ditandai dengan adanya tujuan bersama, memiliki daya prediksi, keseimbangan antar elemen. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka

Ada beberapa elemen yang membentuk sebuah sistem, yaitu : tujuan, masukan, proses, keluaran, batas, mekanisme pengendalian dan umpan balik serta lingkungan. Setiap elemen sistem akan berfungsi dengan baik jika memiliki tiga komponen yaitu norma, struktur, dan proses.

Pembangunan perlindungan ABH Berbasis sistem yang terintegrasi

bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi sistem perlindungan ABH

(27)

untuk menjamin pencegahan dan penanganan anak dari kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran.

Elemen dalam Sistem perlindungan Anak

1). Sistem hukum dan Kebijakan, 2) Sistem Peradilan, 3). Sistem Kesejahteraan Sosial bagi Anak dan Keluarga, 4). Sistem Perubahan Perilaku Sosial, 5). Sistem Data dan Informasi Perlindungan Anak

E. Evaluasi

1. Bagaimana membangun sistem Perlindungan ABH?

2. Jelaskan Elemen dalam Sistem Perlindungan Anak?

3. Apa Tujuan Perlindungan Anak?

(28)

Setelah mempelajari Materi pada bab ini diharapkan Peserta diklat mampu memahami Konvensi Hak Anak terkait ABH.

BAB III

KONVENSI HAK ANAK TERKAIT ABH

A. Konvensi Hak Anak

Anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa serta sebagai sumber daya manusia di masa depan yang merupakan modal bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development). Berangkat dari pemikiran tersebut, kepentingan yang utama untuk tumbuh dan berkembang dalam kehidupan anak harus memperoleh prioritas yang sangat tinggi. Sayangnya, tidak semua anak mempunyai kesempatan yang sama dalam merealisasikan harapan dan aspirasinya. Banyak diantara mereka yang beresiko tinggi untuk tidak tumbuh dan berkembang secara sehat, mendapatkan pendidikan yang terbaik, karena keluarga yang miskin, orang tua bermasalah, diperlakukan salah, ditinggal orang tua, sehingga tidak dapat menikmati hidup secara layak.

Peristiwa meletusnya perang dunia pertama, menyebabkan banyak anak yang menjadi korban, mereka mengalami kesengsaraan, hak-hak mereka terabaikan dan mereka menjadi korban kekerasan. Dengan berakhirnya perang dunia, tidak berarti kekerasan dan pelanggaran hak-hak anak berkurang. Bahkan eksploitasi terhadap hak-hak anak berkembang ke arah yang lebih memprihatinkan.

Pelanggaran terhadap hak-hak anak bukan saja terjadi di negara yang sedang terjadi konflik bersenjata, tapi juga terjadi di negara-negara berkembang bahkan negara-negara maju. Permasalahan sosial dan masalah anak sebagai akibat dari dinamika pembangunan ekonomi diantaranya anak jalanan (street shildren), pekerja anak (child labour), perdagangan anak (child trafficking) dan prostitusi anak (child prostitution).

Berdasarkan kenyataan di atas, PBB mengesahkan Konvensi Hak-

hak Anak (Convention On The Rights of The Child) untuk memberikan

perlindungan terhadap anak dan menegakkan hak-hak anak di seluruh

dunia pada tanggal 20 Nopember 1989 dan mulai mempunyai kekuatan

memaksa (entered in to force) pada tanggal 2 September 1990. Konvensi

ini telah diratifikasi oleh semua negara di dunia, kecuali Somalia dan

Amerika Serikat. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak ini

dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Sebagaimana pada

Pasal 1 berbunyi, mengesahkan Convention on the Rights of the Child

(29)

(Konvensi tentang Hak-hak Anak) yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 26 Januari 1990, sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diterima pada tanggal 20 Nopember 1989 dengan pernyataan (declaration), yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris sebagaimana terlampir pada Keputusan Presiden.

Konvensi Hak-hak Anak terdiri dari 54 pasal yang terbagi dalam 4 bagian, yaitu :

1. Mukadimah, yang berisi konteks Konvensi Hak-hak Anak.

2. Bagian Satu (Pasal 1-41), yang mengatur hak-hak anak.

3. Bagian Dua (Pasal 42-45), yang mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak.

4. Bagian Tiga (Pasal 46-54), yang mengatur masalah pemberlakuan konvensi.

Konvensi Hak-hak Anak mempunyai 2 protokol opsional, yaitu :

1. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata (telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2012).

2. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak (Indonesia telah meratifikasi protokol opsional ini dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2012).

Konvensi Hak-hak Anak berisi 8 kluster, yaitu:

1. Kluster I : Langkah-langkah Implementasi 2. Kluster II : Definisi Anak

3. Kluster III : Prinsip-prinsip Hukum KHA 4. Kluster IV : Hak Sipil dan Kebebasan

5. Kluster V : Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif 6. Kluster VI : Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar

7. Kluster VII : Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya 8. Kluster VIII : Langkah-langkah Perlindungan Khusus

Hak-hak anak menurut Konvensi Hak-hak Anak dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu :

1. Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.

2. Hak Perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran.

3. Hak Tumbuh Kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak

mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik,

(30)

4. Hak Berpartisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak.

Dua puluh lima tahun sejak Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden No.

36 tahun 1990. Berbagai kebijakan di bidang perlindungan anak dan pemenuhan hak anak telah dilahirkan. Mengacu pada KHA, sebagaimana disebutkan bahwa anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Berdasarkan data, hingga saat ini jumlah anak Indonesia diketahui sejumlah dengan sepertiga jumlah penduduk Indonesia, yakni sekitar 87 juta anak, ini merupakan potensi dan kekayaan bangsa yang tidak ternilai, tetapi jika tidak sungguh-sungguh dan bersama-sama masyarakat dan pemerintah dalam perlindungan anak, maka potensi yang besar itu dapat berbalik menjadi beban yang tidak ringan bagi kelangsungan bangsa di kelak kemudian hari.

Ratifikasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia 25 tahun silam adalah salah satu bentuk nyata kepedulian dan komitmen negara terhadap perlindungan hak anak sebagaimana dimandatkan dalam UUD 1945, KHA telah menjadi panduan hukum dan kebijakan bagi Pemerintah Indonesia dalam menangani isu-isu anak. KHA juga sangat erat berkaitan dengan berbagai instrument internasional lainnya yang mengatur isu anak, antara lain ;

Anak dalam konflik bersenjata ; telah dituangkan dalam Optional Protocol tentang Keterlibatan Anak dalam konflik bersenjata yang telah diratifikasi melalui UU No. 9 tahun 2012

Anak korban Penjualan, Penculikan dan Trafiking; telah dituangkan dala Optional Protocol tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak yang telah diratifikasi melalui UU No. 10 tahun 2012.

Anak Bekerja; Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi yang berkaitan dengan anak bekerja yaitu (a) Konvensi ILO No. 138 tentang Batasan Usia Minimum boleh Bekerja diratifikasi melalui UU No. 20 tahun 1999, (b) Konvensi ILO No. 182 tentang bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak diratifikasi melalui UU 1 tahun 2000,

Anak dengan Kebutuhan Khusus; Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas telah diratifikasi melalui UU No. 19 tahun 2011, dimana kepentingan anak penyandang disabilitas tercantum dalam Konvensi tersebut.

Anak berhadapan dengan Hukum (ABH); Konvensi Hak Anak telah mengatur tentang Anak yang berkonflik dengan hukum dan telah dituangkan lebih lanjut permasalahan ABH dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

UU ini mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak sebagai

pertimbangan utama selama proses hukum berlangsung, upaya

rehabilitasi dan peradilan restorative menjadi pilihan pertama dan

menjamin hak anak untuk mendapat pendidikan, kesehatan dan

(31)

kemampuan untuk hidup (life skill) selama berada dalam LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) .

Sebagai perwujudan komitmen pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002 yang kini telah diubah 2 (dua) kali, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan PERPPU Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Secara keseluruhan, materi pokok dalam undang-undang tersebut memuat ketentuan dan prinsip-prinsip Konvensi Hak-hak Anak.

Bahkan sebelum Konvensi Hak-hak Anak disahkan, Pemerintah telah mengesahkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam PERPPU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah diperluas pengertian anak, yaitu bukan hanya seseorang yang berusia dibawah 18 tahun, seperti yang tersebut dalam Konvensi Hak-hak Anak, tapi termasuk juga anak yang masih dalam kandungan. Begitu juga tentang hak anak, dalam PERPPU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut terdapat 31 hak anak.

Setelah meratifikasi Konvensi hak-hak Anak, negara mempunyai konsekuensi :

1. Mensosialisasikan Konvensi Hak-hak Anak kepada anak.

2. Membuat aturan hukum nasional mengenai hak-hak anak.

3. Membuat laporan periodik mengenai implementasi Konvensi Hak- hak Anak setiap 5 tahun.

Lahirnya PERPPU Nomor 1 tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak ini adanya pasal yang memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.

PERPPU ini mengubah dua pasal dari UU sebelumnya yakni pasal 81 dan 82, serta menambah satu pasal 81A.

Berikut ini isi dari PERPPU Nomor 1 Tahun 2016:

1. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 81

(32)

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(catatan: Pasal 76D dalam UU 23 Tahun 2002 berbunyi "Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.")

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.

(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip.

(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama- sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.

3. Di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal

81A yang berbunyi sebagai berikut:

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Abu Daud semakna dengan hadis Ahmad Ibn Hanbal. Namun satu hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Abu Daud menjelaskan

Data penelitian berupa penggalan kalimat dan dialog yang mengandung konsep bushido pada tokoh Momotaro, Kintaro, dan Urashimataro dalam cerita rakyat Jepang

Dalam penelitian ini metode analisa yang digunakan adalah Taguchi dengan pendekatan ratio signal to noise (RSN) smaller the better untuk mengetahui pengaruh faktor serta menentukan

Hasil analisis terhadap uji aktivitas antibakteri memberikan hasil bahwa secara keseluruhan nano komposit kitosan silika titania memiliki aktivitas antibakteri yang

Analisis Hubungan antara Laba Akuntansi, Laba Tunai dan Arus Kas Pendanaan dengan Dividen Kas pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun

Tujuan khusus dalam penelitian ini untuk mengetahui secara objektif tentang : Mendeskripsikan peningkatan kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran Bangun

Selan itu, dalam ayat (4) “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal” juga tidak diikuti penjelasan, sehingga dapat

Konstipasi, (sembelit) yaitu penyakit susah buang air besar. Penyakit ini disebabkan oleh kebiasaan menunda buang air besar dan kurang mengonsumsi makanan berserat.