• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

67

Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/gakkum

Analisis Yuridis terhadap Korban Penyebaran Berita Bohong (Hoax) di Media Sosial

Juridical Analysis of Victims of News Spreading Hoax in Social Media

Ridho Mubarak & Wessy Trisna*

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Medan Area, Indonesia Diterima: September 2020; Disetujui: Juni 2021; Dipublish: Juni 2021

*Coresponding Email: wessy@staff.uma.ac.id Abstrak

Perkembangan teknologi, masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi apa pun dari berbagai aplikasi media sosial diantaranya Instagram, LINE, dan Whatsapp akan tetapi semakin mudah pula pihak- pihak yang tidak bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi yang tidak benar secara sadar. Media sosial berbeda dengan media massa yang digunakan untuk menyebarkan informasi dan berita, hal ini disebabkan karena media sosial tidak terorganisasi atau terlembaga. Sehingga jika ada berita yang disiarkan ternyata adalah berita bohong (hoax) maka media massa dapat dituntut atau dimintakan pertanggungjawaban karena telah menyiarkan berita bohong (hoax). Penelitian ini meripakan penelitian hukum normatif empiris yang bersifat deskriptif analitis artinya penelitian ini tidak hanya menggambarkan dengan menganalisis suatu keadaan atau gejala, baik pada tataran hukum positif tetapi juga ingin memberikan pengaturan yang seharusnya (das sollen) dan memecahkan permasalahan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana hoax. Data yang dikumpulkan dengan menggunakan tinjauan pustaka dan analisis dokumen bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap pengatura hukum yang mengatur tentang korban tidak langsung tersebut. Adapun hasil dari penelitian diharapkan perlu adanya upaya yang dilakukan pihak kepolisian untuk melindungi masyarakat yang dirugikan akan berita bohong (hoax) tersebut.

Kata Kunci: Korban; Berita Bohong; Media Sosial;

Abstract

Technological developments make it easier for people to get any information from various social media applications including Instagram, LINE, and Whatsapp, but it is easier for irresponsible parties to consciously spread false information. Social media is different from the mass media which is used to disseminate information and news, this is because social media is not organized or institutionalized. So that if any news broadcast turns out to be fake news (hoax), the mass media can be sued or held accountable for broadcasting hoaxes. This research is a normative empirical legal research which is descriptive analytical in nature, meaning that this research does not only describe by analyzing a situation or symptom, both at a positive legal level but also wants to provide proper regulation (das sollen) and solve legal problems related to hoax crime. The data collected using literature review and document analysis aims to provide an overview of the legal regulations governing these indirect victims. As for the results of the research, it is hoped that efforts should be made by the police to protect the people who are disadvantaged by this hoax.

Keywords: Victims; Fake News; Social Media;

How to Cite: Mubarak, R. & Trisna, W. (2021). Analisis Yuridis Terhadap Korban Penyebaran Berita Bohong (Hoax) Di Media Sosial, Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 8 (1) 2021 : 67-73

(2)

68 PENDAHULUAN

Perkembangan Internet memunculkan peluang baru untuk membangun dan memperbaiki pendidikan, bisnis, layanan pemerintah dan demokrasi. Namun permasalahan baru muncul setelah terjadi interaksi yang universal antara pemakainya, harus difahami bahwa pengguna Internet yang berasal dari berbagai negara yang berbeda yang pasti memiliki nilai budaya, bahasa, adat istiadat yang berbeda – beda pula, disamping itu pengguna Internet merupakan orang –orang yang hidup dalam dunia maya sehingga tidak memiliki keharusan untuk menunjukan identitas asli dalam berinteraksi. (Rio Hendra, Bima Guntara, Dadang, Ferry Agus Sianipar, Syaifullah, 2020)

Media sosial merupakan suatu wadah bagi para penggunanya untuk saling berinteraksi antara satu dengan lainnya. Dalam perkembangan kemajuan teknologi informasi memudahkan masyakat Indonesia untuk saling berkomunikasi dengan sesamanya baik yang berada didalam negeri maupun diluar negeri dengan menggunakan komputer dan handphone. Sehingga terhadap informasi yang disampaikan dapat dengan mudah dan cepat melalui media sosial seperti Facebook, twitter dan lainnya. Menurut Lometti, Reeves, dan Bybee penggunaan media oleh individu dapat dilihat dari tiga hal, yaitu: (Rahmani, 2016) a. Jumlah waktu, hal ini berkaitan dengan

frekuensi, intensitas, dan durasi yang digunakan dalam mengakses situs;

b. Isi media, yaitu memilih media dan cara yang tepat agar pesan yang ingin disampaikan dapat dikomunikasikan dengan baik;

c. Hubungan media dengan individu dalam penelitian ini adalah keterkaitan pengguna dengan media sosial.

Proses komunikasi yang sekarang ini telah tergeser dari media konvensional sekarang dengan perkembangan zaman digantikan oleh media cetak dan elektronik.

(Hanik Chumairoh: 2020). Penyebaran informasi atau berita melalui media online tidak hanya dilakukan oleh situs berita yang sudah dikenal oleh masyarakat, namun oleh siapa saja pengguna internet dapat berperan dalam penyebaran suatu informasi (Juditha, 2018)

Penggunaan media sosial sangat mudah dan cepat, sehingga dalam menyampaikan sebuah informasi baik itu benar atau tidak sebuah berita/informasi tersebut yang sukar di pastikan, jika informasi tidaklah benar maka tentunya ada konsekuensi hukumnya.

Kejahatan tersebut disebut juga dengan Cyber Crime, yaitu aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan.

Penyebaran berita palsu atau yang disebut dengan hoax ini sangat meresahkan masyarakat di Indonesia, karena banyak pihak yang merasa dirugikan atas peristiwa tersebut.

Seiring dengan perkembangan teknologi, masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi apa pun dari berbagai aplikasi media sosial diantaranya Instagram, LINE, Facebook dan Whatsapp tetapi semakin mudah pula pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam menyebarkan berita hoax.

Pemerintah telah menetapkan hukum positif yamg mengatur mengenai tindak pidana penyebaran informasi hoax di Indonesia diantaranya terdapat dalam pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta Undang- Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UndangUndang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur di dalam Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 (A) yang berbunyi: (Chumairoh, 2020)

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Dengan adanya Undang-Undang 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik, menjadi sebuah perlindungan hukum bagi orang ataupun badan hukum serta pemerintah yang terkena penyebaran berita ataupun pendistribusian berita/informasi bohong.

Informasi bohong ataupun sering kita dengar dengan istilah Hoax adalah usaha

untuk menipu atau mengakali

(3)

69 pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti perlu melakukan penelitian terhadap upaya perlindungan hukum terhadap korban pemberitaan bohong (hoax) melalui media sosial serta proses hukum terhadap pelaku penyebaran berita bohong (hoax) melalui media sosial.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif empiris yaitu penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat dan analisis kualitatif yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis artinya penelitian ini tidak hanya menggambarkan dengan menganalisis suatu keadaan atau gejala, baik pada tataran hukum positif tetapi juga ingin memberikan pengaturan yang seharusnya (das sollen) dan memecahkan permasalahan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana hoax. Data yang dikumpulkan dengan menggunakan tinjauan pustaka dan analisis dokumen bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap pengatura hukum yang mengatur tentang korban tidak langsung tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pemberitaan Bohong (Hoax) Melalui Media Sosial

Penyebaran berita bohong ini sejatinya merugikan masyarakat dan melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Rumusan Pasal 28 ayat 1 dan 2 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menjelaskan bahwa melarang setiap orang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

(Dwinanda, 2019)

Berbagai kasus penyebaran berita palsu dan bohong (fake news and hoax) di Indonesia telah menjadi permasalahan yang sangat serius. Bukan hanya berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan, namun pada perlindungan hukum terhadap masyarakat dan penegakan hukum. (Pranesti & Arifin: 2019)

Penyebaran berita bohong (hoax) di media sosial akan berdampak pada timbulnya korban. Dalam sistem peradilan pidana, aturan hukum sering kali memfokuskan diri untuk menghukum pelaku kejahatan sehingga sering kali korban dari kejahatan tersebut terabaikan. Dimensi korban dalam kasus penyebaran berita hoax dapat dilihat dari berbagai aspek dan aturan perundang- undangan.

Korban menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Maka berdasarkan rumusan tersebut, korban adalah (Waluyo: 2018):

1) Setiap orang,

2) Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

3) Kerugian ekonomi, 4) Akibat tindak pidana

Hukum pada prinsipnya merupakan pengaturan terhadap sikap tindak (perilaku) seseorang dan masyarakat yang terhadap pelanggarnya diberikan sanksi oleh negara.

Meskipun dunia cyber adalah dunia virtual, hukum tetap diperlukan untuk mengatur sikap tindak masyarakat, setidaknya ada dua hal yakni: Pertama, masyarakat yang ada didunia maya adalah masyarakat yang ada di dunia nyata, masyarakat memiliki nilai dan kepentingan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama harus dilindungi.

Kedua, walaupun terjadi di dunia maya, transaksi yang dilakukan oleh masyarakat memiliki pengaruh dalam dunia nyata, baik secara ekonomis maupun nonekonomis.

(Sitompul, 2012)

Dalam perlindungan hukum terhadap korban cybercrime secara mendasar ada dua model yaitu model hak-hak prosedural dan model pelayanan: (Muladi dan Arif, 1992) 1) Model Hak-hak Prosedural (The Procedural

Rights Model)

(4)

70 Pada model hak prosedural, korban kejahatan cybercrime diberikan hak untuk melakukan tuntutan pidana atau membantu jaksa, atau hak untuk dihadirkan pada setiap tingkatan peradilan diamana keterangannya dibutuhkan, secara implisit dalam model ini korban diberikan kesempatan untuk

“membalas” pelaku kejahatan yang telah merugikannya. Dalam model prosedural itu korban juga diminta lebih aktif membantu aparat penegak hukum dalam menangani kasusnya apalagi berkaitan dengan kejahatan yang modern cybercrime. Dengan adanya hak prosedural juga dapat menimbulkan kembali kepercayaan korban setelah dirinya dirugikan oleh mereka yang tidak bertanggungjawab (terdakwa), disamping itu hal ini juga dapat menjadi pertimbangan bagi jaksa dalam hal apabila jaksa membuat tuntutan yang terlalu ringan.

2) Model Pelayanan (The Service Model) Model pelayanan ini bertitik berat terletak pada perlunya diciptakan standar- standar baku bagi pembinaan korban kejahatan cybercrime. Model ini melihat korban sebagai sosok yang harus dilayani oleh Polisi dan aparat penegak hukum yang lain, pelayanan terhadap korban cybercrime oleh aparat penegak hukum apabila dilakuakan dengan baik akan membawa dampak positif bagi penegakan hukum ksususnya cybercrime, dengan demikian korban perkembangan teknologi ini akan lebih percaya institusi penegak hukum dengan adanya pelayanan terhadap korban, dengan demikian maka korban akan merasa haknya dilindungi dan dijamin kembali kepentingannya. Pada proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan pembuktian kejahatan dunia maya, banyak kasus yang terjadi akibat perkembangan teknologi informasi hal ini mengharuskan aparat penegak hukum menyiapkan sumber daya manusia yang handal dan mengerti dab paham dengan teknologi., mengingat kejahatan cybercrime merupakan kejahatan modern yang harus mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, karena kejahatan di dunia maya akan berimbas pada dunia yata. Dengan adanya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 diharapkan dapat membantu aparat penegak

hukum dalam melindungi masyarakat yang menggunakan teknologi.

Dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban cybercrime aparat penegak hukum khususnya pihak kepolisian telah melakukan berbagai cara dalam mengatasi maraknya kejahatan yang terjadi di dunia maya salah satunya sosialisasi kepada masyarakat pengguna teknologi dan bagi masyarakat yang pernah menjadi korban cybercrime dapat melaporkan penipuan yang dialami dengan mengirim laporan ke alamat surel yakni cybercrime@polri.go.id.

Pentingnya perlindungan hukum bagi korban kejahatan cyber, selain dalam kerangka mewujudkan negara hukum, hal ini penting dilakukan sebagai suatu tindakan preventif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam mengurangi ataupun mencegah terjadinya korban kejahatan dunia maya dan tentunya bukan hanya sebagai penampung laporan akan tetapi yang diharapkan adalah adanya tindakan nyata dari aparat penegak hukum sehingga masyarakat pengguna teknologi benar-benar merasa aman dalam melakaukan aktifitasnya di dunia maya.

(Wahyudi, 2013)

Proses Hukum Terhadap Pelaku Penyebaran Berita Bohong (Hoax) Melalui Media Sosial

Hukum adalah keseluruhan peraturan mengenai tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi. Pelaksanaan hukum tersebut juga dapat berlangsung secara formal dan damai tetapi juga dapat terjadi karena pelang garan hukum harus ditegakkan.

(Hamzah, 1996)

Penyebaran berita bohong (hoak) merupakan suatu kejahatan yang konvensional.

Kejahatan konvensinal adalah suatu kejahatan terhadap jiwa, harta benda, dan kehormatan yang menimbulkan kerugian baik fisik maupun psikis yang baik dilakukan dengan cara-cara biasa maupun dimen si baru, yang terjadi di dalam negeri. Kejahatan konvensional merupakan ke jahatan dengan isu paling men dasar dan sering terjadi di mas yarakat, memiliki lingkup lokal dan meresahkan masyarakat (Trisna, 2019).

(5)

71 Penyebaran berita bohong dan penyesatan merupakan padanan kata yang semakna dengan penipuan. Penipuan dapat dilakukan dengan motivasi, yaitu untuk menguntungkan dirinya sendiri atau paling tidak untuk merugikan orang lain atau bahkan dilakukan untuk menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan orang lain secara sekaligus. Dengan motivasi-motivasi tersebut, maka penyebaran berita bohong dan penyesatan dapat dikategorikan sebagai penipuan.

Secara umum penipuan itu telah diatur sebagai tindak pidana oleh pasal 378 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan dirinya diri sendiri atau oranglain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatau kepadanya, atau supaya memberikan hutang menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun” Dengan demikian penipuan dalam pasal tersebut pekerjaannya adalah membujuknya itu dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu atau akal cerdik (tipu muslihat) atau karangan perkataan bohong (Harianto, 2017).

Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 11 Tahun 2008, menyatakan:

“Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”.

Perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan

“berita bohong dan menyesatkan”. Terkait dengan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menggunakan frasa “menyebarkan berita bohong”, sebenarnya terdapat ketentuan serupa dalam Pasal 390 KUHPidana, walaupun dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya frasa “menyiarkan kabar bohong”. Pasal 390 KUHP berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain

dengan melawan hak menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan”.

Menurut R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 269), terdakwa hanya dapat dihukum dengan Pasal 390 KUHP, apabila ternyata bahwa kabar yang disiarkan itu adalah kabar bohong. Yang dipandang sebagai kabar bohong, tidak saja memberitahukan suatu kabar yang kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian. Menurut hemat kami, penjelasan ini berlaku juga bagi Pasal 28 ayat (1) UU ITE.

Suatu berita yang menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian adalah termasuk juga berita bohong. Kata “bohong” dan

“menyesatkan” adalah dua hal yang berbeda.

Dalam frasa “menyebarkan berita bohong”

yang diatur adalah perbuatannya, sedangkan dalam kata “menyesatkan” yang diatur adalah akibat dari perbuatan ini yang membuat orang berpandangan salah/keliru. Selain itu, untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE maka semua unsur dari pasal tersebut haruslah terpenuhi.

Unsur-unsur tersebut yaitu:

a. Setiap orang.

b. dengan sengaja dan tanpa hak. Terkait unsur ini, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M. dalam artikel Danrivanto Budhijanto, UU ITE produk hukum monumental menyatakan antara lain bahwa perlu dicermati (unsur, ed)

’perbuatan dengan sengaja’ itu, apakah memang terkandung niat jahat dalam perbuatan itu. Periksa juga apakah perbuatan itu dilakukan tanpa hak?

Menurutnya, kalau pers yang melakukannya tentu mereka punya hak.

Namun, bila ada sengketa dengan pers, UU Pers (UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, ed) yang jadi acuannya.

c. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan. Karena rumusan unsur menggunakan kata “dan”, artinya kedua unsurnya harus terpenuhi untuk pemidanaan, yaitu menyebarkan berita

(6)

72 bohong (tidak sesuai dengan hal/keadaan yang sebenarnya) dan menyesatkan (menyebabkan seseorang berpandangan pemikiran salah/keliru. Apabila berita bohong tersebut tidak menyebabkan seseorang berpandangan salah, maka menurut hemat kami tidak dapat dilakukan pemidanaan.

d. Yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Unsur yang terakhir ini mensyaratkan berita bohong dan menyesatkan tersebut harus mengakibatkan suatu kerugian konsumen.

Artinya, tidak dapat dilakukan pemidanaan, apabila tidak terjadi kerugian konsumen di dalam transaksi elektronik.

Orang yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu:

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar”.

Contoh Kasus:

Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No:

36/Pid.Sus/2018/PT.DKI, putusan tersebut menguatkan Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Barat Nomor

1116/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Brt, dalam putusan tingkat pertama tersebut terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan penipuan dengan sarana Transaksi Elektronik dan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Penipuan tersebut dilakukan dengan cara tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan mengenai investasi yang mengakibatkan kerugian konsumen. Perbuatan terdakwa tersebut, diancam pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan dijatuhkan pula pidana denda sebesar Rp 500 ribu dengan ketentuan apabila denda tidak

dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan kurungan.

(https://www.hukumonline.com/klinik/

detail/ulasan/lt4eef8233871f5/arti-berita- bohong-dan-menyesatkan-dalam-uu-ite,)

Penerapan aturan hukum juga tidak hanya bersandar pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE, namun juga dapat menerapkan rumusan Pasal 390 KUHP mengenai rumusan kabar bohong, sehingga memperkuat peran kepolisian dalam penanggulangan penyebaran berita bohong (hoax) (Adam dan Ferdian, 2015).

Memperhatikan hukum pidana yang ada untuk menangani hoax di Indonesia dan isu tersebut terus memprihatinkan, maka penegakan hukum juga dilakukan untuk mendorong tindakan dan pendekatan preemptive dalam menangani hoax. (Sukinta, 2020).

SIMPULAN

Perlindungan hukum terhadap korban cybercrime secara mendasar ada dua model yaitu model hak-hak prosedural dan model pelayanan: (1) Model Hak-hak Prosedural (The Procedural Rights Model), yaitu korban kejahatan cybercrime diberikan hak untuk melakukan tuntutan pidana atau membantu jaksa, atau hak untuk dihadirkan pada setiap tingkatan peradilan diamana keterangannya dibutuhkan, secara implisit dalam model ini korban diberikan kesempatan untuk

“membalas” pelaku kejahatan yang telah merugikannya. (2) Model Pelayanan (The Service Model), Model ini melihat korban sebagai sosok yang harus dilayani oleh Polisi dan aparat penegak hukum yang lain, pelayanan terhadap korban cybercrime oleh aparat penegak hukum apabila dilakuakan dengan baik akan membawa dampak positif bagi penegakan hukum ksususnya cybercrime, dengan demikian korban perkembangan teknologi ini akan lebih percaya institusi penegak hukum dengan adanya pelayanan terhadap korban, dengan demikian maka korban akan merasa haknya dilindungi dan dijamin kembali kepentingannya. Proses Hukum Terhadap Pelaku Penyebaran Berita Bohong (hoax) Melalui Media Sosial yaitu seseorang akan dikenakan sanksi pidana apabila terbukti melakukan berita bohong

(7)

73 (hoax), sebagaimana menurut cara yang diatur oleh UU ITE.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Chazawi dan Ferdian, Ardi, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik. Media Nusa Creative. Malang, 2015

Chumairoh, Hanik, Ancaman Berita Bohong di Tengah Pandemi Covid-19, VOX POPULI Volume 3, Nomor 1, Juni 2020, hal.26

Dwinanda, Renza Ardhita, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penyebaran Berita Bohong Di Sosial Media, Jurnal Panorama Hukum, Vol. 4 No. 2 Desember 2019 ISSN : 2527-6654, hal. 117 Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia,

Grafika Indah, Jakarta, 1996

Harianto, Gugun, Melawan Hoaks Dimedia Sosial Dan Media Masa, Yogyakarta, Trust Media Publisik, 2017

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulas an/lt4eef8233871f5/arti-berita-bohong- dan-menyesatkan-dalam-uu-ite, diakses pada tanggal 3 Januari 2019.

Juditha, Christiany, Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya, Jurnal Pekommas, Vol. 3 No. 1, April 2018, hal.31 Muladi dan Arif, Barda Nawawi, Bunga Rampai

Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992.

Pranesti, Dewi Ayu, Arifin, Ridwan, Perlindungan Korban Dalam Kasus Penyebaran Berita Hoax Di Media Sosial Di Indonesia, JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI, Vol.3, No.1, Juni 2019, hal.8 Rahmani, Thea, Penggunaan Media Sosial Sebagai

Penguasaan Dasar-Dasar Fotografi Ponsel, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016. hal. 22

Rio Hendra, Bima Guntara, Dadang, Ferry Agus Sianipar, Syaifullah, Sosialisasi Dampak Dan Bahaya Dari Berita Bohong (Hoax) Bagi Generasi Milenial Di Indonesia, JAMAIKA:

Jurnal Abdi Masyarakat Program Studi Teknik Informatika Universitas Pamulang Volume: 1 Nomor: 3, 2020, hal. 21

Sitompul, Josua, Cyberspace, cybercrime, cyberlaw, Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta : Tatanusa, 2012.

Sukinta, Aspek Hukum Delik Penyebaran Berita Bohong Dalam Sistem Informasi Dan Transaksi Elektronik, Administrative Law &

Governance Journal. Volume 3 Issue 4, November 2020, hal.735

Trisna, Firman Rostama, Tindakan Hukum Terhadap Penyebaran Berita Bohong (Hoak) Di Media Sosial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, MAKSIGAMA, Volume 13 Nomor 1, 2019, hal.43

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Wahyudi, Dheny, Jurnal: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Cyber Crime Di

Indonesia, lihat

https://media.neliti.com/media/publication s/43295-ID-perlindungan-hukum-terhadap- korban-kejahatan-cyber-crime-di-

indonesia.pdf

Waluyo, Bambang, Victimologi: Perlindungan Korban & Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2018

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan luas panen yang cukup signifikan terjadi di daerah sentra jagung seperti Kabupaten Pesisir Selatan dan Pasaman Barat.. Penurunan luas panen terjadi karena

Kami juga menyatakan dengan sebenarnya bahwa isi tesis ini tidak merupakan jiplakan dan bukan pula dari karya orang lain, kecuali kutipan dari literatur dan atau hasil

Dengan membagi bidang grafik kita dalam zona yang berbeda, kita dapat mengaktifkan input sensor untuk memicu atau mengaktifkan output: misalnya, motor atau suara dari EV3

Strategi pemasaran melalui peningkatan kualitas produk deposito mud{a<rabah di BPRS Bumi Artha Sampang yang sangat menonjol yaitu nasabah deposan mendapatkan

Dalam daftar istilah Himpunan Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan

Sistem pembayaran biaya sekolah pada SD Ar-Raudah Bandar Lampung masih menggunakan pencatatan kebuku besar kemudian di-inputkan ke program microsoft Excel, sehingga

Boiler merupakan suatu alat dengan prinsip kerja seperti ketel, yang digunakan sebagai tempat pemanasan air (feedwater) menjadi uap kerja (steam). Perubahan dari fase cair