• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 17/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG

PANDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

JAKARTA

2013

(2)
(3)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/DPD RI/I/2013-2014

TENTANG PANDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. bahwa kedudukan Masyarakat Hukum Adat selama ini belum diakui dan dilindungi secara optimal dalam melaksanakan hak-hak pengelolaan yang bersifat komunal, baik hak atas tanah beserta kekayaan yang terkandung di dalamnya, hak atas wilayah, hak atas budaya, dan sumberdaya lainnya yang diperoleh secara turun temurun, maupun yang diperoleh melalui mekanisme lain yang sah menurut hukum adat setempat;

c. bahwa belum optimalnya kedudukan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam huruf b, telah mengakibatkan munculnya konflik di Masyarakat Hukum Adat sehingga menimbulkan ancaman bagi stabilitas keamanan nasional sehingga perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat;

d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah rancangan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;

e. bahwa pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat merupakan ruang lingkup permasalahan hubungan pusat dan daerah;

f. bahwa kewenangan sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas dilakukan dengan terlebih dahulu mempersiapkan Pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap rancangan undang-undang;

g. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f di atas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun Pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat;

h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g perlu menetapkan

(4)

Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat;

Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/

DPD/2007 tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-6 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang I Tahun Sidang 2013-2014 Tanggal 25 Oktober 2013

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PANDANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT.

PERTAMA : Pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pembahasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah.

KEDUA : Isi dan rincian Pandangan sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 25 Okotober 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN,

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LAODE IDA

(5)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/DPD RI/I/2013-2014

TENTANG PANDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

BAB I PENDAHULUAN

1. Rencana untuk membentuk undang-undang khusus tentang masyarakat adat telah diagendakan dalam program legislasi nasional periode 2004-2009 dan 2009-2014. Untuk melaksanakan program legislasi nasional itu, pada tahun 2009 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) telah mengajukan RUU tentang Perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan DPD RI Nomor 37/DPD/2009. Oleh karena itu, RUU inisiatif DPD RI tentang Perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dijadikan sebagai rujukan utama untuk menyusun Pandangan DPD terhadap RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA).

2. Mempertimbangkan amanat Pasal 22D Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang telah dikuatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 92/PUU-X/2012 serta memperhatikan substansi yang terkandung di dalam ini, maka DPD RI memiliki kewenangan dan hak untuk ikut membahas dan memberikan pandangan terhadap RUU inisiatif DPR RI tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Hal ini diperkuat dengan keberadaan Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI 1945, yang merupakan bagian dari BAB Pemerintahan Daerah di dalam UUD NRI 1945, yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam pembentukan RUU PPHMHA.

3. DPD RI telah mempertimbangkan masukan berbagai pihak baik melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang beberapa ahli di bidang masyarakat adat dan hukum adat. Pertimbangan tersebut kemudian menjadi bahan bagi DPD dalam menyusun Pandangan DPD terhadap RUU PPHMHA.

(6)

BAB II

DASAR PEMIKIRAN

RUU PPHMHA harus berdasarkan falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara serta diletakan dalam kerangka pemikiran yang berkesesuaian dengan UUD NRI 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. Berdasarkan landasan filosofis tersebut DPD RI menyampaikan beberapa butir dasar pemikiran.

1. RUU PPHMHA pada hakikatnya bersumber pada Pancasila sebagai falsafah bangsa serta sejalan dengan amanat UUD NRI 1945. Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi falsafah Bhineka Tunggal Ika sebagaimana tertulis pada Lambang Burung Garuda dan Pasal 36A UUD NRI 1945. Ide dibalik ini adalah kesadaran sepenuhnya bahwa Negara Republik Indonesia dibentuk sebagai sebuah ikatan dari rakyat yang terdiri atas berbagai golongan, etnis, agama, adat dan kebiasaan yang secara sadar bersatu mengikatkan diri sebagai suatu bangsa melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dan membentuk negara merdeka berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945 yang bertujuan untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat Indonesia.

2. Rakyat yang terdiri atas berbagai golongan dan etnis dengan berbagai ragam agama, adat, dan kebiasaan masing-masing yang telah ada sejak sebelum terbentuknya NKRI dan merupakan komponen utama pembentukan NKRI. Keberadaan kelompok-kelompok masyarakat, terlebih lagi yang telah terbentuk sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum, tetap diakui dan dihormati eksistensi dan hak-hak tradisionalnya sebagai hak konstitusional dalam berbagai konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, terutama setelah terjadinya perubahan UUD NRI 1945.

3. UUD NRI 1945 telah memberikan landasan bagi pengakuan dan penghormatan keberadaan dan hak masyarakat adat baik dalam Pasal 18B Ayat (2) maupun dalam Pasal 28I Ayat (3) dan Pasal 32 Ayat (1) UUD NRI 1945. Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Pasal 28I Ayat (3) UUD NRI 1945 berbunyi “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Pasal 32 Ayat (1) UUD NRI 1945 berbunyi “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Landasan konstitusional mengenai keberadaan dan hak-hak masyarakat adat itu menghendaki dibentuknya sebuah undang-undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai pengakuan dan penghormatan negara terhadap keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya.

4. Pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan dan hak masyarakat adat adalah bagian integral dari tujuan bernegara sebagaimana digariskan di dalam pembukaan UUD NRI 1945 antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, termasuk bagi masyarakat adat yang telah mengikatkan dirinya sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia.

5. Pengaturan tentang keberadaan dan hak masyarakat adat telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun pengaturan itu masih bersifat parsial dan sektoral sehingga belum mampu memperkuat keberadaan dan hak-hak masyarakat adat secara utuh.

Oleh karena itu diperlukan harmonisasi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dengan menjadikan RUU PPHMHA sebagai undang-undang yang memayungi berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada untuk mengatur keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.

(7)

BAB III

PANDANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT A. PANDANGAN UMUM DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

Setelah melakukan kajian dan pembahasan secara komprehensif terhadap RUU PPHMHA, maka DPD RI menyampaikan pandangan.

1. Dilihat dari judulnya, RUU PPHMHA membatasi lingkup materi muatannya pada pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat. Namun bila mencermati batang tubuh dari RUU itu tampak bahwa yang diatur bukan saja mengenai pengakuan dan perlindungan melainkan lebih luas sampai pada mekanisme penentuan masyarakat adat sebagai subjek hukum, kewajiban masyarakat adat, peran serta masyarakat dan pemberdayaan masyarakat adat.

Oleh karena itu, sejalan dengan dasar pemikiran tersebut butir II.3 DPD RI berpandangan RUU ini lebih baik menggunakan judul yang lebih luas sebagai “RUU tentang Masyarakat Adat”, sehingga segala hal yang berkaitan dengan penguatan keberadaan masyarakat adat bisa dimasukan di dalam RUU tersebut.

2. DPD RI berpandangan bahwa masyarakat adat dapat berbentuk masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI 1945 dan berbentuk masyarakat tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I Ayat (3) dan Pasal 32 Ayat (1) UUD NRI 1945. Masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI 1945 dapat berbentuk kesatuan masyarakat hukum adat yang memberlakukan hukum adat secara ketat maupun berbentuk masyarakat hukum adat yang tidak lagi memberlakukan hukum adat secara ketat. Keberadaan masyarakat hukum adat itu sudah ada sejak lama berbentuk kelompok-kelompok penduduk pribumi yang kemudian mengikatkan dirinya menjadi bagian dari republik Indonesia. Para pendiri republik Indonesia yang menempatkan masyarakat hukum adat, yang pada saat itu disebut sebagai volksgemenschappen atau persekutuan-persekutuan hukum rakyat, seperti nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Batak, gampong di Aceh dan berbagai nama lainnya di daerah masing-masing. Persekutuan itu memiliki hak asal usul yang bersifat istimewa dan diakui keberadaannya oleh Negara Republik Indonesia. Selain itu, masyarakat adat juga dapat berbentuk masyarakat tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I Ayat (3) UUD NRI 1945. Negara menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. DPD RI berpandangan hendaknya RUU menjadikan masyarakat adat yang berbentuk kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat hukum adat maupun masyarakat tradisional sebagai sasaran yang hendak diatur di dalam RUU.

3. DPD RI juga memandang perlu melakukan harmonisasi antara RUU PPHMHA dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada berkaitan dengan keberadaan dan hak- hak masyarakat adat. Saat ini sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat yang berkaitan dengan substansi RUU seperti mengenai subjek hukum masyarakat hukum adat pada bab II RUU yang terkait dengan legal standing masyarakat adat dalam UU No. 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2013. Demikian pula mengenai hak-hak masyarakat hukum adat pada bab III RUU mengenai tanah, wilayah, sumber daya alam, lingkungan, pembangunan dan kebudayaan yang terkait dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

RUU PPHMHA harus bisa mengatasi kesimpangsiuran pengaturan tentang masyarakat adat yang telah ada pada berbagai undang-undang. Sehingga RUU diposisikan sebagai undang- undang yang memayungi (umbrella act) bagi pengaturan mengenai keberadaan dan hak masyarakat adat dalam sistem hukum di Indonesia.

4. Selain menempatkan RUU PPHMHA diantara berbagai undang-undang yang ada, perlu pula melakukan harmonisasi antara RUU PPHMHA dengan beberapa RUU yang sedang dibahas saat ini, terutama dengan RUU Desa dan RUU Pertanahan. Saat ini DPR sedang mempersiapkan RUU Desa yang membagi desa dalam dua kategori yaitu desa dan desa adat. Desa adat tercantum di dalam RUU Desa inisiatif DPR didefinisikan sebagai “Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain yang selanjutnya disebut Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang memiliki batas wilayah adat/ulayat dan susunan pemerintahan asli yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat, dan sosial budaya masyarakat setempat.” Definisi ini sejalan dengan definisi desa adat yang sebelumnya dipersiapkan dalam RUU Desa inisiatif DPD RI yang ditetapkan dengan Keputusan DPD RI No. 44/DPD RI/IV/2010-2011 pada tanggal 15 Juli 2011. Dengan definisi demikian, maka desa adat merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang juga menjadi subjek hukum yang

(8)

akan diatur di dalam RUU PPHMHA. RUU PPHMHA juga perlu diharmonisasikan dengan RUU Pertanahan agar pengaturan mengenai pendaftaran tanah ulayat yang akan diatur di dalam RUU Pertanahan bisa sejalan dengan RUU PPHMHA sehingga bisa memberikan kepastian hukum dan kemudahan dalam memperlakukan tanah ulayat dikemudian hari.

5. RUU mengatur pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat yang bersifat ad hoc untuk melakukan verifikasi terhadap hasil identifikasi masyarakat hukum adat di dalam Bab VII.

Panitia Masyarakat Hukum Adat dibentuk secara berjenjang dari level kabupaten, provinsi dan nasional. DPD RI berpandangan bahwa kelembagaan ad hoc tidak akan mencukupi untuk memenuhi amanah konstitusi untuk melakukan pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat. Oleh karena itu, DPD RI berpandangan dibutuhkan sebuah lembaga yang permanen pada level nasional untuk diberikan tanggungjawab utama dalam memastikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan masyarakat hukum adat dapat dilaksanakan secara lebih mudah dan terintegrasi. Meskipun demikian, lembaga ad hoc untuk melakukan verifikasi keberadaan masyarakat hukum adat masih diperlukan.

6. DPD RI berpandangan bahwa lembaga permanen yang bertanggungjawab untuk memastikan pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat itu bersifat nasional dalam bentuk sebuah Komisi Nasional Masyarakat Hukum Adat. Beberapa negara telah memiliki komisi nasional serupa seperti National Commission on Indigenous Peoples (NCIP) di Filipina.

Sementara itu, DPD RI dalam RUU Perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat pada tahun 2009 mengusulkan dibentuknya Badan Perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Sedangkan alternatif kelembagaan lain dilakukan dengan memberikan kewenangan baru yang bersifat tambahan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) untuk menjadi lembaga permanen yang akan bertanggungjawab untuk melakukan koordinasi, mengembangkan kebijakan dan pelaksanaan program dalam pemajuan hak-hak masyarakat adat, memfasilitasi penyelesaian konflik yang melibatkan masyarakat adat dengan instansi pemerintah dan perusahaan, serta memfasilitasi pelaksanaan restitusi dan pemberian kompensasi kepada masyarakat adat.

7. DPD berpandangan bahwa RUU ini sebaiknya mengatur masyarakat adat yang di dalamnya termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional sebagaimana Pandangan Umum III.2. Oleh karena itu, DPD RI berpandangan Bab IV RUU PPHMHA mengenai Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat tidak saja menjadikan masyarakat hukum adat sebagai sasaran pemberdayaan, melainkan masyarakat adat dalam pengertian yang lebih luas termasuk masyarakat tradisional. Pemberdayaan terhadap masyarakat tradisional dalam mengembangkan kebudayaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I Ayat (3) dan Pasal 32 Ayat (1) UUD NRI 1945 perlu dijabarkan pada bab tersebut.

8. RUU mengatur mengenai penyelesaian sengketa melalui peradilan adat di dalam Bab VIII.

Namun pengakuan terhadap peradilan adat itu belum diikuti dengan pembagian yang jelas mengenai yurisdiksi peradilan adat. DPD berpandangan diperlukan mengatur yurisdiksi peradilan yang akan menjadi penentu hubungan antara peradilan adat dengan peradilan negara. DPD RI berpandangan bahwa untuk perkara-perkara yang berdimensi perdata lebih baik diselesaikan melalui peradilan adat. Bila ada para pihak yang mengajukan perkara perdata di dalam masyarakat adat kepada peradilan negara, maka peradilan negara menyarankan terlebih dahulu agar perkara tersebut diselesaikan melalui peradilan adat sebelum dibawa kepada peradilan negara. Sedangkan untuk perkara-perkara yang berdimensi pidana seperti pembunuhan, pemerkosaan dan kejahatan lainnya yang bukan merupakan delik aduan diselesaikan melalui peradilan negara. Namun aparatur peradilan negara mesti menggali nilai- nilai yang hidup di dalam masyarakat agar perkara yang ditangani bisa berkesesuaian dengan hukum yang berlaku di dalam masyarakat adat.

B. PANDANGAN KHUSUS DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

DPD RI memberikan beberapa pandangan berkaitan dengan hal-hal khusus di dalam RUU PPHMHA agar bisa memberikan masukan yang komprehensif dalam pembasan RUU.

1. Pasal 1 angka 1 RUU PPHMHA mendefinisikan “Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.” Definisi itu tidak menyebutkan secara tegas unit sosial dari masyarakat hukum adat.

DPD RI berpandangan bahwa definisi itu harus merujuk kepada kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI 1945 dan masyarakat tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I Ayat (3) UUD NRI 1945. Dengan demikian masyarakat adat berbeda dengan kerjaaan dan kesultanan karena keberadaan kerajaan dan kesultanan memiliki dasar hukum tersendiri dari Pasal 18B Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.” Ketentuan inilah yang menjadi dasar apabila kesultanan maupun kerajaan hendak mendapat posisi khusus di dalam sistem pemerintahan Indonesia sebagaimana diterapkan kepada DI Yogyakarta.

Ketentuan ini juga menjadi dasar bagi pembentukan otonomi khusus dan daerah khusus

(9)

dalam sistem pemerintahan Indonesia. DPD RI perlu mengingatkan bahwa penentuan tentang unit sosial masyarakat adat atau masyarakat hukum adat merupakan hal pokok yang akan menentukan sasaran dari RUU PPHMHA agar RUU ini tidak keluar dari kerangka yang telah disediakan oleh UUD NRI 1945.

2. Pasal 15 RUU PPHMHA menyebutkan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk memperoleh restitusi dan pemberian kompensasi, namun ketentuan di dalam RUU PPHMHA belum menentukan instansi pemerintah mana yang akan melakukan restitusi dan pemberian kompensasi kepada masyarakat adat. DPD RI berpandangan bahwa lembaga yang melakukan restitusi dan pemberian kompensasi itu adalah sebuah komisi atau badan yang bersifat permanen yang pendanaan kegiatan dan biaya kompensasi yang diberikan dibiayai langsung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pemberian restitusi dan kompensasi merupakan wujud dari pemulihan hak masyarakat adat atas tanah yang telah diambilalih, dikuasai, digunakan atau dirusak tanpa persetujuan dari masyarakat adat di masa lalu.

3. RUU PPHMHA mengatur mengenai tugas dan wewenang pemerintah dalam rangka pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat dalam Pasal 24 dan Pasal 25 RUU PPHMHA.

Namun tidak disebutkan secara lebih jelas instansi pemerintah mana yang dimaksud oleh dua pasal tersebut. Ketidakjelasan itu berpotensi membuat tugas dan wewenang negara menjadi tidak berjalan efektif. Oleh karena itu RUU PPHMHA harus memperjelas instansi pemerintah yang memiliki tugas dan wewenang untuk memajukan hak masyarakat adat. DPD RI berpandangan bahwa instansi pemerintah dimaksud seharusnya berbentuk komisi atau badan yang bersifat permanen untuk mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat, terutama perlindungan terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat. Selain itu, instansi pemerintah yang mengurus persoalan kebudayaan juga diberikan tanggungjawab untuk melindungi budaya-budaya masyarakat adat.

4. Pasal 45 ayat (5) RUU PPHMHA mengatur bahwa putusan peradilan adat dalam menangani perkara internal masyarakat adat bersifat final dan mengikat. Menjadikan putusan peradilan adat bersifat final pada satu sisi memiliki sisi positif agar putusan peradilan adat dipatuhi oleh pihak yang bertikai. Namun menutup saluran hukum bagi warga negara untuk memperoleh keadilan di luar peradilan adat merupakan pelanggaran terhadap ketentuan konstitusi yang memberikan jaminan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD NRI 1945. DPD RI memberikan pandangan bahwa keberadaan Pasal 45 ayat (5) dan juga Pasal 51 RUU PPHMHA yang melarang pengadilan umum untuk menangani perkara yang berkaitan dengan masyarakat adat adalah tidak tepat sehingga sebaiknya dihapuskan karena menutup akses warga negara untuk memperoleh keadilan melalui berbagai saluran hukum yang dipilihnya. Meskipun demikian, DPD RI berpandangan penting menambah satu ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme bahwa putusan suatu perkara yang pernah diadili melalui peradilan adat harus menjadi rujukan oleh peradilan negara apabila perkara itu kemudian dihadapkan kepada peradilan negara.

5. Pengaturan mengenai peradilan adat di dalam RUU PPHMHA merupakan hal penting untuk mendorong tersedianya beragam jalur bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan atas perkara yang dihadapinya di dalam kehidupan bermasyarakat. Namun pengaturan mengenai peradilan adat jangan sampai merusak sistem kekuasaan kehakiman Indonesia berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang telah mengatur bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Peradilan adat semestinya tidak ditempatkan ke dalam struktur peradilan formal di bawah Mahkamah Agung dan oleh karenanya putusan peradilan adat juga tidak perlu diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (4) dan Pasal 47 ayat (3) RUU PPHMHA.

6. DPD RI berpandangan diperlukan penambahan suatu ketentuan di dalam RUU PPHMHA yang menegaskan bahwa para pihak yang menggunakan peradilan adat sebagai lembaga untuk menyelesaikan pertikaian yang dihadapinya harus terlebih dahulu dilakukan dengan persetujuan dari para pihak bahwa mereka memilih menggunakan peradilan adat (shoping forum) dan benar-benar hendak menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat. Meskipun persetujuan merupakan tahapan penting dalam memulai peradilan adat, tidak berarti peradilan adat tidak bisa menangani perbuatan melawan hukum adat yang dilakukan di dalam wilayah masyarakat hukum adat (forum shoping). Namun untuk pelanggaran hukum adat yang dilakukan oleh pihak luar dari suatu masyarakat hukum adat, maka peradilan adat diberlakukan atas dasar persetujuan dari pihak luar itu agar permasalahannya diselesaikan melalui peradilan adat. Putusan dari peradilan adat tidak boleh bertentangan dengan prinsip- prinsip hak asasi manusia agar peradilan adat bisa dilaksanakan dengan menjaga martabat pihak yang berperkara melalui peradilan adat.

7. DPD RI berpandangan dibutuhkan suatu ketentuan peralihan yang menetapkan bahwa semua masyarakat hukum adat yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah atau Peraturan/

Keputusan Kepala Daerah harus didaftarkan pada rentang waktu tertentu kepada Komisi Nasional Masyarakat Hukum Adat sehingga masyarakat hukum adat tersebut bisa diperlakukan sebagai subjek hukum yang tidak perlu mengikuti prosedur baru yang diperkenalkan dalam

(10)

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan

1. DPD RI menghargai dan mengapresiasi inisiatif DPR RI untuk menyusun RUU PPHMHA karena keberadaan RUU ini merupakan delegasi pengaturan yang dikehendaki oleh UUD NRI 1945. RUU PPHMHA merupakan agenda penting yang harus dijadikan sebagai prioritas dalam program legislasi nasional untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat adat yang selama ini banyak mengalami diskriminasi dan konflik-konflik berkaitan dengan hak mereka atas wilayah, tanah dan sumber daya alam lainnya.

2. RUU PPHMHA masih membatasi diri untuk mengatur keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. DPD RI berpandangan bahwa semestinya yang diatur di dalam RUU bukan saja mengenai masyarakat hukum adat melainkan juga masyarakat adat secara keseluruhan yang di dalamnya termasuk keberadaan dan hak-hak masyarakat tradisional.

3. RUU PPHMHA perlu diharmonisasikan dengan berbagai undang-undang yang telah ada mengenai keberadaan dan hak masyarakat adat serta perlu pula diharmonisasi dengan berbagai RUU yang saat ini sedang dibahas oleh DPR seperti RUU Desa dan RUU Pertanahan.

Harmonisasi tersebut perlu dilakukan agar keberadaan RUU PPHMHA dikemudian hari tidak menimbulkan kesimpangsiuran hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi masyarakat adat. Proses harmonisasi itu dilakukan untuk menjadikan RUU PPHMHA bisa diposisikan sebagai undang-undang yang memayungi (umbrella act) bagi semua peraturan perundang-undangan mengenai masyarakat adat.

4. RUU PPHMHA memposisikan keberadaan peradilan adat sebagai institusi yang dapat dileburkan ke dalam sistem peradilan formal di bawah Mahkamah Agung. Sehingga terdapat hubungan hierarkis antara peradilan adat dengan Mahkamah Agung sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. DPD RI berpandangan bahwa sebaiknya peradilan adat tidak diletakan secara formal di bawah Mahkamah Agung, melainkan diposisikan sebagai sebuah mekanisme lokal yang mandiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di dalam masyarakat adat berdasarkan kesepakatan yang terdapat di dalam masyarakat adat.

Meskipun demikian, peradilan negara perlu merujuk kepada putusan-putusan peradilan adat bila dihadapkan pada perkara-perkara yang menyangkut masyarakat adat dan hukum adat.

Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa pengadilan harus menggali hukum dan kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat.

5. DPD RI berpandangan bahwa pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat di dalam RUU PPHMHA tidak memadai untuk melaksanakan secara utuh pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan dan hak masyarakat adat sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI 1945. Oleh karena itu, DPD RI berpandangan perlu dibentuk suatu Komisi Nasional Masyarakat Hukum Adat untuk mengurus masyarakat hukum adat serta memberikan kewenangan pemberdayaan budaya-budaya masyarakat adat kepada kementerian yang mengurusi bidang kebudayaan.

B. Rekomendasi

1. DPD RI merekomendasikan RUU PPHMHA diubah menjadi RUU tentang Masyarakat Adat.

Sehingga sasaran dari RUU bukan saja masyarakat hukum adat, tetapi juga masyarakat adat secara keseluruhan. Selain itu RUU tidak saja berfokus pada pengakuan dan perlindungan, melainkan juga kepada berbagai hal yang berkaitan dengan masyarakat adat seperti pemberdayaan masyarakat adat, keberadaan peradilan adat dan hal-hal relevan lainnya.

2. DPD RI merekomendasikan perlu dilakukan harmonisasi antara RUU PPHMHA dengan berbagai undang-undang yang telah ada mengenai keberadaan dan hak-hak masyarakat adat serta dengan berbagai RUU yang berkaitan dengan masyarakat adat seperti RUU Desa dan RUU Pertanahan. Hasil dari harmonisasi itu menjadikan RUU PPHMHA sebagai undang-undang yang memayungi (umbrella act) bagi semua peraturan perundang-undangan mengenai keberadaan dan hak masyarakat adat di Indonesia.

3. DPD RI merekomendasikan agar keberadaan peradilan adat tidak diposisikan sebagai bagian dari peradilan formal yang berada dalam struktur kekuasaan kehakiman yang berada di bawah Mahkamah Agung. Namun perlu mengatur hubungan antara peradilan adat dengan peradilan negara agar masyarakat adat bisa menikmati haknya untuk menjalankan hukum dan peradilan adat, namun disisi lain tidak menghambat saluran hukum bagi warga negara untuk memperoleh keadilan melalui berbagai mekanisme yang disediakan oleh negara. Peradilan adat perlu diatur dalam skema tersendiri yang sesuai dengan hakikat keberadaan masyarakat adat.

(11)

4. RUU PPHMHA harus memiliki semangat untuk mengakomodasi keberagaman struktur masyarakat dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat adat. Penyeragaman masyarakat adat bukanlah merupakan cara terbaik untuk melaksanakan amanat konstitusi dalam rangka mengakui dan menghormati keberadaan dan hak masyarakat adat. Oleh karena itu, DPD RI berpandangan bahwa RUU PPHMHA perlu menyediakan fleksibilitas kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan undang-undang ini dikemudian hari agar dapat disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik di daerah masing-masing.

5. Kesederhanaan pengaturan merupakan kunci dalam pelaksanaan undang-undang ini dikemudian hari sebab masyarakat adat bukanlah kelompok masyarakat yang bisa memahami dengan mudah sistem hukum negara. Oleh karena itu RUU PPHMHA harus benar-benar cermat agar tidak menciptakan ketentuan yang memperumit dan mempersempit akses masyarakat adat dalam menikmati hak-hak yang dijamin oleh UUD NRI 1945.

(12)

BAB V PENUTUP

Demikianlah Pandangan DPD RI terhadap RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat inisiatif DPR RI sebagai wujud pelaksanaan amanat UUD NRI 1945.

Pandangan ini sekaligus wujud komitmen DPD RI untuk ikut aktif menyediakan legislasi dalam rangka memenuhi kewajiban negara untuk mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 25 Oktober 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN,

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LAODE IDA

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh model pembelajaran Conceptual Understanding Procedures (CUPs) terhadap kemampuan pemecahan masalah

NO PROGRAM AKUN URAIAN PAGU

Pada pembelajaran seni budaya berbasis pendidikan multikultural terdapat tiga aspek yang nantinya akan dapat mensukseskan pendidikan multikultural, ketiga aspek

Pada hasil uji perbandingan dengan uji Mann Whitney U didapat nilai sebesar 0,000 dengan nilai signifikan sebesar 0,000 dan nilai Z adalah -6,655 yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil masyarakat commuter, hubungan sosial, dan aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat commuter di Dusun Sungai

a) Mengetahui seperti apakah profil pasien geriatri yang mengalami penurunan laju filtrasi glomerolus berdasarkan formula MDRD di Rumah.. Sakit Kabupaten Bantul periode

Diharapkan kepada guru matematika untuk dapat menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe TAI dengan pendekatan Reciprocal Teaching ini sebagai salah satu

Leuwih écésna Modul Diklat Guru Pembelajar Basa Sunda Kelompok Kompeténsi Gngawengku 10matéri poko, nu ngawengku 4 (opat) matéri poko kompeténsi pédagogik, jeung 6