1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pergerakan ekonomi dunia dan naik turunnya harga minyak mempunyai dampak yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Dalam periode 2005 sampai 2009, salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja ekonomi Indonesia adalah kenaikan harga minyak. Kenaikan harga minyak ini mempengaruhi banyak hal, termasuk tekanan pada defisit anggaran, alokasi anggaran, inflasi, kestabilan ekonomi makro, dan juga dampaknya terhadap kemiskinan (Abimanyu dkk, 2009: 362).
Nilai subsidi pada tahun 2012 mencapai Rp 346,4 triliun atau 34,33 persen dari belanja pemerintah pusat. Tidak kurang dari 61,17 persen dari total subsidi dialokasikan untuk BBM (Rp 211,9 triliun) dan 27,30 persen untuk listrik (Rp 94,6 triliun). Subsidi pangan, pupuk, benih, kredit program, dan lain-lain hanya Rp 39,9 triliun atau 11,53 persen dari total subsidi. Subsidi idealnya disalurkan langsung dan hanya diberikan kepada kelompok sasaran.
Salah satu kelompok sasaran tentu saja masyarakat berpenghasilan rendah atau
miskin. Tingkat kemiskinan per September 2012 mencapai 11,66 persen atau
sekitar 28,6 juta orang dengan tingkat garis kemiskinan Rp
280.000/orang/bulan (BPS). Dengan total subsidi Rp 346,4 triliun dan subsidi
2 disalurkan tepat sasaran, idealnya tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan itu
1.
Subsidi adalah pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran (output).
(Spencer dan Amos, 1993: 464). Menurut Suparmoko (2003: 34), subsidi (transfer) adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi oleh pemerintah dengan harga jual yang rendah. Subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy).
Teori Keynesian menunjukkan manajemen kebijakan makro ekonomi di mana subsidi dapat meningkatkan pengeluaran atau permintaan agregat.
Pengurangan atau peningkatan subsidi dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi meskipun hal ini tergantung terhadap cara pandang dari keseimbangan anggaran (Amegashie, 2006: 7). Menurut Stren dan Cleveland (2004), energi (bahan bakar minyak) diperlukan dalam produksi dan pertumbuhan ekonomi, maka produk ini harganya perlu dikendalikan oleh negara atau pemerintah
1 Rimawan Pradiptyo, Hitung-Hitungan Subsidi BBM, Kompas cetak, 18 Juni 2013.
3 diantaranya dengan model subsidi. Meskipun demikian, subsidi perlu kajian lebih lanjut untuk menentukan model dan besarannya, serta kondisi-kondisi yang berkembang.
Kuncoro (2013) mengatakan bahwa meningkatnya harga minyak dunia merupakan faktor eksternal yang perpengaruh terhadap subsidi BBM. Masalah yang muncul akibat naiknya harga minyak dunia terhadap APBN adalah membengkaknya subsidi energi, membesarkan defisit Anggaran, melambatnya pertumbuhan ekonomi yang berdampak terhadap kemiskinan dan pengangguran. Lebih lanjut, Pradiptyo & Sahadewo (2012a) menyampaikan beban (APBN) yang semakin besar ini akan menyebabkan tekanan secara terus-menerus pada aspek fiskal yang pada akhirnya akan menghambat prospek pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan harga BBM dipengaruhi oleh besarnya konsumsi yang selalu mengalami peningkatan dari tahun-ketahun. Misal konsumsi BBM di Negara Malaysia meningkat tajam sejak bulan Juni tahun 2005. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2007 dan 2008 telah secara substansial meningkatkan anggaran subsidi pemerintah (subsidi BBM) telah membuat beban anggaran di negara ini bertambah. Anggaran memberikan kontribusi defisit yang mencapai 4 persen dari PDB pada tahun 2008 dan meningkat 4,7 persen pada tahun 2009 sehingga hal ini mendorong pemerintah Malaysia untuk meninjau kembali kebijakan subsidi yang diberlakukan (Yusman & Nurul, 2013).
Kondisi yang hampir sama juga terjadi di India, dimana kenaikan
anggaran subsidi BBM telah memberikan kontribusi terhadap tekanan fiskal di
4 Negara India. Reformasi kebijakan mengenai subsidi menimbulkan dampak negatif terhadap kesejahteraan rumah tangga khususnya rumah tangga miskin.
Meskipun reformasi (perubahan) menghasilkan penghematan fiskal yang cukup besar namun akibat yang ditimbulkan dari penghematan tersebut akan menurunkan pendapatan riil rumah tangga dari semua kelompok masyarakat yang berpendapatan. Pemerintah India berencana berkomitmen untuk mengendalikan subsidi BBM dan mengeluarkan langkah-langkah baru untuk menurunkan subsidi demi menyelamatkan ruang fiskal dengan cara:
menggunakan harga BBM sesuai dengan harga minyak dunia, penghapusan subsidi diesel dalam jangka pendek, penghapusan minyak tanah dan subsidi LPG, dan pemberian subsidi dalam bentuk tunai yang ditargetkan kepada kaum miskin (Anand dkk., 2013).
Demikian juga yang terjadi di Indonesia, anggaran subsidi di Indonesia sendiri sejak tahun 2008 sampai 2014 mengalami peningkatan yang signifikan.
Dalam bentuk grafik, kenaikan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
Sumber: Nota Keuangan, APBN 2008 - 2014.
Gambar 1.1. Anggaran Subsidi di Indonesia Tahun 2008 - 2014 (Triliun)
(Triliun)
5 Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa besarnya anggaran subsidi cenderung meningkat setiap tahunnya. Total anggaran subsidi energi pada tahun 2014 telah mencapai 341,8 Triliun, sedangkan untuk subsidi non energi berjumlah 50,2 Triliun saja. Jumlah ini sangat besar, terutama untuk subsidi energi sehingga subsidi untuk non energi cenderung stagnan atau peningkatannya tidak signifikan seperti halnya subsidi energi. Khusus untuk subsidi BBM, tahun 2014 mencapai 240 triliun.
Berbagai kalangan menilai bahwa subsidi yang terlalu besar membahayakan anggaran negara. Anggaran dapat defisit jika subsidi tidak dikendalikan. Pengendalian dalam hal ini adalah lebih kepada pengurangan subsidi atau menaikkan harga BBM. Ada beberapa argumentasi yang melandasi kebijakan terhadap pengurangan atau penurunan biaya subsidi BBM. Argumentasi termaksud antara lain (Dartanto, 2005): 1). Perbedaan harga jual domestik dengan harga luar negeri yang timpang, perbedaan harga ini menjadikan pembengkakan subsidi BBM dalam APBN dan juga mendorong terjadinya penyelundupan BBM ke luar negeri; 2). Penyesuaian harga BBM telah di lakukan oleh hampir semua negara-negara yang berpendapatan lebih rendah dari Indonesia seperti India, Bangladesh, dan negara-negara di Afrika; 3). Harga domestik yang rendah, cenderung mendorong pertumbuhan, tingkat konsumsi yang sangat tinggi; 4). Subsidi BBM ternyata lebih banyak di nikmati oleh kelompok 40 persen masyarakat yang berpendapatan tinggi, termasuk subsidi untuk minyak tanah.
5). Pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk program
6 penanggulangan kemiskinan dan investasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di pedesaan.
Fakta menunjukkan bahwa subsidi yang selama ini dilakukan pemerintah terhadap harga BBM memang tidak tepat sasaran. Subsidi energi dalam bentuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) selama ini lebih banyak dinikmati oleh masyarakat dengan kelompok masyarakat berpendapatan menengah dan atas.
Berikut adalah hasil perhitungan BPS terkait hubungan kelompok pendapatan dengan konsumsi atau distribusi BBM subsidi:
Tabel 1.1. Distriusi Pemanfaatan Subsidi BBM Menurut Kelompok Pendapatan Kelompok Pendapatan Distribusi
Subsidi BBM (%)
Dalam Triliun (Rp)
20 % Teratas 48,44 % 61,43
20 % Kedua Teratas 22,48 % 22,48
20 % Menengah 15,16 % 15,16
20 % Kedua Terbawah 8,77 % 8,77
20 % Terbawah 5,15 % 5,15
Jumlah 100 % 126,8
Sumber : BPS, 2007.
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas, dapat dilihat bahwa 20 persen masyarakat
kelompok terkaya menikmati 48,44 persen ( hampir 50 persen ) subsidi BBM
yang senilai dengan 61,42 Triliun. Urutan kedua adalah 20 persen masyarakat
kedua terkaya menikmati subsidi BBM 22,48 persen dengan nilai 28,50
Triliun. Sementara 20 persen masyarakat termiskin hanya menikmati 5.15
persen subsidi BBM dengan nilai 6,53 Triliun. Dengan demikian subsidi BBM
lebih banyak dinikmati oleh kelompok pendapatan masyarakat menengah ke
atas. Masyarakat miskin yang seharusnya menjadi tujuan diberikannya subsidi
BBM justru tidak memperolehnya. Ketidakadilan ini terjadi pada struktur
7 sosial ekonomi antara yang kaya dan yang miskin, yang kaya semakin dimanjakan dengan subsidi BBM yang mampu mereka manfaatkan, sedangkan kalangan miskin hanya mampu memanfaatkannya sedikit. Selain itu, dengan semakin besarnya subsidi BBM mengakibatkan berbagai program untuk masyarakat miskin menjadi tidak dapat dilaksanakan. Anggaran akan habis untuk alokasi subsidi BBM, apalagi jika harga BBM sedang naik di pasar internasional.
Hasil serupa ditemukan dalam kajian lain yang dilakukan oleh Agustina
dkk., (2008). Kajian tersebut menemukan bahwa hampir 90 persen subsidi
BBM di Indonesia menguntungkan 50 persen kalangan terkaya. Sedangkan
menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2009 terkait
sektor penggunaan BBM, menunjukkan bahwa keperluan rumah tangga dan
pribadi mengkonsumsi sepertiga dari total subsidi BBM. Dua pertiga sisanya
tersalur ke penggunaan transportasi komersial dan kegiatan usaha. Kedua hasil
tersebut menegaskan bahwa baik secara sasaran maupun secara sektor
penggunaan, subsidi BBM sudah tidak relevan lagi. Pemerintah Indonesia
menyadari bahwa subsidi BBM sudah tidak tepat sasaran dan dapat
menghabiskan APBN. Sehingga subsidi BBM sudah tidak efektif lagi dan
seharusnya dialihkan untuk subsidi non-energi. Peningkatan subsidi non-energi
ditujukan untuk mencapai tujuan pemerintah dalam menciptakan APBN yang
pro growth, pro job, dan pro poor sehingga yang diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan.
8 BBM yang di subsidi dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat diantaranya adalah premium, solar, dan minyak tanah (namun saat ini telah dikonversi ke gas) dan LPG. Solar merupakan salah satu jenis dari BBM yang menjadi obyek subsudi atau pengurangan subsidi. Minyak solar ialah fraksi minyak bumi yang mendidih sekitar 175-370° C dan yang digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Umumnya, solar mengandung belerang dengan kadar yang cukup tinggi. Penggunaan solar pada umumnya adalah untuk bahan bakar pada semua jenis mesin diesel dengan putaran tinggi (diatas 1000 rpm), yang juga dapat digunakan sebagai bahan bakar pada pembakaran langsung dalam dapur-dapur kecil yang terutama diinginkan pembakaran yang bersih.
Minyak solar ini biasa disebut juga Gas Oil, Automotive Diesel Oil, High Speed Diesel.
Konsumsi minyak solar cenderung stabil, tetapi diantara jenis BBM lainnya, konsumsi minyak solar ternyata yang paling banyak. Solar banyak dibutuhkan oleh industri untuk bahan bakar mesin-mesinnya serta sektor angkutan. Tahun 2005 konsumsi solar mencapai 175 juta barrel dan hingga tahun 2011 konsumsinya sedikit menurun menjadi 169 juta barel (Ditjen Migas – ESDM: 2012). Namun dari segi pola konsumsi, maka telah terjadi perubahan pola konsumsi energi menurut jenisnya. Pada tahun 2000, konsumsi minyak solar mempunyai pangsa terbesar (42 persen) disusul minyak tanah (23 persen), bensin (23 persen), minyak bakar (10 persen), dan avtur (2 persen).
Selanjutnya pada tahun 2012 urutannya berubah menjadi bensin (50 persen),
9 minyak solar (37 persen), avtur (7 persen), minyak tanah (4 persen), dan minyak bakar (2 persen). (BPPT, 2014).
Tabel 1.2. Perubahan Pola Konsumsi BBM
No Jenis BBM 2000 2012
1 Minyak Solar 42% 37%
2 Minyak Tanah 23% 4%
3 Bensin 23% 50%
4 Minyak Bakar 10% 2%
5 Avtur 2% 7%
Sumber: BPPT, 2014
Perubahan pola konsumsi BBM tersebut disebabkan oleh tingginya laju konsumsi bensin kendaraan pribadi terjadi karena jumlah mobil pribadi dan motor yang sangat pesat, tingginya laju konsumsi avtur/avgas oleh pesawat udara karena perkembangan mobilitas kehidupan manusia yang semakin tinggi dan majunya industri penerbangan, terjadinya diversifikasi energi di sektor industri yang memungkinkan industri menggunakan sumber enargi yang lain, dan adanya program substitusi minyak tanah dengan LPG di sektor rumah tangga yang membuat peralihan besar-besaran dari minyak tanah ke LPG.
Peningkatan luar biasa terjadi pada konsumsi jenis BBM bensin yang naik dari 23 persen menjadi 50 persen, sedangkan penurunan yang besar ada pada konsumsi jenis minyak tanah dari 23 persen menjadi hanya 4 persen. Hal-hal tersebut terjadi dan mempengaruhi pola konsumsi jenis BBM yang ada.
Solar memang paling banyak digunakan pada industri untuk keperluan
mesin pabrik dan angkutan komersial seperti kapal, truck dan kendaraan berat
lainnya. Hal ini diperkuat survei Nasional oleh Lembaga Survei Indonesia
(LSI) 2014 yang dilakukan pada tataran keluarga atau rumah tangga diseluruh
10 Indonesia, dimana pengguna solar dalam rumah tangga jumlahnya sangat kecil, yaitu hanya mencapai angka 6 persen saja yang mengkonsumsi solar dalam waktu 30 hari terakhir.
Sumber: Surnas LSI 2014, diolah.
Gambar 1.2. Konsumsi Solar pada Rumah Tangga
.