• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Obyek Penelitian

Dalam Penelitian ini, obyek yang digunakan adalah Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Barat untuk periode 2012 - 2014. Obyek penelitian ini diambil dengan menggunakan metode purposive sampling. Seluruh Kabupaten/Kota yang mempublikasikan realisasi laporan keuangan tahunan APBD selama periode 2012 – 2014. Berikut ini tabel pemilihan sampel atau objek penelitian :

Tabel 4.1 Populasi dan Sample

Keterangan Jumlah

Total Populasi 27

Laporan Keuangan Tidak Lengkap (1)

Penerimaan Pajak Daerah < 50 Milyar (10)

Total Sampel 16

2. Profil dan Sejarah Jawa Barat

Jawa Barat pada abad ke 5 merupakan bagian dari kerajaan Tarumanagara. Perasasti peninggalan kerajaan Tarumanagara banyak tersebar di Jawa Barat. Ada tujuh prasasti yang ditulis dalam aksara Wengi (yang digunakan dalam masa Palawa India) dan bahasa Sansakerta yang sebagian besar menceritakan para raja Tarumanagara. Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara akibat serangan kerajaan Sriwijaya berdasarkan prasasti Kota Kapur (tahun 686), kekuasaan bagian barat di Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Kali Ciserayu dilanjutkan

(2)

oleh Kerajaan Sunda. Salah satu prasasti dari jaman kerajaan Sunda adalah prasasti Kebon Kopi II yang berasal dari tahun 932. Kerajaan Sunda beribukota di Pakuan pajajaran (sekarang Kota Bogor).

Pada abad ke-16, Kesultanan Demak tumbuh menjadi ancaman kepada Kerajaan Sunda. Pelabuhan Cirebon lepas dari Kerajaan Sunda atas bantuan Kesulatanan Demak. Pelabuhan Cirebon kemudian menjadi Kesultanan Cirebon yang merdeka dari Kerajaan Sunda. Pelabuhan Banten juga lepas ke tangan Kesulatanan Cirebon dan kemudian menjadi Kesultanan Banten. Untuk menghadapi ancaman Kesulatanan Cirebon dan Kesultanan Demak, Sri Baduga Maharaja, raja Sunda saat itu meminta putranya, Surawisesa untukmembuat perjajian pertahanan keamanan dengan bangsa Portugis di Malaka untuk mencegah jatuhnya pelabuhan utama, yaitu Sunda Kelapa kepada Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak.

Pada saat Surawisesa menjadi raja Sunda dengan gelar Prabu Surawisesa Jayaperkosa, perjajian pertahanan keamanan Sunda-Portugis,yang dikenal dengan Luso-Sundanese Treaty, ditandatangani pada tahun 1512. Sebagai imbalannya, Portugis diberi akses untuk membangun benteng dan gudang di Sunda Kelapa serta akses untuk perdagangan di sana. Untuk merealisasikan perjanjian pertahanan keamanan tersebut, pada tahun 1522 didirikan suatu monument batu yang disebut Padrao di tepi sungi Ciliwung di sekitar daerah Tugu. Meskipun perjajian pertahanan keamanan dengan Portugis telah dibuat, pelaksanaannya tidak dapat terwujud karena pada tahun 1527 pasukan aliansi Cirebon-Demak, dibawah pimpinan Fatahilah atau Faletehan, menyerang dan menaklukan

(3)

pelabuhan Sunda Kelapa. Perang antara Kerajaan Sunda dan aliansi Cirebon-Demak berlangsung lima tahun sampai akhirnya pada tahun 1531 dibuat suatu perjajian damai antara Prabu Surawisesa dengan Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon.

Dari tahun 1567 sampai 1579, dibawah pimpinan Raja Mulya alias Prabu Surya Kencana, Kerajaan Sunda mengalami kemunduran besar dibawah tekanan Kesultanan Banten. Setelah tahun 1576, Kerajaan Sunda tidak dapat mempertahankan Pakuan Pajajaran, Ibu Kota Kerajaan Sunda, dan akhirnya jatuh ketangan Kesultanan Banten, wilayah Priangan jatuh ke tangan Kesultanan Mataram.

Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu sebagai pelaksanaan Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden (Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa disebelah barat Sungai Cilosari dan citanduy yang sebagian dihuni oleh pendudukyang menggunakan bahasa Sunda sebagai Bahasa Ibu.

Perkembangan Sejarah menunjukan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (Staatblad Nomor: 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950, tentang pembentukan Provinsi Jawa Barat.

(4)

3. Peta dan Kondisi Geografis Jawa Barat

a) Peta Jawa Barat

Sumber : www1.jabarprov.go.id

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Barat b) Kondisi Geografis

Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5º 50'- 7º 50' Lintang Selatan dan 104º 48'- 108º 48' Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah:

1. Sebelah Utara, dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta ; 2. Sebelah Timur, dengan Provinsi Jawa Tengah ; 3. Sebelah Selatan, dengan Samudra Indonesia ; 4. Sebelah Barat, dengan Provinsi Banten.

(5)

Provinsi Jawa Barat memiliki kondisi alam dengan struktur geologi yang kompleks dengan wilayah pegunungan berada di bagian tengah dan selatan serta dataran rendah di wilayah utara. Memiliki kawasan hutan dengan fungsi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi yang proporsinya mencapai 22,10% dari luas Jawa Barat; curah hujan berkisar antara 2000-4000 mm/th dengan tingkat intensitas hujan tinggi; memiliki 40 Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan debit air permukaan 81 milyar m3/tahun dan air tanah 150 juta m3/th.

Secara administratif pemerintahan, wilayah Jawa Barat terbagi kedalam 27 Kabupaten/Kota, meliputi 18 Kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung Barat dan 9 Kota yaitu Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar serta terdiri dari 626 kecamatan, 641 kelurahan, dan 5.321 desa.

4. Perkembangan Pajak Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun Anggaran 2012 -2014

Untuk mengetahui penerimaan Pajak Daerah Kabupaten/ Kota di Jawa Barat Tahun Anggaran 2012 - 2014 diukur dengan Realisasi APBD.

(6)

Berikut ini perkembangan Pajak Daerah Kabupaten/ Kota di Jawa Barat Tahun 2012 - 2014:

Tabel 4.2

Penerimaan Pajak Daerah Tahun Anggaran 2012 – 2014 No KABUPATEN/KOTA JAWA BARAT PAJAK DAERAH

2012 2013 2014

1 Kabupaten Bandung 186.141.858.448 287.766.327.300 298.589.031.519 2 Kabupaten Bandung Barat 106.722.746.973 152.990.207.963 169.333.416.634 3 Kabupaten Bekasi 539.342.449.537 841.506.158.716 1.113.294.365.232 4 Kabupaten Bogor 741.235.205.926 882.963.473.747 1.131.443.649.696 5 Kabupaten Cianjur 58.244.642.590 72.705.571.590 112.456.708.556 6 Kabupaten Cirebon 71.338.103.707 81.617.720.438 120.405.178.674 7 Kabupaten Karawang 477.595.086.584 466.028.000.475 554.228.363.507 8 Kabupaten Purwakarta 85.080.348.499 98.455.068.941 162.459.499.090 9 Kabupaten Sukabumi 81.838.360.083 141.621.769.678 175.407.679.336 10 Kabupaten Sumedang 60.701.249.763 72.483.509.426 105.290.620.111 11 Kota Bandung 820.563.651.111 1.194.087.447.016 1.399.598.856.917 12 Kota Bekasi 497.855.029.475 723.511.938.746 845.771.913.123 13 Kota Bogor 224.746.197.191 341.419.704.885 376.487.551.008 14 Kota Cirebon 58.294.336.963 92.498.096.461 103.861.450.433 15 Kota Depok 379.488.343.501 456.570.927.631 494.172.635.913 16 Kota Cimahi 63.753.989.389 91.644.684.568 91.795.256.385 Min 58.244.642.590 72.483.509.426 91.795.256.385 Max 820.563.651.111 1.194.087.447.016 1.399.598.856.917 Sumber : www.djpk.kemenkeu.go.id

Pada Tabel 4.2 diatas menunjukkan penerimaan pajak daerah selama tahun 2012 - 2014, penerimaan pajak daerah terbesar tahun 2014 sebesar Rp.1.399.598.856.917 yaitu Kota Bandung sedangkan penerimaan pajak daerah terendah tahun 2012 yaitu Kabupaten Cianjur sebesar Rp. 58.244.642.590. Selama kurun waktu 3 (tiga) tahun Kota Bandung merupakan daerah yang memiliki penerimaan pajak daerah tertinggi dibanding Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

(7)

Berdasarkan tabel 4.2 maka dapat digambarkan perkembangan penerimaan Pajak Daerah Tahun 2012 - 2014 dalam bentuk grafik sebagai berikut:

Sumber : diolah kembali dengan Mircosoft Excel 2007 Gambar 4.2

Grafik Penerimaan Pajak Daerah Tahun Anggaran 2012 – 2014

Berdasarkan pada gambar 4.2 jelas terlihat bahwa pajak daerah selama 3 (tiga) tahun menunjukkan perubahan sekaligus peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat penerimaan pajak Kabupaten/Kota di Jawa Barat cukup baik yang berdampak positif terhadap belanja modal.

5. Perkembangan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun Anggaran 2012 - 2014

Untuk mengetahui penerimaan Retribusi Daerah Kabupaten/ Kota di Jawa Barat Tahun Anggaran 2012 - 2014 diukur dengan Realisasi APBD.

(8)

Berikut ini perkembangan Retribusi Daerah Kabupaten/ Kota di Jawa Barat Tahun Anggaran 2012 - 2014:

Tabel 4.3

Penerimaan Retribusi Daerah Tahun Anggaran 2012 – 2014 (dalam rupiah)

NO KABUPATEN/ KOTA DI JAWA BARAT RETRIBUSI DAERAH

2012 2013 2014

1 Kabupaten Bandung 41.045.068.255 49.547.220.662 30.590.439.477 2 Kabupaten Bandung Barat 13.287.705.910 18.565.917.945 16.388.651.707 3 Kabupaten Bekasi 127.374.748.853 153.775.932.914 207.275.680.214 4 Kabupaten Bogor 127.812.577.508 145.818.507.884 199.527.357.902 5 Kabupaten Cianjur 20.741.977.845 20.751.790.357 24.897.822.366 6 Kabupaten Cirebon 50.217.553.424 53.648.557.597 28.954.986.568 7 Kabupaten Karawang 35.256.065.679 59.406.479.316 129.306.846.320 8 Kabupaten Purwakarta 23.205.605.949 27.904.064.672 38.635.807.656 9 Kabupaten Sukabumi 23.825.704.183 33.303.960.344 29.956.166.044 10 Kabupaten Sumedang 12.774.157.243 18.020.947.876 28.537.414.661 11 Kota Bandung 78.649.880.372 115.508.351.284 99.192.319.387 12 Kota Bekasi 45.991.261.455 44.396.370.569 50.386.438.478 13 Kota Bogor 44.698.473.424 73.636.737.984 77.167.650.951 14 Kota Cirebon 9.805.820.896 13.784.018.042 16.425.413.981 15 Kota Depok 40.585.045.845 47.171.323.260 76.315.802.066 16 Kota Cimahi 9.229.402.032 10.226.084.489 12.317.132.901 Min 9.229.402.032 10.226.084.489 12.317.132.901 Max 127.812.577.508 153.775.932.914 207.275.680.214 Sumber : www.djpk.kemenkeu.go.id

Pada tabel 4.3 diatas menunjukkan penerimaan retribusi daerah tahun 2012 - 2014, retribusi daerah terbesar tahun 2014 sebesar Rp. 207.275.680.214 yaitu Kabupaten Bekasi, sedangkan penerimaan retribusi daerah terendah tahun 2012 yaitu Kota Cimahi sebesar Rp. 9.229.402.032. Selama kurun waktu 3 (tiga) tahun Kabupaten Bekasi merupakan daerah yang memiliki penerimaan retribusi daerah tertinggi dibanding Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

(9)

Berdasarkan tabel 4.3 maka dapat digambarkan grafik retribusi daerah Tahun 2012 - 2014 dalam bentuk grafik sebagai berikut:

Sumber : diolah kembali Mircosoft Excel 2007 Gambar 4.3

Grafik Retribusi Daerah Tahun Anggaran 2012 – 2014

Berdasarkan pada gambar 4.3, grafik retribusi daerah selama 3 (tiga) tahun menunjukkan perkembangan retribusi daerah tahun 2012 - 2014 yang cukup baik walaupun beberapa Kabupeten/Kota mengalami penurunan, tetapi daerah banyak juga Kabupaten/Kota yang mengalami kenaikan. Dengan peningkatan retribusi daerah cukup berdampak baik terhadap belanja modal.

6. Perkembangan Belanja Modal Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun Anggaran 2012 - 2014

Untuk mengetahui Belanja Modal Kabupaten/ Kota di Jawa Barat Tahun Anggaran 2012 - 2014 diukur dengan Realisasi APBD.

(10)

Berikut ini perkembangan Belanja Modal Kabupaten/ Kota di Jawa Barat Tahun Anggaran 2012 – 2014:

Tabel 4.4

Belanja Modal Tahun Anggaran 2012 - 2014 (dalam rupiah)

No KABUPATEN/ KOTA JAWA BARAT BELANJA MODAL

2012 2013 2014

1 Kabupaten Bandung 489.588.416.448 449.078.124.664 473.371.826.705 2 Kabupaten Bandung Barat 351.375.689.865 318.589.528.729 331.152.301.131 3 Kabupaten Bekasi 970.051.419.271 1.078.640.000.532 1.168.556.174.474 4 Kabupaten Bogor 1.035.467.433.416 1.316.781.706.310 1.232.249.681.373 5 Kabupaten Cianjur 322.640.716.696 309.901.421.702 468.287.520.155 6 Kabupaten Cirebon 338.952.749.390 323.561.695.993 323.301.978.738 7 Kabupaten Karawang 645.768.234.137 571.414.149.617 592.851.397.329 8 Kabupaten Purwakarta 166.565.692.417 231.762.332.172 330.239.453.173 9 Kabupaten Sukabumi 268.721.244.979 392.139.039.436 422.908.949.167 10 Kabupaten Sumedang 204.371.006.983 253.554.444.160 385.030.215.241 11 Kota Bandung 806.665.039.823 1.064.845.440.308 971.440.599.331 12 Kota Bekasi 737.186.202.358 888.422.432.910 719.478.321.954 13 Kota Bogor 222.276.037.760 224.308.059.020 499.335.882.425 14 Kota Cirebon 93.925.244.322 169.462.451.965 235.233.597.636 15 Kota Depok 329.846.075.583 655.386.101.838 582.004.462.577 16 Kota Cimahi 111.845.037.202 120.732.964.467 151.446.501.358 Min 93.925.244.322 120.732.964.467 151.446.501.358 Max 1.035.467.433.416 1.316.781.706.310 1.232.249.681.373 Sumber : www.djpk.kemenkeu.go.id

Pada Tabel 4.4 menunjukkan penerimaan belanja modal selama tahun 2012 - 2014, belanja modal terbesar tahun 2013 sebesar Rp. 1.316.781.706.310 yaitu Kabupaten Bogor, sedangkan belanja modal terendah tahun 2012 yaitu Kota Cirebon sebesar Rp 93.925.244.322. Selama kurun waktu 3 (tiga) tahun Kabupaten Bogor merupakan daerah yang memiliki belanja modal tertinggi dibanding Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan Kota Cimahi merupakan daerah yang memiliki belanja modal terendah.

(11)

Berdasarkan tabel 4.4 maka dapat digambarkan grafik Belanja Modal Tahun Anggaran 2012 - 2014 dalam bentuk grafik sebagai berikut:

Sumber : Diolah kembali dengan Microsoft Excel 2007 Gambar 4.4

Grafik Belanja Modal Tahun Anggaran 2012 -2014

Berdasarkan pada gambar 4.4, grafik belanja modal selama 3 (tiga) tahun menunjukkan peningkatan belanja modal Tahun 2012 - 2014. Dengan demikian peningkatan Belanja Modal menunjukan bahwa penerimaan daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat cukup baik berdampak positif.

B. Hasil Uji Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif ini menggambarkan deskripsi dari masing-masing variabel yang dilihat dari banyaknya data (observasi), nilai minimum, nilai maksimum, mean dan standar deviasi. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan yaitu Pajak Daerah (PD) dan Retribusi Daerah (RD), yang merupakan variabel independen dan Belanja Modal (BM) yang merupakan variabel dependen. Dengan

(12)

menggunakan aplikasi SPSS versi 22. Hasil dari statistik deskriptif dapat disajikan pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.5.

Hasil Uji Statistik Deskriptif

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

PD 48 58,244,642,590 1,399,598,856,917 368,862,674,655.31 357,342,767,522.327 RD 48 9,229,402,032 207,275,680,214 55,330,067,598.90 49,469,754,149.861 BM 48 93,925,244,322 1,316,781,706,310 507,306,562,442.50 328,673,239,170.839 Valid N (listwise) 48 Output spss 22

Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat dijelaskan bahwa :

1. Variabel Pajak Daerah (PD) memiliki 48 sampel dengan nilai minimum sebesar Rp. 58,244,642,590 yaitu Kabupaten Cianjur tahun 2012, nilai maksimum sebesar Rp. 1,399,598,856,917 yaitu Kota Bandung Tahun 2014, mean sebesar Rp. 368,862,674,655.31 dan standar deviasi sebesar Rp. 357,342,767,522.327. Standar deviasi yang lebih kecil dari mean menunjukan bahwa data yang digunakan merupakan data yang baik.

2. Variabel Retribusi Daerah (RD) memiliki 48 sampel dengan nilai minimum sebesar Rp. 9,229,402,032 yaitu Kota Cimahi tahun 2012 nilai maksimum sebesar Rp. 207,275,680,214 yaitu Kabupaten Bekasi tahun 2014, mean sebesar Rp. 55,330,067,598.90 dan standar deviasi sebesar Rp. 49,469,754,149.861. Standar deviasi yang lebih kecil dari mean menunjukan bahwa data yang digunakan merupakan data yang baik.

3. Variabel Belanja Modal (BM) memiliki 48 sampel dengan nilai minimum sebesar Rp. 93,925,244,322 Kota Cirebon tahun 2012, nilai maksimum sebesar Rp. 1,316,781,706,310 yaitu Kabupaten Bogor tahun 2013, mean

(13)

sebesar Rp. 507,306,562,442.50; dan standar deviasi sebesar Rp. 328,673,239,170.839. Standar deviasi yang lebih kecil dari mean menunjukan bahwa data yang digunakan merupakan data yang baik.

C. Uji Asumsi dan Kualitas Instrumen Penelitian

Uji asumsi klasik ini harus dilakukan agar model regresi linier berganda yang akan digunakan dapat diketahui tingkat keakuratan datanya. Dalam penelitian ini menggunakan empat uji asumsi klasik yang terdiri dari uji normalitas, uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi.

1. Hasil Uji Normalitas

Dalam penelitian untuk menguji normalitas data, peneliti menggunakan uji statistik dengan menggunakan rumus Kolmogorov Smirnov dengan ketentuan sebagai berikut :

a) Jika signifikansi (Significance level) > 0.05 maka Distribusi normal. b) Jika signifikansi (Significance level) < 0.05 maka Distribusi tidak normal Berikut hasil uji normalitas dengan Kolmogorov Smirnov :

Tabel 4.6. Uji Normalitas Data

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 48

Normal Parametersa,b Mean -,0000350

Std. Deviation 121381671779,54901000 Most Extreme Differences Absolute ,056 Positive ,056 Negative -,044 Test Statistic ,056

Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

(14)

Berdasarkan uji normalitas data menggunakan rumus Kolmogorov Smirnov tersebut, diketahui bahwa nilai signifikansi yang dihasilkan sebesar 0.200 lebih besar dari taraf signifikansi (0.200 > 0.05). Maka dapat disimpulkan bahwa data yang diuji berdistribusi normal.

Uji selanjutnya yang dilakukan adalah dengan Probability Plots dan Uji Grafik Histogram. Kriteria pengujian Probability Plots adalah dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik. Jika data atau titik menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka dapat dikatakan bahwa data tersebut terdistribusi normal. Sedangkan apabila data atau titik menyebar jauh dari arah garis atau tidak mengikuti diagonal, maka data dikatakan tidak terdistribusi normal. Berikut ini hasil uji normalitas dengan Probability Plots :

(15)

Berdasarkan hasil output SPSS di atas, dapat terlihat grafik plot dimana gambar P-plot terlihat titik – titik mengikuti dan mendekati garis diagonalnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data ini terdistribusi normal dan model regresi memenuhi asumsi normalitas.

Berikut hasil nomalitas dengan menggunakan grafik histogram:

Gambar 4.6. Grafik Histogram

Berdasarkan gambar diatas dengan cara membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi normal, dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal karena grafik histogram menunjukan distribusi data mengikuti garis diagonal yang tidak menceng (skewness) kiri maupun ke kanan.

2. Hasil Uji Multikolinieritas

Uji multikolinearitas digunakan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Uji

(16)

multikolinearitas dalam penelitian ini dilihat dari nilai tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF). Jika tolerance > 0,10 dan VIF < 10 maka tidak ada multikolinearitas. Berikut hasil dari uji multikolinearitas:

Tabel 4.7. Uji Multikolinieritas Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig. Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 167219644408,878 27263744514,341 6,133 ,000

PD ,552 ,089 ,600 6,231 ,000 ,327 3,060

RD 2,467 ,640 ,371 3,856 ,000 ,327 3,060

a. Dependent Variable: BM

Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat bahwa semua variabel bebas (independen) memiliki nilai tolerance 0,327 > 0,10 dan Variance Inflation Factor (VIF) 3,060 < 10. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat multikolonieritas dalam data penelitian ini.

3. Hasil Uji Heteroskedastisitas

Uji Heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi terdapat kesamaan atau ketidaksamaan varians antara pengamatan yang satu dengan pengamatan yang lainnya. Pengujian heteroskedastisitas dalam penelitian ini menggunakan Uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan cara meregresi masing-masing variabel independen dengan absoluteresidual sebagai variabel dependen. Nilai koefisien signifikasi pada variabel independen dengan absoluteresidual lebih dari 0,05 maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas. Hasil uji heteroskedastisitas dapat dilihat dari tabel berikut :

(17)

Tabel 4.8.

Hasil Uji Heteroskedastisitas – Uji Glejser

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 62358385218,462 14367848076,297 4,340 ,000 PD ,048 ,047 ,260 1,022 ,313 RD ,143 ,337 ,108 ,425 ,673

a. Dependent Variable: RES2

Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas diatas melalui uji Glejser, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi untuk variabel Pajak Daerah (PD) adalah sebesar 0,313 dan nilai signifikansi untuk variabel Retribusi Daerah (RD) adalah sebesar 0,673 karena signifikansi antara variabel independen dengan absolut residual lebih dari 0.05 maka dapat dikatakan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas dalam model regresi pada penelitian ini.

4. Hasil Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalaha pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Jika terjadi korelasi dinamakan ada problem autokorelasi yaitu dengan menggunakan metode Durbinwatson. Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Adapun hasil dari uji autokorelasi pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut ini :

(18)

Tabel 4.9

Hasil Uji Autokorelasi

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 ,929a ,864 ,858 124,049,719,554.335 1,661

a. Predictors: (Constant), RD, PD b. Dependent Variable: BM

Berdasarkan tabel 4.9 diatas, nilai Durbinwatson diperoleh sebesar 1,661 Nilai Durbinwatson berada yang terletak di antara 1,623 < 1,661 < 2,377, sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model regresi ini tidak ada autokorelasi.

D. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda

Pada penelitian ini, analisis linier berganda digunakan untuk menguji pengaruh pengaruh antara variabel independen (pajak daerah dan retribusi daerah) dengan variabel dependen (belanja modal). Analisis ini juga digunakan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan. Hasil dari analisis regresi linier berganda pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.10

Hasil Uji Regresi Linear Berganda

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 167219644408,878 27263744514,341 6,133 ,000 PD ,552 ,089 ,600 6,231 ,000 RD 2,467 ,640 ,371 3,856 ,000 a. Dependent Variable: BM

(19)

Berdasarkan tabel tersebut persamaan regresi yang dapat disusun adalah : BM = 167219644408,878+ 0,552PD + 2,467RD + e Keterangan : PD = Pajak Daerah RD = Retribusi Daerah BM = Belanja Modal

Berdasarkan persamaan diatas dapat dianalisis sebagai berikut :

1. Nilai konstanta (β0) 167.219.644.408,878. Hal ini menunjukan apabila

variabel penerimaan pajak daerah (PD) dan retribusi daerah (RD) dianggap konstant, maka nilai belanja modal (BM) dapat diungkapkan sebesar 167.219.644.408,878.

2. Nilai koefisien PD (β1) sebesar 0,552. Hal ini menunjukan bahwa

penerimaan pajak daerah (PD) berpengaruh positif terhadap belanja modal (BM) yang artinya setiap kenaikan 1% akan diikuti dengan kenaikan belanja modal sebesar 0,552 dengan asumsi variabel pajak daerah dan retribusi daerah tetap konstan.

3. Nilai koefisien RD (β2) sebesar 2,467. Hal ini menunjukan bahwa

penerimaan retribusi daerah daerah (RD) berpengaruh positif terhadap belanja modal (BM) yang artinya setiap kenaikan retribusi daerah sebesar 1% akan diikuti dengan kenaikan belanja modal sebesar 2,467 dengan asumsi variabel pajak daerah dan retribusi daerah tetap konstan.

(20)

E. Hasil Uji Hipotesis

1. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Nilai yang digunakan dalam koefisien determinasi adalah dengan menggunakan nilai Adjusted R Square. Nilai tersebut digunakan untuk mengukur seberapa besar kemampuan model dalam menerangkan variabel dependen. Nilai Adjusted R Square yang digunakan, diambil dari model summary pada tabel 4.11. berikut ini :

Tabel 4.11.

Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 ,929a ,864 ,858 124,049,719,554.335

a. Predictors: (Constant), RD, PD b. Dependent Variable: BM

Berdasarkan tabel 4.11 Nilai Adjusted R2 diatas adalah sebesar 0,858

artinya 85,8%. Hal ini berarti hal ini berarti variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel independen adalah sebesar 85,8%, sedangkan sisanya sebesar 14,2% dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan kedalam model regresi dalam penelitian ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah berpengaruh sebesar 85,8% terhadap belanja modal, sedangkan sisanya sebesar 14,2% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti.

2. Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)

Uji F dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara bersama – sama pengaruh pajak daerah dan retribusi daerah terhadap belanja modal. Dalam uji F

(21)

ini, nilai yang digunakan adalah nilai F dan nilai signifikan yang terdapat dalam tabel anovaa yang disajikan dibawah ini dalam tabel 4.12. Dalam pengujian ini dengan cara melihat nilai F hitung yang terdapat dalam tabel anova kemudian dibandingkan dengan nilai F tabel, sedangkan nilai signifikan dibandingkan dengan nilai signifikansi yaitu sebesar 0,05.

Tabel 4.12.

Hasil Pengujian Simultan (Uji F)

ANOVAa

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 4384751631443504600 000000,000 2 2192375815721752300 000000,000 142,470 ,000 b Residual 6924749814679150000 00000,000 45 1538833292150922300 0000,000 Total 5077226612911420000 000000,000 47 a. Dependent Variable: BM b. Predictors: (Constant), RD, PD

Hipotesis nol (H0) yang digunakan dalam pengujian ini adalah tidak adanya

pengaruh antara variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Sedangkan hipotesis alternatif (Ha) yang digunakan adalah terdapat

adanya pengaruh antara variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan nilai F-hitung sebesar 142,470. Adapun nilai F-tabel pada tingkat signifikan 5% dengan menggunakan rumus excel =FINV(probability,deg_freedom1,deg_freedom2) dengan rumus deg_freedom1 adalah (k-1) dimana k (jumlah variabel bebas dan terikat) dan deg_freedom2 adalah (n-k) sehingga didapat nilai F-tabel sebesar 2,811, terlihat bahwa nilai F-hitung lebih besar dari nilai F-tabel (142,470 > 2,811) yang artinya

(22)

Ha atau hipotesis alternatif yang digunakan diterima dan H0 ditolak. Kemudian

cara kedua yakni membandingkan nilai signifikan pada tabel anova dengan nilai signifikansi yaitu 0.05. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai signifikan pada tabel anova memiliki nilai sebesar 0.000b yang lebih kecil dibandingkan

dengan nilai signifikan yang telah ditetapkan yakni 0.05. Dari hasil signifikan tersebut dapat diartikan bahwa Ha atau hipotesis alternatif diterima dan H0 ditolak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel independen (pajak daerah dan retribusi daerah) memiliki pengaruh terhadap variabel dependen (belanja modal).

3. Uji Signifikansi Parameter Parsial (Uji Statistik t)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variabel dependen. Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji t-test. Hasil dari uji t ini menggunakan tabel coefficients yang akan disajikan dalam Tabel 4.13. berikut :

Tabel 4.13.

Hasil Pengujian Parsial (Uji t)

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 167219644408,878 27263744514,341 6,133 ,000 PD ,552 ,089 ,600 6,231 ,000 RD 2,467 ,640 ,371 3,856 ,000 a. Dependent Variable: BM

(23)

Berdasarkan output tersebut dapat dilihat nilai t-hitung yang diperoleh setiap variabel. Untuk membuat kesimpulan menerima atau menolak H0, terlebih dahulu

harus ditentukan nilai – nilai t-tabel yang akan digunakan. Rumus untuk

menentukan t-tabel dengan Microsoft Excel adalah

=TINV(probability,deg_freedom) dimana probability ditentukan dengan nilai 0.05 dan deg_freedom adalah (n-k) dimana n adalah jumlah sampel dan k adalah jumlah variabel bebas dan terikat. Dari rumus tersebut didapat nilai t-tabel sebesar 2,014.

Hasil pengujian pengaruh setiap variabel independen (pajak daerah dan retribusi daerah) terhadap variabel dependen (belanja modal) adalah sebagai berikut :

a. Pengaruh Pajak Daerah terhadap Belanja Modal

Berdasarkan output diketahui nilai t-hitung pada pajak daerah (PD) sebesar 6,231. Jika dibandingkan dengan nilai t-tabel sebesar 2,014 maka t-hitung yang diperoleh jauh lebih besar dari nilai t-tabel (6,231 > 2,014) . Sehingga Ha diterima dan H0 ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa variabel pajak daerah berpengaruh signifikan positif secara parsial (individu) terhadap belanja modal.

b. Pengaruh Retribusi Daerah terhadap Belanja Modal

Berdasarkan output diketahui nilai t-hitung pada retribusi daerah (RD) sebesar 3,856. Jika dibandingkan dengan nilai t-tabel sebesar 2,014. maka t-hitung yang diperoleh jauh lebih besar dari nilai t-tabel (3,856 > 2,014).

(24)

Sehingga Ha diterima dan H0 ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa variabel retribusi daerah berpengaruh signifikan positif secara parsial (individu) terhadap belanja modal.

F. Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan analisis data dan setelah dilakukan pengujian hipotesis dalam penelitian ini, maka selanjutnya akan dibahas hasil penelitian sesuai dengan permasalahan yang diajukan. Dalam penelitian ini telah dibuktikan bahwa :

1. Pengaruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Belanja Modal

Hasil pengujian dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh secara simultan (bersama – sama) antara variabel pajak daerah dan retribusi daerah terhadap belanja modal. Pajak daerah dan retribusi daerah berpengaruh signifikan positif terhadap belanja modal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dengan penelitian Dian Lestari (2016), Anggun Hasan (2016), Maria Valencia (2015), Marten Adam, dkk (2014), Walidun Husain (2013), dan R. Budi Hendaris dan Handiyaningrum (2012), yang menunjukan bahwa secara simultan pajak daerah dan retribusi daerah berpengaruh terhadap belanja modal. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang besar berpengaruh positif terhadap belanja modal pada Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

(25)

2. Pengaruh Pajak Daerah terhadap Belanja Modal

Hasil pengujian dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara parsial pajak daerah berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Hasil penelitian ini sejalan dengan dengan hasil penelitian Dian Lestari (2016), Marten Adam, dkk (2014), Walidun Husain (2013), R. Budi Hendaris dan Handiyaningrum (2012), yang menunjukan bahwa pajak daerah berpengaruh terhadap belanja modal. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penerimaan pajak daerah yang besar berpengaruh positif terhadap belanja modal pada Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

3. Pengaruh Retribusi Daerah terhadap Belanja Modal

Hasil pengujian dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa retribusi daerah berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Maria Valencia (2015) dan Walidun Husain (2013) yang menunjukan bahwa retribusi daerah berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penerimaan retribusi daerah yang besar berpengaruh positif terhadap belanja modal pada Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

Gambar

Tabel 4.1 Populasi dan Sample
Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Barat
Gambar 4.6. Grafik Histogram
Tabel 4.7.  Uji Multikolinieritas  Coefficients a Model  Unstandardized Coefficients  Standardized Coefficients  T  Sig

Referensi

Dokumen terkait

Upaya penegak hukum agar penerapan keadilan restoratif berjalan secara optimal di kota Makassar adalah pembuatan regulasi yang mengakomodir semua ketentuan tentang

Potensi Ekstrak Karang Lunak (Octocorallia;Alcyonacea) Jenis Lobophytum sp Hasil Fragmentasi Buatan pada Kondisi Lingkungan Perairan yang Berbeda sebagai Anti Mikrobia.

PT BPR BKK Kota Semarang awalnya merupakan Perusahaan Daerah (PD) yang kemarin pada bulan Maret 2020 sudah berganti badan hukum dan menjadi Perseroan Terbatas

Berdasarkan keterangan ahli diatas dapat disimpulkan bahwa, standart operasional prosedur adalah suatu proses atau suatu rangkaian kegiatan yang berguna untuk mengatur semua

Nilai kecerahan (L*) yang lebih tinggi pada pemeliharaan dengan suhu tinggi diduga karena stres panas pada broiler sebelum pemotongan menyebabkan tingginya asam

Dalam Pengujian aplikasi peneliti mengambil sampel 15 siswa dari 42 siswa, hasil yang didapat pada pungukuran kognitif aritmatika anak yang nilai pada metode manual

Mengelola Data Master 1 Mengelola Master Barang Setengah Jadi 1.1 Mengelola Master Customer 1.2 Mengelola Master Bahan Baku 1.4 Mengelola Master BOM 1.3 Mengelola Master

(Wahyuningsih, Meninjau Kembali Tujuan Pendirian dan Fungsi Museum di Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur., 2016) (Apabila ada 10% saja pengunjung yang