• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Akibat Hukum Tidak Dilaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara T1 312012054 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Akibat Hukum Tidak Dilaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara T1 312012054 BAB II"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORETIK

2.1

Hakekat dan Tujuan PTUN

Pemikiran tentang PTUN berawal dari Napoleon Bonaparte yang

memperjuangkan hak-hak rakyat yang dirampas oleh pegawai negeri yang

bertindak semena-mena di bawah pemerintahan Louis XVI di Prancis. Sebelum

masa revolusi Perancis tahun 1789 berkuasa I’Ancien Regime di Prancis.

Kezaliman muncul yang akhirnya menimbulkan Revolusi dan kemudian

Napoleon Bonaparte demi untuk menghindarkan kesewenangan itu ia menjadikan

lembaga Conseil du Roi (dewan penasehat raja) menjadi suatu lembaga Conseil

d’Etat yang bertugas untuk memberikan nasehat kepada pimpinan negara agar

kesewenangan dalam rangka menjalankan administrasi negara jangan sampai

terulang kembali.Conseil d’Etatkemudian berfungsi sebagai puncak dari lembaga

peradialan administratif /tribunal administratif.31

Untuk menampung pengaduan-pengaduan terhadap pelaksanaan tugas

administrasi, maka lingkungan Conseil d’Etat dibentuk suatu Comite de

Contentiex (Panitia perselisihan) yang kemudian berfungsi dalam bidang yudikatif.32

Seperti di Prancis Comite de Contentiex yang merupakan cikal bakal lembaga yudikatif dalam bidang administrasi yang bertujuan untuk menampung

31

Lopa, Baharuddin, dkk, Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988, h. 36.

32

(2)

pengaduan yang menyangkut bidang administrasi dan mengusulkan bentuk

penyelesaiannya, maka lembaga PTUN di Indonesia dibentuk untuk

menyelesaikan dengan seadil-adilnya dan secepat-cepatnya berdasarkan hukum

yang berlaku sebagaimana sewajar dalam negara hukum, sengketa antara

pemerintah dengan anggota masyarakat yang kemungkinan timbul dalam rangka

usaha pemerintah menata kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.33

Sebagai negara yang demokratis Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan

dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Salah satu bentuk

kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga

peradilan. Dalam konteks inilah maka PTUN dibentuk dengan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada tanggal 29

Desember 1986, dalam konsideran “menimbang” undang-undang tersebut

disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya PTUN adalah untuk mewujudkan

tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram serta tertib yang

menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin

terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang serta selaras antara aparatur di

bidang TUN dan para warga masyarakat. Dengan demikian PTUN juga menjadi

bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang menjunjung tinggi nilai-nilai

keadilan, kepastian hukum, dan hak asasi manusia (HAM).34

PTUN diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan

masyarakat, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dan adanya

tindakan-33

Ibid, h. 37.

34

(3)

tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak masyarakat. Tujuan

pembentukan PTUN adalah:35

1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari

hak-hak individu;

2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan

kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat

tersebut.

Tujuan tersebut di atas kemudian ditampung dalam Penjelasan Umum

Angka ke-1 UU PTUN.

2.2

Asas-Asas Di Dalam PTUN

Terkait dengan tujuan dan fungsi PTUN, maka sangat jelas bahwa PTUN

sebagai lembaga peradilan memiliki asas-asas yang menjadi prinsip dasar di

dalamnya. Berdasarkan tujuan dan fungsi PTUN sebagaimana diutarakan pada

Sidang Paripurna DPR RI saat pembahasan RUU PTUN tanggal 29 April 1986,

yaitu mencakup:36

a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber

dari hak-hak individu;

b. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang

didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup

dalam masyarakat tersebut.

35

W. Riawan Tjandra,Op.cit, h. 1.

36

(4)

Maka diperoleh asas-asas dalam PTUN yang menjadi pedoman bagi

penegak hukum dalam menjalankan tugasnya di lembaga peradilan ini. Asas-asas

tersebut mencakup:

a. Asas keaktifan hakim ((Pasal 58, Pasal 63 ayat (1) dan (2), Pasal 80 dan

Pasal 85 UU PTUN), dalam proses persidangan hakim harus berperan

aktif guna memperoleh suatu kebenaran yang besifat materil;37

b. Asas praduga rechtmatig (Pasal 67 ayat (1) UU PTUN), yaitu asas yang

membenarkan tindakan penguasa sampai ada pembatalan, dengan kata

lain gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat;38

c. Asas peradilan cepat, murah dan sederhana;39

d. Asas kompetensi, yaitu asas yang memberikan kewenagan mengadili.

Sehingga PTUN hanya mengadili sengketa TUN;40

e. Asas pembuktian bebas (Pasal 107 UU PTUN dan dibatasi oleh Pasal

100 UU PTUN), hakim yang menetapkan beban pembuktian;

f. Asas objektifitas (Pasal 78 dan Pasal 79 UU PTUN), dalam mengadili

sengketa TUN dalam pengadilan, hakim harus objektif. Sehingga, jika

terdapat hakim yang memiliki hubungan keluarga dengan salah satu

pihak yang terlibat sengketa maka wajib mengundurkan diri;

g. Asas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat (erga

omnes) (Pasal 115 UU PTUN). Sengketa TUN termasuk dalam

sengketa diranah hukum publik, sehingga akibat hukum yang timbul

37

Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1992, h. 3.

38Ibid

, h. 4.

39Ibid

, h. 5.

40Ibid

(5)

dari putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

akan mengikat tidak hanya para pihak yang bersengketa namun

berdasarkan asas putusan tersebut akan mengikat siapa saja;41

h. Asas-asas umum pemerintahan yang baik (selanjutnya disebut

AAUPB):

1) Asas kepastian hukum; KTUN harus dianggap benar menurut

hukum dan karenanya dapat dilaksanakan demi kepastian hukum

selama belum dibuktikan sebaliknya sehingga akhirnya dinyatakan

bersifat melawan hukum oleh Pengadilan TUN.42

2) Asas keseimbangan; dalam lapangan hukum administrasi negara

perlu diciptakan keseimbangan kepentingan aparatur

pemerintah/negara dalam penyelenggaraan tugas-tugasnya dengan

kepentingan pihak administrable yang menanggung akibat hukum ditimbulkan oleh perbuatan aparatur pemerintah/negara baik dalam

bentuk kerjasama maupun dalam bentuk sepihak.43

3) Asas bertindak cermat; menghendaki supaya badan atau pejabat

administrasi negara senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak

menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat.44

4) Asas keadilan dan kewajaran; alat administrasi negara /aparatur

negara/aparatur pemerintah dalam mengambil keputusan/ketetapan

tidak boleh melampaui batas keadilan dan kewajaran.45

41

W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2015, h. 11.

42

Eny Kusdarini, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-Asas Umum Pemerintahan YangBaik, Penerbit UNY Press, Yogyakarta, 2011, h. 154.

43Ibid

, h. 155.

44

(6)

2.3

Subjek dan Objek Sengketa TUN

Mengacu pada rumusan pengertian istilah Sengketa Tata Usaha Negara

(selanjutnya disebut Sengketa TUN) dalam Pasal 1 angka 4 UU PTUN, dapat

disimpulkan bahwa unsur-unsur sengketa tata usaha negara terdiri dari subjek

yang bersengketa dan objek yang disengketakan.46

2.3.1 Subjek Sengketa TUN

Subjek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum privat di

satu pihak dan Badan atau Pejabat TUN dilain pihak.47Dalam hal ini orang

atau badan hukum privat bertindak sebagai pihak penggugat dan Badan atau

Pejabat TUN bertindak sebagai pihak tergugat.

Dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN menyebutkan bahwa: “seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi”. Pada penjelasan pasal ini, UU PTUN menegaskan bahwa:

a. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4, maka hanya orang atau

badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subjek hukum

saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN untuk

menggugat KTUN;

45

Eny Kusdarini,Op.cit, h. 157..

46

W. Riawan Tjandra,Op.cit, h. 17.

(7)

b. Badan atau Pejabat TUN tidak dapat mengajukan gugatan ke

Pengadilan TUN untuk menggugat KTUN;

c. Hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya

terkena oleh akibat hukum KTUN yang dikeluarkan dan

karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan

menggugat KTUN.

UU PTUN tidak menganut prinsip actio popularis yaitu suatu prinsip yang memberikan hak menggugat kepada setiap orang atau setiap

penduduk.48Orang disini mencakup orang (nature person) dan orang (legal person).

Dalam UU PTUN tidak menjelaskan secara terperinci mengenai orang

(nature person) yang dapat menjadi penggugat (subjek sengketa TUN). Sehubungan dengan hal tersebut, Indroharto berpendapat bahwa karena UU

PTUN belum mengatur hal tersebut, maka apa yang berlaku dalam hukum

acara perdata dapat diterapkan disini. 49 Berdasarkan pendapat yang

dinyatakan oleh Indroharto, maka “orang” disini haruslah sudah dewasa dan

tidak sedang di bawah pengampuan.

Sedangkan mengenai orang (legal person) yaitu badan hukum perdata yang dapat berkedudukan sebagai pihak penggugat dalam lingkup PTUN

adalah badan hukum atau perkumpulan atau organisasi atau korporasi dan

sebagainya yang didirikan menurut ketentuan hukum perdata yang

merupakan badan hukum murni.50

48Ibid

., h. 18.

(8)

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU PTUN:“tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”. Dijelaskan pada Pasal 1 angka 2 bahwa: “Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan undang-undang yang berlaku”. Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 1 angka 2 tersebut, ukuran untuk

dapat menganggap apa dan siapa saja yang dimaksud dengan Badan atau

Pejabat TUN ialah asal apa dan siapa saja berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku melaksanakan suatu urusan pemerintah.51 Badan

atau Pejabat TUN juga mencakup apa dan siapa saja diluar aparat resmi

negara (pihak swasta) berdasarkan suatu perundang-undangan tertentu

diberi tugas untuk melaksanakan suatu tugas/fungsi urusan pemerintahan.

Kriteria ini adalah kriteria fungsional. Menurut Utrecht, agar dapat berjalan

(menjadi konkrit (concreet) = menjadi bermanfaat bagi negara), maka jabatan (sebagai personifikasi hak dan kewajiban) memerlukan suatu

perwakilan, yang dijalankan oleh penjabat yaitu manusia atau badan hukum.

Oleh karena diwakili pejabat, maka jabatan tersebut dapat berjalan. Hak dan

kewajiban yang didukung oleh jabatan dijalankan oleh penjabat. Jabatan

bertindak dengan perantaraan penjabatnya.52

Indroharto menegaskan bahwa siapa saja dan apa saja yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang

51

Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h. 31.

52

(9)

melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan, maka ia dapat dianggap

berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN.53

Perlu untuk diperhatikan bahwa tidak selalu tindakan hukum dari

Badan atau Pejabat TUN merupakan tindakan hukum TUN, tetapi tindakan

hukum dari Badan atau Pejabat TUN yang menimbulkan akibat hukum

mengenai urusan pemerintahan saja yang merupakan tindakan hukum

TUN.54

Dari penjelasan di atas untuk menentukan siapa yang harus digugat

dengan adanya wewenang yang ada pada jabatan Tata Usaha Negara

(selanjutnya disebut jabatan TUN), harus diketahui lebih dahulu apakah

wewenang tersebut merupakan delegasi atau mandat. Apabila bersifat

mandat maka yang harus digugat adalah jabatan TUN yang memberikan

mandat sedangkan jika bersifat delegasi yang harus digugat adalah jabatan

TUN yang menerima delegasi tersebut.

2.3.2 Objek Sengketa TUN

Objek sengketa TUN adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan

atau Pejabat TUN.55Pada Pasal 1 angka 3 UU PTUN menyatakan bahwa:

KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang di keluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat

53

Indroharto,Op.cit, h.166.

54

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h 28.

55

(10)

konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

Dalam pengertian KTUN terdapat beberapa unsur yang merupakan

bagian dari KTUN yang tidak dapat dipisahkan. Unsur-unsur tersebut

adalah:

a. Penetapan tertulis;

Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 3 UU PTUN,

Penetapan tertulis menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk

keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN. KTUN

tersebut harus berbentuk tertulis, karena untuk memudahkan bagi

pembuktian.

b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN;

Badan atau Pejabat TUN yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk

melaksanakan urusan pemarintahan, sehingga dapat mengeluarkan

KTUN. Wewenang tersebut yang ada pada Badan atau Pejabat

TUN dapat diperoleh dengan cara atribusi, delegasi atau mandat.56

c. Berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan

perundang-undangan;

Merupakan tindakan dari Badan atau Pejabat TUN yang

dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku,

yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan

terhadap seseorang atau badan hukum perdata. Karena tindakan

56

(11)

Badan atau Pejabat TUN atas dasar peraturan

perundang-undangan yang dapat menimbulkan akibat hukum, maka tindakan

tersebut dapat dikatakan tindakan hukum publik sepihak.57

d. Bersifat konkret, individual dan final;

Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam

KTUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat

ditentukan.

Bersifat individual, artinya KTUN itu tidak ditujukan untuk

umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju.

Bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat

menimbulkan akibat hukum.

e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

perdata.

Yang dimaksud dengan “menimbulkan akibat hukum”

adalah menimbulkan akibat hukum TUN, karena penetapan

tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang

menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan hukum

TUN.

Akibat Hukum TUN dapat berupa:58

1) Menguatkan suatu hukum atau keadaan hukum yang telah ada

(declaratoir).

2) Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum

yang baru.

57Ibid

., h. 27-28.

58Ibid

(12)

3) Menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan

hukum yang telah ada.

4) Menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan

hukum yang baru.

2.4

Penyelesaian Sengketa Melalui PTUN

Dalam penyelesaian sengketa dalam PTUN, memiliki beberapa tahapan

yang harus dilakukan oleh para pihak. Berdasarkan UU PTUN terdapat tiga

pemeriksaan yaitu pemeriksaan dengan acara biasa, acara pemeriksaan singkat

dan pemeriksaan dengan acara pemeriksaan cepat.

2.4.1 Pemeriksaan Dengan Acara Biasa

Pihak yang merasa dirugikan oleh KTUN dapat mengajukan gugatan

kepada PTUN yang berwenang.59Gugatan dapat diajukan selama sembilan

puluh hari terhitung sejak saat diterimanya dan diumumkannya Keputusan

Badan atau Pejabat TUN.

Apabila gugatan diterima, maka pengadilan menentukan hari sidang.

Jika penggugat dan kuasanya dalam sidang pertama dan pada pada sidang

kedua tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, maka

gugatan yang diajukan oleh penggugat dinyatakan gugur.

Jika tergugat tidak datang dalam dua kali sidang maka, Hakim Ketua

Sidang mengirimkan surat penetapan meminta atasan tergugat

memerintahkan tergugat untuk hadir dalam persidangan dan/atau

59

(13)

menanggapi gugatan. Jika telah lewat dua bulan sesudah dikirimkan surat

tercatat penetapan tidak menerima berita dari tegugat atau atasan tergugat,

maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan

pemeriksaan sengketa dengan acara biasa tanpa hadirnya tergugat.

Pemeriksaan sengketa dimulai dari pembacaan isi gugatan dan surat

yang memuat jawabannya, jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat

diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya. Demi kelancaran

pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang dalam sidang berhak

memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai

upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam

sengketa. Selama pemeriksaan eksepsi tentang kewenangan absolut

pengadilan dapat diajukan. Eksepsi yang dapat dilakukan dalam sengketa

TUN oleh tergugat dapat diklasifikasikan atas dua (2) kelompok, yaitu:60

a. Eksepsi prosesual ialah eksepsi yang didasarkan atas hukum

acara (procesuele exceptie):

1) Eksepsi hakim tidak berkuasa memeriksa gugatan yang

diajukan penggugat;

2) Eksepsi perkara telah diputus oleh hakim dan mempunyai

kekuatan tetap, sehingga berdasarkan asas nebis in idem, perkara itu tidak dapat diadili lagi;

3) Eksepsi penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai

subjek penggugat;

4) Eksepsi tentang lewatnya waktu;

60

(14)

5) Eksepsi tidak lengkapnya subjek tergugat;

6) Eksepsi tentang sengketa masih tergantung atau masih dalam

proses pengadilan atau belum berkekuatan tetap.

b. Eksepsi didasarkan atas hukum materiil (materiele exceptie), meliputi:

1) Dilaroire exceptie ialah eksepsi yang mengatakan bahwa tuntutan penggugat belum dapat dikabulkan berhubung

dengan misalnya eksepsi tentang gugatan kabur atau tidak

terang;

2) Peremptiore exceptie, ialah eksepsi yang tetap menghalangi dikabulkannya tuntutan penggugat.

Setelah pemeriksaan dilakukan maka dilanjutkan ke tahap

pembuktian, dimana tahap ini sangat menentukan putusan dalam proses

pengadilan. Pasal 100 UU PTUN menjelaskan mengenai alat-alat bukti

yang dapat dipergunakan dalam pembuktian di PTUN adalah:

a. Surat atau tulisan;

Surat sebagai alat bukti terdiri dari tiga jenis, yaitu:

1) Akta otentik;

2) Akta di bawah tangan; dan

3) Surat-surat lain yang bukan akta.

b. Keterangan ahli;

c. Keterangan saksi;

d. Pengakuan para pihak;

(15)

Jika pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, maka kedua belah

pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir

berupa kesimpulan dari masing-masing pihak. Suatu kesimpulan biasanya

berisikan hal-hal sebagai berikut:61

a. Kesimpulan jawab-menjawab;

b. Kesimpulan dan bukti-bukti tertulis;

c. Kesimpulan dan saksi.

Tahap terakhir adalah putusan Pengadilan TUN yang diucapkan

pada sidang terbuka untuk umum dan harus dihadiri oleh para pihak.

2.4.2 Acara Pemeriksaan Singkat

Pemeriksaan dengan acara singkat ialah prosedur acara yang

digunakan untuk memeriksa perlawanan dari penggugat terhadap

penetapan Ketua Pengadilan dalam rapat permusyawaratan.62Jadi, acara

singkat ini digunakan sebagai bentuk perlawanan dari penggugat yang

merupakan reaksi atas hasil rapat permusyawaratan yang berupa penolakan

gugatan.

Berdasarkan Pasal 62 ayat (4) UU PTUN, acara singkat

dipergunakan untuk:

a. Pemeriksaan perlawanan;

b. Pemutusan terhadap upaya perlawanan.

61Ibid

., h. 117.

62Ibid

(16)

Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka

penetapan yang men-dismis gugatan penggugat gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara

biasa.63

2.4.3 Acara Pemeriksaan Cepat

Permohonan gugatan dapat dikabulkan atau tidak selama empat

belas hari setelah diterimanya permohonan gugatan. Pemeriksaan dengan

acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal. Tenggang waktu untuk

jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing

ditentukan tidak melebihi empat belas hari.

2.4.4 Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap

yang dapat dilaksanakan.64

Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima tergugat dan tergugat

tidak melaksanakan kewajibannya untuk mencabut KTUN, mencabut dan

menerbitkan KTUN baru atau menerbitkan KTUN baru, maka KTUN

yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.65

Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban

mencabut KTUN dan menerbitkan KTUN baru, dan kemudian setelah 90

(sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan,

63

Pasal 62 ayat (5), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

64

Pasal 115, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

65

(17)

maka penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan

agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan

pengadilan tersebut.66

Jika tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang

bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang

dan atau sanksi administratif. Jika masih tidak bersedia melaksanakan

putusan tersebut akan diumumkan ke media massa cetak setempat oleh

penitera. Selain diumumkan di media massa cetak setempat, ketua

pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang

kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut

melaksanakan putusan pengadilan dan kepada lembaga perwakilan rakyat

untuk menjalankan fungsi pengawasan.

2.5

Jenis Putusan Pengadilan TUN

Putusan Pengadilan TUN merupakan bagian akhir dalam

pemeriksaan sengketa, dimana putusan ini menjadi penentu apakah tindakan

Badan atau Pejabat TUN dalam mengeluarkan KTUN benar atau salah.

Secara umum Putusan Pengadilan harus mencerminkan 4 (empat)

kriteria pokok dari asas-asas peradilan yang baik, sebagaimana diutarakan

Pleh de Waard, yaitu:67

66

Pasal 116 ayat (3), Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

67

(18)

a. Decisie beninsel (right to a decision), asas bahwa seorang hakim harus menjatuhkan putusan dan di dalam tenggang waktu yang

pantas. Termasuk disini hak setiap orang untuk mengajukan

gugatan (perkara) dan larangan bagi hakim untuk menolak

mengadili/memeriksa perkara, kecuali ditentukan oleh

undang-undang.

b. Verdidigings beginsel (a fair hearing), asas bahwa setiap pihak yang berperkara berhak atas kesempatan membela diri (prinsip

audi et alteram partem), dan bahwa kedua belah pihak juga harus mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama dalam

mengetahui, mengajukan berkas-berkas pembuktian, dan

memperolah informasi.

c. Onpartijdigheids beginsel (no bias), asas bahwa putusan dijatuhkan secara objektif, tidak dipengaruhi oleh

kepentingan-kepentingan pribadi atau angota-anggota instansi peradilan,

ataupun didasarkan atas motif-motif yang tidak bersifatzakelijk

(?), ataupun adanya kontak (hubungan) secara tersembunyi dari

salah satu pihak atau diluar perkara dengan hakim, sehingga

menyimpang dari prosedur semestinya.

d. Motiverings bginsel (reasons and argumentations of decision), asas bahwa putusan hakim harus memuat alasan-alasan hukum

yang jelas dan dapat dimengerti, serta bersifat konsisten dengan

penelaran hukum yang runtut. Sekalipun bagi hakim ada

(19)

putusannya, namun kesemuanya itu harus didasarkan pada

argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti

(controlerbaarheid).

Berdasarkan prosesnya, putusan pengadilan dapat diklasifikasikan

atas:

1. Putusan Akhir.

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa

atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan

akhir terdiri dari:

a. Putusan akhir yang bersifat menghukum (condemnatoir). Putusan ini adalah putusan yang bersifat menghukum pihak

yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi, meliputi:

memberi, berbuat dan tidak berbuat.68

Misalnya, tergugat dibebani untuk membatalkan surat

keputusan yang digugat. Tergugat dibebani membayar ganti

rugi atau melakukan rehabilitasi.

Contoh:

Dalam Putusan Pengadilan TUN Semarang No.

002/G/2016/PTUN.SMG, yaitu perlawanan antara dr. H.

MUHAMMAD DJUFRIE As, SKM., (Penggugat) dengan

Plt. KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAERAH

PROPINSI JAWA TENGAH (Tergugat) yang menjadi objek

gugatan adalah Pengembalian Dokumen Permohonan Ijin

68Ibid

(20)

Operasional Rumah Sakit Islam Surakarta Kelas B. Dalam

amar putusan terdapat beberapa poin yang diputuskan oleh

hakim ketua yaitu:

1) Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;

2) Menyatakan batal Keputusan Tata Usaha Negara berupa

Surat Plt. Kepala Badan Penanaman Modal Daerah

Provinsi Jawa Tengah Nomor : 445/36 tertanggal 7

Januari 2016 Perihal : Pengembalian Dokumen

Permohonan Izin Operasional RS Islam Surakarta Kelas

B;

3) Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Keputusan

Tata Usaha Negara berupa Surat Plt. Kepala Badan

Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor

: 445/36 tertanggal 7 Januari 2016 Perihal : Pengembalian

Dokumen Permohonan Izin Operasional RS Islam

Surakarta Kelas B, dan menerbitkan Perubahan Izin

Operasional Rumah Sakit Islam Surakarta Kelas B yang

dimohonkan Penggugat melalui suratnya Nomor :

6.433/A-3/DIRUT/IX/2015 tertanggal 28 September

2015 Perihal : Permohonan Proses Lanjut Perubahan Izin

Operasional Rumah Sakit Islam Surakarta Kelas B;

4) Membebankan kepada Tergugat dan Tergugat II

(21)

ini sebesar Rp. 258.500 (Dua ratus lima puluh delapan

ribu lima ratus rupiah).

b. Putusan akhir yang bersifat menciptakan (constitutif). Putusan ini adalah putusan yang meniadakan atau

menciptakan keadaan hukum.69

Misalnya, tergugat selain dibebani kewajiban yang harus

dilakukan juga dibebani kewajiban untuk menerbitkan

KTUN yang baru.

Contoh:

Putusan Pengadilan TUN Semarang NOMOR :

40/G/2012/PTUN.Smg. yaitu perlawanan antara

FACHRIANOOR (Penggugat) dengan KEPALA DESA

CANGKRING KECAMATAN KARANGANYAR

(Tergugat I) dan SUYIGNO (Tergugat II) mengenai Surat

Keputusan Kepala Desa Cangkring – Kecamatan

Karanganyar – Kabupaten Demak Nomor : 141 / 07 / 2012

yang tidak menghalangi saudara penggugat untuk bisa

dinyatakan sebagai anggota dalam perangkat desa. Dalam

amar putusan menegaskan bahwa:

1) Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;

2) Menyatakan batal Surat Keputusan Kepala Desa

Cangkring, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak

Nomor :141/07/2012 tertanggal 23 Mei 2012 tentang

69Ibid

(22)

Pengangkatan Saudara Suyigno sebagai Perangkat Desa

Cangkring, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak

beserta lampirannya;

3) Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Kepala

Desa Cangkring, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten

Demak Nomor :141/07/2012 tertanggal 23 Mei 2012

tentang Pengangkatan Saudara Suyigno sebagai

Perangkat Desa Cangkring Kecamatan Karanganyar

Kabupaten Demak beserta lampirannya;

4) Memerintahkan kepada Tergugat menerbitkan Keputusan

tentang Pengangkatan Saudara Fachrianoor sebagai

Perangkat Desa Cangkring, Kecamatan Karanganyar

Kabupaten Demak dengan jabatan sebagai Kadus III;

5) Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi untuk

membayar biaya yang timbul dalam perkara ini secara

tanggung renteng sebesar Rp. 337.500,- (Tiga ratus tiga

puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).

c. Putusan yang bersifat pernyataan (dedclaratoir) adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan

apa yang sah.70

Misalnya, penetapan dismisal, gugatan tidak diterima

(ditolak).

Contoh:

70Ibid

(23)

Putusan Pengadilan TUN Semarang NOMOR: 23/G

/2012/PTUN.SMG. yaitu perlawanan antara THONTOWI

JAUHARI (Penggugat) dengan GUBERNUR JAWA

TENGAH (Tergugat) mengenai Keputusan Gubernur Jawa

Tengah Nomor 170/14 Tahun 2012 Tentang Peresmian

Pemberhentian Dan Peresmian Pengangangkatan Wakil

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Boyolali

Masa Bakti Tahun 2009 -2014, tanggal 28 Maret 2012. Pada

amar putusan menegaskan bahwa:

1) Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet

ontvankelijk verklaard);

2) Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp. 226.500,- (Dua ratus dua puluh enam ribu

lima ratus rupiah).

2. Putusan sela atau putusan antara.

Putusan ini berfungsi untuk memperlancar pemeriksaan perkara.

Ditinjau dari kekuatan putusan, maka terdapat tiga macam kekuatan

yang terdapat pada putusan hakim, yaitu:71

1. Kekuatan mengikat

Putusan hakim yang telah bersifat tetap, tidak dapat digunakan

upaya hukum lagi atau telah pasti memiliki kekuatan mengikat.

Putusan hakim di PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap

71Ibid

(24)

memiliki kekuatan mengikat erga omnes, artinya dapat berlaku bagi siapa saja tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.

2. Kekuatan eksekutorial

Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap pada

umumnya dapat dijalankan, sehingga disebut telah memiliki

kekuatan eksekutorial.

3. Kekuatan pembuktian

Kekuatan pembuktian putusan pengadilan itu sejajar dengan akta

otentik, sehingga selalu diakui kebenarannya sepanjang telah

berkekuatan hukum tetap.

Dalam penulisan karya tulis ini, penulis berfokus kepada putusan

akhir Pengadilan TUN yang bersifat menghukum (condemnatoir). Karena dalam putusan yang bersifat menghukum terdapat suatu keharusan bagi

Pejabat TUN untuk melakukan kewajiban yang telah diputuskan dalam

Referensi

Dokumen terkait

Ganti rugi dalam Islam adalah harga rugi yang diberikan itu harus sesuai dengan harga yang dijual dalam konsep jual beli juga terdapat hak suf’ah yaitu hak

Majelis taklim Khairunnida atau biasa disebut majelis taklim Khairunnida Babuttarbiyah merupakan salah satu lembaga non formal yang berada di RW.04 Kelurahan

Rencana Strategis (Renstra) Politeknik Negeri Tanah Laut (Politala) Tahun 2020- 2024 ini merupakan penjabaran program, kegiatan, sasaran, dan indikator kinerja dalam upaya untuk

Sebuah workstation minimal mempunyai ; Kartu jaringan, Aplikasi jaringan (sofware jaringan), kabel untuk menghubungkan ke jaringan, biasanya sebuah workstation tidak

Menganalisis hasil penelitian (data yang diperoleh) dengan menggunakan pendekatan yang telah ditentukan antara lain, mengaitkan hasil penelitian dengan teori yang

 Analisa Kelayakan Finansial  Penilaian Kemampuan Organisasional  Pengorganisasian Pengembangan Usaha Mandiri  Menyimak kuliah dari dosen, bertanya jawab, mengerjakan

Informasi lebih lengkap mengenai perbedaan atau selisih antar gerakan disajikan pada Tabel III yang menunjukkan dengan detail prosentase selisih antar gerakan yang