• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB I"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32 persen orang miskin tinggal di wilayah perkotaan (Morrell, dkk. 2008:1). Sebagian penduduk miskin perkotaan bekerja pada sektor informal, yang pertumbuhannya sudah melebihi sektor formal (Manning and Roesad 2006). Sektor informal menjadi pilihan terakhir warga urban (kota) maupun tenaga kerja pedesaan yang tidak berpendidikan dan tidak berketerampilan yang tidak terserap di sektor formal (Bhowmik 2005; Noer Effendi 2005).

Para urban yang tidak berpendidikan dan tidak terampil terpaksa masuk ke sektor informal, dilaporkan pula oleh Sethuraman dan Davis dalam penelitiannya di Ghana. Menurut Sethuraman (1976), para urban yang tidak memiliki keterampilan yang memadai terjun ke sektor informal disebabkan oleh ketidakmampuan sektor formal menyerap mereka. Demikian pula, Davis (2008) menyebutkan bahwa pedagang kaki lima merupakan bagian tak terpisahkan dari sektor ekonomi informal. Sektor ekonomi informal ini tumbuh di negara-negara berkembang, termasuk di Ghana, karena pembangunan ekonomi yang direncanakan tidak menciptakan pekerjaan yang mencukupi untuk mengurangi tingkat pengangguran.

(2)

terjadinya krisis ekonomi (Ari 2008:12). Krisis yang menghantam bangunan ekonomi Indonesia mengakibatkan jumlah pengangguran mencapai titik kritis. Hal ini terjadi karena selama krisis berlangsung, para pekerja sektor konstruksi, perdagangan, industri, dan keuangan, banyak ke luar atau meninggalkan pekerjaan, karena mereka di-PHK atau perusahaan tidak beroperasi lagi karena bangkrut atau dilikuidasi (Noer Effendi 2005).

ILO (1998) memperkirakan bahwa sekitar 5,4 juta pekerja formal yang bergerak di bidang jasa, manufaktur, dan konstruksi diberhentikan dari pekerjaannya sebagai akibat krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Kondisi serupa juga terjadi di Thailand. Krisis ekonomi yang melanda Thailand dan tingginya biaya hidup, menyebabkan pedagang kaki lima menjadi solusi bagi mereka yang menganggur yang terkena dampak krisis (Nirathron 2006).

Kenaikan harga barang dan jasa membuat para penganggur dan mereka yang miskin sulit melakukan penyesuaian diri, apalagi untuk bertahan hidup tanpa penghasilan yang pasti. Solusinya adalah mereka masuk ke sektor informal agar dapat bertahan hidup (Bhowmik 2005).

(3)

pekerjaan tersebut, maka suplai tenaga kerja dan pengusaha ke sektor informal meningkat.

Relatif kuatnya daya tahan sektor informal selama krisis, disebabkan pula oleh tingginya motivasi pengusaha kecil sektor tersebut mempertahankan kelangsungan usahanya. Hal ini dapat dipahami, sebab bagi banyak pelaku ekonomi dari kalangan masyarakat golongan ekonomi lemah, sektor informal merupakan satu-satunya sumber penghasilan dan penghidupan mereka.

Berbeda dengan mereka yang bekerja pada sektor formal, para pengusaha kecil sektor informal sangat adaptif menghadapi perubahan situasi dalam lingkungan usaha mereka. Sementara itu, banyak pengusaha menengah ke atas yang bangkrut tidak mampu beradaptasi dengan kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan. Rumah makan Bakul Deso dan bengkel mobil Suzuki “Pulung Abadi” di Semarang pada tahun 2011 gulung tikar.

Jauh sebelum ini, beberapa pasar Swalayan juga bangkrut, seperti Golden Swalayan yang gulung tikar, karena kalah bersaing dengan Pasaraya Sri Ratu, demikian pula Mickey Mouse Swalayan di Depok Semarang, dan Matahari Swalayan di depan pasar Johar Semarang. Ada juga beberapa hotel yang bangkrut, yaitu hotel Siranda, yang tempatnya berada di pusat kota Semarang dan hotel Rama yang berada di belakang pasar Johar. Hotel Dibya Puri, hotel Jelita, dan hotel Patimura di dekat pasar Johar juga diragukan apakah dapat bertahan di tengah persaingan bisnis perhotelan di Semarang.

(4)

antara mereka yang eksis hingga kini dengan menempati lokasi PKL barang klitikan di jalan Barito dan Kokrosono.

Sejak kebijakan desentralisasi yang memberi kewenangan kepada daerah untuk meningkatkan penghasilannya melalui pendapatan asli daerah (PAD), sektor ekonomi informal dalam posisi yang tidak menguntungkan, karena kebijakan pemerintah daerah lebih berpihak kepada para investor yang mengelola kegiatan ekonomi formal (Morrell 2008). Pemerintah kota Semarang merupakan salah satu contoh daerah yang lebih memusatkan perhatian pada kepentingan investor. Tumbuh pesatnya bisnis hotel, ritel, properti, kuliner, dan pusat-pusat hiburan merupakan indikasi dari hal ini.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) kota Semarang Tahun 2005-2025, pemerintah kota Semarang mendukung penciptaan kebijakan pemerintah yang pro-investasi, yakni dengan menciptakan iklim yang kondusif bagi investor dalam negeri dan luar negeri dalam segala hal (Perda Nomor 6 Tahun 2010). Sesuai dengan kebijakan SETARA dari walikota Semarang, pemerintah pada tahun 2010 mentargetkan kerjasama pengelolaan aset dengan investor

sebesar 75%

(http://semarangkota.go.id/cms/index.php?option=com_content &task=view&id=34&Itemid=53). Pemihakan kepada investor tidak terelakkan, karena pemerintah daerah menggunakan paradigma neoliberalisme dalam melaksanakan aktivitas pembangunan (Mulyaningsih, dkk. 2009).

(5)

revival of liberalism atau salah satu jenis dari kebangkitan liberalisme.

Ideologi neoliberal berasal dari Washington Consensus yang mengkampanyekan bahwa dengan pasar bebas, umat manusia akan memasuki gerbang pintu keemasan yang membahagiakan (Wibowo 2010). Imperatif neoliberalisme tersebut berakar dari filsafat ekonomi neoliberal yang mereduksi manusia semata-mata sebagai makhluk ekonomi atau homo oeconomicus. Pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus diaplikasikan ke dalam semua aspek hidup manusia, bahkan sampai pada pengorganisasian masyarakat.

Diversifikasi homo oeconomicus ke dalam semua aspek kehidupan manusia dan pengorganisasian masyarakat inilah yang membedakan mazhab neoliberal dari aliran liberalisme klasik. Mazhab neoliberal memandang manusia semata-mata sebagai makhluk ekonomi, maka tidak salah kiranya jika aliran ini berpihak kepada kebijakan yang mendukung liberalisasi perdagangan, privatisasi, deregulasi, iklim kompetisi, serta liberalisasi finansial dan perbankan (Sumodiningrat 2009:36; Notonagoro 2011). Berdirinya hotel-hotel besar, pasar swalayan, mall, dan apartemen merupakan aplikasi dari kebijakan neoliberal pemerintah.

(6)

sektor informal ketimbang memberdayakannya. Padahal betapa pun kecilnya, sektor informal, khususnya pedagang kaki lima memiliki kontribusi dalam aspek ekonomi.

“Kita memang pedagang kecil pak…keberadaan kita tidak dianggap oleh pemerintah, padahal meskipun kecil, selama ini kita juga membayar iuran secara rutin…berarti ada uang yang masuk ke kas pemerintah..., meskipun sedikit uang kita kan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah”, demikian ungkap pak Achmad (wawancara dengan pak Achmad, Minggu, 13 Juni 2010).

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu pelaku sektor informal yang diperlakukan pemerintah secara tidak seimbang. Cukup banyak pemerintah daerah yang tidak mengakui PKL sebagai salah satu pelaku sektor ekonomi yang mendukung kinerja ekonomi daerah. Hal ini dibuktikan dari masih banyaknya PKL liar yang tidak didaftar atau dilegalisasi oleh pemerintah. PKL dipandang bagian dari problem perkotaan, sehingga kebijakan pemerintah daerah tidak berpihak kepadanya. Hal ini didukung oleh penelitian Kadir (2010) yang menunjukkan bahwa PKL dianggap sebagai penyebab permasalahan kota, sehingga harus disingkirkan dari atau tidak diperbolehkan menjalankan aktivitas ekonomi di ruang publik yang dipandang akan mengganggu kenyamanan masyarakat.

(7)

dan ketertiban kota (Mulyaningsih, dkk. 2009). Namun demikian, PKL yang lebih banyak menjajakan barang murah (di antaranya barang-barang bekas) dan jasa yang terjangkau biayanya, sangat dibutuhkan oleh warga kota yang memiliki penghasilan pas-pasan (Destombes 2010:23). PKL dibenci oleh penguasa, tetapi di lain pihak mereka dirindukan oleh warga kota yang memiliki pendapatan rendah.

Perlakuan pemerintah kota Semarang terhadap PKL tidak jauh berbeda dengan sikap dan perlakuan pemerintah kota terhadap PKL di negara berkembang lainnya di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Di Semarang, problematika PKL ini menjadi pekerjaan rumah dan dilema bagi pemerintah kota. Di satu sisi, pemerintah kota menginginkan kota harus bersih, indah, dan nyaman, sehingga dapat menjadi ruang publik yang sehat bagi seluruh warga kota. Pada sisi lain, PKL butuh hidup dan menghidupi keluarganya, oleh karenanya mereka tidak dengan mudah dipindahkan dari tempatnya mencari rezeki.

(8)

Seiring dengan perkembangan pesat kota Semarang dalam 15 tahun terakhir, PKL dengan mudah dapat dijumpai, mulai dari tengah kota hingga pinggiran kota. Keberadaan PKL bagai jamur di musim penghujan. Mereka tersebar di seluruh kecamatan yang ada di kota Semarang. PKL yang menempati ruang-ruang publik di kota Semarang meliputi PKL yang terorganisasi (sesuai Perda) maupun PKL yang tidak terorganisasi (tidak sesuai Perda). Menurut data Dinas Pasar kota Semarang, jumlah pedagang kaki lima pada tahun 2009 mencapai 11.414 dengan rincian 7.419 sesuai Perda No. 11 Tahun 2000, SK Walikota Semarang Nomor 130.2/339 Tahun 2000 dan SK Walikota Nomor 511.3/16 Tahun 2001 dan 3.995 PKL tidak sesuai Perda dan SK Walikota tersebut. Rincian selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Jumlah Pedagang Kaki Lima di Semarang Tahun 2009

No. Kecamatan Jumlah PKL dengan Pak Azis, Rabu, 29 Februari 2012

(9)

dengan pak Azis, Rabu, 29 Februari 2012). Kenaikan tersebut tidak diketahui berapa peningkatan PKL yang sesuai dengan Perda dan berapa pula peningkatan jumlah PKL yang tidak sesuai dengan Perda. Tingkat mobilitas yang tinggi dari PKL liar atau tidak sesuai dengan Perda, tidak diperhitungkan oleh Dinas Pasar dalam menghitung kenaikan jumlah PKL, sehingga jumlah PKL pada tahun 2012 bisa saja melebihi angka statistik PKL yang disusun oleh Dinas Pasar kota Semarang.

Atas nama pembangunan dan dalam rangka mengejar pertumbuhan investasi, Pemkot Semarang melakukan penataan kota dengan fasilitas yang memadai untuk menarik investor. Untuk memberi rasa aman dan nyaman kepada investor, Pemkot melakukan penataan PKL dengan mengeluarkan Perda nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda PKL tersebut lebih banyak berfungsi mengatur dan membina PKL daripada memberdayakan PKL. Hak-hak PKL tidak banyak diatur dalam Perda tersebut. Dari 15 pasal, sebanyak 11 pasal, yaitu pasal 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan 13 memberikan kewenangan kepada walikota untuk mengatur, membina, mewajibkan, melarang, dan menjatuhkan sanksi hukum (pidana) dan administrasi kepada PKL yang dinilai melanggar ketentuan Perda. Sementara itu, hak PKL hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 6. Dalam pasal tersebut, setiap PKL mempunyai hak untuk (1) mendapatkan pelayanan perizinan, (2) penyediaan lahan lokasi PKL, (3) mendapatkan pengaturan dan pembinaan.

(10)

Anatomi Perda nomor 11 tahun 2000 yang lebih banyak mengedepankan kewajiban, larangan, dan sanksi, menunjukkan betapa Pemkot kurang berpihak kepada kepentingan ekonomi masyarakat golongan ekonomi lemah. Seiring dengan kebijakan menjadikan kota Semarang sebagai pintu gerbang Jawa Tengah, Pemkot melakukan penataan fisik kota, sehingga ruang publik di berbagai pojok kota ditata, dirapikan, dan diperindah. PKL yang menempati ruang publik yang dipandang merusak wajah kota, ditertibkan. Sebaliknya, pengusaha yang memberi kontribusi bagi pengembangan kota Semarang sebagai pusat perdagangan dan jasa, diberi fasilitas untuk mengembangkan bisnis di kota Semarang.

Perda nomor 11 tahun 2000 menjadi payung hukum bagi Pemkot Semarang untuk melakukan penertiban terhadap PKL. Hal ini dilakukan agar keberadaan PKL tidak mengganggu kebutuhan warga masyarakat lainnya dan kepentingan investor. Penegakan peraturan yang dilakukan oleh Pemkot dengan melakukan penertiban terhadap PKL tidak salah, karena memang sudah sepatutnya pemerintah menertibkan pedagang yang menempati ruang publik yang dirasa dapat mengganggu ketertiban dan keamanan. Tindakan penertiban yang disertai dengan penggusuran dan kekerasan terhadap PKL, merupakan implementasi Perda yang tidak dapat dibenarkan baik dilihat dari aspek hukum, hak asasi manusia, maupun rasa keadilan.

(11)

PKL Kokrosono, yang lokasinya dekat dengan bantaran kali Banjir Kanal Barat, pertama kali digusur serta dibongkar bangunan dan lapaknya pada tahun 2000. Meskipun demikian, banyak di antara mereka kembali ke tempat usaha semula. Sesungguhnya mereka sudah dibuatkan tempat usaha baru, yaitu sentra PKL Kokrosono, yang berada di wilayah utara Kokrosono (sebelah utara rel kereta api), tetapi karena usahanya sepi semenjak menempati kios baru, mereka kembali turun ke jalanan menjajakan barang dagangan atau menjual jasanya.

“Kalau sepi begini…mana bisa hidup…uang dari mana untuk makan, terpaksa kita jualan di tepi jalan”, demikian ungkap pak haji Mustaqim (wawancara dengan haji Mustaqim, 17 Juli 2010).

Pak Achmad, ketua paguyuban PKL Basudewo juga membenarkan apa yang disampaikan oleh pak haji Mustaqim.

“Lokasi PKL Kokrosono yang berada di sebelah utara rel kereta api memiliki 8 bangunan berlantai dua. Memang kelihatannya enak pak, tetapi di sana banyak bermain para preman, sehingga para pedagang takut pindah ke sana”, timpal pak Achmad (wawancara dengan Achmad, 20 Juli 2010).

(12)

Wilayah Sampangan merupakan tempat favorit para PKL, karena letaknya strategis, yakni di sekitarnya terdapat Pom Bensin, Akademi Komputer GEGA, Akademi Sekretaris Santa Maria, pasar tradisional Sampangan, toko Swalayan Super, serta beberapa toko lainnya, yang pada waktu siang maupun malam ramai lalu lintasnya. Daerah periferi atau pinggiran, baik yang membentang ke arah utara maupun selatan juga sudah berkembang pesat menjadi daerah pertokoan. Perempatan Sampangan, yang di dekatnya terdapat pasar Sampangan (lama), merupakan lokasi yang tidak pernah sepi dari aktivitas ekonomi sejak pagi hingga malam hari.

Basudewo sebagai sentra PKL mebel digusur Pemkot Semarang pada bulan Juni dan Desember 2010. Namun demikian, para PKL tetap nekat menjajakan barang dagangan di bekas reruntuhan bangunan yang dihancurkan Pemkot. Meskipun akhirnya mereka harus angkat kaki dari lokasi berdagang, tetapi di sana sini masih terdapat beberapa pedagang yang menjajakan dagangannya di tengah lalu lalang kendaraan proyek normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.

(13)

Pedagang Kaki Lima (PKL) yang oleh Dinas Pasar disebut “PKL tidak sesuai Perda dan SK Walikota” ini (PKL liar) memiliki karakteristik yang berbeda dengan “PKL yang sesuai Perda dan SK Walikota” atau PKL terorganisasi, tertata, atau tertib. PKL liar tidak hanya terdapat di sepanjang sungai Kaligarang, tetapi juga terdapat di ruas-ruas jalan di kota Semarang. Kepatuhan mereka terhadap kebijakan pemerintah oleh pihak Pemkot dinilai lebih rendah ketimbang PKL yang terorganisasi. Mereka ini tidak disiplin, bandel, dan sulit diatur”, kata pak Azis, Ka.Sub. PKL Dinas Pasar Semarang.

Pada saat terjadi penertiban dan penggusuran, para PKL biasanya bermain kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP. Ketika tergusur, mereka menepi. Ada beberapa yang melakukan perlawanan terhadap upaya penggusuran yang dilakukan oleh petugas Satpol PP. Setelah keadaan reda (aman), mereka kembali lagi ke tempat berdagang semula, seperti yang diperlihatkan PKL Kokrosono, Basudewo, dan Sampangan. Praktik kucing-kucingan ini merupakan taktik yang banyak digunakan PKL menghadapi tindakan penggusuran dari petugas Satpol PP. Taktik ini diperlihatkan pula oleh PKL yang berdagang di jalan Margonda Depok, sebagaimana diteliti oleh Siswono (2009). Ketika petugas keamanan datang, PKL tidak berdagang, tetapi begitu mereka pergi, PKL mulai membuka lapaknya.

(14)

Perlawanan rakyat kecil, dalam berbagai literatur, banyak dilakukan oleh kaum buruh dan petani. Gerakan perlawanan mereka bersifat masif dan banyak juga yang beralih menjadi gerakan politik.

Dalam penelitian ini dikemukakan gerakan perlawanan rakyat kecil di Amerika Latin dan di Indonesia untuk melihat mengapa rakyat kecil berani melakukan perlawanan dan apa bentuk-bentuk perlawanan mereka. Di Amerika Latin terdapat banyak gerakan perlawanan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat bawah. Gerakan perlawanan di Meksiko, Bolivia, Argentina, Brazil, dan di tempat lainnya, memberikan kontribusi positif terhadap kebijakan yang diambil pemerintah, bahkan beberapa di antaranya berhasil mengantarkan pemimpin gerakan menjadi pemimpin pemerintahan.

Di Argentina terdapat gerakan buruh yang sangat terkenal, yaitu Gerakan Buruh Pengangguran Kota Argentina (GPP). Petras (2005) melaporkan bahwa pada tahun 2001 meledak aksi nasional buruh pengangguran yang amat terorganisasi. Lebih dari 100.000 orang menyusuri 300 jalan raya di seluruh Argentina. Para buruh pengangguran berhasil mengorganisasi aksi pendudukan atas jalan raya di seluruh kota Buenos Aires.

Aksi ini berhasil, karena adanya dukungan dan kerjasama dengan berbagai serikat buruh sektoral. Aksi yang dilakukan buruh pengangguran ini diikuti pula oleh berbagai komunitas penduduk dan kelas sosial, seperti pedagang lokal, pegawai pemerintah daerah, pegawai rumah sakit, guru, pensiunan, dan kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia.

(15)

besar-besaran yang mengakibatkan terjadinya pengangguran buruh (Petras 2005).

Gerakan perlawanan lain di Amerika Latin yang memiliki kisah sukses serupa di Argentina adalah Gerakan Petani Tanpa Tanah di Brazil atau Movimento dos TrabalhadoresRurais Sem Terra/Landless Workers Movement, disingkat MST (Wilson 2005; Wolford 2005). Cita-cita utama dari MST adalah (1) berjuang untuk reformasi agraria yang mendistribusikan tanah kepada petani yang akan menggarapnya, (2) menciptakan pembangunan masyarakat yang adil dan setara (Wolford 2005). Gerakan perjuangan MST mendapatkan dukungan luas dari berbagai gerakan dan jaringan HAM, agama, dan serikat buruh.

Kemiskinan dan kelaparan di desa-desa dan kota-kota di Brazil, merupakan penyebab utama mengapa MST berjuang melawan pemerintah. Kemiskinan penduduk desa dan kota tersebut, utamanya disebabkan oleh kepemilikan tanah yang timpang antara kelompok orang kaya dan kelompok masyarakat miskin. Sebagaimana dilaporkan Wilson (2005), kelompok petani kecil yang jumlahnya 30,4% dari seluruh petani di Brazil hanya menguasai 1,5% dari seluruh tanah pertanian yang ada di Brazil; sedangkan petani kaya atau kapitalis yang jumlahnya hanya 1,6% dari jumlah petani di Brazil menguasai 53,2% dari seluruh tanah pertanian di negeri samba tersebut. Penguasaan tanah yang timpang ini diperparah lagi dengan tidak diolahnya tanah para petani kaya seluas 42,6%. Di antara pemilik tanah dengan luas 1.000 hektar ke atas, 88,7% areanya tidak dimanfaatkan. Tanah-tanah yang ditelantarkan inilah yang memicu kemiskinan dan kelaparan di Brazil.

(16)

dan suster progresif, (3) meningkatnya iklim perlawanan menentang kediktatoran militer pada akhir tahun 1970-an.

Gerakan perlawanan MST dimulai dengan aksi pendudukan tanah di Brazil di daerah selatan, utara, dan timur laut sepanjang tahun 1978 hingga 1983. Semua gerakan dilakukan secara terencana dan diorganisasi oleh para aktivis di tingkat lokal. Aliansi yang dilakukan oleh MST dengan kelompok buruh, gereja, Asosiasi Jurnalis Brazil, dan Partai Buruh Brazil (Partido do Trabalhadores), berhasil mengorganisasi 151.427 keluarga kaum tak bertanah, dan mengambil alih tanah seluas 21 juta hektar (Wilson 2005). Sungguh sebuah pencapaian yang luar biasa.

Menjelang tahun 1990-an, MST telah memiliki cabang organisasi di 23 negara bagian, dan sejak tahun 1984 MST beranggotakan 250 ribu keluarga yang tinggal di 1600 lokasi pemukiman. Jaringan sosial yang dibangun MST dengan berbagai elemen masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan gerakan perlawanan MST.

Tidak seperti halnya kebanyakan gerakan perlawanan, MST di Brazil bukan sekedar gerakan perlawanan yang begitu tujuan tercapai, mereka lalu bubar. MST berhasil membangun model ekonomi pedesaan di Brazil, yaitu:

1. melakukan reformasi agraria,

2. mengusahakan jaminan pangan bagi rakyat Brazil, 3. memperkuat pertanian keluarga,

4. mempromosikan koperasi agroindustri, 5. meningkatkan standar kehidupan, 6. membuka lapangan kerja,

7. meningkatkan akses atas pendidikan dasar,

8. membangun kebijakan untuk melindungi lingkungan hidup,

9. pengolahan tanah semi-kering,

(17)

11. pengembangan model teknologi baru, dan

12. mendukung industrialisasi padat karya (Wilson 2005).

Di Indonesia, gerakan perlawanan masyarakat terhadap pemerintah dan perusahaan yang mendapat perlindungan dari pemerintah cukup banyak. Dalam penelitian ini, diambil dua contoh gerakan perlawanan yang menyita perhatian dari media massa, yaitu gerakan perlawanan masyarakat menentang keberadaan PT. Indorayon (PT. Toba Pulp Lestari) pada tahun 1988-2000-an dan gerakan perlawanan Paguyuban Buruh Bangkit (PBB) Serang pada tahun 1999-2000.

Gerakan masyarakat melawan PT. Indorayon berlangsung di Tapanuli Utara, Sumatera Utara sejak tahun 1988. PT. Indorayon merupakan perusahaan raksasa penghasil pulp dan rayon di Indonesia. Untuk penyediaan bahan bakunya, perusahaan tersebut mengeksploitasi hutan dan lingkungan secara tidak bertanggung jawab.

Sejak awal berdirinya, PT. Indorayon ditentang dan diprotes oleh masyarakat. Penolakan tersebut didasarkan atas ketakutan masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan operasi Indorayon terhadap kelestarian lingkungan hidup dan ekonomi masyarakat (Situmorang, dkk. 2010).

(18)

Perlawanan terhadap PT. Indorayon tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga ditunjukkan oleh ibu-ibu, terutama di desa Sugapa yang merasa tanah adatnya dirampas. Gerakan perlawanan masyarakat di Tapanuli Utara memperoleh dukungan dari lembaga-lembaga agama, seperti HKBP HKI, GKPI, GKPS, dan Gereja Katolik, NGO, baik level lokal, nasional, maupun internasional, serta tokoh-tokoh intelektual, seperti Robert Simanjuntak (ITB), Tunggul Sirait (UKI Jakarta), Alexander Manurung (peneliti tanah agroklimat), Jansen Silalahi (USU Medan), J.M. Sitanggang (peneliti Agronomi) dan Bungaran Antonius Simanjuntak (Unimed). Hal ini menunjukkan bahwa jaringan sosial yang dibangun oleh gerakan memberikan peran menguatnya tuntutan masyarakat terhadap pemerintah maupun perusahaan.

Atas dukungan dari berbagai pihak tersebut, masyarakat mengajukan tuntutan agar PT. IIU ditutup. Tuntutan masyarakat yang dikenal dengan Tritura Medan itu, selengkapnya adalah sebagai berikut (1) bebaskan rakyat yang tidak bersalah, (2) tutup PT. IIU/tolak PT. TPL, dan (3) stop kekerasan, hentikan kesewenang-wenangan, dan tarik aparat keamanan dari desa-desa (Situmorang, dkk. 2010:16).

(19)

Sikap tidak konsisten dan pemihakan pemerintah terhadap investor yang telah menyengsarakan rakyat, menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Aksi perlawanan yang ditunjukkan warga Porsea dan sekitarnya bermacam-macam, mulai dari aksi duduk di Simpang Siguragura, aksi melarang masuk kendaraan yang mengangkut bahan dan kayu ke lokasi PT. TPL, aksi protes ke Kantor Camat Porsea, demonstrasi di depan Kantor Bupati, DPRD, dan PN Tarutung.

Banyak cara atau strategi yang ditempuh pemerintah dan perusahaan untuk meredam gerakan perlawanan masyarakat di Tapanuli Utara, di antaranya adalah melaksanakan program community development dengan memberi bantuan beasiswa, pemberian bibit, dan lain-lain, yang tujuannya adalah untuk meredakan kemarahan kekecewaan masyarakat. Hasilnya, tidak diduga, masyarakat terpecah menjadi dua, yaitu kelompok yang pro kehadiran PT. TPL dan kelompok yang kontra PT. TPL. Pihak perusahaan berharap agar makin banyak kelompok masyarakat yang pro atau setuju dengan kehadiran PT. TPL.

Selain ditempuh strategi pengembangan komunitas, PT. TPL juga menerapkan kekerasan guna melumpuhkan gerakan perlawanan rakyat. Aksi teror, yang disertai penggeledahan dan penangkapan terhadap sejumlah orang dan kekerasan dari aparat yang disewa perusahaan, mengakibatkan banyak dari warga masyarakat yang mati karena tertembak atau ditembak. Tindakan perusahaan tersebut, menyebabkan gerakan perlawanan melemah.

(20)

rasa dengan mengatasnamakan aliansi. Unjuk rasa tersebut memiliki tuntutan yang jelas, yaitu menuntut Bupati Serang agar menaikkan UMK sesuai dengan kebutuhan hidup layak (KHL).

Demonstrasi demi demonstrasi dilakukan oleh FSBS, hingga pada tahun 2009, tuntutan buruh Serang terpenuhi, yaitu diterbitkannya Perda Nomor 7 Tahun 2009 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun telah terbit Perda Ketenagakerjaan, tetapi karena kesejahteraan buruh belum membaik, dibuktikan dengan masih rendahnya upah yang mereka terima, FSBS bersama Aliansi Serikat Pekerja Serikat Buruh Serang (ASPSBS) mengajukan tuntutan dalam salah satu demonstrasi yang dilakukan, agar pemerintah daerah menaikkan upah minimum regional yang dapat mensejahterakan buruh.

Gerakan perlawanan wong cilik juga dilakukan oleh para pedagang kecil dengan cara atau bentuk perlawanan yang berbeda dengan strategi gerakan yang dilakukan oleh buruh atau pun petani. Banyak perlawanan buruh dan petani yang diakhiri dengan kekerasan berhadapan dengan aparat negara. Tidak jarang timbul korban jiwa. Sebagai contoh, sengketa lahan antara penduduk Mesuji Lampung dengan PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) pada bulan November 2011 telah menewaskan seorang warga dan 6 orang warga lainnya menderita luka tembak. Konflik dan kekerasan masih berlanjut dengan perlawanan lebih keras lagi dari pihak penduduk Mesuji, yang mengakibatkan terbunuhnya 3 orang dari pihak PT. BSMI (Anonim 2012:13).

(21)

model penataan yang dilakukan pemerintah, semakin keras pula perlawanan yang diberikan PKL. Sebaliknya, semakin keras sikap PKL terhadap pemerintah, berdampak pada semakin keras pula tindakan pemerintah. Dari sudut kebijakan, perlawanan yang dilakukan PKL meliputi tiga kategori.

Pertama, perlawanan yang dikembangkan untuk menolak lahirnya Peraturan daerah, dilakukan dengan melakukan demonstrasi, meminta izin secara paksa kepada camat dan lurah, membentuk paguyuban PKL, dan mencari dukungan LSM dan mahasiswa.

Kedua, perlawanan terhadap program relokasi, berupa melakukan demonstrasi, membentuk paguyuban, dan mencari dukungan LSM dan mahasiswa.

Ketiga, perlawanan terhadap penggusuran, dilakukan dengan adu mulut, memblokade jalan, mengintimidasi aparat, dan melakukan demonstrasi.

Berbagai perlawanan dilakukan oleh wong cilik, apakah mereka buruh, tani, atau pun pedagang, semuanya adalah berkaitan dengan persoalan hidup dan penghidupan mereka atau berhubungan dengan upaya kelompok masyarakat dari golongan ekonomi lemah untuk bertahan hidup (survival). Keberanian mereka melakukan perlawanan, didukung oleh organisasi atau lembaga yang memiliki power untuk melakukan perlawanan.

(22)

Berkaitan dengan kasus perlawanan yang dilakukan oleh pedagang kaki lima (PKL) di sekitar sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat tersebut, muncul pertanyaan, apakah aksi mereka merupakan “kecerdasan bertahan hidup” atau merupakan bentuk perlawanan (resistensi) wong cilik, yang dilakukan oleh PKL menghadapi kebijakan pemerintah kota yang tidak berpihak kepada mereka. Jika hal tersebut merupakan bentuk perlawanan (resistensi) rakyat kecil, faktor apa yang membuat mereka berani melakukan perlawanan. Problematika inilah yang hendak dikaji dalam penelitian disertasi ini.

Sebelum uraian ini masuk pada apa yang menjadi permasalahan dan tujuan penelitian serta untuk menguatkan argumen bahwa permasalahan tersebut layak untuk diteliti, dalam bahasan berikut dikemukakan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan topik penelitian atau setidaknya yang mendukung perlunya sebuah penelitian yang memotret kehidupan pedagang kaki lima (PKL) di kota Semarang. Pengungkapan hasil-hasil penelitian sebelumnya, dimaksudkan (1) untuk mengkaji mengapa penelitian disertasi ini perlu dilakukan, (2) untuk menentukan posisi atau memastikan bahwa penelitian disertasi ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

(23)

Hamidjojo (2004) dalam penelitian berjudul “Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan Penataan, Pembinaan, dan Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Surakarta”, menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan dalam penataan, pembinaan, dan penertiban PKL adalah kondisi lingkungan, komunikasi, dan perilaku pelaksana, yang semuanya secara bersama-sama menyumbang 66,22%. Dari kontribusi 66,22% tersebut, variabel kondisi lingkungan menyumbang 16,68%, variabel komunikasi menyumbang 35,13%, dan variabel perilaku pelaksana memberi kontribusi sebesar 14,41%. Dari tiga faktor penyumbang tersebut, komunikasi memberikan sumbangan yang paling besar yaitu 35,13%.

Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan pemerintah daerah yang berkenaan dengan keberadaan PKL, tidak cukup hanya dilakukan oleh aparat pelaksana saja, tetapi juga perlu menggandeng para PKL, misalnya dengan memahami bersama peraturan daerah yang mengatur PKL dan berdialog secara intensif dengan mereka, sehingga kebijakan penataan dan pembinaan PKL dapat berjalan tanpa adanya hambatan yang berarti.

(24)

Wijayanti (2009) dalam penelitian tentang “Outcome Kebijakan Pasca Relokasi PKL Banjarsari ke Notoharjo Kota Surakarta”, menunjukkan beberapa simpulan berikut.

Pertama, proses relokasi PKL Banjarsari ke Notoharjo dilakukan melalui tiga tahap, yaitu sosialisasi, penyiapan tempat relokasi, dan relokasi itu sendiri.

Kedua, dampak yang ditimbulkan dari relokasi tersebut adalah (1) PKL memperoleh keamanan, kenyamanan, dan kepastian berusaha (bekerja) dan beralih statusnya dari PKL tidak resmi menjadi PKL resmi, yang tidak lagi cemas mengalami penertiban dan penggusuran dari Satpol PP, (2) pemerintah memperoleh hasilnya dengan berkurangnya beban dalam menangani PKL Banjarsasi serta makin rapi, tertib, dan indahnya wilayah monumen Banjarsari yang selama ini ditempati PKL, dan (3) berpindahnya PKL ke Pasar Notoharjo meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah Semanggi, yang dahulu masih sepi dan meningkatkan peluang usaha yang lebih baik dengan menyerap tenaga kerja di pasar Notoharjo dan wilayah sekitarnya.

Penelitian Wiyanti di atas baru mencermati proses relokasi PKL Banjarsari ke Pasar Notoharjo dan dampaknya terhadap status PKL, beban pemerintah, dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian Wiyanti fokus pada hal-hal positif dari PKL. Wiyanti memotret relokasi PKL di Surakarta begitu mudah, tidak seperti halnya penelitian disertasi ini yang lebih memotret perlawanan PKL terhadap kebijakan pemerintah kota dan modal sosial ditengarai menjadi faktor penguat bagi perlawanan (resistensi) PKL.

(25)

Kebijakan yang ditempuh meliputi (1) kebijakan struktural, (2) kebijakan edukatif, dan (3) kebijakan relokasi.

Wujud dari kebijakan struktural, yaitu adanya ketentuan tempat yang jelas bagi PKL sebagaimana diatur dalam Keputusan Walikota Pontianak Nomor 217 Tahun 2000 tentang Penunjukan Lokasi Pedagang Kaki Lima di kecamatan Pontianak Barat dan Pontianak Selatan. Penentuan lokasi berjualan bagi PKL tersebut diperkuat juga oleh Pengumuman dari Walikota Pontianak Nomor 6 Tahun 2001 tentang Larangan Membangun tanpa Izin dan Berjualan di Tempat-tempat Terlarang. Keputusan dan Pengumuman Walikota tersebut merupakan jabaran dari Perda Nomor 3 Tahun 1990 tentang Penyelenggaraan Kebersihan dan Ketertiban Umum.

Dalam hal kebijakan relokasi, pemerintah kota Pontianak telah membangun pasar tradisional, yaitu pasar Dahlia dan pasar Mawar. Sebelum menjadi tempat relokasi PKL, dahulu sebelum kedua pasar dibangun, tempatnya terkesan kumuh, kotor, membuat jalan macet, dan tingkat kecelakaan lalu lintas cukup tinggi. Namun setelah pasar dibangun dan para PKL mulai menempati kios yang disediakan, lokasi menjadi rapi dan bersih serta tingkat kecelakaan lalu lintas makin menurun.

Dalam rangka mendukung dua kebijakan di atas, pemerintah kota Pontianak juga telah melakukan kebijakan edukatif dengan memberikan bimbingan dan pembinaan kepada PKL, baik dalam hal manajemen maupun dalam bantuan permodalan.

(26)

Implementasi kebijakan penataan dan pembinaan PKL tersebut memberikan dampak terhadap PKL, pemerintah, dan masyarakat. Bagi PKL, kebijakan penataan dan pembinaan PKL berdampak pada penurunan pendapatan mereka karena situasi yang tidak menentu. Bagi pemerintah, kebijakan penataan dan pembinaan PKL membuat daerah yang semula ditempati PKL menjadi lebih tertib, indah, dan aman. Bagi masyarakat umum, kebijakan pemerintah kota tersebut memberi dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah masyarakat dapat menikmati keindahan dan kebersihan kota serta terhindar dari kemacetan. Bagi pengguna jasa PKL, timbul dampak negatif, yaitu hilangnya kesempatan untuk mendapatkan barang kebutuhan sehari-hari dengan harga murah.

Agar kebijakan penataan dan pembinaan PKL lebih efektif dan efisien, Maryuni (2007) menyarankan perlunya menggunakan pendekatan society participatory development. Dalam pendekatan ini, PKL dilibatkan dalam pembuatan kebijakan pemerintah kota, termasuk kebijakan relokasi. Harapan, suara, dan keluhan PKL hendaknya didengar dan ditindaklanjuti, serta kebijakan penertiban yang selama ini dilakukan secara represif, perlu diganti dengan kebijakan yang bersifat persuasif tanpa kekerasan. Untuk mengantisipasi perlawanan yang dilakukan oleh PKL, disarankan pula agar pemerintah kota menggunakan pendekatan empowerment, dengan bertindak persuasif dan lebih banyak menempuh cara-cara edukatif dalam membina para PKL.

(27)

sosial dan modal sosial inilah yang tidak dilihat oleh Maryuni dalam penelitiannya.

Dalam penelitian tentang “Pekerja Sektor Informal dan Pengembangan Wilayah Kota Binjai”, Tuti Hidayati (2007) menemukan bahwa pekerja sektor informal di Binjai didominasi oleh laki-laki, yaitu sebanyak 75 persen. Rata-rata mereka yang bekerja di sektor informal berumur 40 tahun, 80% di antaranya berstatus menikah dan 45,45% atau hampir setengahnya berpendidikan Sekolah Menengah Atas. Banyaknya lulusan SMA yang terjun ke sektor informal menunjukkan betapa sulitnya mencari pekerjaan pada sektor formal.

Responden yang diteliti Hidayati, memiliki tanggungan keluarga 3 hingga 4 orang. Sebanyak 54,54% responden telah menekuni usaha di sektor informal selama 1 hingga 4 tahun, bahkan 15,91% di antaranya telah berdagang atau menjalankan usaha selama 21 sampai dengan 25 tahun. Jam kerja pekerja bervariasi, tetapi yang paling besar, yaitu 75% bekerja antara 5 hingga 10 jam per hari. Modal kerja pedagang bervariasi dan ditemukan bahwa sebagian besar, yakni 56,82% memerlukan modal antara 1 sampai 5 juta rupiah per bulan. Rata-rata omzet atau revenue per bulan kurang dari Rp10 juta; 38,64% di antaranya memiliki omzet 1 sampai dengan 5 juta rupiah dan yang mempunyai omzet 6 hingga 10 juta rupiah sebanyak 34,09%.

(28)

Dari penelitian Hidayati (2007) juga diperoleh temuan bahwa keberadaan pedagang sektor informal turut mendukung pengembangan wilayah, khususnya dalam menyerap tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang diserap (sesuai sampel penelitian) sebanyak 84 orang, artinya 84 orang tersebut terhindar dari situasi pengangguran. Dari sisi ekonomi, kondisi ekonomi responden membaik, pendapatan meningkat, dan kebutuhan ekonomi keluarga dapat terpenuhi.

Penelitian Tuti Hidayati tentang pedagang kaki lima (PKL) di Binjai bersifat deskriptif, yakni baru menjelaskan tentang profil pekerja sektor informal dilihat dari jenis kelamin, status pendidikan, lama bekerja, modal, omzet, dan pendapatan. Pendekatan kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis data, baru dapat menjelaskan pengaruh variabel ekonomi terhadap pendapatan yang juga merupakan variabel ekonomi. Aspek-aspek sosial tidak disentuh dalam penelitian Hidayati. Penelitian disertasi ini berbeda dengan penelitian Hidayati, karena selain menyentuh aspek sosial melalui analisis tentang modal sosial, penelitian ini juga mengkaji hal lain, yaitu perlawanan PKL terhadap kebijakan Pemkot, terutama dilihat apakah perlawanan tersebut mendapat penguatan dari modal sosial atau tidak.

Zakik (2006) dalam penelitian berjudul “Analisa Strategi dan Kebijakan Penanganan Pedagang Kaki Lima di Kota Surabaya” menghasilkan temuan yang menarik.

(29)

anggota keluarga, maka terdapat 42.769 orang yang hidupnya tergantung pada usaha PKL.

Kedua, rata-rata pendapatan bersih PKL per bulan Rp2.280.000,00 atau per tahunnya adalah Rp27.360.000,00. Jika dibandingkan dengan pendapatan perkapita penduduk Surabaya pada tahun 2003 yang hanya Rp16.585.503,00, maka pendapatan PKL jauh lebih tinggi, yaitu 1,7 kali lipatnya. Ini artinya, tingkat kesejahteraan PKL cukup tinggi. Selain dapat meningkatkan kesejahteraan PKL, sektor informal yang dijalankan oleh PKL juga menyediakan barang-barang kebutuhan dengan harga relatif murah yang dapat dijangkau oleh penduduk kota Surabaya yang berpenghasilan pas-pasan.

Ketiga, omzet rata-rata PKL per harinya sebesar Rp262.000,00 dan dengan asumsi jumlah PKL sebanyak 10,699, maka dalam setahun total omzet PKL sejumlah Rp842.546.250.000,00. Dengan margin pendapatan bersih terhadap omzet penjualan sebesar 34,7%, maka diperoleh nilai tambah output sektor riil PKL sebesar Rp292.363.548.750,00. Jika nilai estimasi PDRB atas dasar harga berlaku Surabaya tahun 2003 sebesar Rp51.188.650.796.608,00, maka kontribusi output sektor informal PKL terhadap PDRB sebesar 0,57%. Pungutan PKL per tahun sebesar Rp7.253.922.000,00 dan diasumsikan jumlah PAD kota Surabaya tahun 2003 sebesar Rp305.649.488.100,00, maka rasio nilai pungutan atau retribusi PKL terhadap PAD sebesar 2,37%.

Keempat, akses PKL terhadap sarana infrastruktur kota dan lahan sangat terbatas, karena lemahnya pelaksanaan kebijakan dan peraturan yang dibuat pemerintah kota Surabaya.

(30)

lahan, (3) memberi kemudahan kepada PKL untuk mengakses kredit untuk modal usaha, (4) memberikan pendidikan dan pelatihan kepada PKL mengenai tata cara pengajuan kredit, skill manajemen bisnis, dan lain-lain, serta (5) memberdayakan asosiasi atau paguyuban PKL dalam membina dan mengembangkan PKL.

Zakik dalam penelitiannya baru membahas persoalan ekonomi PKL, seperti pendapatan dan omzet penjualan. Meskipun ditemukan bahwa akses PKL terhadap infrastruktur kota terbatas, karena kebijakan pemerintah yang kurang memihak PKL, tetapi penelitian Zakik sama sekali tidak menyentuh persoalan modal sosial. Penelitian disertasi ini berbeda, karena mengkaji modal sosial, utamanya dilihat apakah modal sosial tersebut menjadi faktor penentu bagi perlawanan (resistensi) PKL terhadap kebijakan Pemkot Semarang.

Ishak Kadir (2010) dalam penelitiannya berjudul “Studi Karakteristik Penggunaan Ruang Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kawasan eks Pasar Lawata Studi Kasus Jalan Taman Surapati Kota Kendari” memberikan beberapa kesimpulan berikut.

Pertama, kecenderungan PKL berlokasi di pasar Lawata, karena koridor jalan di pasar tersebut memiliki tarikan pengunjung yang paling tinggi.

Kedua, 50% PKL menggunakan badan jalan dan trotoir sebagai area untuk melakukan aktivitas berjualan, karena untuk memudahkan pengunjung memperoleh barang kebutuhan sehari-hari tanpa harus meninggalkan kendaraan di tempat yang jauh.

(31)

Keempat, banyaknya pembeli berdatangan ke area PKL ini, karena barang sembako dan kebutuhan sehari-hari, seperti sayur-sayuran dan ikan tersedia dengan harga yang terjangkau.

Kelima, lokasi PKL di Lawata berdekatan dengan fasilitas umum, seperti perkantoran, perbankan, mall, dan transportasi umum.

Hasil penelitian Kadir hampir sama dengan penelitian Hidayati, yang bersifat deskriptif, di mana Kadir baru menampilkan profil PKL, utamanya yang berkaitan dengan pemilihan lokasi untuk berdagang. Kadir sama sekali tidak melihat modal sosial sebagai hal penting dalam penelitiannya; sedangkan penelitian disertasi ini melihat modal sosial sebagai variabel penting, tidak saja untuk membangun ekonomi PKL, tetapi juga dapat digunakan sebagai faktor penguat bagi PKL dalam melakukan perlawanan terhadap Pemkot Semarang.

Sugiyanto, Sukesi, Indrati, Suhariningsih, dan Yuliati (2006) dalam penelitiannya tentang “Model Kelembagaan dan Perlindungan Sosial Perempuan Pedagang Kaki Lima di Jawa Timur” memberikan kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, aktivitas sektor informal yang dikelola oleh kaum perempuan sebagai pedagang makanan dan nonmakanan, ternyata mampu menjadi tumpuan ekonomi rumahtangga, karena tingkat pendapatan yang diperoleh cukup besar, yakni Rp500.000,00 hingga Rp11.460.000,00 bagi pedagang makanan dan antara Rp600.000,00 sampai dengan Rp13.035.000,00 bagi pedagang nonmakanan.

(32)

cukup untuk itu, dan (5) kondisi kerja dan fasilitas kerja kurang mendukung, seperti lingkungan kerja yang pengap, tidak tersedianya fasilitas air bersih dan tempat pembuangan sampah yang memadai.

Ketiga, tidak ada jaminan sosial yang memadai, seperti jaminan hari tua, santunan kecelakaan, serta pelayanan kesehatan dan KB.

Keempat, kebijakan dan program pemerintah, seperti adanya UU Nomor 3 Tahun 1992, UPPKS, P2WKSS, dan JPKS tidak dapat menjangkau kepentingan dan kebutuhan PKL perempuan.

Penelitian Sugiyanto, dkk., di atas masih terbatas pada pembahasan pada variabel ekonomi dan politik. Variabel ekonomi, terutama melihat peran PKL perempuan dalam peningkatan pendapatan keluarga. Variabel politik yang diungkap adalah kebijakan pemerintah yang belum mampu menjangkau kebutuhan PKL perempuan. Penelitian Sugiyanto, dkk. belum mengungkap modal sosial sebagai variabel penting, sementara penelitian disertasi ini mengkaji modal sosial sebagai faktor penguat perlawanan (resistensi) PKL terhadap kebijakan yang diambil Pemkot Semarang.

Dalam penelitian tentang “Peran Ekonomi Pedagang Kaki Lima Wanita di dalam Rumahtangga Studi Kasus Pedagang Kaki Lima Perempuan di Simpanglima Semarang”, Suyanto, M. Hermintoyo dan Sri Puji Astuti (2002) memberikan beberapa kesimpulan.

Pertama, hampir separo, yaitu 42% pedagang kaki lima yang diteliti berasal dari kota Semarang, sisanya 58% dari luar kota Semarang.

(33)

Ketiga, 67% di antaranya berpendidikan SMP ke bawah, sisanya 33% berpendidikan SMA.

Keempat, pendapatan PKL per bulan berkisar antara Rp500.000 hingga Rp1.000.000,00.

Kelima, pendapatan PKL tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga sehari-hari, seperti makan dan minum, biaya sekolah anak-anak, kesehatan, bahkan ada di antaranya yang mampu membeli sepeda motor, perhiasan, dan perabot rumahtangga.

Penelitian Suyanto, dkk. baru terbatas mengkaji profil PKL di Simpang Lima Semarang, seperti latar belakang asal daerah, pekerjaan sebelumnya, pendidikan, dan pendapatan; tetapi tidak melihat faktor sosial, seperti modal sosial dalam penelitiannya. Sementara, penelitian disertasi ini mengkaji modal sosial sebagai faktor penguat perlawanan (resistensi) PKL terhadap kebijakan Pemkot Semarang.

Dalam penelitian tentang “Kebijakan Publik bagi PKL di Lokasi Strategis di Kota Semarang”, FT Undip dan Bappeda Semarang (2007) memberikan kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, keberadaan PKL di kota Semarang, khususnya di lokasi strategis, pertumbuhannya tidak terkendali. Masalahnya adalah Perda tentang pengaturan PKL tidak dihiraukan oleh PKL, sehingga membuat kota Semarang menjadi semrawut.

Kedua, pertumbuhan kota Semarang sebagai pusat bisnis dan perdagangan, menjadikan kawasan Simpang Lima menjadi daya tarik bagi para PKL.

(34)

utamanya modal sosial sebagai faktor penguat perlawanan (resistensi) PKL terhadap kebijakan Pemkot Semarang.

Priono (2004) dalam penelitian tentang “Kajian Persepsi dan Preferensi Pedagang Kaki Lima Taman Kota terhadap Rencana Pemindahan ke Taman di Tuk Buntung Kota Cepu”, menyampaikan beberapa kesimpulan.

Pertama, 75% responden yang diteliti memilih taman kota Cepu sebagai tempat yang paling layak dan strategis untuk berdagang.

Kedua, berkaitan dengan rencana relokasi yang ditetapkan pemerintah, 57,14% responden tidak bersedia dipindah ke Tuk Buntung, sedangkan 35,72% lainnya bersedia dipindah.

Ketiga, namun demikian, PKL taman kota menyadari bahwa keberadaan mereka di lokasi taman kota tidak sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) kota Cepu, sehingga mereka siap apabila suatu saat dipindahkan ke lokasi taman di Tuk Buntung.

Penelitian Priono mengkaji respon PKL terhadap kebijakan pemerintah daerah yang akan merelokasi mereka. Meskipun sebagian PKL tidak bersedia pindah dalam arti melawan kebijakan pemerintah, tetapi penelitian Priono tidak menyertakan faktor modal sosial sebagai penguat perlawanan (resistensi) PKL, yang dalam penelitian disertasi ini dikaji.

Budiman (2010) dalam penelitian tentang “Kajian Lingkungan Keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Banjaran Kabupaten Tegal”, mengemukakan kesimpulan penelitiannya sebagai berikut.

(35)

daerah melalui retribusi sebesar 3,16% dari total retribusi daerah.

Dampak negatif PKL, yakni (1) PKL menempati ruang publik yang bukan peruntukannya, seperti trotoir dan bahu jalan, sehingga merugikan masyarakat pada umumnya, (2) keberadaan PKL menyebabkan kemacetan lalu lintas, menurunnya kualitas lingkungan sebagai akibat sampah yang dihasilkan per hari sebanyak 4,25 m³, pencemaran udara, kebisingan, dan tercemarnya air sungai Kali Jembangan.

Berdasarkan hasil penelitian ini, Budiman menyarankan agar kawasan Banjaran ditata sedemikian rupa dengan melibatkan PKL, masyarakat, dan pemerintah. Selain itu, juga disarankan agar PKL direlokasi ke dalam pasar dan melibatkan semua stakeholder dalam menangani dan membina PKL.

Penelitian Budiman baru terbatas pada kajian tentang dampak positif dan negatif dari keberadaan PKL di Kabupaten Tegal. Dampak positif berkaitan dengan masalah ekonomi, sedangkan dampak negatif berkaitan dengan persoalan keruangan. Penelitian Budiman ini belum melihat sama sekali faktor modal sosial, apalagi masalah perlawanan PKL. Penelitian disertasi ini melihat modal sosial dan peranannya sebagai faktor penguat perlawanan (resistensi) terhadap pemerintah kota Semarang.

Dewan Riset Nasional (DRN) dan Bappenas bekerjasama dengan Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan LIPI, sebagaimana disunting Firdausy (1995), dalam penelitian tentang “Pengembangan Sektor Informal Pedagang Kaki Lima di Perkotaan”, mengemukakan beberapa kesimpulan.

Pertama, karakteristik usaha PKL berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.

(36)

perekonomian tidak memadai, belum ada pembinaan yang memadai, akses kredit terbatas, lemah struktur permodalannya, lemah dalam organisasi dan manajemen, komoditi yang dijual terbatas, pendidikan dan keterampilan terbatas, kualitas SDM kurang memadai, dan tidak ada kerjasama usaha.

Ketiga, namun demikian ditemukan bahwa keterbatasan yang dimiliki PKL tidak selalu dapat diartikan bahwa sektor informal PKL merupakan kegiatan ekonomi yang berpendapatan rendah. Buktinya, sebagian responden yang diteliti, yakni 54% berpenghasilan bersih Rp250.000,00 per bulan (tahun 1995).

Keempat, berdasarkan perhitungan statistik, terdapat hubungan yang tidak signifikan antara pendidikan dan lama usaha dengan tingkat pendapatan PKL. Faktor positif yang mendorong peningkatan pendapatan PKL adalah modal usaha. Artinya, makin besar modal usahanya, akan makin tinggi tingkat pendapatan PKL.

Penelitian DRN dan Bappenas di atas baru menjelaskan variabel sosial ekonomi PKL, utamanya dominasi variabel ekonominya dan dengan perhitungan statistik, diungkap hubungan antara variabel sosial dan ekonomi, tetapi penelitian ini sama sekali tidak membahas persoalan resistensi PKL dan modal sosial sebagai faktor penguat bagi resistensi PKL tersebut.

Alisjahbana (2006) dalam penelitiannya tentang Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan di Surabaya menyimpulkan hal-hal berikut.

(37)

meliputi membangun semangat pantang menyerah dan melawan terus tanpa mengenal lelah;

Kedua, langkah puncak yang dilakukan organisasi PKL adalah melakukan gerakan perlawanan secara riil, yang ditempuh dengan demonstrasi, turun ke jalan, mendatangi gedung Dewan dan Walikota, melawan petugas saat ditertibkan, dan main kucing-kucingan dengan petugas;

Ketiga, dilihat dari sudut kebijakan, bentuk perlawanan PKL dalam mengahadapi kebijakan penataan oleh Pemerintah, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu (1) perlawanan yang dikembangkan untuk menolak lahirnya Perda, (2) perlawanan terhadap program relokasi, dan (3) perlawanan terhadap penggusuran.

Penelitian Alisjahbana ini cukup komprehensif, di mana penelitiannya difokuskan pada gerakan perlawanan itu sendiri dilihat sebagai suatu gerakan sosial, sehingga penelitiannya banyak diarahkan pada proses dan modus gerakan perlawanan. Penelitiannya memang menyinggung peran organisasi PKL dalam melakukan perlawanan, tetapi sama sekali belum menyentuh persoalan perlawanan (resistensi) dilihat dari aspek modal sosial, apalagi melihat modal sosial sebagai faktor penentu perlawanan. Penelitian disertasi penulis berbeda dengan apa yang diteliti Alisjahbana, karena disertasi penulis lebih fokus pada sejauhmana modal sosial memiliki peran atau menjadi faktor penguat dari perlawanan (resistensi) yang dilakukan PKL terhadap kebijakan yang diambil pemerintah kota.

(38)

tentang mengapa dan bagaimana para PKL resisten terhadap kebijakan (relokasi) yang diambil oleh pemerintah kota Semarang. Penelitian ini juga ingin mengkaji, apakah perlawanan (resistensi) tersebut memiliki kaitan dengan modal sosial yang mereka punyai atau justru resistensi merupakan tipikal dari kelompok masyarakat marginal yang diusik hidup dan penghidupannya.

B. Perumusan Masalah

Semarang merupakan kota yang paling sering terjadi penertiban terhadap PKL. Sejak dijabat Soekawi Soetarip hingga Soemarmo HS, penertiban PKL banyak mereka lakukan, tidak hanya terhadap PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi di pusat-pusat kota, tetapi juga PKL yang berjualan di pinggiran kota. Penertiban terhadap PKL merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji dalam penelitian disertasi, bukan persoalan penertibannya, melainkan pada masalah sikap resisten PKL terhadap kebijakan relokasi pemerintah kota yang didahului dengan penertiban dan penggusuran. Kebijakan relokasi yang dilakukan dengan tindakan penertiban dan penggusuran menimbulkan perlawanan atau resistensi dari PKL.

Permasalahan pokok dari penelitian disertasi ini adalah resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) terhadap Kebijakan Pemerintah kota Semarang. Permasalahan pokok tersebut dipecahkan dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut.

(1) Apa kontribusi Pedagang Kaki Lima (PKL) terhadap ekonomi keluarga, masyarakat sekitar, dan pendapatan asli daerah (PAD) kota Semarang?,

(39)

(3) Bagaimanakah kebijakan publik yang diterapkan Pemerintah kota Semarang dalam mengatur keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL)?,

(4) Mengapa Pedagang Kaki Lima (PKL) resisten terhadap kebijakan penataan PKL yang dilakukan Pemerintah kota Semarang,

(5) Bagaimana bentuk-bentuk resistensi yang ditunjukkan PKL dalam merespon kebijakan Pemerintah kota Semarang?, (6) Apakah modal sosial merupakan penguat resistensi PKL

dalam menghadapi kekuasaan Pemerintah kota Semarang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, penelitian disertasi ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis:

(1) Kontribusi PKL terhadap ekonomi keluarga, masyarakat sekitar, dan pendapatan asli daerah (PAD) kota Semarang, (2) Berdagang Kaki Lima sebagai strategi kelangsungan hidup

(survival strategy),

(3) Kebijakan publik yang diterapkan Pemerintah kota Semarang dalam mengatur keberadaan PKL,

(4) Alasan mengapa Pedagang Kaki Lima (PKL) resisten terhadap kebijakan penataan PKL yang dilakukan Pemerintah kota Semarang,

(5) Bentuk-bentuk resistensi yang ditunjukkan Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam merespon kebijakan Pemerintah kota Semarang,

(40)

D. Luaran Penelitian

Penelitian tentang kehidupan PKL cukup banyak. Umumnya penelitian berkisar mengenai masalah manajemen PKL, kewirausahaan PKL, etos kerja PKL, dan tema-tema lain yang berbau ekonomi. Sementara itu, penelitian yang berbasis sosial, ekonomi dan politik secara komprehensif relatif kurang atau yang dikemas dalam perspektif ekonomi politik jarang dilakukan oleh para peneliti. Penelitian ini hendak menganalisis basis sosial, ekonomi dan politik dari PKL dalam hubungannya dengan pemerintah kota selaku pembuat sekaligus pelaksana kebijakan. Dalam konteks relasi rakyat dan negara, PKL merupakan representasi dari rakyat (khususnya rakyat miskin) dan pemerintah kota mewakili sebuah badan yang namanya negara. Relasi yang tidak selamanya harmonis, menjadi persoalan menarik untuk dikaji dan diteliti. Sebagaimana telah diuraikan dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, bahwa penelitian ini ingin mengkaji resistensi PKL terhadap kebijakan pemerintah kota Semarang.

(41)

teoritiknya untuk menjelaskan pertanyaan tersebut. Dari hasil penelitian ini ditemukan teori baru sebagai penjelas mengapa PKL berani melakukan perlawanan (resistensi) dan menolak kebijakan relokasi yang ditetapkan Pemkot Semarang.

(42)

Gambar

Tabel 1. Jumlah Pedagang Kaki Lima di Semarang Tahun 2009

Referensi

Dokumen terkait

Setiap dosen harus melakukan penelitian pada bidang yang sesuai dengan.

5.2.2 Apabila dalam waktu 10 hari sejak dilaksanakan ujian tidak ada pemberitahuan dari dosen yang bersangkutan mengenai nilai UTS dan UAS, maka Fakultas/Prodi berhak

5.2.6 Bagian perencanaan menelaah kelayakan usulan kegiatan dan anggaran dari unit kerja di lingkungan UPM Probolinggo dengan mengacu pada Rencana Strategis

Pembangunan aplikasi yang berbasis multimedia ini bertujuan untuk mengembangkan suatu aplikasi multimedia yang dapat membantu proses belajar bagi anak TK dengan

Sistem Pembelajaran Tenses Multimedia Bermain dan Belajar Bahasa Inggris dan Mandarin dengan Game Pas Pembangunan Aplikasi Pembelajaran Bahasa Inggris bagi Anak TK

Kepala BAAK sebagai pejabat yang bertanggung jawab terhadap barang iventarisc. sarana pendidikan di

Dilarang untuk me-reproduksi dokumen ini tanpa diketahui oleh Program Studi Teknik Informatika 3.2.1.4 DFD Level 2 ALERIS Proses Play.. 3.2.1.4.1

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “ PENGARUH