• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih tinggi (kuliah). Pada hakikatnya pendidikan merupakan upaya untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. lebih tinggi (kuliah). Pada hakikatnya pendidikan merupakan upaya untuk"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

" Bocah jaman saiki kudu sekolah sing dhuwur ben dadi wong sukses." (Anak jaman sekarang harus sekolah sampai tinggi agar menjadi orang yang sukses) Nasehat seseorang ketika saya akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi (kuliah). Pada hakikatnya pendidikan merupakan upaya untuk mewariskan nilai-nilai yang akan menjadi penolong dan penentu manusia dalam menjalani kehidupan, serta memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Pendidikan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kesuksesan di masa depan. Pendidikan juga merupakan usaha yang dilakukan individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai budaya, kebiasaan, dan bentuk - bentuk ideal kehidupan kepada generasi muda agar identitas masyarakat tetap terpelihara.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah suatu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya ialah bahwa pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 1982:250), pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran

1

Pengertian pendidikan dalam

(2)

atau pelatihan. Pengertian menurut UU Sisdiknas No 20 tahun 2003, pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian yang baik, pengendalian diri, berakhlak mulia, kecerdasan,dan keterampilan yang diperlukan oleh dirinya dan masyarakat.2Pendidikan merupakan proses mengubah perilaku individu yang mengarahkan pada perubahan yang lebih baik dan merupakan salah satu fondasi dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa.

Upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa dilakukan dengan diwajibkannya program belajar sembilan tahun, yaitu meliputi Sekolah Dasar (SD) enam tahun dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tiga tahun. Target tahun 2025 yaitu mengarahkan dan mensukseskan program pendidikan untuk semua (Education For All). Program yang dideklarasikan oleh UNESCO untuk memenuhi hak - hak anak (Convention on The Right of the Child) yang menyatakan bahwa setiap negara di dunia melindungi dan melaksanakan hak-hak anak tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas (Darmaningtyas, 2012:3). Selain itu dalam UUD 1945 tentang sistem pendidikan nasional pasal 5 dan 6, juga menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan berperan dalam

2

UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 dalam http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdf diunduh tanggal 4 Juli 2015 jam 20.00

(3)

mentransmisikan pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek kelakuan lainnya.3

Berdasarkan UUD 1945 tentang Sisdiknas pasal 5 dan 6 terdapat tiga jenis pendidikan, yaitu pendidikan formal (sekolah dan universitas), pendidikan nonformal (lembaga bimbingan belajar, lembaga pelatihan,dll) dan pendidikan informal (keluarga).4 Dalam penelitian ini akan dibahas lebih dalam mengenai pendidikan non formal yaitu lembaga bimbingan belajar. Lembaga bimbingan belajar memberikan bimbingan berupa pelajaran akademik berdasarkan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Lembaga bimbingan belajar atau yang sering disebut bimbel membantu siswa dalam memecahkan masalah pelajaran, memberikan latihan sebelum menghadapi ulangan ( harian, semester dan kenaikan kelas), lulus ujian nasional dengan nilai yang tinggi dan bisa masuk ke sekolah favorit. Secara umum, visi dan misi dari lembaga bimbingan belajar adalah meningkatkan kualitas akademik peserta didiknya.

Bimbel berbeda dengan sekolah, misalnya dari segi waktu kegiatan pembelajaran, bimbel melaksanakan pembelajaran dengan waktu yang lebih singkat daripada sekolah. Dari segi pemberian materi pelajaran dapat dilihat perbedaannya, di bimbel peserta didik diajarkan cara - cara cepat menghafal dan mengerjakan (rumus cepat) yang tidak diajarkan di sekolah. Martono (2012: 44) dalam bukunya menyatakan bahwa, lembaga bimbingan belajar menawarkan cara - cara praktis dalam mengerjakan soal ujian kepada peserta didiknya. Rumus cepat

3UUD 1945 tentang Sisdiknas pasal 5 dan 6 dalam http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_2_89.htm diunduh tanggal 2 Juni 2015 jam 20.30

4

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 pasal 13 ayat 1 dalam

(4)

yang diajarkan oleh bimbel lebih mudah ditangkap oleh memori peserta didik dibandingkan rumus yang biasa diajarkan di sekolah. Rumus cepat dan pola pembelajaran yang diajarkan di bimbel bisa menjadi daya tarik bagi orangtua dan anak.

Antusiasme orangtua terhadap bimbel memberikan makna tersendiri bagi dunia pendidikan di Indonesia. Apakah orangtua sudah tidak percaya dengan pembelajaran di sekolah atau memang anak harus mengikuti pelajaran tambahan di luar sekolah karena standar kelulusan yang semakin tinggi. Bagi orangtua yang memiliki anak kelas VI SD, IX SMP dan XII SMA mungkin mengalami ketakutan jika anaknya tidak lulus, tidak mendapat nilai yang tinggi dan tidak diterima di sekolah favorit. Sekolah favorit menjadi simbol kecerdasan bagi anak dan kebanyakan orangtua berharap anaknya bisa masuk ke sekolah favorit.

Di Yogyakarta terdapat beberapa sekolah favorit tingkat SMP dan SMA. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, yang menyebutkan ketiga sekolah ranking teratas di kota Yogyakarta itu adalah SMP N 5 Yogyakarta yang berada di urutan teratas dengan total nilai rata - rata 36,80 dalam empat mata pelajaran UN. Disusul SMP N 8 Yogyakarta diposisi dua dengan capaian nilai 36,47. Di posisi tiga SMP N 2 Yogyakarta dengan capaian nilai 35,14. Sedangkan untuk tingkat SMA, peringkat pertama diduduki oleh SMA N 3 Yogyakarta, kedua SMA N 8 Yogyakarta dan ketiga SMA N 1 Yogyakarta.5

Saat ini kelas di bimbel tidak hanya dikhususkan bagi siswa yang akan menghadapi Ujian Nasional, tetapi juga bagi siswa kelas III, IV, V SD, VII, VIII

5

http://krjogja.com/read/219548/sekolah-favorit-dominasi-nilai-un-smp-yogyakarta.kr diakses tanggal 20 Maret 2015

(5)

SMP dan X, XI SMA. Berdasarkan hasil pengamatan awal, ternyata jumlah peserta bimbel siswa kelas IV dan V SD di bimbel cukup banyak. Lalu apakah sebegitu hebatnya peran bimbel, sehingga anak kelas IV dan V Sekolah Dasar sudah dimasukkan ke bimbel.

Tingginya minat orangtua terhadap bimbel menandakan pergeseran praktik belajar masuk ke dalam wacana kapitalisme global. Perubahan dalam pola pembelajaran dan pengelolaan bimbel cenderung mengikuti logika ekonomi menggeser kegiatan belajar yang dikemas dalam beberapa paket kelas belajar sesuai dengan fasilitas dan kenyamanan yang diperoleh. Bimbel menawarkan biaya bimbingan antara Rp 2.000.000,00 - Rp 9.000.000,00 per tahun. Biaya tersebut dibedakan berdasarkan paket kelas reguler, eksklusif dan eksklusif platinum.

Perbedaan paket kelas yang ditawarkan bimbel sesuai dengan biaya bimbingan, maka praktik konsumsi pendidikan yang menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2004:125), merupakan hasil pertaruhan modal ekonomi (economic

capital), modal budaya (cultural capital), modal sosial (social capital) dan modal

simbolik (simbolic capital) karena memberi legitimasi dan pengakuan terhadap status sosial seseorang. Modal berperan dalam perbedaan kelas yaitu kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Kelas menurut Bourdieu yang dikutip oleh Storey (2003: 11), merupakan agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengkondisian yang serupa. Kelas dapat dimaknai sebagai individu yang menempati posisi atau kedudukan yang sama yang secara otomatis memiliki

(6)

kesamaan dalam hal sikap, kebiasaan, perilaku dan selera. Berdasarkan hasil pengamatan awal, peminat bimbel adalah orangtua dan anak dari kelas menengah dan atas.

Bimbel telah menjadi perburuan baru oleh orangtua kelas menengah dan atas dalam mencari status/ citra/ prestise sebagai penanda gaya hidup dan identifikasi sosial yang membedakan diri dari orangtua lain. Sedangkan kelas sosial yang terbentuk melalui paket program bimbel yang dipilih oleh orangtua menunjukkan bahwa diri mereka berada pada kelas sosial tertentu.

Menurut Bourdieu yang dikutip oleh Adlin (2006: 84), gaya hidup merupakan sebuah rangkaian atau proses sosial panjang yang melibatkan modal, kondisi objektif, habitus, disposisi, praktik, sistem tanda, dan struktur selera. Terdapat relasi antara satu gaya hidup dengan gaya hidup lainnya. Melalui interaksi sosial, orang tua secara aktif menyusun dan memilih pola tindakan untuk anaknya.

Bimbel menjadi salah satu bentuk konsumsi gaya hidup yang mampu mengelola makna dan simbol sebagai bagian dari identitas orangtua dan anak. Sebagai suatu budaya, konsumsi mempengaruhi kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Nilai-nilai, pemaknaan dan harga dari segala sesuatu yang dikonsumsi menjadi semakin penting dalam pengalaman personal dan kehidupan sosial masyarakat. Orangtua yang anaknya menjadi siswa salah satu bimbingan belajar terkenal di Yogyakarta memiliki status sosial yang lebih tinggi dari orangtua yang anaknya tidak mengikuti bimbingan belajar. Orang tua tidak lagi

(7)

mengkonsumsi bimbel berdasarkan kualitas dan nilai guna, melainkan karena nilai tanda dan prestise.

Berdasarkan hasil pengamatan awal, subjek penelitian adalah orangtua yang anaknya kelas IV dan V Sekolah Dasar dan mengikuti bimbingan belajar di Neutron dan Ganesha Operation. Menurut informan, pelajaran kelas IV dan V belum terlalu sulit dan mereka masih bisa membimbingnya sendiri, tetapi kenapa mereka masih antusias memasukkan anaknya ke bimbel. Kenyataan inilah yang menjadi dasar peneliti untuk mengetahui sejauh mana orangtua melakukan praktik konsumsi gaya hidup terhadap bimbel terkait modal dan kelas sosial.

1.2 Rumusan Masalah

Dari permasalahan yang telah disampaikan dapat dikembangkan dalam rumusan masalah yaitu bagaimana bimbel anak dijadikan praktik konsumsi oleh orangtua yang terkait dengan gaya hidup dan kelas sosial?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana bimbel dikonsumsi oleh orangtua sebagai status dan selera yang menandakan gaya hidup dan membentuk kelas sosial baru.

(8)

1.4 Tinjauan Pustaka

Kajian penelitian ini fokus pada praktik konsumsi orangtua terhadap lembaga bimbingan belajar yang menjadi bagian dari gaya hidup orangtua golongan menengah dan atas.

Penelitian tentang Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) juga sudah dilakukan oleh beberapa peneliti dalam bentuk tugas akhir skripsi. Penelitian tentang bimbel yang terkait dengan gaya hidup, salah satunya dilakukan oleh Riska Amalia dan Saino (2014) dengan judul “Analisis Gaya Hidup Fulfield Dalam Pengambilan Keputusan Pemilihan Jasa Lembaga Belajar (LBB) di Surabaya Selatan”.

Keputusan pembelian gaya hidup fulfield lebih cenderung memutuskan pembelian suatu produk berdasarkan prinsip dan berorientasi pada nilai guna yang ada produk tertentu.6 Pemilihan lembaga bimbingan belajar berdasarkan kepercayaan dan bukan perasaan. Konsumen dengan gaya hidup fulfield selalu mencari produk-produk yang dianggapnya dapat berfungsi maksimal agar dapat memenuhi kebutuhannya dalam bidang apapun. Konsumen yang bergaya hidup

fulfield sangat menghargai pendidikan, karena pendidikan merupakan sesuatu hal

terpenting bagi kehidupan di masa depan. Orangtua menggunakan jasa lembaga bimbingan belajar untuk anaknya agar dapat membantu anaknya dalam proses mencapai pendidikan yang paling tinggi dan berorientasi pada kegunaan.

Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup fulfield berpengaruh signifikan terhadap

6

Gaya hidup fulfield memiliki karakteristik sebagai berikut memiliki pendapatan tinggi, memiliki sifat lebih dewasa dan bertanggung jawab, serta berpendidikan.

(9)

keputusan pemilihan jasa lembaga bimbingan belajar di Surabaya Selatan. Gaya hidup fulfield diukur dengan menggunakan enam indikator yaitu prinsip, bertanggung jawab, menghargai pendidikan, memusatkan kegiatan dirumah, terbuka pada perubahan perkembangan dunia pendidikan, dan memilih produk atau jasa berdasarkan nilai kegunaannya.

Penelitian Riska Amalia dan Saino lebih berfokus pada orangtua dengan kriteria fullfield yang memilih lembaga bimbingan belajar berdasarkan nilai guna dan kualitas, berbeda dengan penelitian saya karena pemilihan lembaga bimbingan belajar berdasarkan gaya hidup yang lebih mementingkan nilai tanda dan prestise.

Penelitian tentang lembaga bimbingan belajar juga dilakukan oleh Yoan Amalia Rahmi (2013) mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang dengan judul “Pengaruh Keluarga Dan Kelompok Referensi Terhadap Keputusan Pelajar Memilih Lembaga Bimbingan Belajar Ganesha Operation Di Kota Bukittinggi”.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh keluarga terhadap keputusan pelajar memilih lembaga bimbingan belajar Ganesha Operation di kota Bukittinggi dan pengaruh kelompok referensi terhadap keputusan pelajar memilih lembaga bimbingan belajar Ganesha Operation di kota Bukittinggi. Jenis penelitian ini ialah korelasional yaitu penelitian yang mengidentifikasi pengaruh dari suatu variabel terhadap variabel lain. Populasi dalam penelitian ini adalah pelajar SMA di kota Bukittinggi yang belum pernah mengikuti pembelajaran di lembaga bimbingan belajar Ganesha Operation atau

(10)

pelajar yang akan memilih lembaga bimbingan belajar. Hasil penelitian menunjukkan keluarga berpengaruh signifikan terdapat keputusan pelajar memilih lembaga bimbingan belajar Ganesha Operation di kota Bukittinggi, kelompok referensi berpengaruh signifikan terhadap keputusan pelajar memilih lembaga bimbingan belajar Ganesha Operation di kota Bukittinggi.

Penelitian Yoan Amalia Rahmi menggunakan responden anak SMA yang karakteristik pemikirannya sudah bisa menentukan keputusan sendiri. Peran orangtua merupakan pengaruh atau stimulus untuk menentukan pilihan, tetapi pilihan ya atau tidak mengikuti bimbingan belajar tetap diserahkan kepada anak. Berbeda dengan penelitian saya, karena keputusan pemilihan lembaga bimbingan belajar berada di tangan orangtua yang disesuaikan dengan gaya hidup dan selera. Posisi penelitian saya berada pada ranah selera dan gaya hidup orang tua yang mempengaruhi pemilihan lembaga bimbingan belajar (bimbel) untuk anaknya. Hasil observasi awal menunjukkan bahwa terdapat beberapa orangtua yang memasukkan anaknya ke bimbel berdasarkan gengsi dan status sosial, tidak lagi berdasarkan nilai guna seperti penelitian Amalia dan Saino (2014). Sedangkan dalam keputusan pemilihan bimbel, hasil penelitian awal saya menunjukkan bahwa orangtua berperan penuh dalam memilih bimbel untuk anak yang disesuaikan dengan standar gaya hidupnya. Berbeda dengan penelitian Yoan Amalia Rahmi (2013), dimana keputusan pemilihan bimbingan belajar diserahkan kepada anak, karena subyek penelitian adalah siswa SMA.

(11)

1.5. Kerangka Teori 1.5.1. Praktik Konsumsi

Berawal dari konsepsi Marx, dimana transisi feodalisme menuju ke kapitalisme adalah suatu transisi dari produksi yang digerakkan demi keuntungan. Proses produksi dilakukan oleh tenaga kerja/ buruh dengan imbalan berupa upah untuk membeli barang/ jasa sesuai kebutuhan. Dalam artian buruh sebagai pembuat sekaligus penikmat.

Konsumsi terkait dengan pemakaian barang dan jasa untuk hidup dalam konteks sosial, ekonomi dan kultural tertentu. Kini seseorang mengenali dirinya melalui apa yang dikonsumsi, seperti pakaian yang dikenakan, kendaraan yang digunakan, model rumah yang ditempati, dan sebagainya. Budaya konsumsi tidak hanya menjual barang/ jasa, tetapi lebih mementingkan makna, keberartian dan status sosial.

Menurut James E. Engel (1995), konsumerisme sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang - barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan dan kesenangan. Konsumerisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang yang konsumtif tidak lagi mempertimbangkan nilai guna dan fungsi barang tersebut, tetapi lebih mempertimbangkan nilai tanda dan prestise yang melekat pada barang tersebut.

Steven Miles (1998) dalam Consumerism as Way of Life, kehidupan sehari - hari di negara maju didominasi oleh relasi kita dengan benda - benda konsumen. Budaya konsumerisme telah melekat pada pengalaman dan kehidupan masyarakat sehari - hari. Ditambah dengan globalisasi yang menyebabkan transfer

(12)

konsumerisme berlangsung dengan cepat di masyarakat. Tindakan konsumsi yang dilakukan memiliki batasan dalam struktur sosial dan norma yang dianut dalam lingkungan masyarakat.

Bourdieu yang dikutip oleh Storey (2003: 11), konsumsi dilakukan untuk tujuan pembedaan sosial, sehingga konsumsi secara sadar atau tidak telah mengisi suatu fungsi sosial berupa legitimasi untuk membedakan kelas sosial. Konsumsi yang ditekankan meliputi tanda, simbol, ide dan nilai yang menjadi penentu kelas sosial. Perilaku konsumsi dipengaruhi oleh interaksi sosial antara seseorang dan masyarakat.

Konsumsi yang dilakukan oleh orangtua bukan lagi sekedar kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional anak. Secara nyata dapat dilihat dan dibuktikan bagaimana rasionalitas konsumsi orangtua telah beroperasi pada pemilihan pendidikan untuk anaknya. Orangtua mencari tempat pendidikan yang terbaik untuk anak, menilai orangtua lain dengan keberadaan status pendidikan anak, menunjukkan identitas diri yang berbeda dengan memasukkan anak ke dalam lembaga bimbingan belajar dan sebagainya. Pemilihan konsumsi pendidikan untuk anak merupakan bentuk afiliasi orangtua terhadap gaya hidup. Kehidupan orangtua tidak lagi digerakkan oleh kebutuhan dasar dan tuntutan sehari - hari, tetapi lebih kepada konsumsi tanda yang bisa dilihat oleh orang lain.

1.5.2. Distinction, Selera dan Gaya Hidup

Dalam buku Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984), Bourdieu meneliti preferensi estetis antara kelompok yang berlainan dalam sebuah masyarakat. Terkait dengan struktur kelas sosial, Bourdieu (1984:

(13)

183-185) menyebut konsep distinction sebagai proses terbentuknya kelas melalui habitus. Distinction dalam ruang sosial ditunjukkan dengan menampilkan selera yang berbeda dari individu yang lain. Selera membantu memberikan pemahaman mengenai posisi seseorang di dalam tatanan sosial. Seseorang yang dibekali modal, gaya hidup dan selera memungkinkan menciptakan perbedaan status. Sebagai contoh misalnya anak yang mengikuti kursus di lembaga bimbingan Neutron memiliki gengsi lebih tinggi daripada anak yang mengikuti kursus di lembaga bimbingan biasa (kurang terkenal) atau dengan anak yang tidak mengikuti bimbingan belajar.

Selera menyatukan individu yang memiliki preferensi serupa seperti kelas atas dengan kelas atas, kelas menengah dengan kelas menengah, kelas bawah dengan kelas bawah dan membedakan diri dari kelas yang dianggap mempunyai preferensi berbeda. Seseorang dapat mengklasifikasikan dirinya sendiri dan mengkategorikan orang lain menurut selera yang diperlihatkan. Melalui sebuah proses terwujudlah posisi, kelas, dan kekuasaan yang dimiliki oleh orangtua yang mengarahkannya pada selera gaya hidup yang berbeda dengan yang lain.

Bourdieu (1984: 106) juga menjelaskan bagaimana selera dibentuk secara sosial dan sekaligus menjadi pembeda status sosial. Selera bukanlah sesuatu yang alamiah, tetapi produk konstruksi sosial yang dibentuk melalui pendidikan dan pengasuhan. Selera dibentuk melalui relasi antara habitus, kapital, dan field.

Selera yang dibentuk melalui habitus adalah seperangkat persepsi, pikiran dan tindakan yang diperoleh melalui a way of being, a habitual state, yang ia sebut disposition (Bourdieu, 1977: 214). Disposisi membentuk sistem klasifikasi

(14)

yang merupakan representasi konseptual (pengetahuan, perasaan, sikap) dari realitas yang dialami agen sesuai dengan posisi obyektifnya dalam ranah. Habitus dibentuk melalui proses pendidikan, pengasuhan, lingkungan, asal usul keluarga dan kelas sosial. Habitus merupakan struktur yang dibentuk melalui pilihan selera dan selera dibentuk melalui habitus, berarti habitus dan selera saling mempengaruhi.

Selera dipengaruhi jumlah dan komposisi kapital. Kapital dimaksud berupa kapital ekonomi (penghasilan, tabungan, aset barang-barang berharga), kapital budaya (pendidikan, cara berbicara, gaya berpakaian, penampilan fisik), kapital sosial (jaringan, teman, kolega, kelompok) dan kapital simbolik (gelar, kedudukan, pangkat, penghargaan).

Selera juga dipengaruhi oleh field atau arena sosial. Arena sosial adalah latar atau setting dimana posisi sosial seseorang berada. Arena sosial tercipta melalui proses interaksi antara habitus dan kapital yang dimiliki individu. Arena sosial yang berbeda menciptakan pilihan selera yang berbeda pula.

Selera menurut Piliang (2006:395) merupakan salah satu hal yang memiliki hubungan kompleks dengan struktur, nilai dan ideologi masyarakat. Selera dan struktur budaya saling mempengaruhi satu sama lain. Jika kebudayaan dibentuk oleh aturan dan kode - kode budaya, maka selera terhadap produk material juga dibentuk oleh kode - kode budaya tersebut. Konsumsi terhadap material saat ini tidak lagi sekedar pemenuhan kebutuhan hidup namun juga memiliki nilai kultural.

(15)

Nilai kultural adalah patokan yang sudah disepakati oleh masyarakat tertentu melalui interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan tempat berkumpulnya kelas sosial yang ada di masyarakat. Pengetahuan terhadap nilai yang dianut oleh kelas sosial atas diadopsi oleh kelas sosial di bawahnya, sehingga memunculkan perubahan dalam selera. Setiap kelas sosial memiliki selera yang berbeda dan memunculkan kepemilikan objek material yang dianggap mampu mewakili identitasnya.

Gaya hidup menurut Kotler (2002:192) adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Sedangkan Chaney dalam buku Life Style (1996:92) mengatakan bahwa gaya hidup selanjutnya merupakan cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik. Pandangan Kotler dan Chaney dalam gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya hidup ditentukan oleh cara seseorang dalam memilih dan mempraktekkan nilai pengetahuannya tentang suatu objek benda yang teraktualkan melalui proses konsumsi. Gaya hidup dikenali dari bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), menampilkan selera yang dimilikinya (minat), dan memikirkan apa yang ingin orang lain pikirkan tentang kita (opini). Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas, minat dan opini khususnya yang berkaitan dengan citra diri untuk merefleksikan status sosialnya. Saat ini, gaya hidup menjadi ciri dalam tatanan masyarakat modern.

(16)

1.5.3. Modal

Modal yang dimaksudkan oleh Bourdieu (dalam Jenkins, 2004:125), berupa modal ekonomi (uang), modal sosial (berbagai jenis relasi bernilai dengan pihak lain yang bermakna), modal budaya (pengetahuan sah satu sama lain) dan modal simbolik (prestise atau gengsi).

Modal ekonomi berupa segala sesuatu yang dapat dikonversikan menjadi uang. Modal ekonomi merupakan segala bentuk modal yang dimilik berupa materi, misalnya uang, emas, mobil, tanah, dan lain-lain. Untuk mendapatkan modal ekonomi, maka seseorang harus bekerja.

Modal sosial berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan maupun tidak dan anggotanya saling mengakui posisi masing - masing. Modal sosial diproduksi dan direproduksi melalui proses pertukaran yang didasarkan pada hubungan saling percaya. Modal sosial tidak berwujud, sama seperti modal manusia. Keterampilan dan pengetahuan yang ditunjukkan oleh seseorang atau sekelompok orang merupakan perwujudan modal manusia. Demikian pula halnya modal sosial karena diwujudkan dalam relasi di antara orang-orang.

Modal budaya merupakan serangkaian kemampuan atau keahlian individu. Modal budaya memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi manusia yang wujudnya adalah badan, objek yang dihasilkan oleh manusia dan institusional. Dimensi yang pertama merupakan suatu hal yang telah hidup dan tumbuh dalam diri tiap individu yang akhirnya mempengaruhi pikiran, sehingga membentuk habitus seseorang. Dimensi kedua merupakan dimensi yang terobjektifikasi, dimensi ini terwujud dalam benda-benda budaya, seperti buku, bahasa, kesenian, alat musik,

(17)

hasil karya atau benda-benda lain. Dimensi ketiga merupakan dimensi yang terlembagakan, modal dalam bentuk ini bersifat khas dan unik. Dimensi ini berwujud keikutsertaan dan pengakuan dari lembaga pendidikan dalam bentuk bidang dan gelar akademis.

Modal simbolik merupakan suatu bentuk modal yang diakui sebagai suatu hal yang sifatnya natural dan alami, meskipun butuh perjuangan untuk mendapatkannya. Modal simbolik terwujud dalam prestise, status, otoritas, kehormatan (gengsi) sosial. Wujud modal simbolik tersebut merupakan hasil keterampilan dari individu atau kelompok dalam menempatkan diri di ruang sosial.

Modal yang dimiliki merupakan hasil akumulasi yang sifatnya berkembang, terpengaruh dan terjiwakan dalam diri seseorang. Apabila keseluruhan modal tersebut dimiliki oleh seorang individu atau sekelompok orang tertentu, maka secara otomatis modal-modal tersebut dapat mementukan posisi dan kelas mereka dalam struktur sosial.

1.5.4. Teori Reproduksi Kelas Sosial

Reproduksi sosial merupakan usaha melahirkan kembali sistem dan struktur sosial yang telah ada, seperti sistem kelas, relasi gender, relasi rasisme, ataupun relasi sistem lainnya, sehingga sistem sosial ada dapat berlangsung terus. dalam reproduksi sosial secara otomatis juga akan melahirkan reproduksi budaya. Habitus merupakan produk dari reproduksi budaya yang dalam prosesnya juga melalui proses reproduksi sosial. Habitus diwujudkan dalam bentuk yang

(18)

bermacam-macam, mulai dari selera, kebiasaan, cara berpikir, pola tingkah laku, kepribadian dan sebagainya.

Habitus muncul karena berkaitan erat dengan produk sejarah dari kelas sosial yang ada. Habitus diciptakan sepanjang perjalanan hidup seseorang, seperti yang diungkapan oleh Ritzer (2010: 581) bahwa habitus, produk sejarah, menghasilkan praktik individu dan kolektif, dan sejarah, sejalan dengan skema yang digambarkan oleh sejarah. Sejarah dari kelas sosial yang ada sangat menentukan sekali habitus yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Berasal dari mana, latar belakang sosial apa dan dari golongan mana orang tersebut sangat mempengaruhi habitusnya.

Kelas sosial merupakan salah satu bentuk dari stratifikasi sosial dalam masyarakat. Stratifikasi sosial dalam masyarakat mencakup berbagai dimensi antara lain berdasarkan usia, jenis kelamin, agama, kelompok etnis, kelompok ras, pendidikan formal, pekerjaan dan ekonomi.

1.5.4.1 Habitus

Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang (Ritzer, 2009:581). Habitus bervariasi tergantung pada posisi seseorang di dunia sosial, sehingga antara individu satu dengan individu yang lain memiliki habitus yang berbeda. Setiap individu dibekali dengan serangkaian skema yang telah diinternalisasikan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial.

Habitus merupakan struktur yang dibentuk dan membentuk. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh dunia sosial. Di satu sisi, habitus

(19)

menstrukturkan struktur artinya habitus adalah struktur yang menstrukturkan dunia sosial. Di sisi lain, habitus adalah struktur yang terstrukturkan artinya habitus adalah yang distrukturkan oleh dunia sosial. Bourdieu yang dikutip oleh Piliang (2004), habitus merupakan struktur yang menstrukturkan, maka ia menjadi kesadaran dan sikap yang tertanam dalam diri. Habitus merupakan kebiasaan yang berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, presentasi dan tindakan seseorang..

Habitus bersifat pra sadar (preconcious) karena tidak berasal dari refleksi atau pertimbangan rasional, melainkan spontanitas yang tidak disadari dan tak dikehendaki dengan sengaja. Meskipun tidak sadar akan habitus dan cara kerjanya, habitus mewujudkan diri di sebagian besar aktifitas praktis, seperti cara makan, berjalan, berbicara, duduk dan sebagainya.

Habitus bukanlah pengetahuan ataupun ide bawaan, namun habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Habitus merupakan hasil pembelajaran melalui pengasuhan aktivitas bermain, belajar dan pendidikan masyarakat didalam arti luas. Habitus pun tidak hanya sekedar merujuk pada pengetahuan atau rasa gaya, tetapi juga dijelmakan secara harfiah. Artinya hal tersebut ditanamkan dalam diri individu kemudian diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan kelas yang ditempati oleh agen atau aktor tersebut.

1.5.4.2 Arena/ Ranah (Field)

Dalam konsepsi Bourdieu (1990: 113), arena dilihat sebagai serangkaian posisi dimana berbagai permainan dilakukan. Arena dapat diartikan sebagai posisi

(20)

atau tempat kelas sosial tertentu di dalam masyarakat. Dalam arena berbagai strategi dimainkan oleh individu maupun institusi untuk memenangkan permainan. Karena arena merupakan ruang untuk mempertaruhkan modal yang dimiliki.

Konsep arena juga tidak dapat dipisahkan dari habitus. Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi, kultural, sosial, dan simbolis. Bourdieu mengatakan bahwa dalam tatanan sosial masyarakat ada yang menguasai dan dikuasai. Namun, peran dominasi tergantung pada situasi, sumber daya, dan strategi.

Arena merupakan kekuatan dalam upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk memperoleh akses yang dekat dengan hirarki kekuasaan. Arena juga merupakan semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian bimbel sebagai artikulasi gaya hidup orangtua di Yogyakarta, peneliti akan menggunakan metode penelitian Studi Lapangan ( Field

Research ) dengan pendekatan kualitatif (qualitative research). Bogdan dan

Taylor yang dikutip oleh Moleong (2007: 4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan

(21)

dan jenis penelitian tersebut menempatkan peneliti untuk mengamati pola dan perilaku orangtua di sekitar tempat tinggalnya. Langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah dengan metode studi lapangan, melalui pendekatan kultural berdasarkan pengalaman nyata peneliti. Tindakan yang dilakukan berupa observasi, wawancara terstruktur dan tidak terstruktur, pengolahan data dan analisis.

1.6.2 Sasaran dan Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih oleh peneliti untuk melakukan penelitian yang akan menjawab tema dan rumusan masalah yang dimunculkan oleh peneliti adalah bimbel Neutron dan Ganesha Operation sebagai lokasi awal penelitian karena dua bimbel ini merupakan bimbel yang paling laris terlihat dari jumlah lulusan siswa dan memiliki cabang yang banyak di Yogyakarta.7 Kemudian di penelitian lanjutan dilakukan yang pertama Kampung Semaki Kulon / UH 1, Umbulharjo, kedua Kampung Warungboto, Glagahsari, Umbulharjo, ketiga di Perumahan Citra Indah Maguwoharjo, dan keempat di Perumahan Griya Tirta Amarta, Ngaglik, Sleman.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dengan cara observasi partisipan yaitu mengamati aktivitas orangtua dan anak, karakteristik fisik situasi sosial di sekitar tempat tinggal dan data – data pendukung penelitian. Observasi terdiri dari observasi deskriptif yang dilakukan secara umum yaitu observasi ke bimbel Neutron dan

7

http://www.bisnishack.com/2014/09/4-bimbingan-belajar-ternama-di-yogyakarta.html diunduh tanggal 5 Juli 2015 jam 23.00

(22)

Ganesha Operation, serta di lingkungan rumah dalam lingkup keluarga dan di lingkungan sekitar rumah orangtua.

Pemilihan subjek penelitian berdasarkan pada orangtua yang memiliki anak masih duduk di kelas IV dan V Sekolah Dasar (SD), serta mengikuti kegiatan belajar di bimbel Neutron dan Ganesha Operation. Pemilihan subyek ini berdasarkan data yang diperoleh dari bimbel Neutron dan Ganesha Operation, melalui beberapa seleksi. Keempat informan ini dipilih sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh peneliti. Orangtua golongan menengah dan atas, serta orangtua yang berinisiatif sendiri ketika memasukkan anak ke bimbel (tanpa persetujuan/ diskusi dengan anak).

Observasi deskriptif juga dilakukan di satu kompleks atau RT dalam empat lingkungan rumah yang berbeda dengan mengamati perilaku dan kondisi sosial antar tetangga. Pertama di Kampung Semaki Kulon / UH 1, Umbulharjo, kedua di Kampung Warungboto, Glagahsari, Umbulharjo, ketiga di Perumahan Citra Indah Maguwoharjo, dan keempat di Perumahan Griya Tirta Amarta, Ngaglik, Sleman. Observasi ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang tingkah laku orangtua dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Melalui observasi peneliti memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang interaksi sosial orangtua dengan masyarakat di sekelilingnya.

Penelitian ini dilakukan oleh peneliti yang bertindak sebagai guru les privat bimbel Neutron dan Ganesha Operation. Menjadi guru les privat memudahkan peneliti untuk memperoleh data karena hampir setiap hari berinteraksi dengan orangtua, anak dan lingkungan sekitar. Kegiatan observasi

(23)

juga dilakukan untuk mengamati interaksi antara keluarga informan dengan tetangga sekitar rumah.

Teknik pengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara langsung. Dengan pengamatan langsung, peneliti mampu mengambil data yang relevan, mencatat perilaku dan kejadian yang sesuai dengan alur penelitian sesuai dengan teori yang digunakan. Pengamatan fokus pada gaya hidup orangtua sebagai bentuk distingsi dengan orangtua yang lain.

Dalam penelitian ini wawancara intensif dilakukan dengan orangtua, serta data wawancara tambahan dari anak dan pihak bimbel sesuai daftar pertanyaan yang telah dibuat oleh peneliti. Daftar pertanyaan dibuat untuk mempertegas hasil observasi, seperti wawancara yang dilakukan kepada orangtua khususnya ibu, tentang bagaimana peran bimbel terkait dengan biaya, perbedaan kelas yang ditawarkan dan pandangan tetangga sekitar terhadapnya.

1.6.4 Tahap-Tahap Penelitian

a. Tahap Pra Lapangan

Pada tahap pra-lapangan peneliti sudah membaca masalah menarik untuk diteliti dan peneliti telah memberikan pemahaman bahwa masalah itu pantas dan layak untuk diteliti. Kemudian peneliti juga telah melakukan pengamatan terkait dengan masalah yang diteliti.

b. Tahap Lapangan

Tahap ini merupakan tahap kelanjutan dari tahap sebelumnya. Pada tahap ini, peneliti masuk pada proses penelitian dan mengambil hal-hal penting yang berkaitan dengan penelitian. Pencarian data sesuai dengan fokus penelitian yang

(24)

diperoleh dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Penelitian dilakukan mulai awal bulan November 2014 - April 2015 (6 bulan). Peneliti bertindak sebagai guru les privat Evana, Kalya, Koko, Alma, Arya dan Adit. Menjadi guru les privat menjadikan peneliti leluasa untuk melakukan observasi dan wawancara karena gaya hidup bersifat implisit.

c. Tahap Analisis Data

Pada tahap ini, peneliti telah mendapatkan data yang sesuai dengan tema penelitian. Selanjutnya dilakukan proses pemilihan data yang disesuaikan dengan rumusan penelitian, karena dalam proses pencarian data tidak kesemuanya sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dan disesuaikan dengan data di lapangan dan teori yang digunakan. Di bagian akhir peneliti menyimpulkan hasil penelitiannya yang dilakukannya.

d. Tahap Penulisan Laporan

Penulisan laporan adalah tahap akhir dari proses pelaksanaan penelitian. Setelah semua komponen-komponen terkait dengan data dan hasil analisis data serta mencapai suatu kesimpulan, peneliti mulai menulis laporan dalam bentuk laporan penelitian kualitatif.

1.7. Sistematika Pembahasan

Bab I : Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. Rumusan masalah penelitian akan disajikan di bab selanjutnya dengan uraian lengkap.

(25)

Bab II : Memberikan gambaran umum tentang profil bimbel dan pengaruhnya terhadap reproduksi kelas sosial. Ditambah dengan profil orangtua, kegiatan sehari-hari, lingkungan tempat tinggal dan pengklasifikasian kelas sosial.

Bab III : Berisi uraian mengenai sejauh mana praktik konsumsi yang dilakukan oleh orangtua terhadap pendidikan nonformal anaknya (bimbel), terkait dengan gaya hidup, modal dan habitus.

Bab IV : Memberikan penjelasan tentang pertaruhan modal dalam gaya hidup sebagai penunjuk kelas sosial tertentu.

Bab V : Merupakan bab yang menyimpulkan dan menyajikan secara ringkas temuan hasil penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

4 Melihat fenomena tersebut, dimana ada keterkaitan yang kuat antara penggunaan media sosial dengan citra diri, penulis tergerak untuk mengetahui apakah terdapat hubungan

Ia juga mengajak relawan dari mahasiswa IPB University terutama yang tinggal di dalam kampus untuk bersama-sama membantu memberikan makan kucing secara

Health Behaviors and Risk Factors Associated with Chronic Kidney Disease in Korean Patients with Diabetes: The Fourth Korean National Health and Nutritional Examination

Dari data-data tersebut di atas peneliti memiliki keterarikan pada tugas yang dilakukan guru pembimbing khusus di sekolah dasar inklusi, terutama pada layanan apa

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yang pertama adalah Apakah permainan tradisional cublak-cublak suweng dapat meningkatkan keterampilan sosial anak di TK Aisyiyah

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan MWA..

Tujuan penelitian ini adalah diperoleh gambaran tentang NORM yang bersumber dari kandungan radionuklida alam, tingkat pancaran radiasi alpha, beta dan gamma di

Kehadiran buku ini adalah bentuk responsitas penulis yang tergerak secara naluri untuk mengembangkan dan menuangkan konsep-konsep pemikiran yang berkaitan dengan materi-materi