PERBANDINGAN METODE DECILES INDEX (DI) DAN METODE STANDARDIZED PRECIPITATION INDEX (SPI) UNTUK MENENTUKAN INDEKS KEKERINGAN PADA SUB DAS SLAHUNG KABUPATEN PONOROGO
Nadia Nurita Mautiadewi1, Ery Suhartanto2, Donny Harisuseno2
1Mahasiswa Program Sarjana Teknik Jurusan Pengairan Universitas Brawijaya 2Dosen Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
1Email: [email protected]
ABSTRAK
Kekeringan merupakan kondisi ketersediaan air jauh dibawah dari kebutuhan air untuk sehari-hari. Kekeringan terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu yang cukup lama dan berkepanjangan. Perlu adanya analisis tingkat kekeringan, untuk memberikan gambaran mengenai tingkat kekeringan yang dapat digunakan sebagai indikator awal terjadinya kekeringan di suatu wilayah. Metode Deciles Index (DI) dan metode Standardized
Precipitation Index (SPI) digunakan untuk menghitung indeks kekeringan. Perhitungan
indeks kekeringan dilakukan berdasarkan tinjauan periode defisit 1, 3, 6, dan 12 bulanan. Indeks kekeringan yang telah dihitung kemudian dibuat peta sebarannya dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peta sebaran kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997. Hasil perbandingan antara kekeringan hidrologi dengan kekeringan meteorologi pada metode Deciles Index (DI) dan metode
Standardized Precipitation Index (SPI) menunjukkan hubungan. Hasil sebaran kekeringan
menunjukkan bahwa metode Deciles Index (DI) lebih sesuai dibandingkan metode
Standardized Precipitation Index (SPI) di Sub DAS Slahung Kabupaten Ponorogo.
Kata kunci: Deciles Index, indeks kekeringan, sebaran kekeringan, Standardized Precipitation Index
ABSTRACT
Drought is the condition of availability of water below the daily waterneeds. Drought occurs slowly in a long time and prolonged. There should have been analysis of the drought, for provides a description on the level of drought can be used as an indicator of the beginning of the drought in the area. Deciles Index (DI) method and Standardized Precipitation Index (SPI) method used to calculate the index drought. Calculation index drought were based on review the period deficit 1, 3, 6, and 12 monthly. Drought index has been calculated then created on drought spatial maps used Geographic Information System (GIS). The results showed that the drought spatial maps worst drought occurred in 1997. The comparison between drought hydrology with drought meteorology on Deciles Index (DI) method and Standardized Precipitation Index (SPI) method showed relation. The distribution of drought showed Deciles Index (DI) method were better fitted than Standardized Precipitation Index (SPI) method in Sub watershed Slahung Ponorogo.
Keywords: deciles index, drought spatial map, index drought, standardized precipitation
PENDAHULUAN
Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu daerah di Propinsi Jawa Timur yang mengalami kekeringan. Menurut BPBD Kabupaten Ponorogo, sedikitnya ada tujuh kecamatan di Kabupaten Ponorogo yang mengalami kekeringan yaitu, Kecamatan Slahung, Jenangan, Mlarak, Sawoo, Balong, Badegan, serta Jambon. Sebanyak 15 desa yang tersebar di tujuh wilayah kecamatan di Kabupaten Ponorogo tersebut tergolong sebagai lokasi rawan bencana kekeringan karena berada di pegunungan tandus yang selalu menjadi langganan kekeringan setiap tahun, tidak hanya rawan kekeringan akan tetapi, juga rawan dengan kekurangan pasokan air bersih.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya analisa tingkat kekeringan, untuk mengetahui gambaran tingkat kekeringan yang dapat digunakan sebagai peringatan dini terjadinya kekeringan di suatu wilayah. Metode yang dapat digunakan untuk menganalisa tingkat kekeringan yaitu Metode Deciles Index (DI) dan Metode Standardized Precipitation Index (SPI). Pada metode Desil disarankan oleh Gibbs dan Maher (1967) dalam Morid (2006), total curah hujan bulanan dari catatan jangka panjang peringkat pertama dari tertinggi ke terendah untuk membangun distribusi frekuensi
kumulatif. Distribusi tersebut kemudian dibagi menjadi 10 bagian (persepuluh distribusi atau desil), sedangkan pada metode SPI catatan curah hujan jangka panjang di stasiun yang diinginkan pertama digunakan untuk probabilitas distribusi (misal distribusi gamma), yang kemudian berubah menjadi distribusi
normal sehingga mean
SPI adalah nol (McKee et al, 1993, 1995;. Edwards dan McKee, 1997) dalam Morid (2006).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan Metode
Deciles Index (DI) dan Metode
Standardized Precipitation Index (SPI)
dalam menentukan indeks kekeringan pada Sub DAS Slahung di Kabupaten Ponorogo.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian
Lokasi studi berada di Sub DAS Slahung Kabupaten Ponorogo. Kabupaten Ponorogo merupakan daerah pegunungan yang terletak di bagian selatan Propinsi Jawa Timur. Kabupaten ini terletak di koordinat 111°17’-111°52’ BT dan 7°49’-8°20’ LS dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter di atas permukaan laut dan memiliki luas wilayah 1.371,78 km². Pada Gambar 1 menunjukkan peta Sub DAS Slahung.
Metode Analisa
Data-data yang dibutuhkan dalam analisa ini adalah :
1. Data hujan harian selama 18 tahun (Tahun 1997-2014).
2. Peta Sub DAS Slahung.
3. Data debit AWLR selama 4 tahun (Tahun 2006-2009).
4. Data ENSO (El Nino Southern
Oscillation) (Tahun 1997-2014) Metode Deciles Index (DI)
Menurut Sudijono (2006) dalam Umami (2014), Desil (D) adalah titik, skor atau nilai yang membagi seluruh distribusi frekuensi dari data yang diselidiki ke dalam 10 bagian yang sama besar yang masing-masing sebesar 1/10 N. Sedangkan menurut Hadi (1989) dalam Umami (2014) Desil pertama didefinisikan sebagai suatu titik yang membatasi 10% frekuensi yang terbawah dalam distribusi. Desil ketiga adalah suatu titik yang membatasi 30% frekuensi terbawah dalam distribusi. Metode Desil telah diterapkan di Australia untuk mengetahui tingkat keparahan kekeringan pada lahan pertanian atau peternakan. Rumus metode Desil-1 yaitu:
D1 =Bb+ [ n 10N-cfb
fd ] i (1) D1 = Desil-1 yang dicari pada suatu titik
yang membatasi 10% frekuensi yang terbawah dalam distribusi.
Bb = Batas bawah rentang interval
Desil-1
cfb = Frekwensi kumulatif di bawah Desil-1 yang dicari
fd = Frekwensi pada interval Desil-1 yang dicari
N = Jumlah seluruh frekwensi dalam
distribusi
n = Desil yang dicari (n-1) i = Lebar interval
Dalam analisa metode Desil menggunakan Microsoft Excel rumus di atas menjadi “=PERCENTILE(Xi,Xn;k)”.
Metode Standardized Precipitation Index (SPI)
Salah satu metode yang digunakan dalam analisis kekeringan meteorologis
ini adalah menggunakan metode SPI (Standardized Precipitation Index) yang dikembangkan oleh McKee tahun 1993. Metode ini merupakan model untuk mengukur kekurangan curah hujan pada berbagai periode berdasarkan kondisi normalnya. Perhitungan nilai SPI berdasarkan jumlah sebaran gamma yang didefinisikan sebagai fungsi frekuensi atau peluang kejadian sebagai berikut:
G(x) = ∫ g(x)dx = βαΓ(α)1 x
0 ∫ tα-1e-x/βdx x
0 (2)
Nilai α dan β diestimasi untuk setiap stasiun hujan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
α = 1 4A(1+√1+ 4A 3) (3) A = ln(x̅)-∑ ln(x)n (4) Atau α = x̅s22 (5) β = αx̅ (6) Untuk x > 0
Untuk x = 0 maka nilai G(x) menjadi: H(x)=q+(1-q)G(x) (7) Dengan q = jumlah kejadian hujan = 0 (m) / jumlah data (n)
Nilai SPI merupakan transformasi dari distribusi gamma (G(x)) menjadi standar normal dengan rata-rata (mean) 0 dan perbedaan 1, atau menggunakan rumusan dibawah ini:
Perhitungan Z atau SPI untuk 0<H(x)≤0,5 Z = SPI = - (t - c0+c1t+c2t2
1+d1t+d2t2+d3t3) (8)
t =√ln ( 1
(H(x))2) (9)
Perhitungan Z atau SPI untuk 0,5<H(x)≤1,0 Z = SPI = + (t- c0+c1t+c2t2 1+d1t+d2t2+d3t3) (10) t =√ln ( 1 1-(H(x))2) (11) Dengan: c0 = 2,515517 d1 = 1,432788 c1 = 0,802853 d2 = 0,189269 c2 = 0,010328 d3 =0,001308
Tahapan Analisa 1. Pengumpulan data
2. Analisa penentuan stasiun hujan yang berpengaruh (Polygon Thiessen)
3. Pengujian data hujan a. Uji konsistensi data b. Uji ketidakadaan trend c. Uji stasioner
d. Uji persistensi
4. Analisa indeks kekeringan a. Metode Desil
b. Metode SPI)
5. Pemetaan indeks kekeringan 6. Perbandingan hasil perhitungan HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Hidrologi
Uji Konsistensi
Berdasarkan hasil uji konsistensi data hujan dengan menggunakan kurva massa ganda pada 8 stasiun hujan di Ponorogo tidak ditemukan adanya penyimpangan maka data hujan dianggap konsisten
sehingga dapat digunakan untuk
perhitungan selanjutnya.
Uji Ketidakadaan Trend
Berdasarkan hasil uji ketidakadaan trend pada Sub DAS Slahung dengan menggunakan uji korelasi peringkat metode Spearman menunjukkan bahwa tidak ada trend sehingga dapat digunakan untuk perhitungan uji selanjutnya
Uji Stasioner (Uji T dan Uji F) Berdasarkan hasil uji-t dan uji-F pada Sub DAS Slahung menunjukkan data hujan stasioner, yang berarti nilai rata-rata serta nilai variannya adalah stabil atau sama jenis.
Uji Persistensi
Berdasarkan hasil uji ketidakadaan trend pada Sub DAS Slahung dengan menggunakan uji korelasi peringkat metode Spearman tidak menunjukkan adanya persistensi sehingga data bersifat acak.
Analisa Kekeringan
Metode Desil
Tabel 1. Rekapitulasi prosentase jumlah kejadian kekeringan wilayah metode Desil tahun 1997-2014 Kejadian 1 Bulan 3 Bulan 6 Bulan 12 Bulan Amat Sangat Kering 39% 17% 22% 11% Sangat Kering 0% 11% 17% 11% Kering 6% 0% 17% 11% Normal 28% 44% 39% 33% Basah 28% 28% 6% 33% Pada tabel klasifikasi metode Desil menunjukkan kering ketika kumulatif hujan kurang dari 30%. Dalam perhitungan metode Desil dibagi menjadi 10 bagian diurutkan dari nilai terkecil ke nilai terendah. Tabel 1 menunjukkan prosentase kejadian kekeringan wilayah metode Desil pada pada tiap periode defisit.
Dari Tabel 1 dapat dilihat prosentase kejadian ”amat sangat kering” paling tinggi pada periode defisit 1 bulanan sebesar 39%. Kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997.
Metode SPI
Metode SPI digunakan untuk mengukur kekurangan curah hujan pada berbagai periode berdasarkan kondisi normalnya. Tabel 2 menunjukkan prosentase kejadian kekeringan wilayah selama 18 tahun pengamatan untuk tiap periode defisit.
Tabel 2. Rekapitulasi prosentase jumlah kejadian kekeringan wilayah metode SPI tahun 1997-2014 Kejadian 1 Bulan 3 Bulan 6 Bulan 12 Bulan Amat Sangat Kering 2% 0% 1% 0% Sangat Kering 1% 3% 2% 1% Kering 4% 8% 6% 9% Normal 65% 71% 78% 76% Basah 27% 18% 13% 13%
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa prosentase jumlah kejadian kekeringan wilayah pada metode SPI memiliki nilai prosentase kejadian normal yang tinggi. Prosentase “amat sangat kering” paling tinggi terjadi pada periode defisit 1 sebesar 2%. Kejadian amat sangat kering terjadi pada tahun 1997, 2005, dan 2007-2009.
Perbandingan Metode Desil dan Metode SPI
Dari perhitungan indeks kekeringan dapat dibandingkan prosentase jumlah kejadian berdasarkan tingkat kekeringannya. Perbandingan metode Desil dan metode SPI dilakukan berdasarkan perhitungan indeks
kekeringan dengan periode defisit 1 bulanan karena untuk periode defisit 3, 6, dan 12 bulanan antara keduanya memiliki cara perhitungan yang berbeda, sehingga tidak bisa untuk dibandingkan.
Dari Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat pada metode Desil cenderung memiliki tingkat kekeringan “Amat Sangat Kering” sedangkan metode SPI memiliki tingkat kekeringan “Normal”.
Analisa Peta Sebaran Kekeringan Berdasarkan perhitungan nilai indeks kekeringan metode Desil dan SPI pada periode 1, 3, 6, dan 12 bulanan dibuat peta sebarannya dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan interpolasi IDW. Berikut peta sebaran kekeringan:
Gambar 3. Peta Sebaran Kekeringan SPI Periode 1 Bulanan Tahun 1997 Sub DAS Slahung Dari peta sebaran kekeringan pada
metode Desil dan metode SPI kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997. Dari Gambar 2 dapat dilihat kekeringan terparah pada metode Desil terjadi selama 6 bulan yaitu bulan Maret, Juni, Juli, Agustus, dan September, sedangkan dari Gambar 3 dapat dilihat kekeringan terparah pada metode SPI terjadi selama 1 bulan yaitu bulan Maret. Berdasarkan peta sebaran kekeringan pada metode Desil di Sub DAS Slahung, desa yang mengalami kekeringan dengan kriteria kekeringan terbanyak selama 18 tahun pengamatan adalah Desa Kupuk dan Desa Sambilawang Kecamatan Bungkal, Desa Jalen dan Desa Balong Kecamatan Balong, serta Desa Menggare Kecamatan
Slahung dengan durasi 61 bulan. Lama periode kekeringan yang sering terjadi adalah 5 bulan, yaitu bulan Juni sampai Oktober. Sedangkan pada metode SPI desa yang mengalami kekeringan dengan kriteria kekeringan terbanyak selama 18 tahun pengamatan adalah Desa Tosanan dan Desa Tegalombo Kecamatan Kauman, Desa Bungkal Kecamatan Bungkal dengan durasi 7 bulan.
Perbandingan Hasil Perhitungan dengan Debit dan ENSO
Perbandingan data debit dengan indeks kekeringan digunakan untuk mengetahui apakah debit AWLR Kali Slahung memiliki hubungan dengan indeks kekeringan atau tidak.
Gambar 4. Grafik Perbandingan Nilai Indeks Kekeringan Wilayah Metode Desil untuk Periode Defisit 1 Bulanan Tahun 2006-2009
Dari Gambar 4 dapat dilihat kemiripan trend fluktuasi antara debit AWLR kali Slahung dengan indeks kekeringan rata-rata wilayah Desil sebesar 60%, ini menunjukkan adanya hubungan meskipun tidak semua trend fluktuasi debit dan indeks kekeringan sama.
Dari Gambar 5 dapat dilihat kemiripan trend fluktuasinya sebesar 40%, ini menunjukkan bahwa adanya sedikit keterkaitan antara debit AWLR kali Slahung dengan indeks kekeringan wilayah SPI di stasiun hujan Sungkur. Dari analisa di atas dapat disimpulkan bahwa indeks kekeringan rata-rata metode Desil memiliki prosentase kemiripan trend fuktuasi yang lebih besar dibandingkan prosentase indeks kekeringan rata-rata metode SPI.
Gambar 5. Grafik Perbandingan Nilai Indeks Kekeringan Wilayah Metode SPI untuk Periode Defisit 1 Bulanan Tahun 2006-2009
Tabel 3. Rekapitulasi Nilai Kesesuaian Desil dan SPI
Periode Desil SPI 1 Bulanan 44% 50% 3 Bulanan 83% 39% 6 Bulanan 89% 56% 12 Bulanan 72% 72%
Dari Tabel 3 dapat dilihat perbandingan antara nilai indeks kekeringan dengan ENSO (El Nino
Southern Oscillation) atau nilai SOI dapat
dibandingkan antara nilai kesesuaian metode Desil dengan nilai kesesuaian metode SPI dapat disimpulkan bahwa status indeks kekeringan metode Desil lebih sesuai dengan status El-Nino daripada status indeks kekeringan SPI. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisa dan perhitungan yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari hasil analisa indeks kekeringan dengan menggunakan metode Deciles
Index (DI) kekeringan terparah pada
periode defisit 1, 3, dan 12 bulanan terjadi pada tahun 1997, pada periode defisit 6 bulanan kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997 dan 2007. Sedangkan pada metode Standardized
Precipitation Index (SPI) kekeringan
terparah pada periode defisit 1 bulanan terjadi pada tahun 1997 dengan nilai indeks sebesar -4.337, pada periode defisit 3 bulanan terjadi pada tahun 1997 dengan nilai indeks sebesar -3.396, pada periode defisit 6 bulanan terjadi pada tahun 1997 dengan nilai indeks sebesar -3.061, dan pada periode defisit 12 bulanan terjadi pada tahun 1997 dengan nilai indeks sebesar -2.603.
Metode Deciles Index (DI) dan Metode
Standardized Precipitation Index (SPI) Peta sebaran kekeringan Metode
Deciles Index (DI) dan Metode Standardized Precipitation Index
(SPI) pada periode defisit 1, 3, 6, dan 12 bulanan, tahun yang paling kering terjadi pada tahun 1997. Pada sebaran kekeringan pada Sub
DAS Slahung Kabupaten Ponorogo dengan Metode Deciles Index (DI) desa yang mengalami kekeringan dengan kriteria kekeringan terbanyak adalah Desa Kupuk dan Desa Sambilawang Kecamatan Bungkal, Desa Jalen dan Desa Balong Kecamatan Balong, serta Desa Menggare Kecamatan Slahung. Sedangkan pada Metode
Standardized Precipitation Index
(SPI) desa yang mengalami kekeringan terbanyak adalah Desa Tosanan dan Desa Tegalombo Kecamatan Kauman, Desa Bungkal Kecamatan Bungkal.
3. Berdasarkan perbandingan nilai indeks kekeringan dengan kekeringan hidrologi dan nilai SOI menunjukkan adanya kesesuaian antara nilai SOI dengan indeks kekeringan. Berdasarkan perbandingan antara debit AWLR Kali Slahung dengan indeks kekeringan rata-rata pada metode Desil, kemiripan trend fluktuasi di stasiun hujan Sungkur sebesar 60%, ini menunjukkan adanya hubungan, Sedangkan pada metode SPI, kemiripan trend fluktuasi di stasiun hujan Sungkur sebesar 40%, ini menunjukkan bahwa adanya sedikit keterkaitan. Hasil sebaran kekeringan menunjukkan bahwa Metode Deciles Index (DI) lebih sesuai dibandingkan Metode
Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini yaitu untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat diperlukan data hujan yang panjang dan lengkap serta diperlukan kesediaan data debit yang lebih panjang agar didapatkan hasil analisa yang lebih akurat. Penentuan kekeringan tidak hanya dari curah hujan, tetapi bisa dari pertanian, klimatologi, dan lengas tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Harto, Sri. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Montarcih, L. & Soetopo, W. 2009.
Statistika Hidrologi Dasar. Malang:
Citra
Morid, Saeid. 2006. Comparison of Seven
Meteorological Indices for Drought Monitoring In Iran. International
Journal of Climatology. 26: 971–985. Muliawan, Hadi. 2015. Analisa Indeks
Kekeringan dengan Metode Standardized Precipitation Index (SPI) dan Sebaran Kekeringan dengan GeographicInformation System (GIS) pada DAS Ngrowo.
Jurnal Pengairan.
Soemarto, C.D. 1987. Hidrologi Teknik. Surabaya: Usaha Nasional.
Soewarno. 1995. Hidrologi: Aplikasi
Metode Statistika Untuk Analisa Data Jilid 1. Bandung: Nova.
Soewarno. 1995. Hidrologi: Aplikasi
Metode Statistika Untuk Analisa Data Jilid 2. Bandung: Nova.
Triatmodjo, Bambang. 2010. Hidrologi
terapan. Yogyakarta: Beta Offset.
Umami, F.N. 2014. Aplikasi Sistem
Informasi Geografi untuk Analisa Kekeringan Menggunakan Metode Desil Pada DAS Widas Kabupaten Nganjuk. Jurnal Pengairan.