• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wisata Alam dan Ekowisata

Wisata alam merupakan salah satu jenis rekreasi dengan mengadakan kegiatan perjalanan atau sebagian kegiatan tersebut bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam melalui terminologi ekoturisme (Ceballos-Lascurain, 1987 yang diacu oleh Kohdyat, 1997). Kegiatan wisata alam sering kali disediakan di lanskap alami seperti zona pemanfaatan Taman Nasional oleh Pengusaha Pariwisata Alam (PPA) yang diawasi dan diarahkan sesuai dengan PP No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam yang telah diperbaharui menjadi PP No. 36 Tahun 2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Selain itu, dalam penetapan kawasan wisata di lanksap alami juga diarahkan dan ditetapkan melalui Peraturan Dirjen PHKA No. P.3/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penyusunan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, sehingga kelestarian kawasan tersebut tetap terjaga.

Salah satu bentuk konsep dari wisata alam adalah ekowisata. Ekowisata merupakan pengembangan dan operasi dari aktivitas wisata dalam melindungi lingkungan dengan meningkatkan keterlibatan komunitas lokal secara aktif dalam menghasilkan operasi dan pengelolaan wisata, menciptakan produk wisata berupa pembelajaran, nilai edukasi dan wisata yang meminimalisir dampak negatif dan menghasilkan kontribusi positif dalam perkembangan ekonomi lokal (Sekartjakrarini dan Legoh, 2004). Dalam pengembangan sarana dan prasarana fisik di kawasan konservasi perlu mempertimbangkan (WAPJL,2003):

a. Aspek ekologi; dengan memperhatikan konsep ramah lingkungan, tidak memotong jalur satwa, memperhatikan garis sempadan pantai/sungai.

b. Aspek fisik; memperhatikan tekstur dan jenis tanah serta topografi.

Model pengembangan berdasarkan pelaku pengembangan menurut Sukandi (2000) terdapat empat model pengembangan ekoturisme, yaitu :

(2)

Model ini merupakan suatu pengembangan pariwisata atas usaha usaha masyarakat setempat dengan memanfaatkan potensi pariwisata lokal. Sebagai contoh, penduduk setempat menyediakan penginapan-penginapan sederhana bagi turis mancanegara atau lokal.

b. Imported-Private Sector Led

Pelaku pengembangan terutama tenaga terdidik berasal dari luar masyarakat setempat dalam model ini. Saat ini model Imported-Private Sector Led banyak diterapkan untuk mengelola obyek-obyek wisata alam, baik di Indonesia ataupun di negara-negara lain. Perusahaan biasanya menyewa suatu kawasan wisata untuk jangka waktu tertentu.

c. Imported-Government Led

Pemerintah mengembangkan kegiatan pariwisata untuk membantu meningkatkan pertumbuhan pariwisata. Biasanya jika sudah berjalan lancar, dilakukan swastanisasi dalam pengoperasiannya.

d. Home Grown-with Outside Influences

Penduduk setempat menyediakan suatu obyek wisata kemudian dibantu oleh pihak luar masyarakat setempat, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), penyandang dana internasional, dan pihak swasta. Motif kegiatan dapat berupa konservasi, pengembangan masyarakat, dan komersial. Peranan pihak luar adalah untuk menstimulasi agar suatu kegiatan kepariwisataan yang dimiliki dan dioperasikan oleh masyarakat setempat dapat berhasil dalam mencapai tujuannya.

2.2 Bumi Perkemahan

Bumi perkemahan adalah sebidang lahan yang memenuhi persyaratan mendirikan tenda untuk berteduh atau menyelenggarakan kegiatan berkemah. Melalui bumi perkemahan, kegiatan menikmati alam, serta mengembangkan bakat dan keterampilan dapat dilakukan. Kegiatan-kegiatan tersebut dikembangkan melalui fungsi konservasi, pendidikan, dan pariwisata untuk kawasan lanskap seperti taman nasional.

Prinsip-prinsip pembangunan bumi perkemahan menurut PHPA (1986) untuk memenuhi fungsi konservasi adalah sebagai berikut :

(3)

1. Layout bumi perkemahan harus seminimal mungkin mengubah alam lingkungan.

2. Penyebaran areal tidak terlalu luas agar dapat dikendalikan secara efektif. 3. Pembangunan dan pemanfaatannya tidak akan menimbulkan kerusakan

atau menurunkan potensi ekosistem lingkungan.

4. Harus mampu memberikan perlindungan dan keamanan yang cukup terhadap areal bumi perkemahan.

5. Mempunyai fasilitas dan akomodasi yang memadai bagi kepuasan pengguna areal bumi perkemahan.

6. Mudah dikelola tanpa memerlukan biaya tinggi oleh pihak pengelola. Jenis bumi perkemahan menurut Sriyanto dkk. (1988), dibedakan sebagai berikut:

1. Bumi perkemahan sederhana dengan ciri pengelolaan ekstensif, luas 0,25 ha, dikembangkan secara terbatas, suasana alami untuk petualangan, modifikasi sumberdaya alam minimal dan memberi kenyamanan bagi pengguna. Fasilitas yang tersedia adalah areal perkemahan, sarana sanitasi, jalan setapak, pos jaga, dan gudang.

2. Bumi perkemahan sedang dengan pengelolaan semi intensif dengan luas 1-2 ha, dikembangkan secara terbatas, modifikasi sumberdaya secukupnya, dan memberi kenyamanan bagi pekemah. Fasilitas yang tersedia adalah areal perkemahan, areal api unggun, areal upacara, dapur umum, jalan setapak, reservoir air, pondok jaga, dan gudang.

3. Bumi perkemahan lengkap dengan ciri pemeliharaan intensif, luas 2-3 ha, modifikasi sumberdaya secukupnya. Fasilitas yang tersedia terdiri dari sarana akomodasi, areal perkemahan, arena api unggun, arena ketangkasan, sarana sanitasi, reservoir air, jalan setapak, jalan mobil, area parkir, pintu gerbang, dapur umum, pusat informasi, pondok jaga, amphitheatre, dan pusat pertolongan pertama pada kecelakaan.

Tempat berkemah adalah tempat untuk menginap dengan menggunakan tenda, beserta kendaraan kemah dan segenap aktivitas di luar perkemahan outdoor living. Dalam kondisi seperti ini tanah harus dapat dilewati berulang kali oleh manusia atau secara terbatas oleh kendaraan. Kriteria evaluasi lahan untuk tempat berkemah disajikan dalam Tabel 1.

(4)

Tabel 1 Kriteria Evaluasi Lahan untuk Tempat Berkemah (Hardjowigeno, 1985)

Sifat tanah Kesesuaian lahan

Baik Sedang Buruk

Drainase*) c, ac,b,ab ab, aj. aj, j, sj.

Air tanah > 75 cm Air tanah > 50 cm Air tanah < 50 cm

Banjir Tanpa musim kemah Tanpa dalam musim

kemah

Banjir dalam musim kemah

Permeabilitas Sangat cepat, Agak lambat, Sangat lambat

sedang lambat

Kemiringan 0-8% 8-15% > 15%

Tekstur tanah **) lp,lph,lpsh, lli,lip, lip,lid,

permukaan l, ld lid, pl, p pasir lepas

(bukan pasir (mudah ter- lepas) bang),organik

Kerikil dan 0-20% 20-50% > 50%

Kerakal

Batu 0-0.1% 0.1 - 3% > 3%

*) c = cepat; ac = agak cepat; b = baik; ab = agak baik; aj = agak jelek; j = jelek; sj = sangat jelek.

**) lp= lempung berpasir; lph= lempung berpasir halus; lpsh= lempung berpasir sangat halus; l= lempung; ld= lempung berdebu; lli= lempung liat; llip= liat berpasir; llid= liat berdebu; pl= pasir berlempung; p= pasir.

Kebutuhan area setiap orang untuk aktivitas berkemah yaitu seluas 84,3 m², termasuk area parkir. Sedangkan hasil studi yang dilakukan oleh Arifin (1990), kebutuhan ruang per orang adalah 22,5 m², yang mencakup areal tenda, bermain, penyangga, dan bangunan MCK.

2.3 Hutan Diklat

Hutan Diklat adalah Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) untuk pendidikan dan pelatihan tanpa merubah fungsi hutan tersebut. Suatu Hutan Diklat dapat memenuhi dan menampung berbagai tujuan khusus melalui tipe pemanfaataan lahan didalamnya. Berbagai tipe pemanfaatan lahan untuk hutan mempunyai spesifikasi yang jelas mengenai tujuan pengelolaannya. Berbagai tipe pemanfaatan lahan beserta tujuannya dalam suatu hutan dijelaskan pada Tabel 2 dan beberapa kriteria bagi setiap tipe pemanfaatan lahan hutan disajikan dalam Tabel 3.

(5)

Tabel 2 Tujuan Tipe-Tipe Pemanfaatan Lahan untuk Hutan (Soemarno, 2002)

No. Tipe Pemanfaatan Tujuan

1. Hutan lindung tetap pendidikan

Konservasi hutan alam pegunungan sebagai sumber plasma nutfah dan untuk kepentingan penelitian dan pendidikan 2. Hutan konservasi air

alamiah

Pengamanan kesinambungan suplai air, untuk pertanian dan domestik.

3. Hutan konservasi

tanah alamiah

Konservasi tanah terhadap erosi dalam rangka untuk mencegah kerusakan mekanik dan sedimentasi pada sistem penampung dan penyaluran air, sangat penting ada lereng yang curam dan mudah longsor.

4. Hutan produksi

alamiah dengan pengelolaan ekstensif

Produksi kayu gergajian dan hasil kayu tambahan di hutan alam pegunungan dengan tingkat produksi rendah

5. Hutan produksi

alamiah yang intensif

Produksi kayu gergajian dan kayu lain dengan produktivitas medium, dengan preservasi fisiognomi hutan.

6. Hutan tanaman kayu

timber

Produksi kayu gergajian untuk kebutuhan lokal dan ekspor.

7. Hutan tanaman kayu

pulp

Produksi kayu pulp sangat fleksibel dengan biaya murah.

8. Hutan tanaman Produksi kayu bakar dengan biaya murah

kayu bakar

9. Hutan bambu Produksi material multiguna &sekaligus untuk konservasi

tanah

10. Hutan rakyat Produksi kayu campuran di sekitar wilayah desa

11. Agro-hutani/

Wanatani

Sistem hutan tanaman dengan ternak dan budidaya tanaman pertanian menggunakan sistem rotasi yang terkendali

12. Hutan tanaman

konservasi

Vegetasi penutup tanah di daerah yang sangat peka erosi dalam rangka untuk mengamankan daerah di bawahnya

13. Hutan wisata Menciptakan fasilitas wisata di kawasan hutan.

Tabel 3 Kriteria Setiap Tipe Pemanfaatan Lahan Hutan (Soemarno, 2002)

No. Tipe Pemanfaatan

Lahan

Kriteria

1. Hutan lindung

tetap

Tipe-tipe vegetasi alamiah yang relatif tidak terganggu, luas minimum setiap tipe vegetasi 50-100 ha, lokasi dan deskripsi tipe-tipe vegetasi, teknologi tradisional, taraf pengelolaan medium, perlindungan terhadap gangguan, petak observasi permanen, pemantauan perkembangan vegetasi, latihan dan pendidikan. 2. Hutan konservasi Distribusi hutan seimbang per Sub DAS, air alamiah , luas total

minimum 7000 ha; data setiap sub-DAS tentang kekurangan/kelebihan air dan debit air di batas hutan.

taraf pengelolaan medium, pengalaman dalam konservasi air dan pemantauan perkembangan hutan, konservasi tajuk dan perakaran, perlindungan terhadap gangguan, pemantauan curah hujan dan debit air di batas hutan.

3. Hutan alam untuk

konservasi tanah

Komposisi vegetasi, klasifikasi erodibilitas DAS, taraf pengelolaan medium, pemantauan curah hujan, sedimentasi dan perkembangan vegetasi, stimulasi tajuk, topsoil yang strukturnya bagus dan perakaran yang dalam, perlindungan terhadap gangguan, ada perencanaan jalan dan metode pemanenan.

(6)

4. Hutan produksi alamiah yang ekstensif

Data tentang komposisi dan dimensi vegetasi, estimasi tebang pilih; satuan-satuan hutan > 5 ha pada kemiringan > 100%, data tentang kelas lereng, akses dari desa terdekat, taraf pengelolaan rendah hingga medium, pemantauan perkembangan hutan, perencanaan, perlakuan silvikultur, perlindungan terhadap gangguan, pengetahuan metode panen dan konservasi, pelatihan personil.

5. Hutan produksi

alamiah yang intensif

Data tentang komposisi dan dimensi vegetasi, estimasi tebang pilih; satuan-satuan hutan > 25 ha pada lereng <70%, data tentang kelas kemiringan, sistem jalan yang terencana dengan aksesibilitas potensial yang bagus, taraf pengelolaan tinggi, perencanaan perlakuan silvikultur, perlindungan terhadap gangguan, pengetahuan tentang metode pembangunan jalan dan pemanenan, pelatihan personil.

6. Hutan tanaman

kayu timber

Data komposisi spesies, potensial dan dimensi silvikultur, syarat tumbuh spesies tentang iklim, tanah dan hidrologi; tergantung pada teknologi yang digunakan pada kemiringan hingga 50% atau 70%, sebaiknya pada permukaan lahan yang tidak kasar dan aksesibilitasnya baik, taraf pengelolaan medium atau tinggi, perencanaan yang intensif terhadap perlakuan silvikultur dan operasi panen, supervisi yang bagus dan intensif, fasilitas transpor yang baik, pelatihan personil.

7. Hutan tanaman

kayu pulp

Data komposisi dan dimensi spesies; pada slope > 50% tidak peka terhadap erosi, potensi produktivitasnya baik, aksesibilitasnya baik dan permukaan tanah tidak kasar; unit-unit minimum > 5 ha, skala usaha > 500 ha, taraf pengelolaan medium hingga tinggi, perencanaan yang baik dan intensif terhadap perlakuan silvikultur dan operasi pemanenan, fasilitas transportasi yang baik, pelatihan personil.

8. Hutan tanaman

kayu bakar

Data tentang komposisi spesies dan potensial hasil; pada slope< 50% pada wilayah di dekat desa, tingkat pengelolaan rendah atau medium, pada areal yang dapat tererosi operasi pemanenan lebih ekstensif.

9. Hutan tanaman

bambu

Data komposisi spesies dan potensial hasil; sebaiknya padatanah-tanah yang subur, taraf pengelolaan rendah hingga medium, penelitian tentang sistem pengelolaan dan potensial hasil.

10. Hutan rakyat Data tentang komposisi spesies, potensi dan dimensi silvikultur;

pada slope hingga 50%; Di sekitar wilayah desa, taraf pengelolaan medium, perencanaan dan implementasinya di bawah supervisi lembaga kehutanan.

11. Agro-hutani Data tentang kompoisi spesies, potensial, dimensi dan hasil

tanaman hutan dan tanaman pertanian, pengetahuan tentang kompetisi antara spesies pohon dan tanaman pertanian; pada tanah-tanah yang tingkat kesuburannya moderat dan peka erosi; pada slope < 30%; aksesibilitas internal dan eksternalnya baik, taraf pengelolaan medium atau tinggi, perencanaan yang baik dan intensif terhadap penggunaan lahan ini, termasuk sistem penelitian dan pengelolaannya.

12. Hutan tanaman

konserva si tanah

Data komposisi spesies, potensi dan dimensi silvikultur,data penutupan tajuk dan penutupan permukaan tanah; pada areal yang sangat peka erosi, dengan slope > 70%, taraf pengelolaan medium, pengetahuan tentang perlakuan silvikultur dan konservasi tanah.

(7)

13. Hutan wisata Komposisi vegetasi yang sesuai, berselang- seling dengan tempat terbuka; kondisi iklim yang nyaman, lokasi camping atau slope <15%, aksesibilitas eksternal dan internal yang bagus, fasilitas rekreasi yang memadai, taraf pengelolaan medium hingga tinggi, pengetahuan tentang pemanfaatan kawasan hutan untuk wisata.

2.4 Perancangan Lanskap

Menurut Simonds (1983), perancangan secara umum adalah proses kreatif yang mengintegrasikan aspek teknologi, sosial, ekonomi, dan biologi, serta efek psikologis dan fisik yang ditimbulkan dari bentuk, bahan, warna, dan ruang, tekstur, dan kualitas lainnya.

Terdapat enam prinsip desain menurut Ingles (2004) yang dapat diterapkan dalam perancangan suatu lanskap, yaitu :

1. Balance ( keseimbangan )

Merupakan sesuatu yang baik dilihat dan apabila tidak seimbang maka secara fisik akan terlihat tidak nyaman.

2. Focal point (pusat perhatian)

Focal point dalam lanskap dalam diciptakan dengan menggunakan elemen lunak, elemen keras, warna, pergerakan tekstur, dan atau kombinasi dari beberapa fitur. Elemen atau komposisi yang dihasilkan tersebut memiliki karakter yang kuat, sehingga dapat menarik dan mengambil perhatian pengunjung.

3. Simplicity (kesederhanaan)

Tujuan dari prinsip desain ini adalah memberikan kenyamanan bagi pengunjung dengan meminimalisasi penggunaan elemen yang terlalu banyak.

4. Rhythm and line (ritme dan garis)

Ritme sebagai prinsip desain merupakan hasil yang diberikan dari pergerakan suatu objek dengan suatu interval dan standar jarak diantara pengulangan objek tersebut. Garis tercipta ketika material yang berbeda bertemu. Kesatuan dari dua batas suatu material juga akan membentuk garis.

(8)

5. Proportion (proporsi)

Proporsi terpusat pada hubungan ukuran antara semua elemen lanskap termasuk hubungan vertikal dan horizontal.

6. Unity (kesatuan)

Kesatuan diukur ketika kelima prinsip desain lainnya telah dimasukkan dalam lanskap. Kesatuan juga memiliki kontribusi dalam mengkreasikan desain secara keseluruhan.

2.5 Proses Perancangan Lanskap

Menghasilkan suatu rencana dan rancangan areal rekreasi yang baik, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, dipelajari dan dianalisis. Nurisjah dan Pramukanto (1995) menyebutkan yaitu potensi dan kendala tersedia, potensi pengunjung, kebijakan dan peraturan yang terkait dengan sumberdaya dan penggunannya, alternatif dan dampak dari perencanaan dan pelaksanaan ulang yang dilakukan dan pemantauan hasil perencanaan dan perancangan. Nurisjah dan Pramukanto (1995) menambahkan, terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan suatu kawasan di antaranya sebagai berikut:

1. Mempelajari hubungan antara kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar.

2. Memperhatikan keharmonisan antara daerah sekitarnya dengan kawasan yang akan direncanakan.

3. Menjadikan sebagai objek (wisata) yang menarik.

4. Merencanakan kawasan tersebut sehingga dapat menghasilkan suatu kawasan yang dapat menampilkan kesan masa lalunya.

Perancangan lanskap kawasan wisata, terutama wisata alam adalah merencanakan suatu bentuk penyesuaian program rekreasi dengan suatu lanskap untuk menjaga kelestariannya. Program wisata alam dibuat untuk menciptakan lingkungan fisik luar atau bentang alam yang dapat mendukung tindakan dan aktivitas rekreasi manusia yang menunjang keinginan, kepuasan dan kenyamanannya, dimana proses perencanaan dan perancangan dimulai dari pemahaman sifat dan karakter serta kebijakan manusianya dalam menggunakan tapak untuk kawasan wisata (Knudson, 1980).

(9)

Menurut Booth (1983), proses perancangan sampai pada konstruksi harus memberikan pemikiran yang logis dan kerja tim yang baik dalam menciptakan sebuah desain, memberikan informasi yang jelas tentang desain, memberikan solusi alternatif yang terbaik, serta menjelaskan solusi tersebut kepada klien. Perancangan lanskap untuk pengembangan wisata alam akan menghasilkan sebuah desain yang menarik yang berbasis ramah lingkungan, sehingga fungsi dari kawasan tersebut dapat berjalan dengan baik dengan mengikuti tahapan proses desain yang ada. Proses desain tersebut, yaitu:

1. Penerimaan proyek (Project acceptance) 2. Riset dan analisis (Research and analysis)

a. Persiapan peta dasar b. Inventarisasi dan analisis c. Wawancara dengan klien d. Pengembagan program 3. Desain/perancangan (Design)

a. Diagram fungsi

b. Diagram hubungan tapak c. Concept plan

d. Studi bentuk perancangan e. Preliminary design f. Schematic plan g. Master plan

h. Design development

4. Gambar-gambar konstruksi (Construction Drawings) a. Layout plan

b. Grading plan c. Planting plan d. Construction details 5. Pelaksanaan (Implementation)

6. Evaluasi setelah konstruksi (Post-Contruction Evaluation Maintenance) 7. Pengelolaan (Maintenance)

(10)

Simonds (1983) juga mengatakan dasar proses perencanaan dan perancangan meliputi enam tahap, yaitu :

1. Tahap commission, tahap ini merupakan langkah awal untuk mendapatkan sebuah proyek melalui sebuah persetujuan kontrak dengan klien dalam bentuk tertulis sebagai dasar pegangan pelaksanaan tugas.

2. Tahap research, adalah kegiatan pengumpulan berbagai informasi melalui survai, pengumpulan data, atau wawancara.

3. Tahap analysis, pada tahap ini dilakukan analisis terhadap tapak dengan identifikasi potensi dan kendala pada tapak.

4. Tahap synthesis, pada tahap ini dilakukan pemecahan setiap masalah dan pemanfaatan potensi.

5. Tahap construction, persiapan dokumen secara detail meliputi perancangan gambar detail, spesifikasi dan perkiraan biaya.

6. Tahap operation, adalah tahap proses dan pelaksanaan kegiatan pengembangan dan pembangunan kegiatan wisata alam sesuai dengan rencana desain, serta pemeliharaan yang telah dibuat terhadap proyek yang telah dikerjakan.

Proses pengerjaan suatu taman lanskap hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah pengawasan dan evaluasi yang kontinyu dan fleksibel, serta peka terhadap penyempurnaan waktu dan dana yang disediakan.

2.6 Kegiatan Magang

Kegiatan magang merupakan pelaksanaan dari salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk memfasilitasi pegawai, mahasiswa, siswa, dan masyarakat umum dalam mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh selama perkuliahan ke dalam dunia kerja. Fakta seringkali menunjukkan bahwa fresh graduate belum mampu bekerja secara optimal karena belum memiliki pengalaman kerja. Pembekalan diri dengan pengalaman kerja dapat diperoleh melalui kegiatan magang mahasiswa. Kegiatan magang merupakan sarana latihan kerja bagi mahasiswa dalam meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan keterampilan di bidang keilmuan tertentu. Kegiatan magang sifatnya hanya mengikuti secara teknis kegiatan dan rutinitas yang dilaksanakan oleh institusi yang menjadi tempat magang.

(11)

Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam ilmu pengetahuan serta upaya dalam membentuk sikap profesionalisme dalam bekerja. Kegiatan magang berarti melaksanakan apa yang menjadi fungsi, tugas, kewajiban, dan pekerjaan pokok dari institusi tempat magang yang relevan dengan bidang keilmuan yang terkait.

2.7 Konsultan Lanskap

Menurut Gold (1980), konsultan lanskap adalah pengembang swasta yang memiliki tanggung jawab moral dalam hal penyediaan ruang dan fasilitas rekreasi dalam kota. Perencana kota dan arsitektur lanskap berperan penting dalam kegiatan preservasi, perancangan ruang terbuka, pembangunan fasilitas rekreasi, dan program sosial sebagai pelayanan kebutuhan rekreasi bagi manusia.

Konsultasi memiliki beberapa kelebihan di antaranya:

1. Kemampuan profesional, yaitu memiliki kompetensi secara teknis berupa kemampuan dari segi perancangan yang dapat dilihat dari proyek desain yang telah dikerjakan.

2. Penyediaan pelayanan, dimana kualitas pelayanan jasa yang telah dikerjakan dapat dievaluasi dari referensi klien sebelumnya.

3. Kemampuan untuk menyediakan staf tim perencanaan degan latar belakang pengalaman dan pengetahuan yang cukup baik untuk mengerjakan suatu proyek dan menyelesaikannya dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

4. Kemampuan untuk menyewa staf ahli tambahan yang dibutuhkan sesuai beban kerja yang dibutuhkan.

5. Memiliki latar belakang pengalaman, alat-alat dan pengetahuan langsung yang berkaitan dengan situasi dan proyek yang beragam.

6. Hasil kerja yang objektif dan profesional.

7. Sistem kerja berdasarkan pada jadwal kerja yang telah dibuat.

Pemilihan konsultan yang profesional, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini: (1) pengalaman dan reputasi, (2) latar belakang dari setiap staf yang ada, (3) kemampuan tingkat muatan kerja, (4) ketersediaan pakar ahli dalam setiap bidang disiplin ilmu, (5) tanggung jawab secara profesional, (6) tanggung jawab sosial.

(12)

2.8 Manajemen Proyek Lanskap

Menurut Oberlender (1993), manajemen proyek adalah sebuah ilmu yang dan seni yang mengatur sumberdaya manusia, peralatan, bahan, dana, dan waktu untuk menyelesaikan suatu pelaksanaan dengan waktu dan biaya yan optimal. Berbagai disiplin ilmu memiliki keterkaitan dengan manajemen proyek yang terfokus menorganisasi semua kebutuhan dalam pelaksanaan.

Menurut Stoner dan Freeman (1992), manajemen memiliki proses yang mencakup empat fungsi utama, yaitu:

a. Perencanaan (planning), merupakan konsep dasar dari suatu manajemen, dimana tugas-tugas manajemen disusun dan tujuan serta sasaran ditetapkan.

b. Pengorganisasian (organizing), adalah suatu proses pengaturan dan diferensiasi kerja, wewenang, dan sumberdaya dalam anggota organisasi, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.

c. Pengarahan (directing), mencakup tahap mengarahkan, mempengaruhi, dan memotivasi karyawan untuk bekerja dan menjalankan tugasnya dengan baik.

d. Pengendalian (controlling), ditujukan untuk penetapan standar kerja, mengukur kinerja yang sedang berjalan, membandingkan kinerja ini dengan standar yang telah ditetapkan.

Gambar

Tabel 1 Kriteria Evaluasi Lahan untuk Tempat Berkemah (Hardjowigeno, 1985)
Tabel 2 Tujuan Tipe-Tipe Pemanfaatan Lahan untuk Hutan (Soemarno, 2002)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak Gracilaria verrucosa pada tikus putih (Rattus norvegicus) per oral dengan dosis berbeda (0; 2,5; 3,5; dan

Demikian Proposal ini kami buat yang berisikan Kegiatan dari Program Kerja Senat Mahasiswa Insan Pembangunan Periode 2017-2018.Kami selaku panitia mengharapkan

Untuk mengukur tingkat akurasi dan error dari pemetaan beban trafo distribusi dengan menggunakan Self Organizing Map dilakukan dengan cara membandingkan hasil clustering masing-

Dalam triangulasi sumber, peneliti membandingkan data hasil observasi dengan hasil wawancara serta membandingkan hasil wawancara dengan dokumen berupa foto-foto yang

Perkembangan kabupaten TulangBawang Barat sebagai salah satu kabupaten otonomi baru di propinsi Lampung telah meningkatkan jumlah penduduk, aktifitas pembangunan serta

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder karena mengambil data laporan keuangan dan laporan Net Profit Margin (NPM), Return On Invesment

Hasilnya didapatkan bahwa semakin besar konsentrasi yang digunakan maka polutan asap yang menyebar juga semakin banyak, demikian juga pengaruh bahan bakar yang digunakan,

Individu mampu untuk mengenal kekurangan dan kelebihan yang ada dalam diri sehingga individu yang resilien mampu untuk mengatasi kesulitan berdasarkan pengalaman