Volume 1 No. 2 Juni 2020
1
P
embaca yang budiman, Newsletter Desentralisasi dan Pelembagaan Demokrasi Lokal di Indonesia terbitan kedua dari volume satu ini merupakan edisi khusus kegiatan yang dilakukan oleh Tim Otonomi Daerah P2P LIPI berkenaan dengan pandemik Covid-19. Pada terbitan kali ini, informasi yang disajikan berupa kegiatan webinar, artikel dan publikasi hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Otonomi Daerah.Tercatat sejak Maret 2020 pandemik Covid-19 melanda Indonesia. Bahkan virus tersebut telah menyebar luas ke berbagai belahan dunia dan menyebabkan banyaknya korban yang terdampak dan berujung pada kematian. Banyak negara yang terdampak di berbagai belahan dunia mengambil kebijakan-kebijakan krusial untuk mencegah dan mengatasi Covid-19, tak terkecuali Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, penanggulangan Covid-19 terkesan tak mudah. Apalagi bila hal itu dikaitkan dengan sinergi dan koordinasi antar kelembagaan dan institusi (K/L) terkait serta pemerintah daerah (pemda). Kesemrawutan terbaca ketika K/L dan Pemda jalan sendiri-sendiri dan bahkan saling menegasikan. Nuansa tarik-menarik kepentingan atas nama politik sulit dihindarkan ketika kebijakan pusat dan daerah tidak sinkron. Silang sengkarut relasi pusat-daerah membuat masyarakat bingung. UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah cukup jelas dalam mengatur masalah pelayanan kesehatan. Namun karena Covid-19 dianggap bencana non alam dan extra ordinary sehingga penanggulangannya langsung diambil alih pemerintah pusat. Sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah harus mengikuti semua peraturan pusat (gugus tugas Covid-19).
Untuk merespons permasalahan silang sengkarut relasi pusat-daerah tersebut, Tim Otonomi Daerah P2P LIPI melaksanakan kegiatan Webinar Relasi Pusat dan Daerah dalam Mengatasi Covid-19 pada 22 April 2020. Di edisi ini disajikan update informasi dan artikel terkait Covid-19. Pembaca bisa mendapatkan informasi tersebut di edisi ini.
Akhir kata, kami tim redaksi mohon maaf bila ada kekurangan dalam newsletter ini. Saran dan usulan kritis yang konstruktif untuk perbaikan materi newsletter edisi-edisi berikutnya dari para pembaca sangat diharapkan. Terima kasih.
Salam Hangat, Redaksi
Pengantar
Redaksi
Daftar Isi
Pengantar Redaksi 1
Berita: Webinar Relasi Pusat dan Daerah dalam Mengatasi Covid-19 2
Artikel 4
Publikasi Hasil Penelitian 6
DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH
DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL
Newsletter
Diterbitkan 4 kali setahun oleh Tim Penelitian Otonomi Daerah Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).
Penanggung Jawab
Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A.
Redaktur
1. Nyimas Latifah Letty Aziz, S.E., M.Sc., M.Eng. 2. Drs. Heru Cahyono
Editor
Yusuf Maulana, S.A.P.
Sekretaris Redaksi
Dini Rahmiati, S.Sos., M.Si. (Hp. +62 817-763-719)
Desain Grafis
Anggih Tangkas Wibowo, S.T., M.MSI.
Alamat:
Pusat Penelitian Politik Widya Graha LIPI, Lt.3
Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan
Email: politik@mail.lipi.go.id Website: http://politik.lipi.go.id
TIM PENELITI OTONOMI DAERAH P2P LIPI
Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A.
(Politik dan Pemerintahan)
Drs. Heru Cahyono
(Politik dan Pemerintahan)
Nyimas Latifah Letty Aziz, S.E., M.Sc., M.Eng.
(Politik Ekonomi dan Pembangunan Wilayah)
Yusuf Maulana, S.A.P.
(Administrasi Publik)
Dini Rahmiati, S.Sos., M.Si.
(Politik dan Pemerintahan)
Informasi kerjasama penelitian
silahkan menghubungi Sekretaris Redaksi
Volume 1 No. 2 Juni 2020
2
Berita Seputar Kegiatan Webinar
Relasi Pusat dan Daerah dalam Mengatasi Covid-19
sumbangsih pemikiran bersama, salah satunya di bidang ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan (IPSK). Oleh karena itu, Pusat Penelitian Politik LIPI di bawah Kedeputian IPSK menyelengarakan acara webinar dengan tema “Relasi Pusat dan Daerah dalam Mengatasi Covid-19”. Acara ini diselenggarakan secara online melalui zoom meeting dan disiarkan secara live melalui youtube. Webinar dilaksanakan pada hari Rabu, 22 April 2020, pukul 19.00 sd 22.30 WIB.
Tujuan dari kegiatan webinar untuk mendapatkan gambaran/respons yang jelas dari keragaman daerah dalam mengatasi Covid-19; mendapatkan masukan penting tentang praktik koordinasi, pembinaan dan pengawasan (Korbinwas) antara eksekutif (pusat-daerah), dan legislatif (DPR dan DPD-RI) dalam mengatasi Covid-19; dan untuk mendapatkan masukan tentang pola relasi yang ideal antara pusat dan daerah terkait dengan wewenang, kebijakan, etika, dan norma dalam mengatasi Covid-19.
Narasumber yang menjadi pembicara pada kegiatan webinar ini mewakili berbagai bidang ilmu dan profesi, mulai dari peneliti senior LIPI, Prof. Dr. R. Siti Zuhro; Drs. Akmal Malik, M.Si (Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri); Anies Baswedan, PhD (Gubernur DKI Jakarta); Ir. H. Ruksamin, ST, MSi (Bupati Konawe Utara); Dr. Ahmad Doli Kurnia Tandjung (Ketua Komisi II DPR RI); Dr. Agustin Teras Narang (Ketua Komite 1 DPD RI); Prof. Dr. Eko Prasojo (Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia); dan Prof. Dr. Djohermansyah Djohan (Presiden Institute Otonomi Daerah & Guru Besar IPDN). Kegiatan dibuka oleh Deputi IPSK-LIPI dan dengan moderator Prof. Dr. Firman Noor (Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI).
Peserta terdiri dari berbagai profesi yang berasal dari dalam negeri (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku) dan luar negeri (Rusia dan Amerika). Pendaftaran untuk 500 peserta dan dihadiri sebanyak 270 peserta. Selain itu, sebanyak 2.311 pengunjung menonton langsung melalui youtube.
Hasil dari kegiatan webinar Relasi Pusat dan Daerah dalam Mengatasi Covid-19 menyimpulkan bahwa masalah relasi pusat dan daerah bersifat multidimensi terkait dengan masalah mindset, regulasi, koordinasi, hingga masalah pengawasan, norma dan etika. Masalah koordinasi, komunikasi dan sinergi di awal pandemik ini
P
andemik Covid-19 telah melanda dunia. Wabah ini menyebar dengan sangat cepat ke berbagai belahan dunia bahkan sampai ke Indonesia. Penyebaran wabah ini makin hari makin meluas dan dampaknya tidak hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga berdampak, terhadap ekonomi, social-politik, dan hukum. Kekhawatiran atas penyebarannya yang sangat cepat membutuhkan kesiapan dan ketangkasan dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk segera melakukan pencegahan wabah yang semakin meluas, salah satunya melalui protokol kesehatan.Penerapan protokol kesehatan dan antisipasi pencegahan diterapkan dalam berbagai kebijakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Namun, dalam implementasinya terkesan adanya ‘tarik-menarik kewenangan’ antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Koordinasi, komunikasi dan sinergi antar Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah tampak tak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal kondisi saat ini adalah kondisi darurat nasional yang seharusnya ditangani secara sigap dan tangkas, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Penyebaran yang cepat dan meluas ke daerah-daerah menuntut kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) segera mengeluarkan kebijakan untuk melindungi warganya.
Kebijakan lockdown yang diterapkan di luar negeri diadopsi oleh Pemerintah Indonesia dengan Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini kemudian turut pula diterapkan di daerah-daerah. Namun, penerapannya perlu ijin dari Pemerintah Pusat (melalui Kementerian Kesehatan). Di satu sisi dengan desentralisasi dan otonomi daerah, daerah memiliki kewenangan untuk menjalankan urusan wajib pelayanan kesehatan. Namun, dalam kondisi bencana nasional ini, kewenangan tersebut ditarik ke pusat sehingga daerah dalam hal ini harus mematuhi ‘rule of the game’ dari Pemerintah Pusat. Tarik-menarik kewenangan tersebut yang tak semestinya terjadi di saat bencana Covid-19, menimbulkan keprihatinan tersendiri.
Hal tersebut mendorong Tim Otda P2P LIPI berinisiatif menggelar diskusi untuk membahas topik krusial tersebut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai salah satu lembaga pemerintah yang fokus di bidang riset memiliki tanggung jawab untuk memberikan
DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH
DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL
Volume 1 No. 2 Juni 2020
3
DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH
DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL
diakui masih kurang. Meski demikian, terkait masalahmindset di mana pemerintah harus merespons cepat
pandemi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap seluruh proses penanganan. Pemerintah semakin hari semakin concern dan menyadari bahwa koordinasi penting. Salah satunya dicerminkan dengan keberadaan gugus tugas. Pemda sendiri telah melakukan penafsiran beberapa kebijakan dan berupaya merespons cepat untuk menjawab masalah Covid-19 yang mendera daerahnya.
Sementara untuk DPR, publik meminta agar institusi ini melakukan pengawasan secara efektif dan konstruktif, jangan mengesankan pembiaran.
Dalam kaitannya dengan daerah, perlu dilakukan diskresi kebijakan agar tercipta akselerasi respons yang taktis oleh pemda terkait pandemik. Hikmah adanya pandemik Covid-19 ini diharapkan sebagai leverage factor perbaikan pola hubungan pusat dan daerah. Relasi yang harmonis sangat diperlukan untuk mengatasi virus secara bersama. Selain itu, perlu pula menumbuhkan semangat
business not as usual dalam menghadapi extraordinary case
dengan tetap mengedepankan semangat gotong royong dan memperkuat manajemen krisis.
Urusan pemerintahan umum merupakan salah satu kunci bagi penguatan dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Tindak lanjutnya dapat dituangkan dalam Perpres terkait dengan Manajemen Kedaruratan Kesehatan Masyarakat terkait Covid-19 sebagai bencana nasional. Dalam menangani Covid-19, relasi pusat dan
daerah harus memperhatikan norma dan etika di mana baik pusat maupun daerah memahami secara benar kewenangan yang dimiliki. Baik pusat maupun daerah juga perlu saling mengapresiasi urusan yang menjadi kewenangannya masing-masing dengan berbagi tugas dan tanggungjawab yang dilandasi sinergi dan kooperasi untuk kepentingan negara dan bangsa.
Kegiatan webinar ini diharapkan bisa menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan yang bisa menjadi pertimbangan bagi eksekutif (Pemerintah Pusat dan Daerah) dan legislatif dalam menjalin koordinasi, pembinaan dan pengawasan, khususnya dalam penanganan wabah penyakit. Selain itu hasil dari kegiatan webinar ini juga diharapkan bisa memberikan manfaat bagi masyarakat sebagai bentuk public
education.
Di akhir acara webinar, panitia memberikan pooling kepada peserta webinar terkait dengan pertanyaan “Bagaimana Relasi Pusat Daerah dalam Mengatasi Covid-19 sejauh ini? Terdapat 13% yang menyatakan sangat baik; 54% cukup baik; 30% buruk; dan 3% sangat buruk.
Informasi seputar webinar ini dapat juga dilihat di http://politik.lipi.go.id/kegiatan/tahun-2020/1377- webinar-desentralisasi-dan-otonomi-daerah-relasi-pusat-dan-daerah-dalam-mengatasi-covid-19 dan prosiding webinar dengan link http://lipi.go.id/ publikasi/editor-prosiding-webinar-relasi-pusat-dan-daerah-dalam-mengatasi-covid-19/34729 2 2 3 3 4 4 5 6
Newsletter
Rabu, 22 April 2020Editor: Nyimas Latifah Letty Aziz
Platform Online Webinar, Jakarta Desentralisasi dan Pelembagaan Demokrasi Lokal
Webinar Relasi Pusat dan Daerah
Reviewer: R. Siti Zuhro
PROSIDING
Volume 1 No. 2 Juni 2020
4
DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH
DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL
Newsletter
B
eberapa waktu lalu publik dihebohkan oleh video viral kekesalan Bupati Bolaang Mongondow Timur berkenaan dengan aturan pemerintah pusat tentang bantuan sosial Covid-19 yang dinilainya membingungkan dan menyusahkan daerah.Fenomena tersebut bisa dipahami. Di satu sisi, sebagai pemimpin yang berhadapan langsung dengan rakyat dalam menghadapi ”bencana nasional” Covid-19, para kepala daerah (bupati/wali kota) dituntut untuk mengambil kebijakan yang tangkas dan memberikan rasa aman kepada rakyatnya. Di sisi lain, pemerintah pusat— yang notabene memiliki kendala dalam hal rentang kendali dengan berbagai pengaturan/norma hukum— dirasakannya lamban dalam mengambil kebijakan.
Pemerintah pusat sepertinya gamang dalam mendudukkan persoalan Covid-19: apakah tergolong wabah penyakit menular (UU No 4/1984), bencana non-alam (UU No 24/2007), atau kedaruratan kesehatan masyarakat dan kekarantinaan kesehatan (UU No 6/2018). Selain itu, publik juga melihat tidak tertata/ terbangunnya secara baik hubungan antarkelembagaan, seperti antara Kemenkes, BNPB, Kemendagri, Kemenlu, Kemenhub, Kemendesa, Kemenpan-RB, Kemenag, Kemdikbud, Kemenkeu, Kemperin, Kemendag, BUMN, Kominfo, TNI, dan Polri dalam penanganan Covid-19.
Kementerian dan lembaga (K/L) belum menjadi satu kesatuan yang utuh dalam mengatasi Covid-19. Oleh karena itu, bisa dipahami jika persoalannya menjadi lebih rumit ketika harus bersinergi dengan pemda (provinsi/ kabupaten/kota).
Pentingnya kebersamaan dan keselarasan pusat-daerah
Dalam mengatasi Covid-19, pemerintah pusat tak bisa sendiri. Kebersamaan dan keselarasan bertindak dengan pemda sangat penting. Bahkan, juga dengan pemerintahan desa (seperti nagari) yang menjadi garda terdepan dalam melayani rakyat.
Kepala daerah menjadi kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di daerahnya. Gubernur menjadi kepala gugus tugas di provinsi, sementara bupati mengepalai gugus tugas di kabupaten dan wali kota kepala gugus tugas di kota.
Masing-masing bertugas sesuai dengan Keppres No 9 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Idealnya, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tersebut dikepalai oleh presiden, bukan kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Presiden harus menjadi ”panglima” dalam perang menghadapi wabah Covid-19. Asumsinya, jika presiden jadi panglimanya, semua bisa diputuskan lebih cepat, terarah dan terintegrasi.
Pembagian kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang penanganan wabah Covid-19 mengacu pada UU No 23/2014 (tentang Pemda) dan UU No 6/2014 (tentang Desa). Kedudukan gubernur sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat penting dalam urusan penanganan Covid-19, khususnya terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan bencana nasional.
Demikian juga kedudukan bupati/wali kota sebagai kepala daerah otonom dalam menyelenggarakan urusan penanganan wabah Covid-19. Selain itu, penting pula pengelolaan alokasi anggaran dikaitkan dengan APBN 2020, APBD 2020, dan APBDesa 2020 serta refocusing anggaran agar penanganan Covid-19 lebih efektif dan konkret hasilnya.
Persoalannya adalah kurangnya kejelasan status apakah penanganan wabah Covid-19 merupakan urusan bidang kesehatan sebagaimana diatur dalam UU No 23/2014 dan UU No 6/2018 (tentang Kekarantinaan Kesehatan), atau urusan bencana sebagaimana diatur dalam UU No 23/2014 (tentang Pemerintahan Daerah) dan UU No 24/2007 (tentang Penanggulangan Bencana).
Urusan konkuren kesehatan berdasarkan UU No 6/2018 bersifat sentralistis (Kemenkes) dan dilaksanakan dengan melibatkan daerah (tugas pembantuan). Urusan tanggap darurat sesuai UU No 24/2007 bersifat sentralistis melalui presiden (BNPB) dan dilaksanakan oleh provinsi dan kabupaten/kota (dengan asas desentralisasi).
Di tataran praksis terjadi ketidaktaatan, inkonsistensi, dan ketidakharmonisan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dari berbagai UU tersebut: asas tugas pembantuan tak berjalan, demikian pula asas desentralisasi. Lemahnya koordinasi kelembagaan membuat eksekusi program lamban.
Persoalan muncul karena pemimpin tertinggi penanganan wabah Covid-19 sejak Maret tak jelas dan membingungkan publik: apakah Kemenkes atau BNPB?
Volume 1 No. 2 Juni 2020
5
DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH
DAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI LOKAL
Newsletter
Keppres No 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam sebagai Bencana Nasional tak mencantumkan soal tanggap darurat nasional seperti diatur dalam UU No 24/2007. Hal ini bisa jadi karena sudah ditetapkan PSBB di PP No 21/2020.
Sementara Keppres No 7/2020 (tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan Keppres No 9/2020 (tentang Perubahan atas Keppres No 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019/Covid- 19) hanya mengatur tugas gugus tugas dalam penanganan Covid-19 tanpa disertai kewenangan membuat keputusan dan tindakan administrasi pemerintahan.
Karena penanganan wabah ini melibatkan banyak sekali urusan yang jadi kewenangan K/L/pemda. Tampaknya Keppres No 7/2020, Keppres No 9/2020, dan UU No 24/2007 tak cukup menjangkau tugas-tugas yang dibebankan.
Penguatan urusan pemerintahan umum
Mengingat banyaknya norma hukum dan ketidakjelasan pemimpin tertinggi dalam penanganan wabah Covid-19 di tingkat pusat, serta berkaitan dengan kewenangan provinsi dan kabupaten/ kota, kiranya penting dipertimbangkan untuk memperkuat urusan pemerintahan umum sebagaimana diatur dalam UU No 23/2014 (tentang Pemda).
Urusan pemerintahan umum adalah urusan yang jadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan (Pasal 9), dan dilaksanakan oleh gubernur di tingkat provinsi dan bupati/wali kota di tingkat kabupaten/ kota (Pasal 25 Ayat 2). Dengan demikian, sinergi pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam penanganan wabah dapat dilaksanakan dengan baik.
Berkenaan dengan hal ini, diperlukan perpres tentang manajemen penanganan kedaruratan kesehatan masyarakat terkait Covid-19 sebagai bencana nasional dengan fokus pada beberapa hal. Pertama, perlunya pengaturan mengenai status penanganan wabah sebagai urusan pemerintahan umum (kelembagaan antar-K/L, vertikal antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota, dan pendanaan).
Kedua, sebagai pemimpin tertinggi dalam mengatasi Covid-19, presiden perlu dibantu menko (ketua harian) dan tiga gugus tugas yang dipimpin menteri (Menkes, Mendagri, Kepala BNPB). Ketiga, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, bupati/wali kota dan instansi vertikal,
dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah berperan sebagai pelaksana tugas pembantuan dibantu perangkat daerah dan dilaksanakan sesuai kondisi daerah.
Keempat, selain APBN, pendanaannya perlu melibatkan APBD setiap daerah, serta APBDesa. Kelima, perlunya perubahan produk hukum daerah dan refocusing untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum penanganan Covid-19.
Pelurusan desentralisasi dan otda
Masalah Covid-19 bisa diselesaikan dengan lebih cepat jika pemerintah mampu membangun sinergi, sinkronisasi, kolaborasi, dan komunikasi yang baik antartingkatan pemerintahan (dengan perspektif yang sama). Setiap tingkatan pemerintahan tidak boleh jalan sendiri-sendiri karena ini akan mengganggu kebangsaan dan kesatuan Indonesia.
Pada saat yang sama bencana Covid-19 harus dijadikan peluang bagi Indonesia untuk memperbaiki kualitas pemerintahan, khususnya pola relasi pusat dan daerah. Hal ini penting agar tidak muncul ”represi” pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ataupun ”resistensi/ pembangkangan” pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Pemerintah pusat perlu meluruskan kembali praktik desentralisasi dan otonomi daerah agar sesuai dengan prinsip NKRI dan menegaskan kembali bahwa praktik sistem multipartai tak boleh berpengaruh negatif pada birokrasi pemerintahan karena birokrasi tak boleh diintrusi politik. Sifat birokrasi yang pada dasarnya hierarkis (mulai pusat sampai daerah) seharusnya tak perlu dibenturkan dengan realitas warna-warni partai yang memimpin birokrasi.
Birokrasi harus terjaga dan tak boleh dijadikan lahan tarik-menarik kepentingan. Apalagi dalam melawan Covid-19. Siapa pun yang memimpin birokrasi harus taat pada etika pemerintahan dan profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga konflik antar-tingkatan pemerintahan tak perlu terjadi di era Covid-19 ini.
*Artikel ini diterbitkan di harian Kompas Tanggal 11 Mei 2020