• Tidak ada hasil yang ditemukan

Askep Kdrt

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Askep Kdrt"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

http://mogerr-bwubaloks.blogspot.com/2011/10/askep-pk-rumah-tangga-kdrt.html

askep PK rumah tangga (KDRT)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkembangan kebudayaan masyarakat, membawa banyak perubahan dalam segala segi kehidupan manusia. Setiap perubahan situasi kehidupan individu baik yang sifatnya positif ataupun yang negatif dapat mempengaruhi keseimbangan fisik, mental, dan sosial. Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan agar selalu sehat baik fisik, mental ataupun sosial. Manusia sebagai makluk biologi-psikologi-sosial-cultural mempunyai sejumlah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dan apabila mengalami kegagalan dalam mendapatkan keutuhan tersebut, maka akan terjadi ketidakseimbangan (Stuart and Sunnden,1991).

Seseorang akan beradaptasi terhadap ketidakseimbangan melalui mekanisme penanganan yang dipelajari pada masa lampau. Apabila seseorang berhasil beradaptasi dimasa lampau, berarti ia telah mempelajari efektifitas mekanisme penangganan yang sangat berguna bagi dirinya pada saat ini dan dimasa yang akan datang dan sebaliknya, jika adaptasi dimasa lampau tak berhasil, maka ia tak punya mekanisme penanganan yang adekuat untuk beradaptasi terhadap kesulitan yang lebih komplek dimasa mendatang dan bisa menyebabkan terjadinya keadaan yang mempunyai pengaruh buruk terhadap kesehatan jiwa atau dengan kata lain adalah gangguan jiwa.

Salah satu tanda dan gejala gangguan jiwa adalah ungkapan marah yang mal adaptif yang dilakukan seseorang karena gagal dalam beradaptasi dan tak punya mekanisme penanganan yang adekuat. Ungkapan marah yang mal adaptif, salah satunya adalah agresif, yang akan membahayakan karena dapat timbul dorongan untuk bertindak baik secara kontruktif maupun destruktif dan masih terkontrol. Marah agresif adalah suatu prilaku yang menyertai rasa marah dan merupakan dorongan untuk bertindak baik secara kontruktif maupun destruktif dan masih terkontrol. Pasien dengan marah agresif akan bersifat menentang, suka membantah, bersikap kasar, kecenderungan menuntut secara terus-menerus, bertingkah laku kasar disertai kekerasan (Stuart and Sunden,1991).

Permasalahan yang dihadapi dalam perawatan pasien dengan marah agresif adalah sikap pasien yang tak kooperatif, membahayakan dirinya sendiri dan lingkungan serta masalah pasien yang dapat menimbulkan dorongan agresifnya.

Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan “pengawalan” oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang

(2)

paling banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh keluarga belum memadai sehingga selama perawatan klien setidaknya sekeluarga mendapat pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien (manajemen perilaku kekerasan). Asuhan keperawatan yang diberikan di rumah sakit jiwa terhadap perilaku kekerasan perlu ditingkatkan serta dengan perawatan intensif di rumah sakit umum. Asuhan keperawatan perilaku kekerasan (MPK) yaitu asuhan keperawatan yang bertujuan melatih klien mengontrol perilaku kekerasannya dan pendidikan kesehatan tentang MPK pada keluarga. Seluruh asuhan keperawatan ini dapat dituangkan menjadi pendekatan proses keperawatan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep dasar mengenai prilaku kekerasan pada keluerga?

2. Bagaimana asuhan keperawatan jiwa prilaku kekerasan pada keluarga?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Memperoleh pengalaman nyata dalam melakukan Asuhan keperawatan jiwa perilaku kekerasan pada keluarga yang diharapkan akan mampu mengidentifikasikan seluruh masalah yang terjadi sehubungan dengan Perilaku kekerasan.

2. Tujuan Khusus.

- Untuk mengetahui konsep dasar mengenai perilaku kekerasan.

- Untuk mengetahui mengenai asuhan keperawatan klien perilaku kekerasan.

BAB II PEMBAHASAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Pengertian

Perilaku kekerasan dalam keluarga adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap perempuan maupun anak. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995)

Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah

(3)

tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).

Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosonal dan seksual pada anak-anak pengabaian anak-anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan terhadap suami atau istri dan penganiayaan lansia. Perilaku penganiyaan dan prilaku kekerasan yang tidak akan dapat diterima bila dilakukan oanng yang tidak dikenal sering kali di tolerannsi selama bertahun-tahun dalam keluarga. Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya merupakan tempat yang aman dan anggotanya merasa dicintai dan terlindung, dapat menjadi tempat palinng berbahaya bagi korban.

B. Rentang Respon Marah

Adaptif

Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

Tindakan kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan fisik, baik kepada diri sendiri maupun ornag lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerkan motorik yang tidak dikontrol.

 Asertif : Mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan

merasa lega.

 Frustasi : Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak

realistis.

 Pasif : Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan

yang sedang dialami.

 Agresif : Tindakan destruktif terhadap lingkungan yang masih terkontrol.

 Amuk : Tindakan destruktif dan bermusuhan yang kuat dan tidak terkontrol.

C. Karakteristik Kekerasan Dalam Keluarga 1. Isolasi sosial

Anggota keluarga merahasiakan kekerasan dan sering kali tidak mengundang orang lain datanng kerumah mereka atau tidak mengatakan kepada orang lain apa yang terjadi. Anak dan wanita yang mengalami penganiyaan sering kali diancam oleh penganiaya bahwa mereka akan lebih disakiti jika mengungkapkan rahasia tersebut. Anak-anak mungkin diancam bahwa ibu, saudara kandung atau hewan peliharaan mereka kan dibunuh jika oranng diluar keluarga mengetahui penganiayaan tersebut. Mereka ditakuti agar mereka menyimpan rahasia atau mencegah orang lain mencampuri “ urusan keluarga yang pribadi

(4)

2. Kekuasaan dan kontrol

Anggota keluarga yang mengalami penganiayaan hampir selalu berada dalam posisi berkuasa daan memilki kendali terhadap korban, baik korban adalah anak, pasangan, atau lansia. Penganiaya bukan hanya menggunakan kekuatan fisik terhadap korban, tetapi juga kontrol ekonomi dan sosial. Penganiaya sering kali adalah satu-satunya anggota keluarga yang membuat keputusan, mengeluarkan uang, atau diijinkan untuk meluangkan waktu diluar rumah dengan orang lain. Penganiaya melakukan penganiayaan emosional dengan meremehkan atau menyalahkan korban dan sering mengancam korban. Setiap indikasi kemandirian atau

ketidakpatuhan anggota keluarga, baik yang nyata atau dibayangkan, biasanya

menyebabkan peningkatan prilaku kekerasan (singer at al, 1995).

3. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan yang lain

Ada hubungan antara penyalahgunaan zat, terutama alkohol, dengan kekerasan dalam keluarga. Hal ini tidak menunjukkan sebab dan akibat-alkohol tidak menyebabkan individu menjadi penganiaya sebalik, penganiaya juga cenderung menggunakan alkohol atau obat-obatan lain. 50-90% pria yang memukul pasangannya dalam rumah tangga juga memiliki riwayat penyalahgunaan zat. Jumah wanita yang mengalami penganiayaan dan mencari pelarian dengan menggunakan alkohol mencapai 50 %. Akan tetapi, banyak peneliti yakin bahwa alkohol dapat menguurangi inhibisi dan membuat perilaku kekerasan lebiih intens atau sering (denham, 1995).

Alkohol juga disebut sebagai faktor dalam kasus pemerkosaan terhadap pasangan kencan atau pemerkosaan oleh orang yang dikenal. CDC’s division of violence prevention melaporkan bahwa studi mengidentifikasi penggunaan alkohol atau obat yang berlebiihan yang dikaitkan dengan penganiayaan seksual.

4. Proses transmisi antargenerasi

Berarti bahwa pola prilaku kekerasan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui model peran dan pembelajaran sosial (humphreeys, 1997;tyra, 1996). Transmisi antargenerasi menunjukkan bahwa kekerasan dalam keluarga merupakan suatu pola yang dipelajari. Misalnya, anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga akan belajar dari melihat orang tua mereka bahwa kekerasan ialah cara menyelesaikan konflik dan bagian integral dalam suatu hubungan dekat. Akan tetapi tidaak semua orang menyaksikan kekerasan dalam keluarga menjadi penganiayaa atau pelaku kekerasan ketika dewasa sehingga faktor tunggal ini saja tidak menjelaskan prilku kekerasan yang terus ada.

D. Faktor Presdiposisi

(5)

Psycoanalytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia di pengaruhi oleh dua insting. Pertama insting hidup yang dapat di ekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas.

Frustation agression theory ; teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.

Pandangan psikologi lainnya mengenai perilkau agresif, mendukung pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut :

 Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu menyelesaikan secara efektif.

 Severe Emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-kanak, atau

seduction parental, yang mengkin telah merusak hubungan saling percaya (trust) dan harga diri.

 Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atau mengobservasi

kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.

Faktor Sosial Budaya

Social Learning Theory; teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat di pelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan makan semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan merespon terhadap keterbangkitaan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang di pelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau ekternal. Contoh internal; orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut; seseorang anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak mendapatkan apa yang dia inginkan. Contoh eksternal; seorang anak menunjukan perilaku agresif setelah melihat seseorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka.

Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara asertif.

Faktor biologis

Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan

(6)

pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif). Perangsangan yang diberikan terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, bulunya berdiri

Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif adalah serotonin, dopamin, norepinephrine, acetilkolin, dan asam amino GABA.

Faktor-faktor yang mendukung :

 Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan.

 Sering mengalami kegagalan.

 Kehidupan yang penuh tindakan agresif.

 Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat).

Faktor Presipitasi

Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya teramcam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasikannya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal. Contoh stressor eksternal yaitu serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang di anggap bermakna dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan stressor dari internal yaitu merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintainya, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.

Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yaitu :

 Klien : Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang

percaya diri.

 Lingkungan : Ribut, kehilangan orang / objek yang berharga, konflik

interaksi sosial.

E. Etiologi

Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan akan status dan prestise yang tidak terpenuhi.

Frustasi, sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan / keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak

(7)

mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.

Hilangnya harga diri; pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya.

Kebutuhan akan status dan prestise ; Manusia pada umumnya mempunyai keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.

F. Tanda dan Gejala

Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang menimbulkan pengrusakan, tetapi ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Gejala-gejala atau perubahan-perubahan yang timbul pada klien dalam keadaan marah diantaranya adalah:

 Perubahan fisiologi

Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan meningkat, pupil dilatasi, tonus otot meningkat, mual, frekuensi buang air besar meningkat, kadang-kadang konstipasi, refleks tendon tinggi.

 Perubahan Emosional

Mudah tersinggung , tidak sabar, frustasi, ekspresi wajah nampak tegang, bila mengamuk kehilangan kontrol diri.

 Perubahan Perilaku

Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis, curiga, mengamuk, nada suara keras dan kasar.

 Menyerang atau menghindar (fight of flight)

Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.

 Menyatakan Secara Asertif (Assertiveness)

Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri klien.

 Memberontak (acting out)

Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk menarik perhatian orang lain.

(8)

 Perilaku kekerasan

Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan

D. Lingkup Rumah Tangga

Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1): 1. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri)

2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam

huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja

Rumah Tangga)

E. Bentuk-Bentuk KDRT

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).

2. Kekerasan psikis

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)

3. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup

rumah tangga tersebut;

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan

orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

4. Penelantaran Rumah Tangga

Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan

(9)

ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9)

F. Siklus Penganiayaan Dan Kekerasan

Alasan lain yanng sering diajukan menngapa wanita sulit meninggalkan hubungan yanng abusive ialah siklus kekerasan atau penganiayaan.

G. Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.(Stuart dan Sundeen, 1998 hal 33).

Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain : (Maramis, 1998, hal 83)

 Sublimasi

Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.

 Proyeksi

Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.

 Represi

Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.

 Reaksi formasi

Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.

(10)

Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.

H. Psikopatologi

Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yan g menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.

Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan ketegangan, sehingga perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000). Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.

Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes, 2000). BAB III ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Pengumpulan data. a. Aspek biologis

Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.

(11)

b. Aspek emosional

Salah satu anggota yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul anggota yang lain , mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.

c. Aspek intelektual

Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan diintegrasikan.

d. Aspek sosial

Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan anggota keluarga yang lain lain. Individu seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga anggota keluarga yang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan

e. Aspek spiritual

Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut : Aspek fisik terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat, berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel. aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan. aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.

2. Klasifikasi data

Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu data subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga. Data ini didapatkan melalui wawancara perawat dengan klien dan keluarga. Sedangkan data obyektif yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui obsevasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat.

(12)

Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan permasalahan yang dihadapi keluarga dan dengan memperhatikan pohon masalah dapat diketahui penyebab sampai pada efek dari masalah tersebut. Dari hasil analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa keperawatan.

4. Aspek Fisik

Aspek fisik terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat, berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel. aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan. aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.

Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut.

POHON MASALAH

Sresiko mencidrai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Resiko Prilaku Kekerasan gg. komonikasi verbal HALUSINASI Difissit perawatan diri ISOS HDR

(13)

B. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa keperawatan utama pada klien marah dengan masalah utama perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :

1. Resiko Prilaku Kekerasan

C. INTERVENSI tgl No Dx Diagnose keperawatan Rencana keperawatan

Tujuan intervensi Rasional

Resiko Prilaku kekerasan

TUM:

klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan dengan orang lain TUK:

1. Klien dapat membina

hubungan saling percaya.

2. Klien dapat

mengidentifikasi

1. Bina hubungan saling

percaya.

 Salam terapeutik, perkenalan

diri, beritahu tujuan interaksi, kontrak waktu yang tepat, ciptakan lingkungan yang aman dan tenang, observasi respon verbal dan non verbal, bersikap empati.

2. Klien dapat mengidentifikasi

penyebab perilaku kekerasan.  Beri kesempatan pada klien

untuk mengugkapkan 1.

 Hubungan saling

percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya. 2.

 Informasi dari klien

penting bagi perawat untuk membantu kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif. epektif Marah, frustasi.cemas, dendam, sakit hati, tidak enak,

(14)

penyebab perilaku kekerasan. 3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. 4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa dilakukan. 5. Klien dapat

mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. 6. Klien dapat melakukan

cara berespons terhadap kemarahan secara konstruktif. 7. Klien dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.

8. Klien dapat dukungan

keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.

9. Klien dapat

menggunakan obat yang benar.

perasaannya.

 Bantu untuk

mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal 3. Klien dapat mengidentifikasi

tanda-tanda perilaku kekerasan.

 Anjurkan klien

mengungkapkan dilema dan dirasakan saat jengkel.

 Observasi tanda perilaku

kekerasan pada klien.

 Simpulkan bersama

tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien.

4. Klien dapat mengidentifikasi

perilaku kekekerasan yang biasa dilakukan.

 Anjurkan klien untuk

mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

 Bantu klien bermain peran

sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

 Bicarakan dengan klien

apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.

5. Klien dapat mengidentifikasi

akibat perilaku kekerasan  Bicarakan akibat / kerugian

dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien.

 Bersama klien

menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan.

6. Klien dapat melakukan cara

berespons terhadap kemarahan secara konstruktif.

 Tanyakan pada klien

“apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.

 pengungkapan perasaan

dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam akan menolong pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian persoalan. 3.  Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari penyelesaian masalah yang konstruktif pula.  mengetaui perilaku

yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan untuk intervensi.  memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan. 4.  memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.  mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.  membantu dalam memberikan motivasi untuk menyelesaikan masalahnya. 5.

 mencari metode koping

yang tepat dan konstruktif.

 mengerti cara yang

benar dalam

mengalihkan perasaan marah.

6.

 menambah pengetahuan

klien tentang koping yang konstruktif.  mendorong

(15)

 Berikan pujian jika klien

mengetahui cara yang sehat.  Diskusikan dengan klien

cara lain yang sehat.

- Secara fisik : tarik nafas

dalam / memukul botol / kasur atau olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.

- Secara verbal : katakan

bahwa anda sering jengkel / kesal.

- Secara sosial : lakukan dalam

kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan.

- Secara spiritual : anjurkan

klien berdua, sembahyang, meminta pada Tuhan agar diberi kesabaran.

7. Klien dapat

mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.

 Bantu klien memilih cara

yang paling tepat untuk klien.  Bantu klien mengidentifikasi

manfaat yang telah dipilih.  Bantu klien untuk

menstimulasikan cara tersebut.

 Beri reinforcement positif

atas keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut.  Anjurkan klien untuk

menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel / marah.

8. Klien dapat dukungan

keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.

 Identifikasi kemampuan

keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.

pengulangan perilaku yang positif,

meningkatkan harga diri klien.

 dengan cara sehat dapat

dengan mudah

mengontrol kemarahan klien.

7.

 memotivasi klien dalam

mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.

 mengetahui respon klien

terhadap cara yang diberikan.

 mengetahui kemampuan

klien melakukan cara yang sehat.

 meningkatkan harga diri

klien.  mengetahui kemajuan klien selama diintervensi. 8.  memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada klien.  menambah pengetahuan

bahwa keluarga sangat berperan dalam

perubahan perilaku klien.

 meningkatkan

pengetahuan keluarga dalam merawat klien secara bersama.  mengetahui sejauh

mana keluarga

menggunakan cara yang dianjurkan.

 mengetahui respon

keluarga dalam merawat klien.

9.

(16)

 Jelaskan peran serta keluarga

dalam merawat klien.

 Jelaskan cara-cara merawat

klien.

- Terkait dengan cara

mengontrol perilaku kekerasan secara konstruktif - Sikap tenang, bicara tenang

dan jelas.

- Bantu keluarga mengenal

penyebab marah.  Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien.  Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi.

9. Klien dapat menggunakan

obat yang benar

 Jelaskan pada klien dan

keluarga jenis-jenis obat yang diminum klien seperti : CPZ, haloperidol, Artame.  Diskusikan manfaat minum

obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa seizin dokter.

klien dan keluarga tentang obat dan fungsinya.

memberikan informasi pentingnya minum obat dalam mempercepat penyembuhan

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN Harga Diri

Rendah

Pasien SP Ip

1. Mengidentifikasi penyebab PK

2. Mengidentifikasi tanda dan gejala PK

3. Mengidentifikasi PK yang dilakukan

4. Mengidentifikasi akibat PK

5. Menyebutkan cara mengontrol PK

6. Membantu pasien mempraktekkan latihan

cara mengontrol fisik I

7. Menganjurkan pasien memasukkan dalam

kegiatan harian

SP IIp

Keluarga SP I k

1. Mendiskusikan masalah yang

dirasakan keluarga dalam merawat pasien

2. Menjelaskan pengertian PK, tanda

dan gejala, serta proses terjadinya PK

3. Menjelaskan cara merawat pasien

dengan PK SP II k

(17)

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian

pasien

2. Melatih pasien mengontrol PK dengan

cara fisik II

3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam

jadwal kegiatan harian

SP IIIp

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian

pasien

2. Melatih pasien mengontrol PK dengan cara

verbal

3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam

jadwal kegiatan harian SP IVp

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian

pasien

2. Melatih pasien mengontrol PK dengan cara

spiritual

3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam

jadwal kegiatan harian SP Vp

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian

pasien

2. Menjelaskan cara mengontrol PK dengan

minum obat

3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam

jadwal kegiatan harian

cara merawat pasien dengan PK 2. Melatih keluarga melakukan cara

merawat langsung kepada pasien PK SP III k

1. Membantu keluarga membuat jadual

aktivitas di rumah termasuk minum obat (discharge

planning)Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Perilaku kekerasan dalam keluarga adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap perempuan maupun anak. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995)

Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

(18)

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).

DAFTAR PUSTAKA

1. Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis Mosby Year Book, 1995

2. Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999

3. Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999 4. Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo, 2003

5. Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP Bandung, 2000

Referensi

Dokumen terkait

pembangunan, menjaga kerukunan dan keutuhan bangsa dan lain sebagainya. Akhlaq beragama: yaitu tingkah laku dan tindakan seseorang dalam melaksanakan kewajiban terhadap

pembangunan, menjaga kerukunan dan keutuhan bangsa dan lain sebagainya. Akhlaq beragama: yaitu tingkah laku dan tindakan seseorang dalam melaksanakan kewajiban terhadap

 Tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai tindakan dalam

tingkah laku yang diinginkan, sesegera mungkin saat tingkah laku yang diinginkan muncul. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar, tingkah laku spesifik apa yang

Tidak efektifnya koping keluarga berhubungan dengan faktor-faktor yang menyebabkan child abuse ditandai dengan tingkah laku destruktif terhadap orang lain. Hasil yang

Seperti siswa pada umumnya ketika menginjak mulai umur dewasa mereka mulai memperlihatkan tingkah laku yang lebih tetapi sayangnya tingkah laku tersebut diapresiasikan

Konflik yang terjadi di Filipina sejak tahun 1968 menjadi suatu konflik yang berkepanjangan disebabkan karena tindakan pemerintah Filipina yang kurang bijak menyelesaikan

Kajian mendapati bahawa pekali Korelasi Pearson penggunaan media sosial dengan tingkah laku destruktif adalah secara keseluruhannya menunjukkan penggunaan media sosial r = 0.028, p >