• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada berbagai bangsa di dunia, upacara pernikahan memiliki banyak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Pada berbagai bangsa di dunia, upacara pernikahan memiliki banyak"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada berbagai bangsa di dunia, upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Masyarakat mempunyai aturan verbal maupun nonverbal dalam sebuah pernikahan. Aturan verbal yaitu aturan yang tertulis atau dapat dipahami dari Artifak berupa tulisan atau simbol yang ada pada masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan nonverbal adalah pemahaman tidak tertulis mengenai penilaian, misalnya indah, jelek, baik, buruk dan sebagainya (Sunarto, 1993 : 160 – 1).

Nooke Hosang (2010 : 78) dalam tulisannya “Tradisi pernikahan Jepang,” mengemukakan bahwa: kemajuan yang dicapai bangsa Jepang dilandasi dan didukung oleh nilai-nilai atau tatanan sosial yang menjadi budaya. Budaya di sini diartikan berdasarkan definisi dari Fukuzawa (1985 : 3), sebagai tindakan yang didasari oleh tindakan yang baik, terpuji, bermanfaat bagi hidup dengan sesama dan entitas kehidupan lainnya. Hosang (2010) menambahkan bahwa, budaya ini terpelihara sejak nenek moyang mereka dan diwariskan secara turun temurun dalam berbagai aspek kebudayaan sehingga membentuk pola pikir serta kepribadian yang kokoh, disiplin dan tangguh untuk meraih keberhasilan dan kemajuan. Disiplin dan tangguh diartikan kesetiaan dan ketaatan pada pandangan bangsa untuk meraih keberhasilan dan kesuksesan.

(2)

Bangsa Jepang jika dilihat dari sejarahnya telah melalui proses yang panjang. Dalam buku Japanese Culture Notes tulisan Nakayama and Stucky (2008 : 20 – 44), sejarah Jepang dibagi dalam tiga masa: pertama, jaman pra sejarah Jepang mencatat adanya berbagai budaya, antara lain: budaya Joomon (10,000BC1 - 300BC) pada tahun 660 sebelum masehi kekaisaran Jimmu terbentuk; kemudian budaya Yayoi (300BC – 300AD2), periode Kofun (nisan) (300 – 552) pada tahun 538 agama Buddha dari China masuk ke Jepang melalui Korea. Kedua, jaman Jepang awal, terdiri dari periode Asuka (552 – 710) dan

Nara (710 – 794), Heian (794 – 1191), Kamakura (1191 – 1333), Periode Nan-Boku Cho / Muromachi dan Ashikaga (1336-1603) Periode Edo (1603 – 1868). Ketiga, jaman Jepang modern, terdiri dari Meiji (1968 - 1912) dan Taisho (1912 –

1926), periode Showa (1926-1989) dan periode Heisei (sekarang) atau periode setelah Perang Dunia II. Sebagai suatu bangsa yang telah lama menempuh perjalanan sejarah, budayanya pun mengalami proses evolusi dan melahirkan berbagai ragam jenis dalam berbagai aspek kehidupan. Dari catatan budaya yang panjang tersebut, jaman yang sangat berpengaruh dalam perkembangan budaya Jepang, antara lain: Asuka dan Nara (552 – 794), Hean (794 – 1191), Kamakura (1191 – 1333), Edo (1603 – 1868), Meiji (1868 – 1912) hingga setelah perang dunia II. Pandangan budaya pada jaman tersebut masih dapat ditemui hingga saat ini.

Dewasa ini budaya Jepang berada di tengah masa modernisasi dan globalisasi. Pada era modernisasi dan globalisasi abad ke – 21 bangsa Jepang

(3)

khususnya di kawasan Asia dipandang sebagai bangsa yang telah mencapai kemajuan yang sangat pesat dalam bidang IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi). Meskipun demikian, bangsa Jepang tidak meninggalkan nilai – nilai atau tatanan yang menjadi kebudayaan mereka. Shinto adalah salah satu bentuk dari nilai – nilai kebudayaan Jepang yang berwujud sebagai suatu agama yang di percaya dan dianut oleh masyarakat Jepang. Shinto berkembang mulai jaman pra sejarah di kepulauan Jepang dan tersirat begitu dalam di pemikiran dan hati masyarakat Jepang. Karena Shinto dekat dengan arti geografis dan sejarah, Shinto sangat dekat dengan atau dapat diartikan sebagai karakteristik bangsa Jepang.

Shinto telah membentuk dan terbentuk oleh kebudayaan Jepang (Hartz, 2009 : 9).

Sementara Paula R. Hartz, (2009 : 9) menyatakan bahwa budaya Jepang tidak berubah, di sisi lain Stephen Covell (2009 : 163) menyatakan budaya religius Jepang selalu berubah. Selama 100 tahun terakhir perubahan tersebut tampak dari segi praktis, kelembagaan dan pandangan. Bukan berarti bahwa budaya religius statis sebelum jaman modern, seperti yang sering digambarkan oleh media. Jaman Edo (1603 – 1868) misalnya, perubahan besar terjadi ketika politik Jepang cukup stabil. Lembaga agama Buddha turut andil dalam perubahan organisasi, kuil lokal turut ambil bagian dalam kampanye pemerintah untuk mengatur pergerakan keagamaan yang disebut heterodox, meliputi Kristen dan sekte Buddha tertentu, dan penelitian sekte berkembang. Confucius juga mendapat tempat terhormat pada masa Edo.

Berdasarkan pandangan berbeda antara Stephen Covell (2009 : 163), bahwa budaya Jepang berubah – ubah dan pandangan Paula R. Hartz, (2009 : 9),

(4)

bahwa budaya Jepang tetap, maka untuk memahami kebenaran dari dua pendapat tersebut perlu memahami karakteristik budaya Jepang. Pendekatan yang paling tepat mestinya melalui agama. Permasalahan yang muncul menurut Stephen Covell (2009 : 151), di Jepang, meskipun arti agama telah dimaknai secara umum, penerapannya masih menciptakan kontroversi penelitian lapangan. Perdebatan muncul antara agama dalam definisi barat dengan agama sebagai budaya Jepang.

Paula R. Hartz, (2009 : 9) mengemukakan bahwa, agama Shinto merangkul dan toleran terhadap kepercayaan lain, contohnya agama Buddha. Oleh karena itu untuk memahami budaya Jepang, dalam hal ini diwakili oleh model pernikahan Shinto, perlu untuk memahami karekteristik pernikahan tersebut. Oleh karena itu digunakan pendekatan melalui bentuk budaya selain agama.

Permasalah selanjutnya, budaya yang ada di Jepang sangat beragam. Mulai dari budaya kesetiaan kepada tuan tanah (land lord), kemudian kesetiaan pada negara (Smith, 1980, “Learning from Shogun”), tradisi upacara minum teh (Nakayama and Stucky, 2008), dan tradisi upacara keagamaan istana (Hartz, 2009) merupakan bentuk – bentuk budaya yang hidup dalam masyarakat Jepang. Karena budaya Jepang amat beragam, maka penelitian ini memilih untuk memusatkan perhatian pada pernikahan model Shinto, yang diyakini memiliki nuansa keagamaan dan aspek perilaku kehidupan bangsa Jepang.

Nikah (marriage) menurut Encarta Encyclopedia 20063, merupakan

(5)

perjanjian (akad) yang didasari dengan ketentuan hukum dan ajaran agama atau adat. Harapan dari pernikahan adalah hubungan stabil dan abadi. Prosesi atau urutan jalannya suatu acara dengan upacara, yang disebut dengan upacara pernikahan, yang memberi arti terbentuknya penyatuan atau persekutuan antara dua insan lawan jenis, secara resmi. Dengan kata lain upacara pernikahan merupakan prosesi ritual yang mensyahkan hubungan suami istri.

Secara umum perayaan pernikahan biasanya merupakan acara yang dilangsungkan berdasarkan adat – istiadat yang berlaku, dan merupakan kesempatan untuk pertemuan antar teman juga keluarga. Pria dan wanita yang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami – istri dalam ikatan pernikahan. Setelah ritual resmi diadakan perayaan sesuai dengan adat suatu bangsa (Encarta Encyclopedia

2006).

Ditambahkan dalam Encarta Encyclopedia 2006, bahwa, upacara pernikahan meliputi perjanjian nikah (akad nikah), mungkin tertulis atau dipahami secara tradisional, yang berisi hak dan kewajiban masing – masing pasangan, termasuk mengenai jumlah anak, dan hak yang dimiliki oleh anggota keluarga. Dalam kehidupan dewasa ini pernikahan diberi sertifikat (surat nikah) oleh pemerintah.

Bagi bangsa Jepang pernikahan ini mengandung unsur pertama, ideologi (pemikiran, pandangan) tentang agama Shinto. Dari segi ideologi, bangsa Jepang tidak pernah lepas dari jalan dewa atau Kami way seperti yang dikemukakan oleh Sokyo Ono and Woodard (1962).

(6)

Kedua, perilaku. Berdasarkan pandangan bahwa hidup ini merupakan

perjalanan menuju surga, bangsa Jepang mengutamakan kelompok dari pada individu. Terdapat dua pemikiran perilaku, yaitu, (a), Amae (Amaeru), yaitu kelembutan terhadap orang lain. Bentuk perilakunya adalah manis untuk dilihat orang lain, baik secara fisik (raga) maupun psikologis (kejiwaan). (b), On, yang berarti keramahan, berperilaku baik atau dermawan, tidak rakus mencari untung. Kata ini juga berarti taat pada aturan, tuan tanah, atau orang tua, untuk berterimakasih atas jasa besar atau kewajiban untuk memberi persembahan sebagai balasan atas perlakuan baik yang telah diberikan (Nakayama and Stucky, 2008 : 53).

Upacara pernikahan merupakan wujud permintaan pengakuan kehidupan baru dua insan kepada Tuhan, bersumpah membangun rumah tangga yang dikehendaki, dan memohon untuk terciptanya keluarga yang tenteram dan abadi (tidak terjadi perceraian). Dilandasi oleh pemikiran Amaeru, masyarakat Jepang berusaha sedapat mungkin menghindari perceraian. Perceraian berarti ketidak mampuan suami untuk membangun keluarga tenteram dan bagi istri tidak dapat menjadi ryosai kenbo, yaitu, istri yang baik dan ibu yang bijaksana (Luera, 2004 : 612).

Dalam upaya untuk menciptakan keluarga yang tenteram dan abadi atau disebut keluarga berkualitas, masyarakat Jepang berupaya untuk menggunakan berbagai cara. Mulai dari perjalanan menemukan pasangannya, tradisi yang ada pada bangsa Jepang adalah Miai Kekkon, hingga pada prosesi pernikahannya. Hal

(7)

inilah mengapa meskipun pada jaman modern Ren’ai Kekkon mulai populer, namun Miai Kekkon tetap dipilah meskipun dalam bentuk yang baru.

Ketiga artifak, ujud atau lambang dari obsesi kehidupan masyarakat.

Dalam prosesi pernikahan wujud ini nampak pada pakaian yang dikenakan, berupa kimono, topi pengantin, warna – warni, dan alat – alat upacara. Semuanya merupakan simbol – simbol yang perlu dimaknai.

Shinzen kekkonshiki menggunakan simbol dalam prosesi upacara, seperti

pakaian, pengecatan kulit, dan alat – alat yang digunakan merupakan artifak yang didasari oleh pemikiran budaya. Simbol ini merupakan artifak dan pada intinya merupakan ujud kesucian dan harapan masyarakat akan masa depan pernikahan tersebut.

Nakayama and Stucky, (2008 :50) menyatakan bahwa, dewasa ini,

kekkonshiki terbagi menjadi tiga jenis yaitu shinzen kekkonshiki (pernikahan

secara agama Shinto), butsuzen kekkonshiki (pernikahan secara agama Buddha), dan kirisutokyou shiki (pernikahan secara agama kristen). Ketiganya merupakan model upacara pernikahan yang menjadi pertimbangan bagi pasangan calon pengantin.

Selanjutnya untuk memahami apakah budaya Jepang telah ditinggalkan oleh masyarakatnya, dalam arti pandangan terhadap budaya telah berubah, dilakukan pendekatan alasan masyarakat Jepang memilih model pernikahan. Pilihan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: kirisutokyou shiki (pernikahan secara agama kristen) merupakan prosesi pernikahan yang praktis, dan berkesan modern. Butsuzen kekkonshiki (pernikahan secara agama Buddha) merupakan

(8)

prosesi pernikahan suci dan bernuansa kedewaan total. Shinzen kekkonshiki (pernikahan secara agama Shinto) merupakan prosesi pernikahan suci tetapi bernuansa kehidupan dunia, misalnya aristokrat (kerajaan).

Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan: apakah kehidupan budaya

yang didasari oleh agama Shinto telah bergeser? Kenyataan yang dihadapi sulit

menentukan konsep – konsep agama dalam masyarakat Jepang. Karena sulitnya menentukan konsep – konsep agama, penelitian ini memilih pendekatan pertama, melalui karakteristik budaya.

Konsep budaya yang berdasarkan agama diwakili oleh model pernikahan

Shinto, selanjutnya untuk menjawab apakah budaya Shinto telah bergeser dilihat

dari indikasi bagaimana masyarakat memilih model pernikahan. Karena banyaknya perubahan dalam kehidupan modern bangsa Jepang yang mungkin tidak terungkap dalam penelitian ini, maka pendekatan kedua, yaitu melalui bagaimana masyarakat Jepang memilih model pernikahan.

Berdasarkan uraian di atas, yaitu pertama, sulitnya melakukan pengamatan terhadap fenomena agama di Jepang, maka dipilih pendekatan budaya yang diwakili oleh model pernikahan Shinto. Kedua, perkembangan kemajuan bangsa Jepang di atas negara – negara lain di Asia, menciptakan pemikiran kompleks di segala bidang, sehingga perubahan pemikiran budaya diukur dengan bagaimana masyarakat Jepang pemilihan model pernikahan. Sesuai dengan objek penelitian yang mengkaji karakteristik pernikahan Shinto, maka penelitian ini diberi judul “Karakteristik Pernikahan Shinto (shinzen

(9)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian di atas, maka penulis berusaha menguraikan tentang karakteristik budaya pada pernikahan Shinto. Proses pendekatan dilakukan dengan mencoba menjawab pertanyaan penelitan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu :

1) Bagaimana karakteristik pernikahan Shinto di Jepang?

2) Apakah alasan masyarakat Jepang memilih model pernikahan Shinto?

Karakteristik (dari bahasa Inggris Characteristic) dalam Encarta

Dictionary Tools (2006) berarti uraian tentang suatu bentuk atau kualitas suatu

pokok bahasan sehingga pokok bahasan tersebut dapat dikenali. Dengan kata lain karakteristik dapat diartikan ciri dari suatu obyek. Setelah mengenali ciri budaya yang diteliti, maka akan dapat dibedakan dengan fenomena sejenis untuk dibuat kesimpulan mengapa bentuk tersebut memiliki keunggulan terhadap budaya lainnya. Sendi - sendi keunggulan suatu budaya perlu dipahami, agar jika suatu saat dirasa perlu untuk melakukan replika atau adopsi budaya lain, budaya lama tidak perlu diubah keseluruhan, cukup sendi sendi yang bermanfaat saja. Sendi -sendi budaya yang diteliti dianalisis dengan metode Antropologi Budaya, yaitu memahami cara berpikir budaya, atau upaya mendapatkan penjelasan mengenai perilaku manusia yang luhur, rendah, baik, buruk, benar, salah. Dalam disiplin ilmu Antropologi cara berpikir manusia dibeda - bedakan untuk memperoleh ciri khusus pada tiap obyek. Akan tetapi bukannya ingin mengemukakan bahwa antropolog tidak memperhatikan kesamaan antar budaya. Kesamaan memang

(10)

diperhatikan, namun kesamaan itu baru tampil sebagai sesuatu yang perlu ditelaah manakala dilihat dari latar belakang yang kontras, misalnya perbedaan yang bersifat manusiawi atau dalam hal – hal tertentu bersifat inframanusiawi

(infrahuman) (Kaplan and Manners, 1999 : 2).

Pertanyaan kedua merupakan pertanyaan yang berusaha menjawab “apakah budaya lama atau agama Shinto telah ditinggalkan?” sehubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan memahami karakteristik budaya dan memahami alasan masyarakat Jepang memilih model pernikahan diharapkan akan dapat menjawab apakah pemahaman agama Shinto beserta pemaknaannya telah ditinggalkan oleh masyarakat Jepang.

1.3 RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini sebatas pada penelitian pustaka, mengingat keterbatasan waktu, tenaga dan sumber daya yang ada. Berbagai topik menarik, misalnya mengenai perbedaan model pernikahan masa Asuka dan Nara (710 – 794), Masa Hean (794 – 1191), Masa Kamakura (1191 – 1333), Masa Edo (1603 – 1868), Masa Meiji (1868 – 1912), hingga masa kini, juga perubahan simbol – simbol pernikahan, tidak dapat diungkapkan dalam tulisan ini.

Metode cross cultural research yang disarankan oleh Bogusia Temple (2008) mensyaratkan perlunya telaah tentang sosiologi dan sosiolinguistik. Sosiologi merupakan ilmu tentang perilaku manusia dalam kaitannya dengan interaksi dengan sesama dan sosiolinguistik merupakan telaah tentang makna dari mantra yang diucapkan pada tiap ritual pernikahan. Sosiologi akan menjelaskan

(11)

perilaku masyarakat ketika terjadi perubahan sosial, misalnya melihat kemajuan jaman. Melalui pemaknaan mantra tersebut akan terungkap harapan masyarakat Jepang terhadap pernikahan model Shinto. Kembali karena keterbatasan sumber daya yang ada dan data untuk diteliti, maka telaah ini tidak dibahas.

1.4 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Menguraikan karakteristik pernikahan Shinto di Jepang dan memaknai nilai budaya yang terkandung dalam ritual pernikahan Shinto. Melalui pemaknaan terhadap karakteristik pernikahan tersebut dapat dipahami apakah budaya pernikahan model Shinto telah bergeser atau telah ditinggalkan oleh masyarakat Jepang. Perubahan atau pergeseran budaya tersebut terlihat dari bagaimana masyarakat Jepang memilih model pernikahan.

Terdapat berbagai manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini. Manfaat tersebut antara lain:

1) Bagi penulis penelitian ini merupakan upaya untuk melihat dan memahami teori, terutama teori budaya, dalam kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.

2) Bagi almamater penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran yang dapat memperkaya pustaka pengetahuan, terutama pengetahuan mengenai budaya.

3) Bagi praktisi budaya, penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan atau bahan banding bagi budaya yang telah ada, dengan memperkaya cara pandang atau cara berpikir dalam pemaknaan.

(12)

4) Bagi masyarakat luas yang tertarik dengan pengetahuan mengenai budaya, penelitian ini dapat menjadi acuhan dalam hal obyek yang diteliti.

1.5 TINJAUAN PUSTAKA

Xu Xiaohe and Martin King Whyte (1990) menulis bahwa kualitas keluarga secara umum dan paling sederhana diukur dari tingkat perceraian. Dalam penelitian ini dikaitkan dengan pola pertemuan calon pengantin dengan pasangannya. Xu and Whyte (1990 : 709) menyebutkan bahwa cara anak muda mencari pasangan hidup telah melalui proses revolusi, dan fenomena ini terjadi di seluruh belahan dunia. Dalam masyarakat orang tua yang berperan penting dalam menentukan pasangan hidup anaknya, peran ini sedikit mulai berkurang. Melalui proses modernisasi struktural, budaya barat, dan aturan pemerintah, pernikahan perjodohan sendiri memberi jalan bagi pilihan bebas atau “jodoh yang cocok,” dimana anak muda memainkan peran dominan dalam menentukan pasangan hidupnya.

Robert Blood (1959) dalam Xu and Whyte (1990 : 709) menguji kebenaran pernikahan “jodoh pilihan awalnya hangat dan kemudian dingin, sementara itu pernikahan perjodohan awalnya dingin, kemudian berkembang hangat.” Dalam penelitian replika menunjukkan bahwa ramalan ini tidak terbukti. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa perceraian dalam masyarakat modern didominasi oleh pemilihan jodoh secara bebas. Untuk melihat perbedaan tersebut pernyataan bahwa “hangat kemudian dingin” pada pernikahan pilihan, dibandingkan dengan “dingin kemudian hangat” pada pernikahan perjodohan.

(13)

secara amat romantis, diikuti dengan idealisasi pasangan dan angan tentang pernikahan yang indah (tahap “hangat”). Setelah tahap pernikahan, kenyataan yang dihadapi, dan permasalahan domestik (tahap “dingin”) muncul, antara lain, mengurus anak, kecemasan finansial, dan kehidupan biasa dengan kenyataan adanya kekurangan dan kelebihan pasangannya, menyebabkan tidak dapat dihindari naik atau turunnya perasaan romantis dan kepuasan hubungan setelah beberapa tahun berjalan (Xu and Whyte, 1990 : 709 – 10).

Kesimpulan dari penelitian Xu and Whyte (1990 : 717 – 718) menyebutkan bahwa baik pernikahan perjodohan maupun pernikahan pilihan, jika telah bertahan selama 20 – 24 tahun maka pernikahan tersebut memiliki kualitas tertinggi. Penelitian di Chengdu, China pernikahan yang terjadi selama sepuluh tahun pertama revolusi kebudayaan tahun 1949, (masih menganut model tradisional yaitu: pernikahan perjodohan) menunjukkan 5 perceraian diantara 116 pernikahan.

Trimartini (2009) melakukan penelitian mengenai shinzen kekkonshiki dalam skripsinya yang berjudul Makna Ritual Upacara Pernikahan Tradisional

Jepang (shinzen kekkonshiki) Sebagai Salah Satu Upacara Fase Peralihan Hidup.

Penelitian tersebut memusatkan perhatian pada makna ritual upacara pernikahan tradisional Jepang (shinzen kekkonshiki) sebagai bagian dari upacara peralihan hidup. Ritual shinzen kekkonshiki yang diteliti dalam penelitian ini ritual saishu

ippai, shuubatsu no gi, dan sonkon no gi.

Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui makna ritual yang terdapat dalam pernikahan shinzen kekkonshiki, sekaligus untuk memperdalam

(14)

pemahaman terhadap kebudayaan Jepang dapat menggunakan teori antropologi, yaitu teori simbol. Makna yang dapat diinterpretasikan adalah ritual saishu ippai dalam shinzen kekkonshiki merupakan cerminan kepercayaan masyarakat Jepang terhadap Kami, ritual shuubatsu no gi dalam shinzen kekkonshiki merupakan penyucian diri agar manusia bisa terhubung dengan Kami yang dipandang sebagai sesuatu yang sakral, dan ritual sankon no gi dalam shinzen kekkonshiki merupakan simbol kerja sama antara suami dan istri dalam rumah tangga.

1.6 LANDASAN TEORI

Kazoku ( 家 族 ) atau keluarga merupakan hubungan dari suami istri,

hubungan orang tua dan anak, dan kemudian diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut. Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan, dari Kazoku inilah akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie. Ie yang banyak diungkapkan dengan katakana ( イ エ ) adalah sekelompok orang yang tinggal di sebuah

lingkungan rumah atau yang memiliki keterikatan antara anggota. Ikatan sosial para anggota ini khususnya di bidang kepercayaan (pemujaan), ekonomi dan moral. Ikatan ini yang mendasari kehidupan bangsa Jepang lebih mengarah pada pola komunitas yang memberi rasa aman bagi anggotanya. Pola ini berbeda dengan pola barat yang lebih mendasarkan pada kemampuan atau kultur individu.4

(15)

Tulisan dalam bukunya Arnold Van Gennep yang berjudul The Rites of

Passage mengungkapkan bahwa manusia selalu mengalami fase – fase dalam

kehidupannya. Arnold Van Gennep di dalam bukunya membagi fase – fase tersebut atas tiga yaitu: fase perpisahan (separation), fase perpindahan (transition) dan fase penggabungan (incorporation). Fase perpisahan dalam kehidupan manusia dialami ketika seseorang mengalami kematian, karena ketika ia mati ia berpisah dengan manusia yang lain. Dan berpisah dengan dunia yang selama ia hidup. Fase perpindahan dialami manusia ketika ia berpindah dari suatu masa ke masa yang lain, atau satu tempat ke tempat yang lain. Kemudian yang terakhir adalah fase penggabungan (incorporation) contohnya yaitu pernikahan.

Pernikahan dalam bahasa Jepang adalah kekkon dan biasanya ditulis dengan kanji (結 婚 ), dan upacara adalah shiki ( 式 ) maka jika upacara pernikahan adalah (結婚 式) dibaca kekkon shiki.Setelah upacara resmi, pernikahan akan dilanjutkan dengan perayaan.

Upacara pernikahan di Jepang mempunyai banyak cara yang bermacam – macam. Walaupun Jepang sudah dikenal sebagai negara yang masyarakatnya tidak memiliki agama. Perlu untuk memahami arti agama, maka akan dapat dibedakan antara agama, kepercayaan atau perilaku religius.

Berdasarkan Ensiklopedi Indonesia (1985 : 104), asal kata agama dalam perspektif sejarah sukar dilacak. Dalam bahasa Sansekerta akar kata agama adalah

Gam yang berarti berjalan atau pergi. Ditambah awalan dan akhiran A, menjadi

(16)

manusia dengan entitas supra natural yang memiliki kemampuan jauh melebihi kemampuan manusia dan merupakan asal dari segala asal kehidupan yang dapat diartikan sebagai pencipta yang bersifat suci. Hubungan antara manusia dengan penciptanya yang mempunyai sifat suci menimbulkan rasa tunduk, dimana manusia memperlakukannya dengan khidmat, mencintaiNya, percaya padaNya, mentaati aturanNya, menjauhi laranganNya dan memohon perlindungan kepadaNya.

Dewasa ini, kekkonshiki terbagi menjadi tiga jenis yaitu shinzen kekkonshiki (pernikahan secara agama Shinto), butsuzen kekkonshiki (pernikahan secara agama Buddha), dan kirisutokyou shiki (pernikahan secara agama kristen). Pembagian pernikahan yang berbagai macam ini akan saya fokuskan saja pada pernikahan Shinto (shinzen kekkonshiki) yang saya tulis dalam penulisan skripsi ini.

Sebelum menuju pernikahan masyarakat tradisional di Jepang harus menempuh beberapa cara, yaitu Miai kekkon “arranged marriage” (perjodohan) atau ren’ai kekkon “love marriage” (atas dasar cinta). Ketika masyarakat Jepang memilih untuk menikah, umumnya mereka akan memilih salah satu dari dua metode diatas.

A. Miai Kekkon

Dulu, pernikahan berpusat pada desa「村」yang dibaca mura atau komunitas. Masyarakat memprioritaskan permintaan atau keuntungan dari desa tertentu. Oleh karena itu, masyarakat Jepang cenderung menikah dengan orang yang memang

(17)

Dalam perkembangannya, pernikahan di Jepang berorientasi kepada keluarga, atau disebut dengan ie. Kepala keluarga berperan besar dalam menentukan pasangan bagi anggota keluarganya. Kriteria memilih calon istri didasarkan pada status sosial keluarga calon istri tersebut. Selain itu, juga dipengaruhi kemampuan finansial atau kemakmuran keluarganya. Biasanya calon mempelai tidak diperbolehkan memilih sendiri pasangannya. Bahkan, pasangan yang dijodohkan dan akan menikah tidak dipertemukan sebelum hari pernikahannya.

Saat ini pernikahan di Jepang sudah mulai berubah. Tidak lagi hanya berorientasi kepada keluarga, namun pilihan individu sudah mulai diperbolehkan. Meskipun demikian, latar belakang keluarga calon mempelai tetap menjadi pertimbangan utama dalam praktik Omiai.

Memulai dalam proses omiai, seorang nakoodo (perantara) membantu menyalurkan informasi awal antara lelaki dan wanita, atau keluarga mereka. Informasi yang dilengkapi dengan foto ini biasanya ditulis dalam sebuah dokumen yang disebut dengan tsurisho. Kemudian apabila kedua belah pihak sudah setuju dengan masing – masing calon melalui pertukaran informasi, maka

nakoodo akan memperkenalkan kedua calon mempelai secara langsung dengan

didampingi orangtua masing – masing. Pertemuan inilah yang disebut dengan

Omiai.

Setelah melakukan Omiai, maka kedua calon mempelai akan bertemu secara berkala sampai mereka memutuskan akan menikah atau tidak. Mereka akan saling memberi pertimbangan untuk mencapai keserasian sebagai pasangan.

(18)

Apabila kedua calon mempelai sudah memutuskan untuk menikah, maka mereka akan melakukan proses pertunangan atau yuinoo. Dalam proses ini, pihak laki – laki akan memberikan hadiah kepada pihak wanita dan keluarganya. Hampir sama dengan praktik pemberian mas kawin di Indonesia, pihak lelaki akan memberikan cincin dan uang dalam jumlah tertentu, biasanya sejumlah gaji selama 3 bulan. Dalam hal ini, nakoodo mendapatkan tanda terimakasih sebesar 10% dari mas kawin tersebut dan dapat menjadi pendamping mempelai menggantikan peran orangtua. Menurut Japan Arranged Marriage Association, Omiai memiliki beberapa keuntungan, antara lain:

Dengan omiai, calon mempelai akan mengetahui detail dari banyak calon pasangan yang ditawarkan. Cara ini dapat menghemat biaya daripada menggunakan agensi pernikahan. Disamping itu wanita yang tidak mau menikahi anak lelaki tertua dan tinggal dengan keluarga suaminya dapat mencari pasangan yang lebih sesuai.

Omiai melibatkan orangtua dalam proses pemilihannya. Hal ini bisa

mencegah konflik untuk kedepannya. Orang – orang tidak perlu mengalami konsekuensi – konsekuensi negatif dari berkencan secara langsung. Orang Jepang biasanya sangat sibuk dan tidak memiliki banyak waktu dan tenaga untuk berkencan dengan beberapa calon.

Meskipun praktik omiai semakin menurun, banyak orang muda Jepang yang masih mengikuti tradisi ini. Pernikahan menggunakan tradisi omiai biasanya dapat bertahan lama (langgeng) karena mereka menghormati tradisi dan keluarga, serta sangat menghargai sebuah pernikahan. Walaupun angka pernikahan di

(19)

Jepang kini mencapai level yang sangat rendah, namun omiai tetap menjadi tradisi yang cukup populer di Jepang dalam menentukan pasangan hidup.

B. Ren’ ai Kekkon

Ren’ ai kekkon yaitu pernikahan yang dibangun atas cinta antara seorang pria dan wanita. Ren’ai kekkon bukanlah suatu perjodohan seperti miai kekkon. Ren’ ai ini dapat menentukan pilihan pasangan hidupnya sendiri. Siapa yang dia cintai dan siapa yang akan nantinya dinikahi. Ini semua berdasarkan keputusan yang telah ditetapkan seorang pria maupun wanita.

C. Perubahan Miai Kekkon ke Ren’ ai Kekkon

Desakan budaya dari luar negri menyebabkan perubahan dari sisi pendidikan dan pemahaman kebudayaan bagi wanita Jepang, ditambah keinginan untuk maju. Namun proses ini tidak dipahami oleh kaum pria Jepang, sehingga muncul fenomena kesulitan kaum pria Jepang menemukan pasangan hidupnya. Muriel Jollivet (1997) dalam Dyah Permata Sari (2006) menyebutkan jumlah pria lajang di Jepang 2,5 juta orang lebih banyak dari jumlah wanita lajang (Dyah, 2006: 34). Hal ini dapat dipahami mengingat selama dan setelah perang dunia II banyak laki – laki Jepang yang gugur dalam medan pertempuran, sehingga jumlah wanita jauh lebih banyak dari pria. Sementara itu pandangan masa itu, wanita diharapkan menikah pada umur 20 – 24 tahun. Jika umur 25 tahun belum menikah akan disebut urenokori atau barang yang tidak laku, juga dapat diartikan memiliki kekurangan. Pandangan ini juga dipengaruhi oleh desakan pemikiran bahwa menikah adalah satu – satunya pilihan hidup bagi wanita. Akibatnya pemikiran

(20)

pada masa setelah perang dunia II, yaitu: bagi pria mencari pasangan itu mudah, dimana pemikiran ini begitu tertanam, sehingga muncul keengganan untuk mempelajari perkembangan wanita dimasa ini (Iwao, 1993).

Munculnya fenomena pria Jepang sulit mencari pasangan hidup menciptakan Miai kekkon dalam bentuk baru. Semula ada bentuk pemaksaan dari pihak yang kuat (finansial dan politik) kepada pihak yang lemah, berubah menjadi wanita Jepang semakin mandiri dan semakin melihat alternatif lain dari tujuan hidup, bukan sekedar menikah. Pendidikan dan karir yang tinggi memungkinkan harapan mereka untuk mudah menikah semakin tinggi.

Tebel 2.1: Perubahan Bentuk Miai Kekkon Masa Lalu dan Kini

Masa Lalu Masa Kini

Tujuan Mempertahankan

Warisan Keluarga Menjaga mertua

Mencari pasangan Hidup yang sesuai harapan

Sifat Ditentukan oleh kekuatan finansial dan politik keluarga

Bebas atau ditentukan dengan aspek fisik

Sumber: Lebra, Takie Sugiyama, Japanese Women Constraint and

Fullfillment, University of Hawaii Press, 1984.

Kemungkinan untuk menemukan pasangan yang mau mengerti selera, harapan dan alternatif untuk mencapai harapan, semakin besar. Melalui hubungan kerja, persahabatan di sekolah, kesamaan hobi dan lain – lain wanita Jepang lebih melihat wawasan pasangan yang cocok untuk dipilih sebagai pasangan hidup (Tanaka, 1995). Hal serupa terjadi pada kaum prianya. Gejala ini menyebabkan wanita dan pria Jepang tidak lagi menggantungkan diri pada biro jodoh atau mekanisme Miai Kekkon dan kecenderungan pola yang dipilih masyarakat muda

(21)

perkotaan, sementara masyarakat yang tinggal di desa mekanisme Miai Kekkon tradisional dan modern tetap berjalan.

1.7 METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan mulai bulan April 2014 hingga September 2015. Proses penelitian terhenti karena cuti kuliah akibat kesalahan teknis. Pemilihan waktu tersebut didasari oleh pemikiran bahwa data perkembangan antropologi budaya yang berkaitan dengan “pernikahan model Shinto” berada pada titik masa kini.

Data dikumpulkan melalui studi pustaka dari 30 literatur acuhan yang terdiri dari 3 essay, 13 buku teori budaya, 5 buku skripsi dan 4 buku teori penelitian, 2 ensiklopedi. Fakta untuk diobservasi diperoleh dari 12 situs tentang pernikahan Shinto, diakses mulai bulan April 2014 hingga Desember 2014. Essay dan buku teori, juga situs yang diunduh tersebut merupakan hasil pilihan yang sesuai dengan kebutuhan literatur yang akan dianalisis. Semua situs hingga tulisan ini dibuat masih dapat dibuka dengan alamat yang tercantum atau kata “tag” yang digunakan.

Pengumpulan data bersifat kombinasi antara paralel dan sekuensial, yaitu, dari kejadian atau fakta yang tidak didasari urutan waktu (paralel) dan kejadian atau fakta yang disusun berdasarkan urutan waktu (sekuensial). Berdasarkan penuturan Norman Blaikie (2000), kombinasi ini dapat dilakukan jika asumsi yang digunakan sama atau tidak menyimpang (Blaikie, 2000 : 10). Pernikahan model Shinto, memiliki tujuan yang berbeda pada masa lalu dan masa kini, namun

(22)

demikian aturannya tetap, yaitu aturan agama Shinto. Dengan demikian penggunaan metode paralel dan sekuensial tidak menjadi masalah.

Tahap selanjutnya, setelah data terkumpulkan kemudian data – data itu diklasifikasikan dalam informasi mengenai konsep atau teori budaya, juga sering dipandang sebagai pemikiran ideal dan perilaku yang akan dikaji apakah terjadi perubahan atau pergeseran. Penelitian ini nantinya akan diuji keabsahannya, serta diambil kesimpulannya untuk disajikan ke dalam laporan penelitian.

Dari kedua tahap penelitian di atas, maka akan diperoleh jawaban bagi setiap pertanyaan dalam rumusan masalah yang ada di penelitian skripsi ini. Jawaban tersebut diuji dengan konsep dan teori budaya.

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif, berdasarkan definisi dari Mary W. George (2008 : 7), yaitu: penelitian yang hasilnya diperoleh dari analisis terhadap kata, gambar, warna atau simbol bukan angka. Seperti dikemukakan dalam Rumusan Masalah, ada dua pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana karakteristik pernikahan Shinto, kedua, apakah alasan masyarakat Jepang memilih model pernikahan Shinto? Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut penelitian ini menggunakan metode

studi pustaka. Studi pustaka merupakan telaah kualitatif (data berupa tulisan atau

pemahaman), meliputi pencarian berbagai literatur yang berhubungan atau dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk diteliti, dan dilengkapi dengan sedikit studi observasi dilakukan dengan mengamati (melihat perubahan) obyek yang diteliti (George, 2008 : 6). Metode observasi suatu proses yang berlangsung pada obyek yang diteliti, dengan maksud memahami pengetahuan dari sebuah fenomena

(23)

berdasarkan pengetahuan maupun gagasan. Metode observasi dalam penelitin ini dilakukan dengan mengamati video – video dari situs yang bersangkutan, kemudian dipilih informasi yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian.

Metode yang digunakan disebut dengan metode penelitian lintas budaya (Cross Cultural Research) dengan menggunakan teknik Content Analysis. Cross

cultural research menyelidiki perbedaan dan persamaan kelompok yang berbeda

dalam suatu masyarakat dengan melibatkan beberapa disiplin ilmu, misalnya antropologi, budaya, sosiologi, dan sosiolinguistik. Dalam penelitian ini dua masyarakat yang dibandingkan adalah Jepang dengan idealisme Shinto (jaman kuno) dengan Jepang saat ini (jaman modern). Penelitan ini memusatkan perhatian pada antropologi budaya. Beberapa peneliti berpendapat bahwa, metode ini mengamati serangkaian nilai, kepercayaan, dan konsep yang digunakan dalam suatu kelompok masyarakat. Peneliti lain berpendapat bahwa pendekatan dilakukan dengan mencari esensi (essentialist), yaitu, diasumsikan bahwa budaya menentukan bagaimana masyarakat berperilaku dan tidak ada pihak yang mengawasi. Mereka cenderung mendefinisikan budaya sebagai alat untuk memahami, sehingga memungkinkan peneliti untuk menafsirkan dan memahami perilaku dan situasi yang dihadapi. Dengan pemikiran ini peneliti dapat menyelidiki praktek kehidupan masyarakan yang diteliti, tanpa harus berasumsi bahwa pemikiran dalam kelompok tidak akan berubah atau pemahaman tiap orang sama (Temple, 2008 : 179 – 181).

Antropologi budaya manusia, dalam pengertian luas, adalah disiplin yang berupaya mendapatkan penjelasan mengenai perilaku manusia. Akan tetapi

(24)

bukannya ingin mengemukakan bahwa antropolog tidak memperhatikan kesamaan antarbudaya. Kesamaan memang diperhatikan, namun kesamaan itu baru tampil sebagai sesuatu yang perlu ditelaah manakala dilihat dari latar belakang yang kontras, misalnya perbedaan yang bersifat manusiawi atau dalam hal – hal tertentu bersifat inframanusiawi (infrahuman) (Kaplan and Manners, 1999: 2). Selain kesamaan kebudayaan yang dapat dipandang sebagai akibat dari ‘’kesatuan’’ psikologis manusia, ada kesamaan lain yang tidak terjelaskan dengan ‘’kesatuan’’ tersebut (Kaplan and Manners, 1999: 3). Misalnya saja pernikahan

Shinto. Hanya dengan mempelajari mekanisme, struktur, serta sarana – sarana

diluar diri manusia yakni alat yang digunakan manusia untuk mentransformasikan dirinya sendiri dapat kita ketahui alasan perbedaan keyakinan, nilai, perilaku dan bentuk sosial antara kelompok satu dengan kelompok lain (Kaplan and Manners, 1999 : 3).

Content analysis (analisis obyek) merupakan proses intelektual untuk

menggolongkan data tertulis ke dalam kelompok yang sama bentuknya atau sama konsepnya, untuk mengenali pola konsisten (tetap) dan hubungan antar variabel atau tema. Analisis kualitatif terhadap obyek kadang diartikan analisis obyek

laten. Metode analisis ini merupakan cara untuk mengurangi sejumlah data dan

memilih yang memiliki hubungan logis untuk memahami pemaknaan. Metode ini biasa digunakan untuk menganalisis data dalam jumlah besar, berupa catatan wawancara, pengamatan tertulis, narasi, tanggapan terhadap kuesioner terbuka, pidato, kuesioner melalui surat dan media seperti gambar, foto dan video (Julien,

(25)

2008 : 120 – 121). Dalam penelitian ini semata – mata menggunakan metode studi pustaka.

Sebagian besar penelitian kuantitatif, content analysis menerapkan metode pemikiran deduktif, menggunakan frekuensi dari pengelompokan atau nilai berkaitan dengan variable yang digunakan. Namun demikian pendekatan pemikiran tertentu menggunakan induktif, dimulai dari pemahaman mendalam melalui membaca catatan dan berusaha untuk mengungkap hal – hal yang tidak jelas atau laten yang terkadung di dalamnya. Misalnya, peneliti berusaha memahami pengalaman responden atau memahami fenomena yang menarik. Baik pendekatan kualitatif maupun kuantitatif mungkin menggunakan kombinasi dari keduanya pada satu penelitian, tergantung dari tujuan penelitian yang ingin dicapai (Julien, 2008 : 121).

Teknik penyimpulan data dilakukan melalui pendekatan empat strategi riset, meliputi: induktif, deduktif, retroduktif dan abduktif. Metode induktif merupakan metode untuk menggeneralisir data. Misalnya Socrates mati, Aristoteles mati, kesimpulannya tiap manusia pasti mati. Metode deduktif merupakan test terhadap teori melalui uji hipotesis. Misal, teori yang ada “manusia pasti mati” sedangkan Socrates mati, dapat disimpulkan bahwa Socrates adalah manusia. Metode retroduktif merupakan strategi pendekatan dengan cara mengusulkan mekanisme atau struktur dan mencoba untuk memastikan bahwa mekanisme atau struktur itu ada dan benar – benar terjadi. Misalnya, mengapa Socrates dihukum mati? Karena satu orang Socrates membahayakan kestabilan pemerintahan negara. Ada suatu mekanisme antara pandangan Socrates dengan

(26)

kestabilan negara yang menyebabkan kekacauan publik. Metode abduktif, mencoba untuk menggeneralisasi permasalahan dengan teori ilmiah yang dipahami dari kenyataan sehari – hari. Misalnya, dalam cerita Sherlock Holmes dikisahkan terjadi pembunuhan. Pada saat terjadi pembunuhan anjing penjaga rumah tidak menggonggong. Kesimpulan yang dapat diambil pembunuhnya sudah dikenal oleh anjing penjaga rumah (Blaikie, 2000 : 9 – 10).

1.8 SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penelitian dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi empat bab, yaitu:

Bab I, Pendahuluan, berisi Latar Belakang, menguraikan mengapa penelitian ini menarik atau penting untuk dilakukan. Rumusan Masalah, menguraikan pertanyaan penelitian sebagai acuhan untuk arah penelitian. Ruang Lingkup

Penelitian, menguraikan pemusatan obyek yang diteliti dan keterbatasan dalam

tulisan ini. Tujuan dan Manfaat Penelitian, menguraikan arah penelitian ini dan siapa yang akan memperoleh manfaat dari penelitian ini. Metode Penelitian, menguraikan jenis penelitian, metode yang digunakan, teknik analisis dan penyimpulan data secara ringkas. Sistematika Penulisan, menguraikan bagaimana urutan penulisan penelitian ini, secara logika agar lebih mudah dipahami.

Bab II, Pernikahan di Jepang, menguraikan tentang Pernikahan Shinto

dari Masa ke Masa, menguraikan tentang perkembangan pelaksanaan pernikahan Shinto. Shinto pada masa Meiji dan setelah Meiji. Setelah itu menguraikan

(27)

Bab III, Karakteristik Upacara Pernikahan Shinto, serta karakteristik pakaian pengantin, pelaksanaan pernikahan dan prosesi resepsi. Pelaksanaan

Pernikahan, menguraikan urutan prosesi pernikahan secara umum dalam model

pernikahan Shinto. Dan analisis upacara pernikahan Shinto.

Bab IV, Kesimpulan, menguraikan kesimpulan yang ditarik dari penelitian di bab III.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menge- tahui keawetan alami beberapa jenis kayu rakyat (kayu mangium, manii dan kayu sengon) dari rayap kayu kering dan rayap tanah

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

walaupun semakin besar tegangan semakin cepat cermin menuju ke titik mati atas tetapi dibutuhkan tegangan yang cocok agar kecepatan motor tidak cepat atau terlalu lambat karena

Dalam perhitungan proyeksi penduduk Non PDAM, jumlah penduduk yang digunakan merupakan jumlah penduduk dari desa / kelurahan yang berdasarkan Rencana Tata

Menurut Rachmawati (2014) Provinsi DIY pada 2006-2011 dalam rangka penerapan cyber province juga telah mengangkat layanan unggulan salah satunya bidang pariwisata.

Segmen 3 (S3) terbentuk oleh atribut dosen memiliki reputasi akademik yang baik (A3), terdapat komunikasi intens antara dosen dengan mahasiswa (A6), dosen dirasa

Alhamdulillah, segala puji penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul

World Civilizations & Global Encounters is a two-semester compulsory university course providing a cross-cultural overview of world history from ancient to modern times..