• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LI AN. selama-lamanya, atau karena yang bersumpah li anitu dalam kesaksiannya yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LI AN. selama-lamanya, atau karena yang bersumpah li anitu dalam kesaksiannya yang"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG LI’AN A. Pengertian Li’an

Kata li’andiambil dari kata al-la’nu yang artinya jauh dan laknat atau kutukan58, disebut demikian karena suami istri yang saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena yang bersumpah li’anitu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia menerima laknat (kutuk) Allah jika pernyataannya tidak benar.59

Secara terminologi li’anmerupakan suatu ucapan sumpah yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya dengan lima kali sumpah dan pada sumpah yang terakhir suami mengucapkan sumpah yang diikuti dengan laknat kepadanya jika dia dusta.60

Menurut istilah Hukum Islam, li’an adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.61

58Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Bogor, 2003, hlm. 238 59Ibid., hlm. 238-239.

60Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuh, Dar al-Fikr, Damsyik, 1984, hlm. 7092 61Abd. Rahman Ghazaly, Op.Cit., hlm 239

(2)

Li’an merupakan ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh istri yang telah melakukan perbuatan yang mengotori dirinya (berzina) yang kemudian menjadi alasan suami untuk menolak anak. Suami melakukan li’an apabila telah menuduh berzina, tuduhan berat ini pembuktiannya harus mengemukakan empat orang saksi laki-laki.62

Li’an merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh Islam kepada umat Islam, jika ditengah-tengah perjalanan suami merasakan ada kejanggalan terhadap anak yang dikandung oleh istrinya, maka jalan yang dapat dilakukan untuk menyangkal anak tersebut yaitu dengan cara li’an. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa:63

Jika suami melihat istrinya berzina dengan laki-laki lain lebih baik dia menthalaq istrinya, bukan melakukan li’an. Tetapi jika tidak terbukti laki-laki yang menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina, dan boleh tidak mengakui kehamilan istrinya, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena ia merasa sama sekali belum pernah mencampuri istrinya sejak aqad nikahnya, atau ia merasa mencampuri istrinya tetapi baru setengah tahun sedangkan umur kandungannya tidak sesuai dengan usia pernikahannya.

Dari pendapat Sayyid Sabiq dapat dipahami bahwa li’an merupakan salah satu jalan jika suami tidak mau mengakui anak yang dikandung oleh istrinya.

Di dalam hukum positif di Indonesia juga ada diatur mengenai li’an tetapi lebih dikhususkan kepada apa yang disebut dengan pengingkaran atau penyangkalan anak, seperti yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang

62M. Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Universitas Al Azhar, Medan, 2010, hlm. 153.

(3)

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan ketentuan Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 dan Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam.

Berikut akan diuraikan beberapa pengertian li’an yang dibedakan menurut Al-Qur’an dan Hadist dengan yang diatur dalam Ketentuan Perundang-undangan yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. 1. Menurut Al-Qur’an dan Hadist

Li’an merupakan suatu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, ada beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadist yang menjadi acuan sebagai dasar atau asas dalam menentukan hukum li’an. Adapun ayat tersebut yaitu :

Al-Qur’an surah An-Nuur (24) ayat 6-7 :

“Dan orang-orang yang menuduh istri mereka, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang mereka ialah empat kesaksian dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan yang kelima bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk para pembohong.”64

Ayat di atas menguraikan tuduhan suami kepada istrinya. Ayat tersebut menyatakan bahwa : Dan adapun sanksi hukum terhadap orang-orang yang menuduh istri mereka berzina, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi yang menguatkan tuduhannya itu selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang mereka, yakni suami ialah empat kali kesaksian yakni bersumpah empat kali sambil menggandengkan ucapan sumpahnya itu dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk kelompok orang-orang yang benar dalam tuduhannya kepada

64M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 290.

(4)

istrinya itu. Dan sumpah yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk kelompok para pembohong yakni orang-orang yang telah mendarah daging sifat buruk itu dalam kepribadiannya.65

Setelah menjelaskan apa yang harus ditempuh oleh suami yang menuduh istrinya, kini istri diberi kesempatan untuk menunjukkan kesuciannya dan kepalsuan tuduhan suaminya.

Al-Qur’an surah An-Nuur (24) ayat 8-10 :

“Dan dihindarkan darinya hukuman dengan bersaksi dengan empat kesaksian dengan nama Allah sesungguhnya dia benar-benar termasuk orang-orang pembohong, dan yang kelima bahwa murka Allah atasnyajika dia termasuk orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia Allah atas diri kamu dan rahmat-Nya dan Allah adalah Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana.”66

Ayat ini menyatakan apabila sang istri diam tidak membantah tuduhan suami, maka ia dijatuhi sanksi hukum zina, dan dihindarkan darinya yakni dari sang istri hukuman zina itu dengan jalan bersaksi yakni bersumpah dengan empat kesaksian yakni empat kali bersumpah dengan menyebut nama Allah dalam sumpahnya itu bahwa sesungguhnya dia yakin suaminya benar-benar termasuk kelompok orang-orang pembohong, dan sumpah yang kelima bahwa murka Allahatasnya jika dia yakin suaminya itu termasuk kelompok orang-orang yang benar. Seandainya Allah bukan sebaik-baik Pengampun dan sebaik-baik Pencurah rahmat dan andaikata tidak ada karunia Allah yang menurunkan Al-Qur’an atas diri kamu dan kalau juga tidak ada rahmat-Nya yang memberi pertaubatan kepada kamu, serta menetapkan

65Ibid., hlm. 290-291. 66Ibid., hlm. 291.

(5)

ketentuan hukum yang bijaksana dalam mengatur kehidupan kamu maka pastilah kamu akan terjerumus dalam kedurhakaan dan kekacauan. Tetapi itu tidak terjadi karena pengampunan Allah, kebijaksanaan dan rahmat-Nya dan Allah adalah Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana.67

Ayat ini turun berkenaan dengan Hillal Ibn Umayyah yang menuduh dihadapan Nabi SAW bahwa istrinya menyeleweng. Nabi SAW menuntut darinya empat orang saksi atau dicambuk. Ia mempertanyakan hal tersebut dan menyatakan bahwa ketentuan itu tidak mungkin dapat dipenuhi oleh seorang suami. Berikut Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari :68

“Dari Ibnu Abbas bahwa Hillal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dihadapan Rasulullah SAW dengan Syuriak bin Sahma’. Lalu Nabi SAW bersabda : Tunjukkanlah buktinya atau punggungmu didera. Lalu sahutnya : Wahai Rasulullah !, jika salah seorang di antara kami melihat istrinya jalan di samping laki-laki lain, apakah akan diminta pula bukti?

Lalu Rasulullah SAW tetap bersabda : Tunjukkanlah bukti, kalau tidak punggungmu didera!

Lalu sahutnya : Demi Tuhan ! yang mengutus tuan dengan sebenarnya. Sungguh saya ini berkata benar. Semoga Allah akan menurunkan ayatnya yang menolong saya dari hukuman had.

Lalu Jibril turun dan turunlah ayat.69

Kemudian Nabi SAW pergi kepada istri Hilal. Lalu Hilal datang dan

mengucap sumpah (kesaksian), sedangkan Nabi SAW bersabda :

Sesungguhnya Allah Maha Tahu,70kalau satu diantara kamu ini ada yang berdusta. Apakah ada salah satu dari kamu ini yang bertaubat? Lalu istri (Hilal) bersumpah ketika sampai kelima kalinya kaumnya menghentikannya sambil mereka berkata bahwa sumpah ini pasti terkabulkan. Kata Ibnu Abbas : lalu istri (Hilal) tampak ketakutan dan menggigil, sehingga kami mengira dia mau merubah sumpahnya. Tapi kemudian ia berkata : Saya tidak mau

67Ibid., hlm. 291-292.

68Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Alma’arif, Bandung, 1980, hlm. 135-138. 69Ayat yang dimaksud adalah Surah An-Nuur (24) ayat 6-10.

70Jika suami yang menuduh tak dapat ajukan saksi, dihukum dera. Tetapi jika dengan jalan

(6)

mencoreng arang di wajah kaumku sepanjang masa. Lalu diteruskanlah sumpahnya. Lalu Nabi SAW bersabda (kepada kaumnya): Perhatikanlah dia. Jika nantinya anaknya hitam seperti celah kelopak matanya kalkumnya, besar..., padat berisi kedua pahanya, berarti keturunan Syuraik bin Sahma’. Lalu ternyata lahirlah anak seperti tersebut. lalu Nabi SAW bersabda : Jika bukan karena telah ada ketentuan lebih dulu dalam Al-Qur’an, tentulah aku selesaikan urusannya dengannya71.”

Ada beberapa definisi li’an yang dikemukakan ulama fiqh, antara lain :72 a. Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikannya dengan

persaksian kuat dari pihak suami bahwa istrinya berbuat zina yang diungkapkan dengan sumpah yang dibarengi dengan lafal li’an, yang ditanggapi dengan kemarahan dari pihak istri. Bagi Ulama Mazhab Hambali, li’an juga berlaku dalam keadaan nikah fasid (rusak, karena kekurangan salah satu syarat nikah). Bagi Ulama Mazhab Hanafi, li’an tidak sah dalam nikah fasid.

b. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan sumpah suami yang muslim dan cakap bertindak hukum bahwa ia melihat istrinya berzina atau ia mengingkari kehamilan istrinya sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya itu, kemudian istri bersumpah bahwa tuduhan tersebut tidak benar sebanyak empat kali di hadapan hakim, baik nikah antara suami istri itu nikah sahih maupun nikah fasid. Bagi mereka, li’an yang dilakukan suami yang kafir, anak kecil, orang gila, dan orang mabuk tidak sah.

c. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan kalimat tertentu yang dijadikan alasan untuk menuduh istri berbuat zina dan mempermalukannya atau mengingkari kehamilan istri sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya itu.

Ada perbedaan pendapat dari para Ulama Mazhab dan beberapa Jumhur Ulama dalam memandang li’an sebagai sumpah atau kesaksian. Imam Maliki, Syafi’i dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa li’an adalah sumpah, sebab kalau dinamakan kesaksian tentulah seseorang tidak pakai menyebut bersaksi bagi dirinya, karena sabda Rasulullah SAW dalam sebagian riwayat Ibnu ‘Abbas menyatakan : “Andaikata tidak karena sumpahnya tentulah masih ada persoalan antara aku

71Jika bukan karena sudah ada hukum Li’an dalam Al-Qur’an, tentu ia akan dijatuhi hukuman had zina.

72Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hlm. 1009.

(7)

dengannya (istri Hilal)”. Yang berpendapat li’an sebagai sumpah berkata li’an dipandang sah antara suami istri sama-sama merdeka, atau sama-sama budak, atau yang satu merdeka yang lain budak, atau sama-sama orang yang adil, atau sama-sama orang yang durhaka, atau yang satu adil yang lain durhaka.73

Tetapi Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa li’an adalah kesaksian. Mereka beralasan firman Allah : “...maka kesaksian salah seorang dari mereka (mengucapkan) empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah...”74, dan juga Hadist Ibnu Abbas di atas yang menyebutkan : “...lalu Hilal datang, kemudian mengucapkan kesaksian. Kemudian istrinya berdiri, lalu mengucapkan kesaksian pula”. Yang berpendapat li’an sebagai kesaksian berkata tidak sah li’an antara suami istri yang kedua-duanya bukan orang yang kesaksiannya dapat diterima, karena itu haruslah suami istri tersebut sama-sama orang yang merdeka dan muslim. Jika suami-istri sama-sama budak atau sama-sama pernah dihukum hadd karena menuduh orang berbuat zina tanpa dapat menghadirkan empat saksi, maka mereka tidak boleh melakukan li’an. Begitu pula kalau salah seorang daripadanya kesaksian dapat diterima dan lainnya tidak.75

Ibnu Qayyim berkata :

“Yang benar ialah orang-orang yang bermula’anah harus sama-sama punya hak sumpah dan kesaksian, maksudnya kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah, dan diucapkan berkali-kali dan sunpah berat yang disertai ucapan

73Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII,Op.Cit., hlm. 140-141. 74Al Qur’an Surah An-Nuur (24) ayat 6.

(8)

kesaksian berulang kali guna memutuskan perkaranya dan memperkuat pernyataannya.”76

Ada sepuluh hal yang dianggap memperkuat pernyataan tersebut. Pertama, dengan memakai kata-kata ‘kesaksian’. Kedua, mengucapkan sumpah dengan ‘Nama Allah’. Ketiga, orang yang menyangkalnya dengan menggunakan kata-kata penguat, seperti ‘sesungguhnya...,’ kemudian diiringi dengan menyebut pelakunya orang yang benar atau dusta, bukan perbuatannya yang dituduhkan itu benar atau palsu. Keempat, mengulangi kata-kata ‘kesaksian’ empat kali. Kelima, kelima kalinya suami melaknat dirinya sendiri, yaitu mengatakan bahwa laknat Allah akan jatuh padanya kalau ia dusta. Keenam, pada kelima kalinya hendaknya istri menyatakan dia bersedia menerima siksaan Allah, siksaan di dunia yang diterimanya masih lebih ringan daripada siksa di akhirat nanti. Ketujuh, mula’anahnya suami mengakibatkan jatuhnya hukuman (siksaan) pada istri, entah nantinya dengan hukuman hadd atau penjara, sedang mula’anahnya istri dimaksudkan untuk menolak hukuman atas dirinya tersebut. Kedelapan, mula’anah ini mengakibatkan salah seorang dari mereka ini akan mendapatkan siksaan, entah di dunia ini atau di akhirat nanti. Kesembilan, antara suami istri yang bermula’anah dipisahkan, yaitu diceraikan. Kesepuluh, untuk selama-lamanya tidak boleh kawin lagi antara mereka ini.77

Di dalam Al-Qur’an surah An-Nuur (24) ayat 6-10 tersebut di atas, menamai sumpah dengan syahadah/kesaksian. Ini karena sumpah-sumpah yang dituntut ayat ini berfungsi sebagai syahadah dalam kasus selain suami yang menuduh seorang

76Ibid.

(9)

wanita baik-baik. Memang, yang dituntut terhadap suami dan istri sebanyak lima kali. Yang kelima adalah pengukuhan terhadap syahadah/sumpah yang empat kali itu, karena yang tampil disini hanya dia sendiri, sehingga sumpah/kesaksian yang kelima berfungsi mengingat dampak buruk dari sumpahnya bila ia berbohong.78

Dalam mula’anah ini kesaksian diiringi dengan sumpah dan sumpah diiringi dengan kesaksian, dan orang-orang yang bermula’anah karena ucapannya yang diterima maka kedudukannya sama dengan saksi. Maka jika istri menerima bermula’anah, berarti persaksiannya sah dan dapat dipakai kesaksiannya tersebut. Sumpahnya suami berarti dua hal yaitu terlepasnya dia dari hukuman hadd, tetapi istri yang akan kena hadd. Tetapi kalau istri menolak tuduhan suaminya dan mengucapkan li’an pula maka suami lepas dari tuntutan hukuman hadd dan begitu pula istrinya. Dalam hal istri menolak seperti ini kesaksian dan sumpah yang diucapkan dinisbahkan kepada suami, bukan istri. Jika suami hanya mengucapkan sumpah saja, maka istri tidak dijatuhi hadd karena sumpah tersebut. Jika suami menyatakan kesaksian saja, istri juga tidak dijatuhi hadd karena kesaksian tersebut. Tetapi jika sumpah dan kesaksian kedua-duanya digunakan oleh suami, ini berarti sebagai petunjuk secara lahir tentang kebenaran tuduhannya, dengan demikian suami terlepas dari hukuman hadd dan kepada istri dikenakan hadd (bila istri tidak mengucapkan sumpah nukul/sumpah balasan). Demikian hukum yang

(10)

baiknya. Dari sini dapat terlihat bahwa dalam mula’anah sumpah berarti kesaksian dan kesaksian berarti sumpah pula.79

2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pengertian li’an yang diadopsi oleh Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bersumber dari ketentuan Hukum Islam yang mengatur tentang penyangkalan anak melalui cara li’an. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada menyebutkan kata li’an, tetapi menggunakan kata penyangkalan anak, juga tidak menjelaskan pengertian li’an secara eksplisit, tetapi hanya menjelaskan makna secara global saja.

Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan :

“seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut.”

Ketentuan pasal ini berlaku bagi suami yang ingin menyangkal anak yang dikandung oleh istrinya dengan membuktikan bahwa istrinya berzina, dan dalam pasal yang sama pada ayat (2) disebutkan tentang siapa yang berhak memutuskan terhadap sah atau tidaknya anak tersebut :

“pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.”80

79Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm. 142-143.

(11)

Meski ketentuan-ketentuan diatas memberi hak kepada seorang ayah untuk mengingkari anaknya, namun si ayah harus dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu adalah akibat dari perzinahan itu. Artinya, bila suami atau ayah dari anak tersebut tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat, maka pengingkaran tidak dapat dilakukan. Bahkan Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan untuk mengucapkan sumpah berkaitan dengan keputusan yang akan dikeluarkan tentang sah/tidaknya anak tersebut.81

Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam, sedikit lebih jelas disebutkan mengenai pengertian li’an walaupun tidak secara eksplisit. Pada Pasal 101 Kompilasi Hukum Islam disebutkan :

“seorang suami yang mengingkari sahnya anak sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an”.

Kemudian di dalam Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam (KHI) lebih jelas disebutkan :

“li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.”

Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan bahwa li’an juga menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.

Dari keterangan pasal-pasal di atas, baik yang terdapat pada Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, dapat diambil suatu kesimpulan sebagai penjelasan bahwa li’an merupakan salah satu bentuk perceraian yang

(12)

dilakukan di depan pengadilan yang dapat juga disertai dengan penyangkalan/pengingkaran oleh suami terhadap sahnya anak dalam kandungan ataupun yang sudah lahir dari istrinya karena tuduhan zina yang memiliki serangkaian ketentuan ataupun mekanisme tertentu untuk melakukan li’an tersebut.

B. Bentuk-Bentuk Li’an

Jika dilihat dari pengertian li’an sebagai suatu tuduhan suami terhadap istrinya bahwa ia telah berzina, misalnya dengan berkata : “Aku melihatnya sedang berzina !”, atau suami menolak janin yang dikandung istrinya sebagai anaknya, maka li’an dapat dibedakan menjadi tiga macam :

1. Suami menuduh istrinya berzina, tetapi ia tidak punya empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Jika ada laki-laki yang menzinai istrinya dan suami melihat laki-laki tersebut sedang menzinai istrinya atau istri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuannya tersebut, maka dalam keadaan seperti ini lebih baik ditalak, bukan dengan jalan meli’an atau mengadakan mula’anah. Tetapi jika tidak terbukti laki-laki yang menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina.82 Menurut ulama Mazhab Maliki, suami yang mengaku melihat istrinya berzina itu disyaratkan tidak melakukan senggama dengan istrinya tersebut setelah tuduhan dijatuhkan.83 Dalam hal ini, bisa saja suami ketika melakukan tuduhan zina terhadap istrinya tanpa disertai dengan pengingkaran terhadap sahnya anak yang dikandung

82Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm. 138-139. 83Abdul Aziz Dahlan, Op.Cit., hlm. 1009.

(13)

ataupun yang telah lahir dari istrinya tersebut. Pihak suami sebagai pemegang hak pengingkaran anak, adalah boleh mempergunakannya dan dapat pula tidak mempergunakannya. Selama suami tidak mempergunakan haknya tersebut, maka ia dianggap secara hukum menerima keadaan aquo dan kedudukan anak tetap dipandang sebagai anak sah yang mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya.84

2. Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya. Suami boleh tidak mengakui kehamilan istri, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena ia merasa belum pernah sama sekali mencampuri istrinya sejak akad nikahnya, atau ia merasa mencampurinya tetapi baru setengah tahun lalu atau telah lewat setahun, sedangkan umur kandungannya tidak sesuai.85

Dalam Hukum Islam seorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikan bahwa :86

a. Suami belum pernah menjima’istrinya akan tetapi istri tiba–tiba melahirkan; b. Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima’ istrinya sedangkan

bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur;

c. Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak dijima’ suaminya. 3. Suami menuduhkan kedua-duanya kepada istrinya, yakni menuduh istrinya

berzina dan tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya, dan

84Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam Jilid II, Loc.Cit. 85Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Loc.Cit.

86Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004, hlm. 284.

(14)

ia tidak bisa membuktikan hal itu dengan kehadiran empat orang saksi.87 Kalau suami tetap pada tuduhannya itu, ia dituntut untuk bersaksi dengan nama Allah. Bentuk persaksiannya, yaitu bersumpah sebanyak empat kali bahwa apa yang dituduhkannya adalah benar. Kemudian dalam sumpahnya yang kelima, jika tuduhannya bohong/dusta, laknat Allah akan menimpa dirinya.88

Adapun pernyataan pengingkaran terhadap anak yang lahir dari rahim istrinya harus dilakukan di hadapan hakim dengan ungkapan “Anak ini atau kehamilan ini bukan dari saya”. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat ulama tentang waktu pengingkaran terhadap anak tersebut. Beberapa Ulama Mazhab, seperti ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki tidak membolehkan pengingkaran anak yang dilahirkan istrinya setelah anak itu lahir. Sedangkan Ulama Mazhab Syafi’i membolehkan pengingkaran dilakukan selama kehamilan ataupun menunggu sampai kelahiran.89

Menurut Ulama Mazhab Hanafi, apabila pengingkaran itu dilakukan segera setelah anak itu lahir atau pada masa proses kelahirannya, maka li’an sah. Tetapi bila dilakukan setelah itu, tuduhan atau pengingkaran tersebut tidak dapat diterima. Akibatnya, anak tersebut merupakan keturunannya, karena sebelumnya suami tersebut diam saja dan sikap diam tersebut menunjukkan ridha suami.90

87Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Op.Cit., hlm. 405

88Bermula’anah (melakukan li’an) seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an surah An-Nur (24) ayat 6-7.

89Abdul Azis Dahlan, Loc.Cit. 90Ibid.

(15)

Ulama Mazhab Maliki, meskipun sependapat dengan Ulama Mazhab Hanafi, tetapi disertai dengan pensyaratan dua hal dalam tuduhan suami dan pengingkaran suami terhadap anak yang dilahirkan istrinya, yaitu pertama, suami tidak melakukan senggama dengan istrinya selama masa yang diduga bisa menimbulkan kehamilan, yaitu satu kali haid, dan kedua, pengingkaran anak tersebut dilakukan sebelum anak itu lahir. Apabila suami diam saja tanpa alasan sampai anak itu lahir, walaupun satu hari, maka li’an tidak sah dan suami tersebut bahkan dikenakan hukuman tuduhan berbuat zina91.

Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i membolehkan pengingkaran dilakukan selama kehamilan atau menunggu sampai kelahiran. Alasannya adalah sebuah riwayat ketika Hilal Ibn Umayyah menuduh istrinya melakukan zina dengan Syuraik as-Samha di hadapan Rasulullah SAW. Ulama Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa dibolehkannya tuduhan sampai kelahiran anak yang dikandung istri itu bertujuan agar tuduhan dapat dikemukakan secara meyakinkan.92

Dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai waktu pengingkaran anak ini telah diatur bahwa suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.

91Ibid., hlm. 1010 92Ibid.

(16)

Pengingkaran yang diajukan setelah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.93Ini berarti bahwa Kompilasi Hukum Islam membolehkan dilakukannya pengingkaran anak setelah kelahiran anak tersebut.

C. Rukun, Syarat dan Cara Melakukan Li’an

Rukun merupakan sesuatu yang harus ada atau yang harus dilakukan untuk sahnya perbuatan atau pekerjaan yang kita lakukan. Seperti halnya dalam menjalankan shalat bagi umat Muslim ada rukun-rukun shalat yang harus dilakukan, demikian pula halnya apabila hendak melakukan li’an atau bermula’anah. Para jumhur ulama mengemukakan empat rukun li’an94, yaitu :

1. Suami yang melakukan li’an 2. Istri yang dili’an

3. Sebab li’an 4. Lafal li’an

Terhadap rukun li’an yang pertama dan kedua tersebut diatas, hendaknya kedua suami istri itu adalah orang-orang yang sudah dewasa serta berakal sehat. Sebab tidak ada beban (taklif) atas orang gila atau anak kecil, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “pena itu diangkat dari tiga orang : dari anak kecil sampai ia dewasa, dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang yang tidur sampai ia bangun”.95

Adapun sebab li’an adalah tuduhan suami terhadap istrinya bahwa istrinya itu berbuat zina dan suami mengingkari terhadap sahnya anak dalam kandungan istrinya

93Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam (KHI). 94Abdul Aziz Dahlan, Loc.Cit.

(17)

atau yang telah lahir dari istrinya tersebut sebagai darah dagingnya. Pihak suami harus mengadukan bahwa ia melihat istrinya melakukan zina. Dalam hal kehamilan, ia juga harus mengajukan bukti yang menyatakan bahwa dia tidak pernah menggauli istrinya itu atau ia tidak pernah menggaulinya selama usia kehamilan. Bila tidak ada pengaduan suami, maka tuduh menuduh zina itu tidak terjadi antara suami istri tersebut, karena li’an tidak boleh dilakukan hanya berdasarkan perkiraan belaka. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT :

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian prasangka itu adalah dosa...”96

Jika dilihat dari dasar li’an dalam Al-Qur’an surah An-Nuur (24) ayat 6-7, dapat diketahui bunyi dari lafal li’an, yaitu :

“bahwa suami mula-mula bersaksi di hadapan hakim dengan empat pensaksian, yaitu dengan mengucapkan asyhadu billahi inni laminash shadiqien (saya bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya saya adalah dari orang-orang yang benar tentang apa yang saya tuduhkan kepada istri saya, yaitu : zina), dan pada kali yang kelima dia mengatakan : la’natullahi “alaiya inkuntu minal kadzibiin (Kutukan Tuhan atasku jika aku dari orang yang dusta tentang tuduhannya). Kemudian istrinya pula bersaksi dengan empat pensaksian dengan mengucapkan asyhadu billahi innahu la minal kadzibiin (saya bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah dari orang-orang yang berdusta terhadap tuduhannya atas diriku), dan pada kali yang kelima dia mengatakan : ghaddlaballahi ‘alaiya in kana minash shadiqiin (kemarahan Allah atas diriku jika dia (suaminya) dari orang yang benar dalam tuduhannya).”97

96Al-Qur’an surah Al-Hujarat ayat 12.

97T.M Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syariat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hlm. 283

(18)

Dalam prakteknya di pengadilan, lafal li’an yang sering digunakan adalah sebagai berikut :98

Suami terlebih dahulu mengucapkan sumpah li’an di muka sidang,

“BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, WALLAHI, WABILLAHI,

WATALLAHI., DEMI ALLAH SAYA BERSUMPAH BAHWA

ISTERISAYA TELAH BERBUAT ZINA DAN ANAK YANG

DILAHIRKAN ISTERI SAYA ADALAH BUKAN ANAK SAYA.” (Empat kali).

“SAYA BERSEDIA MENERIMA LAKNAT ALLAH BILA SAYA

BERDUSTA”. (Satu kali).

Lalu dilanjutkan dengan sumpah li’an (sumpah balasan) dari istri,

“BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, WALLAHI, WABILLAHI,

WATALLAHI, DEMI ALLAHSAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA TIDAK BERBUAT ZINA DAN ANAK YANG SAYA LAHIRKAN ADALAH ANAK SUAMI SAYA” (Empat kali).

“SAYA BERSEDIA MENERIMA MURKA ALLAH, BILA SAYA

BERDUSTA”. (Satu kali).

Mengenai syarat li’an, para ulama membaginya menjadi dua bentuk, yaitu syarat wajibnya li’an dan syarat sahnya melakukan li’an. Berdasarkan pendapat para ulama, syarat wajibnya li’an dapat diuraikan menjadi :99

1. Pasangan tersebut masih berstatus suami istri, sekalipun istri belum digauli atau istri masih dalam masa idah talak raj’i. Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa li’an tetap sah terhadap istri yang dalam talak ba’in.100

2. Status perkawinan mereka adalah nikah yang sah. Tetapi menurut pendapat beberapa kalangan jumhur ulama li’an juga sah dilakukan dalam nikah fasid karena adanya masalah nasab (keturunan) dalam nikah fasid tersebut.

3. Suami adalah seorang muslim yang cakap memberikan kesaksian secara lisan. Kalangan Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan bahwa suami adalah harus

98Putusan Pengadilan Agama Buol Nomor 017/Pdt.G/2010/PA Buol 99Abdul Azis Dahlan, Op.Cit., hlm 1010-1011

100 Didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah An-Nur ayat 6 yang artinya : ”Dan orang-orang yang menuduh istrinya...”. Kata ‘istri’ menurut ulama menunjukkan bahwa status mereka masih suami istri.

(19)

seorang muslim, tetapi tidak bagi Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali, yang menajdi patokan bagi mereka adalah bahwa suami adalah orang yang cakap menjatuhkan talak kepada istrinya.

4. Adanya tuduhan berbuat zina dari suami terhadap istri

5. Istri mengingkari tuduhan tersebut sampai berakhirnya proses dan hukum li’an. Adapun syarat sahnya proses li’an menurut kalangan ulama Mazhab Hambali ada enam, yaitu :101

1. Li’an dilakukan dihadapan hakim.102

2. Li’an dilaksanakan suami setelah diminta oleh hakim. 3. Lafal li’an yang lima kali diucapkan secara sempurna.

4. Lafal yang dipergunakan dalam li’an itu sesuai dengan yang dituntunkan Al-Qur’an.

5. Proses li’an harus berurut, dimulai dengan sumpah suami empat kali dan yang kelima suami melaknat dirinya, tidak boleh sebaliknya dan tidak boleh diubah. 6. Jika suami istri itu hadir dalm persidangan li’an, keduanya boleh mengajukan

isyarat untuk menunjuk pihak lainnya. Tetapi jika ada diantara mereka yang tidak hadir, maka penunjukkan harus dilakukan dengan penyebutan nama dan identitas lengkap. Kalangan ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa proses li’an tidak harus dihadiri oleh kedua belah pihak, diikuti pula dengan perbedaan pendapat dalam hal diperlukannya kehadiran saksi ketika terjadinya li’an. Ulama Mazhab Maliki berpendapat li’an harus dihadiri banyak orang dan paling tidak empat orang yang adil, sementara Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa li’an dianjurkan dihadiri oleh jemaah umat Islam.

Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina, maka hakim menetapkan agar mereka saling melakukan li’an (bermula’anah). Hakim memerintahkan suami untuk bersaksi empat kali dengan nama Allah SWT bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhan atau pengingkarannya terhadap anak yang dikandung istrinya itu. Pada yang kelima kali ia menyatakan bahwa laknat Allah SWT akan menimpanya jika ia berdusta dengan tuduhannya terhadap istrinya dan pengingkarannya terhadap

101Abdul Azis Dahlan, Op.Cit, hlm. 1011.

(20)

anak tersebut. setelah itu barulah istri mengemukakan kesaksiannya dengan nama Allah SWT empat kali dengan pernyataan bahwa ia (suami) termasuk orang yang berdusta terhadap tuduhannya atau pengingkarannya terhadap anak yang dikandungnya. Kemudian pada yang kelima kalinya ia menyatakan bahwa kemarahan Allah SWT akan menimpanya jika ia (suami) termasuk orang yang benar terhadap tuduhan dan pengingkarannya terhadap anak tersebut.103

Dalam proses li’an tersebut hakim hendaknya memberi peringatan kepada si suami seperti peringatan yang disabdakan Rasulullah SAW :

“Siapa saja lelaki yang menolak anaknya, padahal sebenarnya ia mengakuinya, maka Allah tidak akan melihatnya dan ia akan dihinakan di hadapan orang-orang terdahulu maupun orang-orang terkemudian” (Hadist Riwayat Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majjah. Ibnu Hibban menyatakan sahih).”

Kemudian hakim hendaknya juga memperingatkan istri dengan sabda Rasulullah SAW :

“Barangsiapa diantara perempuan memasukkan suatu kaum yang bukan ahlinya (suaminya), maka hal itu tidak jadi masalah bagi Allah, tetapi Allah tidak akan memasukkannya ke surga”. (Hadist Riwayat Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majjah. Ibnu Hiban menyatakan sahih).104

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 127 juga ada diatur mengenai tata cara li’an dengan tetap berdasarkan kepada Al-Qur’an surah An-Nur ayat 6-9, yaitu :

a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti dengan sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”.

103Cara seperti inilah yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 6-9 dan cara ini pula yang dipraktekkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah bin Umar.

(21)

b. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”.

c. Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

d. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li’an.105

Dengan selesainya diucapkan sumpah li’an, maka hakim kemudian menceraikan kedua suami istri yang bermula’anah tersebut dan diantara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan lagi untuk selama-lamanya yang didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :

“Suami istri yang saling mengutuk itu, apabila telah bercerai, maka keduanya tidak boleh bersatu lagi untuk selamanya”. (Hadist Riwayat Al-Turmudzi).106 Hal tersebut juga dipertegas di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 125 yang menyebutkan bahwa li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.107

Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama, atau dengan perkataan lain di lakukan di muka hakim. Dengan pelaksanaan li’an di hadapan sidang pengadilan akan dapat diberikan surat keterangan telah terjadinya li’an dan dapat diketahui akibat-akibat hukumnya yang timbul. Kompilasi Hukum Islam dalam mengatur

105Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam (KHI) 106Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Loc.Cit.

107sebab sudah terjadi saling membenci, padahal dalam kehidupan perkawinan memerlukan ketenangan, kasih sayang dan saling cinta mencintai, sedangkan pada kedua suami istri yang telah melaksanakan li’an sudah hilang dasar-dasar tersebut. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel

(22)

bahwa li’an harus dilakukan di hadapan sidang adalah dengan menggunakan metode istislah atau sering disebut mashlahah mursalah. Secara teknis hukum Islam tidak menjelaskan konkret tentang adanya li’an di hadapan sidang. Namun demikian, karena kemashlahatan yang dimunculkan dari pelaksanaan li’an di depan sidang tersebut sangat besar, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi kepentingan pembinaan kesadaran hukum masyarakat, maka upaya tersebut harus ditempuh.108 D. Alasan Li’an Dapat Mencegah Hak Waris Anak Dari Ayah Biologisnya

Telah diuraikan sebelumnya bahwa li’an membawa dampak yang sangat besar baik bagi kedua suami istri yang bermula’anah tersebut, yaitu terputusnya perkawinan antara mereka untuk selama-lamanya, juga terhadap anak-anak yang dinafikan di dalam sumpah li’an tersebut. Bila ada anak yang dinafikan, maka tidak dapat lagi diakui oleh suami sebagai anaknya.

Berdasarkan sabda Rasulullah SAW :109

“bahwasanya seorang laki-laki telah melakukan mula’anah (meli’an) terhadap istrinya dan menolak untuk mengakui anak yang lahir dari istrinya itu. Lalu Rasulullah SAW menceraikan kedua suami istri tersebut, selanjutnya anak itu dihubungkan untuk perempuan itu110” (Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim).

108Departemen Agama RI, Al-Qur’an al Karim dan Terjemahnya, Karya Putra Toha, Semarang, 1996, hlm. 232.

109Bgd. M. Leter, Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, Angkasa Raya, Padang, 1985, hlm. 246-247.

110Maksudnya adalah bahwa nasab anak tersebut dihubungkan kepada ibunya. Ahmad Rofiq,

(23)

Hadist ini juga dikuatkan oleh dalil lain yang menyatakan bahwa anak adalah hanya bagi suami yang setempat tidur. Padahal disini tak ada suami yang setempat tidur karena suami telah menyangkalnya melalui sumpah li’an.111

Hal tersebut tentunya dapat mencegah hak waris anak dari ayah biologisnya, karena telah diketahui bahwa anak yang dinafikan tersebut, untuk selanjutnya setelah perkawinan putus karena li’an, dihubungkan dengan ibu yang melahirkannya. Abu bakar berpendapat bahwa anak yang lahir dari si perempuan yang dili’an itu putus hubungannya dengan dengan si laki-laki terhitung semenjak perkawinan diantara keduanya dinyatakan putus, meskipun dalam ucapan li’an tidak disebutkan menafikan anak. Hal ini didasarkan pada Hadist riwayat antara Hilal bin Umayyah dengan Syuraik as-Shama bahwa Rasulullah SAW sendiri menafikan anak dari laki-laki yang dili’an dan menghubungkan nasabnya dengan si ibu, bahkan waktu itu ucapan li’an dari suami tersebut tidak menyebutkan penafikan si anak.112

Sebuah riwayat oleh Amr bin Syua’aib dari bapaknya, dari datuknya, ia berkata :

“Rasulullah telah memutuskan tentang anak dari suami istri yang bermula’anah, bahwa si anak dapat warisan dari ibunya dan ibunya dapat warisan dari anaknya. Dan orang yang menuduh perempuan berzina (tanpa dapat mengajukan empat orang saksi) adalah baginya delapan puluh kali dera” (Hadist Riwayat Ahmad).113

111Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm 149.

112Ibnu Qudamah, Al-Mughniy VI, Maktabah Al-Qahiriyah, Kairo, 1970, hlm. 340-341. 113Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm. 148-149.

(24)

Demikian pula Hadist Riwayat Abu Dawud mengatakan :114

“Rasulullah SAW menjadikan hak waris anak li’an (mula’anah) kepada ibunya dan ahli waris ibu sesudahnya”.

Namun demikian, walau hak waris anak tercegah dari ayah biologisnya karena sebab li’an tersebut, tetapi jika dilihat dari segi ketentuan Allah, maka anak tersebut tetap sebagai anaknya sendiri. Oleh sebab itu, anak tersebut tidak boleh menerima zakat yang dikeluarkan ayah biologisnya, jika ayahnya membunuhnya tak ada hukuman qishashnya antara anak ini dengan anak-anak dari ayahnya yang menjadi muhrim, tidak boleh saling jadi saksi di pengadilan, tidak dianggap tak dikenal nasabnya, tidak boleh mengakui orang lain sebagai ayahnya.115

Jika di kemudian hari suami mencabut tuduhannya116, maka anaknya sah nasabnya dengannya, anak itu menjadi lebih berhak kepada ayahnya, dan sekalian akibat li’an terhapus dari anaknya.117

114Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Loc.Cit.

115Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm. 149-150.

116 Menurut pendapat Imam Abu Hanafiah, jika suami mencabut tuduhannya,berarti ia telah mendustakan dirinya dan dikenakan hukuman hadd cambuk, setelah itu ia boleh kawin lagi dengan bekas istrinya dengan akad baru. Alasannya, jika suami mendustakan diri dengan mencabut tuduhan

li’an, tentu li’an menjadi batal. Sebagaimana anak kembai hubungan keturunan kepadanya, maka istri

pun kembali padanya. Sebab yang mengharamkan itu adalah ketidakpastian siapa diantara mereka yang benar dan salah. Maka jika kepastian telah diperoleh, dengan sendirinya terangkatlah hukum haram itu. H.A Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Setiap Ada Pintu Masuk Tentu Ada

Jalan Keluar, Pustaka Al- Husna, Jakarta, 1994, hlm. 160

Referensi

Dokumen terkait

Talak yang tidak memberi hak merujuk bagi mantan suami terhadap mantan istrinya. Untuk kembali mantan suami ke dalam ikatan pernikahan mantan istri harus melalui

Termohon atau pihak istri mengucapkan sumpah balik sebanyak empat kali, sebagai berikut: “ Wallahi, Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak berbuat zina.” Dan

1) Ekspresi Kasih Sayang. Ekspresi kasih sayang yang nyata pada suami maupun istri akan mencapai kepuasan perkawinan. Rasa saling percaya antara suami istri

Orang yang dituduh harus tertentu (jelas). Apabila orang yang dituduh itu tidak diketahui maka penuduh tidak dikenai hukuman had. Tuduhan harus mutlak, tidak

Yaitu pencurian yang telah diterangkan dalam pasal 367 KUHP yakni, Jika dia adalah suami/istri yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan atau

Ikatan perkawinan menjadikan adanya harta bersama antara suami istri, sebagaimana tertuang dalam undang-undang perkawinan pasal 35 ayat (1). Namun, bukan berarti dalam perkawinan

pula atas anak-anak seperti itu, kalau suami istri itu bersengketa tentang lamanya waktu bergaul mereka, misalnya istri mengatakan (kepada suaminya), “engkau telah

Menurut Ahmad Hanafi, pengertian qisas ialah agar pembuat jarimah dijatuhi hukuman (dibalas) setimpal dengan perbuatannya, jadi dibunuh kalau ia membunuh, atau