• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kualitas Udara Lokasi Penelitian

Data kulitas udara kota Yogyakarta dan Solo diambil dari Badan Lingkungan Hidup masing-masing kota (Lampiran 5 – 8). Kemudian dilakukan perbandingan terhadap beberapa parameter kualitas udara SO2, NO2, dan TSP pada tahun 2010, dengan pertimbangan bahwa peristiwa meletusnya Gunung Merapi terjadi pada tahun tersebut. Hasil perbandingan parameter kualitas udara kota Yogyakarta dan Kota Solo dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbandingan parameter kualitas udara kota Yogyakarta dan Solo sebelum dan sesudah Letusan Gunung Merapi tahun 2010

Parameter

Lokasi

Yogyakarta Solo

Sebelum Sesudah BML 1 Sebelum Sesudah BML 2

SO2 (µg/Nm3) 535,60 53,6 900 9,28 15,41 632

NO2(µg/Nm3) 57,59 533,6 400 24,80 81,54 316

TSP(µg/Nm3) 172 418 230 - * - * 230

Keterangan : * kurang dari 10µg/Nm3

Sumber : BLH Solo dan BLH Yogyakarta (2010)

Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan yang dilakukan oleh Balai Lingkungan Hidup masing-masing kota. Data kualitas udara kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 (Tabel 4). Hal ini dikarenakan, lokasi tersebut merupakan lokasi terdekat dengan daerah pengambilan sampel daun.

Berdasarkan data rata-rata kandungan udara yang diperoleh, dapat diketahui bahwa konsentrasi SO2, NO2 dan TSP Kota Yogyakarta sebelum dan sesudah bencana Gunung Merapi meletus lebih tinggi jika dibandingkan Kota Solo. Dari tiga parameter yang dibandingkan, di Kota Yogyakarta, TSP dan NO2 adalah parameter udara yang mengalami peningkatan pasca letusan Gunung Merapi. Peningkatan yang terjadi cukup jauh melebihi baku mutu lingkungan. Sedangkan SO2 konsentrasinya menurun. Penurunan konsentrasi SO2 dikarenakan gas SO2 sudah lebih dulu dikeluarkan pada saat erupsi-erupsi kecil dari Gunung Merapi.

(2)

Sehingga pada saat Gunung Merapi meletus, kandungan SO2 sudah jauh berkurang. Hal ini yang mengakibatkan rendahnya kadar SO2 pada data pengukuran pasca letusan Gunung Merapi.

Badan Lingkungan Hidup kota Yogyakarta menggunakan baku mutu lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur DIY No. 153 Tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien DIY. Sedangkan kota Solo menggunakan baku mutu lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambien Provinsi Jawa Tengah. Data kualitas udara Kota Solo menunjukan adanya peningkatan konsentrasi bahan pencemar sesudah bencana meletusnya Gunung Merapi yang tidak terlalu tinggi. Seluruh data bahan pencemar yang dibandingkan berada dibawah baku mutu lingkungan. Pemantauan terhadap parameter TSP Kota Solo dalam beberapa tahun terakhir menunjukan hasil yang sangat kecil (<10 µg) sehingga parameter tersebut termasuk dalam parameter kualitas udara yang tidak terdeteksi.

Kedua lokasi penelitian memiliki kebijakan menggunakan baku mutu lingkungan yang nilainya lebih ketat jika dibandingkan baku mutu lingkungan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang memiliki batas kandungan SO2 900 µg/Nm3, NO2 400 µg/Nm3, dan TSP 230 µg/m3. Hal ini diperbolehkan sesuai PP No 41 Tahun 1999 pasal 4 ayat 3 yang menjelaskan bahwa baku mutu udara ambien daerah yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara di daerah yang bersangkutan ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu udara ambient nasional.

Peristiwa meletusnya Gunung Merapi memberikan dampak yang terlihat nyata pada kandungan bahan pencemar di udara terutama TSP. Hal ini terlihat dari data hasil pemantauan kualitas udara yang secara khusus dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup kota Yogyakarta pada tanggal 5 November 2010. Laporan hasil uji udara ambien Kota Yogyakarta pasca meletusnya gunung Merapi dapat dilihat pada Tabel 4.

(3)

Tabel 4 Laporan hasil uji udara ambient bulan November 2010 Lokasi Parameter CO SOx NOx PM 2,5 PM 10 BML = 35 ppm BML = 0.340 ppm BML = 0.212 ppm BML = 65 µg/Nm3 BML = 150 µg/Nm3 1 9 0.03 0.28 192 204 2 12 0.01 0.31 224 253 3 9 0.02 0.29 205 418 4 3 0.09 0.28 159 180 5 0 0.1 0.05 13 35 Keterangan :

1. Perempatan jalan Magelang 2. Jalan Urip Sumoharjo 3. Perempatan Tugu

4. Perempatan Wirobrajan 5. Terminal Giwangan

Data yang diambil di daerah-daerah perbatasan Kota Yogyakarta yaitu Perempatan Jalan Magelang (1), Jalan Urip Sumoharjo (2), Perempatan Tugu (3), Perempatan Wirobrajan (4), dan Terminal Giwangan (5) menunjukan perubahan yang cukup signifikan terutama untuk parameter TSP. Lokasi 1, 2 dan 3 merupakan lokasi yang lebih dekat dengan Gunung Merapi sehingga kandungan debu vulkanik dalam udara lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi 4 dan 5 yang letaknya lebih jauh.

Secara alamiah partikel debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang terbawa oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi. Debu vulkanik yang keluar dari letusan gunung berapi biasanya memiliki ukuran diameter aerodinamik <10 µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM10. Namun Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5 µm. Kandungan PM2.5 di udara mencapai angka tertinggi 224 µg/Nm3 terpantau di daerah Jalan Urip Sumoharjo sedangkan konsentrasi PM10 tertinggi terpantau di daerah Perempatan Tugu dengan nilai 418 µg/Nm3. Angka ini sangat jauh melebihi baku mutu udara yang ditetapkan berdasarkan Kep. Gub.DIY No 153 tahun 2002 yaitu 65 µg/m3 untukPM2.5 dan 150 µg/Nm3 untuk PM10.

Hasil pemantauan yang dilakukan di lima lokasi perbatasan kota Yogyakarta menujukan bahwa kandungan TSP pada daerah tersebut jauh melebihi ambang batas baku mutu udara ambien, kecuali Terminal Giwangan yang masih di bawah baku mutu udara (13 µg/Nm3 untuk PM2.5 dan 35 µgN/m3 untuk PM10). Kandungan bahan pencemar yang lain seperti CO dan SO2 secara keseluruhan

(4)

masih dalam batas toleransi baku mutu lingkungan, sedangkan NO2 pada daerah jalan Urip Sumoharjo sedikit di atas batas BML.

Tingginya konsentrasi TSP dan bahan pencemar lain seperti SO2 dan NO2 di udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk kota Yogyakarta. Menurut WHO (1996) dalam Pudjiastuti (2002) pertikel debu dengan ukuran 0,1 µm sampai 10 µm berbahaya bagi kesehatan dan dapat merusak lingkungan. Perubahan yang terjadi disebabkan karena gas dan materi polutan yang masuk melalui stomata dapat mengakibatkan terganggunya proses metabolisme di dalam tanaman (Riikonen et al. 2010).

Secara spesifik polusi udara berpengaruh terhadap fungsi tanaman, seperti debu udara dapat menutupi mulut daun sehingga membatasi proses fotosintesis. Kristanto (2004) menjelaskan bahwa debu berpengaruh terhadap tanaman karena debu jika bergabung dengan uap air atau air hujan akan membentuk kerak yang tebal pada permukaan daun dan tidak dapat dibilas oleh air hujan kecuali dengan menggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan mengganggu berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman karena menghambat masuknya sinar matahari ke permukaan daun dan menghambat pertukaran CO2 ke atmosfer. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu. Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandungsilika (SiO2) yang bersifat tajam. Selain itu, sifat debu yang mampu menyerap bahan pencemar yang berupa gas seperti SO2 dan NO2 dapat mengakibatkan bahan-bahan pencemar tersebut bertahan lebih lama dalam daun bila terserap (Sinuhaji 2011). Sedangkan gas SO2 dan NO2 dapat menyebabkan kerusakan pada bagian sel penjaga dan sel epidermis dalam konsentrasi tertentu.

Respon masing-masing tanaman terhadap tingginya konsentrasi bahan pencemar berbeda pada masing-masing tanaman. Jahar and Iqbal (1992) menyebutkan bahwa tiap jenis tanaman memiliki sifat dan karakteristik tersendiri dalam merespon pencemar udara. Perbedaan tersebut tergantung dari jenis tanaman dan susunan genetiknya. USDA Forest Service (1989) menjelaskan bahwa faktor lain seperti pertumbuhan pohon dan jarak terhadap sumber polusi,

(5)

konsentrasi bahan pencemar, serta lamanya terpolusi juga turut berperan. Sebagian besar tanaman tidak tahan terhadap gas-gas pencemar yang berada di atmosfer berapapun konsentrasinya, namun beberapa jenis tanaman dapat tahan terhadap gas pencemar yang ada ( Fitter dan Hay 1981).

5.2 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Paradermal Daun Akasia

Stomata tanaman akasia dapat ditemukan pada sisi atas (adaksial) dan bawah (abaksial) daunnya, sehingga berdasarkan letak stomatanya daun akasia masuk dalam tipe amfistomatik. Jika dilihat tipe susunan stomatanya, daun akasia termasuk tipe parasitic atau rubiaceous dimana setiap sel penjaga bergabung dengan satu atau lebih sel tetangga, sumbu membujurnya sejajar dengan sumbu sel penjaga dan apertur (Fahn 1991).

Analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun akasia daerah tercemar TSP dengan tanaman kontrol dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji-T terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun akasia daerah tercemar dengan tanaman kontrol

Parameter Nilai rata-rata lokasi Solo Nilai rata-rata lokasi Yogyakarta Nilai signifikansi Hasil uji a. Sisi atas daun (Adaksial)

Panjang stomata (µm) 20,85 21,57 0,406 TBN

Lebar stomata (µm) 13,91 13,75 0,778 TBN

Kerapatan stomata (jumlah /mm2) 491,53 471,68 0,130 TBN

Indeks stomata 12,02 11,05 0,029 BN

Kerusakan sel epidermis (jumlah /mm2) 0,13 4,80 0,001 BN

Abnormalitas stomata (jumlah /mm2) 0 2,06 0,011 BN

b. Sisi bawah daun (Abaksial)

Panjang stomata (µm) 20,87 21,50 0,397 TBN

Lebar stomata (µm) 13,80 13,95 0,807 TBN

Kerapatan stomata (jumlah /mm2) 499,45 471,11 0,192 TBN

Indeks stomata 12,25 11,48 0,205 TBN

Kerusakan Sel Epidermis (jumlah /mm2) 0,66 4,59 0,008 BN

Abnormalitas stomata (jumlah /mm2) 0,06 1,86 0,011 BN

Keterangan :

TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%

Hasil pada Tabel 5 menunjukan bahwa beberapa parameter anatomi sayatan paradermal daun tanaman akasia menunjukan perbedaan nyata setelah dilakukan uji-t dengan menggunakan software SPSS. Parameter anatomi daun yang

(6)

menunjukan hasil berbeda nyata adalah indeks stomata sisi adaksial daun serta jumlah kerusakan sel epidermis dan abnormalitas stomata pada kedua sisi daun akasia.

Secara statistik ukuran kerapatan stomata pada kedua sisi daun menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata namun terdapat kecenderungan kerapatan stomata menjadi lebih rendah. Daun akasia pada daerah yang tercemar memiliki kerapatan stomata adaksial (471,68/mm2) dan abaksial (471,11/mm2) yang lebih rendah jika dibandingkan dengan daun akasia yang terdapat pada daerah kontrol (491,53/mm2 dan 499,45/mm2). Maulana (2004) melaporkan bahwa tanaman akan mengurangi jumlah stomatanya sebagai respon terhadap peningkatan konsentrasi bahan pencemar. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Pedroso dan Alves (2008) yang melaporkan bahwa peningkatan bahan pencemar terutama O3 menyebabkan penurunan kerapatan stomata pada daun Nicotania tobacum L.

Indeks stomata akasia sayatan adaksial adalah parameter anatomi yang menunjukan hasil berbeda nyata. Indeks stomata tanaman di lokasi tercemar lebih rendah jika dibanding dengan lokasi kontrol. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Riikonen et al. (2010) yang melaporkan bahwa indeks stomata spesies Betula papyrifera meningkat setelah terjadi peningkatan bahan pencemar berupa gas. Penelitian Gostin (2009) terhadap beberapa spesies Fabaceae dan Verma et al. (2009) pada spesies Ipomea pes-trigridis L menunjukkan hasil indeks stomata yang meningkat akibat adanya peningkatan bahan pencemar.

Hasil uji-t terhadap parameter pengamatan menunjukkan hasil yang signifikan (BN) pada sisi adaksial daun akasia lebih banyak dibandingkan sisi abaksialnya. Riikonen et al. (2010) menyatakan bahwa kontak antara daun dengan udara (bahan pencemar) paling besar kemungkinnya terjadi pada sisi adaksial.

Abnormalitas stomata dan kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun akasia adaksial dan abaksial dapat diamati dengan mudah. Perbedaan pada kedua lokasi ini terlihat nyata, dimana daun akasia pada daerah tercemar memilki kerusakan sel epidermis dan abnormalitas stomata yang cukup banyak. Kozlowzki dan Mudd (1975) menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya dapat menyebabkan perubahan jaringan seperti

(7)

plasmolisis, granulasi (kekacauan sel), hancurnya sel atau mati dan pigmentasi (perubahan warna sel menjadi lebih gelap). Fitter dan Hay (1981) menjelaskan bahwa beberapa tempat utama dalam tanaman yang dapat dipengaruhi oleh pencemar gas antara lain pada stomata dan kloroplas.

Abnormalitas stomata ditandai dengan ukuran yang jauh berbeda dari ukuran stomata normal. Ukuran stomata menjadi lebih besar atau lebih kecil dengan perbedaan ukuran yang cukup jauh (terlihat berbeda dari stomata lainnya). Sisi paling luar stomata biasanya akan berwarna lebih tebal dibandingkan dengan stomata yang lain. Abnormalitas sel stomata ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Abnormalitas sel stomata pada sayatan paradermal daun akasia. Selain abnormalitas stomata, secara mikroskopik terdapat pula kerusakan sel epidermis pada daun akasia. Kerusakan sel epidermis ini terlihat seperti lubang yang mengakibatkan sel epidermis terbelah menjadi lebih banyak dan kecil-kecil. Gambar kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun akasia dapat dilihat pada Gambar 3.

(8)

Abnormalitas stomata dan kerusakan sel epidermis ini cukup banyak ditemukan pada daun akasia yang berada pada daerah tercemar sebagai akibat dari peningkatan konsentrasi bahan pencemar yang cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena bahan pencemar seperti SO2,NO2 dan TSP yang terakumulasi di dalam daun. Hal ini sesuai dengan penjelasan Black dan Black (1979) bahwa SO2 pada konsentrasi yang cukup tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada sel penjaga dan sel epidermis daun.

Perbedaan sayatan paradermal sisi adaksial dan sisi abaksial daun akasia pada daerah tercemar dengan kontrolnya dapat dilihat pada Gambar 4. Kerusakan sel epidermis banyak dijumpai pada sayatan adaksial dan abaksial daun akasia yang berasal dari daerah yang tercemar ( Gambar 4B dan 4D)

Gambar 4 Sayatan adaksial daun Akasia kontrol (A), sayatan adaksial daun Akasia tercemar (B), sayatan abaksial daun Akasia kontrol (C) dan sayatan abaksial Akasia tercemar (D).

(9)

5.3 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Transversal Daun Akasia

Jaringan palisade daun akasia dapat ditemukan pada sisi adaksial dan abaksial. Oleh karena itu, berdasarkan letak jaringan palisadenya, daun akasia bersifat isolateral atau isobilateral. Jaringan palisade daun akasia sisi adaksial dan abaksial merupakan palisade yang tersusun atas dua lapis

Hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia daerah tercemar TSP dengan tanaman kontrol dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji-T terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia daerah tercemar dengan tanaman kontrol

Parameter Nilai rata-rata lokasi Solo Nilai rata-rata lokasi Yogyakarta Nilai signifikansi Hasil uji Tebal daun (µm) 206,25 211,51 0,781 TBN

Tebal jaringan epidermis atas (µm) 10,27 10,42 0,793 TBN

Tebal jaringan epidermis bawah (µm) 9,86 9,58 0,760 TBN

Tebal jaringan palisade atas (µm) 41,67 43,40 0,725 TBN

Tebal jaringan palisade bawah (µm) 39,58 43,30 0,442 TBN

Tebal jaringan bunga karang (µm) 101,25 102,36 0,924 TBN

Tebal kutikula atas (µm) 1,29 4,39 0,001 BN

Tebal kutikula bawah (µm) 1,23 4,06 0,002 BN

Keterangan :

TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia, hasil berbeda nyata (BN) hanya dijumpai pada parameter tebal lapisan kutikula.

Secara statistik, tebal lapisan kutikula adaksial dan abaksial daun pada kedua lokasi menunjukan perbedaan yang nyata dengan nilai signifikansi 0,001 dan 0,002. Daun akasia yang diambil dari Yogyakarta memiliki lapisan kutikula sisi adaksial dan abaksial yang lebih tebal (4,39 µm dan 4,056 µm) dibandingkan dengan daun akasia yang berasal dari Solo (1,29 µm dan 1,23 µm).

Kutikula yang terletak di sebelah luar lapisan epidermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan paling luar yang hanya terdiri dari lapisan kutin (kutikula sejati) dan lapisan dalam (lapisan kutikular) yang mengandung kutin serta bahan dinding sel lainnya. Lapisan paling luar dari daun ini difungsikan untuk menjaga kelembaban daun sebab lapisan kutikula dapat mengontrol transpirasi atau

(10)

penguapan sehingga meminimalkan kehilangan air. Selain menjaga kelembaban, kutikula juga berfungsi menjadi pertahanan awal terhadap masuknya benda asing termasuk bahan pencemar dari udara ke dalam daun (Fahn 1991). Hal ini terjadi pada daun akasia di Yogyakarta, daun akasia melakukan adaptasi terhadap tingginya konsentrasi bahan pencemar akibat debu vulkanik terutama TSP yang keluar pada saat Merapi meletus dengan meningkatkan ketebalan lapisan kutikulanya. Kutikula merupakan pertahanan pertama daun terhadap bahan-bahan pencemar yang masuk melalui daun karena letaknya yang berada di atas lapisan epidermis. Modifikasi pada tebal kutikula merupakan respon untuk mengurangi transpirasi dan reaksi tanaman terhadap masuknya bahan pencemar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Weryszko et al (2005) yang melaporkan bahwa pengaruh bahan pencemar udara dapat meningkatkan tebal kutikula pada Glycine max sebagai bentuk pertahanannya.

Jaringan palisade daun tercemar cenderung menjadi lebih tipis dibandingkan kontrolnya (Gambar 5). Hal ini juga merupakan respon tanaman akasia. Namun secara statistik tidak berbeda nyata. Peningkatan bahan pencemar pasca letusan Gunung Merapi dalam jangka waktu tertentu ini belum memberikan dampak yang signifikan terhadap parameter-parameter anatomi daun sayatan transversal kecuali pada tebal jaringan kutikula. Jaringan bunga karang dan palisade daun akasia juga tidak mengalami kerusakan. Hasil ini berbeda dengan pernyataan Ormond (1987) dalam Santosa (2004) yang mejelaskan bahwa kadar bahan pencemar seperti HF, SO dan debu yang tinggi dapat menyebabkan rusaknya jaringan bunga karang dan palisade. Hal ini didukung oleh Treshow (1970) yang menyatakan bahwa gas SO2 dengan konsentrasi tertentu yang masuk dalam daun dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan bunga karang, lapisan epidermis, dan palisade. Treshow (1970) juga menjelaskan bahwa partikel padat yang terjerap maupun terserap khususnya yang bersifat tajam (abrasif) juga mampu mengakibatkan luka melalui gesekan dengan permukaan yang lain dan akan menjadi media yang baik bagi organisme patogen untuk menginfeksi daun.

Debu vulkanik sangat sulit larut dalam air, sangat kasar dan agak korosif serta mengandung listrik apabila basah. Secara mikroskopik, debu vulkanik terlihat mengandung SiO2 atau pasir kuarsa yang biasa digunakan untuk membuat

(11)

gelas dan tampak berujung runcing sehingga dapat melukai jaringan-jaringan di dalam daun (Sinuhaji 2011).

Sayatan transversal daun akasia di lokasi tercemar dengan kontrolnya dapat dilihat pada Gambar 5.

Keterangan : 1. Tebal daun 2. Epidermis atas 3. Epidermis bawah 4. Palisade atas 5. Palisade bawah 6. Bunga karang

Gambar 5 Sayatan transversal daun akasia kontrol (A) dan tercemar (B).

Gambar 6 Tebal kutikula atas daun kontrol (A1) dan daun tercemar (B1), tebal kutikula bawah daun kontrol (C1) dan daun tercemar (D2).

5.4 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Paradermal Daun Mahoni

Berdasarkan letak stomatanya, tanaman mahoni masuk dalam tipe hipostomatik karena stomata hanya dijumpai pada sisi abaksial daun (Gambar 9). Fahn (1991) menjelaskan bahwa pada daun yang pertulangannya menjala,

(12)

stomatanya akan menyebar tidak teratur seperti pada mahoni. Jika dilihat berdasarkan tipe susunan stomatanya, daun mahoni termasuk dalam tipe anisositik atau stomata dengan sel penjaga yang dikelilingi oleh tiga sel tetangga yang ukurannya tidak sama (Fahn 1991).

Gambar 7 Sisi adaksial daun mahoni tanpa stomata (A) dan sisi abaksial mahoni dengan stomata (B).

Analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun mahoni tanaman kontrol dengan mahoni daerah tercemar TSP dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan paradermal sisi abaksial daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol

Parameter Nilai rata-rata lokasi Solo Nilai rata-rata lokasi Yogyakarta Nilai

signifikansi Hasil uji

Panjang stomata (µm) 18,07 16,60 0,077 TBN

Lebar stomata (µm) 13,19 12,03 0,088 TBN

Kerapatan stomata (jumlah/mm2) 660,24 597,05 0,207 TBN

Indeks stomata 18,52 18,18 0,589 TBN

Kerusakan sel epidermis

(jumlah/mm2) 0 0,33 0,152 TBN

Abnormalitas stomata( jumlah/mm2) 0,13 3,93 0,021 BN

Keterangan :

TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%

Parameter anatomi daun sayatan paradermal yang diuji menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata antara tanaman di daerah tercemar dengan kontrolnya kecuali jumlah abnormalitas stomata. Ukuran lebar stomata tanaman mahoni tercemar cenderung menjadi lebih kecil (13,19 µm) dibandingkan tanaman kontrolnya (13,67 µm). Diikuti dengan panjang stomata yang juga mengalami

(13)

penurunan dari 18,07 µm menjadi 16,60 µm. Namun hasil uji-t pada sayatan transversal daun mahoni menunjukan hasil yang tidak signifikan (TBN). Kozlowski dan Mudd (1975) menjelaskan bahwa tanaman yang tumbuh pada lingkungan yang terpolusi akan cenderung mempertahankan diri dengan meningkatkan ukuran stomatanya.

Jumlah stomata daun mahoni tercemar juga cenderung menurun, hal ini terlihat dari kerapatan stomata tanaman tercemar (597,05/mm2) yang lebih rendah jika dibandingkan kerapatan stomata tanaman kontrol (660,2/mm2). Jumlah stomata yang menjadi lebih sedikit dan ukuran lebar stomata yang menjadi lebih kecil merupakan salah satu respon tanaman mahoni untuk mengurangi jumlah bahan pencemar yang masuk ke dalam daun baik yang berupa gas maupun partikel debu meskipun secara statistik hasil yang ditunjukan adalah tidak berbeda nyata. Penelitian yang dilaporkan oleh Maulana (2004) menyatakan bahwa tanaman yang berada pada kondisi bahan pencemar yang lebih tinggi akan memberikan respon dengan mengurangi jumlah stomata. Dickinson (2000) menjelaskan bahwa stomata merupakan tempat utama bagi polutan untuk melakukan penetrasi terhadap tanaman. Struktur stomata, frekuensi, dan distribusinya telah diasumsikan menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi sensitivitas tanaman dan ketahanan daun terhadap masuknya bahan pencemar.

Parameter lain yang diuji adalah adanya kerusakan jaringan epidermis dan abnormalitas stomata pada daun mahoni yang tercemar. Hasil uji-t menujukkan hanya abnormalitas stomata yang menunjukan hasil berbeda nyata (BN) dengan nilai signifikansi 0.021. Kondisi mikroskopik tanaman kontrol cenderung rapi dan jarang terlihat adanya kerusakan bahkan tidak ada, berbeda dengan tanaman mahoni tercemar yang banyak terdapat kerusakan.

Abnormalitas sel stomata ditandai dengan ukuran yang cenderung jauh lebih besaratau bahkan lebih kecil dan terlihat berbeda dari stomata yang normal. Sisi sekeliling stomata biasanya akan berwarna lebih tebal. Stern (1962) dalam Suratin (1991) menjelaskan bahwa debu dapat mempengaruhi bagian daun yang berbeda tergantung pada umur daun tersebut, namun pada irisan paradermal daerah yang paling sering rusak adalah daerah stomata dan sekitarnya sehingga dapat menghambat absorbsi CO2 dari udara. Abnormalitas stomata yang cukup banyak

(14)

dapat ditemukan pada daun mahoni pada lokasi tercemar. Sayatan paradermal daun mahoni pada kedua lokasi dan abnormalitas stomata dapat dilihat pada Gambar 8.

Selain abnormalitas stomata, secara mikroskopik terdapat pula kerusakan sel epidermis pada daun mahoni. Kerusakan sel epidermis ini terlihat seperti lubang atau pusaran yang mengakibatkan sel epidermis menjadi terbelah menjadi banyak, kecil-kecil dan seolah mengumpul. Treshow (1970) menjelaskan bahwa polusi udara terutama yang mengandung SO dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan epidermis atas dan bawah. Gambar kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun mahoni dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 8 Abnormalitas stomata pada sayatan paradermal daun mahoni kontrol (A) dan daerah tercemar (B).

Gambar 9 Kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun mahoni.

5.5 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Transversal Daun Mahoni

Berdasarkan keberadaan jaringan palisadenya, daun mahoni bersifat dorsiventral karena jaringan palisadenya berada di sisi atas daun (adaksial) dan bunga karang di sisi yang lain. Jaringan palisade pada daun akasia tercemar dan

(15)

kontrol tersusun atas satu lapis sel. Pengamatan sayatan transversal daun mahoni dilakukan terhadap tujuh parameter yaitu tebal daun, tebal jaringan epidermis atas dan bawah, jaringan palisade atas, jaringan bunga karang serta lapisan kutikula atas dan bawah (Gambar 10 dan 11).

Hasil uji-t dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol

Parameter Nilai rata-rata lokasi Solo Nilai rata-rata lokasi Yogyakarta Nilai

signifikansi Hasil uji

Tebal daun (µm) 182,64 104,58 0,005 BN

Tebal jaringan epidermis atas (µm) 12,92 10,97 0,066 TBN

Tebal jaringan epidermis bawah (µm) 9,31 7,03 0,123 TBN

Tebal jaringan palisade atas (µm) 64,03 34,30 0,039 BN

Tebal jaringan bunga karang (µm) 91,80 52,08 0,001 BN

Tebal kutikula atas (µm) 2,67 2,15 0,213 TBN

Tebal kutikula bawah (µm) 2,54 1,60 0,008 BN

Keterangan :

TBN : Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95% BN : Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 10. Sayatan transversal daun mahoni kontrol (A) dan tercemar (B).

Keterangan :

1. Tebal daun 2. Epidermis atas 3. Epidermis bawah 4. Palisade atas 5. Bunga karang

(16)

Gambar 11 Tebal kutikula atas daun kontrol (A1) dan daun tercemar (B1), tebal kutikula bawah daun kontrol (C1) dan daun tercemar (D).

Hasil analisis terhadap tujuh parameter sayatan trasversal daun yang diuji memberikan hasil bahwa tebal jaringan epidermis atas dan bawah serta tebal lapisan kutikula atas menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata antara tanaman pada daerah tercemar dengan kontrolnya. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan konsentrasi bahan pencemar gas dan materi vulkanik pasca letusan Gunung Merapi tidak memberikan dampak yang nyata pada ketiga parameter tersebut. Hasil berbeda nyata ditunjukkan oleh parameter tebal daun, jaringan palisade, bunga karang dan lapisan kutikula yang menjadi lebih tipis. Hal ini didukung oleh Pedroso dan Alves (2008) yang melaporkan bahwa tebal daun pada beberapa tumbuhan family Solanaceae yang terpapar ozon menjadi lebih tipis.

Tebal kutikula abaksial daun mahoni tercemar yang menjadi lebih tipis (1,6 µm) jika dibandingkan tanaman kontrolnya (2,54 µm) dipengaruhi oleh kondisi iklim. Fahn (1991) menjelaskan bahwa tebal kutikula tidak sama pada setiap tumbuhan, dan umumnya akan menjadi lebih tebal pada tumbuhan yang hidup pada daerah yang kering. Kota Solo memilki kodisi iklim yang lebih kering dengan suhu rata-rata 28,6ºC (Badan Pusat Statistik Solo 2010) jika dibandingkan kota Yogyakarta yang memiliki suhu rata-rata 26,66ºC (Badan Pusat Statistik

(17)

Yogyakarta 2010) sehingga tanaman mahoni yang berasal dari kota Solo (kontrol) memiliki lapisan kutikula yang lebih tebal.

Konsentrasi bahan pencemar yang meningkat memberikan pengaruh pada tebal jaringan palisade dan bunga karang menjadi lebih tipis. Perubahan tebal jaringan yang terjadi cukup signifikan, dari 64,03 µm (Solo) menjadi 34,30 µm (Yogyakarta) untuk jaringan palisade dan 91,80 µm (Solo) menjadi 52,08 µm (Yogyakarta) untuk jaringan bunga karang. Hal ini merupakan respon tanaman mahoni terhadap perubahan kondisi lingkungan dan bahan pencemar. Meskipun ukuran jaringan palisade dan bunga karang menjadi lebih tipis, namun kerusakan jaringan tidak ditemukan pada sayatan transversal daun mahoni kontrol maupun tercemar. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian Treshow (1985) yang menjelaskan bahwa SO2 dalam konsentrasi rendah sudah mampu menyebabkan kerusakan pada jaringan daun seperti epidermis, palisade dan bunga karang. Selain itu, SO2 dalam jaringan daun juga dapat menyebabkan kloroplas pecah kemudian klorofil menyebar dalam sitoplasma dan selanjutnya protoplasma menyusut dan berkerut

Kerusakan akibat bahan pencemar NO2 tidak ditemukan pada sayatan transversal daun mahoni kontrol dan tercemar. Namun Stoker dan Seager (1972) menjelaskan bahwa NO2 pada konsentrasi yang cukup tinggi dapat menyebabkan gejala nekrosis dan kerusakan tenunan jaringan. NO2 yang terserap akan bereaksi dengan air dalam daun membentuk campuran sthoikiometrik dan asam nitrat serta asam nitrit. Hal ini dapat menyebabkan gas-gas yang terbentuk mencapai air dalam jaringan parenkim dan menimbulkan keasaman. Apabila keasaman melebihi ambang batas pada jaringan maka akan menimbulkan kerusakan. Mula-mula kerusakan terjadi pada jaringan bunga karang dan lapisan epidermis bawah, kemudian palisade dan lapisan epidermis atas.

Meskipun kerusakan akibat NO2 tidak ditemukan, namun adanya gas NO2 tetap memberikan pengaruh terhadap ketebalan jaringan palisade dan bunga karang yang menjadi lebih tipis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suratin (1991) yang melaporkan bahwa tebal jaringan palisade dan bunga karang Bauhinia purpurea menjadi lebih tipis setelah terpapar bahan pencemar gas kendaraan bermotor.

Gambar

Tabel  3    Perbandingan  parameter  kualitas  udara  kota  Yogyakarta  dan  Solo  sebelum dan sesudah Letusan Gunung Merapi tahun 2010
Tabel 4  Laporan hasil uji udara ambient bulan November 2010  Lokasi  Parameter  CO  SO x NO x PM  2,5 PM  10 BML = 35  ppm  BML = 0.340 ppm  BML = 0.212 ppm  BML = 65 µg/Nm3 BML = 150 µg/Nm3 1  9  0.03  0.28  192  204  2  12  0.01  0.31  224  253  3  9  0
Tabel 5  Hasil uji-T terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun akasia  daerah tercemar dengan tanaman kontrol
Gambar  4    Sayatan  adaksial  daun  Akasia  kontrol  (A),  sayatan  adaksial  daun  Akasia  tercemar  (B),  sayatan  abaksial  daun  Akasia  kontrol  (C)  dan  sayatan abaksial Akasia tercemar (D)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian diatas menunjukkan Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) pada 15 Kabupaten di Sulawesi Selatan telah dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat,

Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah penulis ingin menganalisis dan membuktikan bahwa pada tokoh Kadaj dalam film Final Fantasy VII Advent Children Complete terdapat

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu petugas coding RS Panti Rapih Yogyakarta, menerangkan bahwa hasil tindakan pada berkas rekam medis jarang dituliskan

Hasil pengamatan mengenai proses pengambilan keputusan dalam perusahaan ini baik dalam mengambil keputusan untuk menetapkan tarif kamar maupun keputusan menerima atau menolak

Hasil persilangan pertama yang membentuk domba komposit (K) penelitian ini menunjukkan bahwa bobot sapih domba komposit generasi pertama (F1) ini adalah sekitar 51,6% lebih

Menurut bu Sima hambatan yang dihadapi adalah jurusan tatabusana yang sudah kurang peminat akibat dari sekolah negri yang membuka jurusan tatabusana sedangkan

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh merujuk kepada Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat

Instrumen pada penelitian adalah rubrik gaya belajar berdasarkan teori Fleming kemudian untuk kemampuan pemecahan masalah matematis didapatkan dari instrumen soal