• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. paradigma, menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 21) paradigma penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODOLOGI PENELITIAN. paradigma, menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 21) paradigma penelitian"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian

Para ahli memberikan beberapa batasan mengenai pengertian paradigma, menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 21) paradigma penelitian adalah:

Secara luas paradigma didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan mendasar, pandangan dunia yang berfungsi untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun penelitian ilmiah. Bagi seorang ilmuwan paradigma dengan demikian dianggap sebagai konsep-konsep kunci dalam melaksanakan suatu penelitian tertentu, sebagai jendela dari mana ia dapat menyaksikan dunianya secara jelas.

Senada dengan Ratna, pengertian lain mengenai paradigma dikemukakan oleh M Atar Semi (1993: 51), paradigma adalah: “Orientasi teori yang membimbing peneliti dalam berpikir dan meneliti dinamakan paradigma.”

Dari batasan paradigma yang dikemukakan Ratna dan Semi di atas, dapat disimpulkan, bahwa paradigma merupakan landasan dasar suatu penelitian bagi seorang peneliti. Pendekatan, metode, teknik dan langkah-langkah penelitian lainnya, masing-masing elemen tidak akan terjalin selaras dan memiliki relevansi penelitian tanpa paradigma peneletian.

Berkenaan dengan penelitian yang peneliti lakukan berupa kajian terhadap sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah, paradigma penelitian yang dijadikan landasan penelitian yaitu, bahwa karya sastra adalah fenomena sosial.

(2)

Suatu karya sastra merupakan fenomena sosial. Bisa jadi karya sastra itu merupakan reaksi penulis terhadap keadaan sosial saat itu, atau bisa juga merupakan potret kehidupan masyarakat saat itu, atau mungkin juga merupakan ajaran filosofis hidup yang dikemas dalam bentuk cerita agar mudah diajarkan kepada masyarakat dan disampaikan secara turun temurun.

Sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah menarik untuk dikaji, karena merupakan “hasil produk” masyrakat Sunda pada abad ke-16 (karena tidak diketahui siapa pengarangnya). Dengan menganalisis sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah, berarti akan mengungkap kondisi masyarakat Sunda saat itu dengan segala aspek kehidupannya.

B. Pendekatan Struktural

Pendekatan adalah, cara-cara yang digunakan peneliti untuk menghampiri objek penelitian (Ratna, 2011: 53). Ada bermacam-macam pendekatan dalam penelitian sastra, misalnya pendekatan: sosiologi sastra, psikologi sastra, biografi sastra, antropologi sastra, mitopoik, intrinsik, ekstrinsik, struktural (objektif), ekspresif, mimetik dan pragmatik.

Pendekatan yang peneliti pilih untuk digunakan mengkaji sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah, adalah pendekatan struktural (objektif). Pilihan ini dilakukan dengan pertimbangan pendekatan struktural merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri sebagai bahan kajian, mengenyampingkan faktor-faktor ekstrinsik dari karya sastra itu sendiri. Sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah, sudah tidak dikenali lagi siapa penciptanya, konsepsi latar belakang pemikiran apa dari pengarangnya,

(3)

kondisi sosial yang melahirkan karya sastra itu dan aspek-aspek lainnya. Dengan dasar pemikiran seperti itu, peneliti menggunakan pendekatan struktural sebagai pendekatan penelitian.

Melalui pendekatan struktural ini, peneliti berusaha mengungkap makna cerita melalui keterjalinan antarunsur cerita. Nyoman Kutha Ratna (2011: 73), menjelaskan bahwa pendekatan strukturalisme (objektif) merupakan:

Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Secara historis pendekatan ini dapat ditelusuri pada zaman Aristoteles dengan pertimbangan bahwa sebuah tragedi terdiri atas unsur-unsur kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan….

Dalam mengkaji sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah, peneliti melakukan kajian struktur menggunakan strukturalisme Levi-Strauss. Langkah-langkah yang dilakukan adalah: (1) membagi cerita dalam episode-episode, (2) tiap-tiap episode diurai menjadi peristiwa-peristiwa kecil yang mengandung satu makna cerita (mytheme), dan (3) menghubungkan antarunsur secara sintagmatik dan paradigmatik.

Kajian struktur cerita seperti di atas, akan memberikan pemahaman yang utuh dan menyeluruh terhadap isi cerita.

C. Metode Kualitatif

Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara

(4)

yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan. Sistematis, artinya proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis (Sugiyono, 2003 : 3).

Senada dengan Sugiyono, Nyoman Kutha Ratna (2011: 34) menyatakan bahwa metode adalah: “… Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.”

Apabila disimpulkan dari pendapat pakar di atas, metode dapat diartikan cara-cara, strategi atau langkah-langkah yang ditempuh peneliti dalam melakukan penelitian. Banyak sekali metode penelitian sastra yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengkaji suatu karya sastra, misalnya: metode intuitif, metode hermeneutika, metode kualitatif, metode analisis isi, metode formal dan metode deskriptif analisis.

Dalam penelitian sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah, peneliti memilih menggunakan metode kualitatif. Pertimbangan ini dilakukan karena

metode kualitatif berupaya menafsirkan suatu teks, kemudian

mendeskripsikannya. Di samping itu, metode kualitatif lebih luas mengungkap gejala-gejala sosial yang terdapat pada teks, seperti: pengarang,

(5)

keadaan masyarakat, budaya dan sebagainya, sebagaimana dikatakan Nyoman Kutha Ratna (2011: 47):

… metode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan. Dalam penelitian karya sastra, misalnya, akan dilibatkan pengarang, lingkungan sosial di mana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada umumnya.

Lebih lanjut Ratna menjelaskan bahwa, penelitian kualitatif bukan hanya mengkaji secara tekstual saja, tapi lebih jauh mengungkapkan makna-makna yang terkandung dalam tindakan yang mendorong timbulnya gejala sosial tersebut, atau mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung dalam teks, atau mengungkapkan pesan-pesan yang terkandung dalam teks.

Ratna (2011: 47), memberikan ciri-ciri terpenting metode kualitatif, yaitu sebagai berikut:

1. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural.

2. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian

sehingga makna selalu berubah

3. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrumen utama, sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya.

4. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka.

5. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing.

(6)

Sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah yang peneliti kaji, berupa cerita Mundinglaya Di Kusumah dalam bentuk tiga sub genre sastra, yaitu: (1) sub genre sastra klasik lisan (pantun) yang telah ditransliterasikan dalam bentuk tulisan, (2) sub genre sastra klasik tulis (wawacan) dan (3) sub genre sastra modern (novel).

Dari ketiga sub genre sastra itu, semuanya peneliti kaji. Cara yang peneliti gunakan dalam penelitian untuk menggali aspek-aspek kehidupan yang terdapat pada teks, peneliti melakukan kajian struktural, semiotik dan kandungan nilai budaya yang terdapat pada teks.

Langkah-langkah kajian yang peneliti lakukan, adalah: 1. Kajian Struktural

Kajian struktural yang digunakan, adalah kajian struktural Levi-Strauss. Kajian struktural model Levi-Strauss peneliti pilih, karena kajian model ini dapat menggali aspek-aspek kehidupan masyarakat yang terdapat dalam teks.

Langkah-langkah yang peneliti tempuh dalam melakukan kajian struktural, adalah:

a. Membuat ringkasan cerita.

b. Ringkasan cerita dibagi dalam beberapa episode.

c. Tiap-tiap episode diurai menjadi peristiwa-peristiwa (disebut mytheme). Setiap satu peristiwa hanya memiliki satu makna yang diungkapkan dalam satu kalimat atau hanya beberapa kalimat, tapi hanya memiliki satu makna.

(7)

d. Antara satu peristiwa dengan peristiwa lain, dicari hubungan antarunsurnya.

e. Peristiwa-peristiwa itu kemudian dituangkan dalam skema yang menggambarkan hubungan antarunsur secara sintagmatik dan paradigmatik.

2. Kajian Semiotik

Kajian semiotik digunakan, yaitu untuk menggali tanda-tanda yang terdapat pada teks. Tanda-tanda itu bisa jadi berupa pesan, simbol atau makna lain (konotasi) yang terkandung dibalik cerita.

Langkah-langkah kajian semiotik yang peneliti lakukan, adalah: a. Mengidentifikasi penanda yang terdapat pada teks, baik berupa

kalimat (untuk ditafsirkan konotasinya), indeks, ikon atau simbol. Mengingat keterbatasan tenaga dan waktu, tidak semua penanda yang terdapat pada teks dikaji. Penanda yang dikaji, hanyalah penanda yang terdapat pada mytheme yang dikaji.

b. Menafsirkan petanda dari penanda yang telah diidentifikasi untuk dikaji.

3. Kajian Nilai Budaya

Kajian nilai budaya, adalah kajian terhadap watak atau karakteristik tokoh cerita yang dianggap memilki nilai posistif oleh masyarakat, seperti sikap religius, rajin, berani, setia, kerja keras, taat pada orang tua dan lain-lain. Mengingat keterbatasan waktu dan tenaga, tidak

(8)

semua karakteristik tokoh cerita, dikaji nilai budayanya. Figur yang dikaji kandungan nilai budayanya, hanya figur Mundinglaya Di Kusumah.

Hasil kajian kandungan nilai budaya yang terdapat pada tokoh Mundinglaya Di Kusumah itu, dijadikan bahan pembelajaran bagi siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Nilai budaya pada Mundinglaya Di Kususmah yang telah diidentifikasi oleh siswa itu, kemudian mereka jadikan landasan untuk bahan mengarang tentang cita-cita mereka di masa yang akan datang. Nilai budaya itu secara eksplisit dan implisit harus tergambar pada karangan peserta didik itu.

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Sumber Data

Sumber data penelitian sastra klasik Mundinglaya Di Kusumah, peneliti peroleh melalui studi kepustakaan. Bobot studi kepustakaan, memiliki nilai yang sama dengan mencari sumber data secara terjun langsung ke masyarakat, sebagaimana dikatakan Nyoman Kutha Ratna (2011: 39):

Hakikat karya sastra sebagai dunia yang otonom

menyebabkan karya sastra berhak untuk dianalisis terlepas dari latar belakang sosial yang menghasilkannya. Sebuah novel, misalnya, bahkan sebuah puisi dianggap memiliki kualitas yang sama dengan masyarakat tertentu. Sehubungan dengan hakikat otonomi di atas, maka imajinasi, dengan berbagai unsur yang berhasil untuk diciptakan, juga berhak untuk dianalisis secara ilmiah, sama dengan unsur-unsur lain dalam masyarakat yang sesungguhnya. Lokasi penelitian, baik dalam kaitannya dengan data primer maupun sekunder dengan demikian terletak di perpustakaan.”

(9)

Mengacu pada pendapat Ratna di atas, peneliti mengumpulkan karya-karya sastra yang berkenaan dengan cerita Mundinglaya Di Kusumah. Dari data yang terkumpul, peneliti memilih, membandingkan dan memilahnya untuk mendapatkan sumber data yang valid. Setelah melakukan interpretasi data, peneliti memutuskan untuk memilih cerita Mundinglaya Di Kusumah dalam tiga sub genre sastra untuk dikaji, yaitu sub genre sastra klasik lisan (pantun), sub genre sastra klasik tulis (wawacan) dan sub genre sastra modern (novel).

2. Identitas Data

a. Sub Genre Sastra Klasik Lisan (Pantun)

1) Judul pantun : Mundinglaya Di kusumah

2) Pemantun : Ki Atjeng Tamadipura

3) Daerah asal pantun : Situraja, Sumedang 4) Ditransliterasikan oleh : Ajip Rosidi

5) Penerbit : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah

6) Tahun : 1986 7) Banyaknya larik pantun : 7522 larik b. Sub Genre Sastra Klasik Tulis (Wawacan)

1) Judul wawacan : Munding Laya

(10)

3) Penerbit : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan daerah

4) Tahun : 1978

5) Banyaknya dangding: 810 pupuh (dangding), terdiri atas: - Dangdanggula 78 bait - Kinanti 160 bait - Pangkur 151 bait - Durma 77 bait - Magatru 86 bait - Pucung 30 bait - Maskumambang 31 bait - Asmarandana 119 bait - Sinom 89 bait

c. Sub Genre Sastra Modern (Novel)

1) Judul buku : Mundinglaya Di Kusumah 2) Penulis : Ajip Rosidi

3) Penerbit : Nuansa 4) Kota penerbit : Bandung 5) Tahun terbit : 2007

(11)

E. Instrumen Penelitian

Agar hasil penelitian memiliki kualitas yang tinggi, maka instrumen penelitian harus memiliki reliabilitas dan validitas yang tinggi. Reliabilitas adalah konsistensi atau keajegan instrumen tersebut, sedangkan validitas berarti instrumen tersebut dapat dipercaya atau dapat diandalkan. (Setiyadi, 2006 : 16)

Alat ukur yang tepat, harus memenuhi kriteria valid (sahih) atau dapat dipercaya dan reliabel (ajeg) atau konsisten, agar temuan penelitian menjadi bermakna. Apabila kita akan mengukur suatu benda, tentu alat ukur yang digunakan harus alat ukur yang standar agar hasil mengukur itu dapat dipercaya (valid). Di samping itu, alat ukur tersebut harus memiliki konsistensi (keajegan) artinya apabila digunakan pada waktu yang berbeda, hasilnya tetap sama.

Menurut Sugiyono (2010: 172) validitas dan reliabilitas, adalah: Hasil penelitian yang valid adalah apabila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Kalau dalam objek berwarna merah, sedangkan data yang terkumpul memberikan data warna putih, maka hasil penelitian tidak valid. Selanjutnya penelitian yang reliabel, bila terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda. Kalau dalam objek berwarna merah, maka sekarang dan besok tetap berwarna merah.

Dengan menggunakan instrumen yang valid dan reliabel dalam pengumpulan data, diharapkan hasil penelitian akan valid dan reliabel. Jadi instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan penelitian yang valid dan reliabel. Hal ini tidak berarti bahwa dengan menggunakan instrumen yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya,

(12)

otomatis data penelitian menjadi valid dan reliabel. Hal ini masih akan dipengaruhi oleh kondisi objek yang diteliti dan kemampuan orang yang menggunakan instrumen itu dalam pengumpulan data. Oleh karena itu peneliti harus mampu mengendalikan objek yang diteliti dan meningkatkan kemampuan menggunakan instrumen untuk mengukur variabel yang diteliti. Instrumen yang tidak teruji validitas dan reliabilitasnya bila digunakan dalam penelitian, akan menghasilkan data yang sulit dipercaya kebenarannya.

Salah satu langkah yang peneliti lakukan untuk memperoleh instrumen yang valid dan reliabel, adalah dengan melakukan triangulasi instrumen kepada para ahli.

Hasil dari triangulasi itu, peneliti mendapatkan suatu instrumen sebagai berikut:

1. Instrumen Struktural a. Landasan Teori

1) Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 134), bahwa:

Pada dasarnya mitos merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat. Dengan kalimat lain, Levi-Strauss menggali gejala di balik material cerita, sebagaimana tampak melalui bentuk-bentuk yang telah termodifikasikan dan harus direkonstruksi melaluinya…. Oleh karena itu, sebagai sistem ide, maka hasilnya logis, sesuai dengan mitologi primitip. Mytheme yang mungkin susunannya tidak teratur, sebagaimana dekronologisasi kejadian dalam plot, maka tugas penelitilah untuk menyusun kembali, sehingga ditemukan makna karya sastra yang sesungguhnya.

2) Menurut Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (2005: 134), bahwa: “Relasi-relasi yang berada pada struktur dalam dapat diperas atau

(13)

disederhanakan lagi menjadi oposisi biner (binary opposition) seperti menikah > < tidak menikah, siang > < malam, hitam > < putih, besar > < kecil dan sebagainya.”

3) Menurut M Rafiek (2010: 76), bahwa: “Ceriteme-ceriteme atau mytheme-mytheme disusun secara diakoronis dan sinkronis atau mengikuti sumbu sintagmatik dan paradigmatik. Makna mitos akan diperoleh setelah menganalisis relasi sintagmatis dan paradigamtis dengan unsur-unsur lainnya.”

b. Langkah-langkah

Langkah-langkah yang peneliti lakukan untuk mengkaji cerita menggunakan instrumen struktural (dalam hal ini adalah pengembangan dari teori struktural Levi-Strauss), sebagai berikut:

1) Cerita dibagi dalam beberapa episode.

2) Tiap-tiap episode, dibagi lagi dalam peristiwa-peristiwa (mytheme-mytheme), menjadi peristiwa 1 (P1), peristiwa 2 (P2), peristiwa 3 (P3) dan seterusnya. Tiap peristiwa hanya mengandung satu makna, yang terungkapkan dalam satu kalimat atau lebih dari satu kalimat. 3) Dari peristiwa-peristiwa itu dicari hubungan antarunsur atau untuk

ditemukan makna.

4) Peristiwa-peristiwa penting, kemudian dimasukkan ke dalam skema yang menggambarkan hubungan sintagmatik dan paradigmatik, agar makna cerita dapat dipahami secara utuh menyeluruh.

(14)

c. Bentuk Instrumen Hubungan sintagmatik H u b u n g a n P a ra d ig m a ti k

Peristiwa 1 Peristiwa 2 Peristiwa 3 Peristiwa 4 Peristiwa 5

R el as i an at ru n su r, H u b u n g an o p si si R el as i an ta ru n su r, H u b u n g an o p o si si R el as i an ta ru n su r, H u b u n g an o p o si si R el as i an ta ru n su r, H u b u n g an o p o si si R el as i an ta ru n su r, H ib in g an o p o si si d. Penjelasan Instrumen

1. Hubungan sintagmatik, adalah hubungan cerita secara linear. Suatu cerita dibangun oleh rangkaian peristiwa (mytheme) yang tersusun secara berurutan (peristiwa 1, peristiwa 2, dst.).

2. Hubungan paradigmatik, adalah hubungan yang menjelaskan bahwa

antara peristiwa (peristiwa 1, peristiwa 2, peristiwa 3 dst.), memiliki hubungan antarunsur atau hubungan oposisi (berlawanan) antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya.

Misalnya peristiwa 1, memiliki hubungan sebab akibat dengan peristiwa 4. Tokoh pada peristiwa 2, memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh pada peristiwa 5. Peristiwa 2 memiliki konteks hubungan dengan kondisi masyarakat saat ini. atau tokoh pada peristiwa 3, memiliki karakter oposisi dengan tokoh pada peristiwa

(15)

2. Instrumen Kajian Semiotik a. Landasan Teori

1) Semiotika adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang secara signifikan dapat menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tidak harus eksis atau hadir secara aktual. Semiotika tidak hanya diterapkan pada bidang seni, melainkan semua kegiatan praktis kehidupan sehari-hari sepeti; mode pakaian, reklame, tata hidangan, perabot rumah tangga, asesoris, model mobil, gaya hidup dan lain-lain (Ratna, 2004: 102). 2) Peirce membagi tanda dalam tiga jenis, yaitu; ikon, indeks dan

lambang. Ikon, adalah hubungan antara representamen dengan objeknya memiliki identitas serupa, tapi sifatntya hanya mewakili, misalnya foto, lukisan naturalis, patung naturalis dan sebaginya. Indeks, adalah hubungan antara representamen dengan objeknya memiliki hubungan sebab akibat, misalnya asap merupakan indeks dari api, bau amis indeks dari ikan. Lambang, adalah hubungan antara representamen dengan objeknya yang tidak termasuk pada ikon dan indeks. Lambang, adalah sesuatu yang tidak termasuk pada ikon dan indeks, hanya merupakan wujud konvensi masyarakat, misalnya tanda-tanda lalu lintas (Hoed, 2011: 22).

3) Penanda (signifiant) adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul pada pikiran kita. Petanda (signifie) adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita (Chaer, 1994: 348).

(16)

4) Penelitian semiotik, cenderung menggunakan penelitian kualitatif. Data yang dijadikan objek kajian dapat berupa teks, auditif atau audiovisual (Hoed, 2011: 8)..

b. Langkah-langkah

1) Dari setiap peristiwa-peristiwa pada cerita, dicari penanda yang berkenaaan dengan hubungan transedental (hubungan dengan Tuhan), alam, kemasyarakatan, politik/pemerintahan dan hasil karya manusia. Penanda itu bisa berupa teks, audio, audiovisual atau ikon, indeks dan simbol.

2) Setelah ditemukan penandanya (dalam bentuk teks atau ikon, indeks dan simbol), kemudian dicari petandanya.

c. Bentuk Instrumen

1) Alur cerita (Peristiwa)

a) Penanda: ………

b) Petanda: ……….

2) Alur cerita (Peristiwa)

a) Penanda: ……….

b) Petanda: ………..

3) Alur cerita (Peristiwa)

a) Penanda: ………..

b) Petanda: ………

4) Alur cerita (Peristiwa)

(17)

b) Petanda: ……… d. Penjelasan Instrumen

Dari alur cerita ({Peristiwa) yang ada dalam teks dicari penanda yang berhubungan dengan hubungan transedental, alam, kemasyarakatan, politik/pemerintahan atau karya manusia. Setelah ditemukan ditemukan penandanya, kemudian dicari petandanya.

3. Instrumen Nilai Budaya a. Landasan Teori

1) Pengertian nilai budaya menurut Koentjaraningrat (2002: 25):

… nilai-budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai-budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai-budaya itu.

2) Pengertian nilai budaya menurut Djamaris (dalam Fanani, 1997: 5): “… nilai budaya itu biasanya mendorong suatu pembangunan spiritual, seperti tahan menderita, berusaha dan bekerja keras, toleransi terhadap pendirian atau kepercayaan orang lain dan gotong-royong.”

b. Parameter

Sikap dan perilaku Mundinglaya yang ada dalam teks, diidentifikasi nilai-nilai budayanya, yaitu perilaku yang dianggap bernilai dalam

(18)

hidup. Sikap dan perilaku tokoh lain tidak diidentifikasi, karena pertimbangan keterbatasan waktu

c. Bentuk Instrumen 1) Sikap Religius a) Bunyi teks: ……….. b) Terjemahan: ……….. c) Penjelasan: ……….. 2) Sikap Tabah a) Bunyi teks: ……… b) Terjemahan: ………. c) Penjelasan: ………. 3) Sikap Santun a) Bunyi teks: ………. b) Terjemahan: ………. c) Penjelasan: ………. 4) Sikap Ksatria a) Bunyi teks: ……….. b) Terjemahan: ………..

(19)

c) Penjelasan:

………..

d. Penjelasan

Kriteria sikap hidup yang dijadikan parameter, yaitu sikap hidup masyarakat Sunda pada abad ke-15 di Galuh yang tercermin dalam Siksa Kandang Karesian yaitu ajaran mengenai pandangan hidup, etika, kewajiban manusia, huhungan dengan sesama manusia dan pandangan mengenai kearifan lokal masyarakat.

4. Instrumen Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran a. Acuan Pendidikan Karakter

Parameter yang digunakan sebagai acuan implementasi Pendidikan Karakter dalam pembelajaran, yaitu butir-butir kerakteristik yang telah ditetapkan pada Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa yang diterbitkan oleh Balitbang Pusat Kurikulum, Kemendiknas, Tahun 2010, terdiri atas 18 butir karakteristik yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab

b. Konsepsi Implementasi Nilai Budaya pada Pendidikan Karakter Konsepsi nilai budaya yang telah diidentifikasi oleh peserta didik yang terdapat pada figur Mundinglaya Di Kusumah, kemudian oleh peserta

(20)

didik nilai budaya-nilai budaya yang telah mereka identifikasi itu dijadikan topik karangan mengenai sikap mereka dalam meraih cita-cita.

Karangan peserta didik tersebut kemudian diidentifikasi, apakah ada relevansinya dengan butir-butir karakter yang telah diterbitkan oleh Balitbang Pusat Kurikulum, Kemendiknas, Tahun 2010?

c. Strategi Pembelajaran 1) Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kooperatif

(Cooperative Learning), yaitu proses belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama. Berada pada struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih (Sastromiharjo, 2008: 164).

2) Metode

Metode yang digunakan, adalah metode integratif, yaitu suatu metode di mana dalam pembelajaran bahasa, dilandasi oleh pemikiran bahwa aspek-aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis) dilaksanakan secara terpadu tidak terpisah aspek demi aspek (Sastromiharjo, 2008: 152).

3) Teknik

Teknik pembelajaran yang digunakan, yaitu teknik menulis mengembangkan kata kunci, karena siswa ditugaskan

(21)

mengidentifikasi nilai-nilai budaya yang terdapat pada teks, kemudian kata kunci itu dikembangkan menjadi sebuah karangan (Sastromiharjo, 2008: 134).

d. Silabus yang Digunakan

Silabus yang digunakan sebagai acuan pembelajaran, adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) SMP Pasundan Subang. Yaitu Standar Isi (SI) yang telah dikembangkan sesuai kebutuhan satuan pendidikan. Pengembangan ini berpijak pada Panduan Penyusunan KTSP yang diterbitkan oleh BSNP Tahun 2006. Acuan operasional Penyusunan KTSP, di antaranya harus memperhatikan, Kondisi sosial budaya masyarakat setempat, yakni:

Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain.

e. Kegiatan Pembelajaran 1) Guru melakukan apersepsi

2) Guru menjelaskan mengenai nilai budaya 3) Siswa dibagi dalam beberapa kelompok

4) Setiap kelompok, membaca cuplikan cerita Mundinglaya Di Kusumah, kemudian mereka identifikasi nilai-nilai budaya yang

Referensi

Dokumen terkait

Langkah-langkah penyusunan strategi dengan MRP (material requirement planning) terdiri dari: (1) menentukan kebutuhan bahan baku bersih; (2) menentukan jumlah pesanan

Di dalam Peraturan Daerah Banyuwangi nomor 13 tahun 2012 pasal 9 point E dan F dijelaskan bahwa strategi pembangunan pariwisata Banyuwangi adalah sebagai berikut :

0 5 10 15 20 25 Saya telah berkomitmen untuk menjadi koordinator CBT nasional Telah tercipta kesamaan persepsi mengenai penyelenggaraan CBT nasional melalui workshop

14 Bagaimanakah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam meningkatkan keterampilan siswa untuk menyajikan/mengemukakan argumen terkait dengan cara

20Maret sampai 20April 2014.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan pakan buatan (bee feed) terhadap luasan sisiran pakan cair dan

Spermatozoa immature adalah sperma yang masih mengandung sisa-sisa sitoplasma yang mempunyai ukuran separuh dari ukuran kepala dan masih terikat, baik pada kepala,

Cara pengambilan data adalah dengan melakukan tes kualitas gerak dasar chest pass dalam bola basket mulai dari. tahap awal sampai tahap

Sesuatu yang memiliki prioritas lebih luas dari keamanan pariwisata yakni “keselamatan” memberi corak tersendiri terhadap subjek (masyarakat Bali dan wisatawan)