• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKTIVITAS ANTI-WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV) EKSTRAK TANAMAN MANGROVE Sonneratia caseolaris DAN S. lanceolata PADA UDANG WINDU, Penaeus monodon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKTIVITAS ANTI-WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV) EKSTRAK TANAMAN MANGROVE Sonneratia caseolaris DAN S. lanceolata PADA UDANG WINDU, Penaeus monodon"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS ANTI-WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV) EKSTRAK TANAMAN MANGROVE

Sonneratia caseolaris DAN S. lanceolata PADA UDANG WINDU, Penaeus monodon

Muliani, Bunga Rante Tampangallo, dan Rosmiati

Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan

E-mail: mulianim@yahoo.com ABSTRAK

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas anti-WSSV ekstrak mangrove, S.caseolaris dan S.lanceolata pada udang windu. Penelitian dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros. Sebanyak 5 µL suspensi WSSV dicampur dengan 10 µL ekstrak mangrove (500 mg/100 mL NTE buffer) dan diinkubasi pada suhu 29oC selama tiga jam, selanjutnya disuntikkan pada udang windu ukuran 5-7g/ind

secara intramusculer dengan perlakuan; A). Ekstrak metanol S. caseolaris; B). Fraksi air S. caseolaris; C). Fraksi butanol S. caseolaris; D). Fraksi dietyleter S. caseolaris; E) Ekstrak metanol S. lanceolata; F) Fraksi air S. lanceolata; G). Fraksi butanol S. lanceolata; H). Fraksi dietyleter S. lanceolata; I). Kontrol positif (udang disuntik dengan suspensi WSSV tanpa ekstrak mangrove; dan J). Kontrol negatif (tanpa ekstrak mangrove dan suspensi WSSV). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali.Kemudian udang windu dipelihara dalam akuarium yang diisi dengan 30 L air laut salinitas 28 ppt selama 10 hari. Mortalitas, dan tanda-tanda morfologi adanya infeksi WSSV diamati setiap hari. Total Hemicyte Count (THC), Differential Hemocyt Count (DHC), dan nilai ProPO diamati pada akhir penelitian. Data sintasan, THC dan ProPO dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan udang windu tertinggi pada perlakuan yang menggunakan ekstrak butanol S. caseolaris disusul ekstrak metanol S. lanceolata. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa sintasan udang windu pada kedua perlakuan tersebut berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol positif. Nilai THC dan ProPo tertinggi pada perlakuan yang menggunakan ekstrak butanol S.

caseolaris dan secara statistik berbeda nayata (P<0.05) dengan kontrol positif. Presentase sel granular

udang windu setelah 10 hari pemeliharaan lebih tinggi dibanding sel semi-granular dan sel hyalin. Baik pada perlakuan ekstrak mangrove maupun pada kontrol

KATA KUNCI: anti-WSSV, S. caseolaris, S. lanceolata, P. monodon PENDAHULUAN

White Spote Syndrome Virus (WSSV) merupakan jenis virus penyebab penyakit bintik putih (white spot) pada udang dan hingga saat ini masih merupakan penyebab utama kematian udang di tambak baik pada udang windu maupun udang vanname (Hossain et al., 2004; Martorelli et al., 2010; Salehi, 2010; Sanchez-Paz, 2010; Tendencia et al., 2010; Walker & Winton 2010; Cavilla et al., 2011; Iqbal et al., 2011; Ashokkumar et al., 2012; Selvam et al., 2012). Penularan WSSV terjadi baik secara horisontal melalui lingkungan (Muliani et al., 2004; Sanches-Martinez et al., 2007; Soowannayan et al., 2011) maupun secara vertikal yang diturunkan dari induk ke larva. Organisme liar yang hidup di tambak sebagai inang pembawa (carrier) merupakan salah satu penyebar virus ini. Demikian pula aktifitas manusia selama pemeliharaan yang tidak mengikuti cara budidaya yang baik dan tidak menerapkan sistem biosekuriti sebagai mana mestinya sehingga lebih mempermudah penularan virus WSSV. Udang yang sudah terserang WSSV yang dibiarkan mati dan tergeletak di dasar tambak atau di pematang juga merupakan penyebab penularan virus ini semakin meluas.

WSSV telah dilaporkan dapat menular melalui berbagai media, diantaranya melalui air pemeliharaan yang sudah terinfeksi WSSV (Esparza-Leal et al., 2009; Hoa et al., 2011), melalui pakan alami seperti fitoplankton, zooplankton, artemia, dan rotife (Zhang et al., 2010; Corre et al., 2012; Jiang, 2012), melalui organisme liar seperti udang api-api, jembret, ikan liar, kepiting dan beberapa jenis moluska yang hidup di tambak (Muliani et al., 2004; Sethi et al., 2011, Desrina et al., 2012), melalui plankton dan larva insekta (Corsin et al., 2005), melalui cerax (Soowannayan & Phanthura, 2011). Selain itu, dilaporkan bahwa udang yang terinfeksi WSSV meskipun telah melalui proses

(2)

pembekuan di cold storage dan perebusan hingga suhu 100 oC selama 30 menit masih positif WSSV.

Hasil uji bioassay menunjukkan bahwa terjadi kematian 100% setelah 45 jam penyuntikan hasil ektraksi udang yang telah dibekukan (Reddy et al. 2010), dan 100% setelah 123 jam penyuntikan hasil eksraksi udang yang telah direbus (Reddy et al., 2011a; 2011b). Hasil penelitian ini menujukkan bahwa WSSV tidak dapat dimatikan meskipun melalui pemanasan 100oC selama 30 menit, sehingga

masih berpotensi menyebarkan WSSV. Hal ini semakin mempermudah penyebaran dan penular WSSV. Oleh karena itu, pencegahan dan penanggulangan virus ini harus ditangani dengan serius dengan mencari alternatif pengobatan yang efektif dan efisien tetapi ampuh membunuh WSSV.

Penggunaan bahan alam termasuk mangrove mulai dikaji dan diteliti sebagai altenatif penanggulangan penyakit WSSV pada budidaya udang (Balasubramanian et al., 2007, 2008; Kumaran et al., 2010; Velmurugan et al., 2012; Chakraborty & Gosh, 2013a; 2013b). Beberapa jenis mangrove yang telah dilaporkan memiliki potensi sebagai sumber anti WSSV diantaranya Exoecaria agallocha, Acanthus ilicifolius, Avicennia sp., Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Sonneratia sp., Cerops tagal (Sudheer, 2009). Potensi mangrove sebagai anti WSSV juga telah dilaporkan oleh Chakraborty et al. (2014), yang melaporkan bahwa MP07X yang diturunkan dari Rhizophoira mucronata memiliki potensi sebagai penghasil anti WSSV pada penggunaan 1.000 mg/kg bobot tubuh udang/hari yang diberi secara oral memberikan sintasan udang vannamei sebesar 85%. Berdasarkan hal ini maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui aktivitas anti-WSSV ekstrak tanaman mangrove S. caseolaris dan S. lanceolata pada udang windu P. monodon

BAHAN DAN METODE

Penyiapan Ekstrak Mangrove

Ekstrak metanol (ekstrak kasar), fraksi air, fraksi butanol, dan fraksi dietyleter dari mangrove S. caseolaris dan S. lanceolata (koleksi Laboratoroium Kesehatan Ikan dan Lingkungan, BPPBAP) ditimbang masing-masing sebanyak 100 mg untuk ekstrak metanol dan 50 mg untuk hasil fraksinasi. Selanjutnya masing-masing ditambahkan 10 mL buffer NTE (0,2 M NaCl, 0,02 M Tris-HCL, dan 0,02 M EDTA, pH 7,4). Campuran ini kemudian dihomogenkan dan disimpan pada suhu 4oC untuk keperluan selanjutnya.

Penyiapan Suspensi WSSV

Suspensi WSSV diekstrak dari hemolimp udang yang terinfeksi WSS yang ditandai dengan adanya bintik putih pada karapaks. Udang tersebut dikoleksi dari tambak rakyat di Kabupaten Barru yang pada saat itu terjadi wabah serangan WSSV. Hemolimp diambil menggunakan jarum suntik steril volume 1 mL dan ditampung dalam tabung sentifuse 50 mL. Selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 3000xg selama 20 menit pada sentrifuse suhu 4oC. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse

yang baru dan selanjutnya disentrifuse kembali pada kecepatan 8000xg selama 30 menit menggunakan sentrifuse suhu 4oC. Supernatan kemudian disaring menggunakan kertas filter 0.4 µL dan setelah itu

disimpan pada suhu -20oC untuk keperluan selanjutnmya. Hewan Uji dan Perlakuan

Udang windu ukuran 5-7 g/ekor yang diambil dari Instalasi Perbenihan Udang Windu (IPUW) dijadikan sebagai hewan uji. Untuk setiap ekor udang disiapkan campuran 10 µL ekstrak mangrove (S. caseolaris dan S. lanceolata) dalam NTE buffer dan 5 µL suspensi WSSV. Ekstrak mangrove dan suspensi WSSV tersebut dicampur dalam tabung sentrifuse volume 50 mL. Campuran tersebut selanjutnya diinkubasi pada suhu 29oC selama tiga jam (Balasubramanian et al., 2007; Velmurugan

et al., 2012; Chakraborty et al., 2014). Setelah diinkubasi campuran ekstrak mangrove dengan suspensi WSSV disuntikkan secara intramuskular pada udang windu yang sehat dengan perlakuan; A). Ekstrak metanol S. caseolaris; B). Fraksi air S. caseolaris; C). Fraksi butanol S. caseolaris; D). Fraksi dietyleter S. caseolaris; E) Ekstrak metanol S. lanceolata; F) Fraksi air S. lanceolata; G). Fraksi butanol S. lanceolata; H). Fraksi dietyleter S. lanceolata; I). Kontrol positif (udang disuntik dengan suspensi WSSV tanpa ekstrak mangrove; J). Kontrol negatif (tanpa ekstrak mangrove dan suspensi WSSV). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Udang selanjutnya dipelihara selama 10 hari dalam bak plastik volume 40 L yang diisi air laut salinitas 28 ppt sebanyak 30 L dengan kepadatan 7 ekor/bak.

(3)

Pengamatan

Parameter yang diamati meliputi; mortalitas dan gejala morfologi infeksi WSSV pada udang windu dilakukan setiap hari (Velmurugan et al. 2012) dan untuk mengetahui efektifitas penggunaan ekstrak mangrove maka dilakukan penghitungan Relative Percentage Sirvival (RPS) berdasarkan rumus yang telah dikembangkan oleh Thompson dan Adame (2004) yaitu:

Parameter immun udang yang diamati pada akhir penelitian meliputi Total Hemocyt Count (THC), Differential Hemocyt Count (DHC), dan ProPo. Pengamatan THC dilakukan dengan mengambil hemolim sebanyak 0,1 mL menggunakan jarumn suntik steril volume 1 mL (Braak, 2000) yang sebelumnya telah diisi dengan 0,3 mL antikoagulan (Na-sitrat 3,8%). Campuran dihomogenkan dan jumlah sel hemocyt diamati di bawah mikroskop cahaya binokuler pada pembesaran 100 kali. Total THC dihitung dengan rumus:

Pengamatan DHC dilakukan dengan mengacu pada metode Martine & Graves (1985) dengan mengambil hemolimp udang dan membuat ulasan di atas objek gelas yang difiksasi dengan metanol selama 5-10 menit. Ulasan hemolim direndam dalam larutan giemsa 10% selama 15-20 menit dan dicuci dengan air mengalir kemudian dikeringkan. Preparat tersebut diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Jumlah hemosit dihitung hingga 100 sel dan ditentukan presentasi setiap jenis sel hemosit berdasarkan rumus:

Aktivitas phenoloksidase (PO) diukur dengan mengacu pada prosedur Liu dan Chen (2004) dengan mengambil hemolim sebanyak 0,1 mL dicampur dengan 0,9 mL antikoagulan dan disentrifuse dengan kecepatan 700xg pada suhu 4oC selama 20 menit. Supernatan dibuang dan pellet dicuci dengan 1

mL buffer cacodilate-citrate (0,01 M sodium cocodylate; 0,45 M sodium chloride; 0,10 M trisodium citrate; pH 7), selanjutnya disentrifuse kembal dengan kecepatan 700xg pada suhu 4oC selama 20

menit. Supernatan dibuang dan pelet dilarutkan dalam 200 mL buffer cacodylate (0,01 M sodium cacodylate; 0,45 M sodium klorida; 0,01 M kalsium klorida; 0,26 M magnesium klorid, pH 7). Larutan dibagi menjadi dua, masing-masing 100 mL. Larutan pertama ditambahkan 50 µL larutan trypsin (1mg trypsin dalam 1 mL buffer cacodylate) dan larutan kedua ditambahkan 50 mL buffer cacodylate untuk menyamakan volume dan diinkubasi pada suhu 25-26 oC selama 10 menit. Selanjutnya

masing-masing ditambah 50 µL larutan L-DOPA (3 mg L-DOPA dalam 1 mL buffer cacodylate) dan didiamkan selama lima menit, kemudian ditambah 800 mL buffer cacodylate. Aktivitas PO diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490nm. Densitas optikal (OD) dari aktifitas PO pada semua kondisi uji dinyatakan sebagai formasi dophacrome dalam 50 µL.

Analisis Data

Sintasan, Nilai THC dan Pro-Po dianalisi ragam dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil, sedangkan data nilai DHC dianalisi secara deskriptif melalui grafik.

100%

x

(%)

kontrol

Mortalitas

(%)

perlakuan

Mortalitas

-1

RPS 

4

10

x

25

x

5

n5

n4

n3

n2

n1

N

hemosit

sel

Total

hemosit

sel

jenis

tiap

Jumlah

(%)

hemosit

sel

jenis

Persentase

(4)

HASIL DAN BAHASAN

Pengamatan Mortalitas dan Gejala Serangan WSSV pada Udang Windu

Mortalitas udang windu selama penelitian diamati setiap 24 jam. Pada pengamatan 24 jam setelah penyuntikan belum terjadi kematian udang pada semua perlakuan baik yang menggunakan ekstrak mangrove maupun tidak. Setelah 48 jam, ditemukan udang yang mati pada kontrol positif (perlakuan yang disuntik dengan suspensi WSSV tanpa penggunaan ekstrak mangrove) dengan gejala-gejala umum serangan WSSV, meskipun bintik putih belum terlalu jelas pada karapaks udang. Setelah 72 jam (3 hari) setelah penyuntik udang windu yang mati pada kontrol positif semakin banyak sekitar 30% sedangkan pada perlakuan yang menggunakan ekstrak mangorve masih berkisar 5-10%. Kematian udang pada perlakuan kontol positif tertinggi pada hari ke-4 dan 5 setelah penyuntikan. Mortalitas udang pada saat itu mencapai 67%, dan setelah hari ke-6 mortalitas udang windu sudah mencapai 80%, sementara pada perlakuan yang menggunakan ekstrak mangrove masih relatif tinggi terutama pada perlakuan yang menggunakan ekstrak butanol dari S. caseolaris. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa udang windu yang disuntuik dengan suspensi WSSV tanpa ekstrak mangrove mengalami kematian hingga 100% pada hari ke-3 setelah penyuntikan (Muliani et al., 2015). Laporan lain menyatakan bahwa, WSSV dapat menyebabkan kematian udang hingga 100% dalam waktu 3-10 hari (Peinado-Guevara & Lopez-Meyer, 2006). Sedangkan (Sahu et al., 2012) melaporkan bahwa serangan WSSV pada tambak udang komersil (intensif) dapat menyebabkan kematian udang 100% dalam jangka waktu 3-4 hari. Periode kematian udang yang disebabkan oleh infeksi WSSV bervariasi berdasarkan umur udang dan kondisi lingkungan dimana terjadi serangan. Pada udang juvenil, WSSV dapat menyebabkan kematian hingga 80% dalam waktu 2-3 hari, sedangkan pada udang dewasa 7-10 hari sejak terjadi infeksi (Munn, 2004).

Sintasan Relatif (Relative Percentage Surivival) Udang Windu

Sintasan relative udang windu yang diuji tantang dengan WSSV dan ekstrak mangrove disajikan pada Gambar 1. Pada gambar tersebut terlihat bahwa sintasan relatif udang windu yang berada di atas 50% diperlihatkan oleh perlakuan yang menggunakan ekstrak air dan ekstrak butanol S. caseolaris serta ekstrak metanol dan ekstrak dietyleter S. lanceolata. Hal ini menunjukkan bahwa keempat jenis ekstrak mangrove tersebut efektif dijadikan sebagai sebagai anti WSSV pada udang windu. Menurut Thomson & Adam (2004) bahwa perlakuan dikatakan efektif jika nilai RPS >50%. Dari data tersebut terlihat pula bahwa setiap jenis ekstra dari jenis mangrove yang sama berbeda efektivitasnya terhadap WSSV sehingga dalam penggunaan ekstrak mangrove untuk mencegahan penyakit WSSV perlu dilakukan seleksi yang lebih ketat sehinggga didapatkan kandidat anti WSSV yang benar-benar efektif.

41 76 100 17 86 40 47 60 0 20 40 60 80 100 120 A B C D E F G H Re lat ive pe rc ent ag e sur vi val (% ) Perlakuan

Gambar 1. Persentase sintasan relatif udang windu Penaeus monodon stelah 10 hari uji tantang dengan WSSV dan ekstrak mangrove

Note:

A= Methanol extract of S. caseolaris B= Water extract of S. caseolaris C= Buthanol extract of S. caseolaris D= Diethyleter extract of S. caseolaris E= Methanol extract of S. lanceolata F= Water extract of S. lanceolata G= Buthanol extract of S. lanceolata H= Diethyleter extract of S. lanceolata

(5)

Sintasan Udang Windu

Pada Tabel 1 terlihat bahwa pada akhir penelitian sintasan udang windu yang disuntik dengan WSSV dan ekstrak mangrove tertinggi (100%) pada perlakuan penggunaan fraksi butanol S. caseolaris dan terendah pada kontrol positif (disuntik WSSV tanpa ekstrak mangrove). Hal ini menunjukkan bahwa fraksi butanol dari S caseolaris berpotensi sebagai anti WSSV. Pada kontrol positif kematian udang sudah terjadi sejak hari pertama penyuntikan dan kematian total terjadi pada hari ke-3, hal ini menunjukkan bahwa antigen WSSV yang digunakan bersifat sangat ganas terhadap udang windu dan ekstrak mangrove yang digunakan mampu menurunkan atau bahkan menonaktifkan WSSV sehingga udang bisa hidup sampai hari ke-10. Hasil analisi statistik menunjukkan bahwa sintasan udang windu yang disuntik ekstrak mangrove dari fraksi butanol S. caseolaris dan ekstrak metanol S.lanceolata berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol positif, (udang disuntik dengan WSSV tanpa ekstrak mangrove) dan tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif (udang tidak disuntik dengan WSSV dan ekstrak mangrove). Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis mangrove tersebut potensial sebagai anti WSSV. Chakraborty et al. (2014), melaporkan bahwa MP07X yang diturunkan dari Rhizophora mucronata memiliki potensi sebagai penghasil anti WSSV dimana pada penggunaan 1.000 mg/kg bobot tubuh udang/hari yang diberi secara oral memberikan kelangsungan hidup udang vannamei sebesar 85%.

Total Hemocyt Count (THC)

Hasil analisis THC pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat bahwa rataan total hemosit tertinggi pada perlakuan yang menggunakan ekstrak butanol mangrove S. caseolaris yaitu 2.344,47x104 sel/mL dan terendah pada perlakuan kontrol negatif yaitu 966,67x104

sel/mL. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nilai THC pada perlakuan yang menggunakan ekstrak butanol mangrove S. caseolaris berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan kontrol positif (udang disuntik dengan suspensi WSSV tanpa ekstrak mangrove) dan perlakuan yang menggunakan ekstrak S. lanceolata dari semua jenis hasil fraksinasi kecuali ekstrak metanol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak mangrove S. caseolaris secara umum lebih efektif dalam meningkatkan nilai THC udang windu dibanding dengan S. lanceolata. Namun demikian nilai THC pada penggunaan ekstrak S. lanceolata masih lebih baik dibanding kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis mangrove ini mampu meningkatkan respon immun pada udang windu. Hasil penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa nilai rataan sel hemosit tertinggi pada perlakuan yang menggunakan ekstrak dietyleter S.alba yaitu 14,80x107 sel/mL (Muliani et al., 2015). Harikrishan et

al. (2011), melaporkan bahwa nilai THC udang windu yang diberi pakan yang mengandung 1% ekstrak

Perlakuan THC (X 10 4 cell/mL) ProPO (A) Sintasan (%)

Methanol extract of S. caseolaris 1944,43ab 0.0447ab 52,40ab Water extract of S. caseolaris; 1922,23ab 0.0397ab 80,95ab Buthanol extract of S. caseolaris 2344,47a 0.0620a 100,00a Diethyleter extract of S. caseolaris 1233,33ab 0,0287ab 33,33ab Methanol extract of S. lanceolata 1911,10ab 0,0307ab 88,89a Water extract of S. lanceolata 777,77b 0,0130b 52,38ab Buthanol extract of S. lanceolata 711,10b 0,0047b 57,14ab Diethyleter extract of S. lanceolata 755,57b 0,0237ab 66,67ab Positive Control 677.77b 0,0120b 19,84b Negative Control 966,67ab 0,0307ab 100,00a

Huruf yang sama pada kolom yang sama menujukkan perbedaan yang tidak nyata (P<0.05)

Tabel 1. Sintasan, Total Hemocyt dan Aktifitas Phenoloksidase udang windu Penaeus monodon Setelah 10 hari penyuntikan dengan WSSV dan ekstrak mangrove

(6)

herbal, Solanium nigrum dan diinfeksi V. harveyi secara penyuntikan mengalami peningkatan dan berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol (udang diinfeksi V harveyi). Demikian pula yang dilaporkan oleh Chen et al. (2014) bahwa nilai THC udang vannamei yang diberi ekstrak binghamiae 2 µg/g lebih tinggi secara signifikan dibanding kontrol, sedangkan yang diberi 6 µg/g lebih tinggi secara signifikan dibanding yang diberi 2 µg/g bobot udang. Nilai THC pada udang akan menurun jika udang mengalami stres karena parameter lingkungan yang menurun (Chen et al., 2015), keadaaan fase molting mapun karena adanya infeksi patogen (Johansson et al., 2000). Hal ini terjadi pada pada kontrol positif, dimana nilai THC mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu 2088,88x104 sel/

mL sebelum penyuntikan V. harveyi menjadi 677.77x104 sel/mL atau menurun sekitar (32.45%). Beberapa perlakuan juga mengalami penurunan THC dibanding sebelum ada perlakuan seperti yang terjadi pada ekstrak air, ekstrak butanol dan ekstrak dietyleter S. lanceolata yang secara signifikan mengalami penurunan.

Aktivitas Phenoloksidase

Prophenoloksidase (ProPO) berfungsi untuk mengaktifkan enzim phenoloksidase (PO). PO bertanggungjawab dalam proses sintesis melanin dengan bantuan enzym proteolitik yang mengkatalase proses hidroksilis monophenol menjadi diphenol dan mengoksidasi diphenol menjadi guinenos dan secara enzimatis dirubah menjadi melanin (Saha, 2011). Proses melanisasi adalah respon biologis yang terjadi terhadap adanya partikel asing dan atau patogen yang menyerang inang. Aktivitas phenoloksidase pada udang windu dalam penelitian ini disajikan Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat bahwa aktifitas phenoloksidase tertinggi pada perlakuan yang menggunakan ekstrak butanol mangrove S. caseolaris dan terendah pada perlakuan yang menggunakan ekstrak butanol S. lanceolata. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai ProPo pada perlakuan yang menggunakan ekstrak butanol S. caseolaris berbeda nyata (P<0.05) dengan kontrol positif dan semua perlakuan yang menggunakan ekstrak S. lanceolata kecuali fraksi dietyleter dan ekstrak metanol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak butanol S. caseolaris dapat meningkatkan respon immun udang windu, dilihat dari nilai THC dan aktivitas ProPo yang secara signifikan lebih tinggi dari pada kontrol positif. Declarador et al., (2014) melaporkan bahwa aktivitas phenoloksidase udang windu yang diberi pakan yang mengandung ekstrak ulvan 1000 mg/kg pakan berbedanyata secara signifikan dengan kontrol.

Diferensial Hemosit Count (DHC)

Nilai DHC merupakan perbandingan antara sel hialin, sel granular dan sel semigranular. Ke tiga jenis tipe sel hemosit tersebut masing-masing memegang peranan dalam sistem immunitas udang. Sel hialin bertanggung jawab dalam imunitas sebagai fagositosis sedangkan sel granular dan semigranular secara bersama-sama bertanggungjawab melakukan aktifitas sitotoksis dan produksi

72,63 46,3 58,1 78,9 75,13 54,57 72,9 82 90,85 69,43 24,5 2,6 4,53 6,57 0,63 0 4,9 3,53 4,15 1,4 19,13 42,8 7,33 14,5 24,2 12,1 22,2 34,35 4,15 29,2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 A B C D E F G H I J D H C (% ) Perlakuan

Sel granular Sel semi granular Sel hyalin

Notes: A). methanol extract of S. caseolaris; B). water extract of S. caseolaris; C). buthanol extract of S. caseolaris; D). dietyeter extract of S. caseolaris; E) methanol extract of S. lanceolata; F) water extract of S. lanceolata; G). buthanol extract of S. lanceolata; H). dietyleter extract of S. lanceolata; I). Positve control (Shrimp was injected with WSSV suspension without mangrove extract); J). Negative control (without WSSV and mangrove extract).

Gambar 2. Diferensiasi sel hemosit udang windu Penaeus monodon setelah 10 hari penyuntikan dengan WSSV dan ekstrak mangrove

(7)

serta pelepasan sistem prophenoloksidase (Kakoolaki et al, 2010; Chen et al., 2015). Menurut Johansson et al., (2000) sel hyalin bertanggungjawab terhadap aktivitas pagositas, sedangkan sel ganular dan semi-gragnular aktif dalam proses proteaseenzim, pembentukan zat antibakteri dan oksigen reaktif seperti anion superoksida dan hidrogenperoksida.

Perbandingan antara sel granular, semi granular dan sel hyalin pada udang windu dalam penelitian ini bervariasi (Gambar 1). Pada Gambar tersebut terlihat bahwa sel granular pada semua perlakuan lebih tinggi dibanding dengan sel hyalin, dan semi-granular sel. Demikian pula sel hyalin lebih tinggi dibanding sel semi-granular. Secara umum total hemosit pada krustase 50 hingga 80 persen adalah sel hyalin, 9 hingga 30 persen adalah sel semigranular, dan 4 hingga 20 persen adalah sel granular (Sung et al., 1999), namun menurut (Winotaphan et al., 2005) proporsi antara ke tiga jenis sel tersebut sangat tergantung dari spesies, fase molting, dan kondisi fisiologis dari organisma. Pada penelitian ini persentase sel granular udang windu lebih tinggi dibanding sel semi-granular dan hyalin baik pada perlakuan yang menggunakan ekstrak mangrove maupun tidak.

KESIMPULAN

Ekstrak butanol S. caseolaris secara signifikan meningkatkan total hemosit dan aktivitas phenoloksidase udang windu serta memberikan dampak kepada peningkatan ketahanan udang terhadap infeksi WSSV sehingga secara signifikan meningkatkan sintasan udang windu hingga 100% pada akhir penelitian.

DAFTAR ACUAN

Ashokkumar, S., Mayavu, P., & Murugesan, P. (2012). Biosecuring of white spot syndrome virus on Penaeus monodon Fabricius, 1798. African Journal of Agricultural Research Vol. 7(16), pp. 2446-2455

Balasubramanian, G., Sarathi, M., Kumar, S.R., & Hameed., A.S.S. (2007). Screening the antiviral activity of Indian medicinal plants against White Spot Syndrome virus in shrimp. Aquaculture. 263:15-19. Balasubramanian, G., Sarathi, M., Venkatesan, C., Thomas, J., & Hameed, A.S.S. (2008). Oral administration of antiviral plant extract of Cynodon dactylon on large scale production againts white spot syndrome viru (WSSV) in Penaeus monodon. Aquaculture. 279:2-5.

Braak, K., & Van den. (2002). Haemocytic Defence in Black Tiger Shrimp (Penaeus monodon). PhD Thesis, Wageningen University-With ref-With Summary in Ductch. Nedherlands. 159 pages. Cavilla, L.S., Romano, L.A., Marins, L. F., & Abreu, P.C. (2011). First report of white spot syndrome virus

in farmed and wild penaeid shrimp from Lagoa Dos Patos Estuary, Southern Brazil. Brazilian Journal of Microbiology, 42:1176-1179

Chakraborty, S., & Ghosh, U. (2013a). Pharmaceutical and phytochemical evaluation of a novel anti – white spot syndrome virus drug derived from marine plants. International Journal of Natural Products Research. 3(4): 82-91

Chakraborty, S., & Ghosh, U. (2013b). In Vivo biochemical changes occurring at different time intervals in white spot syndrome virus infected shrimp, treated with anti-WSSV drug drived from marine plants. J. App Pharm Sci. 3(11):059-069

Chakraborty, S., & Ghosh, U. (2014). In Vivo Immunological changes occurring at different time intervals in white spot syndrome virus infected shrimp, treated with anti-WSSV drug drived from marine plants. International Journal of Basic and Applied Virology. 3(1):01-15.

Chakraborty, S., Ghosh, U., Balasubramanian, T., & Das, P. (2014). Screening, isolation and optimization of anti-white spot yndrome virus drug derived from marine plants. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine.S107-S117

Chen, Y.Y., Chen, J.C., Lin, Y.C., Yeh, S.T., Chao. K.P., & Lee, C.S. (2014). White Shrimp Litopenaeus vannamei That Have Received Petalonia binghamiae Extract Activate Immunity, Increase Immune Response and Risistance against Vibrio alginolyticus. Aquaculture Research & Development 5:268. Doi:10.4172/2155-9546.1000268

(8)

Chen, Y.Y., Chen, J.C., Lin, Y.C., Yeh, S.T., & Huang, C.L. (2015). White Shrimp Litopenaeus vannamei That Have Received Gracillaria tenuistipitata Extract Show Early Recovery of Immune Parameters Ammonia Stressing. Marine Drugs. 13:3606-3624; doi:10.3390/md13063606

Corre, Jr.V., Faisan, Jr.J., Carton-Kawagoshi, R.J., Elle, B.J., Traifalgar, R.F., & Caipang, C.M. 2012. Evi-dence of WSSV transmission from the rotifer (Brachionus plicatilis) to the balck tiger shrimp (Penaeus monodon) postlarva and means to control rotifer resting eggs using industrial disinfectans. Aquaculture, Aquarium, Cononservation & Legislation 5(2):64-68

Corsin, F., Turnbull, J.F., Mohan, C.V., Hao, N.V., & Morgan, K.L. (2005). Use of epidemiological methods to limit the impact of white spot disease in Penaeus monodon farms of Vietnam and India. Aquaculculture. 2:21-30.

Declarador, R.S., Serrano Jr,A.E., & Corre Jr,V. (2014). Ulvan extract acts as immunostimulant against white spot syndrome virus (WSSV) in juvenile black tiger shrimp Penaeus monodon. ACCL Bioflux. International Journal Of the Bioflux Society

Desrina, Sarjito, Haditomo, A.H.C., & Chilmawati, D. (2012). The White Spot Syndrome Virus (WSSV) load in Dendronereis spp. Journal of Coastal Develpopment, 3: 270-275

Esparza-Leal, H.M., Escobedo-Bonilla, C. M., Casillas-Hernandez, R., Alvarez-Ruiz, P., Portillo-Clark, G., Valerio-Garcia, R. C., Hernandez-Lopez, J., Mendez-Lozano, J., Vibanco-Perez, N., & Magallon-Barajas, F.J. (2009). Detection of white spot syndrome in filtered shrimp-farm water fractions and experimental evaluation of its infectivity in Penaeus (Lithopenaeus) vannamei. Aquaculture, 292:16-22

Harikrishanan, R., Balasundaram, C., Jawahar, S., & Heo, M.S. (2011). Solanium nigrum enhancement of the immune response and disease resitance of tiger shrimp, Penaeus monodon against Vibrio harveyi. Aquaculculture. 318:67-73.

Hoa, T.T.T., Zwart, M.P., Phuong, N.T., Vlak, J.M., & Jong, M.C.M.D. (2011). Trasnsmission of white spot syndrome virus in improved-intensive and semi-intensive shrimp production systems: a molecular epidemiology study. Aquaculture, 313:7-14

Hossain, M.S., Otta, S.K., Chakraborty, A., Kumar, H.S., Karunasagar, I., & Karanusagar, I. (2004). Detection of WSSV in cultured shrimps, captured brooders, shrimp postlarvae and water samples in Bangladesh by PCR using different primers. Aquaculculture. 237:59-71

Iqbal, M.M, Kabir, M.A., Alan, C.B, Mamun, M.A.A, & Hossain, M.M. (2011).Seasonal status of white spot syndrome virus in broodstocks, nauplii and postlarvae of black tiger shrimp (Penaeus monodon) in Bangladesh. International Journal of Natural Sciences, 1(3):56-61

Jiang, G. (2012). Can white spot syndrome virus be transmitted through the phytoplankton’!rotifer’!artemia’!shrimp pathway?. African Journal of Biotechnology. 11(5):1277-1282.

Johansson, M.W., Keyser, P., K. Sritunyalucksana, K., & Söderhäll, K. (2000). Crustacean Haemocytes and Haematopoiesis. Aquaculture. 191: 45-52.

Kakoolaki, S., Soltani, M., Ebrahimzadeh, M.H.A., Sharifpour, I., Mirzargar, S., Afsharnasab, M., & Motalebi, A.A. (2011). The effect of different salinities on maortality and histopathological changes of SPF imported Litopenaeus vannamei, experimentally exposed to White Spot Syndrome Virus and a new defferential hemocyte staining method. Iranian Journal of Fisheries Sciences. 10 (3):447-460.

Kumaran, T., Babu, M. M., Selfvraj, T., Albindhas, S., Citaru, T. (2010). Production of anti WSSV IgY Edible using herbal immunoajuvand Asparagus racemosus and its immunological influence againts WSSV infection in Penaeus monodon. Journal of aquaculculture Feed Science and Nutrition. 2 (1):1-5

Liu, Y., & Chen, J.C. (2004). Effect of ammonia on the immune response of white shrimp Litopeaeus vannamei its susceptibility to Vibrio alginolyticus. Fish and shellfish Immunology. 16:321-334 Martine, G.G., & Graves, L.B. (1985). Styructure and Classification of shrimp haemocytes.

(9)

Martorelli, S.R., Overstreet, R.M., & Jovonovich, J.A. (2010). First report of viral pathogens WSSV and IHHNV in Argentine crustaceans. Bulletin Of Marine Science, 86(1): 117–131.

Muliani, Parenrengi, A., Sulaeman, & Atmomarsono, A. (2004). Prevalensi, intesitas, dan transmisi white Spot Syndrome Virus (WSSV) pada budidaya udang windu Penaeus monodon. JPPI. 10:103-110.

Muliani, Tampangallo, B.R., & Amomarsono. A. (2015). Aktivitas antibakteri dan antiwhite spot syn-drome virus (WSSV) dari ekstrak herbalmangrove Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhizapada udang windu. JRA InPress. 18 hal.

Munn, C.B. (2004). Marine Microbiology. Ecology and applications. BIOS Scientific Publisher. London and New York. 282 pp.

Peinado-Guevara, L.I., & Lopez-Meyer, M. (2006). Detail monitoring of White Spot Syndrome Virus (WSSV) in shrimp commercial ponds in Sinola, Mexico by nested PCR. Aquaculture, 251:33-45 Reddy, A.D., Jeyasekaran, G., & Shakila, R.J. (2010). Incidence of white spot syndrome virus (WSSV) in

Indian farmed frozen shrimp products and testing for viability through bio-inoculation studies. J. Aquac. Res Development.1:102. Doi:10.4172/2155-9546.1000102.

Reddy, A.D., Jeyasekaran, G., & Shakila, R.J. (2011a). White Sopt Syndrome Virus (WSSV) transmission through infected coocked shrimp product assesed by polymerase chain reactoin (PCR) and bioinoculation studies. Continental J. Fisheries And Aquatic Science. 5 (1):16-23

Reddy, A.D., Jeyasekaran, G., & Shakila, R.J. (2011b). Effect of processing treatments on the white spot syndrome virus DNA in farmed shrimps (Penaeus monodon). Letters in Applied Microbiology (2011) doi: 10.1111/j.1472-765x.2011.03026.x

Saha, S. (2011). Innate Immune Source and Fungtional Machinery in decapods of Crustacea. Indian Journal of Fundamental and applied Life Scinces. Vol.1 (3):2231-6345

Sahu, S. k., Kathiresan, K., Singh, R., & Senthilraja, P. (2012). Molecular Docking analyses of Avicenia marine derived phytochemical against white spot syndrome virus (WSSV) envelope protein-VP28.Bioinformation 8(8):897-900.

Salehi, H. (2010). The economic impacts of WSSV on shrimp farming production and export in Iran. Aquatic Animal Health. 28 (2):29-30

Sanchez-Martinez, J.G., Aguirre-Guzman, G., & Mejia-Ruiz, H. (2007). White Spot Syndrome Virus in cultured shrimp: A review. Aquacultur, 38:1339-1354.

Sanchez-Paz, A. (2010). White spot syndrome virus: an overview on an emergent concern. Vet. Res. 41 (43):34 pp

Selvam, D.G., Rahiman, K.M.M., & Hata, A.A.M. (2012). An investigation into occasional White Spot Synadrome Virus outbreak in traditional paddy cum pram field in India. The Scientific World Journal. doi:10.1100/2012/340830. 11 pp.

Sethi, S.N., Mahendran, V., Nivas, K., Krishnan, P., DamRoy, S., Ram, N., & Sethi, S. 2011. Detection of white spot syndrome virus (WSSV)in brood stock of tiger shrimp, Penaeus monodon and other crustaceans of Andaman water. Indian Journal of Marine Sciences. 40(3):403-406

Soowannayan, C., & Phanthura, M. (2011). Horisontal transmission of white spot syndrome virus (WSSV) between red claw crayfish (Cherax quadricarinatus) and the giant tiger shrimp (Penaeus monodon). Aquaculture (2011), doi: 10.1016/j. aquaculture. 2011. 06.012

Sudheer, N.S., Philip, R., & Singh, I.S.B. (2012). Anti–white spot syndrome virus activity of Ceriops tagal aqueous extract in giant tiger shrimp Penaeus monodon. Arch Virol 157:1665–1675 Sung, H.H., Wu, P.Y., & Song, Y.L. (1999). Characterisation of monoclonal antibodies to haemocyte

sub-populations of tiger shrimp (Penaeus monodon): immunochemical differentiation of three major haemocyte types. Fish & Shellfish Immunol 9(3):167-179.

Tendencia, E.A., Bosma, R.H., & Verreth, J.A.J. (2010b). WSSV risk factors related to water physico-chemicalproperties and microflora in semi-intensive Penaeus monodon culture ponds in the Philippines. Aquaculture, 302:164-168.

(10)

Thompson, K.D., & Adam, A. (2004). Current trends in immunotherapy and vaccine depelopment for bacterial diseases of fish. Molecular Aspects of Fish and Marine Biology. World Scientific Publishing co. pte. Ltd. Singapore. Vol. 3:313-362

Velmurugan, S., Babu, M. M., Punitha, S. M. J., Viji, V. T.,& Citarasu, T. (2012). Screening and charac-terization of antiviral compounds from Psidium guajava Linn. Root bark against White Spot Syn-drome Virus. Indian Journal of Natural Products Resources. 3 (2):208-214

Winotaphan, P., Sithigorngul, P., Meunpol, O., Longyant, S., Rukpratanporn, S., Chaivisuthangkura, P., Sithigorngul, W., Petsom, A., & Menasveta, P. (2005). Monoklonal antibodies spesific to hemocytes of black tiger prawn Penaeus monodon. Fish & Shellfish Immunology. 18:189-198

Zhang, J.S., Dong, S.L., Dong, Y.W., Tian, X. L., Cao, Y. C., Li, Z. J.,& Yan, D.C.( 2010). Assessment of the role of brine shrimp Artemia in white spot syndrome virus (WSSV) transmission. Vet Res commun 34:25-32

Gambar

Gambar  1. Persentase sintasan relatif udang windu Penaeus monodon  stelah 10 hari uji tantang dengan  WSSV dan ekstrak mangrove
Tabel 1. Sintasan,  Total  Hemocyt  dan  Aktifitas  Phenoloksidase    udang  windu Penaeus monodon  Setelah 10 hari penyuntikan dengan  WSSV dan ekstrak mangrove
Gambar  2. Diferensiasi  sel  hemosit  udang  windu Penaeus  monodon setelah  10  hari  penyuntikan dengan  WSSV dan ekstrak mangrove

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan hasil evaluasi kelompok kerja, maka perusahaan Saudara merupakan salah satu penyedia Barang/jasa untuk diusulkan sebagai calon pemenang pada paket tersebut di

Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana didalammya disebutkan yang dimaksud dengan ahli waris adalah orang yang pada saat

Dampak ekonomi diukur oleh besarnya biaya yang dikeluarkan akibat terjadinya gangguan kesehatan manusia, yang terdiri dari mortalitas dan morbiditas.Teknik estimasi melibatkan

Dari kegiatan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa Perpustakaan dan Arsip (BPA) Kota Pekanbaru hadir sebagai salah satu wujud keseriusan Pemerintah Kota

• Perbedaan antara proses dengan thread tunggal dengan proses dengan thread yang banyak adalah proses dengan thread yang banyak dapat mengerjakan lebih dari satu tugas pada satu

Seni rupa daerah di wilayah Nusantara sangat beragam. Keberagaman karya seni rupa tersebut dapat dipengaruhi oleh wujud dan coraknya. Wujud atau bentuk karya seni rupa murni

Pengukuran kinerja adalah bagian dari analisa terhadap proses untuk mengidentifikasi aktivitas mana yang diprioritaskan untuk diperbaiki.. Menurut pandangan tradisional,

Penerapan interaksi akrab dapat terlihat pada denah gedung pertunjukan musik, kedekatan para penyaji dengan audience atau audience dengan audience dapat terlihat pada gambar.