• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMODELAN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN PARTIAL LEAST SQUARE PATH MODELLING (PLS-PM) BESSE ARNA WISUDA NINGSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMODELAN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN PARTIAL LEAST SQUARE PATH MODELLING (PLS-PM) BESSE ARNA WISUDA NINGSI"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN KETAHANAN PANGAN INDONESIA

DENGAN MENGGUNAKAN PARTIAL LEAST

SQUARE PATH MODELLING (PLS-PM)

BESSE ARNA WISUDA NINGSI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan

Kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain

Dan hanya kepada TuhanMulah hendaknya kamu berharap

(QS. Alam Nasyrah : 6-8)

Special Present For

My Beloved Husband “Irvana Arofah,S.Pd” and Baby in My Womb

Kupersembahkan karya ilmiah ini untuk yang tercinta kedua orang

tuaku, Suamiku dan calon anakku tersayang, mertuaku, kakek

dan adikku beserta seluruh keluarga besar

Terima kasih atas do’a dan dukungan serta waktu yang selalu

kalian berikan untukku

I Love You All

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pemodelan Ketahanan Pangan Indonesia dengan menggunakan Partial Least Square Path

Modelling (PLS-PM) adalah karya saya sendiri dengan arahan dan bimbingan

dari komisi pembimbing serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh pihak lain telah penulis sebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

Besse Arna Wisuda Ningsi

(4)

ABSTRACT

BESSE ARNA WISUDA NINGSI. Indonesian Food Security Modeling using Path Modelling Partial Least Square (PLS-PM). Advisored by I MADE SUMERTAJAYA and ERFIANI.

More priority to food security for every individual to gain access to nutritious food and its absorption by the achievement of a healthy and productive life. UU No.7 of 1996 states that food security is a condition of availability of adequate food quantity and quality, safe, equitable and affordable. Thus the availability of food is not the only factor that determines the achievement of food security, but access and absorption of food factors also affect the achievement of food security. Some of the goals of this study include: determine the variables contained in the factor of food availability, access, absorption and food security in Indonesia, knowing the influence factors of food availability, access and absorption of food to food security in Indonesia, and develop a relationship model of factors of food availability, access and absorption of food by using partial least squares path modeling (PLS-PM) based on indicators that have been established. The data used in this study is secondary data, with reference to the indicators used in the manufacture of food insecurity Indonesia map prepared by the Food Security Council of RI. The analysis showed that the latent variable food availability, food access and food absorption significantly affected the food security of latent variables at 95% confidence level. R2 value of 0.400 for this model which means that 40% of the diversity of the latent variables of food security that can be explained by a latent variable food availability, food access and food absorption, rest influenced by other factors

Keywords:

.

(5)

RINGKASAN

BESSE ARNA WISUDA NINGSI. Pemodelan Ketahanan Pangan Indonesia dengan Menggunakan Partial Least Square Path Modelling (PLS-PM). Dibimbing oleh I MADE SUMERTAJAYA and ERFIANI.

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia sehingga pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi yang harus dipenuhi secara bersama-sama oleh negara dan masyarakat. Pemerintah telah mengatur masalah pangan dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1996 yang bersisi tentang komitmen Indonesia untuk mencapai ketahanan pangan. UU tersebut mengamanatkan pentingnya pembangunan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Selain itu masalah pangan juga diwujudkan pemerintah dalam aturan mengenai implementasi kebijakan pangan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 132 Tahun 2001 tentang pembentukan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang bertugas merumuskan kebijakan di bidang ketahanan pangan nasional yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi, dan konsumsi serta mutu, gizi dan kemanan pangan.

Ketahanan pangan lebih mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi serta penyerapannya demi pencapaian hidup yang sehat dan produktif. UU No.7 Tahun 1996 menyebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dengan demikian faktor ketersediaan pangan bukan satu-satunya faktor yang menentukan tercapainya ketahanan pangan, tapi faktor akses dan penyerapan pangan juga mempengaruhi tercapainya ketahanan pangan. Pada penelitian ini dikaji pengaruh faktor ketersediaan pangan, akses dan penyerapan pangan terhadap ketahanan pangan utamanya di daerah yang surplus pangan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan mengacu pada indikator-indikator yang digunakan dalam pembuatan peta kerawanan pangan Indonesia yang disusun oleh Dewan Ketahanan Pangan RI. Dalam penelitian ini terdiri dari empat peubah laten, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, penyerapan pangan dan ketahanan pangan. Pada penelitian ini yang dianalisis adalah 246 kabupaten yang masuk ke dalam prioritas 4-6 yaitu kabupaten yang tergolong tahan pangan, dengan pertimbangan bahwa kabupaten-kabupaten tersebut memiliki nilai indeks komposit ketahanan pangan (CFSI) paling kecil dengan asumsi bahwa semakin tinggi angka CFSI maka semakin tinggi tingkat kerentanannya. 246 kabupaten tersebut memiliki rank CFSI 1-246.

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan partial least square path

modelling (PLS-PM). PLS-PM merupakan pendekatan alternatif model persamaan

struktural (SEM) yang bertujuan untuk mendapatkan prediksi skor variabel laten. Secara garis besar, tahap-tahap analisis data pada penelitian ini meliputi tahap deskripsi data dan tahap pemodelan. Tahap pemodelan dalam penelitian ini mengikuti tahap-tahap prosedur PLS-PM yang meliputi (a) Spesifikasi model, (b) Identifikasi, (c) dugaan, dan (d) Evaluasi model.

(6)

Hasil penelitian ini menunjukkan pengujian validasi model pengukuran formatif konstruk ketersediaan, akses dan penyerapan pangan, dihasilkan bahwa indikator-indikator pada konstruk akses pangan secara signifikan tidak memberikan kontribusi dalam mengukur konstruk akses pangan. Pada konstruk ketersediaan pangan hanya indikator konsumsi kalori yang secara signifikan memberikan kontribusi dalam mengukur konstruk ketersediaan pangan. Sedangkan pada kontruk penyerapan pangan semua indikatornya memberikan kontribusi dalam mengukur konstruk penyerapan pangan. Berdasarkan nilai

weight untuk seluruh indikator tidak ada yang kurang dari 0,1 sehingga dapat

disimpulkan bahwa seluruh indikator pada setiap kontruk laten tetap dapat digunakan dalam pemodelan.

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan di kabupaten yang masuk dalam kategori tahan pangan adalah akses pangan, ketersediaan pangan dan penyerapan pangan masing-masing dengan nilai t-statistik koefisien jalur adalah 3,324, 2,227 dan 4,550. Berdasarkan hasil analisis peubah laten ketersediaan pangan, akses pangan dan penyerapan pangan berpengaruh secara signifikan terhadap peubah laten ketahanan pangan pada tingkat kepercayaan 95%. 40% keragaman dari peubah laten ketahanan pangan mampu dijelaskan oleh peubah laten ketersediaan pangan, akses pangan dan penyerapan pangan, sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Dari hasil analisis diperoleh hasil evaluasi (validasi) dari model pengukuran bahwa kedua belas indikator valid dalam pengukuran setiap konstruk latennya yang ditunjukkan dengan nilai loading untuk seluruh indikator lebih besar dari 0,7, sehingga seluruh indikator dapat digunakan dalam membentuk model ketahanan pangan. Sedangkan berdasarkan hasil pengujian hipotesis peubah laten ketersediaan pangan, akses pangan dan penyerapan pangan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peubah laten ketahanan pangan. Dengan demikian, dalam penelitian ini model ketahanan pangan yang dapat dibentuk terdiri dari tiga model struktural dan empat model pengukuran sebagai berikut : model struktural pengaruh peubah laten ketersediaan pangan terhadap peubah laten akses pangan, model struktural pengaruh peubah laten ketersediaan pangan dan akses pangan ke peubah laten penyerapan, model struktural pengaruh peubah laten ketersediaan pangan, akses pangan dan penyerapan pangan ke peubah laten ketahanan pangan, model pengukuran konstruk ketahanan pangan, model pengukuran konstruk ketersediaan pangan, model pengukuran konstruk akses pangan, dan model pengukuran konstruk penyerapan pangan.

Kata kunci: partial least square path modelling (PLS-PM), ketahanan pangan Indonesia

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

PEMODELAN KETAHANAN PANGAN INDONESIA

DENGAN MENGGUNAKAN PARTIAL LEAST

SQUARE PATH MODELLING (PLS-PM)

BESSE ARNA WISUDA NINGSI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada Program Studi Statistika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(9)
(10)

Judul Tesis : Pemodelan Ketahanan Pangan Indonesia dengan Menggunakan Partial Least Square Path Modelling

(PLS-PM)

Nama : Besse Arna wisuda Ningsi NRP : G151070021

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui

Tanggal Ujian : 24 Januari 2012 Tanggal Lulus : ...

Anggota

Dr. Ir. Erfiani, M.Si Ketua

Dr.Ir.I Made Sumertajaya, M.Si

Ketua Program Studi Statistika

Dr. Ir. Erfiani, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah ini. Judul karya ilmiah ini adalah “Pemodelan Ketahanan Pangan Indonesia dengan menggunakan Partial Least Square Path Modelling (PLS-PM)”. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat kelulusan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis mendapatkan banyak ilmu, inspirasi dan pelajaran yang begitu berharga, sehingga penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Dr. Ir. I Made Sumertajaya, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Erfiani, M.Si sebagai Ketua Program Studi sekaligus sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan waktu yang sangat berarti dalam penyusunan dan penyelesaian karya ilmiah ini. Penghargaan tak lupa penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, M.Sc selaku penguji tesis atas masukan, saran dan ilmu yang bermanfaat. Disamping itu, terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh dosen Departemen Statistika IPB yang telah memberikan banyak ilmu yang bermanfaat bagi penulis, juga kepada teman-teman mahasiswa Pascasarjana Statistika angkatan 2007 dan bapak Heri yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis selama proses perkuliahan sampai terselesaikannya karya ini. Ungkapan terima kasih yang setulus-tulusnya tak lupa penulis haturkan kepada kedua orangtua, suamiku yang tercinta, calon anakku tersayang, mertua, kakek, adik-adik dan seluruh keluarga besar atas segala doa dan dukungannya serta semua pihak yang telah membantu penulis baik secara fisik, ilmu maupun dukungan moril dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya sekalipun hanya dalam bagian yang sangat kecil.

Bogor, Januari 2012

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada tanggal 24 Januari 1983 dari ayah Dr. Andi Sessu, M.Si dan Ibu Dra. St. Sirariah. Penulis adalah Puteri pertama dari tujuh bersaudara.

Pendidikan dasar dan menengah penulis selesaikan di Ujung Pandang masing-masing pada tahun 1995, 1998, 2001. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Statistika, Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Hasanuddin (UNHAS) di Makassar, lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana Program Studi Statistika pada Sekolah Pascasarjana (SPS) Institut Pertanian Bogor (IPB).

Sejak tahun 2007-2010 penulis bekerja sebagai staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta, tahun 2007-sekarang sebagai staf pengajar di Universitas Pamulang (UNPAM) Tangerang Selatan. Dan pada tahun 2011 diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada Pemerintah Kota Tangerang dan ditempatkan di Kantor Penelitian, Pengembangan dan Statistika sebagai staf pelaksana.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Konsep Ketahanan Pangan ... 4

Structural Equation Modelling (SEM) ... 9

Partial Least Square (PLS) ... 10

METODOLOGI ... 23

Metode Pengumpulan Data ... 23

Metode Analisis ... 24

Pengembangan Diagram Jalur ... 25

Formulasi Model Jalur ... 26

Hipotesis ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

Gambaran Umum Data Indikator Ketahanan Pangan Indonesia ... 29

Validasi Model Pengukuran Refleksif Konstruk Ketahanan Pangan 32

Validasi Model Pengukuran Formatif Konstruk Ketersediaan, Akses dan Penyerapan Pangan ... 34

Validasi Model Struktural ... 35

Hasil Analisis Model Struktural ... 36

Pengujian Hipotesis Model Struktural Peubah Laten Endogen Akses Pangan, Penyerapan Pangan dan Ketahanan Pangan ... 37

Pemodelan Ketahanan Pangan Indonesia ... 40

Pengaruh antar Peubah Penelitian ... 42

SIMPULAN DAN SARAN ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 D

aftar variabel dan indikator ... 23

2 N

ilai loading indikator AHH, Tdk_Under dan Tdk_Stunting dalam

konstruk ketahanan pangan ... 33

3 N

ilai cross loading indikator AHH, Tdk_Under dan Tdk_Stunting dalam variabel laten ... 33

4 U

ji signifikansi nilai weight ... 35

5 P

engujian signifikansi nilai inner weight dan kebaikan model

struktural ... 36

6 H

asil pendugaan dan pengujian pengaruh antar peubah penelitian ... 36

7 N

ilai loading seluruh indikator pada masing-masing variabel laten.. 41

8 P

engaruh langsung, tidak langsung dan total dari peubah laten

eksogen ke peubah laten endogen ... 43

9 P

engaruh langsung, tidak langsung dan total dari peubah laten

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 D

iagram jalur untuk hubungan refleksif ... 13

2 D

iagram jalur untuk hubungan formatif ... 14

3 D

iagram jalur untuk model MIMIC ... 14

4 A

lgoritma PLS-PM ... 19

5 D

iagram alur ketahanan pangan Indonesia ... 25

6 P

ersentase Kabupaten menurut status ketahanan pangan pada tahun

2007 ... 30

7 D

iagram kotak garis indikator peubah laten ... 31

8 H

asil analisis PLS-PM ... 37

9 M

odel struktural akses pangan ... 37

10 M

odel struktural penyerapan pangan ... 38

11 M

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 P

eta Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Indonesia 2009 ... 50

2 P

eringkat Kabupaten menurut Indeks Ketahanan Pangan Komposit

(CFSI) ... 51

3 D

eskripsi indikator-indikator ketahanan pangan ... 58

4 D

iagram kotak garis masing-masing indikator ... 59

5 U

ji normalitas data indikator-indikator ketahanan pangan ... 61

6 H

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia sehingga pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi yang harus dipenuhi secara bersama-sama oleh negara dan masyarakat. Pemerintah telah mengatur masalah pangan dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1996 yang bersisi tentang komitmen Indonesia untuk mencapai ketahanan pangan. UU tersebut mengamanatkan pentingnya pembangunan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Selain itu masalah pangan juga diwujudkan pemerintah dalam aturan mengenai implementasi kebijakan pangan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 132 Tahun 2001 tentang pembentukan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang bertugas merumuskan kebijakan di bidang ketahanan pangan nasional yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi, dan konsumsi serta mutu, gizi dan kemanan pangan. Tindak lanjut dari Keppres ini adalah disusunnya Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 sebagai peraturan operasional untuk memperjelas strategi ketahanan pangan. Hasil akhir implementasi ditetapkannya peraturan ini adalah terbentuknya DKP Daerah di setiap daerah di Indonesia.

Persediaan pangan yang cukup secara nasional ternyata tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah tangga/individu (Saliem

et al. 2001). Sawit dan Ariani (1997) mengemukakan bahwa penentu ketahanan

pangan di tingkat nasional, regional dan lokal dapat dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan pangan. Sementara itu penentu utama di tingkat rumah tangga adalah akses (fisik dan ekonomi) terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Indikator ketahanan pangan juga dapat dilihat dari pangsa pengeluaran rumah tangga. Semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga semakin rendah ketahanan pangannya (Pakpahan et al. 1993).

Ketahanan pangan lebih mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi serta penyerapannya demi pencapaian hidup yang sehat dan produktif. UU No.7 Tahun 1996 menyebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun

(18)

2

mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dengan demikian faktor ketersediaan pangan bukan satu-satunya faktor yang menentukan tercapainya ketahanan pangan, tapi faktor akses dan penyerapan pangan juga mempengaruhi tercapainya ketahanan pangan.

Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan Indonesia dan model hubungannya. Hasil kajian Sabarella (2005) menunjukkan adanya pengaruh positif dan nyata ketersediaan pangan pangan terhadap akses pangan, akses pangan berpengaruh positif terhadap penyerapan pangan. Selanjutnya Kajian Gilang (2010) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan Indonesia adalah jumlah penduduk miskin, rumah tangga tanpa akses listrik, desa yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat, perempuan buta huruf, angka harapan hidup, berat badan balita di bawah standar, dan rumah tangga tanpa akses air bersih.

Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan dapat dicapai dengan memperbaiki faktor ketersediaan pangan, akses, dan penyerapan pangan dengan memperhatikan beberapa indikator yang ada di dalam ketiga faktor tersebut. Dari tinjauan inilah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh faktor ketersediaan pangan, akses dan penyerapan pangan terhadap ketahanan pangan utamanya di daerah yang surplus pangan. Di mana dalam penelitian ini akan digunakan metode Partial Least Square Path Modelling (PLS-PM) untuk memodelkan kasus ketahanan pangan Indonesia.

Tujuan penelitian

1. Menentukan indikator-indikator yang terkait dalam peubah ketersediaan pangan, akses, penyerapan dan ketahanan pangan di Indonesia.

2. Mengukur besarnya pengaruh peubah ketersediaan pangan, akses dan penyerapan pangan terhadap ketahanan pangan di Indonesia.

3. Menyusun model hubungan peubah ketersediaan pangan, akses dan penyerapan pangan dengan menggunakan pendekatan partial least square path

(19)

3

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dan menjadi bahan masukan bagi DKP selaku lembaga yang berperan dalam merumuskan ketahanan pangan dalam rangka penentuan peubah-peubah yang digunakan dalam analisis. Selain itu dapat memberikan masukan bagi pemerintah di tingkat kabupaten dalam merumuskan kebijakan ketahanan pangan di daerahnya.

(20)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Ketahanan Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Pemenuhan pangan yang cukup dan bermutu akan mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Adanya kebutuhan pangan yang tidak terpenuhi pada tingkat masyarakat dan negara dapat menjadi asal muasal munculnya masalah kerawanan pangan. Kerawanan pangan merupakan masalah yang terkait ketidakmampuan masyarakat dalam hal mengakses pangan.

Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Oleh karena terpenuhinya pangan menjadi hak asasi bagi masyarakat, melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kebupaten/Kota dalam Pasal 7 huruf m dan Pasal 8, urusan Ketahanan Pangan merupakan urusan wajib berkaitan dengan pelayanan dasar dalam pemenuhan kebutuhan hidup minimal.

Pada World Food Summit (1996), ketahanan pangan didefinisikan sebagai: “Ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat”.

Dalam penyelenggaran ketahanan pangan, peran pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota dalam mewujudkan ketahanan pangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 adalah melaksanakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayah masing-masing dan mendorong keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan ketahanan pangan, dilakukan dengan : (a) memberikan informasi dan pendidikan ketahanan pangan; (b) meningkatkan motivasi masyarakat; (c) membantu kelancaran penyelenggaraan ketahanan pangan; (d) meningkatkan kemandirian ketahanan pangan.

(21)

5

Ketahanan pangan dengan prinsip kemandirian dan berkelanjutan senantiasa harus diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai prasyarat bagi keberlanjutan eksistensi bangsa Indonesia.

Upaya mewujudkan ketahanan pangan tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor internal maupun eksternal yang terus berubah secara dinamis. Dinamika dan kompleksitas ketahanan pangan menimbulkan berbagai permasalahan dan tantangan serta potensi dan peluang yang terus berkembang yang perlu diantisipasi dan diatasi melalui kerjasama yang harmonis antar seluruh pihak terkait dalam mewujudkan ketahanan pangan.

Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem ekonomi pangan yang terdiri atas subsistem penyediaan, distribusi dan konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Cakupan pembangunan subsistem tersebut antara lain:

1. Pembangunan subsistem penyediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri, cadangan maupun impor.

2. Pembangunan subsistem distribusi mencakup pengaturan untuk menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan antar wilayah,antar waktu serta stabilitas harga pangan strategis.

3. Pembangunan subsistem konsumsi mencakup pengelolaaan pangan ditingkat daerah maupun rumah tangga, untuk menjamin setiap individu memperoleh pangan dalam jumlah, mutu gizi, keamanan dan keragaman sesuai dengan kebutuhan dan pilihannya.

Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek-aspek tersebut dengan kepemilikan aset rumah tangga, strategi penghidupan, dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain status ketahanan suatu rumah tangga, atau individu ditentukan oleh interaksi dari faktor lingkungan pertanian, sosial ekonomi dan biologi dan bahkan faktor politik.

Kondisi sebaliknya dari ketahanan pangan adalah kerawanan pangan. Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara. Kerawanan pangan kronis dapat disebabkan oleh satu atau beberapa faktor seperti ketidakmampuan

(22)

6

untuk mengakses pangan yang cukup seperti dari produksi swasembada, pembelian dipasar, pinjaman atau bantuan. Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mengasimilasikan pangan kedalam tubuh, cara makan yang tidak benar, infrastruktur dan sanitasi yang tidak memadai,dan lain-lain. Kerawanan pangan sementara merupakan dampak dari menurunnya ketersediaan pangan secara mendadak dan sementara yang umumnya disebabkan oleh bencana alam.

Kerawanan pangan pada tingkat nasional dapat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menghasilkan pangan padi-padian secara cukup atau akibat ketidakmampuan untuk mengimpor pangan yang memadai. Pada tingkat propinsi kerawanan pangan dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau distribusi pangan yang memadai ke seluruhpelosok dengan harga yang terjangkau. Kerawanan pangan ditingkat rumah tangga umumnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh nafkah yang mencukupi serta tingginya harga pangan. Sementara itu ditingkat individu beberapa aspek seperti ketidakwajaran akses pelayanan umum seperti kesehatan, air, dan sanitasi, pendidikan dan lainnya menimbulkan kerawanan pangan. Kerawanan pangan individu bisa terjadi sejak janin yang mengalami kurang gizi, ini dapat diindikasikan oleh bayi yang lahirdengan berat badan kurang, anak-anakdan orang dewasa yang kurang gizi. Jadi kerawanan pangan merupakan manifestasi dari ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pendapatan, pemanfaatan/penyerapan pangan dimana interaksi ketiga dimensi tersebut apakah suatu wilayah atau individu mengalami kerawanan pangan.

Dewan ketahanan pangan bekerja sama dengan program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United Nations Word Food Programme) telah melakukan analisa data sekunder untuk indikator-indikatorkerawanan pangan yang sudah dipilih melalui pembuatan peta kerawan pangan untuk menunjukkan titik-titik kerawanan pangan di Indonesiadan dengan demikian situasi kerawanan pangan disuatu wilayah dapat secarakonstan dapat dipantau dan dapat diperbaharui secara teratur.

Dewan KetahananPangan tahun 2004 telah melakukan penentuan indikator-indikator kerawanan pangan suatu wilayah, yang semula 14 indikator-indikator pada peta

(23)

7

komposit kerawanan pangan selanjutnya berubah menjadi 10 indikator. Kesepuluh indikator tersebut tercakup dalam 3 dimensi kerawanan pangan yang kemudian dijadikan tiga pilar ketahanan pangan oleh FSVA, antara lain:

1. Ketersediaan Pangan

Ketersediaan pangan merupakan suatu fungsi dari produksi pangan dan perdagangan pangan, dimana ketersediaan pangan yang utama merupakan fungsi dari produksi pangan.

Menurut FSVA, ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/perdagangan maupun bantuan pangan.

Hanani (2008) mengatakan bahwa ketersediaan pangan diwujudkan dengan tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup, aman, dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan, maupun bantuan pangan. Sedangkan menurutWebb dan Rogers (2003) dalam Hanani (2008), ketersediaan pangan suatu daerah dipengaruhi oleh produksi pangan domestik, impor pangan, cadangan pangan, bantuan pangan dan jumlah penduduk. Sedangkan menurut DKP (2009) ketersediaan pangan merupakan ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber baik produksi domestik, perdagangan pangan, dan bantuan pangan.

Produksi serealia menjadi perhatian utama dalam memahami tingkat keswasembadaan pangan disuatu propinsi dan kabupaten. Porsi utama dari kebutuhan kalori harian berasal dari tanaman biji-bijian dan makanan berpati yang merupakan kelompok serealia. Serealia utama yang dimaksud antara lain padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Ketersedian pangan dihitung dari produk serealia yaitu merupakan jumlah dari produksi beras,jagung ubikayu dan ubi jalar. Produksi beras merupakan konversi sebesar 63.2% dari produksi padi, sedangkan produksi jagung bersih 60% dari produksi jagung mengingat sebanyak 40% jagung digunakan untuk pakan ternak. Data menunjukkan bahwa indonesia tela berswasembada pangan dalam produksi serealia dan bila dipandang dari ketersediaan serealia, indonesia tergolong tahan pangan. Dalam penyusunan peta kerawanan pangan ketersediaan pangan yang dimaksud adalah ketersediaan

(24)

8

pangan serealia gram perkapita perhari, selanjutnya dihitung indeks ketersediaan pangan yang dihitung dengan cara sebagai berikut :

Keterangan:

F : ketersediaan pangan serealia gram perkapita perhari tpop

I

: jumlah penduduk

AV

C

: Indeks ketersediaan pangan

norm

Konsumsi normatif menunjukkan jumlah pangan biji-bjian yang harus dikonsumsi oleh seseorang perhari untuk memperoleh kilo kalori energi dari serealia. Pola konsumsi di Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata seseorang memperoleh 50% keperluan energi hariannya dari sereal (harus mengkonsumsi kurang lebih 300 gr sereal perhari). Standar kebutuhan kalori perkapita perhari adalah 2,100Kkal (DKP dan program pangan PBB,2004). Nilai I

: konsumsi normatif (300gr serealia perkapita perhari)

AV> 1, maka

daerah tersebut defisit pangan serealia, atau kebutuhan konsumsi normatif tidak bisa dipenuhi dari produksi daerah tersebut. Dan bila nilai IAV

2. Akses terhadap pangan dan penghidupan

< 1 maka daerah tersebut surplus pangan serealia.

Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut.

Akses pangan tergantung pada daya beli rumah tangga yang merupakan fungsi dari akses terhadap sumber nafkah. Ini berarti akses pangan terjamin seiring terjaminnya pendapatan dalam jangka panjang. Indikator yang termasuk dalam dimensi ini antara lain:

1. Persentase penduduk miskin

(25)

9

3. Persentase desa tanpa akses jalan yang memadai

Hanani (2008) mendefinisikan akses pangan sebagai kemampuan rumah tangga dan individu dengan sumber daya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya. Sedangkan menurut Webb dan Rogers (2003) dalam Hanani (2008), akses pangan rumah tangga dan individu dipengaruhi oleh pendapatan, kesempatan kerja, harga pangan, sarana dan prasarana perhubungan, serta infrastruktur pedesaan.

3. Penyerapan pangan

Menurut Hanani (2008) mengatakan bahwa penyerapan pangan merupakan penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air, dan kesehatan lingkungan. Sedangkan Riely et al (1999) dalam Hanani (2008) mengatakan efektifitas penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumah tangga dan individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas pelayanan kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita.

Dalam pembuatan peta kerawanan pangan oleh dewan ketahanan pangan(DKP), selanjutnya kesepuluh indikator kerawanan pangan tersebut dikonversi kedalan indeks dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut :

Keterangan:

: nilai ke-j dari indikator ke-i : nilai minimum dari indikator ke-i

: nilai maksimum dari indikator ke-i

Structural Equation Model (SEM)

SEM adalah salah satu bidang kajian statistika yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah penelitian, dimana peubah bebas maupun peubah respon adalah peubah yang tak terukur.SEM dapat menguji secara simultan sebuah rangkaian hubungan yang relatif sulit terukur. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan yang dibentuk dari salah satu atau lebih peubah bebas dengan satu atau lebih peubah tidak bebas. Peubah-peubah tersebut dapat berupa peubah laten yaitu peubah yang tidak dapat diukur secara langsung, yang terbentuk dari beberapa

(26)

10

peubah penjelas/manifes, yaitu peubah yang dapat diukur secara langsung (Chin, 1998).

SEM terdiri dari dua model yaitu model struktural dan model pengukuran. Model struktural memperlihatkan struktur kausalitas antar peubah laten, sedangkan model pengukuran digunakan untuk mendukung peubah laten yang dikonfirmasikan oleh dimensi-dimensi peubah penjelas. Salah satu teknik analisis SEM adalah SEM berdasarkan pada covariance (CBSEM)dan SEM berbasis

component atau variance (PLS).

SEM berbasis covariance dikembangkan pertma kali oleh Joreskog (1973), Keesling (1972), dan Wiley (1973). SEM berbasis covariance mendapatkan popularitasnya setelah tersedianya program LISREL. Dengan menggunakan fungsi Maximum Likelihood (ML), covariance based SEM (CBSEM) berusaha meminimumkan perbedaan antara sample covariance yang diprediksi oleh model teoritis sehingga proses estimasi menghasilkan matrikscovariance dari data yang diobservasi.

Sebagai alternatif CBSEM, pendekatan variance based atau component

based dengan Partial Least Square (PLS) orientasi analisis bergeser dari menguji

model kausalitas/ teori ke component based predictive model. PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan indikator refleksif dan indikator formatif.

Partial Least Squares (PLS)

Analisis regresi dengan menggunakan Metode Kuadrat Terkecil (MKT) dapat dilakukan jika asumsi yang mendasari perhitungannya terpenuhi, baik dalam regresi sederhana, regresi berganda dan regresi multivariate. Dalam regresi, semakin banyak peubah yang diamati, maka asumsi yang mendasari perhitungan menjadi semakin sulit terpenuhi, sehingga tidak dapat menjawab hubungan antar peubah bebas dan peubah respon dengan hanya menggunakan MKT.

Partial Least Square pertama kali dikembangkan oleh Herman Wold guru

yang mengembangkan SEM (Structural Equation Models). Model ini dikembangkan sebagai alternatif apabila teori yang mendasari perancangan model lemah atau indikator yang tersedia tidak memenuhi model pengukuran refleksif.

(27)

11

PLS adalah salah satu metode alternatif yang dapat menjawab masalah diatas karena PLS adalah metode lunak atau soft model yang didalam perhitungannya tidak memerlukan asumsi yang ketat, baik mengenai sebaran dari peubah pengamatan maupun dari ukuran contoh, yang tidak harus besar. Metode lain yang dapat digunakan adalah LISREL yaitu metode yang dalam perhitungannya memerlukan sebaran data berdistribusi normal dan ukuran contoh harus besar (n>100) (Bacon 1997). Oleh Joreskog dan Wold (1982) PLS dikembangkan sebagai metode umum untuk pendugaan model laten (peubah-peubah laten) yang diukur secara tidak langsung oleh (peubah-peubah penjelas.

1. Spesifikasi Model PLS

PLS terdiri atas hubungan eksternal (outer model atau model pengukuran) dan hubungan internal (inner model atau model struktural). Hubungan tersebut didefinisikan sebagai dua persamaan linier yaitu model pengukuran yang menyatakan hubungan antara peubah laten dengan sekelompok peubah penjelas dan model struktural yaitu hubungan antar peubah-peubah laten.

Dengan tidak kehilangan generalitas, dapatdiasumsikan baik peubah laten maupun peubah penjelas diskalakan ke rata-rata nol sehingga paremeter-parameter lokasi dapat dibuang dalam persamaan-persamaan berikut.

Model analisis jalur semua variabel laten dalam PLS terdiri dari tiga set hubungan : (1) Inner model yang menspesifikasikan hubungan antar variabel laten, (2) Outer model yang menspesifikasi hubungan antara variabel laten dengan indikator atau variabel manifesnya, (3) Weight relation dalam mana nilai kasus dari variabel laten dapat diestimasi.

Inner Model

Model ini menitikberatkan pada model struktural variabel laten, dimana antar variabel laten diasumsikan memiliki hubungan yang linier dan memiliki hubungan sebab akibat. Variabel laten dapat berupa variabel laten eksogen maupun endogen. Variabel laten endogen (Eta) adalah variabel laten yang diduga oleh variabel laten lainnya. Sedangkan variabel laten eksogen (Xi)

adalah variabel laten yang tidak pernah diduga oleh variabel laten lainnya. Kesalahan pengukuran pada variabel laten dinotasikan dengan (Zeta).

(28)

12

Persamaan inner model adalah :

dengan asumsi :

dimana :

j : banyaknya peubah laten : peubah laten tidak bebas ke-j

: peubah laten tidak bebas ke-i untuk i≠j

: koefisien lintas peubah laten eksogen ke-i ke variabel laten endogen ke-j

: koefisien lintas dari peubah laten endogen ke-i ke variabel laten endogen ke-j

: intersep

: kesalahan pengukuran (inner residual) variabel laten ke-j i : banyaknya lintasan dari peubah laten bebas ke peubah laten tak

bebas

Outer Model

Membangun hubungan antara sekumpulan indikator dengan variabel latennya. Outer model mengacu kepada model pengukuran. Ada tiga cara membangun hubungan antara indikator dengan variabel laten, yaitu hubungan refleksif, hubungan formatif, dan MIMIC (Multiple Effect Indicators for Multiple Causes). Model ini juga mendefinisikan bagaimana setiap blok indikator berhubungan dengan variabe latennya dengan persamaan sebagai berikut :

Dimana x dan y adalah indikator atau manifest variabel untuk variabel laten eksogen dan endogen dan , sedangkan dan merupakan matrik loading yang menggambarkan koefisien regresi sederhana yang menghubungkan variabel laten dengan indikatornya. Residual yang diukur dengan dan dapat diinterpretasikan sebagai kesalahan pengukuran atau noise.

(29)

13

Blok dengan indikator formatif dapat ditulis persamaannya sebagai berikut:

Dimana , dan y adalah indikator atau manifest variabel untuk variabel laten endogen dan eksogen. dan adalah koefisien regresi berganda dari variabel laten dan blok indikator. dan adalah residual dari regresi.

1. Hubungan Refleksif

Pada hubungan refleksif, indikator merupakan cerminan atau manifestasi dari variabel latennya, indikator Xjk diasumsikan sebagai

fungsi linier dari variabel latennya j.

dengan adalah koefisien loading dan adalah residual. Dengan asumsi E( = E( ) = 0 yang berarti bahwa residual memiliki rataan nol dan tidak berkorelasi dengan indikator. Sehingga,

Gambar 1 Diagram Jalur untuk Hubungan Refleksif

2. Hubungan Formatif

Pada bentuk hubungan formatif, perubahan konstruk variabel laten diakibatkan oleh perubahan indikator. Variabel laten diasumsikan sebagai fungsi linier dari indikatornya Xjk

Dengan asumsi : E( = E( = 0, sehingga .

(30)

14

Gambar 2 Diagram Jalur untuk Hubungan Formatif

3. MIMIC (Multiple Effect Indicators for Multiple Cases)

MIMIC merupakan gabungan dari model refleksif dan formatif. Berikut adalah gambar hubungan dari model MIMIC.

Gambar 3 Diagram Jalur untuk Model MIMIC

Dari Gambar 3 terlihat bahwa ada dua persamaan linier dalam model MIMIC, yaitu :

dan

Index h digunakan untuk indikator hubungan refleksif. Sedangkan index l digunakan untuk indikator hubungan formatif dan h + l = k.

Weight Relation

Hubungan antara variabel laten dan indikatornya telah dijelaskan melalui

outer model, namun disisi lain nilai sebenarnya dari suatu variabel laten tidak

mungkin didapatkan. Oleh karena itu diperlukan weight relation dimana nilai kasus untuk setiap variabel laten diestimasi dalam PLS sebagai berikut :

h

h

h

(31)

15

Dimana adalah penimbang yang digunakan untuk mengestimasi variabel laten sebagai kombinasi linier dari variabel manifesnya.

2. Algoritma PLS-PM

Ketika suatu model telah ditetapkan, langkah selanjutnya adalah melakukan estimasi dengan menggunakan algoritma PLS-PM. Algoritma PLS-PM terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama berupa proses iterasi regresi sederhana dan/atau regresi berganda yang memperhatikan hubungan yang terdapat pada inner model, outer

model dan weight relation. Hasil dari tahap ini berupa estimasi dari sekumpulan

penimbang yang digunakan untuk menghitung skor variabel laten sebagai kombinasi linear dari setiap variabel manifestnya. Ketika estimasi variabel laten telah ditetapkan, tahap kedua dan ketiga merupakan proses iterasi untuk menduga koefisien model struktural dan model pengukuran.

Algoritma PLS-PM :

Ketika suatu model telah ditetapkan, langkah selanjutnya adalah melakukan estimasi dengan menggunakan algoritma PLS-PM. Algoritma PLS-PM terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama berupa proses iterasi regresi sederhana dan/atau regresi berganda yang memperhatikan hubungan yang terdapat pada inner model, outer model, dan weight relation. Hasil dari tahap ini berupa estimasi dari sekumpulan penimbang yang digunakan untuk menghitung skor variabel laten sebagai kombinasi linier dari setiap variabel manifesnya. Ketika estimasi variabel laten telah didapatkan, tahap kedua dan ketiga adalah proses non-iterasi untuk menduga koefisien model struktural dan model pengukuran.

Tahap I :

Tujuan pada tahap ini adalah mendapatkan estimasi akhir untuk setiap variabel laten sebagai kombinasi linier (Yj) dari variabel manifes Xjk

dengan adalh outer weight yang diskalakan untuk memberikan Y

dengan menghitung penimbang melalui proses iterasi.

j varians

(32)

16

Tahap ini merupakan inti dari algoritma PLS-PM yang menghitung penimbang melalui mekanisme iterasi dengan memperhatikan hubungan yang telah dihipotesiskan pada model struktural maupun model pengukuran (Trujillo, 2009). Untuk setiap model terdapat pendekatan yang berbeda yaitu

outside approximation untuk model pengukuran, dan inside approximation

untuk model struktural.

Tahap 1.1 : Outside Approximation

Tahap ini disebut juga tahap estimasi eksternal. Ide dasar dari tahap ini adalah mendapatkan sekumpulan penimbang untuk mengestimasi sebuah variabel laten yang mampu menghitung sebanyak mungkin varians dari indikator-indikator yang digunakan dan konstruk yang dibangun. Pada tahap ini proses iterasi dimulai dengan sebuah pendekatan awal untuk setiap variabel laten sebagai kombinasi linier (atau agregat tertimbang) dari setiap variabel manifesnya.

dengan adalah outer weight. Menurut Chin (1999) dalam Trujillo (2009), peneliti bisa menggunakan penimbang-penimbang awal dengan nilai yang sama untuk mendapatkan pendekatan awal sebuah variabel laten berupa penjumlahan sederhana dari indikator-indikatornya.

Tahap 1.2 : Inside Approximation

Tahap ini disebut juga tahap estimasi internal. Tahap ini memperhatikan hubungan antar variabel laten dalam inner model untuk mendapatkan suatu pendekatan baru dari setiap variabel laten yang telah dihitung pada

outside approximation sebagai agregat tertimbang dari variabel laten

laiinya yang saling berdekatan. Hubungan antar variabel laten yang dihitung pada inner model hanyalah hubungan yang dibentuk ketika dua variabel laten dihubungkan oleh sebuah panah (bersifat rekursif).

Sehingga estimasi internal Zj

Dengan e

dari variabel laten dirumuskan dengan :

(33)

17

Tahap 1.3 : Updating Outer Weight

Dalam tahap inside approximation informasi yang terkandung di dalam

inner relations dimasukkan ke dalam proses estimasi variabel laten.

Ketika tahap inside approximation telah selesai, estimasi internal Zj

• Mode A

harus dilihat kembali hubungannya terhadap indikator-indikatornya. Hal ini dilakukan dengan melakukan updating outer weight. Dengan melihat hubungan yang terbentuk di dalam outer model, maka ada tiga cara melakukan updating outer weight yaitu :

Pada hubungan refleksif, setiap penimbang wjk adalah koefisien

regresi dari Zj pada regresi sederhana antara Xjk dan Zj

• Mode B

.

Pada hubungan formatif, Zj diregresikan pada blok indikator yang

terkait dengan konstruk laten , dan penimbang wjk

Sehingga w sebagai koefisien regresi. j Dengan X adalah :

j adalah matriks yang berisi manifes variabel Xjk dan

wj adalah faktor penimbang w

• Mode C

jk.

Hubungan MIMIC adalah gabungan dari hubungan refleksif dan formatif, sehinga koefisien jalur untuk sebanyak h variabel manifes pada hubungan refleksif diestimasi dengan sebuah regresi linier sederhana yaitu . Sedangkan koefisien jalur untuk sebanyak l variabel manifes yang terkait dengan hubungan formatif diduga dengan regresi linier berganda.

(34)

18

Tahap 1.4 : Pemeriksaan Konvergensi

Pada setiap tahap iterasi S = 1,2,3,...., konvergensi diperiksa dengan membandingkan nilai outer weight pada tahap iterasi ke-S dengan nilai

outer wieght pada tahap ke-(S-1). Wold (1982) dalam Trujillo (2009)

menyarankan batasan sebagai batas konvergensi. Jika telah konvergen, maka didapatkan nilai dugaan akhir variabel laten:

Tahap 2 dan 3 :

Tahap kedua dan ketiga meliputi perhitungan estimasi loading dan estimasi koefisien jalur untuk setiap inner model dan outer model. Untuk model struktural, koefisien jalur diduga dengan metode ordinary least square pada regresi berganda Yjdan Yi

Pada model pengukuran, estimasiloading tergantung dari hubungan yang dibangun. Pada hubungan refleksif, estimasi loading adalah koefisien regresi dari regresi linier sederhana Y

yang bersesuaian.

j terhadap Xjk

Pada model pengukuran dengan hubungan formatif, estimasi koefisien penimbang didapatkan bersamaan pada tahap pertama. Koefisien penimbang

sama dengan outer weight w

.

Secara ringkas tahapan algoritma dari PLS-PM dapat dilihat pada gambar berikut:

(35)

19

Gambar 4 Algoritma PLS-PM

3. Evaluasi Model PLS-PM

PLS-PM adalah model statistik yang terdiri dari model struktural dan model pengukuran. Dengan demikian evaluasi model pada PLS-PM terdiri dari dua tahap yaitu: (1) validasi untuk penaksiran model pengukuran, dan (2) evaluasi model struktural. Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan PLS-PM adalah tidak adanya suatu kriteria statistik yang mampu menilai secara keseluruhan kualitas sebuah model sehingga peneliti tidak mampu melakukan analisis inferensia untuk uji kelayakan model. Sebagai alternatif, uji non parametrik melalui metode

resamplingseperti jackknifing atau bootstrapping bisa digunakan pada penaksiran

kebaikan model yang dihasilkan.

Outside Approximation

Inside Approximation

Outer Weight

Konvergensi

Estimasi Akhir Variabel Laten

Estimasi Koefisien Jalur dan Loading

Ya Tidak

(36)

20

Validasi Model Pengukuran : Hubungan Refleksif

Pada model pengukuran dengan hubungan refleksif, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Yaitu (1) loading, (2) composite reability dan (3) Average

Variance Extacted (AVE).

• Loading

Nilai loading menunjukkan korelasi antara indikator dengan konstruk latennya. Indikator dengan nilai loading yang rendah menunjukkan bahwa indikator tersebut “tidak bekerja” pada model pengukurannya. Nilai loading sebuah indikator idealnya berada di atas 0,7. Namun indikator dengan nilai loading 0,5 – 0,6 masih bisa digunakan pada penelitian awal (Ghozali, 2008).

• Composite Reability (

Nilai Composite Reability ( mengukur konsistensi indikator-indikator yang digunakan dalam model pengukuran refleksif. Nilai yang tinggi menunjukkan konsistensi yang tinggi dari masing-masing indikator dalam mengukur konstruk latennya. Nilai dalam model pengukuran refleksif harus diatas 0,6 (Ghozali, 2008).

• Average Variance Extracted (AVE)

Average Variance Extracted (AVE) digunakan untuk mengukur

banyaknya varians yang dapat ditangkap oleh sebuah konstruk laten dibandingkan dengan variansi yang ditimbulkan oleh kesalahan pengukuran. Nilai AVE untuk variabel laten ke-j harus lebih besar dari 0,5 (Ghozali, 2008)

Validasi Model Pengukuran : Hubungan Formatif

Pada model pengukuran dengan hubungan formatif, outer wieght (penimbang) setiap indikator dibandingkan satu sama lain untuk menentukan indikator yang memberikan kontribusi terbesar dalam suatu konstruk. Pada α = 5% indikator dengan nilai penimbang yang kecil (t-statistik < 1,96) menunjukkan bahwa indikator tersebut secara signifikan tidak memberikan kontribusi dalam mengukur konstruk latennya. Namun, indikator tersebut tidak harus dieliminasi dari konstruknya. Eliminasi suatu indikator dari suatu

(37)

21

konstruk bisa dilakukan jika muncul multikolinearitas yang tinggi (VIF > 10) dalam konstruk tersebut (Trujillo, 2009).

Evaluasi Model Struktural

Evaluasi model struktural pada PLS-PM dilakukan dengan melihat signifikansi dari nilai inner weight (koefisien jalur) sebuah variabel laten. Pada α = 5% sebuah variabel laten eksogen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel laten endogen jika didapatkan nilai koefisien jalur dengan t-statistik lebih besar dari 1,96. Selain itu, kebaikan dari model struktural yang dihasilkan diukur melalui nilai koefisien determinasi R2. Pada PLS-PM nilai

R2 merupakan nilai koefisien determinasi untuk variabel laten endogen. Sehingga, untuk setiap regresi pada model struktural akan didapatkan sebuah nilai R2 (Trujillo, 2009). Nilai R2

Selain itu, kebaikan seluruh model struktural yang terbentuk, dinilai dengan koefisien determinasi total Q

menunjukkan seberapa besar keragaman pada variabel laten endogen yang mampu dijelaskan oleh variabel laten eksogen.

2

. Nilai Q2 menjelaskan keragaman pada

seluruh variabel laten tak bebas yang dapat dijelaskan oleh variabel laten bebasnya. Nilai Q2 berkisar antara 0 – 1. Semakin besar nilai Q2

dengan adalah koefisien determinasi untuk sebanyak p variabel laten endogen.

semakin banyak keragaman pada variabel laten endogen di model struktural yang dapat dijelaskan oleh variabel laten eksogennya.

Validasi dengan Metode Resampling

PLS-PM bukanlah metode statistik yang mengikuti suatu distribusi tertentu sehingga signifikansi dari estimasi parameternya tidak bisa diuji melalui uji statistik parametrik. Namun, pendekatan statistik non-parametrik bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai metode resampling seperti

jackknifing atau bootstrapping. Metode resampling dengan bootstrapping

lebih baik dibandingkan dengan metode resampling lainnya. Secara sederhana, prosedur bootstrapping adalah sebagai berikut :

(38)

22

- Sebanyak M kelompok sampel (replika) dibangun untuk kemudian didapatkan sebanyak M estimasi untuk setiap parameter pada model PLS-PM.

- Setiap replika memiliki ukuran sampel yang sama dengan banyaknya kasus yang ada pada dataset yang diperoleh dengan metode sampling

(39)

23

METODOLOGI

Metodo Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan mengacu pada indikator-indikator yang digunakan dalam pembuatan peta kerawanan pangan Indonesia yang disusun oleh Dewan Ketahanan Pangan RI.

Data tersebut berasal dari beberapa sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian. Data sekunder yang berasal dari BPS diperoleh dari Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2007, dan Statistik Potensi Desa 2008. Data yang berasal dari Kementerian Kesehatan adalah data hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 dan data mentah yang berasal dari Susenas 2007. Sedangkan data yang berasal dari Kementerian Pertanian adalah data klasifikasi kabupaten menurut tingkat kerawanan pangan yang berasal dari publikasi FSVA 2009.Rincian untuk masing-masing indikator yang digunakan tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Daftar Variabel dan Indikator

No. Variabel Indikator Sumber Tahun

1 Ketersediaan Pangan

- Konsumsi kalori per kapita per hari

- Konsumsi protein per kapita per hari

- Rasio antara produksi pangan terhadap konsumsi normatif penduduk (300 gr serelia per kapita per hari Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) dari Kementrian Kesehatan 2007 2 Akses Pangan - Persentase penduduk tidak miskin - Persentase rumah tangga yang menggunakan listrik

- Persentase desa yang memiliki akses jalan kendaraan roda empat - Persentase desa yang

memiliki akses pasar

Susenas Kor Susenas Kor Statistik Potensi Desa (PODES) Statistik Potensi Desa (PODES) 2007 2007 2008 2008

(40)

24

No. Variabel Indikator Sumber Tahun

3 Penyerapan Pangan

- Persentase rumah tangga yang menggunakan air dengan kualitas fisik air yang baik

- Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) dari Kementrian Kesehatan 2007 4 Ketahanan Pangan

- Persentase balita yang tidak mengalami kekurangan gizi (underweight)

- Persentase balita yang tidak mengalami kekurusan (stunting)

- Angka harapan hidup

Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) dari Kementrian Kesehatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2007 2007

Pengolahan data-data tersebut dilakukan dengan menggunakan beberapa software diantaranya MS EXCEL, SPSS 16.0, dan SmartPLS versi 2.0.

Metode Analisis

Secara garis besar, tahapan analisis data pada penelitian ini adalah : 1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan untuk mempermudah penafsiran data. Analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk memberikan gambaran umum variabel-variabel pada faktor ketersediaan, akses, penyerapan dan ketahanan pangan.

2. Analisis PLS-PM

Penelitian ini menggunakan metode analisis Partial Least Square Path

Modelling (PLS-PM) sebagai alat analisis inferensia. PLS-PM merupakan

metode statistik yang digunakan untuk analisis model struktural menggunakan variabel laten. PLS-PM tidak mengasumsikan sebaran peluang teoritis tertentu sehingga pengujian statistik dilakukan dengan metode

(41)

25

resampling seperti jackknifing atau bootstrapping. Namun PLS-PM

mengharuskan adanya hubungan yang rekursif, linier dan aditif antar variabel laten.

PLS-PM merupakan pendekatan alternatif model persamaan struktural (SEM) yang bertujuan untuk mendapatkan prediksi skor variabel laten.

Secara garis besar, tahap-tahap analisis data pada penelitian ini meliputi tahap deskripsi data dan tahap pemodelan. Tahap pemodelan dalam penelitian ini mengikuti tahap-tahap prosedur PLS-PM yang meliputi (a) Spesifikasi model, (b) Identifikasi, (c) dugaan, dan (d) Evaluasi model.

Pengembangan Diagram Jalur

Berdasarkan model teoritis selanjutnya dikembangkan konstruksi diagram jalur sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5.

(42)

26

Keterangan :

= Penduduk tidak miskin (Tdk_Miskin)

= Rumah tangga yang menggunakan Listrik (Ak-Listrik) = Akses jalan (Ak_Jalan)

= Akses pasar (Ak_Pasar)

= Rumah tangga yang menggunakan air dengan kualitas baik (Ak_Air) = Rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas kesehatan (Ak_Sehat) = Konsumsi Kalori (Kons_Kalori)

= Konsumsi Protein (Kons_Protein) =Rasio konsumsi normatif (Kons_Norm)

= Angka harapan hidup (AHH)

= Balita yang tidak underweight (Tdk_Under) = Balita yang tidak stunting (Tdk_Stunting)

Formulasi Model Jalur

Berdasarkan Gambar 5, maka dapat dibentuk beberapa model persamaan sebagai berikut :

- Model pengukuran variabel Laten dengan menggunakan hubungan refleksif Pada penelitian ini hanya ada satu variabel laten yang dibentuk dengan menggunakan hubungan refleksif yaitu variabel laten ketahanan pangan. Model pengukurannya sebagai berikut :

dengan :

= Angka harapan hidup (AHH)

= Balita yang tidak underweight (Tdk_Under) = Balita yang tidak stunting (Tdk_Stunting)

- Model pengukuran variabel Laten dengan menggunakan hubungan formatif Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel laten yang disajikan dalam bentuk hubungan formatif yaitu variabel laten ketersediaan pangan, akses pangan dan penyerapan pangan. Model pengukurannya sebagai berikut :

(43)

27

dengan :

= Penduduk tidak miskin (Tdk_Miskin)

= Rumah tangga yang menggunakan Listrik (Ak-Listrik) = Akses jalan (Ak_Jalan)

= Akses pasar (Ak_Pasar)

= Rumah tangga yang menggunakan air dengan kualitas baik (Ak_Air) = Rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas kesehatan (Ak_Sehat) = Konsumsi Kalori (Kons_Kalori)

= Konsumsi Protein (Kons_Protein) =Rasio konsumsi normatif (Kons_Norm) - Model Persamaan Struktural

Persamaan struktural dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Hipotesis

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka, diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut.

1. Akses pangan berpengaruh nyata dan positif terhadap penyerapan pangan. 2. Ketersediaan pangan berpengaruh nyata dan positif terhadap akses pangan.

(44)

28

3. Penyerapan pangan berpengaruh nyata dan positif terhadap ketahanan pangan.

4. Ketersediaan pangan berpengaruh nyata dan positif terhadap ketahanan pangan.

5. Ketersediaan pangan berpengaruh nyata dan positif terhadap penyerapan pangan.

(45)

29

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Data Indikator Ketahanan Pangan Indonesia

Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan faktor ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan penyerapan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan. Produksi dan ketersediaan pangan yang cukup di tingkat nasional dan provinsi tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Pangan mungkin tersedia dan dapat diakses namun sebagian anggota rumah tangga mungkin tidak mendapat manfaat secara maksimal apabila kelompok ini tidak memperoleh distribusi pangan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun keragaman atau apabila kondisi tubuh mereka tidak memungkinkan penyerapan makanan karena penyiapan makanan yang tidak tepat atau karena sedang sakit.

Untuk dapat melaksanakan intervensi yang terkait dengan ketahanan pangan dan gizi, Pemerintah Indonesia masih terus meningkatkan sarana untuk penentuan target intervensi sasaran secara geografis. Dengan adanya dukungan dari World Food Programme (WFP) yang memiliki pengalaman di bidang analisis dan pemetaan ketahanan pangan,maka pada tahun 2003 Dewan Ketahanan Pangan (DKP), yang diketuai oleh Presiden Republik Indonesia, dengansekretariat DKP yang berada di Badan Ketahanan Pangan (BKP), bekerjasama dengan WFP dalam pembuatan PetaKerawanan Pangan (FIA) tingkat nasional. FIA pertama di buat dan diluncurkan tahun 2005 dan mencakup 265 kabupaten di 30 provinsi. Atlas yang kedua dengan judul “Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA)” mencakup 346 Kabupaten di 32 provinsidiluncurkan pada akhir 2009.

Diantara 346 kabupaten tersebut ditetapkan 100 kabupaten dengan prioritas yang lebih tinggi rawan pangannya yang terdiri dari 30 kabupaten prioritas 1, 30 kabupaten prioritas 2 dan 40 kabupaten prioritas 3 dengan jumlah penduduk sekitar 25 juta. 246 kabupaten lainnya dikelompokkan menjadi prioritas 4-6 seperti pada lampiran 2. 100 kabupaten tersebut digolongkan ke dalam daerah rawan pangan dan 246 kabupaten digolongkan ke dalam daerah tahan pangan. Berdasarkan gambar 6 di bawah ini terlihat bahwa di tahun 2007 ada sebanyak

(46)

30

29% kabupaten yang mengalami rawan pangan dan 71% kabupaten yang tergolong tahan pangan.

Gambar 6 Persentase Kabupaten Menurut Status Ketahanan Pangan pada Tahun 2007

Pada penelitian ini yang dianalisis adalah 246 kabupaten yang masuk ke dalam prioritas 4-6 yaitu kabupaten yang tergolong tahan pangan, dengan pertimbangan bahwa kabupaten-kabupaten tersebut memiliki nilai indeks komposit ketahanan pangan (CFSI) paling kecil dengan asumsi bahwa semakin tinggi angka CFSI maka semakin tinggi tingkat kerentanannya. 246 kabupaten tersebut memiliki rank CFSI 1-246.

Analisis deskriptif indikator ketahanan pangan secara rinci disajikan pada Lampiran 3, terlihat indikator persentase penduduk tidak miskin rata-ratanya sudah lebih dari 80% sehingga dapat dikatakan bahwa 71% kabupaten yang tergolong tahan pangan memiliki rata-rata persentase penduduk tidak miskinnya di atas 80%. Indikator persentase desa yang memiliki akses jalan kendaraan roda empat, persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dan persentase desa yang memiliki akses pasar pada 246 kabupaten tahan pangan memiliki rata-rata di atas 90%.

Deskripsi indikator penyusun peubah laten akses pangan, penyerapan pangan, ketahanan pangan dan ketersediaan pangan dipaparkan dalam uraian berikut. Komponen akses pangan terdiri atas empat indikator, komponen penyerapan pangan terdiri atas dua indikator, komponen ketahanan pangan dan

71% 29%

Tahan Pangan Rawan Pangan

(47)

31

ketersediaan pangan terdiri atas tiga indikator dengan masing-masing indikator memiliki rentang skor antara 0 sampai 100.

Gambar 7 Diagram kotak garis indikator peubah laten akses pangan (a) dan penyerapan pangan (b)

Gambar7a dan Lampiran 3 menunjukkan bahwa secara umum, persentase penduduk tidak miskin dari seluruh kabupaten yang masuk kategori tahan pangan relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan tiga indikator yang lain. Hal

100 90 80 70 60 100 80 60 40 100 90 80 70 60 100 90 80 70 TDK_MISKIN AK_LISTRIK AK_JALAN AK_PASAR

Boxplot Indikator dari Akses Pangan

100 90 80 70 60 50 40 30 20 100 95 90 85 80 75 70 AK_AIR AK_SEHAT

Boxplot Indikator dari Penyerapan Pangan

a

b a

(48)

32

tersebut tampak jelas dari diagram kotak garis pada Gambar 7a. Apabila dilihat dari median tampak median persentase penduduk tidak miskin (Tdk_Miskin) sebesar 82.00, sedangkan median ketiga indikator yang lain diatas 90. Apabila dilihat dari nilai kuartil ketiga, nilai kuartil ketiga untuk Tdk_Miskin 87.49. sedangkan kuartil tiga untuk ketiga indikator yang lain di atas 97. Hal tersebut menunjukkan bahwa 75% data Tdk_Miskin mempunyai skor di bawah 87.49.

Dari Gambar 7b dan Lampiran 3 tampak bahwa persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan (AK_Sehat) lebih tinggi dibandingkan dengan persentase rumah tangga yang menggunakan air dengan kualitas baik (Ak_Air). Hal tersebut tampak dari nilai median dari Ak_Sehat diatas 95.00, sedangkan median dari Ak_Air hanya di atas 70.00. Tampak pada Gambar 7b, terdapat 5 kabupaten yang persentase Ak_sehatnya jauh dibawah kuartil satu.

Uji kenormalan Anderson-Darling pada tingkat kepercayaan 95% seperti terlihat pada Lampiran 5 menunjukkan pada beberapa indikator memiliki nilai-p lebih kecil dari 0,05 yang artinya bahwa sebaran data indikator-indikator tersebut tidak normal, kecuali untuk indikator angka harapan hidup dan persentase balita yang tidak mengalami kekurusan.

Validasi Model Pengukuran Refleksif Konstruk Ketahanan Pangan

Pada model pengukuran dengan menggunakan hubungan refleksif terdapat tiga kriteria untuk mengevaluasi model pengukuran yaitu :

• Loading

Nilai loading yang diperoleh untuk masing-masing indikator dalam peubah laten ketahanan pangan menunjukkan korelasi antara ketiga indikator dalam ketahanan pangan tersebutdengan kontruk latennya. Nilai loading ini digunakan untuk menguji validitas konvergen. Hasil evaluasi model dengan tiga indikator dalam ketahanan pangan tersaji pada Tabel 2.

(49)

33

Tabel 2 Nilai Loading indikator AHH, Tdk_Under dan Tdk_Stunting dalam Konstruk Ketahanan Pangan

Peubah Laten Indikator Nilai

Loading Kriteria

Ketahanan Pangan AHH Tdk_Under Tdk_Stunting 0,793 0,878 0,810 Valid Valid Valid

Tabel 2 tersebut terlihat bahwa nilai loading indikator AHH, Tdk_Under dan Tdk_Stunting dalam konstruk ketahanan pangan nilainya di atas 0,7, sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga indikator tersebut dapat digunakan dalam mengukur konstruk ketahanan pangan.

Pengujian validitas diskriminan dilakukan dengan menggunakan nilai cross

loading. Validitas diskriminan dari model pengukuran dengan hubungan

refleksif berguna untuk mengetahui apakah indikator pada tiap konstruk memiliki nilai yang lebih baik yaitu dengan membandingkan nilai indikator loading pada konstruk yang dituju harus lebih besar dibandingkan dengan konstruk yang lain. Hasil output cross loading disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Nilai cross loading indikator AHH, Tdk_Under dan Tdk_Stunting

dalam peubah Laten

Peubah Laten Indikator Nilai

Cross Loading

Ketahanan Pangan AHH Tdk_Under Tdk_Stunting

0,792 0,810 0,878 Ketersediaan Pangan AHH

Tdk_Under Tdk_Stunting

0,413 0,384 0,414 Akses Pangan AHH

Tdk_Under Tdk_Stunting

0,348 0,259 0,459 Penyerapan Pangan AHH

Tdk_Under Tdk_Stunting

0,414 0,378 0,461

Tabel 3 tersebut terlihat bahwa nilai cross loadingindikator AHH sebesar 0.777, indikator Tdk_Under sebesar 0.834 dan indikator Tdk_Stunting sebesar 0.870 dalam konstruk laten ketahanan pangan. Sedangkan nilai cross

loading ketiga indikator dalam kontruk ketersediaan pangan, akses pangan

(50)

34

bahwa korelasi konstruk ketahanan pangan dengan indikatornya lebih tinggi jika dibandingkan korelasi indikator AHH, Tdk_Under dan Tdk_stunting dengan konstruk ketersediaan pangan, akses pangan dan penyerapan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi indikator pada blok mereka lebih baik dibandingkan dengan indikator di blok lainnya.

• Composite reability

Composite reability mengukur konsistensi indikator-indikator yang

digunakan dalam model pengukuran refleksif. Dalam penelitian ini diperoleh nilai composite reability ( = 0,867. Nilai ini di atas 0,6 yang menunjukkan bahwa terdapat konsistensi yang tinggi dari indikator AHH, Tdk_Under dan Tdk_Stunting dalam mengukur konstruk laten ketahanan pangan.

• Average Variance Extracted (AVE)

Nilai ini digunakan untu mengukur banyaknya varians yang dapat ditangkap oleh sebuah konstruk laten dibandingkan dengan variansi yang ditimbulkan oleh kesalahan pengukuran. Dari hasil analisis diperoleh nilai AVE untuk konstruk ketahanan pangan sebesar 0,685, nilai ini lebih besar dari 0,5. Hal ini menunjukkan bahwa varians pada masing-masing indikator dalam konstruk ketahanan pangan yang dapat ditangkap oleh konstruk tersebut lebih banyak dibandingkan dengan varians yang diakibatkan oleh kesalahan pengukuran.

Validasi Model Pengukuran Formatif Konstruk Ketersediaan, Akses dan Penyerapan Pangan

Terdapat dua uji outer model untuk indikator formatif yaitu uji signifikansi nilai weight dan multikolinieritas. Dalam penelitian ini terdapat tiga konstruk dengan indikator formatif yaitu ketersediaan pangan, akses pangan dan penyerapan pangan. Hasil analisis untuk validasi model pengukuran formatif disajikan pada Tabel 4 berikut.

Gambar

Gambar 1 Diagram Jalur untuk Hubungan Refleksif  2.  Hubungan Formatif
Gambar 2 Diagram Jalur untuk Hubungan Formatif  3.  MIMIC (Multiple Effect Indicators for Multiple Cases)
Gambar 4  Algoritma PLS-PM  3.  Evaluasi Model PLS-PM
Tabel 1 Daftar Variabel dan Indikator
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana memprediksi waktu ketahanan hidup pasien penyakit jantung koroner dengan memperhatikan peubah gen, jenis

Saran yang dapat digunakan pada penelitian selanjutnya mengenai pengembangan model berbasis agen untuk sistem ketahanan pangan pada sektor pertanian jagung adalah

struktural ( inner model ), yaitu merancang model struktural hubungan antar variabel laten didasarkan pada rumusan masalah atau

Model regresi probit ordinal terbaik yang didapatkan berdasarkan hasil analisis pemodelan ketahanan pangan di Indonesia adalah dengan menggunakan 5 variabel prediktor

Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap indikator-indikator kerawanan pangan di 100 Kabupaten rawan pangan Indonesia tahun 2010 menggunakan

(PLS) dalam membentuk model struktural yang diterapkan pada kasus kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur tahun 2011, dimana variabel laten endogen yang digunakan

Hasil penelitian tentang pemodelan persamaan structural dengan partial least square pada derajat kesejahteraan provinsi Sulawesi Selatan diperoleh model

Model terbaik yang didapatkan untuk memodelkan ketahanan pangan pada kota di Indonesia ialah model regresi probit ordinal dengan lima variabel prediktor yang berpengaruh