• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PEMATANGAN GONAD INDUK UDANG WINDU, Penaeus monodon Fab

DENGAN PAKAN CACING LAUT DAN MOIST PELET

Samuel Lante*, Andi Parenrengi dan Syarifuddin Tonnek

Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan *Penulis untuk korespondensi, E-mail: samuellante98@yahoo.co.id Abstrak

Udang windu Penaeus monodon merupakan salah satu komoditas ekspor perikanan yang sampai saat ini terus dibenihkan. Untuk mendapatkan benih yang berkualitas maka penggunaan pakan yang bermutu baik selama pematangan gonad akan menghasilkan telur dan larva yang baik pula. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pakan cacing laut dan moist pellet terhadap pematangan gonad udang windu. Hewan uji yang digunakan adalah induk udang windu yang berukuran 133,9+22,0 g, yang diperoleh dari nelayan di perairan Selat Makassar, Sulawesi Selatan. Wadah pemeliharaan induk adalah 3 (tiga) buah bak beton volume 3,0 m3. Induk terlebih dahulu diadaptasikan dengan wadah dan pakan moist pellet selama 2 (dua) minggu sebelum diberi perlakuan. Perlakuan yang diterapkan adalah: cacing laut 100%, cacing laut 50% + moist pellet 50%, dan moist pellet 100%. Jumlah hewan uji setiap perlakuan adalah 20 ekor dengan rasio jantan dan betina 1:1 (10 ekor induk betina dan 10 ekor induk jantan). Untuk mempercepat pematangan gonad maka semua induk betina di ablasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan pakan cacing laut 100% diperoleh daya tetas telur 78,61% dan cacing laut 50% + moist pellet 50% adalah 75,55%, sedangkan dengan pakan moist pellet 100% induk udang hanya mencapai tingkat kematangan gonad I. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa dengan penggunaan pakan cacing laut 100% atau kombinasi cacing laut 50% + moist pellet 50% didapatkan tingkat kematangan gonad dan daya tetas telur udang windu yang sama.

Kata kunci: cacing laut, daya tetas telur, moist pellet, udang windu Pengantar

Udang windu (Penaeus monodon Fab) merupakan salah satu komoditas perikanan yang menghasilkan devisa Negara. Upaya yang dilakukan untuk tetap menghasilkan devisa Negara melalui peningkatan produksi udang windu di tambak. Untuk menunjang peningkatan produksi udang windu maka aspek yang perlu dilakukan adalah mendapatkan induk udang yang baik untuk menghasilkan benih yang berkualitas. Benih udang windu yang dihasilkan dari pembenihan, kualitas dan kuantitasnya bergantung pada kualitas induk. Selama ini pengelola pembenihan di Sulawesi Selatan lebih suka menggunakan induk asal Aceh karena ukurannya lebih besar, jumlah telur lebih tinggi, dan kualitas naupliusnya baik. Untuk mengatasi ketergantungan induk asal Aceh yang harganya semakin mahal dan resiko kematian selama pengangkutan tinggi sekitar 70-80% (Soleh & Soegiarto, 1994). Perairan di sekitar propinsi Sulawesi Selatan seperti perairan Takalar, Pinrang dan Majene (Selat Makassar) serta Teluk Bone (perairan Siwa) merupakan lokasi sumber induk udang windu yang mempunyai potensi reproduksi yang baik. Oleh karena itu, penggunaan induk udang windu lokal untuk pembenihan perlu dilakukan dengan meningkatkan kualitasnya.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas induk udang windu lokal adalah dengan pemberian pakan yang berkualitas pada proses pematangan gonadnya. Primavera (1984) menyatakan bahwa pemberian pakan merupakan salah satu pendekatan untuk memacu pematangan gonad udang. Pakan cumi-cumi segar, udang kecil, dan kerang-kerangan merupakan faktor kunci keberhasilan proses pematangan gonad udang windu (Trijoko et al., 1993; Lante et al., 1993; Makinouchi, 1995). Selanjutnya penggunaan ikan segar, cumi-cumi segar dan kepiting segar terhadap pematangan gonad dan pemijahan udang pama oleh, Aktas & Kumlu (Aktas & Kumlu, 1999; 2005). Demikian pula penggunaan cumi segar, kerang darah, kerang hijau dan cacing laut pada pematangan gonad udang pama, oleh Wardana et al. (2005). Menurut Haryati et al. (2009) bahwa cacing laut merupakan jenis pakan

(2)

segar yang paling disukai udang windu. Disamping itu cacing laut mengandung kadar hormon prostaglandin yang tinggi yang merupakan pendorong dalam proses percepatan pematangan gonad udang penaeid (Ramu. 2001). Selanjutnya Haryati et al. (2009) menyatakan bahwa cacing laut miliki kandungan hormon prostaglandin lebih tinggi dari cumi-cumi, kerang gelonia dan rajungan, demikian pula cacing laut memiliki kandungan β karoten lebih tinggi dari β

karoten cumi-cumi, kerang gelonia dan rajungan. β karoten adalah merupakan provitamin A. Dalam tubuh udang β karoten dapat dikonversi menjadi vitamin A. Vitamin A bertanggungjawab dalam transport kalsium melalui sejumlah membran dalam proses reproduksi dan perkembangan embrionik dengan menjaga integritas membran sel maupun subselular (Haryati et al., 2009).

Akhir-akhir ini suplai cacing laut dari nelayan mulai menurun dan sangat dipengaruhi oleh musim, mengakibatkan harganya semakin mahal, sehingga perlu diupayakan pakan pengganti cacing seperti pakan buatan. Salah satu produk pakan buatan yang telah tersedia dan dijual secara komersial adalah moist pellet yang memiliki kadar protein 50% yang bersumber dari protein asal laut, lemak 10%, serat 4% dan kadar air 12%, namun informasi penggunaan pakan moist pellet atau kombinasi pakan moist pellet dengan cacing laut terhadap pematangan gonad dan pemijahan udang windu masih perlu dikaji. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pakan cacing laut dan moist pellet terhadap pematangan gonad dan pemijahan udang windu. Hasil yang diperoleh diharapkan memberikan gambaran informasi tentang pematangan gonad dan pemijahan udang windu dengan menggunakan pakan moist pellet komersial sebagai pakan subsitusi pakan cacing laut segar yang semakin menurun dalam rangka menunjang pembenihan udang windu dimasa yang akan datang.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan di Instalasi Pembenihan Barru, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros. Hewan uji yang digunakan adalah udang windu berukuran 133,9 + 22,0 g, yang diperoleh dari perairan Selat Makassar, Sulawesi Selatan. Wadah yang digunakan adalah 3 (tiga) buah bak beton volume 3,0 m3. Selanjutnya induk terlebih dahulu diadaptasikan dengan wadah dan pakan moist pellet komersial selama 2 (dua) minggu. Perlakuan yang diterapkan adalah: cacing laut 100%, cacing laut 50% + moist pellet 50%, dan moist pellet 100%. Jumlah induk setiap perlakuan adalah 20 ekor dengan rasio jantan dan betina 1:1 (10 ekor induk betina dan 10 ekor induk jantan). Untuk mempercepat pematangan gonad maka semua induk betina di ablasi. Dosis pakan pada penelitian ini didasarkan pada bahan kering pakan. Persentase pemberian pakan adalah 2 % dari total biomassa udang, dengan frekuensi pemberian pakan tiga kali/hari yaitu: 40% pagi, 30% siang, dan 30% pada malam hari. Parameter biologis yang diamati meliputi perkembangan gonad, jumlah telur, diameter telur, dan daya tetas telur. Pengamatan induk matang gonad dilakukan setelah 3-4 hari ablasi, pada setiap pukul 17.00-18.00 WITA. Tingkat perkembangan gonad terekspresi dari gambaran gonad di bawah karapas bagian dorsal tubuh udang. Gambaran mikroanatomi dilakukan dengan pembuatan preparat melalui fiksasi gonad dalam larutan davidson dan metode paraffin serta pewarnaan Haematoxylin Erlich-Eosin (HE). Untuk menghitung jumlah telur dilakukan dengan cara volumetri dengan mengambil sampel 100 mL air berisi telur sebanyak tiga kali. Jumlah telur rata-rata yang diperoleh dikonversi ke total volume air dalam bak pemijahan. Selanjutnya pengamatan diameter telur dengan cara menempatkan telur pada obyek gelas dan diletakkan pada mikroskop yang sudah dilengkapi dengan mikrometer. Sedangkan untuk mendapatkan daya tetas telur dengan cara menghitung total nauplii dibagi total telur yang tidak menetas di kali 100%. Sebagai data penunjang dilakukan pengamatan kualitas air meliputi: suhu, salnitas, pH dan oksigen terlarut. Data tingkat kematangan gonad, jumlah telur, diameter telur, daya tetas telur, dan kualitas air disajikan secara tabulasi dan dianalisa secara deskriptif.

Hasil dan Pembahasan

Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Hasil pengamatan terhadap tingkat kematangan gonad (TKG) mengacu pada udang windu yang dikembangkan (Motoh, 1981) yaitu ovari kategori stage III atau IV dipindahkan ke bak pemijahan. Hasil pengamatan kematangan gonad udang windu disajikan pada Tabel 1.

(3)

Tabel 1. Pengamatan tingkat kematangan gonad udang windu selama penelitian. Perlakuan Jumah induk

betina (ekor) Tingkat kematangan gonad Persentase kematangan gonad (%) 0 I II III IV Cacing laut 100% 10 5 - 1 - 4 40 Cacing laut 50% + Moist

pellet 50%

10 5 1 - - 4 40 Moist pellet 100% 10 7 3 - - - 0

Tabel 1 menunjukkan bahwa dengan pemberian cacing laut 100% diperoleh 1 ekor induk mengalami perkembangan gonad II dan 4 ekor mengalami perkembangan gonad sampai tingkat IV. Selanjutnya dengan pemberian cacing laut 50% + moist pellet 50% didapatkan 1 ekor induk mencapai tingkat kematangan gonad I dan 4 ekor mencapai kematangan gonad IV. Sedangkan dengan perlakuan pakan moist pellet 100% diperoleh 3 ekor induk mengalami perkembangan gonad I dan setelah itu tidak berkembang tetapi gonadnya diserap kembali (Gambar 1). Kanazawa (1982) menyatakan bahwa kualitas pakan yang diberikan pada induk berpengaruh terhadap perkembangan gonad, jumlah telur dan kualitas telur yang dihasilkan. Hasil pengamatan terhadap perkembangan gonad melalui mikroanatomi menunjukkan bahwa tingkat kematangan gonad terjadi secara sempurna pada induk udang windu yang diberi pakan cacing laut 100% dan kombinasi cacing laut 50 % + moist pellet 50% disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Gambaran mikroanatomi tingkat kematangan gonad udang P. Monodon pada gonad dengan tingkat kematangan I, II, III, dan IV.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dengan pemberian pakan cacing laut 100% dan kombinasi cacing laut 50% + moist pellet 50% jumlah induk matang gonad sama yaitu 40%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pakan moist pellet dapat digunakan untuk mensubsitusi pakan cacing laut sampai 50% pada pematangan dan pemijahan induk udang windu. Hasil análisis proksimat pakan cacing laut, kombinasi cacing laut 50% + moist pellet 50% dan moist pellet disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi proksimat cacing laut, cacing laut 50 % + moist pellet 50 % dan moist pellet 100 %. Perlakuan Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar abu (%) Kadar serat (%) Kadar air (%) Cacing laut 100% 62,74 6,92 12,01 10,92 12,73 Cacing laut 50% + Moist pellet 50% 56,60 6,07 10,91 8,02 10,96 Moist pellet 100% 50,46 5,21 8,36 5,11 9,19 Sumber: Analisis laboratorium BPPBAP Maros

Tabel 2 memperlihatkan bahwa nutrient pakan moist pellet 100% memiliki kadar protein, lemak, abu, serat kasar dan air yang lebih rendah dari pakan cacing laut dan kombinasi cacing laut dan moist pellet. Pakan cacing laut dimanfaatkan dengan baik oleh udang. Hal ini terbukti dengan pemberian cacing laut 100% dimanfaatkan kurang dari 1 jam. Selanjutnya kombinasi cacing laut 50% + moist pellet 50% dimakan kurang dari 2 jam, sedangkan pakan moist pellet 100%, induk udang membutuhkan waktu makan lebih lama berkisar 3-4 jam, Meskipun protein moist pellet protein dan lemak bersumber dari tumbuhan laut dan gabungan

Belum

(4)

sumber bahan lain seperti tepung jagung, algae, ragi, lecitihin, minerals, vitamin dan antioksidant. Haryati et al. (2009) menyatakan bahwa cacing laut merupakan jenis pakan segar yang paling disukai oleh udang windu, kemudian diikuti cumi-cumi dan kerang gelonia. Jumlah induk matang dan memijah pada perlakuan cacing laut 50% + moist pellet 50% adalah sama, hal ini disebabkan cacing laut mengandung kadar hormon prostaglandin yang tinggi yang merupakan pendorong dalam proses percepatan pematangan gonad udang penaeid (Ramu, 2001). Selanjutnya Haryati et al. (2009) menyatakan bahwa cacing laut miliki kandungan hormon prostaglandin sebesar 152 lebih tinggi dari cumi-cumi, kerang gelonia dan rajungan berturut-turut (86,2; 120,4; dan 112,5) demikian pula kandungan β karoten cacing laut (0,255) lebih tinggi dari β karoten cumi-cumi, kerang gelonia dan rajungan masing-masing (0,005, 0,15 dan 0,251). β karoten adalah merupakan provitamin A. Dalam tubuh udang β karoten dapat dikonversi menjadi vitamin A. Vitamin A bertanggungjawab dalam transpor kalsium melalui sejumlah membran dalam proses reproduksi dan perkembangan embrionik dengan menjaga integritas membran sel maupun subselular (Haryati et al., 2009).

Pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa respon udang windu terhadap cacing laut lebih cepat dari pada respon udang terhadap pakan moist pellet. Udang windu segera menangkap cacing laut yang diberikan setelah menyentuh permukaan air. Hal yang sama pada udang pama Penaeus semisulcatus segera menangkap cacing laut yang diberikan setelah menyentuh permukaan air (Lante et al., 2009). Hal ini disebabkan bahwa cacing laut mengandung kadar hormon prostaglandin yang tinggi yang merupakan pendorong dalam proses percepatan pematangan gonad udang penaeid (Ramu, 2001). Cacing laut juga mengandung highly unsaturated faatyacid (HUFA) yaitu asam amino essensial yang dibutuhkan selama proses pematangan gonad udang, Yong Seok Kian et al. (2004). Selanjutnya dikatakan bahwa pertumbuhan dan pematangan gonad udang windu lebih baik jika diberi pakan campuran cumi-cumi 30% + kerang 25% + ikan segar 25 % + cacing laut 20% dari pada pemberian pakan segar tanpa penambahan cacing laut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa respon udang windu terhadap cacing laut sangat cepat dari pada moist pellet. Haryati et al. (2009) menyatakan bahwa cacing laut merupakan jenis pakan segar yang paling disukai udang windu, dan miliki kandungan hormon prostaglandin lebih tinggi dari cumi-cumi, kerang gelonia dan rajungan, demikian pula cacing laut memiliki kandungan β karoten lebih tinggi dari

β karoten cumi-cumi, kerang gelonia dan rajungan. β karoten adalah merupakan provitamin A. Dalam tubuh udang β karoten dapat dikonversi menjadi vitamin A. Vitamin A bertanggungjawab dalam transport kalsium melalui sejumlah membran dalam proses reproduksi dan perkembangan embrionik dengan menjaga integritas membran sel maupun subselular (Haryati et al., 2009). Hasil pengamatan bobot induk, jumlah, diameter, dan daya tetas telur udang windu selama penelitian disajikan pada Tabel 3.

Jumlah Telur dan Diameter Telur

Jumlah telur yang diperoleh selama penelitian menunjukkan bahwa dengan pakan cacing laut 100% diperoleh rata-rata jumlah telur (426.980 butir) dari rata-rata bobot induk 113,7 + 16,88 g. Pada perlakuan cacing laut 50% + moist pellet 50% rata-rata jumlah telur adalah 445.850 butir, dari rata-rata bobot induk 113,9 + 21,93 g. Sedangkan pada pakan moist pellet 100 % tidak diperoleh induk bertelur (Tabel 3). Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa jumlah telur yang dihasilkan dari satu ekor induk tergantung ukuran induk. Semakin besar ukuran induk udang ada kecenderungan semakin banyak jumlah telur yang dihasilkan (Motoh 1981; Nurdjana 1985). Yong Seok Kian et al. (2004) menyatakan bahwa udang windu lebih cepat tumbuh jika diberikan pakan segar dari pada pakan pellet. Jumlah telur yang diperoleh pada penelitian ini relatif sama dengan jumlah telur udang windu berkisar 353.195-571.612 butir (Tridjoko et al., 1991) namun lebih tinggi dari jumlah telur induk udang windu asal lingkungan budidaya yang berbeda berkisar 95.826-111.328 butir (Alit et al., 1998).

Hasil pengamatan terhadap diameter telur menunjukkan bahwa diameter telur yang diperoleh pada pakan cacing laut 100 % adalah 290,9 + 6,35 µm lebih besar dari diameter telur udang dengan cacing laut 50 % + moist pellet 50 % yaitu 289,3 + 14,66 µm. Diameter telur sangat menentukan jumlah telur yaitu dengan diameter telur lebih kecil diperoleh jumlah telur lebih banyak dibandingkan diameter telur yang lebih besar. Diameter telur yang diperoleh pada penelitian ini lebih besar dari diameter telur udang windu tanpa ablasi yaitu 265 µm, Nurjana (1985), namun relatif sama dengan diameter telur udang windu yang diperoloeh, Lante et al. (1993) dan Alit et al. (1998), namun berbeda dengan dimaeter telur udang windu berkisar

(5)

231-239 µm (Haryati et al., 2009) dan diameter telur udang windu ablasi asal tambak berkisar 212,7-321,0 µm (Lante, 2003). Selanjutnya kualitas telur berpengaruh terhadap daya tetas telur dan kelangsungan hidup larva yang dihasilkan (Yano, 1988).

Tabel 3. Bobot tubuh, jumlah, diameter, daya tetas telur dan jumlah naupli dengan pakan berbeda selama penelitian.

Parameter Perlakuan

Cacing laut 100% Cacing laut 50% + moist pellet 50% moist pellet 100% Induk jantan Bobot (g) Panjang total (cm) 113,7 + 16,88 23,22 + 1,03 113,9 + 21,93 21,86 + 0,86 108,5 + 18,87 22,22 + 2,97 Induk betina Bobot (g) Panjang (cm)

Jumlah memijah (ekor) Jumlah telur (butir) Diameter Telur (µm) Jumlah naupli (ekor) Daya tetasTelur (%) 64,2 + 8,68 19,23+ 0,85 4 426.980+222.035 290,9 + 6,35 356.662 + 296.895 75,55 + 11,29 62,7 + 3,74 19,00 + 0,26 4 445.850 + 358.175 289,3 + 14,66 331.369 + 191.861 78,61 + 6,51 62,6 + 6,83 18,40 + 0,84 - - - - - Daya Tetas Telur

Hasil pengamatan daya tetas telur menunjukkan bahwa dengan cacing laut 100 % memberikan daya tetas telur lebih rendah (75,55 %) dari pada dya tetas telur udang yang diberi pakan cacing laut 50 % + moist pellet 50 % yaitu 78,61%. Daya tetas telur udang perlakuan cacing laut 100 % yang diperoleh pada penelitian ini masih lebih tinggi dari pada daya tetas telur udang pama dengan pakan cacing laut 100 % yaitu 59,17%, Lante et al. (2009). Daya tetas telur udang sangat tergantung pada kualitas spermatozoa (jumlah dan normalitas spermatozoa) yang diproduksi oleh induk jantan. Jumlah sperma semakin banyak dengan meningkatnya bobot udang, dengan bobot udang yang lebih besar udang berpotensi menghasilkan sperma yang lebih banyak (Alfaro, 1993; Lante et al., 1998). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa penggunaan pakan cacing laut 100% atau kombinasi cacing laut 50% + moist pellet 50 % mampu memacu pematangan gonad udang windu sampai 40 % dengan jumlah telur dan dasya tetas telur yang baik.

Pengamatan interval moulting udang windu pada semua perlakuan selama penelitian berkisar 10-20 hari, relatif sama dengan interval moulting 16,57 + 2,87 yang dilaporkan (Aktas & Kumlu, 1999). Selanjutnya nilai kualitas air yang diamati selama penelitian meliputi suhu berkisar: 27,0-28,5oC, salinitas: 33,0-34,0 ppt, pH: 7,70-8,50 dan oksigen terlarut : 4,30-6,50 mg/l, memperlihatkan bahawa secara umum kisaran parameter tersebut masih berada pada kriteria pematangan gonad udang windu.

Kesimpulan dan Saran

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

Penggunaan pakan cacing laut 100 % dan kombinasi cacing laut 50% + moist pellet 50% pada pematangan gonad induk udang windu memberikan persentase kematangan gonad, jumlah telur, diameter telur, dan daya tetas telur yang relatif sama. Di sarankan melakukan penelitian lanjutan kombinasi pakan segar cacing laut, cumi dan kerang dengan moist pellet untuk mendapatkan kombinasi optimal dan efisien antara pakan segar dan moist pellet untuk mensubstitusi pakan segar pada pematangan gonad induk udang windu.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih kami disampaikan kepada Hamzah dan Wendi Santiajinata teknisi pemuliabiakan dan genetika Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau atas bantuannya selama penelitian. Penelitian ini dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja

(6)

Negara (APBN) Tahun 2011 pada Tolok Ukur Riset Bioteknologi, Pemuliabiakan dan Genetika udang.

Daftar Pustaka

Alit, A.A., S. Lante, Haryanti & S. Tsumura. 1998. Pematangan gonad induk udang windu (Penaeus monodon Fab.) asal lingkungan budidaya yang berbeda. Prosiding Perkembangan terakhir teknologi budidaya pantai untuk mendukung pemulihan ekonomi Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency JICA ATA-379. p 113-118.

Alfaro, J. 1993. Reproductive quality evaluation of male Penaeus stylirostris from grow-out pond. Journal of the world Aquaculture Society, 24(1): 6-11.

Aktas, M. & M. Kumlu. 1999. Gonadal maturation and spawning of Penaeus semisulcatus (Penaeidae: Decapoda). Journal of Zoology, Turkey 23: 61-65.

Aktas, M. & M. Kumlu. 2005. Gonadal maturation and spawning of Penaeus semisulcatus de Hann, 1844 by Hormone Injection. Journal of Zoology, Turkey 23:61-65.

Haryati, E., Saade & Zainuddin. 2009. Penampilan reproduksi induk udang windu (Penaeus monodon Fab.) yang diberi berbagai kombinasi pakan segar. Prosiding Forum Inovasi Akuakultur, p 885-893.

Kanazawa, A. 1982. Control of the ovarían maturation and spawning of aquatic animal. Suisanzoshoku series. No. 39. Tokyo, Japan.

Lante, S., Tridjoko, T. Sutarmat, T.H. Hutapea & S. Makinouchi. 1993. Pengaruh tingkat salinitas terhadap pematangan gonad dan pemijahan induk udang windu, Penaeus monodon asal tambak. Jurnal. Penel. Budidaya Pantai. 9(2) 9-16.

Lante, S. 1998. Keragaan spermatofora udang windu (Penaeus monodon) asal tambak dengan tekstur tanah dasar berbeda. Prosiding Perkembangan terakhir teknologi budidaya pantai untuk mendukung pemulihan ekonomi Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency JICA ATA-379. p 104-107.

Lante, S. 2003. Pematangan gonad induk udang windu (Penaeus monodon Fab) asal tambak dengan metode ablasi. Jurnal Biosfera, 20 (2):50-55.

Lante, S., A. Parenrengi & Sulaeman. 2007. Pematangan gonad udang pama Penaeus semisulcatus dengan pemberian pakan segar yang berbeda di keramba jaring apung. Prosiding Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. Balai besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, p 501-508.

Lante, S., A. Parenrengi & Sulaeman. 2009. Pematangan gonad udang pama Penaeus semisulcatus dengan dosis pakan segar yang berbeda. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, p 179-184.

Makinouchi, S. 1995. Effects of different male situations on maturation, spawning, mating and hatchery of wild Penaeus monodon, Suisanzoshoku 43(1) 109-118.

Motoh. H. 1981. Studies on the fisheries biology of the giant tiger prawn Penaeus monodon in the Philippines. Aquaculture Departement, Southeast Asian Fisheries Development Center. Tigbauan, Ilo-Ilo Philippines.112 p.

(7)

Nurdjana, M.L. 1985. Pengaruh ablasi mata terhadap perkembangan telur dan embryo serta kualitas larva udang windu (Penaeues monodon Fab.). Disertasi. Pasca Sarjana, Universita Gadjah Mada, Yogyakarta. p.470.

Primavera, J.H. 1984. A Review of maturation and reproduction in closed thelicum penaeids. Proceeding of the first International conference on the culture of Penaeid prawns/shrimps, Iloilo City, Philippines. SEAFDEC Aquaculture. 47-64 p.

Ramu. 2001. Worm culture’s important role. International File. Fish Farmer vol. 15. No.1. Ashington, 39 pp.

Soleh, M. & Soegiarto. 1994. Pengamatan pematangan telur induk udang windu yang berasal dari berbagai perairan. Laporan Tahunan Balai Budidaya Air Payau Jepara, 1993-1994. Soyel, H.I & Kumlu.M. 2003. The effects of salinity on postlarval geowth and survival of Penaeus

semisulcatus (Decapoda: Penaeidae). Faculty of Fisheries, Cukurova University, 01330 Balcali, Adana – Turkey. Turk. J. Zool. 27:221-225.

Tridjoko, T. Ruchimat, T. Sutarmat, A. Ishikawa, I. Yano, Z.I. Azwar, & K. Sugama. 1991. Pengaruh lama penyinaran terhadap pematangan gonad udang windu, Penaeus monodon. J. Penel. Budidaya Pantai, 7(1):1-9.

Tridjoko, T. Sutarmat, T. Ruchimat & S. Lante. 1993. Pengaruh jenis pakan segar terhadap perkembangan gonad udang windu, Penaeus monodon. Jurnal. Penel. Budidaya Pantai 9(2):23-30.

Wardana. B., Haryanti & G.N. Permana. 2005. Kajian biologi dan pembenihan udang Penaeus semisulcatus dengan management probiotik Alteromonas BY-9. Laporan Teknis Balai besar Riset Budidaya Laut Gondol bali. 19 hal.

Yong Seok Kian. A., S. Mustafa & R.A. Rahman. 2004. Use of enriched live prey in promoting growth and maturation of tiger shrimp (Penaeus monodon). NAGA, WorldFish Center Quarterly 27 No 1&2 Jan-Jun: 55-59.

Yano. I., B. Tsukimura, J.N. Sweney, & J.A. Wyban. 1988. Induced ovarium maturation of Penaeus vannamei by Implantation of lobster ganglion. Jurnal World Aquacult. Soc. 19(4):204-209.

Tanya Jawab Penanya : Arif

Pertanyaan : Bagaimana cara menghitung dan menetaskan telur udang?

Jawaban : Dengan cara sampling, pemijahan, pematangan, dibersihkan telurnya. Sampling dihitung kemudian dibagi rata – rata volume air.

Penanya : Trijoko

Pertanyaan : Perlakuan 2 apakah diaplikasikan di Hatchery?

Jawaban : Iya, menggunakan cacing laut sebagai pakan untuk mempercepat kematangan gonad.

Penanya : Sukarman

(8)

Jawaban : Dengan cara volumetric dengan melakukan sampling telur sebanyak 3-5 kali, kemudian dihitung jumlah telur/ sampling kemudian di rata-rata dan dikalikan dengan total volume bak pemijahan.

Penanya : Sukarman

Pertanyaan : Bagaimana cara menetaskan telur udang windu?

Jawaban : untuk menetaskan telur udang windu dengan melakukan TKG yaitu TKG IV yang dipindah ke bak pemijahan.

Penanya : Dian Oktaviani

Pertanyaan : Apakah cacing laut di manfaatkan secara berlebihan sehingga dibutuhkan pakan substitusi (Moist pellet).

Jawaban : Hasil survey kami di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa penggunaan pakan cacing laut semakin meningkat sehingga perlu adanya pakan substitusi yaitu moist pellet.

Penanya : Ikhsan Khasani

Pertanyaan : Komposisi pakan/proksimat dalam moist pellet tidak sampai 100%? Jawaban : Kami akan melihat data yang kami miliki untuk memastikan proksimatnya. Penanya : Trijoko

Pertanyaan : Apakah moist pellet sudah dikembangkan pada udang secara berkelanjutan? Jawaban : Sudah di kembangkan dalam skala laboratorium, penelitan kami menunjukkan

moist pellet dapat dikembangkan dengan mengkombinasikan dengan pakan segar.

Gambar

Tabel 1. Pengamatan tingkat kematangan gonad udang windu selama penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

UD Wana Lestari mengekspor produk moulding (kayu olahan) Penjualan ekspor tersebut dilengkapi dengan dokumen angkutan yang sah berupa PEB (Pemberitahuan Ekspor

Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Katingan untuk periode 1 (satu)

02 Tahun 2004 : Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur yang membahas tentang pelayanan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia bekerja diluar negeri.. Fiqh

wawancara tersebut, “Yang mengajari bermain pasar-pasaran mbak saya, saya disuruh jadi pembeli” (FCP. Perbedaan peran yang diperankan dalam bermain tradisional

Dalam upaya meningkatkan kedudukan, peran, kualitas perempuan, dan kesetaraan gender, serta penjaminan terhadap pemenuhan hak-hak anak dalam kehidupan berkeluarga,

Dapat ditarik kesimpulan, pengalaman ketiga subjek dalam melakukan kontemplasi adalah memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan dan dalam kehidupannya terpancar kehidupan

Model matematika yang terbentuk dapat digunakan dalam perancangan reaktor kolom tunggal untuk proses dekafeinasi, memprediksi waktu dan laju proses dekafeinasi biji

Pada penelitian yang dilakukan di habitat bagian selatan dan utara Autralia menunjukkan bahwa dalam lambung atau mulut penyu hijau ditemukan banyak daun muda dibandingkan