• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Money Laundering atau pencucian uang menjadi salah satu persoalan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Money Laundering atau pencucian uang menjadi salah satu persoalan yang"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Money Laundering atau pencucian uang menjadi salah satu persoalan yang

dibahas dalam Konferensi Ke-23 Aseanapol di Manila, Filipina, September 2003. Persoalan money laundering ini semakin mengemuka karena dewasa ini pencucian uang dikaitkan dengan dana yang digunakan jaringan teroris. Sebelumnya pencucian uang selalu dikaitkan dengan perdagangan gelap narkotika, bisnis prostitusi, perjudian dan perdagangan senjata ilegal.1

1

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkembangan dan Penanggulangan

Kejahatan Terhadap Kekayaan Negara dan Kejahatan Transnasional, Jakarta, September 2008, hal. 3

bahwa Kejahatan yang berlangsung lintas negara baik yang merupakan kejahatan terhadap kekayaan negara maupun transnational crime menunjukkan perkembangan yang signifikan baik secara kualitas maupun kuantitas serta menjadi isu dalam berbagai pertemuan regional maupun internasional. Beberapa aspek terkait dengan perkembangan kejahatan, antara lain munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru, semakin kompleksnya modus operandi, semakin canggihnya peralatan yang digunakan oleh pelaku kejahatan dan semakin luasnya lingkup wilayah operasi kejahatan, tidak terbatas pada satu negara akan tetapi juga lintas negara. Trend perkembangan lingkungan strategis baik global, regional maupun nasional kedepan mengandung berbagai gangguan keamanan yang diprediksi akan semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitas dan tidak mengenal batas suatu negara. Pada abad turbulensi (The Age of Turbulence) yang ditandai dengan revolusi teknologi terutama informasi dan transportasi di samping berdampak pada pembangunan di berbagai bidang dan terintegrasinya sistem perekonomian dan keuangan dunia, juga memiliki efek samping pada kemajuan tindak kejahatan baik dari variasi modus operandi, pengorganisasian dan mobilitasnya. Berbagai bentuk gangguan kamtibmas akan mewarnai dari skala terendah sampai dengan skala tertinggi dan menimbulkan dampak yang berspektrum luas di berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Kejahatan yang terjadi dapat merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, lingkungan, negara dan seluruh kehidupan di muka bumi. Polri membagi golongan Kejahatan yaitu kejahatan konvensional, seperti kejahatan jalanan, premanisme, banditisme, perjudian dll. Kejahatan transnasional, yaitu : terorrism, illicit drugs trafficking, trafficking in persons, money

loundering, sea piracy and armed robbery at sea, arms smuggling, cyber crime and international economic crime.

(2)

Namun, seiring dengan merebaknya isu terorisme, maka masalah pencucian uang dikaitkan dengan jaringan teroris di Asia Tenggara dan dunia. Dalam sidang komisi di Konferensi Ke-23 Aseanapol di Manila, terungkap bahwa saat ini otoritas internasional menyoroti Indonesia, Malaysia dan Filipina karena sejumlah tersangka sudah mulai mengumpulkan dana kemanusiaan serta memiliki hubungan dengan organisasi teroris.2

Setelah tragedi WTC pada 11 September 2001, Financial Action Task Force

on Money Laundering (FATF), gugus tugas yang dibentuk negara-negara G7 pada

tahun 1989 untuk memberantas pencucian uang, memperluas misi dengan ikut serta mencegah mengalirnya dana ke rekening para teroris. FATF dalam laporan tahun 2001-2002 menyebutkan, organisasi teroris terkait dengan sumber pendanaan yang

legal dan ilegal.3 Organisasi teroris sangat bergantung pada hasil sumber kejahatan yang menghasilkan uang, misalnya perdagangan gelap narkotika, penyelundupan barang dalam jumlah besar dan kejahatan keuangan antara lain pemalsuan kartu kredit.4 Kajian FATF menyebutkan, modalitas pencucian uang yang dilakukan organisasi teroris tidak membedakan dari kejahatan asalnya. Karena itu, aksi terorisme yang dibiayai dengan kejahatan yang menghasilkan uang dan perang melawan pendanaan terorisme dapat diupayakan melalui perangkat pengaturan pencucian uang.

2

Ibid

3

PPATK, Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, http://www.google.com, diakses tanggal, 18 Mei 2010

4

(3)

FATF mengindikasikan bahwa pendanaan terorisme umumnya bergantung pada sumber pendanaan sah, yang dikumpulkan melalui organisasi yang sah atau organisasi nirlaba. Dana tersebut antara lain berasal dari iuran keanggotaan, sumbangan dan acara kebudayaan serta sosial yang kemudian disalurkan ke organisasi teroris. FATF menegaskan pula bahwa pengumpulan dana untuk kepentingan sosial seringkali menjadi kendaraan bagi pengumpulan dana pendukung aksi terorisme karena sumber uang yang legal ternyata sangat menyulitkan pendeteksian.5 Selain itu, perusahaan-perusahaan yang memiliki jaringan bisnis lintas batas negara juga sering dimanfaatkan untuk pengumpulan dana terorisme melalui jaringan bisnis yang legal. Karena itu pula, lembaga keuangan mengalami kesulitan mendeteksi dengan menggunakan instrumen laporan transaksi keuangan mencurigakan6 atau Suspicious Transaction Report (STR).7

Di sejumlah negara, kurangnya pengaturan mengenai pencegahan pendanaan terorisme menimbulkan dampak, organisasi teroris dapat dengan aman

5

Yunus Husein, Pendekatan Money Laundering, http://www.googlr.com, diakses tanggal 17 Mei 2010

6

Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merumuskan bahwa Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:

a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;

b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;

c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau

d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

7

(4)

mengumpulkan dana termasuk Negara Indonesia.8 Hal ini sebagaimana dikemukakan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai berikut:9

“Sebanyak 97 transaksi bank antara tahun 2000 hingga 2009 terindikasi dengan tindak pidana terorisme. "Transaksi masih sebatas domestik saja," selanjutnya Yunus Husein mengatakan bahwa PPATK tidak bisa mendeteksi orang-orang yang terlibat dalam transaksi itu. Sebab, PPATK hanya mengawasi transaksi keuangan saja bukan mengawasi orang yang melakukan transaksi. "Yang tahu soal orangnya adalah polisi bukan PPATK." Menurut Kepala PPATK, transaksi yang terindikasi terkait terorisme itu hanya bernilai kecil dan tidak sampai miliaran rupiah. Yunis Husein juga mengatakan, aliran dana terorisme memang bisa melalui bank. Namun bisa juga tidak melalui bank yakni jasa kurir. Selain itu, PPATK saat ini juga telah menerima permintaan dari Badan Reserse Kriminal Polri untuk menyelidiki rekening tertentu yang diduga terkait dengan terorisme. Polri menduga ada aliran dana baik melalui bank maupun dengan kurir dalam kasus terorisme. Namun hingga kini, aliran dana itu masih banyak yang belum terungkap secara menyeluruh. Hanya satu terpidana terorisme yang divonis karena menjadi kurir dana hingga saat ini. Pengadilan di Jakarta Selatan saat ini sedang menyidangkan kasus pendanaan terorisme yang diduga melibatkan satu warga negara asing dan satu warga negara Indonesia. Kini, Polri juga menangkap beberapa tersangka kasus terorisme di Aceh yang diduga terlibat dalam pendanaan”.

Selanjutnya, efektifitas pelaksanaan rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme (Anti Money Laundring/Counter Financing Terorisme) Indonesia akan dinilai berdasarkan standar internasional oleh Asia Pasific Group on Money

Laundring (APG) bersamaan dengan penilaian terhadap anggota APG lainnya).

Pelaksanaan penilaian ini dibahas dan disampaikan di Bali dalam acara APG Annual

Meeting. Unsur penilaian terhadap efektifitas pelaksanaan rezim AML/CFT

merupakan butir 40+9 Financial Action Task Force (FATF). Sementara, instansi

8

Ibid

9

Yunus Husein, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Rapat Pencegahan dan Pemberantasan Pidana Pencucian uang di Jakarta, Kamis, 18 April 2003, Harian Kompas.com, diakses tanggal 17 Mei 2010

(5)

yang dinilai terhadap pemenuhan butir rekomendasi tersebut terdiri dari berbagai instansi, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kepolisian Republik Indonesia, Bank Indonesia, Kejaksaan Agung dan lainnya di bawah payung Komite Koordinasi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite PPTPPU).10 Tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan multidimensi dengan berbagai modus operandi sehingga tidak dapat hanya ditangani oleh satu negara, melainkan memerlukan kerjasama regional dan internasional. “Tantangan bersama menghadapi kejahatan yang mendunia sebagai akibat dari globalisasi.” Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan sebagai berikut:11

“Asia Pasific Group on Money Laundring (APG) memiliki peran yang besar

yang menghubungkan kerjasama internasional,serta memberikan kontribusi kepada negara dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang serta pendanaan terorisme. Selain pemberian penilaian terhadap efektifitas rezim anti pencucian uang, annual meeting mengagendakan pembahasan penyelidikan, identifikasi dan pelacakan kejahatan dan aset terorisme dan pembahasan isu perampasan dan penyitaan aset”.

Alasan di dalam penilaian standar oleh Asia Pasific Group on Money

Laundring (APG) menyangkut pencucian uang dan pendanaan terorisme yakni

modus operandi yang dilakukan oleh pendana terorisme agar terhindar dari pertanggungjawaban pidana atas kejahatan yang dilakukan. Penghindaran

10

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (MENKOPOLHUKAM) Widodo A.S pada saat memberikaan sambutan acara pembukaan menekankan pentingnya penguatan kerjasama antar pemangku kepentingan di lingkup nasional dan antar negara. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia sambutan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan pada acara peringatan sewindu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Jakarta, 14 April 2010

11

(6)

tanggungjawab dimaksud berupa menggunakan berbagai cara supaya harta kekayaan yang mendanai kegiatan terorisme terhindar dari jeratan hukum. Untuk mencapai tujuannya, mereka sering sekali menggunakan sebuah perusahaan sebagai alat dan tempat melakukan perbuatan melawan hukum yakni selaku pendana terorisme baik secara langsung maupun tidak langsung yang dalam penerapannya mengalami berbagai kendala, salah satunya menyangkut pengetahuan aparatur penegak hukum terhadap peraturan perundang-undang terkait pencucian uang dan pendanaan terorisme.12 Menurut Yunus Husein bahwa salah satu kendala yang majemuk dihadapi oleh berbagai pihak (para pemangku kepentingan) untuk dapat menjalankan peranannya lebih optimal dalam rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme di Indonesia, adalah belum lengkap dan meratanya pengetahuan mengenai berbagai peraturan perundang-undangan atau ketentuan yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian dan pendanaan terorisme. Kendala tersebut antara lain disebabkan oleh beragamnya bentuk dan lingkup berbagai ketentuan yang ada. Selain itu, dalam beberapa kondisi tertentu ditemukan kendala berupa sulitnya mendapatkan akses informasi terkait peraturan perundang-undangan maupun ketentuan teknis tertentu yang sangat dibutuhkan dalam penanganan kasus pencucian uang dan pendanaan terorisme yang dari waktu ke waktu semakin

12

Yunus Husein menambahkan dengan tersusunnya buku ikhtisar ketentuan ini secara sistematis dan utuh, yang merupakan kompilasi mengenai berbagai ketentuan di bidang pencegahan dan penanganan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, maka kendala tersebut diharapkan dapat ditanggulangi. Kepala PPATK, http://www.google.com, diakses tanggal 17 Mei 2010.

(7)

kompleks dan canggih, seiring dengan perkembangan dan kemajuan yang cukup pesat di bidang teknologi-informasi.13

Pendanaan terorime yakni harta kekayaan yang didapat biasanya oleh pelaku baik perseorangan maupun korporasi tidak langsung digunakan untuk pendanaan kegiatan terorisme karena adanya rasa takut maupun terindikasi sebagai kegiatan pencucian uang.14 Untuk itu biasanya para pelaku yang mendanai kegiatan terorisme selalu berupaya untuk menyembunyikan asal usul harta kekayaan tersebut dengan berbagai cara yang antara lain berupaya untuk memasukkannya ke dalam sistem keuangan (Banking System) cara-cara yang ditempuh berupa menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut dengan maksud untuk menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum yang biasanya diistilahkan dengan pencucian uang atau yang popular dengan sebutan money laundering. Langkah untuk menanggulangi pencucian uang dari hasil tindak pidana asal pada dasarnya dapat dilakukan dengan sistem dua jalur (twins track against money laundering) yakni:

Pertama, langkah-langkah represif melalui sistem peradilan pidana yang dimulai

dengan langkah kriminalisasi dan peningkatan acara pidana sampai dengan perluasan

13

Ibid

14

Lihat, Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering, (Bandung: Books Terrance & Library, 2005), hal. 1, bahwa pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi Internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara. Sehingga negara-negara di dunia dan organisasi Internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain kareha kejahatan pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Di dalam praktik money laundering ini diketahui bahwa banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan

“steril investment” misalnya dalam bentuk investasi di bidang properti pada negara-negara yang

(8)

juridiksi (extra territorial jurisdiction) dan bersentuhan langsung dengan sistem peradilan pidana. Kedua, menggunakan langkah preventif melalui peningkatan kewaspadaan lembaga keuangan, peningkatan peranan financial intelegence dan

supervisory authority dan termasuk di dalam langkah ini melakukan bentuk

kerjasama Internasional, sehingga langkah-langkah ini bahwa criminal policy is a

rational total of the responses to crime.15

Betapa efektifnya rezim anti pencucian uang dapat digunakan dalam pelacakan transaksi yang mencurigakan untuk mendanai terorisme dan betapa rentannya Penyedia Jasa Keuangan (PJK), khususnya dunia perbankan bila tidak menerapkan prinsip mengenal pengguna jasa yang merupakan bagian dari prinsip kehati-hatian untuk dapat menghindarkan PJK dari risiko reputasi, risiko operasional, risiko hukum dan risiko konsentrasi. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku terorisme melalui kegiatan pencucian uang atas pendanaan terorisme untuk melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan

proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan untuk

melakukan tindakan terorisme tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya. Dalam rangka mendeteksi tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, PPATK menerima laporan terkait pelaksanaan dan fungsi yang telah di atur dalam

15

Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), (Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003), hal. 35.

(9)

Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yakni :16

a. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; b. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; c. Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan

d. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain.

Disamping itu, PPATK juga menerima informasi dari masyarakat yang terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang, dimaksudkan untuk mendeteksi proses placement pada perbuatan pencucian uang dan proses layering. Atas dasar laporan tersebut dan informasi lainnya, PPATK melakukan analisa, (mendeteksi tindak pidana pencucian uang) kemudian menyerahkan laporannya kepada pihak Penyidik dan Penuntut.17 Untuk memperoleh laporan dan hasil deteksi atau analisa yang baik PPATK menjalin kerjasama dengan penyedia jasa keuangan

16

Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sedangkan Pasal 4 menjelaskan bahwa dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, PPATK berwenang:

a. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;

b. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan;

c. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait; d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana

pencucian uang;

e. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;

f. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan

g. menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

17

Lihat, Pasal 64 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

(10)

dan instansi terkait lainnya atau dengan Financial Intteligence Unit (FIU) dari negara lain. Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki dan kemampuan analisisnya. Informasi tersebut dapat berasal dari data base PPATK atau dapat juga berasal dari sharing information dengan FIU dari negara lain. Kewajiban PJK (Penyedia Jasa Keuangan) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, diwajibkan untuk melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan maupun transaksi keuangan tunai. PJK juga diingatkan untuk benar-benar melaksanakan prinsip mengenal pengguna jasa dan berhati-hati melakukan hubungan dengan individu maupun badan usaha yang memiliki indikasi melakukan tindak pidana.

Di Indonesia pengaturan tentang teorisme juga telah diakomodasi dalam UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa terorisme sebagai salah satu kejahatan asal dari money laundering sehingga uang yang berasal dari aktivitas organisasi teroris dapat dikejar dan dituntut dengan UU No 8 Tahun 2010. Pengaturan tentang pencucian uang ini merupakan salah satu dari delapan kejahatan transnasional (narkoba, terorisme, penyelundupan senjata api, perdagangan wanita dan anak, pembajakan di laut, kejahatan ekonomi, kejahatan cyber dan pencucian uang) yang telah disepakati dunia di lingkungan Asia Tenggara dimasukkan dalam golongan kejahatan bisnis transnasional yang dapat melintasi batas wilayah dan yuridiksi suatu negara serta penanganannya pun mendapat perhatian. Pada akhir

(11)

tahun 80-an dan 90-an, negara-negara maju telah mencemaskan terhadap berkembangnya tindak pidana pencucian uang terlebih lagi pada saat itu ketentuan tentang kerahasiaan bank sangat dilindungi dan sulit ditembus, berdasarkan pemikiran tersebut maka negara yang tergabung dalam G-7 membentuk badan yang disebut FATF (The Financial Acton Task Force) yaitu badan antar pemerintah yang bertujuan mengembangkan dan meningkatkan kebijakan untuk memberantas pencucian uang.

Secara sederhana pencucian uang merupakan suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan pidana dengan tujuan menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang yang digunakan untuk pendanaan terorisme. Dalam “The United

Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycontropic Substances” atau lebih dikenal dengan nama UN Drugs Convention atau Vienna Convention pada 19 Desember 1998, di Wina, Australia, pengertian Money Laundering dalam konvensi ini adalah:

“The convention of transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offemces, for the purpose of concealing or disgisting the illicit of the property or of assisting any person who is involed in the commision of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or the concealement or with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious

(12)

(indictable) offence or offences or from an act of participation in such an oggence.”18

Sejak pertama kali dikeluarkannya undang-undang tindak pidana pencucian uang maka pencucian uang sudah dikriminalisasi sebagai tindak pidana dengan konsekwensi terhadap berlakunya penegakan hukum (Law Enforcement) terhadap para pelaku dan setiap orang yang terkait dengan kejahatan pencucian uang ini. Memang ada suatu kecenderungan bagi para pelaku kejahatan untuk tidak segera mempergunakan harta kekayaan untuk mendanai terorisme yang biasanya berbentuk uang, para pelaku kejahatan lebih memilih untuk menyembunyikan atau mengalihkannya berkali-kali uang hasil kejahatan tersebut dengan modus yang berbeda-beda agar aparat penegak hukum tidak dapat atau mengalami kesulitan untuk mengungkap dan mencurigai pelaku kejahatan tersebut. Hal ini adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perbuatan pencucian uang.

Penentuan pidana pokok/utama (Core crime) dalam pencucian uang biasanya lazim disebut Unlawful Activity atau Predicate Offense yaitu berupa menentukan daftar kejahatan apa saja yang hasilnya dilakukan proses pencucian uang. Selain itu di dalam kejahatan pencucian uang juga terdapat dua kelompok yang sama sekali tidak berkaitan langsung dengan Core Crime misalnya penyedia jasa keuangan (PJK) baik

18

Konstastin D,. Maglivears, “Defeating the Money Launderer The International and

Europen Framework”, Journal of Busines Law, (March, 1992), hal. 167, seperti dikutip Bismar

(13)

lembaga perbankan maupun non perbankan. Kelompok kedua ini yang disebut sebagai Aiders atau Abettors.19

Latar belakang perbuatan tersebut adalah memindahkan atau menjauhkan pelaku dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of

crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya

kecurigaan kepada pelaku, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah.20 Instrument yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang biasanya melalui/menggunakan system keuangan. Perbankan merupakan alat utama yang paling menarik digunakan dalam pencucian uang mengingat perbankan merupakan lembaga keuangan yang paling banyak menawarkan instrumen keuangan. Pemanfaatan bank dalam pencucian uang dalam pendanaan terorisme dapat berupa:

a. Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu;

b. Menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito/tabungan/rekening / giro; c. Menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih

besar atau lebih kecil;

d. Menggunakan fasilitas transfer;

e. Melakukan transaksi eksport-import dengan menggunakan L/C dengan memalsukan dokumen bekerjasama dengan oknum terkait’

f. Pendirian/pemanfaatan bank gelap

19

Lihat,, Op.cit, hal. 9.

20

Rick Mac Donnel, Regional Implementation, Regional Conference on Combating Money

(14)

Uang atau harta kekayaan dari hasil predicate crime dan pendanaan terorisme selanjutnya oleh pelaku ditempatkan ke dalam suatu sistem keuangan (Financial

System) dengan harapan dana yang digunakan sebagai modal untuk melakukan

kejahatan-kejahatan terorisme selanjutnya, sehingga dengan demikian kegiatan

Money Laundering/pencucian uang ini masih merupakan suatu awal dari rangkaian

pelanggaran hukum berupa aksi-aksi terorisme. Penetapan pencucian uang sebagai tindak pidana (kriminalisasi) sehingga dapat mempermudah bagi aparat penegak hukum (Polisi Jaksa, Hakim) dalam menangani para pelaku tindak pidana pencucian uang dan juga terhadap setiap orang yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang tersebut.

Di dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) telah memberikan landasan berpijak yang cukup kuat bagi aparat penegak hukum untuk dapat menjerat pelaku tindak pidana terorisme melalui tindak pidana pencucian uang (Money

Laundering) dengan melalui pendekatan ini diharapkan tidak saja secara fisik para

pelaku dapat dideteksi tapi juga terhadap harta kekayaan yang mendanai terorisme. Di dalam tindak pidana pencucian uang (Money Laundring) yang menjadi prioritas utama adalah pengembalian atau pengejaran uang atau harta kekayaan dengan beberapa alasan yakni jika pengejaran ditujukan kepada pelakunya akan lebih sulit dan juga sangat beresiko, jika diperbandingkan antara mengejar pelakunya dengan uang atau harta benda akan lebih mudah mengejar pendanaan terorisme. Di samping

(15)

itu uang atau dana terorisme adalah juga merupakan darah yang menghidupi atau energi dari tindak pidana itu sendiri (live blood of the crime).

Dalam usaha ke arah mencapai penegakan hukum yang efektif masih dirasakan pada saat-saat ini adanya tingkat kesulitan yang cukup tinggi yang disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain adalah dari sistem penyidikan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang bersumber dari pelaporan (PPATK) pusat pelapor analisis transaksi keuangan atas adanya indikasi perbuatan pencucian uang yang masih mengacu kepada beberapa perangkat azas-azas yang terdapat di dalam sistem hukum pidana materil dan formil.21 Misalnya dalam rangka menjerat pelaku tidak pidana pencucian uang harus terlebih dahulu penyidik dapat membuktikan adanya tindak pidana terorisme terlebih dahulu sehingga penyidik dapat mempertanggung jawabkan upaya hukum yang dilakukannya dengan menerapkan tindak pidana pencucian uang berdasarkan informasi dan laporan yang disampaikan oleh PPATK karena diduga berindikasi melakukan perbuatan pencucian uang.

21

Lihat, Erman Rajaguguk, Anti Pencucian Uang, suatu Bisnis, Perbandingan Hukum, Yayasan Pengembangan Hukum Volume 16 Nopember, hal 24 bahwa Indonesia sendiri telah lama mencantumkan ketentuan mengenai money laundering ini dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana sebagai berikut: pertama pasal 610 rancangan KUHP mengatakan barang siapa menyimpan uang di bank dan ditempatkan, menstransfernya, menitipkan, menghibahkan, memindahkan, menginvestasikan, membayar uang keras bernilai uang, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi diancam dengan tindak pidana penjara paling lama lima belas tahun dan dena paling banyak kategori V, kedua pasal 611 rancangan KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa menerima untuk disimpan atau sebagai titipan, menerima transfer, menerima hibah, menerima sebagai modal investasi, menerima sebagai pembayaran uang atau kertas bernilai uang yang diketahuinya atau patut diketahuinya diperolehnya dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi dan tindak pidana korupsi diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak kategori V. Menurut Erman Rajagukguk ketentuan-ketentuan dalam rancangan untuk mengatasi kejahatan money laundering.

(16)

B. Permasalahan

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pentingnya pengaturan tindak pidana terorisme di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimana penanggulangan tindak pidana terorisme melalui rezim anti money

laundering?

3. Bagaimana hambatan di dalam menanggulangi tindak pidana terorisme dan pendanaan terorisme melalui rezim anti money laundering?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pentingnya pengaturan tindak pidana terorisme di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui penanggulangan tindak pidana terorisme melalui rezim anti

money laundering.

3. Untuk mengetahui hambatan di dalam menanggulangi tindak pidana terorisme dan pendanaan terorisme melalui rezim anti money laundering.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara praktis maupun teoritis yaitu:

(17)

1. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi aparat penegak hukum yang terkait untuk menindak pelaku tindak pidana terorisme dan pendanaan terorisme melalui rezim pencucian uang (money laundering) berdasarkan sarana hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam mengatasi pemberantasan tindak pidana terorisme.

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut terhadap penanggulangan tindak pidana terorisme dan pendanaan terorisme melalui rezim anti pencucian uang (money laundering) dan penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya tindak pidana terorisme sebagai kejahatan transnational crime.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Dalam Prespektif Rezim Anti Money Laundering belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan.

(18)

F. Landasan Teori dan Konsepsional Penelitian 1. Landasan Teori Penelitian

Kriminalisasi atas perbuatan pendanaan terorisme merupakan predicate crime dari tindak pidana pencucian uang, sehingga pendanaan terorisme diklasifikasikan sebagai tindak pidana. Indonesia sudah merespons secara positif gagasan yang berkembang dalam masyarakat internasional bahwa terorisme dan pendanaan terorisme merupakan tindak pidana. Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme menjadi UU, menjadi landasan hukum utama dalam menangani berbagai aksi terorisme di Indonesia.

Lahirnya undang-undang sebagai aturan hukum merupakan rules of conduct

for men bahavior in a society dan hukum menghilangkan ketidakpastian, hukum

memberikan jaminan bagi terjadinya perubahan sosial. Berkaitan dengan hal ini maka Dardji Darmodihardjo dan Sidharta22 mengatakan bahwa sebagai suatu sistem hukum mempunyai berbagai fungsi yakni fungsi hukum sebagai kontrol sosial, disini hukum membuat norma-norma yang mengontrol perilaku individu dalam berhadapan dengan kepentingan-kepentingan individu dan fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian konflik (dispute settlement) serta berfungsi untuk memperbaharui masyarakat.

Hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat mengggunakan hukum menuruti prilakunya, sedangkan di lain

22

Dardji Darmodihardjo, Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana

(19)

pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.23

Selanjutnya, jika dilihat secara yuridis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan perubahannya maka dapat ditarik pengertian dari tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) adalah meliputi perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (legal).

Dari pengertian yuridis tersebut di atas maka dapat dilakukan indikasi beberapa elemen substansial dari tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) bahwa tindak pidana pencucian uang adalah merupakan usaha pencucian uang dari hasil tindak pidana. Dimana hasil dari tindak pidana tersebut sebelumnya diklarifikasikan dalam kelompok kejahatan (Predicat Crime) antara korupsi; penyuapan; penyelundupan barang; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan imigrasi; perbankan; narkotika; spikotropika; perdagangan budak, wanita, atau anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan dan

23

Lihat, Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia: Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, Sub Tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu, 14 Agustus 2004.

(20)

penipuan, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang asuransi, perdagangan manusia, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan, perjudian dan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.

Dikemukakan dengan jelas dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 telah ditegaskan bahwa tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) adalah setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Sementara itu dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 juga telah diatur tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) yang bersifat pasif dimana telah disebutkan bahwa setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(21)

Perihal materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terdiri dari ketentuan umum, tindak pidana pencucian uang, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, perlindungan bagi pelapor dan saksi, kerjasama Internasional, dan ketentuan penutup. Pada perkembangannya agar upaya pencegahan dan pemberantasan (Money

Laundering) dapat berjalan efektif, maka perlu disesuaikan dengan perkembangan

hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional. Hal inilah yang mendorong dilakukannya perubahan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Hasil dari tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 diklasifikasikan dalam beberapa kelompok (predicate crime) antara lain:

1. Korupsi; 2. Penyuapan; 3. Narkotika; 4. Psikotropika;

5. Penyelundupan tenaga kerja; 6. Penyelundupan migran; 7. TP di bidang perbankan; 8. TP di bidang pasar modal; 9. TP di bidang per-asuransian; 10. Kepabeanan;

(22)

12. Perdagangan orang;

13. Perdagangan senjata gelap; 14. Terorisme; 15. Penculikan; 16. Pencurian; 17. Penggelapan; 18. Penipuan; 19. Pemalsuan uang; 20. Perjudian; 21. Prostitusi; 22. TP di bidang perpajakan; 23. TP di bidang kehutanan;

24. TP di bidang lingkungan hidup;

25. TP di bidang kelautan dan perikanan; atau

26. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Di samping itu di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 juga membedakan terhadap tindak pidana pencucian uang menjadi 2 (dua) kelompok antara lain: kelompok pertama “tindak pidana pencucian uang” sebagaimana diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010,

(23)

kelompok kedua “tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang” sebagaimana diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Penegakan hukum juga terus dilakukan dalam mengisi upaya penguatan rezim anti pencucian uang, apalagi dengan perkembangan pendanaan terorisme yang bersumber dari dana hasil kejahatan. Pada bulan Februari tahun 2005, Indonesia memberikan apresiasi atas langkah-langkah kongkrit yang telah dilakukan oleh Indonesia di dalam membangun rezim anti pencucian uang. Secara internasional PPATK telah mencapai berbagai kemajuan yang signifikan melalui pembentukan kerjasama internasional antara lain sebagai anggota The Asia Pacific Group On

Money Laundering (APG) sejak tahun 2000, anggota EGMONT GROUP sejak tahun

2004, dan terus memperluas kerjasama pertukaran informasi dengan lembaga di luar negeri melalui penandatanganan 3418 MoU dengan counterpart di luar negeri dan yang terakhir dengan FIU Solomon Islands pada bulan Februari 2010Afrika Selatan, Cayman Island dan Jepang.24 Pemerintah dalam komitmennya tentunya berusaha sekuat tenaga dengan mengerahkan kemampuan optimal yang dimiliki untuk menciptakan bangsa dan Negara Indonesia yang bersih dari tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Tentunya hasil kita semua dimana dalam beberapa aspek upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme di Indonesia masih dipandang belum memenuhi secara utuh

forty recommendations and nine special recommendations yang dikeluarkan oleh

24

(24)

FATF.25 Saat ini Indonesia mengalami fase yang terpenting dalam langkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Hal ini mengingat dinamika kehidupan global dalam berbangsa dan bernegara, luas wilayah serta besarnya potensi kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Potensi-potensi tersebut dapat menimbulkan kerawanan dan menjadi daya tarik untuk berkembangnya aktivitas penyalahgunaan yang mengarah kepada pencucian uang atau pun kegiatan terorisme. Banyaknya kasus-kasus yang terungkap selama tahun 2010 ini membuktikan sesungguhnya semua berada dalam bayangan kejahatan “white collar crime” yang memprihatinkan dan bersifat multidimensi serta menyentuh perasaan keadilan rakyat Indonesia.26

Tindak pidana terorisme berupa kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang satu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam pengalaman kita ternyata tidak mudah untuk memahami kejahatan itu sendiri. Tindak pidana berasal dari istilah Belanda

straafbaar feit yang berarti: “perbuatan yang dapat dihukum”.27 Sedangkan menurut Mulyatno, istilah tindak pidana disebut sebagai perbuatan pidana yang diartikan sebagai: “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

25 Ibid 26 Ibid 27

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Teori-Teori

(25)

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut”.28

Upaya dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana secara optimal, pendekatan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan keterpaduan peraturan perundang-undangan sebagai salah satu kebijakan kriminal (Criminal

Policy). Kebijakan kriminal sebagai usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan

kejahatan problem sosial yang dinamakan kejahatan dapat dilakukan dengan berbagai cara, sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana-sarana non penal. Penanggulangan kejahatan dengan sarana hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk pencapaian hasil perundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.29 Adapun kebijakan kriminal dalam kerangka penanggulangan kejahatan pada hekekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.30

Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitiberatkan pada sifat represive (penindakan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitiberatkan sifat preventif (pencegahan/ penangkalan/ pengendalian) sebelum

28

Ibid, hal. 71.

29

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 6.

30

(26)

kejahatan terjadi.31 Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal adalah masalah penentuan:32

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif ini antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Dengan demikian secara makro dan global maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.33

Menurut Barda Nawawi Arief, usaha untuk membuat peraturan pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain jika dilihat dari sudut pandang politik kriminal, akan terlihat bahwa politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan

31

Lihat, Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penaggulangan

Kejahatan, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September

1991, hal. 2

32

Ibid

33

(27)

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.” 34 Selanjutnya Sudarto menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selain itu juga, usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Oleh karena itu sering juga dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan juga bagian dari kebijakan penegakan hukum

(Law Enforcement Policy).35

Sehubungan dengan penegakan pidana ini, maka Lawrence M. Friedman yang mengkaji dari sistem hukum (legal system) menyatakan bahwa ada tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum (dalam hal ini hukum pidana), yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukumnya. Dari ketiga komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap bekerjanya hukum sebagai suatu sistem.36

2. Landasan Konsepsional Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu: Pertama: Tindak Pidana Terorisme. Kedua: tindak pidana pencucian uang (money laundering).

34

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 29

35

Ibid, hal., 27-28

36

Lawrence Friedmen, America Law An Introduction, sebagaiman diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, (Jakarta: PT. Tatanusa, 1984), hal. 6-7.

(28)

Dari dua variabel tersebut akan dijelaskan pengertian dari masing-masing sebagai berikut:

1). Tindak Pidana Terorisme

Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah: Pertama, Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut. Kedua, Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.

Ketiga, Menggunakan kekerasan. Keempat, Mengambil korban dari masyarakat sipil,

dengan maksud mengintimidasi pemerintah. Kelima, Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama. Muatan ini dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2 tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002. Diterbitkannya Perpu ini dapat dikatakan abnormal recht voor abnormal tijden (hukum darurat untuk kondisi yang darurat), karena dikeluarkan dalam keadaan yang mendesak dan dalam keadaan yang darurat. Pemberlakuan terhadap suversif lebih mengarah pada preventif power for detention atau kekuatan preventif untuk melakukan penangkapan.

(29)

2). Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

Defenisi tentang money laundering atau tindak pidana pencucian uang banyak terdapat dalam kamus, undang-undang, maupun yang dihasilkan dari konvensi-konvensi yang berkaitan dengan money laundering yaitu antara lain:

Menurut Black’s Law Dictionary pengertian money laundering adalah:

“Money Laundering berasal dari Money dan Laundering. Money adalah: 1.The medium of exchange authorized adopted by a government as part os its currency coins and currency are money, 2. Assets that can be easily converted to cash, 3. Capital that is invested or traded as a commodity, 4. Funds: Sums of money. Sedangkan pengertian Laundering adalah The Federal crime of transferring illegally obtainde money through illegitimate persons or accounts so that its sriginal sourred cannot be traced.” 37

Money laundering disini adalah kata lain adalah kejahatan yang berasal dari

hasil pentransferan uang yang didapatkan secara tidak sah melalui orang atau rekening yang sah agar sumber dari uang tersebut tidak dapat dilacak. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Secara sederhana pencucian uang merupakan suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh Criminal Organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perjudian, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan tujuan

37

Garner, A. Bryan, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group: St. Paul, Minn, 1999, hal. 1021.

(30)

menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari hasil tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset berasal dari kegiatan yang ilegal. Adapun yang melatar belakangi para pelaku pencucian uang (money laundering) melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan

proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan,

menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah.

Secara komprehensif pengertian money laundering diberikan oleh Pasal 3 dari Konvensi PB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yaitu sebagai berikut:

“Money laundering berarti setiap tindakan yang dilakukan dengan sengaja

dalam hal-hal sebagaimana disebutkan di bawah ini:

1. Konversi atau pengalihan barang, yang diketahui bahwa barang tersebut berasal dari suatu kegiatan kriminal atau ikut berpartisipasi terhadap kegiatan tersebut, dengan tujuan untuk menyembunyikan sifat melawan hukum dari barang tersebut, ataupun membantu seseorang yang terlibat sebagai perantara dalam kegiatan tersebut untuk menghilangkan konsekuensi hukum dari kegiatan tersebut.

(31)

2. Menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, sumbernya, lokasi, pengalihan, penggerakan, hak-hak yang berkenaan dengan kepemilikan atau barang-barang, dimana yang bersangkutan mengetahui bahwa barang tersebut berasal dari kegiatan kriminal atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

3. Perolehan, penguasaan, atau pemanfaatan dari barang-barang dimana pada waktu menerimanya yang bersangkutan mengetahui bahwa barang tersebut berasal dari tindakan kriminal atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

4. Segala tindakan partisipasi dalam kegiatan untuk melaksanakan percobaan untuk melaksanakan, membantu, bersekongkol. Menfasilitasi dan memberikan nasehat terhadap tindakan-tindakan tersebut di atas.

Dari rumusan yang terdapat dalam beberapa pengertian ini maka dapat disimpulkan bahwa pengertian money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul yang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (Financial

System) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari system keuangan

itu.

(32)

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.38 Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library

research), penelitian kepustakaan sebagai salah satu cara mengumpulkan data

didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu yang tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan bahasan terhadap masalah yang dihadapi selanjutnya peneliti mengumpulkan dan mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik tesis ini.

Penelitian seperti ini menurut Rinal Dwokin disebutnya dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian yang mengalisis hukum

38

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan

(33)

yang tertulis di dalam buku (law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge

through judical process).39

2. Sumber Data

Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library

research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi

serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, antara lain: a. Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar

c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme dan pencucian uang. Undang-undang terkait terorisme yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2 tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sedangkan Undang-undang yang terkait pencucian uang yakni

39

Ronal Dworkin sebagaimana dikutip Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif

dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan

(34)

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, KUH Pidana, KUHAP.

2. Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme dan pencucian uang (money laundering), hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.40

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi. Metode ini penulis lakukan tidak lain hanya mengumpulkan bahan-bahan melalui kepustakaan, yakni berupa buku-buku, putusan-putusan pengadilan jurnal, dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam tesis ini. Keseluruhan data ini kemudian digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik

40

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 41.

(35)

dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi. Di samping dalam rangka mendukung bahan hukum positif diperlukan juga wawancara dengan informan yakni Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara langsung dengan terlebih dahulu merumuskan pertanyaan-pertanyaan terhadap informan yang selanjutnya penulis tuangkan ke dalam penelitian setelah terlebih dahulu memverifikasi terhadap jawaban-jawaban informan. Wawancara dengan informal dilakukan dengan cara menunjuk secara langsung informan yang mengetahui terhadap permasalahan.

H. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang penanggulangan tindak pidana terorisme melalui rezim anti money laundering, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam tesis ini.

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan pembelajaran secara daring ini pada dasarnya sangat beragam, antara lain dapat dilaksanakan melalui google classroom, zoom, tv edukasi, belajar

Kualitas air pada lokasi penelitian pada Tabel 4.10 dapat dilihat bahwa hanya pada settling pond 1 pH hampir normal, hal ini karena pengaruh treatment yang dilakukan namun

Hasil dari regresi dengan metode OLS diperoleh R 2 (Koefisien Determinasi) sebesar 0.731 artinya variabel dependen (Y) dalam model yaitu ketimpangan pendapatan

Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang dapat menghambat perkembang biakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan

2011).. terletak pada obyek yang diteliti sama-sama meneliti tentang keputusan nasabah. Sedangkan yang membedakan adalah penelitian yang di atas subjek yang diteliti hanya

Hasil belajar yang diproleh perserta didik yakni peningkatan hafalan hadist, tentunya tingkatan perserta didik hafalanya berbeda- beda. 100 Daya ingatpun

Melalui teks berita yang telah ditulis oleh Majalah Detik, dikatakan bahwa Ahok meminta adanya transparasi dalam gaya kepemimpinan serta program-programnya, Ahok tegas

Berbeda dengan pengetahuan teoritis yang dapat diperoleh mahasiswa melalui bangku kuliah, pengetahuan yang bersifat praktis serta sesuai dengan perkembangan zaman