• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN DISKRIMINASI DAN RASISME TERHADAP MAHASISWA PAPUA DI SURABAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN DISKRIMINASI DAN RASISME TERHADAP MAHASISWA PAPUA DI SURABAYA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN

DISKRIMINASI DAN RASISME TERHADAP

MAHASISWA PAPUA DI SURABAYA

Oleh :

Fathoni Nur Muhammad, Sahriyal Okta Panca Sakti

Direktorat Jenderal Kajian Isu Aktual Kementerian Kebijakan Publik

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA

(2)

2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... 2 BAB I PENDAHULUAN ... 3 1.1. Latar Belakang ... 3 1.2. Rumusan Masalah ... 4 1.3. Tujuan ... 5 1.4. Batasan Masalah ... 5

BAB II LANDASAN AWAL ... 6

BAB III KONDISI SAAT INI ... 8

BAB IV PEMBAHASAN ... 12

BAB V KESIMPULAN ... 19

DAFTAR PUSTAKA ... 21

(3)

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemanusiaan dan keadilan sosial menjadi topik yang sering digaungkan oleh pejabat publik kita dan tentu masyarakatnya, terlebih ketika masih berada di dalam hembusan tahun politik ini yang memang mendorong banyak orang untuk mengumbar ujaran-ujaran positif utopis untuk bangsa ini ke depannya. Namun tampaknya, hal itu masih sulit untuk dapat benar-benar terwujud di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam waktu dekat ini.

Hal itu terbukti dengan masih adanya tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berupa diskriminasi dan rasisme terhadap ras dan etnis tertentu yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Ironisnya lagi, hal itu ditujukan kepada sesama saudara se-tanah air, yaitu warga dari Papua (mahasiswa Papua) yang sedang merantau guna meniti kehidupan perkuliahan di Kota Surabaya.

Pada dasarnya, berbagai lembaga telah dibentuk sebagai instrumen untuk membantu melindungi dan menegakkan HAM yang pelanggarannya masih marak terjadi di Indonesia, seperti institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Komnas HAM, Pengadilan HAM, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) hingga Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang berupaya melindungi dan menegakkan HAM pada masyarakat menengah ke bawah.

Namun sayangnya, beberapa oknum aparat kepolisian dan TNI dirasa masih belum mampu sepenuhnya untuk turut menegakkan perlindungan HAM di bumi pertiwi ini. Hal yang terjadi malah berkebalikan dengan tugas yang seharusnya mereka emban untuk melakukan pengamanan dari setiap tindakan diskriminasi bagi seluruh warga negara Republik Indonesia tanpa terkecuali.

Dalam kejadian yang berlangsung sejak tanggal 16 Agustus hingga 17 Agustus 2019 di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya, beberapa oknum aparat kepolisian dan juga TNI terlihat terlibat dalam upaya diskriminasi dan rasisme yang dilakukan bersama organisasi masyarakat (ormas) dan masyarakat setempat. Rangkaian kasus itu bermula dari munculnya isu perusakan bendera merah putih yang ditemukan di depan Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya pada tanggal 16 Agustus 2019. Perusakan itu tidak diketahui secara pasti siapa pelakunya. Namun, beberapa oknum aparat dan unsur masyarakat setempat menuding bahwa pelaku perusakan

(4)

4

bendera merah putih itu adalah oknum mahasiswa Papua yang bertempat tinggal di asrama. Atas tudingan itu, oknum aparat dan unsur masyarakat setempat mendatangi lokasi kejadian perusakan bendera tersebut.

Beberapa kata yang tidak pantas untuk diucapkan antar sesama umat manusia seperti, “monyet”, “anjing”, “babi”, dan “jancuk” mereka lontarkan kepada penghuni asrama yang tidak lain adalah mahasiswa Papua. Mahasiswa Papua secara sederhana (tanpa analisis yang mendalam) dianggap sebagai dalang kejadian perusakan tiang bendera merah putih yang ditemukan di depan asrama mereka.

Oknum aparat dan unsur masyarakat juga tidak segan untuk merusak pagar asrama dan melempar batu ke arah asrama. Dan keesokan harinya, 43 (empat puluh tiga) mahasiswa Papua tersebut diamankan dengan dalih untuk menghindari perseteruan antara kedua belah pihak yang dikhawatirkan semakin memanas mengingat jumlah massa yang mendatangi asrama akan dapat semakin banyak.

Namun klaim pengamanan yang dilakukan oleh aparat kepolisian ini pun dinilai janggal. Karena dalam pengamanan itu aparat kepolisian menggunakan tembakan gas air mata ke dalam rumah asrama untuk mengundang penghuni asrama agar segera keluar. Mekanisme ini dirasa kurang tepat untuk mengamankan seseorang maupun kelompok orang.

Aparat kepolisian mengangkut para mahasiswa ke Markas Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya (Mapolrestabes Surabaya) untuk dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan itu berlangsung sekitar 8 jam hingga pukul 00.00 WIB dini hari. Dari hasil pemeriksaan itu, seluruh penghuni asrama itu mengaku benar-benar tidak mengetahui ihwal perusakan bendera merah putih yang ditemukan di depan asrama mereka itu.

Oleh karena itu, dipandang perlu adanya kajian strategis yang membahas mengenai dugaan pelanggaran yang terjadi, baik dari aparat keamanan, masyarakat, maupun pemerintah terkait kasus diskriminasi dan rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya itu dengan maksud agar dapat menjadi pembelajaran bersama sehingga kasus diskriminasi serupa tidak terulang kembali.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam kajian strategis ini adalah apa saja dugaan pelanggaran yang terjadi, baik dari aparat keamanan, masyarakat, maupun pemerintah terkait kasus diskriminasi dan rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya itu dengan

(5)

5

maksud agar dapat menjadi pembelajaran bersama sehingga kasus diskriminasi serupa tidak terulang kembali.

1.3. Tujuan

Tujuan dari kajian ini adalah menyelidiki dugaan pelanggaran yang terjadi, baik dari aparat keamanan, masyarakat, maupun pemerintah terkait kasus diskriminasi dan rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya itu dengan maksud agar dapat menjadi pembelajaran bersama sehingga kasus diskriminasi serupa tidak terulang kembali.

1.4. Batasan Masalah

Mengenai riwayat diskriminasi dan rasisme terhadap warga Papua yang pernah terjadi hingga saat ini tidak akan dibahas dalam kajian ini. Karena tujuan utamanya adalah menyelidiki dugaan pelanggaran yang terjadi, baik dari aparat keamanan, masyarakat, maupun pemerintah terkait kasus diskriminasi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya karena dugaan keterlibatan perusakan bendera merah putih agar kasus diskriminasi serupa tidak terulang kembali.

(6)

6

BAB II

LANDASAN AWAL

Negara Indonesia memiliki dasar negara yang bernama Pancasila. Pancasila sendiri menjadi sebuah rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sila (dasar) yang terdapat dalam Pancasila mencakup semua nilai luhur seperti yang juga dijelaskan kembali di seluruh undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang ada di negara ini. Salah dua poinnya yaitu pada sila kedua dan sila kelima yang berbunyi:

(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab

(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Dua sila itu yang menjadi landasan penting terkait upaya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal itu semakin terang dengan adanya pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa salah satu cita-cita negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pancasila dan UUD 1945 itu pun hakikatnya menjadi salah dua instrumen dasar dalam perlindungan HAM di negara ini. Instrumen lainnya yaitu unsur derivatif (turunan) berupa undang-undang di bawah kedua instrumen tersebut. Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai dan cita-cita itu diwujudkan dengan membentuk lembaga-lembaga yang memiliki peranan untuk menegakkan perlindungan HAM bagi seluruh masyarakatnya.

Selain itu, keberadaan Pancasila dan UUD 1945 beserta undang-undang lainnya itu juga mengikat terhadap setiap warga negara Indonesia. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sosial satu sama lain. Sehingga demi menuju nilai dan cita-cita luhur Indonesia seperti yang tertuang di kedua instrumen tersebut, diperlukan upaya bersama untuk teguh menegakkan perlindungan HAM, baik dari lembaga-lembaga yang telah terbentuk maupun dari setiap warga negaranya.

Sayangnya, dalam waktu lebih dari 20 (dua puluh) tahun pasca reformasi, tindakan pelanggaran HAM masih saja marak terjadi. Seperti kasus diskriminasi dan rasisme terhadap ras dan etnis tertentu. Penyelenggara negara hingga hari ini belum mampu untuk menindak secara tegas setiap kasus diskriminasi dan rasisme yang bergulir di daerah-daerah Indonesia sepenuhnya.

(7)

7

Faktor lain yang mempengaruhinya adalah kesadaran masyarakat akan diskriminasi ras dan etnis masih rendah. Survey tentang penilaian masyarakat terhadap upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis di Indonesia yang pernah dilakukan oleh Komnas HAM pernah menunjukkan bahwa 43,8 persen dari responden tidak mengetahui adanya sanksi hukum terhadap pelanggaran diskriminasi ras dan etnis. Hal itu menjadi indikasi bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap isu diskriminasi dan rasisme masih minim. Kesadaran warga negara yang rendah akan diskriminasi dan rasisme dapat memberikan ruang untuk masih terjadinya kasus-kasus diskriminasi dan rasisme itu di Indonesia.

Oleh karena itu, kesadaran dan keteguhan sangat diperlukan bagi setiap warga negara Indonesia. Bukan hanya penyelenggara negara ataupun pihak-pihak yang terkait saja. Demi menuju nilai-nilai luhur Pancasila itu, setiap warga negara harus memiliki kesadaran dan keteguhan untuk menjunjung kemanusiaan dan keadilan sosial satu sama lain dengan memerangi setiap kasus diskriminasi dan rasisme terhadap siapapun.

(8)

8

BAB III

KONDISI SAAT INI

Awal dari rangkaian kasus itu terjadi saat tanggal 15 Agustus 2019. Beberapa pejabat dan personel Satpol PP Kecamatan Tambaksari mendatangi Asrama Mahasiswa Papua yang berlokasi di Jalan Kalasan No. 10, Pacar Keling, Tambaksari, Surabaya. Mereka datang bersama dengan personel Koramil 02/0831 dan Polsekta Tambaksari. Tujuan mereka mendatangi asrama adalah untuk memasang bendera di depan asrama mahasiswa tersebut. Anggota Satpol PP menancapkan tiang bendera merah putih di depan gerbang asrama.

Pada tanggal 16 Agustus 2019 sekitar pukul 09.00 WIB, rombongan kecamatan, koramil, dan polsekta kembali mendatangi daerah asrama dan melihat bahwa tiang bendera yang ditancapkan di hari sebelumnya itu telah berpindah posisi, yang tadinya berada di depan pagar menjadi berada di antara batas asrama dan rumah sebelahnya. Kemudian, mereka mengecor tiang-tiang bendera baru yang titiknya persis di posisi sebelumnya. Lalu sekitar pukul 15.30 WIB, rombongan kecamatan, koramil, dan polsekta kembali mendatangi Asrama Mahasiswa Papua secara tiba-tiba. Mereka langsung menggedor gerbang asrama, yang lantas membuat kaget para mahasiswa yang berada di dalamnya. Kehadiran aparat secara tiba-tiba dan terkesan anarkis itu ditengarai karena bendera merah putih milik Pemerintah Kota Surabaya yang mereka pasang di depan asrama itu tiba-tiba berada di dalam selokan. Kondisi tiang bendera tersebut bengkok menjadi tiga bagian ke arah tanah.

Beberapa oknum tentara (personel koramil) memanggil dan memaki para penghuni asrama dengan kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan dan sangat rasis, yaitu salah satunya (mohon maaf), “Hey anjing, babi, monyet keluar lo. Kalau berani, hadapi kami di

depan.”. Salah satu oknum tentara yang diketahui mengeluarkan kata-kata rasis adalah

Komandan Koramil Tambaksari, Mayor NH Irianto. Kalimat-kalimat yang dikeluarkan Irianto saat itu pun terbilang provokatif terhadap massa yang ada.

Para penghuni sendiri mengaku tidak tahu menahu perihal bendera yang jatuh di selokan itu. Menurut mereka, dalam dua hari pemasangan bendera hingga hari itu kondisinya baik-baik saja. Dan baru diketahui di sore hari itu oleh rombongan aparat bahwa bendera itu tiba-tiba berada di selokan. Para penghuni sebetulnya sudah berniat baik untuk mengajak berunding dan ingin menjelaskan duduk perkara sebenarnya yang mereka tahu. Namun, oknum aparat menolak.

(9)

9

Setelah itu, secara bertahap Satpol PP dan organisasi masyarakat (ormas) pun datang ke asrama. Ormas yang datang diperkirakan lebih dari satu kelompok. Beberapa kelompok ormas yang diketahui mendatangi asrama itu adalah Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI), Sekber Benteng NKRI, Pemuda Pancasila, dan Wali Laskar Pembela Islam Surabaya. Beberapa oknum aparat dan ormas itu pun langsung mengepung, menyerang, sekaligus memaki-maki para penghuni asrama. Makian-makian yang dilontarkan pun sangat rasis dan tidak berperikemanusiaan. Mereka melempar batu ke arah dalam asrama sehingga memaksa memukul mundur para penghuni asrama. Pengepungan berlanjut hingga malam hari.

Saat malam hari, terdapat aparat kepolisian yang terlihat berusaha mengamankan situasi. Karena semakin lama memang aksi massa semakin masif. Jumlah massa semakin banyak. Tuntutan untuk mengusir mahasiswa Papua keluar dari asrama tersebut semakin membara. Teriakan-teriakan rasis juga masih terdengar. Namun, aparat kepolisian seakan tidak banyak berbicara mengenai pengepungan dan penyerangan yang dilakukan oleh massa aksi itu. Aparat kepolisian terkesan hanya mengawal aksi dan memantau kondisi tempat kejadian perkara, yakni lingkungan asrama yang diduga sebagai tempat oknum perusak bendera. Mereka mengerahkan kendaraan taktis dan membawa anjing pelacak. Sayangnya, tidak ada upaya tegas untuk segera membubarkan massa aksi yang sebenarnya sudah melakukan tindakan diskriminasi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua itu.

Dalam kondisi terkepung itu, para penghuni asrama harus menahan lapar karena sangat tidak memungkinkan untuk keluar atau hanya sekadar menampakkan diri di halaman depan asrama. Sampai pada pukul 02.00 WIB tanggal 17 Agustus 2019, dua orang mahasiswa asal Surabaya dan perwakilan KontraS datang ke asrama sambil membawakan makanan untuk para mahasiswa Papua. Mereka pun dihadang dan ‘diamankan’ alih-alih ditangkap oleh aparat kepolisian. Pukul 14.00 WIB, mereka baru dilepas oleh aparat kepolisian.

Pada hari yang sama, 27 mahasiswa Papua lainnya datang ke asrama hendak membawakan makanan untuk para penghuninya sekitar pukul 12.00 WIB. Dua puluh tujuh mahasiswa tersebut tidak diketahui secara pasti apakah dapat masuk ke dalam asrama atau tidak. Sementara pada pukul 13.00 WIB, puluhan orang berkumpul di depan asrama. Bukan hanya aparat, namun juga ada warga sipil (unsur masyarakat) yang tampak mengenakan seragam ormas tertentu. Kata-kata rasis masih terdengar di momen itu.

Berikutnya sekitar pukul 14.00 WIB, mahasiswa Papua yang berada di dalam asrama yang berjumlah 43 orang diminta untuk keluar oleh pihak kepolisian, RT, RW, dan tokoh

(10)

10

masyarakat setempat. Aparat dan unsur masyarakat meminta untuk segera mengosongkan asrama. Karena merasa bahwa asrama tersebut adalah tempat tinggalnya, maka para mahasiswa Papua tersebut menolak untuk keluar. Mereka memilih untuk tetap tinggal sebelum akhirnya pukul 15.00 WIB, aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke arah asrama. Setelah mendobrak gerbangnya, aparat brimob kepolisian yang membawa senjata laras panjang langsung merangsek masuk ke dalam asrama. Mereka menangkap secara paksa 43 mahasiswa Papua dan membawanya ke Mapolrestabes Surabaya dengan menggunakan truk.

Dari pengamanan aparat yang dinilai janggal karena menyalahi prosedur (langsung menembakkan gas air mata) itu, ada satu orang yang terkena tembakan di kakinya, tiga mahasiswa lain yang terkena pukulan, dan satu orang parubaya yang terkena tampol di alis matanya.

Pemeriksaan terhadap mahasiswa Papua dilakukan selama sekitar 8 jam hingga pukul 00.00 WIB dini hari. Polisi memulangkan seluruh mahasiswa tersebut karena mereka tidak terbukti bersalah atas perusakan bendera merah putih di depan asrama mereka.

Terkait pengibaran bendera sendiri, hal itu menjadi aturan yang berusaha ditegakkan oleh rukun warga (RW) di kawasan Asrama Mahasiswa Papua. Pimpinan RW setempat pun sudah memberikan instruksi kepada warga-warganya untuk memasang bendera merah putih sejak tanggal 1 Agustus 2019. Dan terkait itu, disinyalir bahwa sebenarnya para mahasiswa Papua yang menghuni asrama itu tidak menolak atau menentang adanya aturan itu. Bahkan mereka pun sepertinya juga baru mengetahui aturan tersebut. Sehingga posisi mereka itu pada dasarnya ‘diam’ terkait aturan pengibaran bendera yang ada di lingkungan rukun warganya, bukan menentang.

Pasca kejadian itu, meluap juga kejadian-kejadian di kota-kota lain di Indonesia. Salah satunya kejadian kerusuhan yang melibatkan mahasiswa Papua dan unsur masyarakat di Malang. Ada juga peristiwa demonstrasi besar-besaran dan kerusuhan yang terjadi di daerah-daerah di Papua.

Penyelenggara negara (pemerintah) dan pihak terkait pun akhirnya mengambil tindakan-tindakan tanggapan. Seperti Polri yang mendatangkan pasukan sebanyak 1.200 personel untuk mengamankan sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat pasca demonstrasi. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) juga mematikan akses internet sementara di wilayah Papua untuk tetap menjaga kondusifitas di sana. Dan Kepala-Kepala Daerah yang terkait, seperti Walikota Surabaya (Tri Rismaharini) dan Gubernur Jawa Timur

(11)

11

(Khofifah Indar Parawansa) juga melayangkan pernyataan penyesalan dan permintaan maaf atas kejadian ini.

Pada tanggal 22 Agustus 2019 di Istana Kepresidenan Bogor, Presiden Joko Widodo meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk mengusut tuntas kasus diskriminasi dan rasisme di depan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya itu. Sementara di tempat lain, Polda Jawa Timur pun juga berjanji akan mengusut dua perkara yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua. Pertama adalah kasus diskriminasi dan rasisme yang menimpa mahasiswa Papua, dan yang kedua adalah perusakan bendera merah putih itu sendiri.

Hingga saat ini, beberapa tindakan tegas sudah dilayangkan oleh pihak terkait. Seperti Komandan Koramil Tambaksari, Surabaya Mayor NH Irianto yang dicopot dari jabatannya sebagai Komandan Koramil. Polisi Militer Kodam V/Brawijaya telah menjatuhkan skorsing kepada lima personel tentara yang terlibat dalam diskriminasi dan rasisme itu untuk memudahkan penyelidikan. Sementara aparat kepolisian sedang berusaha menindaklanjuti kasus perusakan bendera merah putih di depan Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya. Empat ormas yang terlibat dalam aksi di sana dipanggil oleh Polrestabes Surabaya. Sebanyak 3 perwakilan dari ormas pun memenuhi panggilan Satreskrim pada tanggal 24 Agustus 2019. Mereka di antaranya adalah Tri Susanti dari FKPPI, Dj Arifin dan Arukat Djaswadi dari Sekber Benteng NKRI, dan Basuki dari Pemuda Pancasila. Sementara satu ormas yang belum memenuhi panggilan penyidik adalah Agus Fachrudin alias Gus Din dari Wali Laskar Pembela Islam Surabaya. Kepolisian juga memeriksa akun provokatif soal mahasiswa Papua di Surabaya yang turut menyebabkan daerah-daerah lain ikut memanas, terutama di wilayah Papua sendiri.

Dalam waktu yang sama, rapat FKPPI di Jawa Timur memutuskan untuk mencopot Tri Susanti dari posisinya sebagai Wakil Ketua FKPPI Surabaya sekaligus mencabut keanggotaannya. Ini lantaran Tri Susanti mendatangi asrama secara personal tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan organisasi, namun ia malah membawa nama organisasi FKPPI secara sepihak saat aksi di depan asrama itu. Tri Susanti sendiri sudah menyatakan permintaan maaf melalui media terkait isu itu, meskipun dia seakan masih berupaya untuk tetap membenarkan tindakannya tersebut (menegakkan bendera merah putih).

(12)

12

BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa hulu konflik yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua yaitu akibat dipicu oleh fakta perusakan tiang bendera di depan asrama yang membuat bendera merah putih jatuh ke dalam selokan. Karena merupakan tindakan tidak etis dan dilarang oleh undang-undang, menyebabkan amarah dari sejumlah aparat dan organisasi masyarakat (ormas) yang datang secara bertahap ke lokasi asrama, dengan niatan memprotes kejadian perusakan bendera merah putih yang dalam faktanya pun belum dapat dipastikan oknum atau pelaku perusakan tersebut adalah mahasiswa Papua yang berkediaman di Asrama Mahasiswa Papua.

Kemudian dengan terjadinya peristiwa itu, apakah tindakan aparat dan sejumlah ormas tersebut sudah sesuai dengan proses hukum yang ada dalam menangani kasus perusakan bendera merah putih. Jika ditinjau dari UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, melihat pada Pasal 66 yang menyatakan,

Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Oleh karena tindakan perusakan bendera negara merupakan pelanggaran pidana, maka seharusnya penanganan yang dilakukan harus sesuai dengan prosedur penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak aparat kepolisian. Prosedur penanganan tersebut telah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu pada Pasal 3 dan 4 mengenai :

Pasal 3

Ruang lingkup pengawasan dan pengendalian penanganan perkara pidana yang diatur di dalam Peraturan Kapolri ini meliputi:

a. penerimaan dan penyaluran Laporan Polisi; b. penyelidikan;

c. proses penanganan perkara; d. pemanggilan;

(13)

13 e. penangkapan dan penahanan;

f. pemeriksaan;

g. penggeledahan dan penyitaan; h. penanganan barang bukti; i. penyelesaian perkara;

j. pencarian orang, pencegahan dan penangkalan; dan k. tindakan koreksi dan sanksi.

Pasal 4

1) Proses penyidikan perkara harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2) Proses penyidikan yang telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan merupakan proses yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun. 3) Terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh penyidik dalam pelaksanaan

penyidikan harus dilakukan tindakan koreksi agar berlangsung dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

4) Terhadap penyidik yang melakukan penyimpangan atau menyalahgunakan

kewenangan harus dikenakan tindakan koreksi dan diterapkan sanksi administrasi atas tindakan pelanggaran yang dilakukannya secara proporsional.

Dengan penjelasan peraturan seperti di atas, maka seharusnya aparat kepolisian dapat melakukan proses penanganan kasus perusakan bendera sesuai prosedur yang berlaku. Namun yang sangat disayangkan, alih-alih mengedepankan prosedur yang berlaku, fakta di lapangan yang terjadi adalah lebih mengedepankan tindakan yang terlalu reaksioner dan represif oleh aparat dan beberapa ormas terkait. Oleh sebab itu, tindakan tersebut mengindikasikan bahwa penanganan kasus perusakan bendera ini belum melalui prosedur peraturan yang harusnya wajib dilaksanakan terlebih dahulu. Dan yang lebih miris lagi, mahasiswa Papua yang berada di dalam asrama mendapatkan tindakan yang sewenang-wenang seakan-akan bahwa oknum perusak bendera tersebut adalah mereka, meskipun pada kenyataannya belum terbukti secara benar adanya.

Perilaku penuduhan tersangka melalui tindakan represif ini juga disayangkan, karena memperlakukan tersangka yang masih belum pasti dengan semena-mena melalui alasan bahwa mereka telah bersalah melakukan suatu tindak pidana. Kedudukan tersangka seharusnya adalah sebagai subjek, di mana dalam setiap pemeriksaan harus diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri. Bukan melihat tersangka sebagai obyek yang ditanggali hak asasi dan harkat martabat kemanusiaannya dengan

(14)

sewenang-14

wenang. Karena sebagaimana asas praduga tidak bersalah yang dianut di dalam proses peradilan pidana di Indonesia yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 yaitu, Setiap orang yang ditahan, disangka, ditangkap, dituntut, dan/atau

dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Aparat berwenang seperti polisi harusnya lebih memahami bagaimana prosedur pengamanan yang harusnya dilaksanakan. Bahkan seorang anggota polisi seharusnya memang berkewajiban menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) dan menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di hadapan hukum. Hal ini akan menjadi permasalahan jika kewajiban dari setiap anggota polisi tidak dijalankan sesuai aturan yang ada, dan bahkan bisa berdampak pada potensi pelanggaran kode etik dan disiplin Polri yang diatur dalam PP No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kehadiran aparat TNI, Polisi, Satpol PP, dan ormas yang secara bertahap dan terkesan anarkis ini sungguh tidak patut untuk ditiru. Apalagi sampai melakukan tindakan pengepungan, penyerangan, sekaligus makian dan cacian rasis kepada para penghuni asrama dengan kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan. Mereka juga melakukan tindakan melempar batu ke arah dalam asrama. Mirisnya tindakan persekusi dan diskriminasi bahkan rasisme tersebut, terbukti bukan hanya dilakukan oleh pihak masyarakat namun oleh oknum tentara juga. Hal itu terlihat jelas dalam salah satu bukti video pada kasus pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, beberapa oknum tentara (personel koramil) memanggil dan memaki para penghuni asrama dengan kata-kata rasis yang tidak berperikemanusiaan.

Di sinilah dapat disepakati bersama bahwa tindakan persekusi, diskriminasi, dan bahkan rasisme tidak bisa dibenarkan atas dasar atau alasan apapun kepada setiap manusia. Karena hal-hal tersebut sudah sangat tegas dilarang dan dapat dinyatakan sebagai pelanggaran pidana sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Pasal 15 dan 16.

Pasal 15

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu

(15)

15 kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 16

Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Perbuatan yang menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b di antaranya sebagai berikut.

1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain; 2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan katakata tertentu di tempat umum atau

tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;

3. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau

4. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Selain itu, bukti pelanggaran pidana juga tertuang pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 yang memutuskan, Barangsiapa di muka umum menyatakan

perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Maka daripada itu sudah sepatutnya oknum-oknum pelaku tindakan persekusi, diskrimanasi, serta rasisme ini harus segera ditindak secara tegas dan transparan agar perilaku yang tidak berperikemanusiaan dan melanggar HAM tersebut dapat diadili secepat-cepatnya. Sangat ironis jika diketahui bersama salah satu pelaku tindakan tersebut adalah oknum aparat keamanan yang seharusnya berkewajiban melindungi dan mencegah adanya tindakan

(16)

16

persekusi, diskriminasi, dan rasisme terhadap masyarakat, malah menjadi salah satu aktor pelaku tindakan tersebut. Dan catatan penting pula, meskipun penindakan kasus perusakan bendera harusnya cukup dengan tindak lanjut dari pihak kepolisian saja sesuai dengan peraturan yang berlaku, seharusnya pihak lain seperti TNI dan ormas yang berada di lokasi kejadian pun tetap harus lebih mengedepankan komunikasi sosial daripada tindakan emosional.

Selain tindakan represif dan rasisme yang tidak terpuji dilakukan oleh beberapa pihak pada saat pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya lalu, terdapat pula salah satu peristiwa yang sedikit aneh ditemui pada proses pengamanan para mahasiswa papua oleh aparat kepolisian. Pada 17 Agustus 2019 tepatnya pada pukul 15.00 WIB, alih-alih berargumen untuk melaksanakan proses pengamanan terhadap 43 orang dari pihak kepolisian, proses pengamanan tersebut dilakukan secara janggal dengan menggunakan penembakkan gas air mata ke arah asrama. Kemudian setelah mendobrak gerbang, aparat brimob kepolisian yang membawa senjata laras panjang langsung merangsek masuk ke dalam asrama. Mereka menangkap secara paksa 43 mahasiswa Papua dengan dalih pengamanan terhadap konflik dan membawanya ke Mapolrestabes Surabaya dengan menggunakan truk.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah urgensi penggunaan gas air mata terhadap proses pengamanan para mahasiswa Papua tersebut. Jika mengacu pada prosedur yang ada, dapat dilihat pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, pada Pasal 5 yang menyatakan :

1) Tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian terdiri dari: a. tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan; b. tahap 2 : perintah lisan;

c. tahap 3 : kendali tangan kosong lunak; d. tahap 4 : kendali tangan kosong keras;

e. tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri;

f. tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.

2) Anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

(17)

17

Dengan mengacu pada peraturan tersebut dan membenturkannya pada fakta di lapangan, pihak kepolisian terbukti belum melalui tahapan-tahapan sebagaimana diatur dengan benar. Setelah melakukan tahap 1 dan 2, pihak kepolisian seakan mengabaikan tahapan selanjutnya yaitu tahap 3 dan 4, tetapi lebih memilih langsung meloncati tahapan tersebut sehingga dilakukan penembakan gas air mata yang seharusnya baru memasuki tahapan ke 5 dalam peraturan tersebut. Seharusnya juga penggunaan senjata gas air mata ini patut mempertimbangkan tingkat bahaya ancaman pelaku kejahatan atau tersangka. Kerancuan tindakan dari pihak kepolisian dengan dalih ingin mengamankan para mahasiswa Papua, terkesan sangat janggal dengan menyamakan prosedur pengamanan tersebut dengan proses pengamanan seorang pelaku kejahatan atau tersangka. Yang pada faktanya pada saat itu para mahasiswa Papua tersebut belum secara resmi dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau tersangka.

Oleh karena berbagai fakta kesewenang-wenangan perilaku yang didapatkan oleh para mahasiswa Papua yang berkediaman di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, maka di sini disadari bersama bahwa Indonesia masih belum berhasil dalam memerangi tindak diskriminasi dan pelanggaran HAM, serta pemberian perlindungan pada setiap warga negaranya. Masih banyak pihak yang mengedepankan tingkat emosionalnya daripada lebih mencoba terbuka dan mengedepankan komunikasi sosial yang ada. Padahal sudah sangat terjelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak masing-masing yang dijamin oleh negara, serta perlu dijaga dan dihormati bersama. Sesuai yang diatur pada UUD 1945 Pasal 28G tentang HAM :

1) Setiap orang berhak atas perlidungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

2) Setiap orang berhak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

Tidak terbantahkan lagi, bahwasannya panggilan untuk setiap penegakkan HAM dari segala bentuk diskriminasi bukan hanya diamanahkan kepada para aparat keamanan yang ada maupun masyarakatnya sendiri. Bahkan pemerintah pun juga harus mempunyai andil yang dominan dalam setiap perlindungan hak-hak masyarakatnya. Hal tersebut pasti dan wajib dilaksanakan oleh pemerintah dengan mengacu pada UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dalam Pasal 6 dan 7 mengenai :

(18)

18 Pasal 6

Perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7

Untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pemerintah dan pemerintah daerah wajib :

a. memberikan perlindungan yang efektif kepada setiap warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis dan menjamin terlaksananya secara efektif upaya penegakan hukum terhadap setiap tindakan diskriminasi yang terjadi, melalui proses peradilan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menjamin setiap warga negara untuk memperoleh pertolongan, penyelesaian, dan

penggantian yang adil atas segala kerugian dan penderitaan akibat diskriminasi ras dan etnis;

c. mendukung dan mendorong upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dan menjamin aparatur negara dan lembaga-lembaga pemerintahan bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan

d. melakukan tindakan yang efektif guna memperbarui, mengubah, mencabut, atau membatalkan peraturan perundang-undangan yang mengandung diskriminasi ras dan etnis.

Sehingga pada akhirnya penegakkan dan penghormatan atas hak asasi setiap warga negara adalah kewajiban semua elemen yang ada pada bangsa Indonesia. Tidak terkecuali aparat penegak hukum yang berkewajiban dalam penegakan keamanan dan ketertiban masyarakat dengan menghormati harkat dan martabat manusia. Selain pemerintah yang berkewajiban memelihara penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat, masyarakat sendiri juga harus saling menghormati hak masing-masing masyarakat yang ada. Kasus yang menimpa mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua cukup mengindikasikan bahwa pemerintah daerah yang terkait (Surabaya dan/atau Jawa Timur) dinilai lalai dalam upaya pemeliharaan penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat di daerahnya. Karena seperti apapun perilaku, bentuk fisik, suku, ras, agama, apa saja kontribusi terhadap negara, apa saja prestasi yang diperoleh, apa saja yang telah diberikan kepada negara dan berbagai perbedaan lainnya, setiap orang tetap berhak mendapatkan perlakuan dan hak yang sama atas pribadinya oleh setiap warga negara di Indonesia.

(19)

19

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan pada diskriminasi dan rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya karena dugaan keterlibatan perusakan bendera merah putih sampai pada kesimpulan bahwa ada beberapa tindakan yang dinilai melanggar peraturan perundang-undangan, di antaranya sebagai berikut.

1. Perusakan bendera merah putih yang ditemukan di depan Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya belum dapat dibuktikan siapa pelakunya. Namun yang jelas, perusakan bendera merah putih tersebut melanggar UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Pasal 66 yang menggolongkan pelanggaran tersebut sebagai pelanggaran pidana.

2. Tindakan diskriminasi dan rasisme seperti yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan (kepolisian dan tentara) beserta organisasi masyarakat (ormas) saat berada di depan Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya tidak dapat dibenarkan. Karena tindakan tersebut tergolong sebagai pelanggaran pidana seperti yang sudah diatur dalam Pasal 15 dan 16 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan KUHP Pasal 156.

3. Aparat kepolisian dinilai melakukan tindakan represif dalam pengamanan mahasiswa di Asrama Mahasiswa Papua, yang mana berpotensi melanggar UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 8.

4. Pengamanan yang dilakukan oleh aparat kepolisian tidak sesuai dan melanggar Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian Pasal 5. Hal itu dikarenakan pengamanan itu tidak mengikuti urutan dalam tahapan penggunaan kekuatan dengan mempertimbangkan tingkat bahaya ancaman dari pelaku tindak kejahatan.

5. Pemerintah daerah yang terkait (Surabaya dan/atau Jawa Timur) dinilai lalai dalam upaya pemeliharaan penyelenggaraan ketertiban dan keamanan masyarakat di daerahnya, seperti yang telah diatur dalam UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Pasal 7.

(20)

20

6. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28G tentang Hak Asasi Manusia, maka seluruh masyarakat Indonesia dan secara khusus masyarakat yang berada di daerah terkait harus turut menjunjung tinggi perlidungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda orang lain tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antar golongan. Bukan malah sebaliknya.

(21)

21

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Alfian Putra (2019, Agustus 17). tirto.id. Dipetik Agustus 25, 2019, dari tirto.id: https://tirto.id/kisah-penangkapan-42-orang-di-asrama-papua-surabaya-versi-mahasiswa-eguq

BBC News Indonesia (2019, Agustus 23). Dipetik Agustus 25, 2019, dari bbc.com: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49446765

Bhaskara, Ign. L. Adhi (2018, November 16). tirto.id. Dipetik Agustus 26, 2019, dari tirto.id: https://tirto.id/komnas-ham-kesadaran-masyarakat-akan-diskriminasi-rasetnis-rendah-dacy

Dhani Irawan. (2017, Juni 02). tirto.id. Dipetik Agustus 26, 2019, dari news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3518046/mengenal-tindakan-persekusi-dan-ancaman-hukumannya

Hastanto, Ikhwan. (2019, Agustus 26). vice.com. Dipetik Agustus 26, 2019, dari vice.com: https://www.vice.com/id_id/article/vb5e53/lima-tentara-diduga-ucapkan-makian-rasial-di-asrama-papua-surabaya-kena-skorsing

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Kresna, Mawa. (2019, Agustus 22). tirto.id. Dipetik Agustus 26, 2019, dari tirto.id: https://tirto.id/video-polisi-gagal-mengatasi-rasisme-di-asrama-mahasiswa-papua-egLA

Republik Indonesia. (2003). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003

tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. No. 2. Sekretariat

Negara. Jakarta : Lembaran Negara RI Tahun 2003.

Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman. No. 8. Sekretariat Negara. Jakarta.: Lembaran Negara RI

Tahun 2004.

Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008

tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. No. 170. Menteri Hukum dan HAM RI.

Jakarta : Lembaran Negara RI Tahun 2008.

(22)

22

Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009

tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. No. 109. Menteri

Hukum dan HAM RI. Jakarta : Lembaran Negara RI Tahun 2009.

Republik Indonesia. (2009). Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. No. 429. Menteri Hukum dan HAM RI.

Jakarta : Berita Negara RI Tahun 2009.

Republik Indonesia. (2009). Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Menteri Hukum

dan HAM RI. Jakarta : Berita Negara RI Tahun 2009.

Republik Indonesia. (2011). Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. No. 608.

Menteri Hukum dan HAM RI. Jakarta : Berita Negara RI Tahun 2011.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Widhana, Dieqy Hasbi (2019, Agustus 20). tirto.id. Dipetik Agustus 25, 2019, dari tirto.id: https://tirto.id/siklus-rasisme-terhadap-mahasiswa-papua-egA4

(23)

23

INFORMASI

1. UU No. 24 Tahun 2009 Pasal 66

Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

2. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Pasal 3 dan 4

Pasal 3

Ruang lingkup pengawasan dan pengendalian penanganan perkara pidana yang diatur di dalam Peraturan Kapolri ini meliputi:

a. penerimaan dan penyaluran Laporan Polisi; b. penyelidikan;

c. proses penanganan perkara; d. pemanggilan;

e. penangkapan dan penahanan; f. pemeriksaan;

g. penggeledahan dan penyitaan; h. penanganan barang bukti; i. penyelesaian perkara;

j. pencarian orang, pencegahan dan penangkalan; dan k. tindakan koreksi dan sanksi

Pasal 4

1) Proses penyidikan perkara harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2) Proses penyidikan yang telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan merupakan proses yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun. 3) Terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh penyidik dalam pelaksanaan

penyidikan harus dilakukan tindakan koreksi agar berlangsung dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

4) Terhadap penyidik yang melakukan penyimpangan atau menyalahgunakan kewenangan harus dikenakan tindakan koreksi dan diterapkan sanksi administrasi atas tindakan pelanggaran yang dilakukannya secara proporsional.

(24)

24 3. UU No. 4 Tahun 2004 Pasal 8

Setiap orang yang ditahan, disangka, ditangkap, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap

4. PP No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

5. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

6. UU No. 40 Tahun 2008 Pasal 4, 15, dan 16 Pasal 4

a. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan, pengecualian,

pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau

b. Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis yang berupa perbuatan:

1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;

2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan katakata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;

3. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau

4. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Pasal 15

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan

(25)

25

dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 16

Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

7. KUHP Pasal 156

Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara

8. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 1 Tahun 2009 Pasal 5

1) Tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian terdiri dari: a. tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan; b. tahap 2 : perintah lisan;

c. tahap 3 : kendali tangan kosong lunak; d. tahap 4 : kendali tangan kosong keras;

e. tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri;

f. tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.

2) Anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan

(26)

26

atau tersangka dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

9. UUD 1945 Pasal 28G

1) Setiap orang berhak atas perlidungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

2) Setiap orang berhak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

10. UU No. 40 Tahun 2008 Pasal 6 dan 7 Pasal 6

Perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7

Untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pemerintah dan pemerintah daerah wajib :

a. memberikan perlindungan yang efektif kepada setiap warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis dan menjamin terlaksananya secara efektif upaya penegakan hukum terhadap setiap tindakan diskriminasi yang terjadi, melalui proses peradilan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. menjamin setiap warga negara untuk memperoleh pertolongan, penyelesaian, dan penggantian yang adil atas segala kerugian dan penderitaan akibat diskriminasi ras dan etnis;

c. mendukung dan mendorong upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dan menjamin aparatur negara dan lembaga-lembaga pemerintahan bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan

d. melakukan tindakan yang efektif guna memperbarui, mengubah, mencabut, atau membatalkan peraturan perundang-undangan yang mengandung diskriminasi ras dan etnis.

(27)

Sikap Keluarga Mahasiswa

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

terhadap

Diskriminasi dan Rasisme Mahasiswa Papua di Surabaya

Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

Negara Indonesia memiliki dasar negara yang bernama Pancasila. Pancasila sendiri menjadi sebuah rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sila (dasar) yang terdapat dalam Pancasila mencakup semua nilai luhur seperti yang juga dijelaskan kembali di seluruh undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang ada di negara ini. Salah dua poinnya yaitu pada sila kedua dan sila kelima yang berbunyi:

(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab

(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Dua sila itu yang menjadi landasan penting terkait upaya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal itu semakin terang dengan adanya pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa salah satu cita-cita negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pancasila dan UUD 1945 itu pun hakikatnya menjadi salah dua instrumen dasar dalam perlindungan HAM di negara ini. Instrumen lainnya yaitu unsur derivatif (turunan) berupa undang-undang di bawah kedua instrumen tersebut. Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai dan cita-cita itu diwujudkan dengan membentuk lembaga-lembaga yang memiliki peranan untuk menegakkan perlindungan HAM bagi seluruh masyarakatnya.

Selain itu, keberadaan Pancasila dan UUD 1945 beserta undang-undang lainnya itu juga mengikat terhadap setiap warga negara Indonesia. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sosial satu sama lain. Sehingga demi menuju nilai dan cita-cita luhur Indonesia seperti yang tertuang di kedua instrumen tersebut, diperlukan upaya bersama untuk teguh menegakkan perlindungan HAM, baik dari lembaga-lembaga yang telah terbentuk maupun dari setiap warga negaranya.

(28)

Sayangnya, dalam waktu lebih dari 20 (dua puluh) tahun pasca reformasi, tindakan pelanggaran HAM masih saja marak terjadi. Seperti kasus diskriminasi dan rasisme terhadap ras dan etnis tertentu. Penyelenggara negara hingga hari ini belum mampu untuk menindak secara tegas setiap kasus diskriminasi dan rasisme yang bergulir di daerah-daerah Indonesia sepenuhnya.

Faktor lain yang mempengaruhinya adalah kesadaran masyarakat akan diskriminasi ras dan etnis masih rendah. Survey tentang penilaian masyarakat terhadap upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis di Indonesia yang pernah dilakukan oleh Komnas HAM pernah menunjukkan bahwa 43,8 persen dari responden tidak mengetahui adanya sanksi hukum terhadap pelanggaran diskriminasi ras dan etnis. Hal itu menjadi indikasi bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap isu diskriminasi dan rasisme masih minim. Kesadaran warga negara yang rendah akan diskriminasi dan rasisme dapat memberikan ruang untuk masih terjadinya kasus-kasus diskriminasi dan rasisme itu di Indonesia.

Oleh karena itu, kesadaran dan keteguhan sangat diperlukan bagi setiap warga negara Indonesia. Bukan hanya penyelenggara negara ataupun pihak-pihak yang terkait saja. Demi menuju nilai-nilai luhur Pancasila itu, setiap warga negara harus memiliki kesadaran dan keteguhan untuk menjunjung kemanusiaan dan keadilan sosial satu sama lain dengan memerangi setiap kasus diskriminasi dan rasisme terhadap siapapun

Namun, dalam kejadian yang berlangsung sejak tanggal 16 Agustus hingga 17 Agustus 2019 di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya, beberapa oknum aparat kepolisian dan juga TNI terlihat terlibat dalam upaya diskriminasi dan rasisme yang dilakukan bersama organisasi masyarakat (ormas) dan masyarakat setempat. Rangkaian kasus itu bermula dari munculnya isu perusakan bendera merah putih yang ditemukan di depan Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya pada tanggal 16 Agustus 2019. Perusakan itu tidak diketahui secara pasti siapa pelakunya. Namun, beberapa oknum aparat dan unsur masyarakat setempat menuding bahwa pelaku perusakan bendera merah putih itu adalah oknum mahasiswa Papua yang bertempat tinggal di asrama tersebut. Atas tudingan itu, oknum aparat dan unsur masyarakat setempat mendatangi lokasi kejadian perusakan bendera tersebut.

Beberapa kata yang tidak pantas untuk diucapkan antar sesama umat manusia seperti, “monyet”, “anjing”, “babi”, dan “jancuk” mereka lontarkan kepada penghuni asrama yang tidak lain adalah mahasiswa Papua. Mahasiswa Papua secara sederhana (tanpa analisis yang

(29)

mendalam) dianggap sebagai dalang kejadian perusakan tiang bendera merah putih yang ditemukan di depan asrama mereka.

Oknum aparat dan unsur masyarakat juga tidak segan untuk merusak pagar asrama dan melempar batu ke arah asrama. Dan keesokan harinya, 43 (empat puluh tiga) mahasiswa Papua tersebut diamankan dengan dalih untuk menghindari perseteruan antara kedua belah pihak yang dikhawatirkan semakin memanas mengingat jumlah massa yang mendatangi asrama akan dapat semakin banyak.

Namun klaim pengamanan yang dilakukan oleh aparat kepolisian ini pun dinilai janggal. Karena dalam pengamanan itu aparat kepolisian menggunakan tembakan gas air mata ke dalam rumah asrama untuk mengundang penghuni asrama agar segera keluar. Mekanisme ini dirasa kurang tepat untuk mengamankan seseorang maupun kelompok orang.

Aparat kepolisian mengangkut para mahasiswa ke Markas Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya (Mapolrestabes Surabaya) untuk dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan itu berlangsung sekitar 8 jam hingga pukul 00.00 WIB dini hari. Dari hasil pemeriksaan itu, seluruh penghuni asrama itu mengaku benar-benar tidak mengetahui ihwal perusakan bendera merah putih yang ditemukan di depan asrama mereka itu.

Tindakan diskriminasi dan rasisme seperti yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan (kepolisian dan tentara) beserta organisasi masyarakat (ormas) saat berada di depan Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya tidak dapat dibenarkan. Karena tindakan tersebut tergolong sebagai pelanggaran pidana seperti yang sudah diatur pada Pasal 15 dan 16 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan Pasal 156 KUHP.

Demikian juga dengan pengamanan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Mekanisme itu tidak sesuai dan melanggar Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian Pasal 5. Hal itu dikarenakan pengamanan itu tidak mengikuti urutan dalam tahapan penggunaan kekuatan dengan mempertimbangkan tingkat bahaya ancaman dari pelaku tindak kejahatan.

Maka dari itu, Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember menyatakan sikap di antaranya sebagai berikut.

1. Mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas pelaku di balik perusakan bendera di depan asrama itu secara tegas, transparan dan tepat.

(30)

2. Mendesak aparat kepolisian dan Polisi Militer TNI untuk menindak secara tegas setiap aparat dan ormas yang terlibat dalam represivitas dan rasisme tersebut.

3. Mengimbau pihak kepolisian untuk mengevaluasi secara internal tindakan pengamanan yang dilakukan oleh aparat terhadap mahasiswa Papua.

4. Mendorong pemerintah daerah terkait untuk menjamin mahasiswa Papua dalam memperoleh pertolongan, penyelesaian, dan penggantian yang adil atas segala kerugian dan penderitaan akibat diskriminasi ras dan etnis tersebut.

5. Menuntut Pemerintah Indonesia dalam menjamin hak-hak demokratis rakyat terutama mahasiswa Papua untuk memberikan pendapatnya di muka umum.

Demikian tuntutan KM ITS dibuat dengan penuh kesadaran serta telah mekanisme sesuai dengan aturan yang ada pada sistem KM ITS, semoga Tuhan menjaga niat baik tiap orang-orang baik.

Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! VIVAT!

Surabaya, 27 Agustus 2019

Atas nama Keluarga Mahasiswa ITS,

Muhammad Luthfi Hardiawan Presiden BEM ITS 2019/2020

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya dan dengan penuh kesadaran bahwa dalam menulis tesis dengan judul: Analisis Pengambilan Keputusan Pemilih Pemula (Studi

Adapun beberapa perubahan yakni tarif yang awalnya pada PP No.46 Tahun sebesar 1% berubah menjadi 0.5% dan Batasan waktu dalam penggunaan fasilitas pajak UMKM

Dari hasil analisis, berdasarkan persepsi pengguna jasa, faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan kinerja terminal bus Haumeni adalah tidak adanya bus yang masuk

Sebelum melakukan korelasi dengan variabel pembangunan manusia, variabel pariwisata dihubungkan dengan variabel antara yaitu variabel PDRB sebagai indikator atau tolak ukur

Hubungan antara lamanya waktu mengkonsumsi kopi dengan jenis kopi yang dikonsumsi.

Anak juga dapat menceritakan dari mana ia mendapatkannya atau pengalaman apa yang dialami anak dengan benda atau kemasan benda tersebut..  Anak pantang menyerah

Berdasarkan simulasi 1 dan 2 dapat disimpulkan bahwa pemilihan matrik Q berbentuk diagonal dengan elemen matrik dipilih nol untuk yang berhubungan dengan parameter posisi

Pilih kode kategori yang ingin anda kembalikan ke kondisi awal. Tekan tombol lalu tekan lagi dan tahan tombol. Lepaskan setelah terdengar nada dering. Lalu tekan dan