• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSISTENSI TAUBAT DAN IKHLAS DALAM MENJALANKAN HIDUP SEBAGAI HAMBA ALLAH. Kasron Nasution

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSISTENSI TAUBAT DAN IKHLAS DALAM MENJALANKAN HIDUP SEBAGAI HAMBA ALLAH. Kasron Nasution"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

HIDUP SEBAGAI HAMBA ALLAH Kasron Nasution

Dosen Tetap Fakultas Ilmu Komunikasi UIN Sumatera Utara Medan e-mail: [email protected]

Abstract: Repentance and sincerity are two series of complementary contents,

because repentance is done without sincerity, it will be in vain, sincere and sincere is an attitude that is carried out without being burdened with anything, so that the attitude and behavior of the sincere person goes according to what is not there must be certain conditions new activity is carried out, but it just flows like water to a lower place. The expression repentance is the ultimate word of the attitude of a person who is perfect in acknowledging himself as a creature who is swayed with sin and stains that positions himself in the lowest place, even more despicable than livestock, but has a myriad of hopes for the Divine Rabbi for the magnitude of His love compared to His temper tantrums. Aware of his decline from the attitude of low behavior that he did, then with all the humility anxiously hopeful he was able to give birth to a sincere attitude towards whatever rewards Allah inflicted on him. He can accept all kinds of consequences of the crime he committed with a very deep awareness, so that there is no other way that even if he takes it except only surrender and sincerely accepting Allah's provisions for him in accounting for the stupid and silly actions he has done with a humble hope of Divine affection that endless.

Keyword:Repentance, Ikhlas, Tawakkal, Sabar, Gratitude.

PENDAHULUAN

Taubat dan ikhlas adalah dua serangkai yang saling isi mengisi, sebab taubat dilakukan tanpa keikhlasan maka akan sia-sia, ikhlas dan tulus adalah sikap yang dilakukan tanpa terbebani dengan apapun, sehingga sikap dan perilaku orang ikhlas itu berjalan dengan apa adanya tidak harus ada syarat tertentu baru terlaksananya sesuatu kegiatan, melain-kan mengalir begitu saja seperti air me-nuju tempat yanglebih rendah.

Ungkapan taubat adalah kata pamungkas dari sikap seseorang yang paripurna dalam pengakuan dirinya sebagai makhluk yang bergelimang dengan dosa dan noda yang memposiskan dirinya pada tempat terendah, bahkan lebih hina dari hewan ternak, namun memiliki segudang asa akan ampuna Ilahi Rabbi atas besarnya kasih sayang Allah dibanding dengan sikap amarah-NYa.

Sadar akan terpuruknya ia dari sikap perilaku rendah yang dilakukannya, maka dengan segala kerendahan hati yang cemas penuh harap ia mampu melahirkan sikap ikhlas terhadap ganjaran apapun yang ditimpaka Allah kepadanya. Ia dapat menerima segala macam konsekwensi dari kejahatan yang dilakukannya dengan kesadaran yang amat dalam, sehingga tiada jalan lain yang meski ia tempuh kecuali hanya pasrah dan ikhlas menerima ketentuan Allah atas dirinya dalam mem-pertanggungjawabkan tindakan bodoh dan konyol yang pernah dilakukan-nya dengan sebongkah harapan akan kasih sayang Ilahi yang tak bertepi itu.

PENGERTIAN TAUBAT

Taubat adalah (al-taubah) suatu upaya yang dilakukan seorang sufi untuk membersihkan dirinya dari segala macam dosa yang menjadi penyebab manusia

(2)

| jauh dari Tuhan. Menurut al-Junaid, taubat

adalah melupkan dosa. Al-Nuri merumus-kan bahwa taubat adalah tidak mengingat sesuatu selain Allah. Sementara Dzu al-Nun al-Mishri mengemukakan dua macam taubat, yaitu taubat orang awam, yakni taubat dari segala macam dosa lahir dan batin serta taubat orang khawash, yaitu taubat dari kelalaian atau kealfaan mengingat Allah.

Adapun kata taubat berasal dari bahasa arab taba, yatubu, taubatan, yang artinya kembali. Menurut kaum sufi taubat yang dimaksud adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahn yang telah diperbuat selam ini, disertai dengan janji yang sunggu-sunggu tidak akan meng-ulangi perbuatan dosa tersebut yang disertai dengan melakukan amal ke-bajikan.1

Al-Ghazali mengklasifikasikan taubat kepada tiga tingkatan:

a. Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada ke-baikan karena takut kepada perintah Allah.

b. Berpindah dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf keadaan ini sering disebut dengan “inabah”.

c. Penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut “aubah”.2

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa taubat adalah amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang lurus (yakni pada ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan menjauhi segala larangan-nya) dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak akan mengulanginya lagi, kondisi ini dilaksana-kan berkesinambungan secara terus

1 Iqbal Irham, Membangun Moral Bangsa

Melalui Akhlak Tasawuf. (Ciputat: Pustaka Al-Ihsan, 2012), h. 133

2

Iqbal Irham, Membangun… h. 58.

menerus sepanjang hayatnya, berjanji tidak akan mengulanginya lagi dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Taubat merupakan hal yang wajib dilaksanakan dari setiap dosa-dosa, maka jika maksiat (dosa) itu hanya antara ia dengan Allah, tidak ada hubungan dengan manusia.3 Allah berfirman dalam Alquran:

ِ و

ِ ذذذ َأ نًة

َ

َعِاىذذذاوَلَعِاَانذِ َ َنيذذَّلاَو

ِاوا ذذذ َا َاِ ك اذذذذ َه اس ف

ِاىذذ امَو

َ

ظ

َ

ِ ا َّللَّاِ َّ نذِ َهى

اف ايذذلاِ ا ذذنس فَرِ ذذَ َوِ كن نمىافايذذنلِاوا َس فَغذذ سةَعَِ َّللَّا

ِ ىذذذذذذذذذذذذذذذ امَو لَرِ كذذذذذذذذذذذذذذذ ا َوِاىذذذذذذذذذذذذذذذاوَل َعِةذذذذذذذذذذذذذذذ َ ِ ذذذذذذذذذذذذذذذ َََِْاوا ذذذذذذذذذذذذذذذ نَاَِ كذذذذذذذذذذذذذذذ

ل َو

َ

Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang

apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak menerus-kan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”

(QS. Ali-Imran: 135).

Ada beberapa persyaratan agar sah atau diterimanya taubat yang dilakukan seseorang, yaitu :

a. Harus menghentikan perbuatan yang bernilai maksiat.

b. Harus merasa menyesal dengan penyesalan yang amat dalam atas perbuatan dosa/kesalahan yang telah terlanjur dilakukannya.

c. Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu kembali, apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia maka taubatnya ditambah dengan syarat keempat, yaitu:

d. Menyelesaikan urusan dengan orang yang berhak dengan minta maaf atas kesalahannya atau mengembalikan apa yang harus dikembalikannya, sehingga kondisinya persis sama dengan situasi sebelum perbuatan itu dilakukan.

Terlepas dari mengenai tingkatan taubat, perlu diketahui bahwa taubat yang diperintahkan kepada orang-orang muk-min adalah taubat an-nasuha, seperti yang

3Muhammad Fadholi. Keutamaan Budi

(3)

disebutkan dalam firman Allah yang artinya: “ Hai orang-orang yang beriman,

bertaubatlah kepada Allah dengan

taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengata-kan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu".

(QS. At-Tahrim ayat: 8 )

Taubatan Nasuha artinya taubat

yang sebenar-benarnya dan pasti, yang mampu menghapus dosa-dosa sebelum-nya, menguraikan kekusutan orang yang bertaubat, menghimpun hatinya dan mengenyahkan kehinaan yang dilakukan-nya.

Muhammad bin Ka’ab al-Qurthuby berkata: “Taubatan nasuha menghimpun empat perkara: memohon ampun dengan lisan, membebaskan diri dari dosa dengan badan, tekat untuk kembali melakukannya lagi dengan sepenuh perasaan dan

menghindari teman-teman yang buruk.”4

Macam-macam Taubat: a. Taubat yang diterima (Nasuha)

Taubatan Nasuha adalah

kembali-nya seseorang dari perilaku dosa keperi-laku yang baik yang dianjurkan Allah. Taubat nasuha adalah taubat yang betul-betul dilakukan dengan serius atas dosa-dosa besar yang pernah dilakukan di masa lalu. Pelaku taubat nasuha betul-betul menyesali dosa yang telah dilakukannya, tidak lagi ada keinginan untuk mengulangi apalagi berbuat lagi, serta menggantinya dengan amal perbuatan yang baik dalma bentuk ibadah kepada Allah dan amal kebaikan kepada sesama manusia. Dosa

4

Yusuf Qardawi, Taubat, Terjemahan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h.36-37.

ada 2 macam: dosa pada Allah saja dan dosa kepada Allah dan manusia (haqqul

adami).

Siapa yang bertaubat kepada Allah dengan taubatan nasuha dan menghimpun semua syarat-syarat taubat sesuai dengan haknya, maka bias dipastikan bahwa taubatnya diterima oleh Allah. Namun diantara ulama ada yang mengatakan, di-terimanya taubat itu belum bisa dipasti-kan, tapi hanya sebatas harapan. Orang yang bertaubat ada di bawah kehendak Allah sekalipun ia sudah bertaubat. Mereka berhujjah dengan firman Allah:

ِ

ِ َ َّللَّاِ َّ نذ

َ

ِ ذَ نَِ َ ذنل

اِ َ و اُِةذ َ ِ ا نس فَي َوِ نهنبِ

َ

َكَ أارِ َ ِ ا نس فَر

ة مي نظَِْة م

ثنذِ يَرَت عاِندَقَعِن َّللَّةنبِ كن أارِ َ َوِِۚاءة َأَر

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan

mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48).

Pendapat lain mengatakan bahwa, seseorang yang telah melakukan taubat hakiki jika dia benar-benar telah berpaling dan kembali dari dosa-dosa menuju kebajikan dan petunjuk. Apabila berpaling dari dosa dilakukan dengan kesungguhan dan bukan semata-mata karena menyaksi-kan hukuman, dengan kekuasaan dan rahmat-Nya Allah Swt akan menerima taubatnya.5 Hal ini ditilik dari janji dan

Sunnatullah yang berlaku pada makhluk-nya.

b. Taubat yang tidak diterima

Ada dua macam taubat yang tidak akan diterima, yaitu :

1) Taubat atas kesalahan yang dilakukan di dunia tatkala hukuman telah

mengenai dirinya. Sesungguhnya

dalam keadaan ini tampak seolah-olah dia bertaubat, padahal tidak demikian.

5

Murtadha Muthahhari, Jejak-jejak Rohani. Terjemahan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 50.

(4)

| 2) Taubat yang dilakukan seorang hamba

di akhirat kelak. Ketika seorang hamba telah sampai ke alam akhirat, maka taubat dan penyesalannya tidak ber-guna lagi. Taubat itu tidak diterima lagi bukan hanya karena ketika itu hukuman balasan telah tampak jelas di hadapannya, akan tetapi karena di alam akhirat amal perbuatan dan aktivitas menuju kesempurnaan sudah tidak mempunyai arti.6

Yusuf Al-Qardhawi menyebutkan dosa-dosa yang meminta taubat adalah sebagai berikut:

a. Dosa karena meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan.

Kedurhakaan yang pertama ke-hadapan Allah adalah meninggalkan apa yang diperintahkan. Ini merupa-kan kedurhakaan iblis. Sebagaimana di dalam surah Al-Baqarah ayat 34, Kedurhakaan yang kedua adalah mengerjakan apa yang dilarang Allah swt, yaitu merupakan kedurhakaan Adam. Dan pada surah Al-Baqarah ayat 35, bahwa Adam dikalahkan oleh kelemahannya sebagai manusia, se-hingga diapun lalai dan tekadnya menjadi lemah karena mendapat bujukan iblis.

b. Dosa anggota tubuh dan dosa hati Banyak orang yang tidak tahu macam-macam kedurhakaan dan dosa selain dari apa yang ditangkap indra-nya atau yang berkaitan dengan ang-gota tubuh zhahir, seperti kedur-hakaan yang lahir dari tangan, kaki, mata, telinga, lidah hidung dan lain-lainnya yang berhubungan dengan syahwat perut, kemaluan, birahi dan naluri keduniaan yang ada pada diri manusia.

Kedurhakaan mata adalah me-mandang apa yang diharamkan Allah. Kedurhakaan telinga adalah men-dengar apa yang diharamkan oleh

6

Murtadha Muthahhari, Jejak-jejak…h. 51 – 53.

Allah, seperti kata-kata yang menyim-pang yang diucapkan lisan. Kedurhaka-an lisKedurhaka-an adalah mengucapkKedurhaka-an per-kataan yang diharamkan oleh Allah, yang menurut Imam al-Ghazali ada dua puluh ma cam, seperti, dusta, ghibah, adu domba, olok-olok, sumpah palsu, janji dusta, kata-kata batil, omong kosong, tuduhan terhadap wanita-wanita muslimah yang lalai, ratap tangis, kutukan, caci maki dan sebagainya.

c. Yang berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba. Cukup banyak contoh dosa, kedurhakaan dan pelanggaran terhadap hak-hak Allah, seperti

meninggalkan sebagian perintah,

mengerjakan sebagian yang dilarang, seperti minum khamar, mendengarkan hal-hal yang tidak pantas, menyiksa binatang, menyiksa diri sendiri,

mem-boroskan harta dan sebagainya.7

Sedangkan dosa yang berkaitan dengan hak hamba, terutama hak material, maka taubat darinya, tetapi harus mengembalikan hak itu kepada pemilik-nya atau meminta pembebasan daripemilik-nya atau minta maaf dan memohon pem-bebasan dari pemenuhan hak karena Allah semata. Jika tidak hak itu sama dengan hutang yang harus dilunasinya, hingga kedua belah pihak harus membuat per-hitungan tersendiri pada hari kiamat. Jika kebaikannya tidak mencukupi, maka keburukan-keburukan orang yang me-miliki hak itu dialihkan kepadanya, sampai akhirnya hak itu terpenuhi.

SYARAT-SYARAT TAUBAT YANG DITERIMA

Dalam kitab Majâlis Syahri

Ramadhân, setelah membawakan banyak dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mendorong kaum Muslimin untuk senan-tiasa bertaubat dan beberapa hal lain tentang taubat, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimint mengatakan, “Taubat

7

(5)

yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla adalah taubat nasuha (yang tulus) yang mencakup empat syarat:

a. Hendaknya taubat itu dilakukan dengan ikhlas.

Artinya, yang mendorong dia untuk bertaubat adalah kecintaannya kepada Allâh Azza wa Jalla, pengagungannya terhadap Allâh, harapannya untuk pahala disertai rasa takut akan tertimpa adzab-Nya. Ia tidak menghendaki dunia sedikit-pun dan juga bukan karena ingin dekat dengan orang-orang tertentu. Jika ini yang dia inginkan maka taubatnya tidak akan diterima. Karena ia belum bertaubat kepada Allâh, namun ia bertaubat demi mencapai tujuan-tujuan dunia yang dia inginkan.

b. Menyesali serta merasa sedih atas dosa yang pernah dilakukan

Syarat ini merupakan bukti

penyesalan yang sesungguhnya kepada Allâh dan luluh dihadapan-Nya serta murka pada hawa nafsunya sendiri yang terus membujuknya untuk melakukan keburukan.

c. Segera berhenti dari perbuatan mak-siat yang dia lakukan.

Jika maksiat atau dosa itu disebab-kan karena ia melakudisebab-kan sesuatu yang diharamkan, maka dia langsung mening-galkan perbuatan haram tersebut seketika itu juga. Jika dosa atau maksiat akibat meninggalkan sesuatu yang diwajibkan, maka dia bergegas untuk melakukan yang diwajibkan itu seketika itu juga. Ini apabila hal-hal wajib yang ditinggalkan itu bisa diqadha’, misalnya zakat atau haji.

Taubat orang yang terus-menerus melakukan perbuatan maksiat itu tidak sah. Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa dia bertaubat dari perbuatan riba, namun dia tidak meninggal perbuatan ribawi itu, maka taubat orang ini tidak sah. Bahkan ini termasuk mempermainkan Allâh Azza wa Jalla. Orang seperti ini, bukan semakin dekat kepada Allâh namun sebaliknya dia semakin jauh. Begitu juga, misalnya ada orang yang menyatakan

dirinya bertaubat dari meninggalkan shalat fardhu secara berjama’ah, namun dia tetap saja meninggalkan shalat ini, dia tetap tidak berjama’ah. Taubat orang ini juga tidak diterima. Jika maksiat itu berkaitan dengan hak-hak manusia, maka taubatnya tidak sah kecuali setelah ia membebaskan diri dari hak-hak tersebut. Misalnya, apabila maksiat itu dengan cara mengambil harta orang lain atau menen-tang hak harta tersebut, maka taubatnya tidak sah sampai ia mengembalikan harta tersebut pada pemiliknya apabila ia masih hidup, atau dikembalikan kepada ahli warisnya, jika telah mening-gal. Apabila diketahui ia tidak memiliki ahli waris, maka harta itu diserahkan ke baitul mâl. Dan apabila tidak diketahui pemilik harta yang diambilnya tersebut, maka ia sedekahkan harta tersebut atas nama pemiliknya.

Apabila dosa atau maksiat itu dengan sebab ghîbah (menggunjing) seorang Muslim, maka ia wajib meminta maaf kepada orang yang digunjingnya itu, bila yang dighibah tahu, atau ia khawatir orang yang digunjing akan tahu. Jika tidak, maka cukup baginya dengan memohonkan ampunan untuk orang yang digunjing dan memujinya di tempat ia menggunjingnya dahulu. Karena sesungguhnya perbuatan baik akan menghilangkan keburukan. d. Bertekad untuk tidak mengulangi

kembali dosa tersebut di masa yang akan datang.

Karena ini merupakan buah dari taubatnya dan sebagai bukti kejujuran pelakunya. Jika ia mengatakan telah ber-taubat, namun ia masih bertekad untuk melakukan maksiat itu lagi di suatu hari nanti, maka taubatnya saat itu belum benar. Karena taubatnya hanya semen-tara, si pelaku maksiat ini hanya sedang mencari momen yang tepat saja. Taubat-nya ini tidak menunjukkan bahwa dia membenci perbuatan maksiat itu lalu

(6)

| menjauh darinya dan selanjutnya

melak-sanakan ketaatan kepada Allâh.8 PENGERTIAN IKHLAS

Secara bahasa kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: وصااخلاخوصاصلخخ صلخ yang artinya murni, tiada bercampur, bersih, jernih.9 Ikhlas adalah suci dalam niat,

bersih batin dalam beramal, tidak berpurapura, lurus hati dalam bertindak, jauh dari riya‟ dan kemegahan dalam berlaku berbuat, mengharapkan ridha Allah semata-mata.10 Ikhlas merupakan

amalan hati yang paling utama dan paling tinggi dan paling pokok, Ikhlas merupakan hakikat dan kunci dakwah para rasul sejak dahulu kala. Menurut Erbe Sentanu “Ikhlas merupakan Defaul Factory Setting manu-sia, yakni manusia sudah dilahirkan dengan fitrah yang murni dari Ilahi, hanya saja manusia itu sendirilah yang senang mendiskonnya sehingga kesempurnaan-nya menjadi berkurang, ini akibat ber-bagai pengala-man hidup dan ketidak tepatan dalam berfikir atau berprasangka, sehingga hidupnya pun menjadi penuh kesulitan.”11

Ikhlas yaitu suatu sikap yang dilaku-kan dalam melaksanadilaku-kan perintah Allah dengan pasrah tanpa mengharapkan se-suatu, kecuali keridhaan Allah.12 Ikhlas

adalah menyaring sesuatu sampai tidak lagi ter-campuri dengan yang lainnya. Kalimat ikhlas adalah kalimat tauhid yaitu la ila ha illallah. Surat ikhlas adalah surat

qul huwallahu ahad, yaitu surat tauhid.

Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa makna ikhlas secara bahasa adalah suci safa’), bersih

8

Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004). h. 58.

9

Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu… h. 58.

10

Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 188.

11

Erbe Sentanu. Quantum Ikhlas Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008), h. 33.

12

Damanhuri, Akhlak Tasawuf, (Banda Aceh: Penerbit Pena, 2010), h. 57.

naqi), dan tauhid. Pada ajaran sufi

keikhlasan adalah suatu yang diperlukan untuk mendekatkan diri kepada Allah sama ada dari sudut niat maupun tindakan.13 Jadi ikhlas merupakan sesuatu

hal yang bersifat batiniyah dan teruji kemurnian-nya dengan amalan saleh, ia merupakan perasaan halus yang tidak dapat diketahui oleh siapapun. Amal perbuatan adalah bentuk-bentuk lahiriyah yang boleh dilihat sedangkan roh amal perbuatan itu adalah rahasia yaitu keikhlasan.14

KOMPONEN-KOMPONEN IKHLAS

Untuk memperoleh sifat ikhlas diperlukan beberapa sifat atau sikap sebagai penunjang kesempurnaan yang harus ada dalam sifat ikhlas dan sekaligus sebagai quality control bagi keikhlasan itu sendiri, di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Tawakal

Tawakal ( صكصت) bahasa arab tawakkul dari kata wakala, artinya menyerah kepada-Nya. Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan. Tawakal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini, keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah, hatinya tenang dan ten-teram serta tidak ada rasa curiga, karena

Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.15

13M. Khatib Quzwain. Mengenal Allah: Suatu

Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani. Terjemahan. (Jakarta: Pustaka Bulan Bintang, 1985), h. 16

14 M. Khatib Quzwain. Mengenal Allah… h. 19 15

Labib, Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Me-mahami Ajaran Thariqot dan Tasawuf. (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 1999), h. 55.

(7)

Tawakal tidak didapati kecuali se-sudah mengimani empat hal yang me-rupakan rukun-rukun tawakal, yaitu:

1) Beriman bahwa Allah Maha

Mengetahui segala apa yang

dibutuhkan oleh si muwakil.

2) Beriman bahwa Allah Maha Kuasa dalam memenuhi kebutuhan muwakil. 3) Beriman bahwa Allah tidak kikir. 4) Beriman bahwa Allah memiliki cinta

dan rahmat kepada muwakil.16

Sebagai tanda tawakal kita kepada Allah, kita yakin bahwa segala sesuatu yang datang pada diri kita, adalah yang terbaik bagi kita, tiada keraguan sedikit pun di dalam hati, apabila mempunyai perasaan untuk menghindarinya, segala sesuatu yang menimpa kita, meskipun hal itu terasa pahit dan pedih bagi kita, kalau hal itu datang dari-Nya, tentulah hal itu yang terbaik bagi kita, inilah bentuk

tawakal sesungguhnya.17 Barang siapa

bertawakal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak diduga-duga. Allah Maha Kuasa untuk mengirimkan bantuan kepada hamba-hamba-Nya dengan ber-bagai cara, ter-masuk cara yang bagi manusia tidak masuk akal Allah adalah satu-satunya tempat mengadu saat kita susah. Allah senantiasa mendengar pengaduan hamba-hamba-Nya. Dalam banyak hal, peristiwa-peristiwa di alam ini masih dalam koridor sunnatulah, artinya masih dapat diurai sebab musababnya, hal ini mengajarkan kepada kita agar kita kreatif dan inovatif dalam kehidupan ini. b. Sabar

Sabar ( صصصصا) merupakan bentuk pengendalian diri atau kemampuan meng-hadapi rintangan, kesulitan menerima musibah dengan ikhlas dan dapat me-nahan marah, titik berat nurani (hati).

16

Imam Khomeini, Insan Ilahiah; Menjadi Manusia Sempurna dengan Sifat-sifat Ketuhanan:

Puncak Penyingkapan Hijab-hijab Duniawi.

Terjemahan, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2014), h. 210.

17

Supriyanto. Tawakal Bukan Pasrah. (Jakarta: Qultum Media, 2010), h. 98.

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba, dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan.18

Sikap sabar adalah sikap yang paling berat diantara sekian banyak sikap terpuji, sebab hal ini adalah urusan yang paling sulit meneapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak jarang orang bisa mengungkapkan kata sabar dengan gamblang namun pada giliran dia diuji dengan sesuatu yang harus membuat ia sabar ternyata ia tidak kuat untuk bersabar menghadapi cobaan tersebut. Misalnya seorang suami mendapatkan seorang isteri yang sangat meyebalkan permintaannya banyak yang harus di-penuhi, sementara kewajiban yang harus ia laksanakan selalu diabaikannya, bila kondisi ini berlangsung terus menerus maka pasangannnya pasti sulit sekali ber-sabar menghadapinya, sehingga pan-taslah Allah menjanjikan pahala yang tidak terbatas kepadaorang yang sabar dalam menghadapi cobaan hidup yang dialami-nya.

c. Syukur

Kata Syukur ( صوصش) diambil dari kata

syakara, syukuran, yang berarti berterima

kasih kepada-Nya. Menurut Kamus Arab-Indonesia, kata syukur diambil dari kata syakara, yaskuru, syukran yang berarti

mensyukuri-Nya, memuji-Nya.19

Berdasar-kan pengertian di atas dapat disimpulBerdasar-kan bahwa syukur menurut istilah adalah bersyukur dan berterima kasih kepada Allah swt, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepada-nya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan, ber-terima kasih kepada Allah swt. tanpa batas dengan sungguh-sungguh atas segala nikmat dan

1818

Ibnu Qayyim Al-Zaujiyyah, Al-Fawa‟id. Terjemahan. (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1998), h. 58

19Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia.

(8)

| karunianya dengan ikhlas serta mentaati

apa yang diperintahkannya.

Ia selalu melantuntak zikrullah atas semua karunia yang didapatnya dengan ungkapan alhamdulillah, apapun yang dia peroleh ia merasa bahwa itu semua adalah anugerah Ilahi yang diberikan kepadanya, bukan karena upaya yang ia lakukan melainkan semata-mata karena kasih sayang Allah kepadanya.

d. Zuhud

Zuhud ( صصصهز) adalah meninggalkan sesuatu yang di kasihi dan berpaling dari padanya kepada sesuatu yang lain, yang lebih baik daripadanya, karena itu sikap seseorang yang meninggalkan kasih akan dunia karena mengigihkan sesuatu didalam akhirat itulah yang dikatakan zuhud. Pengertian zuhud ini ada tiga macam, yaitu: (a) Meninggalkan sesuatu karena mengigihkan sesuatu yang lebih baik daripadanya, (b) Meninggalkan keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan (c) Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintai-Nya.

e. Wara’

Wara‟ (ع لا) dalam tradisi sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau belum jelas hukumnya (syubhat), hal ini berlaku pada segala hal atau aktivitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku, seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai, bekerja dan lain-lain. Di sam-ping meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi

wara’ juga berarti meninggalkan segala

halal yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku, lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat atau tidak jelas manfaatnya disebut wara’, dalam dunia sufi. Wara’ berarti meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak

ber-arti, dan apapun yang berlebihan.20 orang

yang mempunyai sifat ini tidak pernah melakukan hal-hal yang sia-sia atau tidak bermanfaat, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, dia tidak mau membuang-buang waktunya percuma, tetapi ia selalu memaksimalkan pemanfaatan waktu dan mengefisienkannya, sehingga waktu itu benar-benar berharga baginya dalam setiap detiknya.

HAL-HAL YANG MERUSAK IKHLAS

a. Riya’

Sifat riya ( وصصي ) memiliki beberapa tingkatan, jika keseluruhan tujuannya adalah perbuatan riya, maka tentu itu membatalkan ibadah, jika tujuan ibadah

dan riya itu sebanding dengan

mengurangkan setiap salah satunya, maka ini tidak mendatangkan kebaikan baginya dan tidak pula kejelekan. Tiga ciri-ciri orang riya sebagai berikut:

1) Malas beramal kalau sendirian, dia benar benar melakukan ibadah jika dilihat oleh orang lain, terutama orang-orang terdekatnya, misalnya di depan mertua, atau dihadapan pimpinannya karena ia mau mencari muka demi kesuksesan kariernya.

2) Semangat beramal kalau dilihat orang banyak. Sehingga terkesan dialah yang orang yang paling banak baktinya

untuk kepentingan masyarakat

banyak. Dan selalu menggembar gemborkan prestasinya dan selalu berlebih-lebhan memuji dirinya di-hadapan orang lain.

3) Amalnya bertambah banyak kalau di puji oleh orang lain, dan berkurang kalau dicela orang lain. Perbuatan baik yang dilakukannya hanya untuk mengharapkan pujian dari orang lain semata, agar ia dianggap sebagai

manusia super yang berprestai

tinggi.21

20 Muhammad Hasyim, Dialog Antara

Tasa-wuf dan Psikologi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002), h. 21.

21

(9)

b. Takabbur

Takabbur ( ص وت) berasal dari bahasa Arab: takabbara-yatakabbaru yang artinya sombong atau membanggakan diri. Secara istilah takabur adalah sikap berbangga diri dengan beranggaan bahwa hanya dirinya beranggapan yang paling hebat dan benar dibandingkan orang lain. Takabur se-makna dengan ta`azum, yakni menam-pakkan keagungan dan kebesaranya. Banyak hal yang menyebabkan orang menjadi sombong akibat takabur di antaranya dalam ilmu pengetahuan, amal dan ibadah, nisab, kecantikan, dan kekayaan.

Para pakar di bidang ilmu pengeta-huan sangat berpotensi memiliki sifat ini, maka harus diwanti-wanti bila seseorang mempunyai keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Demikian juga halnya mereka yang banyak melaku-kan ibadah, sethan selalu mendengungmelaku-kan kehebatan dan kedahsayatan ibadahnya, sehingga ia merasa unggul dan tidaka ada yang mampu menyaingi ibadahnya, sebab selain aktif melakukan ibadah wajib ia juga banyak melakukan ibadah sunnah, seperti bangun tengah malam melaksana-kan qiyam al-lail, berlama-lama berzikir hingga ribuan kata setiap malam.

c. Ghadab

Kata Ghadab ( صضغ) berasal dari kata

ghadaba artinya marah, al-ghadabu dalam

bentuk isim berarti lembu, singa, al-ghudub artinya ular yang jahat. Adapun cara mengendalikan kemarahan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain, yaitu: (a) Berzikir kepada Allah; (b) Membaca selawat kepada Nabi Muham-mad saw: (c) Berwudu atau mandi; (d) Membaca ta’awud; (e) Segera mengubah keadaan ketika marah.

d. ‘Ujub

Sikap Ujub ( صصجع) atau bangga diri adalah sifat orang yang membanggakan dirinya sendiri, karena ia memiliki kele-bihan daripada orang lain, misalnya me-miliki kekaya yang berlimpah/kaya raya, cerdas dan pandai, dan mempunyai

keahlian diberbagai bidang, orang yang mempunyai tipe seperti itu tidak merasa takut kehilangan kesempurnaan (kele-bihannya) itu, ia sangat bangga terhadap kenikmatan itu seolah-olah semua itu keberhasilan yang diperoleh dari usaha-nya sendiri, ia tidak mengakui bahwa semua kenikmatan dan keba-hagiaan itu sebenarnya datang dari Allah. Ujub merupakan penyakit yang mem-binasakan atau membahayakan karena termasuk perbuatan tidak terpuji di sisi Allah swt.22

Sifat ini sangat berbahaya karena efeknya sangat besar pada kepribadian yang bersang-kutan, munculnya rasa percaya diri yang berlebihan dan pada gilirnnya selalu meremehkan orang lain, ia merasa keberhasilan yang diraih tidak lain adalah merupakan prestasi dirinya yang unggul tanpa adanya campur tangan Allah di dalamnya. Sehingga sangat berpotensi mengikuti langkah Iblis la’natullah dalam menjalankan perannya dalam berbagai sektor kehidupan.

PENUTUP

Taubat adalah (al-taubah) adalah suatu upaya yang dilakukan seorang untuk membersihkan dirinya dari segala macam dosa yang menjadi penyebab manusia jauh dari Tuhan. Ikhlas adalah suci dalam niat, bersih batin dalam beramal, tidak berpurapura, lurus hati dalam bertindak, jauh dari riya dan kemegahan dalam berlaku berbuat, mengharapkan ridha Allah semata-mata.

Ikhlas merupakan amalan hati yang paling utama dan paling tinggi dan paling pokok, Ikhlas merupakan hakikat dan kunci dakwah para rasul sejak dahulu kala. Terbagi menjadi dua macam yaitu:

pertama Taubat yang diterima (Nasuha)

adalah kembalinya seseorang dari perila-ku dosa keperilaperila-ku yang baik yang di-anjurkan Allah. Kedua Taubat yang tidak diterima. Taubat itu tidak diterima lagi

22Soepardjo dkk. Mutiara Akhlak dalam

Pendidikan Agama Islam. (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004), h. 70.

(10)

| bukan hanya karena ketika itu hukuman

balasan telah tampak jelas di hadapannya, akan tetapi karena di alam akhirat amal perbuatan dan aktivitas menuju kesem-purnaan sudah tidak mempunyai arti. Hal-hal yang merusak ikhlas yaitu: Riya, Takabur, Ghadab, dan Ujub. Dalam hal-hal tersebut Allah sangant membencinya karena ia tidak mengakui bahwa semua kenikmatan dan kebahagiaan di dunia itu sebenarnya datang dari Allah.

Semoga dengan adanya pembela-jaran tentang taubat dan ikhlas bisa membuat kita lebih meningkatkan ke-imanan kita kepada Allah SWT, karena bahwasanya kita hidup di dunia hanya sementara, oleh karena itu bertaubatlah atas dosa-dosa yang anda perbuat dan laksanakanlah perintah Allah dengan ikhlas.

DAFTAR BACAAN

Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2004. Damanhuri, Akhlak Tasawuf, Banda Aceh: Penerbit Pena, 2010.

Fadholi, Muhammad. Keutamaan Budi Dalam Islam. Surabaya : Al-Ikhlas Gazalba, Sidi. Asas Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Hasyim, Muhammad. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002.

Irham, Iqbal. Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf. Ciputat: Pustaka Al-Ihsan, 2012.

Khomeini, Imam. Insan Ilahiah; Menjadi Manusia Sempurna dengan Sifat-sifat Ketuhanan:

Puncak Penyingkapan Hijab-hijab Duniawi. Jakarta: Pustaka Zahra, 2014.

Labib. Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Memahami Ajaran Thariqot dan Tasawuf. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 1999.

Muthahhari, Murtadha. Jejak-jejak Rohani. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. Nasution, Katsron Muhsin, Diktat Akhlak Tasawuf, FIS UINSU Medan, 2018. Qardawi, Yusuf. Taubat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.

Al-Zaujiyyah, Ibnu Qayyim, Al-Fawa‟id. Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1998.

Quzwain , M. Khatib. Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh

Abdul Samad Al-Palimbani. Jakarta: Pustaka Bulan Bintang, 1985.

Sentanu, Erbe. Quantum Ikhlas Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008.

Soepardjo dkk. Mutiara Akhlak dalam Pendidikan Agama Islam. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004.

Supriyanto. Tawakal Bukan Pasrah. Jakarta: Qultum Media, 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Kutipan (34) di atas membuktikan bahwa, walaupun Ken Ratri adalah seorang bekas pelacur akan tetapi dalam dirinya masih ada jiwa kemanusiaan dan kepedulian antar sesama. Ia