• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR Badan Restorasi Gambut Universitas Sriwijaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR Badan Restorasi Gambut Universitas Sriwijaya"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

Tim Peneliti:

Dr. Ir. M. Umar Harun. MS Prof. Dr. Ir. Imron Zahri. M.S

Dr. Salni, M.Si Dr.Ir.Yakup.M.S. Dr. Ir. Dwi Putro Priadi.M.Sc

Dr. Ir. Chandra Irsan. MSi Dr.Laila Hanum. MSi Doni Setiawan S.Si, M.Si

Yulisman SPi, M.Si

LAPORAN AKHIR

Badan Restorasi Gambut – Universitas Sriwijaya

DESEMBER

2017

(2)

LAPORAN AKHIR

KERJASAMA ANTARA

BADAN RESTORASI GAMBUT

REPUBLIK INDONESIA

DENGAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN 2017

“Riset Komoditi Lokal Potensial di Lahan Gambut KHG Sungai

Saleh-Sungai Sugihan, Sungai Sugihan-Sungai Lumpur, dan

Sungai Sebumbung-Sungai Batok Propinsi Sumatera Selatan”

KETUA TIM

Dr. Ir. M. Umar Harun, M.S.

Mengetahui:

Wakil Rektor Bidang Kerjasama Universitas Sriwijaya

Dr. Ir. A. Muslim, M. Agr.

NIP. 196412291990011001

Menyetujui:

Pejabat Pembuat Komitmen

Kedeputian Penelitian dan Pengembangan BRG

Ir. C. Nugroho S. Priyono, M.Sc.

NIP. 19601116 198703 1 00

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Tim Peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan berkenanNya penulis dapat menyelesaikan berbagai aktivitas riset sampai menjadi laporan Akhir Riset. Penelitian yang dilakukan oleh berbagai dosen UNSRI adalah kolaborasi yang tepat untuk mencapai tujuan riset komoditi potensial untuk tiga KHG yang ditetapkan. Berbagai informasi yang diperoleh dari lapangan telah diinventarisasi dalam bentuk data dan foto yang disampaikan dalam bentuk laporan final riset. Kami menyampaikan terima kasih kepada BRG yang telah menjadi sponsor dan mitra, dan juga sebagai pihak yang ada di UNSRI, Pemerintah kabupaten OKI dan Pemkab Banyuasin, Para Camat dari berbagai Kecamatan, Kepala Desa seluruh desa sampel, tokoh masyarakat dan mitra local lainnya yang telah banyak memberikan bantuan fasilitas dan informasi. Semoga laporan akhir riset ini dapat bermanfaat dan memberikan berbagai informasi penting untuk kegiatan 3R BRG

Palembang, Desember 2017

(4)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah... 2

1.3. Tujuan………... 2

1.4. Manfaat ………... 3

BAB II. PEMBAHASAN 2.1. Ekologi Kawasan Hutan………... 4

2.2. Kawasan, Ekologi dan Sebaran KHG…... 5

2.3. Komoditi Kawasan Hidrologi Gambut (KHG)... 7

2.4. Sosial, Ekonomi, dan Budaya KHG... 10

2.5. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)……... 12

2.5.1. Jenis HHBK………...…... 13

2.5.2. Pengembangan HHBK………... 14

2.5.3. HHBK Unggulan……... 15

2.5.4. Keanekaragaman Jenis HHBK Setelah Pembalakan... 15

BAB III. WAKTU DAN TEMPAT 3.1. Waktu dan Tempat………... 20

3.2. Metode Pengamatan... 22

3.3. Sampling... 22

3.4. Metode Pengumpulan Data... 22

3.5. Entry Data……... 23

3.6. Analisis dan Pengolahan Data………... 23

3.7. Kerangka Kerja... 24

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Komoditi di KHG... 31 4.2. Wilayah Administratif KHG ... 26 4.2.1. KHG Sugihan – Saleh... 31 4.2.2. KHG Sugihan-Lumpur... 33 4.2.3. KHG Sebumbung Batok……... 35 4.1. Hewan Indigen ... 51 4.1. Tumbuhan Indigen ... 52 DAFTAR PUSTAKA………... 84 LAMPIRAN... 87

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Lahan gambut di Indonesia telah menjadi lahan penting yang keberadaannya secara potensial ada sekitar 20,9 juta hektar. Lahan tersebut tersebar di pulau-pulau besar Indonesia. Luas lahan gambut di pulau Sumatera sekitar 7,23 juta hektar dan 1,489 juta hektar diantaranya berada di wilayah Sumatera Selatan (Wahyunto dan Mulyani, 2011).

Di Sumatera Selatan pemanfaatan lahan gambut secara terbatas telah dilakukan masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Pemanfaatan lahan itu untuk kegiatan pertanian, perikanan dan peternakan. Kegiatan masyarakat tersebut sering disebut sonor, lebung dan gembalaan (Ellyn dkk., 2017). Sejalan dengan kepentingan ekonomi dan keterbatasan lahan maka lahan gambut telah dieksploitasi lebih jauh menjadi kawasan pertanian dan perkebunan. Dampak negatif dari adanya kawasan produktif ialah terjadinya kekeringan gambut dan ancaman kebakaran (Suwondo dkk., 2010). Kurang terkendalinya pemanfaatan lahan gambut tentunya menjadi ancaman serius terhadap hidrologi, ekosistem dan ekonomi.

Perubahan luas lahan gambut di Sumatera tergolong sangat besar. Menurut Wahyunto dkk. (2013) melaporkan bahwa sejak 2004 sampai 2011 lahan gambut telah berkurang 10.7% atau 783.000 hektar. Faktor kepentingan ekonomi berperan dalam menurunkan luas lahan gambut di Sumatera Selatan. Keberadaan lahan gambut yang tersisa menjadi penting dalam merestorasi gambut secara efektif dan berkelanjutan. Kegiatan merestorasi gambut merupakan upaya yang strategis terutama untuk pengembangan komoditi ekonomis yang mendukung pendapatan masyarakat (Susanto, 2014). Guna memaksimalkan restorasi gambut maka pendekatan yang dikembangkan di Indonesia berbasis Kawasan Hidrologis Gambut (KHG).

KHG yang ada di Sumsel mempunyai potensi komoditi lokal yang berbeda satu dengan lainnya. Potensi komoditi lokal tersebut berupa komoditi

(6)

kehutanan, pertanian pangan, perikanan dan peternakan. Informasi tentang keberadaan, jumlah dan manfaat berbagai potensi komoditi lokal untuk kepentingan masyarakat sangat diperlukan untuk kegiatan restorasi KHG dan juga sekaligus untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.

Restorasi gambut telah dicanangkan oleh BRG (2017) agar dilaksanakan di berbagai tempat di Indonesia, dan untuk di Sumsel telah ditetapkan 12 KHG. Untuk mendukung keberhasilan restorasi gambut di Sumatera Selatan, kegiatan studi difokuskan di tiga kawasan. Kawasan yang menjadi perhatian itu ialah KHG sungai Saleh – Sungai Sugihan (OKI dan Banyuasin), KHG Sungai Sugihan-Sungai Lumpur, dan KHG Sugihan-Sungai Sibumbung- Sugihan-Sungai Batok yang merupakan kesatuan hidrologis yang luas di kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Di ketiga kawasan KHG tersebut terdapat berbagai aktifitas perkebunan, pertanian, HTI dan hutan margasatwa sehingga komplik berbagai kepentingan banyak muncul yang mengancam keberadaan dan fungsi dari ketiga KHG tersebut. Secara umum, Tiga KHG yang dominan di OKI mempunyai karakteristik yang unik sehingga mempunyai keanekaragaman tumbuhan, ikan dan hewan yang sangat berguna untuk mendukung kehidupan dan mata pencarian masyarakat lokal. Guna mendapatkan berbagai informasi tentang potensi berbagai komoditi lokal tersebut maka penelitian ini perlu dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi.

1.2Permasalahan

1. Bagaimanakah kondisi berbagai komoditi lokal dari sektor kehutanan, pertanian, perikanan dan peternakan yang ada di KHG sungai Saleh- Sungai Sugihan, KHG Sungai Sugihan-Sungai Lumpur, dan KHG Sungai Sibumbung- Sungai Batok ?

2. Apakah eksistensi berbagai komoditi lokal yang ada di berbagai KHG masih terjaga secara baik dan mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut? 3. Apakah sudah dipilih dan dikembangkan beberapa komoditas lokal oleh

masyarakat pada KHG yang ada di OKI dan banyuasin?

(7)

1. Memperoleh Informasi secara kuantitatif tentang komoditi lokal potensial (kehutanan, pertanian pangan, perikanan dan peternakan) dari KHG sungai Saleh- Sungai Sugihan, KHG Sungai Sugihan-Sungai Lumpur, dan KHG Sungai Sibumbung- Sungai Batok.

2. Menganalisis keberadaan dan potensi berbagai komoditi lokal yang tersebar di dalam tiga KHG di OKI.

3. Menganalisis pasar untuk beberapa komoditas lokal yang berpotensi dijadikan unggulan dari suatu KHG

1.4Manfaat

1. Tersedia informasi tentang potensi, lokasi dan faktor pendukung yang bernilai ekonomi penting dari beberapa KHG Sumsel.

2. Tersusun rekomendasi pengembangan komoditi lokal spesifik KHG Sumsel yang berorientasi restorasi gambut, masyarakat lokal dan bernilai ekonomi.

3. Menghasilkan model pengembangan komoditas lokal berbasis restorasi gambut dan mata pencaharian.

4. Menjadi acuan Pemerintah, Stake holder, dan berbagai pihak lainnya untuk ikut serta mengembangkan berbagai komoditi lokal ekonomis di KHG Sumsel.

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekologi Kawasan Hutan

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Permenhut P.21, 2009). Dari segi ekologi, potensi hutan yang terdapat di kawasan gambut diartikan sebagai semua kondisi yang mencakup jumlah anakan atau permudaan, jenis, kerapatan, dan penyebarannya dalam kawasan hutan (Junus, Wasaraka, dan Frans, 1984 dalam Lembang et al., 2015).

Pemanfaatan hutan dalam konteks ekonomi selama ini masih memandang hutan sebagai sumberdaya alam penghasil kayu. Kondisi ini mendorong eksploitasi kayu secara intensif untuk memenuhi pasar dunia maupun industry domestic tanpa memperhatikan nilai manfaat lain yang dapat diperoleh dari hutan dan kelestarian ekosistem hutan. Sebagai akibat dari pemahaman tersebut telah terjadi penurunan luas, manfaat dan kualitas ekosistem hutan (Permenhut P.21, 2009).

Beberapa aspek ekologi yang penting dalam kehutanan antara lain adalah : komposisi dan struktur hutan, penyebaran suatu jenis pohon, permudaan hutan, pertumbuhan dan riap pohon, serta fenologi pohon (Soerianegara dan Indrawan, 1982). Selanjutnya dikemukakan bahwa potensi ekologi suatu jenis pohon dapat diukur melalui parameter kerapatan, dominansi, dan frekuensi jenis dalam suatu kawasan hutan melalui perisalahan tegakan. Dominansi suatu jenis pohon terhadap jenis-jenis yang lain dalam tegakan hutan dapat dinyatakan berdasarkan besaran-besaran : jumlah individu dan kerapatan (density), persen penutupan (cover percentage) dan luas bidang dasar (basal area), volume, biomass, dan indeks nilai penting (impotence value index). Kerapatan adalah banyaknya individu yang dinyatakan per satuan luas seperti banyaknya (bilangan) per hektar. Frekuensi adalah perbandingan banyaknya petak yang terisi oleh suatu jenis terhadap jumlah petak-petak keseluruhan yang dibuat, dan dinyatakan dalam

(9)

persen. Frekuensi adalah ukuran dari uniformitas atau regularitas terdapatnya jenis pohon dalam tegakan hutan (Lembang et al., 2015).

2.2 Kawasan, Ekologi dan Sebaran KHG

Gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh adanya akumulasi bahan organik dalam kurun waktu yang lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik. Alih penggunaan lahan gambut menjadi lahan pertanian, perkebunan dan hutan produksi dapat mengancam kelangsungan hidup hutan rawa gambut alami. Kerusakan hutan rawa gambut juga dapat diakibatkan oleh sistem drainase yang dibangun secara kurang terkendali, sehingga mengakibatkan subsidens dan keringnya lahan gambut yang bersifat tidak dapat kembali seperti kondisi semula (irreversible). Tekanan terhadap lahan gambut dikhawatirkan sedang berlangsung di Provinsi Sumatera Selatan dengan tingkat kerusakan yang semakin tinggi (Ananto dan Pasandaran, 2017).

Lahan gambut merupakan salah satu lahan suboptimal yang memiliki kesuburan rendah, tingkat kemasaman yang tinggi, dan drainase yang buruk. Ciri utama lahan gambut adalah kandungan karbon minimal 18%, dan ketebalan minimal 50 cm (Nurida, et al., 2011; Sabiham dan Sukarman, 2012). Menurut Masganti dan Yuliani (2006) gambut berperan penting dalam kelangsungan ekosistem, mengontrol fungsi-fungsi lingkungan dan biologis yang sangat penting dalam menjaga kualitas lingkungan.

Sebagian wilayah Provinsi Sumatera Selatan seluas 87.017 km2 merupakan lahan rawa yang tersebar di daerah bagian timur, mulai dari kabupaten Musirawas, Muba, OKI, Muaraenim, dan Banyuasin. Menurut Direktorat Jendral Pengairan (1998), lahan rawa yang berpotensi untuk pertanian di Provinsi Sumatera Selatan adalah 1.602.490 ha, terdiri atas lahan rawa pasang surut 961.000 ha dan rawa non pasang surut atau lebak 641.490 ha. Sebagian besar lahan rawa tersebut atau sekitar 1,42 juta ha merupakan lahan rawa gambut (Zulfikar, 2006). Saat ini, hutan rawa gambut merupakan salah satu tipe lahan basah yang paling terancam dengan tekanan dari berbagai aktivitas manusia di Indonesia (Lubis, 2006).

(10)

Beberapa hal yang berhubungan dengan karakteristik dan peran ekologis hutan rawa gambut yang perlu dipertimbangkan sebelum menentukan strategis pengelolaan hutan rawa gambut adalah (Zulfikar, 2006):

1. Hutan rawa gambut merupakan formasi hutan hujan tropika basah yang mempunyai tingkat kelembaban sangat tinggi, merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan luar dan susah terpulihkan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Sistem silvikultur dengan mengandalkan suksesi hutan alam lebih menunjukkan keberhasilan.

2. Lahan gambut yang kering mempunyai sifat kering tak balik dan sangat mudah terbakar, kebakaran gambut di bawah permukaan akan sangat sulit dipadamkan dan dapat merusak struktur gambut, menurunkan tingkat permeabilitas pada lapisan permukaan dan dapat menyebabkan lahan gambut menjadi memadat dan menurunkan tinggi permukaan lahan kubah gambut. 3. Gambut mempunyai peran sangat besar dalam menyimpan karbon; pengeringan

dan kebakaran akan melepaskan ikatan karbon ke udara.

4. Ada dua bentukan sistem lahan lahan rawa, yaitu: alluvial marine dengan tekstur tanah mineral dengan lapisan gambut yang tipis, dan rawa belakang yang membentuk kubah gambut dengan kedalaman gambut lebih tebal. 5. Kanalisasi dapat menimbulkan risiko kekeringan kalau tidak diimbangi dengan

pengendalian tata air yang baik dan benar.

6. Rehabilitasi pada kawasan hutan rawa gambut sudah terlanjur rusak parah sangat sulit dan mahal, sehingga dananya tidak mungkin disediakan hanya dari anggaran pemerintah atau partisipasi/swadaya masyarakat.

Hasil inventarisasi dan pemetaan Peta Satuan Lahan dan Tanah Provinsi Sumatera Selatan skala 1:250.000 tahun 1990 dilaksanakan oleh Puslit Tanah dan Agroklimat yang telah diperdetail melalui Survei Inventarisasi Lahan Gambut bekerjasama dengan Wetland International tahun 2002. Lahan gambut di Provinsi Sumatera Selatan mempunyai ketebalan mulai dari Sangat Dangkal (<50 cm) sampai Dalam (200-400 cm), dan tidak terdapat ketebalan gambut Sangat Dalam lebih dari 400 cm. Kawasan hutan produksi yang didominasi dengan lahan rawa gambut adalah Kelompok Hutan Produksi (HP) Simpang Heran Beyeku, HP Mesusi dan HP Pedamaran di Kabupaten OKI dengan luas kira-kira 617.350 ha,

(11)

dan Kelompok Hutan Produksi S. Lalan dan Mangsang-Mendis di Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Banyuasin dengan luas ± 331.304 ha (Ananto dan Pasandaran, 2017).

Tabel 2.1 Sebaran dan Luas Lahan Gambut di Provinsi Sumatera Selatan1990 dan 2002

Dari sebaran lahan gambut Provinsi Sumatera Selatan tahun 2002 terlihat bahwa lahan gambut di Kabupaten OKI dengan ketebalan sedang (100 – 200 cm) tercatat seluas 547.112 ha dan tersebar di daerah Pedamaran dan Tulung Selapan (40 persen), sebagian besar telah dikembangkan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pemukiman di daerah Mesuji sekitar desa Gajah Mati (15 persen) dan yang di dalam kawasan HP Simpang Heran Beyuku (45 persen) telah dikonversi dengan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Sedangkan lahan gambut dengan ketebalan sedang (100–200 cm) di Kabupaten Muba dan Banyuasin terkonsentrasi di daerah sisi sebelah utara Sungai Lalan, mulai dari Karang Agung Timur hingga Bayung Lincir dan menyebar ke Utara –Timur hingga berbatasan dengan hutan mangrove di Taman Nasional Sembilang (Zulfikar, 2006).

Sebaran lahan gambut dengan kedalaman/ketebalan 200 – 400 cm hanya ditemukan di daerah sisi barat dan timur dari muara Sungai Lematang – Sungai Musi di Kabupaten Muara Enim dan sebagian kecil di Gelumbang yang masuk kabupaten OKI, yang diperkirakan sangat berperan sebagai areal retensi ketika terjadi luapan sungai Musi dari Sungai Lematang. Pada umumnya, areal tersebut masih ditutupi dengan vegetasi hutan gelam dan semak-belukar dan seluruh areal

(12)

tersebut sedang dalam proses konversi menjadi perkebunan sawit (Ananto dan Pasandaran, 2017).

2.3 Komoditi Kawasan Hidrologi Gambut (KHG)

Pemilihan Komoditas dapat mempengaruhi keberhasilan budidaya tanaman pertanian di lahan gambut. Melalui penataan lahan, pada daerah produksi dapat dibudidayakan komoditas-komoditas seperti padi, jeruk, sayuran, dan kelapa sawit. Komoditas hortikultura (sayuran dan buah-buahan) memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dari tanaman pangan, tetapi memerlukan teknik budidaya yang lebih rumit. Selain itu, pemilihan komoditas juga harus mempertimbangkan iklim setempat. Pemilihan komoditas tidak hanya terbatas pada tanaman, tetapi juga menyangkut ternak (Masganti, et al. 2011)

Komoditas tanaman yang ditanam di lahan gambut sebaiknya yang adaptif untuk mengurang input sarana produksi yang dibutuhkan sehingga terjadi efisiensi biaya. Ada dua pendekatan dalam mengusahakan tanaman di lahan gambut menurut Sabiham (2006), yaitu:

1. pendekatan pada kondisi drainase alami. Pada kondisi drainase alami tanaman yang adaftif adalah padi jenis lokal, dan sagu dari spesies rawa gambut yaitu Metroxylon sago

2. pendekatan pada kondisi drinase buatan. Pada kondisi ini ada dua pendekatan yaitu, kedalaman muka air tanah (40 – 60 cm) tanaman yang baik untuk kondisi sepeti ini adalah: padi, sayuran, buah-buahan, dan rumput sebagai pakan ternak, dan pada kedalaman air tanah > 60 cm – 100 cm

adalah: kelapa sawit, kelapa, dan karet yang diusahakan dalam bentuk perkebunan, dan Accasia crasicarpa yang diusahakan dalam Hutan Tanaman Industri.

Beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan petani agar pertanian hortikultura mereka menguntungkan yaitu pemilihan tanaman atas dasar permintaan pasar, tersedia input bagi usaha tani, pembuatan abubakar dilakukan secara terkendali, mudah mendapatkan pukan ayam dan menghemat keberadaan gambut dengan memperlambat dekomposisi gambut melalui pengendalian tinggi muka air tanah (Sagiman, 2005).

(13)

Kebutuhan air untuk tanaman tergantung pada jenis tanaman yang diusahakan (dibudidayakan) pada lahan gambut. Beberapa jenis tanaman dan kebutuhan air yang diperlukan tanaman di lahan gambut disajian pada Tabel 2.

Tabel 2.2 Kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman di lahan gambut

(Supriyo et al., 2007)

Pembuatan saluran yang terlalu dalam dan lebar akan mempercepat proses drainase dan pada musim kemarau air tanah cukup dalam sehingga menyebabkan tanah menjadi kering. Keadaan ini akan sangat berbahaya untuk tanah gambut karena terjadi penurunan permukaan air tanah secara berlebihan (overdrain) akan menyebabkan gambut mengering tak balik atau mati dan penurunan permukaan tanah gambut (subsidence) terlalu cepat (Suriadikarta, 2012).

Kedalaman permukaan air tanah pada parit kebun diusahakan agar tidak terlalu jauh dari akar tanaman, jika permukaan air terlalu dalam maka oksidasi berlebih akan mempercepat perombakan gambut, sehingga gambut cepat mengalami subsiden. Sebagai acuan kedalaman permukaan air tanah untuk tanaman pertanian menurut Maas et al. dalam Andriesse (1988) seperti disajikan dalam Tabel 3. berikut:

(14)

Tabel. 2.3 Kedalaman permukaan air tanah dan ketebalan bahan organik sebagai pembatas produksi tanaman pertanian

2.4 Sosial, Ekonomi dan Budaya Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) 2.4.1 Budaya Sonor

Sonor merupakan pertanian padi rawa di Provinsi Sumatera Selatan yang pembersihan lahannya dilakukan dengan cara membakar pada musim kemarau (Purnamasari, 2011). Sumatera Selatan dikenal sebagai salah satu wilayah yang penduduknya menerapkan sistem pertanian sonor. Pada sistem ini padi ditanam sekali dalam satu tahun dengan cara membabat semak-semak, kemudian membakar serasah, dan menanaminya dengan sistem tebar (menyebar) tanpa dipupuk sama sekali. Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) tanahnya didominasi oleh jenis tanah gambut, oleh sebab itu semenjak puluhan tahun masyarakat OKI terutama di Kecamatan Mesuji, Pangkalan Lampam, Tulung Selapan, Sungai menang dan Pedamaran Timur menerapkan sistem pertanian sonor di ekosistem rawa gambut. Demikian juga dengan Masyarakat Desa Rambai Kec. Pangkalan Lampam mengenal sistem pertanian sonor dengan istilah padi sonor atau besonor. Sebagai salah satu bentuk cultural activity (kegiatan budaya) sistem pecaharian hidup dan ekonomi masyarakat, sistem pertanian sonor telah mentradisi dan sulit

(15)

dirubah. Namun semenjak dikeluarkannya maklumat pemerintah daerah propinsi Sumatera Selatan tentang sanksi pidana terhadap pembakaran hutan atau alang-alang/ semak-semak, maka budaya sonor di desa Rambai mengalami penurunan (Tabloid Desa, 2016).

Desa Rambai adalah desa yang secara administrasi terletak dalam wilayah Kecamatan Pangkalan Lampam Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Secara umumnya merupakan daerah beriklim tropis, dengan perkisaran musim kemarau antara bulan Mei sampai bulan Oktober. Musim penghujan terjadi pada masa diantara bulan November sampai bulan April. Penyimpangan musim terjadi berselang setahun sekali berupa musim kemarau lebih panjang dari musim hujan. Menurut catatan, pada tahun 2000 terjadi 891 kali hujan di daerah ini, dengan rata-rata curah hujan sejumlah 6.966 mm (Tabloid Desa, 2016).

Dengan kondisi topografis seperti di atas, sejak masa lampau di tempat ini telah berkembang aneka tumbuhan terutama yang biasa terdapat di iklim tropis baik yang tumbuh secara alami maupun diusahakan termasuk tanaman obat. Sedangkan tumbuhan perkebunan adalah karet, kelapa, jambu biji, duku, durian, cempedak, nangka, jeruk, nanas, pisang dan sebagainya. Jenis tanah pada umumnya merupakan jenis aluvial (tanah lebak) dan polosik (tanah talang ). Jenis aluvial terdapat di daerah aliran sungai, dengan warnah tanah kelabu ataupun coklat, keadaan liat, berpasir, dan menjadai lembab jika kering. Tanah ini disebut juga sebagai tanah lebak dengan susunan humus yang kaya untuk pertanian, persawahan, perkebunan kelapa dan dan palawija dan budidaya ikan air tawar. Tanah aluvial jika tergenang air warnahnya menjadi kehitam-hitaman (Tabloid Desa, 2016).

Sementara jenis palosik terdapat di daratan yang tidak tergenang air dengan tingkat kesuburan lebih rendah dari tanah lebak. Selain untuk perkebunan, daerah dengan jenis tanah ini sering dipergunakan untuk permukiman penduduk. Sistem Pertanian Sonor Menurut asal-usul kata sonor mempunyai arti “nalak” atau membiarkan atau tidak diurus (Wawancara: Maddusi, 29 November 2009, Masyarakat Desa Rambai). Sedangkan menurut Kepala Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Celikah Kecamatan Kota Kayuagung, Kab. Ogan Komering Ilir (OKI), Zainal Abidin, Sonor adalah sistem

(16)

penanaman padi tradisional di areal rawa atau gambut, yang hanya dilakukan pada saat musim kemarau panjang (paling sedikit antara 5 - 6 bulan kemarau. Dengan demikian padi sonor yang bibit lokalnya (ambai) akan menyemai dan tumbuh dengan sendirinya. Selanjut ia menjelaskan sistem pertanian sonor dinilai praktis dan murah oleh masyarakat karena tidak memerlukan perawatan, pemupukan dan pengobatan. Setelah benih ditebarkan di sisa abu sisa pembakaran, kemudian ditinggalkan selama 6 bulan kemudian datang kembali untuk memanennya. Penanaman Padi sistem sonor banyak dilakukan oleh penduduk asli di Sumatera Selatan (juga di Kalimantan Tengah). Padi ditanam sekali dalam satu tahun dengan cara membabat semak-semak, kemudian membakar serasah, dan menanaminya dengan sistem tugal tanpa dipupuk sama sekali. Padi yang digunakan adalah verietas lokal seperti Bayar, Lemo dan Pandak dan lainnya (Tabloid Desa, 2016).

Sistem sonor menghasilkan antara 1,5 - 2,0 ton/ha gabah. Sesudah panen, lahan diberakan untuk ditanami lagi setelah 2 - 3 tahun. Kelemahan sistem sonor adalah pembakaran serasah di lahan sehingga dapat menyulut kebakaran gambut yang lebih luas dan mempercepat pendangkalan gambut. Untuk itu, perlu dimodifikasi dengan cara sebagai berikut:

1. Lahan dibuka dengan cara ditebas, lalu dibiarkan dalam beberapa hari supaya kering;

2. Serasah dikumpulkan pada tempat khusus yang dikelilingi parit berair lalu dibakar;

3. Abu ditaburkan ke lahan pertanaman hingga merata;

4. Tanah ditugal dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, lalu benih ditanam. Lubang ditutup dengan menggunakan abu dapur atau sisa pembakaran semak-semak;

5. Pemeliharaan hanya dilakukan untuk menjaga serangan Babi. Biasanya petani menggunakan Anjing untuk menjaga tanamannya;

6. Sesudah panen, lahan dibiarkan bera selama 2-3 tahun (Tabloid Desa, 2016).

(17)

2.5 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Hutan sebagai sumber daya memiliki potensi untuk member manfaat multiguna, disamping hasil kayu, hutan dapat member manfaat berupa hasil bukan kayu dan lingkungan. Hasil riset menunjukkan bahwa hasil hutan bukan kayu dari ekosistem hutan hanya sebesar 10% sedangkan besar (90%) hasil lain berupa hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang selama ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Nomor: P.21/Menhut-II/2009).

Luas hutan Indonesia 120,3 juta Ha, memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi 30 sampai dengan 40 ribu jenis tumbuhan tersebar di hamper seluruh pulau yang berpotensi menghasilkan HHBK yang cukup besar. Beberapa jenis HHBK memiliki nilai cukup tinggi baik di pasar domestic maupun di pasar global antara lain rotan, bambu, gaharu, atsiri, dan jenis lain (Permenhut P.21, 2009).

Secara ekonomis HHBK memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun memiliki nilai ekonomi tinggi namun pengembangan usaha dan pemanfaatan HHBK selama ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Beberapa hambatan yang dihadapi dalam pengembangan HHBK antara lain pemanfaatan HHBK selama ini hanya bertumpu pada pemungutan dari hutan alam dari bukan hasil budidaya sehingga ketika hutan alam rusak pasokan HHBK juga rusak, beragamnya jenis komoditas dan belum berkembangnya teknologi budidaya maupun pemanfaatan HHBK. Melihat potensi nilai ekonomi serta permasalahan yang ada, pemerintah melalui Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Nomor: P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu mempunyai kewajiban untuk mengembangkan tanaman HHBK secara lebih serius (Permenhut P.21, 2009).

Secara ekonomi HHBK memiliki kontribusi yang signifikan untuk meningkatkan devisa negara. Salah satu golongan komoditi HHBK yang berperan besar dalam meningkatkan devisa negara di bidang kehutanan adalah tanaman

(18)

penghasil serat alami (bast plant) seperti : sisal, kenaf, bambu, rami, pandan, kapuk, kapas, flax, rosella, jute, dan pisang abaca. Beberapa diantaranya telah diekspor ke berbagai pasar mancanegara serta untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri (Lembang et al., 2015).

Upaya pengembangan HHBK perlu dilakukan secara berkelanjutan, mengingat komoditas HHBK sangat beragam di setiap daerah dan banyak melibatkan berbagai pihak dalam memproses hasilnya, maka strategi pengembangan perlu dilakukan dengan memilih jenis prioritas yang diunggulkan berdasarkan pada criteria, indicator dan standar yang ditetapkan. Dengan tersedianya jenis komoditas HHBK unggulan maka usaha budidaya dan pemanfaatannya dapat dilakukan lebih terencana dan terfokus sehingga pengembangan HHBK dapat berjalan dengan baik, terarah dan berkelanjutan (Permenhut P.21, 2009).

2.5.1 Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

HHBK dari ekosistem hutan sangat beragam jenis sumber penghasil maupun produk serta produk turunan yang dihasilkannya. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Nomor: P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, maka dalam rangka pengembangan budidaya maupun pemanfaatannya HHBK dibedakan dalam HHBK nabati dan HHBK hewani. a. HHBK Nabati

HHBK nabati meliputi semua hasil non kayu dan turunannya yang berasal dari tumbuhan dan tanaman, dikelompokkan dalam:

1. Kelompok resin, antara lain dammar, gaharu, kemenyan;

2. Kelompok minyak atsiri, antara lain cendana, kayu putih, kenanga;

3. Kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan, antara lain buah merah, rebung bamboo, durian;

4. Kelompok tannin, bahan pewarna dan getah, antara lain kayu kuning, jelutung, perca;

5. Kelompok tumbuhan obat-obatan dan tanaman hias, antara lain akar wangi, brotowali, anggrek hutan;

(19)

7. Kelompok alkaloid antara lain kina;

8. Kelompok lainnya, antara lain nipah, pandan purun; b. HHBK Nabati

Kelompok hasil hewani meliputi:

1. Kelompok hewan buru (babi hutan, kelinci, kancil, rusa, buaya) 2. Kelompok hewan hasil penangkaran (arwana, kupu-kupu, rusa, buaya) 3. Kelompok hasil hewan (sarang burung wallet, kutu lak, lilin lebah, ulat

sutera, lebah madu).

2.5.2 Pengembangan HHBK

HHBK memiliki potensi cukup besar untuk meningkatkan nilai ekonomi dari sumber daya hutan dengan beragam hasil HHBK yang dapat diperoleh. Potensi ini menjadi prospek yang tinggi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pemanfaatan HHBK saat ini masih terkendala beberapa factor antara lain skala pemanfaatan HHBK masih rendah, dilakukan dalam skala kecil oleh petani, terbatasnya modal petani untuk mengembangkan HHBK, data dan informasi HHBK belum tersedia, pola pengembangan HHBK belum terfokus pada komoditas tertentu sehingga upaya pengembangan belum dilakukan secara intensif. Pemanfaatan HHBK masih bertumpu pada pemungutan dan belum berbasis pada budidaya sehingga kelestarian hasil HHBK belum terjamin. Disamping itu pemanfaatan HHBK belum didukung regulasi dan kewenangan yang jelas. Untuk mengembangkan HHBK agar lebih intensif maka kebijakan dan strategi pengembangan dilakukan secara selektif terhadap jenis tertentu yang ditetapkan melalui penetapan jenis unggulan dilakukan pada sentra wilayah tertentu (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Nomor: P.21/Menhut-II/2009).

2.5.3 HHBK Unggulan

Jenis HHBK unggulan adalah jenis tanaman penghasil HHBK yang dipilih berdasarkan criteria dan indicator tertentu yang ditetapkan. Penetapan jenis HHbk unggulan dilakukan di setiap kabupaten/kota dan merupakan jenis tanaman yang diprioritaskan untuk dikembangkan baik budidaya, pemanfaatan dan pengolahannya sampai dengan pemasarannya sehingga menjadi jenis HHBK

(20)

yang dapat memberikan kontribusi ekonomi suatu daerah secara berkelanjutan. HHBK unggulan ditetapkan berdasarakan beberapa criteria mencakup criteria ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, social dan criteria teknologi. Jenis HHBK unggulan dikelompokkan dalam 3 (tiga) unggulan yakni unggulan nasional, unggulan provinsi dan unggulan local (kabupaten/kota setempat). HHBK unggulan tersebut dapat dipergunakan sebagai arahan dalam mengembangkan jenis HHBK di tingkat pusat dan daerah (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Nomor: P.21/Menhut-II/2009).

2.5.4 Keanekaragaman Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Setelah Pembalakan Keanekargaman jenis hasil bukan kayu di kawasan lindung PT Wirakarya Sakti, Propinsi Jambi antara lain dimanfaatkan sebagai buah-buahan, bahan sayuran, bahan obat-obatan, bahan peralatan dan teknologi local, dan penyedap.

2.4.4.1 Keanekaragaman Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Sebagai Buah-Buahan

No Spesies Nama Daerah Habitus

1 Antidesma bunius (L.) Sprengel Syn: Stilago bunius L.; Antidesma rumphii Tulasne; Antidesma dallachyanum Baillon. –Euphorbiaceae

Berenai atau buah buni

Dataran rendah sampai 1000 m dpl

2 Artocarpus dadah Miq. - Moraceae

Bakil Hutan primer pada

ketinggian 0 – 1200 m dpl 3 Artocarpus elasticus

Reinw.ex Blume – Moraceae

Terap, Bekil Hutan primer dan

sekunder tua. Dataran rendah sampai pada ketinggian 500 m dpl. 4 Artocarpus kemandoMiq

– Moraceae

Cempedak air Lahan berawa, pada ketinggian 150-450 m dpl. 5 Artocarpus odoratissimus

Blanco Syn: Artocarpus tarap Becc.; Artocarpus mutabilis Becc. – Moraceae

Terap Hutan sekunder sampai

pada ketinggian 1000 m dpl.

(21)

6 Artocarpus rigidus Blume Syn : Artocarpus calophylla Kurz; Artocarpus asperula Gagnep – Moraceae Cempunik, tampunik

Dataran rendah sampai pada ketinggian 1000 m dpl.

7 Baccaurea macrocarpa (Miq.) Muell. Arg. – Euphorbiaceae

Tampui labu, tampui nasi, gerahan

Hutan primer, kawasan berrawa-rawa, hutan kerangas dan hutan rawa gambut

8 Baccaurea minutiflora – Euphorbiaceae

Rambai hutan, tampui burung

Dataran rendah sampai pada ketinggian 1800 m dpl.

9 Baccaurea motleyana

Muell. Arg. –

Euphorbiaceae

Buah rambai Hutan pamah tropika basah, hutan rawa gambut, hutan dataran rendah, hutan tropika pada ketinggian 750 m dpl. 10 Baccaurea racemosa

(Reinw. Ex. Blume) Muell. Arg. Syn : Pierardia racemosa BI.; Baccaurea wallichii Euphorbiaceae

Tampui Dataran rendah sampai

ketinggian sekitar 1000 m dpl.

11 Bouea macrophylla Griffith; Syn: Bouea gandaria Blume ec Miq. – Anacaediaceae

Raman, gandarai Hutan hujan tropis dataran rendah sampai pada ketinggian 300 m dpl – 800 m dpl

12 Bouea oppositifolia (Roxb.) Meisner Syn: Bouea microphylla

Griffith; Bouea

burmanica Griffith. – Anacaediaceae

Raman burung Hutan dataran rendah sampai pada ketinggian 300 m dpl

13 Dacryodes rostrata (Blume) H. J. Lam; Syn: Canarium kadondon

Bennet; Santiria

samarensis Merr. – Burseracae

Kedongdong Hutan primer dataran rendah sampai pada ketinggian 600 m dpl.

14 Dialium indum L. Syn: Dialium laurinum Baker;

Keranji Hutan rawa, hutan rawa gambut.

(22)

Dialium patens Baker; Dialium angustifolium Ridley; Dialium marinatum de Wit; Dialium turbinatum de Wit – Fabaceae

15 Durio oxleyanus Griffth – Bombaceae

Durian daun Hutan hujan tropis dataran rendah, hutan yang terendam secara periodic. 16 Durio zibethinus Murray

– Bombaceae

Durian, Duren Daerah tropic, sampai pada ketinggian 800 m dpl.

17 Flacourtia inermis Roxb.

– Flacourtiaceae

Lobi-lobi, rukem, tomi-tomi

Kawasan di bawah 1300 m dpl

18 Flacourtia rukam Zoll. & Moritzi Syn: Flacourtia – Flacourtiaceae

Rukem

19 Garcinia dulcis Kurz – Clusiaceae

Kandis Tumbuh meliar pada

ketinggian kurang dari 500 m dpl

20 Garcinia parvifolia Miq – Clusiaceae

Kandis burung Hutan tropis basah dataran rendah

21 Garcinia rigida - Clusiaceae

Manggis hutan, kandis

Kawasan hutan primer tropis basah dengan kelembaban yang tinggi, 0-1000 m dpl.

22 Hiydnocarpus

heterophyllus Blume; Syn: Taraktogenos blumei Hassk.; Taraktogenesis heterophylla Sloot. – Flacourtiaceae

Samak, medang ketelapak

Hutan hujan tropis dan sering kali tumbuh di tanah berkapur atau batuan berkapur pada ketinggian 150-900 m dpl

23 Lansium domesticum Correa Syn: Aglaia dookoo Griffth; Aglaia domestica Pellegrin; Aglaia aquea (Jack) Kosterm – Meliaceae

Duku, langsat, kokosan.

Dataran rendah – 1200 dpl

24 Mangifera caesia Jack ex Wall Syn. Mangifera

Binjai, binglu, wani

Dataran-dataran rendah di kawasan tropis basah di

(23)

verticillata C. B.

Robinson –

Anacardiaceae

bawah ketinggian 400 m dpl

25 Mangifera foetida Lour

Syn.: Mangifera

horsfieldii Miq. – Anacardiaceae

Bacang, limus, asem bambawang

Hutan primer dataran rendah di hutan basah tropika

26 Mangifera sp. –

Anacardiaceae

Bacang hutan Hutan tropis dataran

rendah di bawah

ketinggian 400 m dpl. 27 Mangifera kemanga

Blume – Anacardiaceae

Kemang Dataran rendah, tropika basah, 0-400 m dpl

28 Mangifera laurina Blume Syn: Mangifera longipes Griffth, Mangifera sumatrana Miq., Mangifera parih Miq. – Anacardiaceae

Tayas, mangga pari, pelem kecik, empelem, asem buluh

Dataran rendah hutan hujan tropis maupun tumbuh pada ketinggian hingga 300 m dpl

29 Mangifera odorata Griffth

– Anacardiaceae

Manceng, lukup, ambaoang

Hutan campuran dataran rendah sampai ketinggian 700 m dpl

30 Mangifera parvifolia Boerl. & Koord. – Anacardiaceae

Rawa, rawo, rawa hutan

Hutan, sepanjang tepi sungai, dan kadang-kadang dijumpai pada tempat yang tergenang air, hutan gambut, pada tanah podsolik dengan drainase yang baik.

31 Nephelium cuspidatum Blume Syn: Nephelium eriopetalum Miq. – Sapindaceae

Arang tarao, arang taro, kumpal benang, rambutan kabung

Hutan primer hujan tropisdan hutan sekunder.

32 Nephelium lappaceum L. – Sapindaceae Rambot, rambuteun, rambutan Tropic basah 33 Nephelium uncinatum Radlk. Ex Leenh. – Bombacaceae Ridan, namun, lomom

Hutan primer hujan tropis datararan rendah sampai ketinggian 1200 m dpl 34 Pometia pinnata J. R.

Foster & J. G. Foster – Sapindaceae

Matoa, jagir, leungsir, sapen

Mulai dari kawasan pantai hingga 1700 m dpl

(24)

35 Prainea sp. – Moraceae Tampang kesumbo Hutan dataran rendah yaitu hutan hujan tropis dataran rendah sampai pada ketinggian 800 m dpl 36 Reinwardtiodendron

humile (Hassk.) Warb. Syn: Aglaia dubia (Merr.) Kosterm., Lansium dubium Merr., Lansium humile Hassk. – Meliaceae Karpek, tembangan, aragnan, malakanasi

Hutan tropis dari dataran rendah sampai pa

37 Syzygium polyantum (Wight) Walp. Syn: Eugenia polyantha Wight

– Myrtaceae

Kelat meribung, kelat

Hutan primer dan sekunder dataran rendah sampai pada ketinggian sekitar 1000 (-1300) m dpl.

38 Xerospermum laevigatum Radlk. Syn: Xerospermum acuminatum Radlk. - Sapindaceae

Rambutan paehat, rambutan pasat.

Hutan primer kering, dataran rendah hingga ketinggian sekitar 700 m dpl

(25)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan sejak September sampai November 2017 yang meliputi Kabupaten Banyuasin dan OKI. Sebagian besar wilayah studi terdapat di Kabupaten OKI. Ada tiga KHG yang menjadi target riset yaitu:

1. KHG Sungai Saleh dan Sungai Sugihan; , Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir (OKI),

2. KHG Sungai Sugihan- Sungai Lumpur, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI),

3. KHG Sungai Sibumbung-Sungai Batok, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)

Gambar 1. Peta KHG Sungai Saleh dan Sungai Sugihan; , Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir (OKI)

(26)

Gambar 2. Peta KHG Sungai Sugihan- Sungai Lumpur, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)

Gambar 3. Peta KHG Sungai Sibumbung-Sungai Batok, Kabupaten Ogan Komering Ilir

(27)

3.2Metode Pendekatan

Wilayah yang distudi meliputi 3 KHG yang sangat luas di OKI dan Banyuasin maka studi ini akan dilaksanakan dengan metode survey sampel. Untuk menjangkau responden survey dan memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan, studi ini akan menggunakan 3 pendekatan, yaitu pendekatan kesatuan hidrologis gambut (KHG), pendekatan wilayah administratif, dan pendekatan ruang kegiatan. Guna memudahkan koordinasi dan memaksimalkan memperoleh informasi dan data maka pendekatan wilayah kecamatan dari suatu KHG lebih diutamakan.

3.3 Sampling

Pengambilan sampel dilakukan menggunakan cluster sampling dengan 3 tahap sampling, yaitu pemilihan kecamatan dan desa sampel, pengambilan sampel, survey lokasi sampel. Uraian sampling yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pada setiap KHG akan ditentukan kluster kecamatan dan desa berdasarkan mata pencaharian utama penduduknya, misalnya kluster kecamatan dan desa dengan mata pencaharian utama hasil hutan (purun), pertanian pangan (padi) , kluster peternakan (kerbau rawa), kluster perikanan (budidaya, tangkap, dan tambak),

2. Dari setiap kluster kecamatan dan desa akan dipilih 2 desa sampel yang mewakili ciri klusternya. Adapun criteria desa sampling adalah desa tersebut berada di dalam Peta KHG (BRG) desa berbatasan dengan hutan atau desa tersebut mempunyai sungai yang berasal dari KHG, desa tersebut mempunyai lahan gambut, dan masyarakat desa tersebut terlibat langsung memanfaatkan komoditi dari wilayah KHG tersebut.

3. Dari setiap desa akan dipilih masyarakat atau tomas sebagai sampel (10 orang) untuk diwawancarai (stratified random sampling) berdasarkan jenis usaha , volume usaha dan lokasi usaha (untuk kehutanan, pertanian, perikanan dan peternakan).

4. Dari setiap desa akan dipilih dan dikunjungi/survei lokasi komoditi lokal yang ada atau dominan sehingga diperoleh informasi tentang luas/jumlah, posisi

(28)

letak dari komoditas lokal potensial serta informasi biofisik berbagai faktor pendukung-penghambat pengembangannya

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data akan dilakukan melalui 3 cara, yaitu: 1. Observasi lapangan

2. Wawancara (terstruktur, mendalam) 3. Focus Group Discussion (FGD)

3.4.1 Observasi Lapangan

Observasi atau survey lapangan ini dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan dokumentasi data dan foto.

3.4.1.1Kunjungan ke kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), KayuAgung dan Kabupaten Banyuasin

3.4.1.2Kunjungan ke kecamatan, untuk menentukan lokasi desa terpilih (komoditi dan atau berdekatan dengan kawasan KHG (kawasan hutan gambut).

3.4.1.3Kunjungan ke desa

a. Peternakan (menentukan lokasi dan jumlah populasi hewan/ Kerbau Rawa)

b. Perikanan (nelayan tangkap atau pengepul ikan, menentukan lokasi lebong dan populasi ikan dan petani tambak)

c. Walet (menentukan jumlah unit dan produksi)

d. Padi (PPL dan petani, menentukan lokasi dan luas areal produksi eks sonor).

e. Komoditi hutan (pemilik atau pengrajin purun, menentukan lokasi, luas areal, dan produksi purun).

f. Komoditi hewan dan tumbuhan eksotik (Tokoh masyarakat dan masyarakat).

3.5 Entry Data

Data disusun berbasis komoditi terpilih berbasis KHG, dan dari setiap KHG disusun kecamatan dan desa untuk komoditi kerbau, ikan, wallet, padi, dan purun.

(29)

3.6 Analisis dan Pengolahan Data

Data-data yang diperoleh melalui survey/kunjungan lapangan akan di tabulasi dan disusun berbasis tabel dan peta tematik. Hasil wawancara FGD di desa dengan kades, tomas dan masyarakat menjadi sumber informasi tentang potensi, kendala dan pengembangan komoditas sehingga dapat menjadi masukan dalam membuat rekomendasi. Data-data yang diperoleh melalui penelitian ini diolah dengan analisis deskriptif, dan untuk penentuan komoditas terpilih digunakan analisis HHBK (Permenhut P21, 2009) sehingga penentuan komoditas terpilih berbasis prospek ekonomi, biofisik lingkungan, kelembagaan, social, dan teknologi. Data dari setiap komoditi dari setiap kecamatan di rekapitulasi secara total untuk selanjutnya diolah menjadi KHG. Komoditi potensial dari setiap KHG akan disusun dan dianalisis lebih lanjut.

3.7 Kerangka Kerja

No Tujuan Manfaat Kegiatan Luaran Metodologi

1 Penetapan KHG dan desa Diperoleh lokasi penelitian yang representative Kajian pemetaan dan data sekunder oMendapat kepastian calon kecamatan, desa dan kawasan riset,

Studi pustaka dan observasi 2 Penetapan lokasi komoditas berbasis desa Diperoleh informasi letak lokasi, potensi dan prospek pengembangan komoditas berbasis masyarakat Melakukan diskusi dan wawancara tentang komoditas lokal oMendapat informasi gambaran umum tentang potensi dan lokasi komoditas FGD di desa Identifikasi dan analisis vegetasi hutan komoditi Diperoleh data jenis-jenis tumbuhan dan jenis tumbuhan potensial Melakukan survey lapangan tentang tumbuhan hutan potensial oKerapatan, FrequensiDomina nsi, oNilai penting komoditi, oEstimasi potensi kayu Survey, dan Jalur transek pada kawasan khusus 3 Identifikasi dan analisis tanaman budidaya, obat dan exotic Diketahui jenis tanaman budidaya tumbuhan obat dan tanaman yg punya nilai eksotik Melakukan survey lapangan tentang tumbuhan budidaya, herbal dan oJenis-jenis tanaman budidaya potensial oJenis-jenis tumbuhan obat potensil oJenis-jenis Survey, wawancara

(30)

exotic potensial tumbuhan eksotik 4 Identifikasi dan analisis potensi ikan Diperoleh jenis jenis ikan rawa gambut Didapatkan jenis-jenis ikan potensial Melakukan survey lapangan tentang ikan rawa potensial oJenis-jenis ikan, ojenis ikan potensial oEstimasi potensi perikanan Survey dan wawancara 5 Identifikasi dan analisis potensi hewan dan ternak potensial Diperoleh jenis-jenis hewan dan ternak potensial Melakukan survey lapangan tentang hewan dan ternak potensial oJenis-jenis hewan liar, oJenis hewan ternak potensial oEstimasi potensi ekonomi Survey, wawancara 6 Pemetaan komoditi eksisting berbasis lokasi Diperoleh peta posentasi pertanian, perikanan dan peternakan Melakukan analisis dari data-data yang diperoleh oPeta komoditi potensial untuk pertanian, perikana dan peternakan Pembuatan peta 7 Pemetaan calon lokasi untuk pengemban gan Diperoleh lokasi-lokasi untuk pengembangan komiditi potensial Melakukan analisis dari data-data yang diperoleh o Arahan lokasi pengembangan komoditi potensial Analisis SWOT Pattern analisys

(31)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Kondisi Umum Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)

Tabel 4.1. Luas dan Persentase Luas Wilayah Kecamatan, Ibu Kota Kecamatan, dan Jarak Ibu Kota Kecamatan ke Ibu Kota Kabupaten Kabupaten Ogan Komering Ilir

No Kecamatan Luas Wilayah Ibu Kota Jarak ke

Ibu Kota Kabupaten (Km) Luas (Km2) Persentase (%) 1 Lempuing 295,61 1,55 Tugumulyo 72

2 Lempuing Jaya 505,80 2,66 Lubuk

Seberuk

55

3 Mesuji 642,86 3,38 Pematang

Panggang

96

4 Sungai Menang 2.305,42 12,12 Sungai

Menang

175

5 Mesuji Makmur 493,14 2,59 Catur

Tunggal

130

6 Mesuji Raya 515,85 2,71 Kemang

Indah

110

7 Tulung Selapan 5.363,65 28,19 Tulung

Selapan Ulu 87 8 Cengal 3.038,66 15,97 Cengal 150 9 Pedamaran 376,68 1,98 Menang Raya 18 10 Pedamaran Timur 692,79 3,64 Sumber Hidup 50

11 Tanjung Lubuk 219,97 1,16 Tanjung

Lubuk

34

12 Teluk Gelam 169,29 0,89 Seriguna 17

13 Kayuagung 224,45 1,18 Cinta Raja -

14 Sirah Pulau Padang 102,08 0,54 Sirah Pulau Padang 21 15 Jejawi 237,98 1,25 Jejawi 58 16 Pampangan 483,42 2,54 Pampangan 42 17 Pangkalan Lampam 1.104,75 5,81 Pangkalan Lampam 54

18 Air Sugihan 2.251,07 11,83 Kertamukti 200

Ogan Komering Ilir 19.023,47 100,00 Kayuagung - Sumber: Bagian Pemerintahan, Sekretariat Daerah, Kabupaten Ogan Komering Ilir, 2016 dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Kabupaten Ogan Komering Ilir, 2016

(32)

Tabel 4.2 Daerah Aliran Sungai dan Sub Daerah Aliran Sungai Kabupaten Ogan Komering Ilir

No DAS Sub DAS

1 Batang Batang Mengkudu 2 Jatingombol Jatingombol 3 Jeruju Jeruju Pasir 4 Koyan Koyan 5 Musi Komering Ogan Saleh Sugihan 6 Pidada Pidada

7 Pulau Dalem Pulau Dalem

Sungai Duabelas

8 Riding Lebong Hitam

Lumpur Riding

9 Teluk Daun Teluk Daun

10 Teluk Puleh Teluk Puleh

Tabel 4.3 Jumlah Produksi Padi Menurut Jenis Lahan (Ton) Kabupaten Ogan Komering Ilir Tahun 2014-2016

No Kecamatan Tahun 2014 2015 2016 Tadah Hujan Rawa Pasang Surut Rawa Lebak Tadah Hujan Rawa Pasang Surut Rawa Lebak Tadah Hujan Rawa Pasang Surut Rawa Lebak 1 Lempuing 79.228 - - 77.129 - - 81.687 - - 2 Lempuing Jaya 91.857 - 9 89.551 - - 91.298 - - 3 Mesuji 10.748 - - 22.407 - - 25.616 - - 4 Sungai Menang 7.674 28.598 - 12.590 26.320 16.823 17.901 34.873 15.002 5 Mesuji Makmur 9.229 - - 4.587 - - 43 - - 6 Mesuji Raya 10.611 - - 12.263 - - 13.199 - - 7 Tulung Selapan - 6.484 - - 4.928 - - 12.532 - 8 Cengal - 1.780 - - 3.566 - - 10.344 - 9 Pedamaran 1.757 - 30.955 4.439 - 29.691 2.161 - 38.668 10 Pedamaran Timur - - 137 92 - 1.539 4.678 - 1.045 11 Tanjung Lubuk - - 50.365 6.414 - 55.120 19.532 - 49.756 12 Teluk Gelam 2.123 - 13.581 3.104 - 9.298 3.133 - 9.780

(33)

13 Kayuagung - - 17.003 - - 15.732 - - 20.727 14 Sirah Pulau Padang - - 38.454 - - 39.192 - - 45.442 15 Jejawi - - 34.496 - - 34.328 - - 37.628 16 Pampangan - - 39.116 - - 44.957 - - 43.784 17 Pangkalan Lampam 1.354 - - 1.879 - - 1.069 - - 18 Air Sugihan - 66.371 - - 90.783 - - 136.432 - Jumlah 2.974 103.233 224.118 234.455 125.597 246.680 260.317 194.181 261.832

Tabel 4.4 Luas Areal Pemeliharaan Budidaya Ikan Air Payau (Ha) Kabupaten Ogan Komering Ilir Tahun 2014-2016

No Kecamatan 2014 2015 2016 1 Lempuing - - - 2 Lempuing Jaya - - - 3 Mesuji - - - 4 Sungai Menang 9.751 9.751 9.751 5 Mesuji Makmur - - - 6 Mesuji Raya - - - 7 Tulung Selapan 7.969 7.969 7.969 8 Cengal 6.553 6.560 6.560 9 Pedamaran - - - 10 Pedamaran Timur - - - 11 Tanjung Lubuk - - - 12 Teluk Gelam - - - 13 Kayuagung - - -

14 Sirah Pulau Padang - - -

15 Jejawi - - -

16 Pampangan - - -

17 Pangkalan Lampan - - -

18 Air Sugihan - - -

Jumlah 24.273 24.280 24.280

Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten Ogan Komering Ilir, 2017

Tabel 4.5 Produksi Ikan Perairan Umum Daratan Menurut Jenis Ikan (Ton) Kabupaten Ogan Komering Ilir Tahun 2014-2016

No Jenis Ikan

2014 2015 2016

1 Lampam 959,268 973,000 549,339

2 Jambal 847,945 573,000 128,034

(34)

4 Lais 443,126 562,000 250,000 5 Toman 360,335 393,000 94,582 6 Sepat siam 1287,674 1461,000 1711,372 7 Tambakan 576,201 281,000 103,939 8 Belida 8,053 9,210 2,566 9 Betutu 10,124 15,700 12,037 10 Ikan Lainnya 3684,941 3902,979 345,224 11 Udang Galah 335,056 296,000 159,495 12 Udang Lainnya 323,116 301,000 90,357 13 Kodok 307,810 275,000 35,694 14 Jelawat 3,670 1,934 0,000 15 Lele 1701,000 1527,000 2438,481 Jumlah 11801,512 11800,823 6955,630

Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten Ogan Komering Ilir, 2017

Tabel 4.6 Jumlah Industri Kecil dan Kerajinan Menurut Produk Industri (Unit) Kabupaten Ogan Komering Ilir Tahun 2014-2016

N o Kecam atan Tahun 2014 2015 2016 A n ya m an P ur u n Ke ru pu k/ Ke m pl an g G ul a K el a p a/ A re n K er aj in a n K a y u T a h u T e m p e T e r a s i A ny a m an Pu ru n Ke ru pu k/ Ke m pl an g G ul a Ke la pa /A re n K er aj in a n K a y u Ta hu Te m pe Te ras i Any ama n Puru n Ke rup uk/ Ke mp lan g Gul a Kel apa/ Are n Ker ajin an Kay u Tah u Te mpe Tera si 1 Lempui ng 11 2 Lempui ng Jaya 3 Mesuji 1 4 Sungai Menan g 1 5 Mesuji Makmu r 6 Mesuji Raya 7 Tulung Selapan 3 8 9 7 4 3 38 5 41 385 41 8 Cengal 1 6 16 16 9 Pedama ran 3 7 3 70 2 4 39 3 42 20 393 43 20 1 0 Pedama ran Timur 1 1 Tanjun g

(35)

Lubuk 1 2 Teluk Gelam 2 2 23 23 18 1 3 Kayuag ung 83 1 5 1 8 83 1 6 18 83 1 4 Sirah Pulau Padang 13 39 1 5 Jejawi 11 4 1 6 Pampa ngan 1 8 5 18 5 185 1 7 Pangka lan Lampa m 1 8 Air Sugiha n 7 2 1 6 72 16 72 16 Jumlah 9 4 7 16 0 1 1 8 1 5 3 4 5 9 96 3 12 5 11 5 1 6 34 57 976 27 9 115 2 45 57

(36)

4.2 Wilayah Administratif KHG

Studi komoditi potensial untuk KHG sungai Saleh-Sungai Sugihan, KHG Sungai Sugihan-Sungai Lumpur, dan KHG Sungai Sebumbung-Sungai Batok di wilayah kabupaten OKI dan kabupaten Banyuasin mencakup 13 kecamatan dan 100 desa sampel. Secara umum informasil berbagai desa dari suatu kecamatan untuk setiap KHG dapat dilihat pada Tabel.4.1., Tabel 4.2., dan Tabel 4.3.

KHG sungai Saleh-Sungai Sugihan,ditempati oleh berbagai desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan dan juga anak sungai yang berasal dari hutan gambut. Berdasarkan hasil wawancara di kecamatan Muara Sugihan, Muara Padang dan Air Kumbang ternyata 12 desa memanfaatkan berbagai komoditi dari KHG sungai Saleh-Sungai Sugihan. Sementara itu, untuk kabupaten OKI dari kecamatan Pangkalan Lampan terdapat 12 desa yang terletak di KHG tersubut (Tabel 4.1).

Gambar . Peta Desa Sampel, Kecamatan dan Kabupaten di KHG Saleh- Sugihan

Potensi Komoditi Lokal Potensial KHG Saleh- Sugihan

(37)

Tabel 4.1. Desa Sampel, Kecamatan dan Kabupaten di KHG Saleh- Sugihan No Kabupaten Kecamatan Jumlah

Desa Desa Sampel Desa Sampel 1 Banyuasin Muara Sugihan 22 7 1. Argo Mulyo 2. Beringin Agung 3. Gilirang 4. Indrapura 5. Jalur Mulya 6. Timbul Jaya 7. Tirto Mulyo Muara Padang 2 1. Muara Padang 2. Sebokor Air Kumbang 3 1. RP Permata 2. Karang Anyar 3. Nusa Makmur 4 Ogan Komering Ilir ( OKI ) Pangkalan

Lampam 19 12 1. Air rumbai

( Kecuali Desa Sungai Bungin ) 2. Deling

3. Lebung Batang 4. Lirik 5. Pangkalan Lampam 6. Perigi 7. Rambai 8. Riding 9. Sukaraja 10. Sungutan 11. Talang daya 12. Bukitbatu

(38)

KHG Sungai Saleh dan Sungai Sugihan di tempati oleh berbagai desa yang berbatasan dengan kawasan hutan dan juga anak sungai yang berasal dari hutan gambut. Berdasarkan hasil wawancara di Kecamatan Muara Sugihan dan Muara Padang dan Air Kumbang ternyata 12 desa memanfaatkan berbagai komoditi dari KHG Saleh – Sugihan. Sementara itu, untuk Kapubaten OKI dari kecamatan Pangkalan Lampam terdapat 12 desa yang terletak di KHG tersebut.

KHG Sugihan- Lumpur terdiri dari tiga kecamatan di OKI yaitu Air Sugihan, Cengal dan Tulung Selapan yang mana ada 26 desa yang langsung terkait dengan pemanfaatan KHG tersebut.

Kecamatan Tulung Selapan adalah wilayah yang dominan desanya memanfaatkan komoditi dari KHG tersebut, da nada 15 desa tersebut yang sangat tergantung dari ekosistem KHG (Tabel 4.2)

Gambar . Peta Desa Sampel, Kecamatan dan Kabupaten di KHG Sugihan- Lumpur

Potensi Komoditi Lokal Potensial KHG Sugihan- Lumpur

(39)

Tabel 4.2. Desa Sampel, Kecamatan dan Kabupaten di KHG Sugihan- Lumpur No Kabupaten Kecamatan Jumlah

Desa

. Desa

Sampel Desa Sampel

1 Ogan

Komering Ilir Air Sugihan 26 7

1. Banyu Biru 2. Bukit Batu 3. Jadi Mulya 4. Marga Tani 5. Srijaya Baru 6. Simpang heran 7. Timbul Harjo 2 Ogan

Komering Ilir Cengal 12 4

1. Balam Jeruju 2. Pelimbangan 3. Sungai Jeruju 4. Ulak Kedondong 3 Ogan Komering Ilir Tulung Selapan 23 16 1. Toman 2. Simpang Tiga 4. Jerambah Rengas 5. Petaling 6. Ujung Tanjung 7. Lebung Gajah 8. Lebung Hitam 9. Penanggoan duren 10. Tulung Selapan Ilir 11. Tulung Selapan Ulu 12. Tulung Selapan 13. Tulung Seluang

14. Simpang Tiga Makmur 15. Simpang Tiga Jaya 16. Rantau Lurus

KHG Sugihan Sibumbung- Sungai Batok adalah KHG yang paling banyak berhubungan dengan wilayah kecamatan dan desa. Ada 9 kecamatan dan 50 desa yang berhubungan langsung dengan ekosistem KHG Sibumbung-Batok (Tabel. 4.3)

(40)

Gambar . Peta Desa Sampel, Kecamatan dan Kabupaten di KHG Sugihan- Lumpur

Tabel 4.3. Desa Sampel, Kecamatan dan Kabupaten di KHG Sibumbung-Batok 3. KHG Sungai Sibumbung – Sungai Batok.

No Kabupaten Kecamatan Jumlah Desa Desa Sampel Desa Sampel 1. Ogan Komering Ilir ( OKI ) Tulung Selapan 23 5 1. Cambai 2. Kayu Ara 3. Pulu Beruang 4. Penyandingan 5. Tanjung Batu 2. Ogan Komering Ilir ( OKI ) Pangkalan Lampam 19 2 1. Suka Raja 2. Sungai Bungin

Potensi Komoditi Lokal Potensial Di Khg Sungai Sibumbung-Sungai Batok

(41)

3. Ogan Komering Ilir ( OKI ) Pampangan 21 11 1. Ulak depati 2. Tapus 3. Kuro 4. Sepang 5. Keman 6. Keman Baru 7. Ulak Pianggu 8. Pulau Layang 9. Pampangan 10. Bangsal 11. Menggeris 4. Ogan Komering Ilir ( OKI ) Kayuagung 25 10 1. Kedaton 2. Tanjung Lubuk 3. Arisan Buntal 4. Kayuagung 5. Lubuk Dalam 6. Serigeni Lama 7. Tanjung Menang 8. Tanjung Serang 9. Serigeni Baru 10. Teloko 5. Ogan Komering Ilir ( OKI ) Pedamaran 14 7 1. Burnai Timur 2. Lebuh Rayak 3. Menang Raya 4. Pedamaran I 5. Pedamaran II 6. Pedamaran V 7. Suka Pulih 6 Ogan Komering Ilir ( OKI ) Pedamaran Timur 7 7 1. Gading Rejo 2. Kayu Labu 3. Mari Baya 4. Pancawarna

(42)

4.3 Profil Wilayah KHG Sungai Saleh – Sungai Sugihan, Sungai Sugihan - Sungai Lumpur, dan Sungai Sibumbung – Sungai Batok.

1. KHG Sungai Saleh – Sungai Sugihan

No Kabupaten Kecamatan Luas Wilayah ( Ha ) Penggunaan Lahan ( Ha ) Lahan Basah Lahan Kering Perkebunan / Estate crops 1. Banyuasin Muara Sugihan 69.640 27,400 7,194 15,542 5. Pulau Geronggang 6. Sumber Hidup 7. Tanjung Makmur 7. Ogan Komering Ilir ( OKI ) Cengal 12 2 1. Talang Rimba 2. Cengal 8. Ogan Komering Ilir ( OKI ) Jejawi 18 10 1. Jejawi 2. Karang Agung 3. Ulat Tembaga 4. Tajur Ali 5. Pedu 6. Muara Batun 7. Tanjung Aur 8. Lingkis 9. Talang Cempedak 10. Lubuk Ketepeng 9 Ogan Komering Ilir ( OKI ) Sirah Pulau Padang 20 6 1. Pantai 2. Rengas Pitu 3. Belati 4. Sirah Pulau Padang 5. Bengin Tinggi 6. Berkat

(43)

Muara Padang 91.760 18,583 4,631 30,871 Air Kumbang 328.56 6,356 7,436 9,090 2. Ogan Komering Ilir ( OKI ) Pangkalan Lampam 110.475 5,852 23,100 17,697 Total 600,435 58,191 42,361 73,200

2. KHG Sungai Sugihan - Sungai Lumpur

No Kabupaten Kecamatan Luas Wilayah ( Ha ) Penggunaan Lahan ( Ha ) Lahan Basah Lahan Kering Perkebunan / Estate crops 1. Ogan Komering Ilir ( OKI ) Air Sugihan 225.107 19,273 3,516 5,222 Tulung Selapan 536.365 4,498 2,021 32,467 Total 761.472 23,771 5,537 37,689

3. KHG Sungai Sibumbung – Sungai Batok.

No Kabupaten Kecamatan Luas Wilayah ( Ha ) Penggunaan Lahan ( Ha ) Lahan Basah Lahan Kering Perkebunan / Estate crops Ogan Komering Ilir ( OKI ) Tulung Selapan 536.365 4,498 2021 32,467 Pangkalan Lampam 110.475 5,852 23,100 17,697 Pampangan 48.342 16,137 595 8,696 Kayuagung 22.445 7,322 3,993 803 Pedamaran 37.668 9,325 11,515 1,538 Pedamaran Timur 69.279 3,733 6,647 4,625 Cengal 303.866 17,460 53,191 26,907 Jejawi 23.798 13,897 2,154 1,555 Sirah Pulau Padang 10.208 11,130 3,785 324 Total 1,162,446 89,354 107,001 94,612

(44)

4.4 Kondisi Umum Komoditi di KHG 1. KHG Sugihan – Saleh

Pada KHG Sugihan-Saleh tidak dijumpai pengembalaan kerbau rawa, dan komoditi yang ada di KHG tersebut adalah komoditi ikan, komoditi purun, komoditi wallet dan komoditi padi serta Komoditi Kelapa. Selanjutnya, komoditi penting yang ada di sana adalah komoditi kelapa.

Komoditi ikan tangkap seperti gabus, betook dan sepat banyak dijumpai di pangkalan lampam (OKI) dan untuk di Kabupaten Banyuasin maka di kecamatan Muara Sugihan yang dominan adalah udang dan bandeng dengan produksi yang sangat besar yaitu 29.000 ton/tahun (Tabel 4.4)

Tabel 4.4. Produksi ikan dari berbagai kecamatan pada KHG Sungai Saleh- Sungai Sugihan

No Kabupaten Kecamatan Produksi (ton/tahun )

Ikan Dominan

1 OKI 1.PangkalanLampam 165 Gabus, Betok, sepat.

2 Banyuasin 1. MuaraSugihan 29.000 Tambak (Udang, Bandeng )

2. Muarapadang 17 Gabus, Sepat, Betok

3. Air kumbang 19 Gabus, Sepa, Betok

Total/ Jumlah 29.201

Komoditi purun di KHG Soleh-Sugihan banyak dijumapi di kecamatan Pangkalan Lampam dan untuk di tiga kecamatan di Kabupaten banyuasin tidak dijumpai komoditi purun ( Tabel 4.5.)

Tabel. 4.5. Produksi Purun dari berbagai Kecamatan pada KHG Sungai Saleh- Sungai Sugihan

No Kabupaten Kecamatan LuasLahan Produksi

(ikat/tahun)

1 OKI 1. TulungSelapan 470 84200

2 Banyuasin 1. MuaraSugihan 0 0

(45)

3. Air kumbang 0 0

Total / Jumlah 470 84.200

Pangkalan Lampam adalah daerah yang paling banyak sarang wallet (434 unit) dan produksi sarang walet diestimasi sekitar 552 kg/tahun. Keberadaan sarang walet di kecamatan Muara Padang tidak ada dan masyarkat belum tertarik untuk mengembangkannya (Tabel 4.6)

Tabel. 4.6. Produksi Walet dari berbagai Kecamatan pada KHG Sungai Saleh- Sungai Sugihan

No Kabupaten Kecamatan Luas

Lahan Produksi (ikat/bulan) Produksi (ikat/tahun) 1 OKI 1. PangkalanLampam 434 46 552 2 Banyuasin 1. MuaraSugihan 51 16 192 2. Muarapadang 0 0 0 3. Air kumbang 7 2 24 Total/ Jumlah 492 64 768

Persawahan eks-sonor yang ada di KHG Saleh-Sugihan telah banyak diubah menjadi sawah permanen untuk di Muara Sugihan dan Muara Padang. Sementara itu, sawah eks-sonor yang ada di Pangkalan Lampam belum banyak dirubah menjadi sawah permanen sehingga aktivitas budidaya pada 2017 ini sehingga relative tidak luas (larangan bakar-sonor). Mengacu kepada data luas panen padi sonor pada 2015 kemarin maka luas areal sawah sonor di KHG Saleh-Sugihan dapat dilihat pada Tabel 4.7

Tabel 4.7. Produksi Padi (sawah) dari berbagai Kecamatan pada KHG Sungai Saleh- Sungai Sugihan

No Kabupaten Kecamatan Luas ( Ha ) Produksi ( Ton/tahun )

1 OKI 1. PangkalanLampam 5720 12750

2 Banyuasin 1. MuaraSugihan 3500 14800

2. Muarapadang 2000 6000

(46)

Total/ Jumlah Total 12.340 36.030

Komoditi penting yang terdapat pada KHG Sugihan- Saleh adalah Kelapa dan Keberadaanya banyak di lahan bergambut, kecamatan yang banyak ditanami kelapa adalah kecamatan Muara Sugihan dan Muara Padang Kebupaten Banyuasin.

Tabel 4.8. Produksi Kelapa dari berbagai Kecamatan pada KHG Sungai Saleh- Sungai Sugihan

No Kabupaten Kecamatan Luas ( Ha ) Produksi

(Butir/tahun)

1 OKI 1. PangkalanLampam 1800 3600000

2 Banyuasin 1. MuaraSugihan 3500 14800

2. Muarapadang 2000 6000

3. Air kumbang 1120 2480

Total/ Jumlah Total 8.420 3.623.280

2. KHG Sugihan-Lumpur

Pada KHG Sugihan-Lumpur dijumpai pengembalaan kerbau rawa, dan komoditi yang ada di KHG tersebut adalah komoditi kerbau rawa, komoditi ikan, komoditi purun, komoditi wallet dan komoditi padi. Populasi komoditi kerbau rawa dapat dijumpai di kecamatan tulung selapan dan cengal namun di kecamatan Air sugihan tidak ditemukan, (Tabel 4.9)

Tabel 4.9. Populasi Kerbau Rawa dari berbagai kecamatan pada KHG Sugihan - Lumpur

No Kabupaten Kecamatan Jumlah (ekor)

1 OKI 1. Tulung Selapan 225

2. Air Sugihan 0

3. Cengal 120

Total/Jumlah 345

Pada KHG Sugihan-Lumpur dapat dijumpai produksi ikan dari berbagai kecamatan. Ikan yang dominan adalah gabus, betook dan sepat. Jumlah produksi

(47)

ikan di kecamatan Tulung Selapan lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya (Tabel 4.10)

Tabel 4.10. Produksi ikan dari berbagai kecamatan pada KHG Sugihan - Lumpur

No Kabupaten Kecamatan Produksi

(ton/tahun )

Ikan Dominan

1 OKI

1. Tulung Selapan 6145 Gabus, Betok, sepat.

2. Air Sugihan 77 Gabus, Betok, sepat.

3. Cengal 165 Gabus, Betok, sepat.

Total/Jumlah 6.387

Produksi purun yang ada di KHG Sugihan-Lumpur terdapat di kecamatan tulung selapan dan cengal, namun pada kecamatan air sugihan tidak ditemukan. Jumlah Luas (Ha) purun di cengal lebih besar dibandingkan dengan tulung selapan (Tabel 4.11)

Tabel. 4.11. Produksi Purun dari berbagai Kecamatan pada KHG Sugihan- Lumpur

No Kabupaten Kecamatan Luas ( Ha ) Produksi (Ikat/tahun )

1 OKI 1. Tulung Selapan 20 2000

2. Air Sugihan 0 0

3. Cengal 2540 258000

Total/ Jumlah 2560 260000

Produksi walet yang ada di KHG Sugihan-Lumpur terdapat di kecamatan tulung selapan, air sugihan dan cengal. Jumlah sarang (Unit) wallet di kecamatan tulung selapan lebih besar dibandingkan dengan air sugihan dan cengal (Tabel 4.12)

Gambar

Tabel 2.1 Sebaran dan Luas Lahan Gambut di Provinsi Sumatera Selatan1990 dan  2002
Tabel 2.2  Kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman di lahan gambut
Gambar 1. Peta KHG Sungai Saleh dan Sungai Sugihan; ,  Kabupaten  Banyuasin dan Ogan Komering Ilir (OKI)
Gambar 2. Peta KHG Sungai Sugihan- Sungai Lumpur,  Kabupaten Ogan  Komering Ilir (OKI)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang mengkaji kemampuan desorpsi bentonit setelah dilakukan proses adsorpsi I2 dalam larutan dengan memvariasi konsentrasi

Perisai tersebut terbagi dalam dua bagian oleh Balok Lintang mendatar bertajuk empat buah yang berwarna putih (perak) pada pinggir atasnya. A) Bagian atas latar kuning (emas)

BAGIAN 10: Stabilitas dan reaktivitas Bahan yang harus dihindari Tidak ada informasi yang tersedia. Kelarutan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengembangan produk ring basket multiguna pada pembelajaran PJOK di Sekolah dasar (SD) di Kota semarang, maka dapat

Dari hasil perhitungan rata-rata tingkat kepuasan dan analisis regresi, maka perbaikan pelayanan pada BPR Pesisir dapat diprioritaskan pada aspek pelayanan umum dengan total

Dengan Peraturan Daerah ini dibentuk Desa Sungai Pampang, Desa Parit Sidang, Desa Sungai Jering, Desa Parit Bilal, Desa Suak Samin, yang berasal dari Kelurahan Teluk

Delineasi Batas KHG Landsystem Sungai RBI Gambut BBSDLP Keterangan : Peta KHG disusun dengan menggunakan Peta Lahan Gambut BBSDLP-Kementan, Peta Hidrologi/Jaringan Sungai RBI,

Lima desa yang berbatasan dengan laut yaitu, Desa Bawalipu, Desa Lampenai, Desa Balo-Balo, Desa Bahari, dan Desa Tabaroge.. Kelima desa ini berada di sebelah