• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Meningitis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Meningitis"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PATOGENESIS DAN ETIOLOGI

Bakteria bisa menyebar ke meningens

secara langsung, dari bagian parameningeal seperti sinus-sinus paranasal dan telinga bagian tengah. Kapsul polisakharida bakteri,

lipopolisakharida, dan lapisan luar protein

berperanan untuk invasi dan virulensi kuman.2,10-12

Bakteri dalam SSP akan mengaktifkan sel lain seperti mikroglia, yang dapat mensekresi IL-1 dan TNF [tumor necrosis factor] alpha yang akan dipertahankan sebagai antigen dan

dalam jalur imunogenik ke limfosit. Reaksi imun intra SSP ini memicu sebuah sirkulus sejak perangsangan netrofil untuk melepaskan protease dan mediator toksin lain seperti radikal bebas O2, yang selanjutnya akan meningkatkan jejas inflamasi pada sawar darah otak, sehingga memudahkan lebih banyak bakteri dan netrofil yang berada pada sirkulasi untuk masuk ke cairan serebrospinalis. Akhirnya respon inflamasi yang timbul pada meningitis bakterial akan mengganggu Sawar Darah Otak [Blood Brain Barier], menyebabkan vasogenik edema, hidrosefalus dan infark serebral. 11-14

Sedangkan mekanisme bagaimana bakteri dapat menembus sawar darah otak sampai saat ini belum jelas. Adanya komponen dinding sel bakteri yang dilepaskan kedalam cairan serebrospinal merangsang produksi dari sitokine inflamasi

seperti Interleukin 1 dan 6, prostaglandin dan TNF. Semua faktor inilah yang barangkali menginduksi terjadinya inflamasi dan kerusakan sawar darah otak.12 Perkembangan komplikasi intrakranial dari meningitis otogenik dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yakni:11

1. Penyebaran langsung infeksi melalui tulang yang berdampingan dengan selaput otak,

misalnya: osteomyelitis ataupun cholesteatoma. 2. Penyebaran infeksi retrograde misalnya

(2)

thrombophlebitis.

3. Melalui jalan masuk anatomi normal, oval

window ataupun round window ke meatus akustikus internus, kokhlear dan

aquaduktus vestibularis, dehisensi terhadap tulang yang tipis akibat malformasi congenital.

Streptococcus pneumonia merupakan bakteri yang predominant sebagai penyebab

meningitis otogenik.14,15 Kaftan et al (2000) mengatakan streptococcus

pneumonia paling sering sebagai penyebab komplikasi intrakranial otitis media

sekitar 64% dan Barry et al (1999) mengatakan sebanyak 69%.15

Haemophilus influenzae dan Pseudomonas aeroginosa merupakan penyebab kedua

sebagai penyebab meningitis otogenik. Sedangkan mikroorganisma lainnya yang sering menyebabkan meningitis otogenik adalah: Staphylococcus aureus,

Staphylococcus epidermidis, Proteus vulgaris, Salmonella, Mycobacterium, Aspergillus dan Candida sebagai penyebab yang jarang.4,7,14-16

Bodur et al (2002) menemukan Proteus vulgaris sebagai kuman penyebab

meningitis pada otitis media kronik, sedangkan Chlostridium spp ditemukan pada isolasi kuman

tersebut pada abscess serebri.17 Kangsanarak et al (1993) menemukan Proteus

spp,Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus spp merupakan mokroorganisma

yang paling sering diisolasi pada otitis media suppurativa yang bisa menyebabkan komplikasi intrakranial dan ekstrakranial.2,5

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis dari meningitis otogenik biasanya dijumpai kombinasi antara tanda dan gejala meningitis dan otogenik. Gejala klinis dari meningitis dijumpai adanya demam, sakit kepala, kaku kuduk, muntah, perubahan dari status mental ataupun kesadaran menurun. Sedangkan pada otogenik dijumpai adanya otorrhoe, otalgi, gangguan pendengaran, dan vertigo.2,8,10

Kangsanarak et al (1993) menemukan gejala awal dan tanda yang penting dari komplikasi intrakranial dari otitis media suppurativa antara lain: demam, sakit kepala, gangguan vestibular, gejala meningeal dan penurunan

kesadaran.5 Sedangkan Geyik et al (2002) selain menemukan gejala dan tanda dari meningitis dan otogenik tersebut diatas, juga

Gambaran klinis dari meningitis otogenik biasanya dijumpai kombinasi antara tanda dan gejala meningitis dan otogenik. Gejala klinis dari meningitis dijumpai adanya

(3)

demam, sakit kepala, kaku kuduk, muntah, perubahan dari status mental ataupun kesadaran menurun. Sedangkan pada otogenik dijumpai adanya otorrhoe, otalgi, gangguan pendengaran, dan vertigo.2,8,10

Kangsanarak et al (1993) menemukan gejala awal dan tanda yang penting dari komplikasi intrakranial dari otitis media suppurativa antara lain: demam, sakit kepala, gangguan vestibular, gejala meningeal dan penurunan

kesadaran.5 Sedangkan Geyik et al (2002) selain menemukan gejala dan tanda dari meningitis dan otogenik tersebut diatas, juga

Tabel 1.

Perbedaan meningitis bacterial, viral, dan jamur

dijumpainya gejala fasialis parese yang jarang ditemui.4 Albers et al (1999) gejala dari meningitis otogenis yang paling sering dijumpai yakni adanya demam dan sakit kepala.6

DIAGNOSIS

Menegakkan diagnosis meningitis otogenik berdasarkan gejala klinis, laboratorium rutin, lumbal punksi, foto mastoid dan pemeriksaan Head CT-scan. 2,4,8

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik: - adanya penyakit telinga tengah yang mendasarinya, seperti otitis media dan mastoiditis.

- Adanya tanda-tanda dan gejala

meningitis, seperti demam, kaku kuduk

dan kesadaran menurun. b. Laboratorium rutin:

- Adanya peningkatan dari lekosit dan LED [laju endapan darah] yang menunjukkan proses infeksi akut “shift to the left”

c. Lumbal Punksi:

(4)

4. Foto Mastoid

Dapat dilihat gambaran opacity dengan pembentukan pus, hilangnya selulae mastoid, kolesteatoma, dan kadang-kadang gambaran abscess.4

5. Head CT-scan

Adanya gambaran mastoiditis dan cerebral edema, hidrosefalus, abscess serebral, subdural empyema, dan lain-lain.2,4

DIAGNOSIS BANDING 1. Abscess Serebral

Merupakan radang suppurativa lokal pada jaringan otak dan penyebab yang terbanyak dari abscess di lobus temporal. Mikroorganisma penyebab bisa bakteri aerob dan anaerob.

Streptococci, staphylococci, proteus, E.coli, pseudomonas merupakan organisma

yang terbanyak. Abscess Serebral dapat terjadi oleh karena penyebaran bakteria piogenik secara langsung akibat infeksi dari otitis media, mastoiditis ataupun sinus paranasal. Gejala klinis dari abscess serebral: Nyeri kepala yang progressif, demam, muntah, papiledema, bradikardi, serta hemiparesis dan homonymous

hemianopia.1,2,7,10

Pada pemeriksaan laboratorium dan cairan serebrospinal biasanya tidak

memberikan hasil yang spesifik. Pada pemeriksaan CT scan tanpa kontrast

(Non-contrast Computerized Tomography/ NCCT), stadium serebritis pada permulaannya

nampak sebagai suatu area hipodens di white matter dengan batas yang tidak jelas dan efek masa regional ataupun yang

menyebar luas yang menggambarkan kongesti vaskuler dan edema pada pada pemberian kontrast (Contrast Enhancement Computerized Tomography/CECT) enhancement bisa dijumpai atau hanya sedikit. Dan pada perkembangan proses inflamasi selanjutnya terjadi perlunakan otak (softening) dan petechial hemorrhage, yang menggambarkan kerusakan sawar darah otak progressif. Pada stadium ini, CECT menunjukkan area bercorak yang tidak teratur yangenhance, terutama di gray matter.18,19

Dalam mengevaluasi serebritis tahap dini, pemeriksaan MRI lebih akurat dari

pada Head CT-scan. Oleh karena sensitivitasnya terhadap perubahan kandungan air, MRI dapat mendeteksi perubahan infeksi pada fase permulaan dengan cepat. T1-W1 menunjukkan hipointensitas yang ringan dan efek massa. Sering terlihat sulkus yang menghilang. Pada T2-W1 nampak hiperintensitas dari area inflamasi sentral dan edema sekelilingnya.20

(5)

2. Empiema subdural

Empiema subdural biasanya merupakan komplikasi dari sinusitis paranasalis dan dapat sangat mirip dengan absess serebri. Gejala klinis ditandai dengan peninggian tekanan intrakranial seperti sakit kepala, muntah proyektil dan kejang. Gambaran MRI dan CT scan akan membedakan kedua kondisi ini.7,10,14

3. Lateral Sinus Thrombosis

Merupakan suatu thrombophlebitis dari lateral sinus dari otitis media yang sangat berbahaya. Gejala klinis : demam yang

intermitten meningkat secara irreguler,

kedinginan, nyeri kepala, anemia serta adanya tanda Greisinger’s [adanya edema pada daerah post auricular yang melalui vena emissary

mastoid]. Pada funduscopi terlihat adanya papil edema.12,15,20 PENATALAKSANAAN

Penanganan penderita meningitis bakterial akut harus segera diberikan begitu diagnosa ditegakkan. Penatalaksanaan meningitis bakterial akut terbagi dua yakni penatalaksanaan konservatif/ medikal dan operatif.2,6-8,10 Pada lampiran 1. ada algorithme pengananan meningitis bakterial akut.11

A. TERAPI KONSERVATIF/MEDIKAL A.1. Antibiotika

Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur darah dan Lumbal Punksi guna pembrian antibiotika disesuaikan dengan kuman penyebab. Berikut ini pilihan antibiotika atas dasar umur: 12,16,19,20

Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada pemilihan antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab serta perubahan dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan respons gejala klinis kemungkinan akan menjadi lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit 14 hari setelah hasil kultur CSF akan menjadi negatif.12,20

(6)

Beberapa dosis obat antibiotika (Tabel 3) berdasarkan identifikasi kuman:2,4,10,12,16 A. Kortikosteroid

Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri,

mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan penetrasi antibiotika ke dalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan abses, oleh karena itu penggunaaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa atau edema pada herniasi yang mengancam dan menimbulkan defisit neurologik

fokal.2,4,10,12

Lebel et al (1988) melakukan penelitian pada 200 bayi dan anak yang menderita meningitis bacterial karena H. influenzae dan mendapat terapi deksamethason 0, 15

mg/kgBB/x tiap 6 jam selama 4 hari, 20 menit sebelum pemberian antibiotika. Ternyata pada pemeriksaan 24 jam kemudian didapatkan penurunan tekanan CSF, peningkatan kadar glukosa CSF dan penurunan kadar protein CSF. Yang

mengesankan dari penelitian ini bahwa gejala sisa berupa gangguan pendengaran pada kelompok yang mendapatkan deksamethason adalah lebih rendah

dibandingkan kontrol.12

Tunkel dan Scheld (1995) menganjurkan pemberian deksamethason hanya pada penderita dengan resiko tinggi, atau pada penderita dengan status mental sangat terganggu, edema otak atau tekanan intrakranial tinggi. Hal ini mengingat efek samping penggunaan deksamethason yang cukup banyak seperti perdarahan traktus

gastrointestinal, penurunan fungsi imun seluler sehingga menjadi peka terhadap patogen lain dan mengurangi penetrasi antibiotika kedalam CSF.11

B. TERAPI OPERATIF

Penanganan fokal infeksi dengan tindakan operatif mastoidektomi. Pendekatan mastoidektomi harus dapat menjamin eradikasi seluruh jaringan patologik di mastoid. Maka sering diperlukan mastoidektomi radikal. Tujuan operasi ini adalah untuk memaparkan dan mengeksplorasi seluruh jalan yang mungkin digunakan oleh invasi bakteri.

Selain itu juga dapat dilakukan tindakan thrombectomi, jugular vein ligation, perisinual

(7)

dan cerebellar abcess drainage yang diikuti antibiotika broad spectrum dan obat-obatan yang mengurangi edema otak yang tentunya akan memberikan outcome yang baik pada

penderita komplikasi intrakranial dari otitis media.10,13,14,17 Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat

pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan yang terlambat. Komplikasi yang sering terjadi akibat meningitis otogenik adalah efusi subdural, empiema subdural, ventrikulitis, abses serebri, gejala sisa neurologis berupa paresis sampai deserebrasi, epilepsi maupun meningitis yang berulang. Pada anak-anak dapat mengakibatkan epilepsi, retardasi mental dan hidrosefalus akibat sumbatan pada saluran CSF ataupun produksi CSF

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil statistik di atas, dilihat dari nilai t-value antara pengaruh satu variabel dengan variabel lain harus dibawah Level of Significant = 1.651, maka gambar model

Kementerian Lingkungan Hidup telah memiliki jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun

Terkait dengan penelitian terkait dengan pengembangan stevia hasil mutasi in vitro di sentra produksi Jawa Barat dari survey yang dilakukan didapatkan bahwa hanya kelompok

Dengan menemukan prasyarat keberhasilan/keberlanjutan dari kelompok-kelompok ini, maka dapat diketahui substansi persoalan dari tantangan keberlanjutan pengelolaan sumber

Persentase kerontokan gabah per malai diperoleh dengan cara setiap malai digenggam pada bagian pangkalnya dengan salah satu tangan kemudian ditarik dengan tangan

Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif yang merupakan penelitian ilmiah sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Pada penelitian

Risal 2012 mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi oleh Pendidikan Anak Usia Dini PAUD adalah kompetensi sebagian besar guru PAUD masih belum memadai karena sebagian besar dari