• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Tutorial Skenario 2 Geriatri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Tutorial Skenario 2 Geriatri"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN TUTORIAL BLOK XXII GERITRI SKENARIO II

NENEK TEGANYA MENINGGALKAN KAKEK SENDIRIAN

KELOMPOK A2

YAASIN RACHMAN NOOR G0012231

MAHARDHIKA K G0012123 PARADA JIWANGGANA G0012159 FADHLI RAHMAN G0012073 DENATA SIENVIOLINCIA G0012055 PRATIWI RETNANINGSIH G0012163 RIFAATUL MAHMUDAH G0012183

BERLIAN MAYA DEWI G0012043

DITA MAYASARI G0012063

NELSI MARINTAN TAMPUBOLON G0012147

RUSMITA HARDINASARI G0012197

DEVITA MAHAJANA G0012057

TUTOR :

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Pada diskusi turorial minggu ke-II blok pediatri, kami mendapat skenario sebagai berikut :

Nenek, Teganya Teninggalkan Kakek Sendirian

Kakek Yoso, kini berusia 78 tahun, dibawa ke poliklinik geriatrik oleh cucunya karena mengeluh berulang kali kencing di malam hari. Akhir-akhir ini sering marah-marah, gaduh gelisah, dan tidak bisa tidur. Sejak istrinya meninggal satu bulan yang lalu, sering minum obat tidur dari dokter umum.

Pada pemeriksaan tanda vital Takanan Darah 150/90 mmHg, Hasil pemeriksaan rutin leukosit 75/LPB, nitrit positif. Hasil GDS 350 mg/dl, creatinin 2.0 mg/dl, Proteinuria (+3). Setelah diperiksa prostat dengan rectal touché didapatkan sulkus medianus datar. Juga dilakukan pemeriksaan Geriatric Depression Scale, Mini Mental State Examination, konsultasi bagian psikiatri. Oleh dokter disarankan dirawat di rumah sakit.

(3)

BAB II DISKUSI

A. SEVEN JUMP

1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario.

a. Geriatric Depression scale: Screening depresi, terdiri dari 30 atau 15 pertanyaan, untuk mengeliminasi hal2 somatik pada lansia.

b. Kreatinin: produk sisa dari perombakan keratin fosfat yang di terjadi di otot, normalnya pada laki-laki 0,5 sampai dengan 1,5, sedangkan pada perempuan 0,4 sampai dengan 1,1.

c. Mini Mental Scale Examination: Menilai fungsi kognisi, meliputi orientasi, repetisi, perhatian dan kalkulasi, recall, dan bahasa. d. Sulcus Medianus: cekungan yang ada di tengah2 prostat, patokan

penilaian perbesaran pada prostat, normalnya cekung. 2. Langkah II : Menentukan/mendefinisikan permasalahan

Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut : a. Mengapa kakek Yoso sering kencing di malam hari ?

b. Apakah ada hubungan antara kencing di malam hari dengan sering marah-marah, gaduh gelisah dan tidak bisa tidur ?

c. Apa hubungan usia dan jenis kelamin terhadap keluhan pasien ? d. Apakah ada hubungan istri kakek yang meninggal dengan keluhan

marag-marag, gaduh gelisah, tidak bisa tidur dan kencing pada malam hari ?

e. Bagaimana interpretasi pemeriksaan vital dan pemeriksaan rectal touché?

f. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium ?

g. Bagaimana interpretasi pemeriksaan status mental pada pasien ? h. Apakah efek samping dari obat tidur yang diberikan pasien ? Apa

indikasi obat tidur ?

i. Mengapa dokter menyarankan pasien untuk dirawat di rumah sakit ? j. Mengapa pasien dikonsultasikan ke bagian psikiatri ?

k. Adakah kegawatdaruratan pada pasien ?

l. Apakah indikasi pemeriksaan Geriatric Depression Scale dan Mini Mental Scale Examination ?

(4)

3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara mengenai permasalahan.

a. Apa kaitan jenis kelamin dan usia dengan keluhan pasien?

Keluhan sering kencing di malam hari (nocturia) salah satunya disebabkan oleh inkontinensia urin yang dialami oleh pasien. Sekitar 50% usia lanjut di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin. Prevalensi nya meningkat seiring dengan paningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada laki-laki dengan perbandingan 1,5:1 (Sudoyo, 2006).

Survei inkontinensia urin yang dilaukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA) di Jakarta (2002) mendapatkan angka kejadian inkontinensia urin tipe stres sebesar 32,2% (Sudoyo, 2006).

b. Apakah penyebab pasien mengalami kencing berulang pada malam hari?

Inkontinensia urin meningkat seiring proses menua. Akan tetapi, proses menua bukanlah penyebabnya melainkan hanya faktor predisposisi penyakit ini. Proses penuaan pada manusia (pria maupun wanita) menyebabkan perubahan anatomis dan fisiologis urogenital bawah. Hal ini terkait dengan kadar hormon yaitu terjadi penurunan produksi androgen pada pria maupun estrogen pada wanita (Sudoyo, 2006).

Hal ini akan berdampak pada perubahan morfologis kandung kemih (vesika urinaria) manusia berupa timbulnya fibrosis dan penurunan kandungan kolagen pada dinding vesika urinaria. Selain itu, fungsi kontraktil vesika urinaria juga tidak efektif lagi. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya trabekulasi pada otot detrusor dan divertikel pada dinding dalam vesika urinaria. Sedangkan, pada mukosa vesika urinaria terjadi atrofi, perubahan vaskularisasi submukosa, dan penipisan otot uretra sehingga terjadi penurunan penutupan uretra oleh otot tersebut (Sudoyo, 2006).

(5)

Pada semua usia, kontinensi tergantung mobilitas yang adekuat, status mental, motivasi, dan fungsi saluran kemih bagian bawah yang intak. Walaupun inkontinensia urin pada pasien usia muda jarang berkaitan dengan defisit di luar saluran kemih, defisit seperti ini biasa dijumpai pada pasien usila. Defisit ini sangat penting dideteksi karena dapat menyebabkan inkontinensia dan intervensi mungkin tidak akan efektif sampai masalah di luar saluran kemih tersebut diselesaikan.

Saluran kemih bagian bawah mengalami perubahan karena usia, walaupun tanpa ada penyakit apapun. Kapasitas kandung kemih, kontraktilitas, dan kemampuan untuk menahan berkemih menurun pada usila pria dan wanita, sedangkan kekuatan dan lama menutup uretra menurun bersamaan dengan meningkatnya usia pada wanita. Prostat membesar pada kebanyakan pria yang sering menyebabkan obstruksi. Pada pria dan wanita, prevalensi kontraksi kandung kemih meningkat sedangkan volume residu setelah berkemih meningkat sampai 50-100 ml. Sebagai tambahan, usila sering mengeksresikan sebagian besar asupan cairan pada malam hari, walaupun tidak memiliki penyakit ginjal, edema perifer dan prostatismus. Perubahan-perubahan ini meningkatkan gangguan tidur, menyebabkan berkemih 1-2 kali di malam hari pada kebanyakan usila sehat.

c. Apakah efek dari penggunaan obat tidur pada pasien geriatri ? Ada 2 jenis obat tidur yang sering dipakai, yaitu Benzodiazepin dan Barbiturat

1. Benzodiazepin

Benzodiazepine berefek hypnosis, sedasi, relaksasi otot, ansiolitik, dan antikonvulsi.Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini pada SSP dengan efek utama : sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansietas. Efeknya pada tidur menyebabkan mengurangi waktu jatuh tidur, sehingga meningkatkan siklus tidur REM. Kerja benzodiazepine berupa interakhsinya dengan reseptor penghambar neurotransmitter yang diaktifkan oleh asam gamma amino butirat

(6)

(GABA)Benzodiazepin diabsorbsi secara sempurna di usus. Golongannya terbagi atas lama kerjanya, (1) senyawa yang bekerja sangat cepat; (2) senyawa yang bekerja cepat, dengan waktu paruh kurang dari 6 jam ; (3) senyawa yang bekerja sedang, dengan waktu paruh 6-24 jam, dan ; (3) senyawa yang bekerja lebih lama dari 24 jam. Metabolit aktifnya terikat pada protein plasma.Benzodiazepin dimetabolisme secara ekstensif oleh kelompok enzim mitokrom P450 di hati.Efek sampingnya antara lain lemas, sakit kepala, pandangan kabur, vertigo, mual dan muintah, diare, nyeri epigastric, nyeri sendi, nyeri dada, dan pada beberapa pasien dapat mengalami inkontinensia.Pada efek psikologik, benzodiazepine juga dapat meningkatkan efek paradoksal.Penggunaan benzodiazepine dalam waktu lama juga dapat berisiko terjadinya ketergantungan dan penyalahgunaan, namun dapat dicegah dengan penggunaan dosis yang tepat.Indikasi benzodiazepine antara lain : pengobatan insomnia, ansietas, kaku otot, medikasi preanestesi, dan anestesi.

2. Barbiturat

Efek utama barbiturat ialah depresi SSP, mulai dari sedasi, hypnosis, berbagai tingkat anesthesia, koma, dan bahkan kematian.Barbiturat tidak dapat mengurangi rasa nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran.Bahkan, pada keadaan tertentu, barbiturat justru menimbulkan eksitasi, karena adanya depresi pusat penghambatan.Efek hipnotik barbiturate meningkatkan total lama tidur dan mempengaruhi tingkatan tidur, tergantung dosisnya.Penyalahgunaan barbiturate berisiko terjadi ketergantungan.Dosis nonanestesi barbiturate terutama menekan respons pasca sinaps pada SSP. Penghambatannya hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik.Efek lain barbiturat pada pernafasan menimbulkan depresi pernafasan yang berbanding lurus dengan dosis. Pada dosis hipnotik oral dapar menyebabkan pengurangan frekuensi dan amplitude nafas, ventilasi alveolus berkurang, seperti

(7)

pada keadaan tidur fisiologis.Pada dosis hipnotik oral yang lebih tinggi atau suntikan IV dapat menyebabkan depresi pernafasan yang lebih berat.Pada system kardiovaskular juga, menyebabkan penurunan frekuensi nadi dan tekanan darah sedikit seperti pada keadaan tidur fisiologis, namun dengan dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan hipotensi dan syok.Barbiturat oral diabsorbsi secara cepat dan sempurna, dengan mula kerja sekitar 10-60 menit, dan dihambat oleh adanya makanan di lambung.Barbiturat didistribusikan secara luas, dan dapat melewati plasenta. Pemberian secara IV akan ditimbun di jaringan lemak dan otot, dan menyebabkan pasien akan sadar dalam waktu 5-15 menit setelah penyuntikan. Barbiturat diekskresikan lewat urin dan eliminasinya berlangsung selama 24 jam.Efek samping barbiturate yang utama adalah hangover/after effects, yang terjadi pada beberapa hari setelah pemakaian. Efek samping ini meliputi vertigo, mual, muntah, atau diare.Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturate lebih menimbuilkan eksitasi daripada depresi.Sesekali juga menimbulkan rasa myalgia, neuralgia. Hipersentivitas akan barbiturate dapat terjadi terutama pada individu yang mengidap asma, urtikaria, angioedema, dan keadaan serupa. Penggunaan barbiturate sebagai hipnotik-sedatif saat ini sudah berkurang karena efeknya pada SSP kurang spesifik.Namun, masih digunakan sebagai terapi darurat kejang, seperti tetanus, eklamsia, status epilepsy, pendarahan serebral, dan keracunan konvulsan.Barbiturat tidak boleh diberikan pada pasien alergi barbiturate, penyakit hati atau ginjal, hipoksia, dan penyakit Parkinson (Gunawan et al, 2011).

d. Apakah obat tidur pilhan untuk pasien lansia ?

Pada lansia yang mengalami gangguan tidur pada dasarnya lebih baik memberi tata laksana terlebih dahulu untuk penyakit yang menyebabkan gangguan tidur pada lansia. Hal ini dikarenakan adanya penurunan fungsi organ tubuh pada lansia sehingga sebisa mungkin

(8)

meminimalisir obat yang masuk.Selain itu, menjaga pola hidup sehat lebih disarankan bagi lansia yang mengalami gangguan tidur dibandingkan mengkonsumsi obat tidur dalam jangka waktu lama.

Namun, beberapa keadaan gangguan tidur memang bisa diberikan obat tidur misalnya obat transkuiliser minor (contoh : golongan benzodiazepin) dapat diberikan kepada penderita insomnia akut, diberikan dosis kecil dan dalam waktu yang tidak lama. Selain itu, akhir-akhir ini obat yang sedang marak dipakai sebagai obat tidur adalah melatonin, namun sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mengatasi gangguan tidur pada usia lanjut.

Benzodiazepine (BZDs) adalah obat yang paling sering digunakan untuk mengobati insomnia pada usia lanjut. BZDs menimbulkan efek sedasi karena bekerja secara langsung pada reseptor benzodiazepine.Efek yang ditimbulkan oleh BZDs adalah menurunkan frekuensi tidur pada fase REM, menurunkan sleep latency, dan mencegah pasien terjaga di malam hari. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian BZDs pada usia lanjut mengingat terjadinya perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik terkait pertambahan umur. Absorpsi dari BZDs tidak dipengaruhi oleh penuaan akan tetapi peningkatan masa lemak pada lanjut usia akan meningkatkan drug-elimination half life, disamping itu pada usia lanjut lebih sensitif terhadap BZDs meskipun memiliki konsentrasi yang sama jika dibandingkan dengan pasien usia muda. Pilihan pertama adalah short-acting BZDs serta dihindari pemakaian long acting BZDs. BZDs digunakan untuk transient insomnia karena tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Penggunaan lebih dari 4 minggu akan menyebabkan tolerance dan ketergantungan. Golongan BZDs yang paling sering dipakai adalah temazepam, termasuk intermediate acting BZDs karena memiliki waktu paruh 8-20 jam.Dosis temazepam adalah 15-30 mg setiap malam. Efek samping BZDs meliputi: gangguan psikomotor dan memori pada pasien yang diterapi short-acting BZDs sedangkan residual sedation muncul pada

(9)

pasien yang mendapat terapi long acting BZDs. Pada pasien yang menggunakan BZDs jangka panjang akan menimbulkan resiko ketergantungan, daytime sedation, jatuh, kecelakaan dan fraktur. e. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium yang telah

dilakukan ? Leukosit 75/LP : pada sistem urin normal, ginjal menyaring darah dan mencegahleukosit untuk melewayi urin. Beberapa penyebab leukosit urin adakah ISK, nefritis interstisial, pielonefritis, dan penyebab lain yang menandakan terjadinya infeksi. Nitrit positif: urin normal seharusnya steril. Tapi jika terdapat bakteri, nitrat yang terdapat dalam urin berubah menjadi nitrit. Sehingga nitrit positif pada urin menandakan ada bakteri dalam traktus urinarius. Kreatinin 2.0 mg/dl :kreatinin dalam darah adalah salah satu indikator menilai fungsi ginjal selain ureum. Nilai normal kreatinin pada pria ada pada kisaran 0.7-1.2 mg/dl.Kenaikan nilai ini bisa karena gangguan fungsi ginjal, orang yang mengonsumsi obat darah tinggi jenis tertentu, serta orang yang melakukan olahraga fisik berat. GDS 250 mg/dl :GDS adalah hasil pengukuran gula darah yang dilakukan seketika waktu itu, tanpa ada puasa. GDS>=200 menandakan seseorang menderita diabetes melitus. Proteinuria +3 : proteinuria (albuminuria) adalah suatu kondisi dimana terlalu bantak protei dalamurin. Ginjal yang bekerja dengan benar akan menyaring limbah keluar dari darah dan tetap menyimpan unsur penting seperti albumin untuk mencegah air keluar dari darah ke jaringan. Nilai proteinuria dengan dipstik:

(-): 10-20 mg/dl

(+1): 50 mg/dl

(+2): 100 mg/dl

(+3): 300 mg/dl

(+4): 1000-2000 mg/dl

f. Bagaimana fisiologi tidur dari lansia yang normal ?

Fisiologi tidur dapat diterapkan melalui gambaran aktivitas sel-sel otak sel-selama tidur, dan dapat direkam dengan elektroensefalograf (EEG).Untuk merekam otak orang yang sedang tidur, digunakan poligrafi EEG. Dengan cara ini kita dapat erekam stadium tidur adalah sebagai berikut:

1. Stadium jaga (wake)

EEG : Pada keadaan rileks dan mata tertutup, gambaran didominasi oleh gelombang alfa. Tidak ditemukan adanya kumparan tidur dan kompleks K.

Elektrookuloagraf (EOG) : Gerakan mata berkurang, kadang-kadang terdapat artefak yang disebabkan oleh gerakan kelopak mata

Elektromiograf (EMG) : Kadang-kadang tonus otot meninggi 2. Stadium I

(10)

EEG : Terdiri dari gelombang campuran alfa, beta dan kadang-kadang teta. Tidak terdapat kumparan tidur, kompleks K atau gelombang delta

EOG : Tidak terlihat aktivitas bola mata yang cepat

EMG : Tonus otot menurun dibandingkan dengan stadium W. 3. Stadium II

EEG : Terdiri atas gelombang campuran alfa, teta dan delta. Terlihat adanya kumparan tidur dan kompleks K.

EOG : Tidak terdapat aktivitas bola mata yang cepat.

EMG : Kadang-kadang terlihat peningkatan tonus otot secara tiba-tiba, menunjukkan bahwa otot-otot tonik belum seluruhnya dalam keadaan rileks.

4. Stadium III

EEG : Persentase gelombang delta antara 20- 50 %. Tampakkumparan tidur.

EOG : Tidak tampak aktivitas bola mata yang cepat. EMG : Gambaran tonus otot yang jelas dari Stadium II. 5. Stadium IV

EEG : Persentase gelombang delta mencapai lebih dari 50%. Tampak kumparan tidur.

EOG : Tidak tampak aktivitas bola mata yang cepat

EMG : Tonus otot menurun dari pada stadium sebelumnya. 6. Stadium REM (Rapid Eye Movement)

EEG : Terlihat gelombang campuran alfa, beta dan teta. Tidak tampak gelombang delta, kumparan tidur dan kompleks K.

EOG : Terlihat gambaran REM yang lebar

EMG : Tonus otot sangat rendah. Frekuensi di tinggi dan ereksi. Stadium I dan II disebut sebagai tidur ringan, sedangkan Stadium III dan IV sebagai tidur dalam. Stadium I, II, III dan IV disebut Stadium non REM (NREM).

Stadium REM dikatakan sebagai tidur ringan, sehingga stadium ini juga disebut sebagai paradoxical leep. Pada stadium REM, individu mengalami peristiwa mimpi dengan intensitas tinggi sehingga panca indera ikut terangsang.

Terdapat perubahan tidur secara subjektif dan objektif pada usia lanjut. Survei epidemiologic menunjukkan bahwa pada usia lanjut

(11)

yang tinggal di rumah atau panti werda menunjukkan bahwa 15- 75 persen dari mereka tidak puas dalam lamanya dan kualitas tidur malam. Pada usia lanjut wanita sehat secara subjektif lebih merasakan kesulitan tidur dari pada pria.

Yang paling mencolok pada karakteristik tidur pada usia lanjut ialah konfirmasi poligrafik pada upaya setelah dimulai tidur. Struktur tidur pada usia lanjut berubah dengan meningkatnya stadium I sehingga terjadi fragmentasi atau disrupsi dari struktur tidur. Berkurangnya tidur mempunyai dampak pada pemulihan fungsi tidur.

Orang lanjut usia membutuhkan waktu lebih lama untuk msuk tidur (berbaring lama di temnpat tidur sebelum tertidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya. Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur (Sudoyo, 2006).

Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktif sepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknya bila siang hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur (Sudoyo, 2006).

g. Faktor-faktor apa yang menyebabkan tekanan darah pasien tinggi?

Pada kasus hipertensi pada lansia, ada beberapa faktor yang berperan, antara lain :

(12)

 Penurunan kadar renin karena menurunnya jumlah nefron akibat proses menua. Hal ini menyebabkan suatu sirkulus vitiosus : hipertensi-glomerulo-sklerosis-hipertensi yang berlangsung terus-menerus.

 Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer yang pada akhirnya mengakibatkan hipertensi sistolik saja.

 Perubahan ateromatous akibat proses menua menyebabkan disfungsi endotel yang berlangsung pada pembentukan berbagai sitokin dan substansi kimiawi lain yang kemudian menyebabkan resorbsi natrium di tubulus ginjal, meningkatkan proses sklerosis pembuluh darah perifer dan keadaan lain yang berakibat pada kenaikan tekanan darah.

 Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Pada poin sebelumnya juga sudah dijelaskan bahwa karena adanya disfungsi endotel, menyebabkan resorbsi natrium di tubulus ginjal meningkat sehingga kadar natrium pun di tubuh menjadi meningkat dan pada akhirnya menyebabkan tekanan darah naik.

Adanya penurunan diastole pada usia tua disebabkan karena adanya kekakuan pada pembuluh darah pasien (Sudoyo, 2006).

4. Langkah IV: Mengeinventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah 3.

Proses penuaan Permasalahan Psikologis Diabetes Mellitus Inkontinensia Urin Nefropati DM ISK Hipertensi

(13)

5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran

a. Pemeriksaan tanda vital : tekanan darah pada pasien di skenario b. Pemeriksaan Geriatric Depression Scale dan Mini Mental State

Examination

c. Diagnosis Banding : i. Depresi ii. BPH

iii. Inkontinensia Urin iv. Infeksi Saluran Kemih

v. Nefropati Diabetik vi. Diabetes Melitus vii. Hipertensi d. Tatalaksana :

i. Konsultasi ke psikiatri ii. Rawat inap di Rumah sakit iii. Rehabilitasi Medik

iv. Assesment pada geriatri e. Kegawatdaruratan pada geriatri

6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru

7. Langkah VII: Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru yang diperoleh

a. Pemeriksaan tanda vital : tekanan darah

Baik TDS maupun TDD meningkat sesuai dengan meningkatnya umur. TDS meningkat secara progresif sampai umur

Depres i

Tatalaksana

Psikiatri Rawat Inap

(14)

70-80 tahun, sedangkan TDD meningkat samapi umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap atau sedikit menurun. Kombinasi perubahan ini sangat mungkin mencerminkan adanya pengakuan pembuluh darah`dan penurunan kelenturan (compliance) arteri dan ini mengakibatkan peningkatan tekanan nadi sesuai dengan umur (Rigaud dan Forette, 2001)

b. Geriatric Depression Scale

Geriatric Depression Scale adalah sebuah skala yang digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat depresi seorang lansia. Meskipun ada banyak instrumen yang tersedia untuk mengukur depresi, Depresi Skala Geriatri (GDS), pertama kali diciptakan oleh Yesavage et al., Telah diuji dan digunakan secara luas dengan populasi yang lebih tua. Ini adalah kuesioner singkat di mana peserta diminta untuk menanggapi 30 pertanyaan dengan menjawab ya atau tidak mengacu pada apa yang mereka rasakan pada hari administrasi. Skor dari 0 - 9 dianggap normal, 10-19 menunjukkan depresi ringan dan 20 - 30 menunjukkan depresi berat.

c. Diagnosis Banding i. Inkontinensia Urin

Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya. Proses menua baik pada laki-Iaki maupun perempuan telah diketahui mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua pada sistem urogenital bawah mengakibatkan posisi kandung kemih prolaps sehingga melemahkan tekanan atau tekanan akhiran kemih keluar.

(15)

Mengetahui penyebab inkontinensia urin penting dalam penatalaksanaannya yang tepat. Perlu dibedakan 4 penyebab pokok yaitu: gangguan urologik, neurologis, fungsional/psikologis , dan iatrogenik lingkungan.

• Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenik yang menghilang jika bila kondisi akut teratasi atau problem medikasi dihentikan.

• Inkontinensia persisten merujuk pada kondisi urikontinensia

yang tidak berkaitan dengan kondisi akut iatrogenik dan berlangsung lama. Penyebab inkontinensia urin akut dapat di ingat dengan akronim DRIP seperti tercantum pada Tabel 4.

(16)

Ada 2 kelainan mendasar pada fungsi saluran kemih bawah yang melatarbelakangi inkontinensia persisten yaitu : 1) Kegagalan menyimpan urin pada kandung kemih akibat

hiperaktif atau menunmnya kapasitas kandung kemih atau lemahnya tahanan saluran keluar

2). Kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot detrusor atau meningkatnya tahanan aliran keluar.

Tipe Inkontinensia Urin

1. Inkontinensia urin tipe urgensi ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya berupa urgensi, frekuensi, dan nokturia. Kelainan ini dibagi 2 subtipe yaitu motorik dan sensorik.

a. Subtipe motorik disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti stroke, parkinsonism, tumor otak dan sklerosis multipel atau adanya lesi pada medula spinalis suprasakral. b. Subtipe sensorik disebabkan oleh hipersensitivitas kandung

kemih akibat sistitis, uretritis, dan divertikulitis.

2. Inkontinensia urin tipe stres terjadi akibat tekanan intraabdominal yang meningkat seperti batuk, bersin, atau mengejan, terutama terjadi pada perempuan usia lanjut yang mengalami hipermobilitas uretra dan lemahnya otot dasar panggul akibat seringnya melahirkan, operasi dan penurunan estrogen.

3. Inkontinensia urin tipe overflow : Meningkatnya tegangan kandung kemih akibat obstruksi prostat hipertrofi pada laki-Iaki atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes melitus, trauma medula spinalis, obat-obatan dapat menimbulkan. Manifestasi klinisnya berupa berkemih sedikit, pengosongan

(17)

kandung kemih tidak sempurna, dan nokturia.

Inkontinensia urin tipe fungsional terjadi akibat penurunan berat fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi biasanya pada demensia berat, gangguan mobilitas (artritis genu, kontraktur), gangguan neurologik dan psikologik.

Tatalaksana

a. Terapi non Farmakologi

1. Bladder training bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali.

2. Latihan otot dasar panggul, dilakukan tiga sampai lima kali sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Latihan ini dapat meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup sempurna. Efektif untuk tipe stres atau campuran dan tipe urgensi.

3. Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien.

4. Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau status kontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.

(18)

5. Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mempu mengontrol/menahan kontraksi involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara biofeedback mempunyai kendala karena penderita karena jangka waktu lama dan perlu mempunyai intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk pelatihnya,

6. Stimulasi elektrik merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot pelvis dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina atau rektum. Terapi ini tidak begitu disukai oleh pasien, karena pasien harus menggunakan alat dan kemajuan dari terapi ini terlihat lamban.

7. Penggunaan keteter menetap (indwelling catheter) sebaiknya tidak digunakan secara rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi ISK sampai sepsis, pembentukan batu, abses, dan bocor.

b. Terapi Farmakologi

• Obat fenilpropanolamin saat ini dihentikan penggunaannya untuk inkotinensia urin tipe stres karena uji klinik menunjukkan adanya peningkatan risiko stroke.

• Pseudoefedrin dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinensia tipe stres karena meningkatkan tekanan sfingter uretra, sehingga menghambat pengeluaran urin • Antikolinergik dapat digunakan untuk tatalaksana

inkontinensia urgensi. Oksibutinin memiliki efek antikolinergik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin merupakan kompetitif bloker reseptor M3.

(19)

Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga menyebabkan hilangnya kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA masih baik), kepribadian yang utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/spliting of personality, perilaku dapat mengganggu tetapi masih dalam batas-batas normal.

Gambaran klinis

Menurut Lumbantobing (2004), gejala-gejala depresi meliputi :

1. Gangguan tidur

2. Keluhan somatik berupa nyeri kepala, dizzi (puyeng), rasa nyeri, pandangan kabur, gangguan saluran cerna,gangguan nafsu makan (meningkat atau menurun), konstipasi, perubahan berat badan (menurun atau bertambah).

3. Gangguan psikomotor berupa aktivitas tubuh meningkat (agitasi atauhiperaktivitas) atau menurun, aktivitas mental meningkat atau menurun, tidak mengacuhkan kejadian di sekitarnya, fungsi seksual berubah (mencakup libido menurun), variasi diurnal dari suasana hati dan gejala biasanya lebih buruk di pagi hari.

4. Gangguan psikologis berupa suasana hati (disforik, rasa tidak bahagia, letupan menangis), kognisi yang negatif, gampang tersinggung, marah, frustasi, toleransi rendah, emosi meledak, menarik diri dari kegiatan sosial, kehilangan kenikmatan & perhatian terhadap kegiatan yang biasa dilakukan, banyak memikirkan kematian & bunuh diri, perasaan negatif terhadap diri sendiri, persahabatan serta hubungan sosial.

(20)

Diagnosis depresi

Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnosis gangguan Jiwa di Indonesia III) yang merujuk pada ICD 10 (International Classification of Deseases 10). Gangguan depresi dibedakan dalam depresi ringan, sedang, dan berat sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap kehidupan seseorang.

Pedoman diagnostik lainnya adalah DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV). Depresi berat menurut DSM IV jika ditemukan 5 atau lebih gejala-gejala berikut dibawah ini, yang terjadi hampir setiap hari selama 2 minggu dan salah satu dari gejala tersebut adalah mood terdepresi atau hilangnya rasa senang/minat.

Gejala-gejala tersebut :

1. Mood depresi hampir sepanjang hari

2. Hilang miknat/rasa senang secara nyata dalam aktivitas normal 3. Berat badan menurun atau bertambah

4. Insomnia atau hipersomnia 5. Agitasi atau retardasi psikomotor 6. Kelelahan dan tidak punya tenaga

7. Rasa tidak berharga atau perasaan bersalah berlebihan 8. Sulit berkonsentrasi

9. Pikiran berulang tentang kematian, percobaan/ide bunuh diri. Menurut ICD 10, pada gangguan depresi, ada tiga gejala utama yaitu :

1. Mood terdepresi

2. Hiulang minat/semangat 3. Hilang tenaga/mudah lelah. Disertai gejala lain :

1. Konsentrasi menurun 2. Harga diri menurun

(21)

3. Perasaan bersalah

4. Psimis memandang masa depan

5. Ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri 6. Pola tidur berubah

7. Nafsu makan menurun

Pengelompokan berat ringannya depresi, disajikan dalam tabel 1

Tabel 1.

Pedoman Pengelompokan Berat Ringannya Depresi Depres

i

Gejala utama minimal

Gejala lain

minimal Fungsi Keterangan

Ringan 2 3 Baik Distres ±

Sedang 2 3 atau 4 Terganggu Berlangsung minimal 2 minggu

Berat 3 4 Sangat

terganggu

Intensitas gejala berat

Menurunnya perawatan diri, perubahan kebiasaan makan, turunnya berat badan, dapat merupakan tanda awal depresi tapi dapat juga merupakan tanda-tanda demensia. Oleh karena itu perlu dilakukan juga pemeriksaan fungsi kognitif dengan Mini Mental State Examination (MMSE) atau Abbreviated Mental Test (AMT) Pemeriksaan pasien depresi

Salah satu langkah penting dalam penatalaksanaan depresi adalah mendeteksi atau mengidentifikasi. Sampai saat ini belum ada suatu konsensus atau prosedur khusus untuk penapisan/skrening depresi pada populasi usia lanjut. Salah satu instrumen yang dapat membantu adalah Geriatric Depression Scale (GDS) yang terdiri dari 30 pertanyaan yang harus dijawab oleh pasien sendiri. GDS ini dapat dimampatkan menjadi 15

(22)

pertanyaan saja dan ini mungkin lebih sesuai untuk dipergunakan dalam praktek umum sebagai alat penapis depresi pada lanjut usia (Depkes RI, 2001).

iii. BPH

Hiperplasia prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia) adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia. Penyakit kelenjar prostat merupakan gangguan yang banyak diderita oleh pria lansia. Pada 60% penderita sudah mulai muncul adanya nodul mikroskopik di usia 60 tahun, dan pada usia 85 tahun meningkat menjadi 90%.

Adanya pembesaran prostat atau BPH disebabkan oleh 2 faktor, yaitu proses menua dan rangsangan androgen jangka panjang.

Gejala hyperplasia prostat dapat dibagi menjadi gejala akibat iritasi yang ditimbulkan oleh aliran urin (gejala iritatif) dan gejala akibat obstruksi pembesaran prostat (gejala obstruktif)

Gejala obstruktif

 Hesitancy (keluar kemih terputus-putus)

 Aliran urin lemah

 Mengejan untuk mengeluarkan urin

 Lama berkemih berkepanjangan  Perasaan tak tuntas saat berkemih  Retensi urin

Gejala iritatif

 Urgency (perasaan ingin berkemih)

 Frequency (sering berkemih)  Nocturia (ingin berkemih di

malam hari)  Inkotinensia “urge”

(23)

Pembagian Derajat BPH

Derajat Berat BPH berdasarkan Gambaran Klinik

Derajat Colok Dubur Sisa volume urin

I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba < 50 ml II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai 50 – 100 m III Batas atas prostat tidak dapat diraba 100 m

IV Retensi urin total

iv. ISK

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme (MO) dalam urin. Prevalensi ISK di masyarakat makin meningkat dengan makin meningkatnya usia, hal ini disebabkan karena :

 Sisa urine dalam kandung kemih meningkat akibat pengosongan kandung kemih kurang efektif

 Mobilitas menurun

 Nutrisi pada lansia seringkali kurang baik  System imunitas menurun

 Ada hambatan pada aliran urine

 Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat (Darmojo, 2014)

Infeksi saluran kencing pada usia lanjut dibedakan atas: a. ISK uncomplicated (simple)

ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan anatomi saluran kencing tidak baik walaupun fungsional normal. Terutama mengenai wanita dan infeksi ini hanya mengenai mukosa superfisial kandung kemih. Penyebab kuman tersering (90%) adalah E. Coli.

b. ISK complicated

Sering menimbulkan banyak masalah karena kuman penyebab sulit diberantas sering resisten terhadapa pengobatan berbagai

(24)

macam antibiotic, sering terjadi sepsis, bakteriemia dan syok. Penyebab kuman adalah Pseudomonas Proteus atau Klebsiella. v. Nefropati Diabetik

Nefropati diaberik adalah sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Pada nefropati diabetik terdapat 5 tahap: Tahap I: Pada tahap ini LFG meningkat yang disertai pembesaran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM ditegakkan. Denfan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi dan struktur ginjal akan normal kembali. Tahap Ii: Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM tegak, awal perubahan struktur ginjal berlanjut dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stres, atau kondisi metablik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivjtas biasanya terkait dengan memburuknya kondisi metabolik. Tahap ini fisebut sebagai tahap sepi(silent stage). Tahap III: Ini adalah gahap awal nefropati dimana mikro albuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjafi setelah 15-20 tahun setelah diagnosis DM tegak. Secara histopatologis, juga telahjelas penebalan membrana basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah sudah ada yang ,ulai meningkat. Keadaan ini dapatbertahan bertahun-tahu dan progresivitas masih ungki dicegah dengan kendali glukosan dan tekanan darah yang ketat. Tahap IV: Ini merupakan tahapan saat nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat serta LFG sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15-20 tahun diabetes tegak. Penyulit diabetes lain sudah pula dijumpai, seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak, dan gangguan vaskular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan tekanan darah. Tahap V: Ini adalah tahap gagal ginjal saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal. Pada DM tipe 2 saat diagnosis ditegakkan, sudah banyak pasien yang mengalami mikro dan makro albuminuria ,karena sebenarnya DM telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya. Lagipula keberadaan albuminuria lurang spesifik untuk adanya nefropati diabetik. Tanpa penanganan khusus 20-40% dari pasien ini akan melanjut pada nefropati nyata. Setelah terjadinya penurunan LFG maka laju penurunan akan bervariasi secara individual, akan tetapi 20 tahun setelah ini, hanya sekitar 20% dari mereka yang berlanjut menjadi penyakit ginjal tahap akhir.

vi. Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Tanda-tanda klasik dari diabetes yang tidak diobati adalah hilangnya berat badan, polyuria (sering berkemih), polydipsia(sering haus), dan polyphagia (sering lapar).[8]

Gejala-gejalanya dapat berkembang sangat cepat (beberapa minggu atau bulan saja) pada diabetes type 1, sementara pada diabetes type 2 biasanya berkembang jauh lebih lambat dan mungkin tanpa gejala sama sekali atau tidak jelas.

(25)

Beberapa tanda-tanda lainnya dan gejala-gejalanya dapat menunjukkan adanya diabetes, meskipun hal ini tidak spesifik untuk diabetes. Mereka adalah pandangan yang kabur, sakit kepala, fatigue, penyembuhan luka yang lambat, dan gatal-gatal. Tingginya tingkat glukosa darah yang lama dapat menyebabkan penyerapan glukosa pada lensa mata, yang menyebabkan perubahan bentuk, dan perubahan ketajaman penglihatan. Sejumlah gatal-gatal karena diabetes dikenal sebagai diabetic dermadromes.

vii. Hipertensi

Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik yang intermiten atau menetap. Pengukuran tekanan darah serial 150/95 mmHg atau lebih tinggi pada orang yang berusia diatas 50 tahun memastikan hipertensi. Insiden hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia (Stockslager , 2008).

Hipertensi lanjut usia dibedakan menjadi dua hipertensi dengan peningkatan sistolik dan diastolik dijumpai pada usia pertengahan hipertensi sistolik pada usia diatas 65 tahun. Tekanan diastolik meningkat usia sebelum 60 tahun dan menurun sesudah usia 60 tahun tekanan sistolik meningkat dengan bertambahnya usia (Temu Ilmiah Geriatri Semarang, 2008).

Hipertensi menjadi masalah pada usia lanjut karena sering ditemukan menjadi faktor utama payah jantung dan penyakit koroner. Lebih dari separuh kematian diatas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan serebrovaskuler. Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas:

a. Hipertensi pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan sistolik sama atau lebih 90 mmHg. b. Hipertensi sistolik terisolasi tekanan sistolik lebih besar dari

(26)

160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg (Nugroho,2008).

Patofisiologi Hipertensi Lanjut Usia

Baik TDS maupun TDD meningkat sesuai dengan meningkatnya umur. TDS meningkat secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan TDD meningkat samapi umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap atau sedikit menurun. Kombinasi perubahan ini sangat mungkin mencerminkan adanya pengakuan pembuluh darah`dan penurunan kelenturan (compliance) arteri dan ini mengakibatkan peningkatan tekanan nadi sesuai dengan umur.( Rigaud dan Forette, 2001)

Seperti diketahui, takanan nadi merupakan predictok terbaik dari adanya perubahan struktural di dalam arteri. Mekanisme pasti hipertensi pada lanjut usia belum sepenuhnya jelas. Efek utama dari ketuaan normal terhadap sistem kardiovaskuler meliputi perubahan aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan pembuluh darah besar meningkat dan elastisitas pembuluh darah menurun sesuai umur. Perubahan ini menyebabkan penurunan compliance aorta dan pembuluh darah besar dan mengakibatkan pcningkatan TDS. Penurunan elastisitas pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Sensitivitas baroreseptor juga berubah dengan umur. Perubahan mekanisme refleks baroreseptor mungkin dapat menerangkan adanya variabilitas tekanan darah yang terlihat pada pemantauan terus menerus. (Rigaud dan Forette, 2001; Kuswardhany,2006)

Penurunan sensitivitas baroreseptor juga menyebabkan kegagalan refleks postural, yang mengakibatkan hipertensi pada

(27)

lanjut usia sering terjadi hipotensi ortostatik. Perubahan keseimbangan antara vasodilatasi adrenergic - β dan vasokonstriksi adrenergik - α akan menyebabkan kecenderungan vasokontriksi dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah. Resistensi Na akibat peningkatan asupan dan penurunan sekresi juga berperan dalam terjadinya hipertensi. Walaupun ditemukan penurunan renin plasma dan respons renin terhadap asupan garam, sistem renin-angiotensin tidak mempunyai peranan utama pada hipertensi pada lanjut usia. (Rigaud dan Forette, 2001)

Perubahan-perubahan di atas bertanggung jawab terhadap penurunan curah jantung (cardiac output), penurunan denyut jantung, penurunan kontraktilitas miokard, hipertrofi ventrikel kiri, dan disfungsi diastolik. Ini menyebabkan penurunan fungsi ginjal dengan penurunan perfusi ginjal dan laju filtrasi glomerulus.

d. Tatalaksana

i. Konsultasi Psikiatri

Kondisi geriatri yang harus dirujuk ke psikiater antara lain : - Terdapat masalah diagnostik serius

- Risiko bunuh diri tinggi - Pengabaian diri serius

- Agitasi, delusi, halusinasi berat

- Tidak memberi tanggapan dan tidak patuh terhadap pengobatan

- Memerlukan tindakan/rawat inap ii. Rawat inap rumah sakit

Pasien disarankan untuk dirawat di Rumah Sakit karena adanya beberapa penyakit pada pasien yang menyebabkan pasien mengalami gangguan tidur. Kualitas tidur pasien pun menjadi berkurang. Pasien membutuhkan perawatan yang baik untuk mengobati penyakit yang mendasari gangguan tidur ini. Selain itu

(28)

pasien membutuhkan terapi farmakologis untuk penyakit metabolik yang mendasari keluhan pasien.

iii. Rehabilitasi Medik

Rehabilitasi medik adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk memulihkan atau mengoptimalkan kemampuan seseorang setelah mengalami gangguan kesehatan yang berakibat pada penurunan kemampuan fisik.

Tujuan Rehabilitasi Medik pada Usia Lanjut

1. Memberikan pelayanan rehabilitasi medik yang komprehensif. 2. Berperan dalam mempertahankan dan atau meningkatkan

kualitas hidup pasien (kesehatan, vitalitas, fisik, dan fungsi). 3. Mencegah atau mengurangi keterbatasan (impairment),

hambatan (disability) dan kecacatan (handicap).

Tujuan pokok rehabilitasi para usia lanjut bukanlah untuk mengembalikan peran mereka sebagai pencari nafkah, melaikan bagaimana mempersiapkan mereka untuk dapat menikmati ruas ahir dari kehidupannya dengan kemandirian yang maksimal.

1. Program Fisioterapi

a. Aktivitas di tempat tidur

Positioning, alih baring, latihan pasif dan aktif lingkup gerak sendi.

b. Mobilisasi

Latihan bangun sendiri, duduk, transfer dari tempat tidur ke kursi, berdiri, jalan

Melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, makan, berpakaian.

(29)

2. Program okupasi terapi

Latihan ditujukan untuk mendukung aktifitas kehidupan sehari-hari, dengan memberikan latihan dalam bentuk aktifitas, permainan, atau langsung pada aktifitas yang diinginkan. Misal latihan jongkok – berdiri.

3. Program ortetik prostetik

Pada ortotis prostetis akan membuat alat penopang atau alat pengganti bagian tubuh yang memerlukan sesuai dengan kondisi penderita, misal pembuatan alat diusahakan dari bahan yang ringan, model alat yang lebih sederhana sehingga mudah di pakai.

4. Program terapi bicara

Program ini kadang – kadang tidak selalu di tujukan untuk latihan bicara saja, tetapi di perlukan untuk memberi latihan pada penderita dengan gangguan fungsi menelan apabila di temukan adanya kelemahan pada otot – otot sekitar tenggorok. Hal ini sering terjadi pada penderita stroke, dimana terjadi kelumpuhan saraf fagus, saraf lidah, dll.

5. Program social medic

Petugas social medic memerlukan data pribadi maupun keluarga yang tinggal bersama lansia, melihat bagaimana struktur atau kondisi di rumahnya yang berkaitan dengan aktifitas yang di butuhkan penderita, tingkat social ekonomi. Misal seorang lansia yang tinggal dirumahnya banyak tramp/anak tangga, bagaimana bisa di buat landai/pindah kamar yang datar dan bisa deket dengan kamar mandi.

(30)

Dalam menghadapi lansia sering kali harus memperhatikan keadaan emosionalnay yang mempunyai ciri-ciri yang khas pada lansia, misal apakah seorang yang tipe agresif atau konstruktif. Untuk memberikan motifasi lansia agar lansia mau melakukan latihan, mau berkomunikasi, sosialisaai dan sebagainya.

vi. Assesment pada geriatric

Pedoman untuk asesmen diagnosis pada geriatric meliputi : 1. Anamnesis, meliputi :

a. Identitas pasien, termasuk jumlah anak dan berapa orang yang tinggal bersama pasien

b. Riwayat pemakaian obat c. Penilaian system

d. Kebiasaan

e. Gangguan yang didapat

f. Kepribadian, meliputi perasaan hati, kesadaran, dan afek g. Riwayat tentang sindrom geriatric

2. Pemeriksaan fisik. Karena gejala yang muncul pada geriatric tidak khas dan seringkali tersembunyi, maka hamper semua system harus kita periksa. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus ada antara lain :

a. Tekanan darah

b. Pemeriksaan fisik untuk menilai system

3. Pemeriksaan tambahan. Ini adalah pemeriksaan tambahan yang dianggap rutin pada asesmen geriatric di Negara maju

a. Foto toraks, EKG b. Laboratorium : Darah, feses, urin/feses

Gula darah, lipid, fungsi hati, fungsi ginjal Fungsi tiroid

Kadar serum B6, B12 4. Pemeriksaan fungsi

a. Aktivitas hidup hidup sehari-hari (AHS) dasar, adalah aktivitas hidup dasar seperti makan, minum, berpakaian b. AHS instrumental, adalah aktivitas hidup sehari-hari yang

(31)

susunan syaraf, seperti mengangkat telepon, naik-turun tangga

c. Kemampuan mental dan kognitif

Asesmen lingkungan. Bagaimana kondisi di sekitar lingkungan rumah pasien, keadaan di rumah pasien, apakah mendukung kesehatan dan penyembuhan pasien atau tidak (Darmojo, 2014)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A Kesimpulan

Berdasarkan hasil diskusi yang telah kami laksanakan dapat disimpulkan bahwa Kakek Yoso menderita Infeksi Saluran Kemih akibat inkontinensia urin. Selain itu, karena penyakit Diabetes Mellitus yang diderita, tekanan darah Kakek Yoso menjadi tinggi karena komplikasi Nefropati Diabetikum. Beberapa penyakit tersebut menjadikan kakek Yoso mengalami depresi, ditambah masalah psikologis akibat meninggalnya sang istri.

B Saran

Beberapa saran untuk diskusi tutorial skenario 2 blok geriatri ini antara lain dalam melakukan kegiatan diskusi tutorial, seharusnya kami lebih aktif lagi dalam mengemukakan pendapat dan mencantumkan sumber informasi yang dapat dipercaya berdasarkan prinsip Evidence Based Medicine (EBM) setiap kali kami menyampaikan pendapat. Selain itu, kami sebaiknya dapat menggunakan waktu secara efisien supaya waktu yang dialokasikan untuk diskusi dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Dorland WA, Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC Tortora, Gerard J. 2011. Principles of Anatomy and Physiology 13th Edition. New

Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth (ed). 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Osman NI, Christopher R. Chapple. 2013. Focus On Nocturia In The Elderly.

Diakses dari :

http://www.medscape.com/viewarticle/809746_6-Sudoyo, Aru W et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit Buku Kedokteran IPD FK UI.

Referensi

Dokumen terkait