BAB 1
PENDAHULUAN
Salah satu upaya pengembangan industri rotan adalah dengan melakukan penguatan inovasi desain produk rotan. Industri kecil rotan dan inkubator diharapkan akan dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai acuan desain untuk memajukan usahanyaBAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANGIndustri meubel rotan merupakan industri yang potensial untuk dikembangkan di Sulawesi Tenggara. Industri ini mampu menumbuhkan ekonomi masyarakat dan daerah Sulawesi Tenggara. Program pengembangan industri ini harus dilaksanakan secara terpadu untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam pengembangan industri rotan ini kegiatan yang terpadu tersebut adalah melibatkan semua stake holder di industri rotan ini.
Kajian pengambangan industri meubel rotan Sulawesi Tenggara ini merupakan langkah awal dalam rangkaian pengembangan industri rotan di Sulawesi Tenggara. Kajian ini berangkat dari data, informasi dan keadaan real masyarakat di Sulawesi Tenggara serta memperhatikan kekhasan setiap wilayah di Sulawesi Tenggara. Perkembangan informasi dan teknologi di masa mendatang yang sangat cepat akan mempengaruhi rencana pengembangan industri rotan di Sulawesi Tenggara pada akhirnya. Dengan demikian, pemanfaatan informasi dan teknologi menjadi sangat penting untuk diperhatikan pada kajian pengembangan industri ini.
Menurut Undang‐Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005‐2025, dalam rangka memperkuat perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global diperlukan dukungan penguatan sistem inovasi, melalui pengembangan IPTEK yang diarahkan pada peningkatan kualitas serta memanfaatkan IPTEK nasional untuk mendukung daya saing secara global. Hal itu dilakukan melalui peningkatan, penguasaan, dan penerapan IPTEK secara luas dalam sistem produksi barang/jasa, pembangunan pusat‐pusat unggulan IPTEK, pengembangan lembaga penelitian yang handal, perwujudan sistem pengakuan terhadap hasil temuan dan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), pengembangan dan penerapan standar mutu, peningkatan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) IPTEK, peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana IPTEK. Berbagai
langkah tersebut dilakukan untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan serta pengembangan kelembagaan sebagai keterkaitan dan fungsional sistem inovasi dalam mendorong pengembangan kegiatan usaha.
Berdasarkan MOU antara Gubernur Sulawesi Tenggara dengan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dan Naskah Kerjasama antara Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat ITS Surabaya nomor: 530/490 dan nomor 1196/IT2.11/KS.00.03/2014 Tentang Pengembangan Industri Rotan, terdapat perjanjian kerjasama dalam pengembangan potensi Industri Rotan di Sulawesi Tenggara. Gambar 1.1 Pengembangan desain kursi rotan dan bambu ( Sumber : penelitian SIDA Jatim, 2013) Salah satu upaya pengembangan industri rotan adalah dengan melakukan penguatan inovasi dalam pengembangan desain produk – produk rotan. Perlu dilakukan analisis dasar terhadap karakter mebel dan asesoris Sulawesi Tenggara. Selanjutnya dilakukan inovasi pengembangan produk dan varian desain. Pengembangan desain tersebut berkaitan dengan sejumlah faktor penting yang kemudian dijadIkan variable dalam penelitiannya. Variabel tersebut adalah keindahan, karakter Sultra, kekuatan dan
kelayakan jualnya. Sentra industri kecil rotan dan inkubator diharapkan akan dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai acuan desain untuk memajukan usahanya.
1.1. Ruang Lingkup Kegiatan
1. Mengidentifikasi karakter produk rotan khas Sulawesi Tenggara:
a. Identifikasi karakter produk rotan Sulawesi Tenggara dengan pendekatan analogi/morfologi terhadap ciri khas Sulawesi Tenggara.
b. Tersusunnya beberapa konsep dasar bentuk khas Sulawesi Tenggara. 2. Mengembangkan varian desain berdasarkan keanekaragaman fungsi
3. Tersusunnya bank desain yang berisi desain dan gambar kerja sebagai standar bagi IKM dan pelaku usaha rotan Sulawesi Tenggara dalam melakukan proses produksinya.
a. Tersusunnya bank desain yang terdiri dari beberapa fungsi produk rotan. b. Setiap gambar dilengkapi dengan panduan ukuran
1.2. TUJUAN, MANFAAT DAN DAMPAK KEGIATAN YANG DIHARAPKAN
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelasakan, maka maksud dan tujuan dari penyusunan Program Pengembangan Bank Desain Inovatif Produk Kerajinan Rotan adalah: a. Maksud : Mendukung adanya penguatan sistem inovasi daerah, melalui pengembangan
IPTEK yang diarahkan pada peningkatan kualitas industri rotan dengan mengembangkan produk rotan Sulawesi Tenggara dalam bentuk Bank Desain.
b. Tujuan :
1. Mengidentifikasi karakter produk rotan khas Sulawesi Tenggara 2. Mengembangkan varian desain berdasarkan keanekaragaman fungsi
3. Tersusunnya bank desain yang berisi desain dan gambar kerja sebagai standar bagi UKM dan pelaku usaha rotan Sulawesi Tenggara dalam melakukan proses produksinya.
1.3. TARGET LUARAN
Produk yang dihasilkan dalam penyusunan Program Pengembangan Bank Desain Inovatif Produk Kerajinan Rotan minimal mencakup: 1. Karakter produk 2. Jenis produk unggulan 3. 30 desain 1.4 SISTEMATIKA LAPORAN Materi Pokok yang tercantum di dalam Laporan ini antara lain adalah; BAB I PENDAHULUAN
Bab I menjelaskan tentang latar belakang; maksud, tujuan dan sasaran; ruang lingkup pekerjaan; dan sistematika laporan.
BAB II METODE PENELITIAN
Bab II menjabarkan metode dan tahapan dalam penelitian ini. BAB III ANALISIS PENGEMBANGAN PRODUK
Bab IV menjelaskan mengenai konsep yang terdiri dari: konsep desain, analisis bentuk dan proses pengembangan desain.
BAB IV BANK DESAIN INOVATIF PRODUK KERAJINAN ROTAN
Bab IV menjelaskan hasil akhir berupa rendering dan bank desain secara keseluruhan.
BAB V PENUTUP
Bab V berisi mengenai kesimpulan dan rekomendasi pengembangan desain dan industry rotan selanjutnya
BAB 2
METODE PENELITIAN &
TEORI PENUNJANG
Teori – teori yang relevan dengan penelitian serta studi literatur yang telah dilakukan sebagai pedoman pelaksanaan bank desain akan diuraikan pada bab ini. Penjelasan mengenai teori – teori pengembangan produk yang mempertimbangkan selera pasar, kekuatan bahan dan kemudahan pembuatan.
BAB 2
METODE PENELITIAN & TEORI
2.1 TEORI PENUNJANG
Literatur utama yang menjadi penunjang dari penelitian ini adalah hasil dari pengembangan desain pada desain manik‐manik kaca (Wardhana; 2009) dan pengembangan Ikm di berbagai bidang. Pada penelitian tersebut diperoleh manfaatnya yakni metodologi perancangan yang dikembangkan. Dalam penelitian desain yang lain, Indraprasti (2012) juga dapat diambil manfaat penerapan metodologi dari pengembangan ide hingga menjadi sebuah karya desainnya. Pengembangan penelitian dari metodologi tersebut diambil kesimpulan sementara yakni ide hingga menjadi wujud nyata adalah didasarkan pada beberapa tahapan penting yang harus dilaksanakannya.
Tahapan dalam pengembangan desain dari ide hingga terwujudnya karya adalah terdiri dari: pengenalan bentuk desain, pencarian ide bentuk, pengembangan kekuatan, pengembangan estetika, dan uji kelayakan desain. Masing‐masing tahapan memiliki kesulitan yang berbeda‐beda dan menjadi bagian penting untuk tahapan selanjutnya. Secara diagramatis kesimpulan beberapa penelitian pendahuluan yang membahas pengembangan karya desain adalah seperti di bawah ini. Gambar 2.1. Proses penelitian dalam pengembangan desain disarikan dari Wardhana (2009) dan Indraprasti (2012). Pengenalan karya Pencarian ide Pengembangan Pengembangan Uji kelayakan desain
Selain itu tahapan lain yang merupakan rujukan penelitaian ini adalah,
Gambar 2.2. Proses penelitian oleh (Rucitra 2010)
Diagram tersebut menceritakan tahapan penelitian mulai dari pengumpulan data, pengolahan hingga desain akhir.
2.2 STUDI HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA
Wardhana (2009) memberikan masukan berarti bahwa pengembangan desain selalu harus memperhatikan kemampuan desainer dalam mengenali variabel mewujudkan desainnya. Pengenalan variabel menjadi sangat penting untuk memperbaiki kekurangan yang ada pada suatu desain. Beberapa variabel yang diperhatikan tersebut adalah: pengenalan bentuk desain, pencarian ide bentuk, pengembangan kekuatan, pengembangan estetika, dan uji kelayakan desain.
Indraprasti (2012) menekankan pada beberapa hal yang sama dengan kesimpulan penelitian di atas, namun terdapat temuan penting lainnya yakni pencarian ide didasarkan pada pengetahuan yang bersumber pada pengetahuan orang‐orang secara luas. Dengan demikian, keuntungan yang dapat diperoleh dari penggalian ide tersebut adalah hasil desainnya akan mudah dimengerti orang lain (pengamat). Hal ini disebabkan karena ide yang umum dan telah dikenal orang lain akan mempermudah menghasilkan suatu desain, sehingga orang lain akan mudah pula dalam mengerti maksud bentuk desainnya.
Kristiato (2013) pada penelitiannya mengungkapkan UKM Furnitur di Gresik Selatan memiliki kekuatan kemampuan produksi yang cukup baik. Satu peluang yang harus dikembangkan adalah mengangkat varian desain yang optimal bagi UKM tersebut. Dengan demikian langkah untuk mengembangkan desain yang nantinya dapat diproduksi pada UKM Kayu dan Rotan di Gresik menjadi langkah yang sangat tepat.
2.3 TEORI PENUNJANG 2.3.1 Pengertian Produk
Banyak klasifikasi suatu produk yang dikemukakan ahli pemasaran, diantaranya pendapat yang dikemukakan oleh Kotler tentang barang konsumsi. Menurut Kotler (2002), barang konsumen adalah barang yang dikonsumsi untuk kepentingan konsumen akhir sendiri (individu dan rumah tangga), bukan untuk tujuan bisnis. Pada umumnya barang konsumen dibedakan menjadi empat jenis :
a) Convenience goods
Merupakan barang yang pada umumnya memiliki frekuensi pembelian tinggi (sering dibeli), dibutuhkan dalam waktu segera, dan hanya memerlukan usaha yang minimum (sangat kecil) dalam pembandingan dan pembeliannya. Contohnya antara lain produk tembakau, sabun, surat kabar, dan sebagainya.
Barang‐barang yang dalam proses pemilihan dan pembeliannya dibandingkan oleh konsumen diantara berbagai alternatif yang tersedia. Contohnya alat‐alat rumah tangga, pakaian, furniture, mobil bekas dan lainnya.
c) Specialty goods
Barang‐barang yang memiliki karakteristik dan/atau identifikasi merek yang unik dimana sekelompok konsumen bersedia melakukan usaha khusus untuk membelinya. Misalnya mobil Lamborghini, pakaian rancangan orang terkenal, kamera Nikon dan sebagainya. d) Unsought goods
Merupakan barang‐barang yang tidak diketahui konsumen atau kalaupun sudah diketahui, tetapi pada umumnya belum terpikirkan untuk membelinya. Contohnya asuransi jiwa, ensiklopedia, tanah kuburan dan sebagainya.
Menurut Kotler and Armstrong (2004) arti dari kualitas produk adalah kemampuan sebuah produk dalam memperagakan fungsinya, hal itu termasuk keseluruhan durabilitas, reliabilitas, ketepatan, kemudahan pengoperasian dan reparasi produk juga atribut produk lainnya.
2.3.2 Dimensi Kualitas Produk
Menurut Mullins et all (2005) apabila perusahaan ingin mempertahankan keunggulan kompetitifnya dalam pasar, perusahaan harus mengerti aspek dimensi apa saja yang digunakan oleh konsumen untuk membedakan produk yang dijual perusahaan tersebut dengan produk pesaing. Dimensi kualitas produk tersebut terdiri dari :
1. Performance (kinerja), berhubungan dengan karakteristik operasi dasar dari sebuah produk. Performance yang baik dilihat dari penampilan produk tersebut dibandingkan dengan produk lain yang sejenis.
2. Durability (daya tahan), yang berarti berapa lama atau umur produk yang bersangkutan bertahan sebelum produk tersebut harus diganti. Semakin besar frekuensi pemakaian konsumen terhadap produk maka semakin besar pula daya tahan produk.
3. Conformance to specifications (kesesuaian dengan spesifikasi), yaitu sejauh mana karakteristik operasi dasar dari sebuah produk memenuhi spesifikasi tertentu dari konsumen atau tidak ditemukannya cacat pada produk.
4. Features (fitur), adalah karakteristik produk yang dirancang untuk menyempurnakan fungsi produk atau menambah ketertarikan konsumen terhadap produk.
5. Reliabilty (reliabilitas), adalah probabilitas bahwa produk akan bekerja dengan memuaskan atau tidak dalam periode waktu tertentu. Semakin kecil kemungkinan terjadinya kerusakan maka produk tersebut dapat diandalkan.
6. Aesthetics (estetika), berhubungan dengan bagaimana penampilan produk bisa dilihat dari tampak, rasa, bau, dan bentuk dari produk.
7. Perceived quality (kesan kualitas), sering dibilang merupakan hasil dari penggunaan pengukuran yang dilakukan secara tidak langsung karena terdapat kemungkinan bahwa konsumen tidak mengerti atau kekurangan informasi atas produk yang bersangkutan. Jadi, persepsi konsumen terhadap produk didapat dari harga, merek, periklanan, reputasi, dan Negara asal.
Menurut Tjiptono (1997), dimensi kualitas produk meliputi : 1) Kinerja (performance)
Yaitu karakteristik operasi pokok dari produk inti (core product) yang dibeli, misalnya kecepatan, konsumsi bahan bakar, jumlah penumpang yang dapat diangkut, kemudahan dan kenyamanan dalam mengemudi dan sebagainya.
2) Keistimewaan tambahan (features)
Yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap, misalnya kelengkapan interior dan eksterior seperti dash board, AC, sound system, door lock system, power steering, dan sebagainya.
Yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal dipakai, misalnya mobil tidak sering rewel/ rusak.
4) Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications)
Yaitu sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar‐standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Misalnya standar keamanan dan emisi terpenuhi, seperti ukuran as roda untuk truk tentunya harus lebih besar daripada mobil sedan.
5) Daya tahan (durability)
Berkaitan dengan berapa lama produk tersebut dapat terus digunakan. Dimensi ini mencakup umur teknis maupun umur ekonomis penggunaan mobil.
6) Estetika (asthethic)
Yaitu daya tarik produk terhadap panca indera. Misalnya bentuk fisik mobil yang menarik, model atau desain yang artistik, warna, dan sebagainya.
JM Juran melihat konsep mutu dari dua sudut pandang. Pertama adalah dari segi penampilan dan kedua adalah dari segi kekurangan (defisiensi). Suatu produk yang mempunyai penampilan memuaskan (excellent), dinilai sebagai sebuah produk bermutu. Demikian juga jika memiliki sedikit defisiensi, maka produk tersebut dinilai sebagai produk bermutu. Pandangan Juran sedikit berbeda dengan pandangan konvensional. Secara konvensional produk dianggap bermutu jika produk tersebut tahan lama, meskipun penampilannya tidak menarik. Disamping tahan lama, produk juga disebut bermutu jika dapat dipakai dengan baik. Faktor lain dari mutu yang baik adalah bentuk yang baik. Jadi secara konvensional, factor bentuk (performance), faktor tahan lama (durability) dan faktor kegunaan (service ability) dianggap sebagai faktor mendasar untuk mengatakan suatu produk bermutu atau tidak..
Saat ini suatu produk yang bermutu adalah produk yang dapat memuaskan pelanggan. Hal ini berkaitan erat dengan konsep pemasaran modern yang menyatakan bahwa pengenalan perilaku konsumen merupakan tonggak keberhasilan pemasaran. Hal inilah yang kemudian dikembangkan oleh para ahli sehingga lahirlah suatu definisi baru
tentang produk bermutu yang dicetuskan oleh Michael Porter. Porter menyatakan bahwa produk yang bermutu, setidaknya ditentukan oleh delapan faktor yaitu : Performance, Feature, Reability, Conformance, Durability, Service Ability,Aesthetics, dan Perceived Quality. Performance yang baik dilihat dari penampilan produk tersebut dibandingkan dengan produk lain yang sejenis. Reability bermaksud kepada keterandalan produk, sedangkan conformance lebih bermaksud pada baiknya proses produksi untuk menghasilkan produk. Durability cenderung bermakna pada ketahanan suatu produk digunakan. Service ability merupakan suatu mutu yang berbasis pada kepuasan konsumen. Faktor ini mengukur seberapa jauh suatu produk dapat memberikan rasa puas terhadap pemakainya. Aesthetics lebih bermakna pada nilai seni dan desain produk, mencakup warna,dan lain‐lain. Sedangkan Perceived Quality merupakan sesuatu yang paling diharapkan yaitu produk yang telah mendapat pengakuan luas dari masyarakat sebagai produk yang bermutu.
Tabel 2.1 Kualitas Produk
KONVENSIONAL JM JURAN PORTER
KETAHANAN PEMAKAIAN BENTUK PENAMPILAN DEFINISI PERFORMANCE FEATURE REABILITY CONFORMANCE DURABILITY SERVICE ABILITY AESTHETIC PERCEIVED QUALITY
2.3.3 TQM dan TQEM ( Total Quality Management dan Total Quality Environmental
Management )
Berbicara tentang mutu, ada konsep dasar yang sangat menentukan perkembangan dan kemajuan mutu itu sendiri, yaitu Quality Thinking dan Quality Paradigms. Quality Thinking atau cara berpikir tentang mutu, secara tradisional diartikan oleh mutu yang masih berbicaraproduk dan bersifat teknis, tergantung inspektor, dituntun oleh para ahli (Experts),
membutuhkan pengawasan dan memerlukan biaya yang lebih tinggi. Cara berpikir mutu ini terus berubah,sehingga sampai pada konteks ekstrim modern sekarang ini. Jika sebelumnya Quality Thinking didasarkan pada mutu organisasi yaitu mutu yang bersifat strategis. Mutu menurut konsepmodern tidak lagi merupakan tanggung jawab inspektor, tetapi tanggung jawab semua orangyang dituntun oleh manajemen (bukan hanya para ahli) serta membutuhkan pengembangansecara terus menerus. Pada akhirya manajemen mutu bertujuan untuk menghemat biaya produksi dari hal‐hal yang tidak efisien dan penghematan ini bertujuan pada suatu usaha untukmenciptakan biaya yang lebih rendah (Purwanto,2000).
Quality paradigms (paradigma Mutu) secara konvensional berkisar pada melakukan inspeksi atau pemeriksaan mutu, peningkatan mutu berarti peningkatan biaya, berorientasi prosedur, tanggung jawab secara departementalisasi, memenuhi kebutuhan pelanggan, fokuspada pabrik dan yang paling menonjol dari paradigma mutu secara konvensional ini adalah penningkatan mutu dianggap merupakan pekerjaan orang lain dan memerlukan biaya tinggi. Tabel 2.2 Perkembangan pemikiran mutu Tradisional Modern Berbicara tentang produk Berbicara tentang organisasi Bersifat teknis Bersifat Strategis Tergantung Inspektor Tanggung Jawab semua Dituntun para ahli Dituntun manajemen Membutuhkan pengawasan Membutuhkan pengembangan terus menerus Meningkatkan biaya Menurunkan biaya
Paradigma ini tentunya membawa perusahaan pada kesimpulan, bertahan dengan mutu seadanya tapi biaya rendah, atau berproduksi dengan mutu tinggi, tapi biaya tinggi. Seringkali paradigma ini akhirnya membuat perusahaan berjalan ditempat atau bahkan kehilangan sebagian pangsa pasar yang sudah ada. Paradigma mutu secara modern sudah membicarakan bagaimana membangun mutu sekaligus mengurangi biaya, tidak lagi berorientasi proses. Tanggung jawab sudah dipikul secara bersama di bawah komando
seorang pemimpin, fokus pada organisasi dan mutu bukan lagi pekerjaan orang lain. Suatu hal yang agak menonjol dari paradigma baru ini adalah, mutu suatu produk dikaitkan dengan harapan dan keinginan konsumen agar dengan produk tersebut,konsumen dapat terpuaskan (Consumer satisfaction).
Hal ini menyebabkan sebuah konsep baru mutu, bukan hanya pemikiran mutu dan paradigma mutu yang namun juga pengawasan mutu. Perkembangan pengawasan mutu (Quality Control) telah diidentifikasi oleh A.V. Feigenbaum (1991). Sekitar tahun 1900 pengawasan mutu masih merupakan tugas operator, kemudian beralih ke tangan foreman pada tahun 1918 dan ke tangan inspektor pada tahun 1937. Pada tahun 1960, dikenal konsep pengawasan mutu secara statistika yang disebut Statistical Quality Control (SQC). Konsep tersebut terus berkembang menjadi Pengawasan Mutu Terpadu atau Total Quality Control (TQC)( Henry, 2000). Perkembangan terbaru mengenai pengawasan mutu ini adalah Manajemen Mutu Terpadu atau Total Quality Management (TQM). Tabel 2.3 Perkembangan paradigma pengawasan mutu Tradisional Modern Inspeksi mutu membangun mutu Peningkatan biaya penghematan biaya Orientasi prosedur Orientasi proses Tanggung jawab departemen Tanggung jawab terpimpin Memenuhi kebutuhan Memenuhi dan melebihi harapan konsumen Fokus pada pabrik Fokus pada organisasi Pekerjaan orang lain Pekerjaan saya Konsep kualitas total Total Quality Management saat ini telah banyak dikenal orang. Filosofi mendahulukan kepentingan pelanggan sudah menjadi hal yang akrab di kalangan pelaku bisnis saat ini. Demikian pula dengan mengintegrasikan konsep total manajemen ini dengan kebijakan lingkungan. Upaya untuk itu telah memunculkan apa yang kemudian disebut Total Quality Environmental Management (TQEM).
Gambar 2.3 Evolusi perkembangan mutu
2.3.4 Green Design
Green design didefinisikan sebagai suatu aktifitas yang dilakukan dalam mendesain produk dengan mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh siklus hidup produk, untuk meningkatkan tingkat kompetitif, meningkatkan nilai tambah market, menurunkan biaya, atau untuk memenuhi permintaan keberlangsungan dan pengaturan lingkungan (Karlson, 2001). Tujuan utama dari green design ini adalah untuk mengurangi limbah yang dikeluarkan oleh perusahaan, memanajemen material, mencegah polusi, dan perbaikan produk.
Interaksi antara bisnis dan lingkungan adalah dalam penggunaan sumber daya alam pada setiap aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi. Interaksi ini dapat dilihat sebagai simbiosis yang menguntungkan kedua belah pihak, yaitu tidak hanya lingkungan yang menjadi sumber eksploitasi, melainkan juga mengelola dampak lingkungan yang terbentuk sebagai aktivitas bisnis.
Produk ramah lingkungan menurut Redjellyfish (2003) adalah produk organik atau modifikasi genetik dari organisme yang keseluruhan produknya mampu di daur ulang, tidak melakukan test terhadap hewan dan merupakan hasil proses produksi bersih.
Bilatos (1997), menyatakan bahwa green engineering adalah sebuah tingkatan sistem yang melingkupi produk dan proses desain dimana lingkungan menjadi sebagai tujuan utama bukan hanya batasan sederhana, lingkungan menjadi dasar pemikiran di semua aspek spesifikasi desain.
operator foreman inspection statistical
quality qontrol Total quality Control ManagementTotal Quality
Total Quality Environmental
2.3.4.1 Tujuan dari green desain Bilatos dan Basaly (1997) menyampaikan, green desain memiliki 4 tujuan utama yang menyeimbangkan antara kualitas lingkungan dan nilai ekonomi produk ketika diaplikasikan ke sebuah produk desain. Tujuan itu adalah : 1. Mengurangi Limbah
Efisisensi pemakaian bahan mengahasilkan keuntungan ekonomi, yaitu dari pengurangan biaya material, upah dan pemanfaatan limbah.
2. Managemen Material (Sumber daya)
Pengelolaan material meliputi aktivitas menggunakan material sisa yang bisa dimanfaatkan kembali sehingga memiliki nilai tambah.
Design for recycling (DFR)
Mengaplikasikan pengurangan biaya melalui pemanfaatan kembali material dan keseluruhan komponen.
Design for disassembly (DFD)
Diaplikasikan pada konfigurasi pemasangan yang memiliki biaya terendah. Material yang tidak bisa disususun dapat kembali dimanfaatkan pada produk lain.
Toxics management
Mencari material yang bebas dari racun maupun bahan kimia yang dapat mengganggu kesehatan pekerja pabrik maupun konsumen produk. Mengurangi penggunaan material berbahaya selama proses produksi yang dapat mengganggu kesehatan dan menggunakan bahan – bahan alam.
3. Mencegah Polusi
Mereduksi polusi dan emisi buangan selama proses produksi berlangsung. 4. Peningkatan Produk
Perkembangan produk, saat ini semakin memperhatikan aspek lingkungan. Inti dari produk green design adalah mengurangi limbah, metode yang lebih efisien dalam produksi, peluang strategik dalam pengembangan produk dan lingkungan yang lebih sehat.
Dengan green design akan dihasilkan produk yang ramah lingkungan (green product). Green product didefinisikan sebagai produk yang memiliki kualitas yang baik yang mampu mendukung kesehatan lingkungan dan dapat memelihara sumber daya. Kualitas yang baik, memiliki kriteria sebagai berikut : Kemampuan produk dalam mengurangi bahan beracun Kemampuan untuk digunakan kembali Efisiensi energi Material yang telah didaur ulang Desain yang mampu untuk dimanufaktur kembali Proses yang ramah lingkungan Kemampuan untuk mengurangi dampak yang berbahaya bagi lingkungan
Adapun tingkat kepentingan tiap kriteria tersebut tergantung pada penggunaan produk (Burall,1991).
BAB 3
ANALISIS PENGEMBANGAN
PRODUK
Desain mebel yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan konsumen dan trend desain. Karakter mebel Indonesia, masih menjadi kekuatan pada pengembangan produk rotan.BAB 3
ANALISIS PENGEMBANGAN DESAIN
3.1 ROTAN SULAWESI TENGGARAPotensi Daerah adalah bagian dari upaya pengembangan potensi investasi daerah yang meliputi; identifikasi seluruh potensi yang ada (what), alasan‐alasan yang menjadikan potensi‐potensi dimaksud dijadikan sebagai unggulan (why), lokasi investasi yang ditetapkan (where), dan bagaimana kebijakan‐kebijakan pusat dan daerah (who). Gambar 3.1 Potensi Rotan Sulawesi tenggara Indonesia adalah negara pemasok 80% rotan dunia Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki potensi alam rotan yang besar. Potensi sumber daya rotan memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan Kerajinan rotan memiliki pasar yang besar dan akan terus memiliki peluang pasar yang besar baik di dalam dan luar negeri Peluang untuk mendorong kegiatan dan perkembangan ekonomi masyarakat Sulawesi Tenggara
Gambar 3.2. Perajin Rotan dan pengolah rotan mentah
Prospek industri ditentukan oleh setidaknya 3 (tiga) faktor. Ketiga faktor tersebut adalah ketersediaan bahan baku, kemampuan produksi industri, dan ketersediaan konsumen potensial. Dua bagian terakhir yakni kemampuan produksi dan ketersediaan konsumen dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas hasil karya meubel rotannya. Ketersediaan sumber daya rotan di Sulawesi Tenggara adalah sebesar , Tabel 2. Produksi Kayu dan Rotan di Kabupaten dan Kota di Sultra Tahun 2012 NO KABUPATEN Kayu Gelondongan (M3) Kayu Olahan (M3) Rotan (ton) Jati Non Jati Gergajian Square Rotan Rotan
Olahan 1 Buton 604,30 12.458,58 3.450,92 ‐ 600 342 2 Muna 13.005,20 6.609,50 11.205,35 ‐ 40 ‐ 3 Konawe 246,82 4.090,65 1.429,01 ‐ 620 ‐ 4 Kolaka 52,72 21.842,21 566,51 ‐ 540 238 5 Konawe Selatan 5.548,58 2.118,65 731,37 ‐ 300 105 6 Bombana 2.276,96 118,80 ‐ ‐ 120 ‐ 7 Wakatobi ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 8 Kolaka Utara ‐ 29,28 ‐ ‐ 14 ‐ 9 Buton Utara ‐ 8.804,96 17.585,58 ‐ ‐ ‐ 10 Konawe Utara 286,79 11.693,96 ‐ ‐ ‐ ‐ 11 Kendari 225,47 164,52 3.194,22 485,74 ‐ ‐ 12 Bau‐Bau ‐ ‐ ‐ 100 ‐ JUMLAH 2012 22.246,82 67.931,10 38.162,97 485,57 2.334 685 2011 17.049,98 57.900,39 27.606,85 722,91 2.192 723 2010 7.086,77 79.157,3 28.638,90 ‐ 1.435 763 2009 7.008,08 18.797,1 10.893,19 ‐ 1.597 ‐ 2008 16.225,00 46.815,0 ‐ ‐ 1.732 ‐ Sumber: Bahan Rapat Kerjasama Penumbuhan Dan Pengembangan Industri Rotan Provinsi Sulawesi Tenggara Dengan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya Tanggal 16 September 2014
Selain itu, berdasarkan bahan rapat Kerjasama Penumbuhan Dan Pengembangan Industri Rotan Provinsi Sulawesi Tenggara Dengan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya Tanggal 16 September 2014 Di Surabaya diketahui bahwa budidaya rotan telah dimulai tahun 2014 di Kabupaten Konawe Selatan dan Buton seluas 50 Ha. Sumber benihnya diperoleh dari hutan di Kabupaten Buton. Hal ini mengindikasikan ketersediaan bahan mentah di Sulawesi Tenggara.
Gambar 3.3 Kursi buatan Inkubator Rotan Kendari
3.1.1 Proses Pengolahan Rotan
Rotan yang umumnya berbentuk bulat dapat diolah menjadi barang jadi maupun setengah jadi. Pengelolaan dalam industri rotan dilakukan dengan memproses rotan bulat tersebut menjadi bagian‐bagian rotan seperti kulit dan hati yang masing‐masing bagian tersebut kemudian diolah sesuai tujuan dan pemanfaatannya. Adapun proses pengolahan rotan adalah : pemanenan rotan pemisahan dan
Washed and sulphurized Rotan siap pakai kwalitas 2 Rotan jadi kwalitas 1 Gambar 3.4 Proses pengolahan raw material rotan (Jasni dan Nana, 1999)
Proses anyaman rotan dimulai saat rangka selesai. Rangka yang digunakan tergantung bahan bisa dari rotan, kayu maupun besi. Untuk sebuah kursi pengrajin bisa menyelesaikan dalam waktu 1 hingga 3 hari, tergantung tingkat kesulitan.
Gambar 3.5 Proses anyaman rotan
Setelah anyaman selesai, selanjutnya dilakukan proses finishing yaitu dengan mengamplas serabut pada rotan hingga halus, kemudian proses pewarnaan dan atau coating. pemilihan rotan berdasar kan ukuran peng gorengan peng gosokan pen cucian pen jemuran peng upasan pe molesan
Table 3. SWOT Rotan Sulawesi Tenggara
3.2 ANALISIS POTENSI EKSPOR
Kerajinan rotan telah memiliki pasar ekspor yang cukup besar, dan akan terus memiliki peluang pasar yang besar di luar negeri ( MM Fauzi, 2008) :
Indonesia adalah salah satu negara penghasil rotan terbesar. Karena Indonesia memiliki hutan yang luas, dan rotan hanya akan tumbuh di wilayah yang masih banyak hutannya.
Proses pembuatan produk kerajinan rotan, furniture maupun accessories, yang kebanyakan berbentuk anyaman, mengandalkan kerajinan tangan dan hanya sedikit alat atau mesin yang digunakan. Dimana orang‐orang Indonesia sudah memiliki keahliannya sejak jaman dahulu, dan terus berkembang hingga sekarang.
Tenaga kerja di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan negara‐negara maju, sehingga membuat harga produk menjadi lebih kompetitif. Hanya negara‐ negara berkembang dan memiliki bahan baku rotan yang akan selalu menjadi kompetitor Indonesia seperti Vietnam, Myanmar, Thailand dan Philipina. STRENGHT • Sumber daya melimpaH • Dukungan pemerintah • Ketersediaan workshop untuk perajin milik Pemerintah WEAKNESS • Tidak ada sumber daya manusia • Kurangnya informasi akan industry kreatif • Sparepart dan alat yang hanya ada di Pulau Jawa • Kurang nya modal • Kurangnya pengetahuan tentang pasar dan desain OPPORTUNITY • Adanya banyak kerjasama • Berkembangnya Industri kreatif • Kemudahan promosi melalui media online • Fasilitasi pemerintah THREAT • Persaingan dengan perajin luar negeri • Usaha lain yang lebih tidak beresiko
Gambar 3.6 Grafik Penjualan Furniture
Sumber : Data AMKRI (Asosiasi Mebel Kayu dan Rotan Indonesia)
Berdasarkan data dari Asosiasi mebel kayu dan rotan Indonesia, penjualan furniture Indonesia memiliki peluang ekspor yang besar. Dari grafik di atas diketahui penjualan furnitur mencapai 1, 8 milyar dolar pada tahun 2013. Sebagian besar mebel (70%) potensi ekspor adalah kayu dan sisanya adalah metal, bambu dan rotan. Sedangkan negara tujuan terbesar ekspor adalah Eropa, Amerika. Gambar 3.7. Penjualan Furniture Sumber : Data AMKRI (Asosiasi Mebel Kayu dan Rotan Indonesia) Pada tabel berikut ini, kami melakukan studi pustaka dan eksisting dengan mencari karakter mebel Indonesia yang diaplikasikan pada sebuah ruangan. Desain yang dipilih adalah yang berada di luar Indonesia, untuk membuktikan bahwa desain mebel berkarakter Indonesia diterima pasar luar negeri. Pasar dalam negeri mengikuti pasar luar negeri, sekaligus untuk mengedukasi tentang desain bagi pasar dalam negeri. Karakter mebel Indonesia, yaitu menggunakan kayu solid seperti Jati, Mahoni dan Nyatoh yang memilki
0 0.5 1 1.5 2 2012 2013 PENJUALAN FURNITURE DALAM MILYAR DOLLAR
Sales
KAYU METAL BAMBU ROTANSales
AMERIKA EROPA ASIA LAINNYAkekuatan pada tekstur, serat dan finisihing. Hal ini bisa diaplikasikan juga pada mebel dengan bahan rotan, yang memiliki kekuatan di tekstur dan fleksibilitas.
Tabel 4. Mebel Indonesia yang diaplikasikan dalam ruang
No Lokasi Foto Karakter Indonesia
1 San Pedro Hotel, Colombia Gambar 10. San Pedro Hotel, Colombia Mebel klasik dan solid Jepara, yang terpengaruh Belanda, Cina dan Arab. 2 Victoria Sapa Resort, Vietnam
Gambar 11. Victoria Sapa Resort, Vietnam Mebel kayu solid, yang masuk dalam langgan modern dan natural. Furnitur anyaman rotan yang didesain modern. 3 Storfodj Hotel, Norway Mebel klasik dan solid Jepara, yang terpengaruh Belanda, Cina dan Arab.
Gambar 12 Storfodj Hotel, Norway 4 Hilton, Bora ‐ Bora
Gambar 13. Hilton Bora ‐ bora
Dalam aplikasi di Holtel Hilton, furnitur yang digunakan adalah tempat tidur dengan tiang yang sering di jumpai di Indonesia dihasilkan di Jepara, Pasuruan. Serta menampilkan lemari dengan detail ukiran sederhana dan bentuk klasik Indonesia. 5 Randheli, Maldives
Gambar 14. Randheli, Maldives Kayu solid, rotan dikemas dalam nuansa modern natural.
6 Londonfoodie, UK Gambar 15. Londonfoodie, UK Rotan dengan desain klasik Indonesia ( sering dijumpai di Gresik, Pasuruan, Gorontalo, Cirebon). Kayu solid yang tidak difinishing. Berdasarkan data – data diatas, diketahui bahwa mebel rotan dan kayu memiliki pasar yang luas di mancanegara. Dan hal ini tidak menutup kemungkinan untuk membuka peluang pasar dalam negeri dengan memperbanyak promosi dan penetrasi pasar dalam negeri.
3.3 ANALISA TREND FURNITURE
Sesuai dengan data yang diperoleh tentang kesempatan pengembangan industri mebel Indonesia, hal ini berbanding lurus dengan kekuatan karakter mebel Indonesia. Karakter mebel Indonesia yang telah menjadi bagian dari trend desain furniture, yang selaras dengan langgam tradisional, etnik, ekletik dan natural modern. Berikut ini adalah website dan showroom furniture yang ada di Amsterdam yang menjual furnitur Indonesia. Gambar 3.8 Website GadoGado Furniture Sumber : www.GadoGado.Com Desain mebel yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan konsumen dan trend saat ini. Berdasarkan studi diatas diketahui bahwa karakter mebel Indonesia, masih menjadi
kekuatan dan sesuai bahkan menjadi trend pada desain Interior. Sebagaimana bisa dilihat bahwa mebel Indonesia sering digunakan pada hotel, restaurant dan fasilitas lain di dunia Internasional. Berdasarkan studi pustaka dan pengamatan trend desain saat ini bisa disimpulkan bahwa,
HUMAN (sesuai dengan kebutuhan manusia)
Menyesuaikan dengan kebutuhan manusia dan lebih spesifik pada kebutuhan pengguna desain tersebut. ( Studi pengguna, Studi ergonomi) Gambar 3.9. Ilustrasi kebutuhan pengguna Sumber : Materi pelatihan pengembangan desain furniture (rucitra, 2014) HUMBLE(sedehana) Desain, kekuatan bentuk lebih sederhana tanpa banyak ornamentasi atau pengolahan bentuk yang berlebihan. ( Studi bentuk ) Gambar 3.10 Houdini, Stefan Diaz Sumber : Materi pelatihan pengembangan desain furniture (rucitra, 2014)
HOMEY (suasana kenyamanan rumah, cozy dan comfort) Desain yang berkarakter lokal, bentukan yang sederhana serta dapat membuat pengguna merasa nyaman dan santai. Gambar 3.11 Mebel dan ruang Sumber : Materi pelatihan pengembangan desain furniture (rucitra, 2014) HONEST (bahan – bahan yang menggunakan nilai kejujuran, material alami) Menonjolkan kekuatan bahan yang ada, mengurangi penggunaan finishing. Gambar 3.12. Memanfaatkan kekuatan bahan Sumber : Materi pelatihan pengembangan desain furniture (rucitra, 2014) HANDMADE (buatan tangan) Semua mebel Indonesia, dikerjakan dengan tangan sehingga originalitas karya terjaga.
3.4 ANALISIS KARAKTER SULAWESI TENGGARA
Pendekatan analogi/morfologi terhadap ciri khas Sulawesi Tenggara, beberapa karakter khas yang diambil adalah pakaian adat, rumah adat, motif tenun, perhiasan, hewan, alat music, kekuatan bahan rotan dan tarian. Berdasarkan teori analogi dan morfologi bentukan yang diambil hanya siluet dasar yang kemudian dikembangkan dengan filosofi produk masing – masing. Berikut adalah penerapan pendekatan morfologi
Gambar 3.13. Morfologi karakter desain
Dari analisa tersebut terdapat 5 konsep dasar bentuk untuk produk khas Sulawesi Tenggara yang menjadi dasar dari perubahan bentuk.
3.5 ANALISIS KUALITAS PRODUK
Analisis kualitas produk bisa melalui beberapa cara. Merujuk dari tulisan “Pengembangan Produk Kursi Rotan dengan metode GQFD” (Rucitra,2010) tahapan ini diawali proses pengumpulan data, yaitu mengumpukan data atribut produk kerajinan rotan, berdasarkan kebutuhan dan keinginan konsumen (VoC). Untuk membangkitkan VoC dilakukan melalui survey terhadap konsumen dan FGD dengan para ahli. Pengumpulan data kualitatif adalah cara untuk mengetahui respon spesifikasi teknis dari produk IKM dan pengumpulan suara pelanggan. Cara yang dilakukan adalah melalui wawancara kepada konsumen, buyer dan pengrajin.
a. konsumen, mengetahui karakter spesifikasi produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.
b. buyer, mengetahui hal – hal yang menjadi prioritas buyer dalam memilih produk. Dan selera pasar luar negeri.
c. Pengrajin, dilakukan untuk mengetahui kendala dan kebutuhan pengrajin sehingga dapat dilakukan perbaikan fasilitas.
d. Supplier bahan baku, untuk mengetahui kendala yang dialami supplier dalam penyediaan bahan baku dan pengelolaannya.
Tabel 5. Atribut produk yang diinginkan oleh konsumen
PRIMER SEKUNDER PARAMETER
Kenyamanan Ergonomis Dimensi kursi Finishing yang halus teknik amplas dan cat
Kekuatan Tidak cepat Jebol Jenis anyaman flat atau salsa yang menempel kuat pada rangka Warna tidak cepat pudar Cat semprot, pemakaian pengawet
dan warna alami rotan Rangka kokoh Konstruksi rangka Fitur Ramah lingkungan Alternatif material
Tidak lapuk oleh insect dan jamur Penggantian material Ringan Rangka dan material yang ringan Estetika Desain terkini Mengikuti trend desain
Perpaduan material Komposisi antar material, pemilihan ekspos rangka atau
anyaman
Sambungan yang rapi dan kuat Kerapian bending, paku/las Perpaduan warna Warna rotan alami Kemudahan Kemudahan pengiriman Pembungkusan, loading capacity
Harga yang murah Menurunkan harga
Respon teknis terhadap parameter fungsi, Reliability, target Value yang dicapai di defenisikan memaluk substitute quality characteristiq (SQC) atau technical response. Tabel 6. Respon Teknis No Respon teknis 1 Ukuran dan bentuk sesuai ergonomi 2 Finishing 3 Pemilihan material rangka dan anyaman 4 Pemilihan konstruksi rangka 5 Material yang ramah lingkungan dan aman bagi manusia dan lingkungan 6 Pengolahan raw material rotan dan finishing 7 Desain bentuk yang menarik 8 Sambungan rangka 9 Harga jual diturunkan 3.5.1 House of Quality
Hasil perhitungan ini kemudian diringkas kedalam sebuah matriks House of Quality yang berisi relationship matrix, technical correlation dan technical matrix. Dari perhitungan akan diperoleh target untuk respon teknis, sebagai masukan dalam mendesain produk rotan nantinya.
Gambar 3.14. House of Quality
3.5 PERHITUNGAN LIFE CYCLE ASSESMENT PRODUK ROTAN
Tujuan dari LCA adalah melakukan evaluasi atas konsep produk. Adapun ruang lingkup LCA produk ini adalah seluruh siklus hidup produk mulai dari pengadaan material hingga sampai di tangan konsumen. Life Cycle dari produk rotan dimulai dari pengambilan material rotan di hutan, hingga produk sampai di tangan konsumen. Gambar 3.15 Proses produksi rotan dan pencemarannya Dengan memperhatikan aspek ramah lingkungan, semua produk dalam bank desain ini akan memperhatikan dan mengurangi dampak bagi lingkungan. Konsep pengembangan produk dengan mengamati aspek lingkungan (design for the environment) memiiki konsep yang sama dengan Life Cycle Assesment. Yaitu dengan memperhatikan dampak lingkungan disemua aspek produksi. Untuk meraih sustanaibility produk, perlu melakukan evaluasi produk yang memiliki dampak lingkungan yang kecil. LCA mengevaluasi dampak lingkungan yang berhubungan dengan aktifitas industri mulai dari material tersebut diambil dari bumi sampai material tersebut kembali ke bumi (cradle to grave) (Puji Astuti, 2004).
Gambar 3.16 daur produk 3.6 Sketsa Desain Berikut adalah sketsa desain, setelah memperhatikan semua aspek yang tertulis diatas.
Gambar 3.17 sketsa sketsa desain 3.7 JENIS PRODUK
Perabotan rotan dan kayu masih menjadi komoditas utama kerajinan di Indonesia. Rotan, kayu dan ukiran menjadi warisan budaya Indonesia. Di tangan para perajin, rotan bisa menjadi bahan baku yang flexible menjadi berbagai barang jadi untuk
beragam keperluan. Bukan hanya batang rotan yang utuh yang dapat digunakan, serpihan atau limbah rotan yang tak terpakai untuk mebel pun bisa digunakan untuk membuat berbagai barang dari yang fungsional sampai pajangan. Berdasarkan studi kebutuhan konsumeen. Mebel rotan masih mendominasi. Tabel 7. Jenis Produk No Jenis Produk 1 Kursi 2 Kerajinan 3 Toys 4 Daybed 5 Sofa Set 6 Lampu 7 Sketsel 8 Nakas 9 Rak Penyimpanan 10 Tempat Tidur
BAB 4
BANK DESAIN
Berdasarkan studi kelayakan pasar yang didukung dengan berkembangnya jaman yang semakin modern, maka akan terbentuk ide desain baru yang sesuai. Tidak hanya mampu bersaing secara lokal, namun secara global yang memiliki nilai jual lebih tinggi daripada hasil rotan dijual sebagai bahan mentahan saja.BAB 4
BANK DESAIN
Gambar 4.1 Cover Bank Desain Bank Desain adalah katalog yang berisi desain – desain rotan yang menjadi panduan bagi IKM dan stakeholder dalam proses produksi maupun sebagai alat bantu penjualan. Desain 1, KomaliDesain 2, Buton Desain 3, Moramo ( Stacking Basket) Desain 4, Muna Horse
Desain 5, Roesa Desain 6, Mense Desain 7, Khatulistiwa
Desain 8, Rumahku Desain 9, Gambus Desain 10, Holding Tight
Desain lainnya akan kami sampaikan dalam lampiran berupa katalog desain yang berisi 30 desain Produk rotan Sulawesi Tenggara konsep produk dan ukurannya. Berikut adalah salah satu panduan dimensi yang termasuk dalam katalog produk.
BAB 5
PENUTUP
Pengembangan desain tersebut berkaitan dengan sejumlah faktor penting yang kemudian dijadIkan variable dalam penelitiannya. Variabel tersebut adalah keindahan, karakter Sultra, kekuatan dan kelayakan jualnya. Sentra industri kecil rotan dan inkubator diharapkan akan dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai acuan desain untuk memajukan usahanya.
BAB 5
PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan hasil rekomendasi perbaikan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya sebagai penyelesaian dalam masalah pengembangan produk rotan di Sulawesi Tenggara. Selain itu juga diberikan beberapa saran untuk kelanjutan penelitian berikutnya.
5. 1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Bank desain inovatif ini harus sampai kepada inkubator usaha dan IKM
2. Pengembangan desain inovatif produk rotan Sulawesi Tenggara telah memenuhi kualitas yang diinginkan oleh konsumen
3. Dampak lingkungan material rotan dapat dikurangi dengan pengolahan sumber daya yang baik dan memanfaatkan teknologi.
4. Bank desain inovatif produk rotan memperhatikan, kemudahan produksi, karakter rotan sulawesi tenggara, ciri khas Sulawesi Tenggara, dampak lingkungan, kemudahan pengiriman dan yang terakhir faktor biaya.
5.2 Saran
Adapun saran – saran agar penelitian ini bermanfaat bagi penelitian selanjutnya maupun pengembangan IKM adalah :
1. Perlu adanya pelatihan tentang wawasan desain dan pengetahuan material serta proses yang terkini kepada IKM, agar IKM dapat meningkatkan kualitas produknya. 2. Pengembangan IKM Rotan adalah tanggung jawab semua pihak baik pemerintah,
swasta maupun institusi pendidikan
3. Perlu adanya paten untuk melindungi desain produk tersebut 4. Memperbanyak promosi produk
5. Meningkatkan motivasi masyarakat akan peluang di Industri rotan
6. Bagi peneliti selanjutnya produk yang dibandingkan mulai dari cradle to grave, harus diteliti secara seimbang.