• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI PENGOLAHAN LADA SEMIMEKANIS DAN DIVERSIFIKASI PRODUK MENGHADAPI PERSAINGAN PASAR DUNIA 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEKNOLOGI PENGOLAHAN LADA SEMIMEKANIS DAN DIVERSIFIKASI PRODUK MENGHADAPI PERSAINGAN PASAR DUNIA 1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI PENGOLAHAN LADA SEMIMEKANIS

DAN DIVERSIFIKASI PRODUK MENGHADAPI

PERSAINGAN PASAR DUNIA

1)

Risfaheri

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bangka Belitung Jalan Mentok km 4, Pangkalpinang 33134 Telp. (0717) 421797, 422858 Faks. (0717) 421797,

e-mail: bptp-babel@litbang.deptan.go.id Diajukan: 8 Agustus 2011; Disetujui: 24 Oktober 2011

1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 29 November 2010

di Bogor.

ABSTRAK

Komoditas lada memiliki peran penting sebagai sumber devisa, penyedia lapangan kerja, dan sumber pendapatan petani. Meskipun lada telah dikembangkan sejak penjajahan Belanda, sampai saat ini pengolahan lada masih dilakukan secara tradisional. Permasalahan dalam pengolahan lada adalah: (1) produk lada sering terkontaminasi mikroba, terutama Salmonella dan Escherichia coli, serta berbau lumpur, busuk, dan apek (off-flavor); dan (2) membutuhkan banyak tenaga dan kurang efisien sehingga meningkatkan biaya produksi. Situasi pasar lada dunia yang semakin kompetitif dan meningkatnya persyaratan mutu, terutama yang berkaitan dengan keamanan pangan, memerlukan dukungan teknologi pengolahan. Penerapan teknologi pengolahan lada semimekanis dan good manufacturing practices dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan mutu produk sehingga memperkuat daya saing lada Indonesia di pasar internasional. Pengembangan diversifikasi produk lada baik vertikal maupun horizontal akan meningkatkan nilai tambah dan memperluas pasar. Dukungan kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk mempercepat penerapan teknologi pengolahan lada dan diversifikasi produk oleh petani dan pelaku usaha, terutama kemudahan mengakses sumber permodalan, pemberian insentif, dan fasilitasi promosi bagi petani dan pelaku usaha yang akan menerapkan teknologi tersebut.

Kata kunci: Lada, teknologi pengolahan, diversifikasi produk, persaingan pasar

ABSTRACT

Semi-Mechanical Pepper Processing Technology and Product Diversification for Dealing World Pepper Market Competition

Pepper has a vital role as a source of foreign earner, employment provider, and source of farmers’ income. Although pepper has been developed since the Dutch colonial, pepper processing is still done traditionally. Problems encountered in pepper processing are: (1) pepper products are often contaminated by microbes, especially Salmonella and Escherichia coli, and have mud, rotten, and musty odor (off-flavor); and (2) requires much labors and less efficient, thereby affecting the cost of production. World pepper market which is increasingly competitive and increasing quality requirements, especially those related with food safety, need a processing technology support. Application of

(2)

semi-PENDAHULUAN

Komoditas lada memiliki peran penting sebagai sumber devisa, penyedia lapangan kerja, dan sumber pendapatan petani. Komoditas ini telah dikembangkan sejak masa penjajahan Belanda, dan pada waktu itu memberikan kontribusi 65% terhadap total keuntungan yang diperoleh VOC (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) (Purseglove et al. 1981; Balittri 2009).

Perkebunan lada tersebar di 29 provinsi dengan luas area 191,54 ribu hektar dan produksi 84,51 ribu ton. Sekitar 52% area perkebunan lada terdapat di Lampung dan Bangka Belitung, sisanya di provinsi lain, terutama Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara yang merupakan sentra produksi baru. Sebagian besar perkebunan lada merupakan perke-bunan rakyat yang melibatkan sekitar 339 ribu kepala keluarga (KK) atau sekitar 1,69 juta jiwa keluarga petani (Ditjenbun 2009). Sebelum tahun 1990, produksi lada dunia didominasi oleh Indonesia, India, Brasil, dan Malaysia. Vietnam muncul sebagai salah satu negara baru pengekspor lada sejak tahun 1990, dan pada tahun 1995 Vietnam menduduki peringkat keempat. Ekspor lada Indonesia mencapai puncak-nya pada tahun 2000. Pada saat itu Indo-nesia tercatat sebagai pengekspor terbesar dengan volume 67.000 ton atau senilai US$231,8 juta. Kemudian ekspor lada

Indonesia terus menurun, dan dalam beberapa tahun terakhir kembali membaik dengan volume ekspor 52.400 ton pada tahun 2008 (Ditjenbun 2009). Sejak tahun 2001, Vietnam tercatat sebagai negara pengekspor lada terbesar, dengan volume ekspor rata-rata 89.980 t/tahun (Brazilian Peppertrade Board 2010).

Meskipun lada telah dikembangkan sejak lama, sampai saat ini pengolahannya masih tradisional sehingga tidak efisien dan berisiko terkontaminasi mikroba. Selain itu, produk lada yang dipasarkan masih dalam bentuk produk primer se-hingga nilai tambahnya rendah. Dalam menghadapi pasar lada dunia yang semakin kompetitif dan meningkatnya persyaratan mutu, terutama dalam aspek keamanan pangan, perlu upaya perbaikan teknologi pengolahan dan diversifikasi produk lada. Pemikiran untuk menghadapi persaingan pasar lada dunia perlu di-landasi oleh hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan aspek teknologi peng-olahan dan diversifikasi produk.

KERAGAAN PENGOLAHAN DAN PERMASALAHAN LADA

Komoditas lada Indonesia dipasarkan dalam bentuk lada hitam dan lada putih. Umumnya produk lada tersebut diekspor dalam bentuk curah.

mechanical processing technologies and good manufacturing practices reduced production costs and improved product quality, which in turn strengthen the competitiveness of Indonesian pepper in the world market. Development of product diversification, either vertically or horizontally, will increase the value-added and expand the market. Supports of government policies are required to accelerate the application of pepper processing technology and product diversification by farmers and entrepreneurs, especially in the aspects of ease of access to funding sources, incentives, and facilitation of promotion for farmers and businessmen who will implement these technologies.

(3)

Pengolahan Lada di Tingkat Petani

Produk lada hitam diolah dari buah lada yang belum masak (umur 7-8 bulan), sedangkan lada putih diolah dari buah yang telah masak (umur 8-9 bulan). Pada pengolahan lada hitam, kulit buah di-pertahankan utuh. Buah lada yang akan diolah dipisahkan dari tangkainya de-ngan cara diinjak-injak, yang memerlukan banyak tenaga. Selama pengolahan terjadi perubahan warna buah lada secara enzi-matis dari hijau tua menjadi hitam (Hidayat

et al. 1993; Risfaheri et al. 1993). Di

bebe-rapa tempat, setelah dipanen buah lada diperam beberapa hari untuk memudahkan pelepasan buah dari tangkainya dan mem-percepat proses pembentukan warna hitam (enzymatic blackening) sebelum dike-ringkan. Pemeraman yang tidak terkontrol menimbulkan bau apek (off-flavor) pada lada hitam akibat ditumbuhi kapang (Hidayat et al. 1993; Risfaheri et al. 1993). Pada pengolahan lada putih, kulit buah dilepaskan dari bijinya dengan cara di-rendam di dalam air (kolam, selokan atau sungai) selama 12-14 hari agar kulit buah membusuk dan lunak. Kulit lalu dilepaskan dengan cara diinjak-injak, kemudian biji lada dicuci dan dikeringkan. Masalah yang sering ditemukan adalah kontaminasi oleh mikroba patogen, berkurangnya aroma lada, dan timbulnya bau busuk dan lumpur (off-flavor) akibat perendaman yang terlalu lama (Risfaheri et al. 1993; Nurdjannah et

al. 2000b; Risfaheri dan Nurdjannah 2000).

Penanganan Lada di Tingkat Eksportir

Mutu lada hasil pengolahan di tingkat petani umumnya masih rendah. Di tingkat

pedagang pengumpul, lada disortasi dan dikeringkan lagi untuk menyeragamkan mutunya, sebelum dikirim ke eksportir. Penanganan di tingkat eksportir meliputi pencucian, pengeringan, sortasi, grading, dan pengemasan agar mutu produk lada memenuhi persyaratan ekspor. Selain mengacu pada standar internasional (ISO), mutu lada juga harus memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh negara pengimpor (Risfaheri dan Hidayat 1997; Somantri et al. 1997).

Sebagian besar lada hitam diekspor ke Amerika Serikat, sedangkan lada putih ke Eropa. Lada yang diekspor ke Amerika Serikat harus memenuhi persyaratan

American Spice Trade Association

(ASTA) dan United States Food and Drug

Administration (US FDA), sedangkan

yang diekspor ke Eropa harus memenuhi persyaratan European Spice Association (ESA). Standar ISO lebih menekankan aspek fisik dan kimia, sedangkan persya-ratan ASTA pada aspek kebersihan. Per-syaratan US FDA dan ESA lebih menekan-kan pada aspek keamanan pangan, seperti kandungan total mikroba, mikroba pa-togen, kandungan logam berat, dan residu pestisida.

Permasalahan Mutu dan Efisiensi Pengolahan

Kontaminasi Mikroba

Masalah utama yang sering diklaim im-portir Eropa terhadap produk lada Indo-nesia adalah tingginya kadar kotoran dan kontaminasi mikroba (Putro 2001). Hasil analisis contoh lada dari Lampung dan Bangka menunjukkan hampir semuanya terkontaminasi Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang melampaui

(4)

batas maksimum (Nurdjannah 1999). Kandungan total mikroba berkisar antara 12-70 x 108 cfu/g, jauh lebih tinggi di atas

persyaratan International Pepper

Com-munity (IPC), maksimum 5 x 104 cfu/g

(Abdullah dan Nurdjannah 2005). Produk lada putih dari Indonesia sering diklaim oleh US FDA karena terkontaminasi

Salmonella spp. dan E. coli. Dari 83 klaim

impor lada dari berbagai negara pada periode Agustus 2003 sampai Juli 2004, 94% disebabkan oleh Salmonella (IPC 2004).

Kontaminasi Bau

Pemeraman untuk mempercepat proses

enzymatic blackening pada pengolahan

lada hitam secara tradisional sering tidak terkontrol sehingga menimbulkan bau apek (off-flavor) pada produk yang dihasilkan (Risfaheri dan Nurdjannah 2000). Bau apek tersebut disebabkan oleh senyawa 2-isopropil-3-metoksirazin dan 2,3-dietil-metilpirazin yang terbentuk akibat aktivitas kapang (Jagella dan Grosch 1999).

Perendaman yang terlalu lama pada pengolahan lada putih sering menimbulkan bau busuk dan lumpur (off-flavor) serta berkurangnya aroma lada karena hilangnya sebagian minyak atsiri. Bau busuk dan lumpur tersebut disebabkan oleh senyawa 3-metilindol, 4-metilfenol, dan asam butanat yang terbentuk selama peren-daman (anaerobic retting). Selama penyimpanan, terutama dalam bentuk lada bubuk, bau busuk dan lumpur tersebut meningkat karena laju penguapan aroma lada lebih cepat dibandingkan dengan komponen bau tersebut (Steinhaus dan Schieberie 2008).

Efisiensi Pengolahan

Pengolahan lada secara tradisional kurang efisien karena membutuhkan tenaga yang banyak, terutama pada tahap perontokan (lada hitam) dan pengupasan kulit (lada putih). Kontribusi biaya perontokan ter-hadap biaya pengolahan lada hitam men-capai 50% karena kemampuan perontokan secara tradisional sangat rendah, berkisar antara 40-50 kg/jam/orang.

Pada pengolahan lada putih dibu-tuhkan perendaman selama 12-14 hari untuk melunakkan kulit sebelum buah dikupas. Kontribusi biaya pengupasan terhadap biaya pengolahan lada putih mencapai 80% karena kemampuan peng-upasan secara tradisional sangat rendah, hanya 100 kg/hari/orang (Risfaheri et al. 2009).

TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN DIVERSIFIKASI PRODUK

Dalam menghadapi persaingan pasar du-nia diperlukan dukungan teknologi untuk mengatasi permasalahan pengolahan lada secara tradisional maupun untuk diver-sifikasi produk. Teknologi pengolahan lada yang dikembangkan merupakan teknologi semimekanis dengan meman-faatkan alat atau mesin pada sebagian tahap prosesnya sehingga dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan mutu produk.

Teknologi Pengolahan Lada Hitam Semimekanis

Untuk mengatasi permasalahan peron-tokan lada secara tradisional telah

(5)

dikem-bangkan berbagai tipe mesin perontok, seperti mesin perontok bertenaga manusia (MPTMn) kapasitas 150-200 kg/jam, dan mesin perontok bertenaga motor (MPTM) kapasitas 650-750 kg/jam (Hidayat dan Risfaheri 1992; Risfaheri et al. 1992a; Risfaheri dan Hidayat 1996, 1999; Hidayat

et al. 2001). MPTMn merupakan hasil

penelitian yang terpilih sebagai salah satu finalis teknologi unggulan pada pemi-lihan peneliti muda Indonesia LIPI-TVRI tahun 1992, sedangkan MPTM telah didaftarkan di Ditjen HAKI No. S-00200 200131 atas nama inventor Tatang Hidayat, Risfaheri, dan Nanan Nurdjan-nah.

Penggunaan kedua mesin perontok tersebut mampu mengurangi biaya peron-tokan sebesar 50-70%, dari Rp150/kg pada perontokan secara tradisional menjadi Rp50-75/kg. Penggunaan mesin perontok memungkinkan buah lada yang baru di-panen langsung dirontok dari tangkainya, sedangkan pada perontokan secara tra-disional, buah lada biasanya diperam terlebih dahulu 1-2 hari agar buah mudah dilepas dari tangkainya.

Perubahan warna hijau menjadi hitam pada pengolahan lada hitam disebabkan oleh reaksi oksidasi enzimatis terhadap substrat polifenol yang terdapat pada kulit buah lada (Narayan 2000). Perendaman buah lada dalam air panas suhu 80oC

(blanching) selama 2,5-5 menit pada skala percobaan (Risfaheri dan Hidayat 1994) dan 7-10 menit pada skala operasional (Risfaheri 2009) meningkatkan aktivitas enzim polifenol oksidase. Produk lada hitam yang dihasilkan memiliki warna atraktif dan seragam (Mangalakumari et al. 1983).

Blanching menyebabkan hilangnya turgor dan memengaruhi permeabilitas

selaput sel sehingga meningkatkan laju

pengeringan (Lewicki 2006). Perlakuan

blanching dapat menghemat waktu

pengeringan 30%. Pengeringan dengan penjemuran yang biasanya membutuhkan waktu 5 hari dapat diperpendek menjadi 3 hari, sedangkan dengan menggunakan mesin pengering dari 31 jam dapat di-persingkat menjadi 21 jam (Risfaheri dan Hidayat 1994; Risfaheri dan Nurdjannah 2000; Risfaheri 2009).

Blanching dapat mencegah timbulnya

bau apek, meningkatkan aroma lada, dan meminimalkan kandungan kotoran, bahan asing, dan kontaminasi mikroba. Produk lada hitam yang dihasilkan memiliki aroma yang lebih kuat dibandingkan lada hasil pengolahan secara tradisional. Tingkat cemaran mikroba berada di bawah ambang batas (5 x 104 cfu/g) dan lada bebas dari

bakteri patogen.

Inovasi teknologi pengolahan lada hitam tersebut telah diterapkan pada pilot percontohan di Lampung, Kalimantan Timur, dan Sri Lanka bekerja sama dengan FAO dan IPC. Berdasarkan penilaian eksportir di Bandar Lampung, mutu lada hitam di tingkat petani yang menggunakan teknologi ini telah memenuhi standar ASTA (Risfaheri 2009; Risfaheri et al. 2009).

Teknologi Pengolahan Lada Putih Semimekanis

Introduksi mesin perontok dan pengupas kulit dapat mempersingkat waktu peren-daman dari 12-14 hari menjadi 5-6 hari. Mesin perontok diperlukan untuk memi-sahkan buah lada dari tangkainya se-hingga memudahkan perendaman dan pengupasan. Pemanfaatan mesin peng-upas memungkinkan buah lada dikpeng-upas pada kondisi kulit tidak terlalu lunak

(6)

sehingga waktu perendaman dapat diper-singkat. Terbentuknya bau busuk dan lumpur (off-flavor) dapat dicegah, dan kandungan minyak atsirinya dapat diper-tahankan. Pada umumnya senyawa

off-flavor mulai terbentuk setelah 5 hari

perendaman (Hidayat et al. 1992, 2002; Steinhaus dan Schieberie 2005).

Mesin pengupas yang digunakan telah mendapat paten dari Ditjen HAKI No. ID 0 000 885S pada tahun 2008 atas nama inventor Risfaheri, Tatang Hidayat, dan M. Pandji Laksmanahardja. Teknologi ini dapat menghemat biaya pengupasan sebesar 60%. Biaya pengupasan lada secara tradisional yang mencapai Rp500/ kg, dapat diturunkan menjadi Rp200/kg dengan teknologi semimekanis (Risfaheri

et al. 1992b; Hidayat dan Risfaheri 1994a;

Nurdjannah et al. 2000a; Hidayat dan Risfaheri 2001).

Inovasi teknologi pengolahan lada putih tersebut telah diterapkan pada pilot percontohan di Bangka, Kalimantan Timur, dan Sri Lanka bekerja sama dengan FAO dan IPC. Hasil uji coba di Kalimantan Timur dan Bangka menunjukkan bahwa kontami-nasi mikroba pada lada putih (1 x 103 cfu/g)

masih di bawah ambang batas, dan bebas dari bakteri patogen (Risfaheri 2009; Risfaheri et al. 2009).

Diversifikasi Produk

Selama ini lada hanya diolah menjadi lada hitam dan lada putih dan diekspor dalam bentuk curah. Di negara pengimpor, lada tersebut diproses lebih lanjut melalui proses sterilisasi, grading, powdering, dan

packaging menjadi produk yang siap

digunakan oleh industri makanan, rumah tangga, dan restoran.

Diversifikasi produk lada dapat dila-kukan secara vertikal maupun horizontal. Pengembangan produk lada hitam dan lada putih dalam bentuk end product (diversifikasi vertikal) memberi nilai tambah yang tinggi karena harganya dapat men-capai 10 kali harga lada dalam bentuk curah. Diversifikasi horizontal diimplementa-sikan melalui penganekaragaman produk seperti lada hijau, minyak lada, dan oleo-resin, sehingga meningkatkan nilai tambah dan memperluas pasar. Produk-produk tersebut sangat prospektif dan berpeluang dikembangkan di Indonesia karena tekno-loginya sudah tersedia dan dapat dite-rapkan pada agroindustri perdesaan atau skala usaha kecil-menengah.

Lada Hijau

Lada hijau diolah dari buah lada muda (umur 5-6 bulan) dan dalam pengolah-annya warna hijau alaminya dipertahankan dengan menghambat aktivitas enzim polifenol oksidase yang berperan dalam pembentukan warna hitam. Aktivitas enzim tersebut dapat dihambat dengan pema-nasan beberapa menit dalam air mendidih, penurunan pH dengan perendaman dalam larutan asam, dan pembekuan. Beberapa bentuk produk lada hijau adalah:

a. Lada hijau dalam larutan garam (green

pepper in brine), diperoleh melalui

pengawetan buah lada dalam larutan garam 10% dan asam sitrat 2%. b. Lada hijau kering (dehydrated green

pepper), diperoleh melalui pengeringan

terkontrol dan warna hijau diperta-hankan dengan menonaktifkan enzim polifenol oksidase.

c. Lada hijau kering beku (freeze-dried

(7)

proses pembekuan pada suhu rendah (-30 sampai -40ºC) dan tekanan vakum tinggi (5-10 microns) (Risfaheri dan Laksmanahardja 1992; Nurdjannah dan Risfaheri 1992; Pruthi 1992; Hidayat dan Risfaheri 1994b).

Lada hijau mulai memasuki pasar dunia pada tahun 1980-an. Produk ini banyak digunakan oleh industri saus dan peng-olahan daging serta aneka masakan ber-bahan daging. Nilai jual lada hijau lebih tinggi dari lada hitam dan lada putih. Harga lada hijau kering dan kering beku dari India masing-masing US$5,50 dan US$10,97/kg, lada hijau dalam larutan garam dari Madagaskar US$4,59/kemasan (212 ml), sedangkan harga lada hitam dan lada putih US$3-5/kg. Selama ini kebutuhan lada hijau di pasar dunia dipasok oleh Madagaskar, Brasil, dan India.

Minyak Lada

Minyak lada mengandung senyawa

ter-penes, seperti phellandrene, pinene, dan limonene, terutama digunakan untuk

ba-han flavor, obat, parfum, dan aromaterapi. Minyak lada diproduksi melalui proses penyulingan dengan metode uap (steam) maupun dengan uap air (dikukus). Penyu-lingan dengan cara dikukus lebih ber-peluang diterapkan di tingkat petani atau kelompok tani karena investasinya lebih murah.

Bahan baku minyak dapat meman-faatkan sisa sortasi dari pengolahan, seperti lada enteng dan menir, rendemen-nya berkisar antara 1,5-3% (Risfaheri 1990; Risfaheri dan Hidayat 1998). Harga minyak lada cukup mahal, berkisar antara US$160-198/kg, sehingga memberikan nilai tambah.

Oleoresin Lada

Oleoresin diproduksi melalui proses eks-traksi lada hitam dengan pelarut organik seperti aseton, etanol atau isopropanol. Rendemen oleoresin berkisar antara 10-13%. Oleoresin memiliki aroma dan rasa yang lebih tajam karena mengandung 15-20% minyak atsiri dan 35-55% komponen rasa pedas (piperin). Setiap 1 kg oleoresin dapat menggantikan 10 kg lada. Keun-tungan oleoresin adalah hemat dalam transportasi dan penyimpanan, pema-kaiannya dalam produk makanan dapat distandarkan, tidak memengaruhi penam-pakan dan volume produk karena pema-kaiannya sangat sedikit (Risfaheri dan Nurdjannah 2000). Harga oleoresin cukup mahal, mencapai US$35/kemasan (250 ml).

ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI

Persaingan komoditas lada di pasar dunia semakin ketat dengan munculnya negara produsen baru karena pertumbuhan per-mintaan setiap tahun menurut IPC hanya 3,5%. Di sisi lain, persyaratan mutu yang diminta negara-negara konsumen makin meningkat, terutama dalam aspek keaman-an pkeaman-angkeaman-an.

Arah Pengembangan

Permintaan lada dunia yang relatif stabil menghendaki arah pengembangan tek-nologi yang terfokus pada upaya mening-katkan efisiensi pengolahan, mutu, dan diversifikasi produk. Selain meningkatkan nilai tambah, pengembangan teknologi dapat menekan biaya produksi dan

(8)

mem-perluas pasar sehingga lada Indonesia akan menjadi lebih kompetitif di pasar internasional.

Strategi Pengembangan

Ada empat strategi yang dapat ditempuh dalam pengembangan teknologi untuk menghadapi persaingan pasar lada dunia yang semakin ketat.

Penerapan Teknologi Pengolahan Semimekanis

Pengolahan lada hitam dan lada putih yang masih tradisional perlu diperbaiki dengan menerapkan teknologi pengolahan semi-mekanis. Teknologi tersebut sebaiknya diterapkan pada skala kelompok tani atau gabungan kelompok tani (gapoktan) agar skala ekonominya terpenuhi. Pengem-bangan teknologi tersebut di tingkat pe-tani akan meningkatkan efisiensi pengo-lahan dan mutu lada sehingga mening-katkan daya saing lada Indonesia di pasar dunia.

Pengembangan Diversifikasi Produk Lada

Ekspor lada tidak hanya didominasi oleh produk olahan primer, tetapi sebagian sudah dalam bentuk end product dan produk diversifikasi, seperti lada hijau, minyak lada, dan oleoresin. Pengem-bangan diversifikasi produk akan mening-katkan nilai tambah dan memperluas pasar lada Indonesia yang selama ini hanya

mengandalkan pasar produk olahan pri-mer.

Penerapan Good Agricultural

Practices dan Good Manufacturing Practices

Dengan makin meningkatnya persyaratan mutu dan keamanan pangan di negara kon-sumen lada, pemerintah dan eksportir harus segera memperkenalkan Good

Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) kepada

petani lada. GAP dan GMP disusun dengan mengacu kepada teknologi yang telah di-hasilkan sebagai pedoman untuk mening-katkan mutu produk, terutama terkait dengan keamanan pangan.

Pembentukan Kelembagaan Usaha Pengolahan Lada di Petani Dalam rangka mempercepat penerapan teknologi pengolahan lada perlu dibentuk kelembagaan usaha pengolahan di tingkat kelompok tani atau gapoktan. Kelem-bagaan tersebut akan memudahkan petani dalam menghimpun modal sendiri maupun mengakses sumber pendanaan yang ada, seperti Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), dan per-bankan untuk investasi peralatan pengo-lahan, dan akses terhadap sumber inovasi teknologi. Adanya kelembagaan usaha memungkinkan untuk melakukan kontrak pembelian produk lada antara gapoktan dan eksportir sehingga dapat memper-pendek rantai tata niaga dan pemasaran lebih terjamin.

(9)

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Penguatan daya saing lada Indonesia da-pat dicapai melalui penerapan teknologi semimekanis untuk meningkatkan mutu dan efisiensi pengolahan yang selama ini masih dilakukan secara tradisional. Untuk menjamin mutu dan keamanan produk lada, GAP dan GMP harus diterapkan secara konsisten.

Teknologi pengolahan lada sebaiknya diterapkan pada skala kelompok tani atau gapoktan agar skala ekonominya terpe-nuhi. Pengembangan diversifikasi produk lada, baik vertikal maupun horizontal perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah dan memperluas pasar.

Implikasi Kebijakan

Dalam upaya menjalankan strategi pe-ngembangan teknologi untuk menghadapi persaingan lada di pasar dunia diperlukan implikasi kebijakan sebagai berikut: 1. Dukungan pemerintah, baik pusat

mau-pun daerah, untuk memfasilitasi pene-rapan inovasi teknologi pengolahan lada, penerapan GAP dan GMP, serta pembentukan kelembagaan usaha pengolahan lada.

2. Mempermudah akses ke sumber per-modalan dari program-program peme-rintah yang ada, seperti PUAP dan LM3, untuk memperbaiki teknologi pengolahan lada di tingkat petani. 3. Mempercepat proses diseminasi dan

adopsi teknologi pengolahan lada oleh petani dan pelaku usaha.

4. Memberikan kemudahan investasi, keringanan pajak ekspor, dan fasilitasi

promosi bagi pelaku usaha yang akan mengembangkan diversifikasi produk lada.

5. Dukungan pemerintah, baik pusat maupun daerah, khususnya di sentra produksi utama (Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara) dalam upaya meningkatkan dan memantap-kan produksi lada nasional, melalui kebijakan protektif mempertahankan pertanaman lada dan fasilitasi input produksi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. and N. Nurdjannah. 2005. Final Report of Pilot on-Farm Demon-stration of Small Scale Equipment for Improvement of Pepper Quality in East Kalimantan. International Pepper Community and Indonesian Center for Agricultural Postharvest Research and Development. p. 8.

Balitri (Balai Penelitian Tanaman Rem-pah dan Aneka Tanaman Industri). 2009. Prospek Lada. Balittri, Pakuwon, Sukabumi. http://www.balittri.litbang.-deptan.go.id. [7 Desember 2009]. Brazilian Peppertrade Board. 2010.

Vietnamese Pepper Statistics 2003-2009. http://www.peppertrade.com.br/ statsini.htm. [1 April 2010].

Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perke-bunan). 2009. Statistik Perkebunan Indonesia. Ditjenbun, Jakarta. Hidayat, T. dan Risfaheri. 1992. Rancang

bangun alat perontok lada berkapasitas sedang dengan penggerak motor lis-trik. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri 18(1-2): 23-27.

Hidayat, T., Risfaheri, dan M.P. Laksmana-hardja. 1992. Rancang bangun dan uji

(10)

coba alat pengupas lada tipe piringan. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri 17(3): 61-66.

Hidayat, T., N. Nurdjannah, dan Risfaheri. 1993. Pengeringan lada hitam dengan alat pengering tipe bak. Buletin Pene-litian Tanaman Rempah dan Obat 7(2): 5-13.

Hidayat, T. dan Risfaheri. 1994a. Peng-olahan lada putih secara mekanis dan analisis ekonominya. hlm. 10. Prosiding Simposium II Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 21-23 November 1994. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.

Hidayat, T. dan Risfaheri. 1994b. Pengaruh kondisi blanching dan sulfitasi ter-hadap mutu lada hijau dehidrasi. Pem-beritaan Penelitian Tanaman Industri 19(3-4): 43-48.

Hidayat, T. dan Risfaheri. 2001. Pengaruh diameter piringan dan elastisitas karet pengupas terhadap kinerja alat pe-ngupas lada tipe piringan. Jurnal Pene-litian Tanaman Industri 7(1): 11-17. Hidayat, T., Risfaheri, dan N. Nurdjannah.

2001. Rancang bangun alat perontok lada model aksial. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 7(2): 54-59.

Hidayat, T., Risfaheri, dan N. Nurdjannah. 2002. Pengaruh perlakuan buah lada sebelum pengupasan dan kecepatan putaran piringan terhadap kinerja alat pengupas lada yang dimodifikasi. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 13(1): 19-28.

IPC (International Pepper Community). 2004. Note on quality improvement programme at farm level. Paper presented at the 9th Meeting of the

Committee on Quality Standardization, Yogyakarta, 26 September 2004.

Jagella, T. and W. Grosch. 1999. Flavour and off-flavour compounds of black and white pepper (Piper nigrum L.). Evaluation of potent odorants of black pepper by dilution and concentration techniques. Eur. Food Res. Technol. 209: 16-21.

Lewicki, P.P. 2006. Design of hot air drying for better foods. Trends Food Sci. Technol. 17(4): 153-163.

Mangalakumari, C.K., V.P. Sreedharan, and A.G. Mathew. 1983. Studies on blackening of pepper (Piper nigrum Linn.) during dehydration. J. Food Sci. 48(2): 604-606.

Narayanan, C.S. 2000. Chemistry of black pepper. p.143-162. In P.N. Ravindran (Ed.). Medicinal and Aromatic Plants-Industrial. Harwood Acad. Publ. Nurdjannah, N. dan Risfaheri. 1992.

Pengolahan lada hijau dan penyulingan minyak lada. hlm. 138-148. Prosiding Temu Usaha Pengembangan Hasil Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, 2-3 Desember 1992. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Nurdjannah, N. 1999. Pemeriksaan mikroba pada lada hitam yang berasal dari beberapa eksportir dan petani. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Nurdjannah, N., T. Hidayat, dan Risfaheri. 2000a. Pedoman pengolahan lada putih dengan mesin. Laporan Kegiatan Kerja sama Pemda Kabupaten Bangka de-ngan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 22.

Nurdjannah, N., S. Yuliani, T. Hidayat, dan Risfaheri. 2000b. Perekayasaan per-alatan perontok, pengupas lada dan diversifikasi lada dan pala. Laporan Kegiatan Kerja sama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dengan Balai

(11)

Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Purseglove, J.W., E.G. Brown, C.L. Green, and S.R.J. Robbins. 1981. Pepper Spices. Longman, London and New York. p. 10-99.

Pruthi, J.S. 1992. Advances in sun/solar drying and dehydration of pepper. Int. Pepper News Bull. 16(2): 6-17. Putro, S. 2001. Peluang pasar rempah

Indonesia di Eropa. hlm. 25-32. Pro-siding Simposium Rempah Indonesia, 13-14 September 2001. Masyarakat Rempah Indonesia (MaRI)-Pusat Penelitian dan Pengembangan Perke-bunan.

Risfaheri. 1990. Penyulingan lada enteng dan karakteristik minyaknya. Pemberi-taan Penelitian Tanaman Industri 16(1): 38-42.

Risfaheri dan M.P. Laksmanahardja. 1992. Studi pendahuluan pembuatan lada hijau. Buletin Penelitian Tanaman Industri 4: 17-21.

Risfaheri, T. Hidayat, dan M.P. Laksmana-hardja. 1992a. Pengembangan alat pengupas lada (tipe piringan) dengan sistem pedal dan analisis ekonominya. Buletin Penelitian Tanaman Industri 3: 47-54.

Risfaheri, T. Hidayat, dan M.P. Laksmana-hardja. 1992b. Rancang bangun alat perontok lada dengan penggerak pedal. Pemberitaan Penelitian Tanaman In-dustri 17(3): 86-90.

Risfaheri, T. Hidayat, dan M.P. Laksmana-hardja. 1993. Perbaikan metoda peng-olahan lada dalam rangka peningkatan mutu dan efisiensi. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Risfaheri and T. Hidayat. 1994. Effect of

treatments prior to sun drying on black pepper quality. Int. Pepper News Bull. 18(3): 9-12.

Risfaheri and T. Hidayat. 1996. Research progress on equipment design for white pepper processing. Int. Pepper News Bull. 20(3): 23-28.

Risfaheri and T. Hidayat. 1997. Indonesian standar for pepper. Int. Pepper News Bull. 21(1): 9-12.

Risfaheri dan T. Hidayat. 1998. Diver-sifikasi hasil pengolahan hasil utama dan hasil samping lada. hlm.177-186. Prosiding Pertemuan Komisi Penelitian Bidang Perkebunan, 8-9 Oktober 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor.

Risfaheri dan T. Hidayat. 1999. Rancang bangun alat perontok lada dengan penggerak engkol untuk pengolahan lada hitam. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 5(2): 63-69.

Risfaheri and N. Nurdjannah. 2000. Pepper processing - The Indonesian scenario in black pepper. p. 355-366. In P.N. Ravindra (Ed.). Medicinal and Aro-matic Plants-Industrial. Harwood Acad. Publ.

Risfaheri. 2009. Small holder livelihood enhancement and income generation via improvement of pepper production, processing, value adding, marketing systems and enterprise diversification. Report of TCDC Engineering Con-sultant. FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok. p. 46. Risfaheri, T. Hidayat, N. Nurdjannah, dan

M.P. Laksmanahardja. 2009. Inovasi teknologi pengolahan lada. Makalah anugerah kekayaan intelektual luar biasa No. ri22059198: Bidang Teknologi Subbidang Pangan. Balai Besar Peneli-tian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. hlm.33.

Somantri, A.S., T. Hidayat, dan Risfaheri. 1997. Rekayasa teknologi alat sortasi lada tipe pneumatik. hlm. 92-104.

(12)

Prosiding Temu Ilmiah dan Ekspose Alat dan Mesin Pertanian. Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Per-tanian, Serpong.

Steinhaus, M. and P. Schieberie. 2005. Role of the fermentation process in off-odorant formation in white pepper:

On-site trial in Thailand. J. Agric. Food Chem. 53(15): 6056-6060.

Steinhaus, M. and P. Schieberie. 2008. Offflavours in pepper production -Molecular background, formation and prevention. Focus Pepper 3(1): 23-32.

Referensi

Dokumen terkait

1).Transportasi darat merupakan moda transportasi yang paling dominan yang digunakan oleh masyarakat untuk melaksanakan setiap kegiatan dari- menuju suatu tempat untuk

Dari uji validitas pengaruh di muka terlihat bahwa variabel independen yang memiliki pengaruh signifikan Neraca Pembayaran (NP) di Indonesia adalah nilai tukar (KURS),

Untuk mengetahui variabel experiential marketing X yang terdiri dari sensory experience X1, emotional experience X2 dan social experience X3 yang berpengaruh dominan terhadap

Informasi perihal aktivitas dalam sekolah ini menjadi penting karena selain dapat dipergunakan sebagai sarana untuk membagikan informasi terbaru, juga dapat menjadi

Penerimaan Diri diukur mengguanakan Skala Penerimaan Diri dengan aspek-aspek : (a) memiliki keyakinan akan kemampuan dan sikap optimis menghadapi kehidupan yaitu yakin bahwa

Dalam kurun waktu 1974-1977, kenaikan ekspor komoditi dasar padat karya Indonesia ke JAS, yang lebih lambat daripada kenaikan ekspor dunia untuk komoditi yang

27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan Hidup ini dimaksudkanagar supaya lingkungan hidup terlindungi dan terkelola dengan baik, sedangkan sasaran mikro dari

Menyimak dan mencatat hal-hal penting dari materi yang disampaikan oleh dosen.. Bertanya apabila ada materi yang