• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP MORAL DAN DONGENG KLASIK JEPANG. Kata moral berasal dari bahasa latin Mores. Mores berasal dari kata mos

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP MORAL DAN DONGENG KLASIK JEPANG. Kata moral berasal dari bahasa latin Mores. Mores berasal dari kata mos"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP MORAL DAN DONGENG KLASIK JEPANG

2.1 Defenisi Moral

Kata moral berasal dari bahasa latin Mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral dengan demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan.

Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, dan semacamnya, yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik, agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.

Moralitas juga memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.

Ada perkataan lain yang mengungkapkan kesusilaan yaitu etika. Perkataan etika berasal dari bahasa yunani: ethos dan ethikos yang berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dari W.J.S Poerwadarminto (dalam Salam 2000:2), terdapat keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang baik-buruk perbuatan dan kelakuan, sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).

Dari beberapa keterangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, yaitu memuat ajaran

(2)

tentang baik buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Penilaian itu menyangkut perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Memberikan penilaian atas perbuatan dapat disebut memberikan penilaian etis atau moral.

Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia dengan aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan manusia itu.

2.2 Prinsip- Prinsip Dasar Moral 2.2.1 Prinsip Sikap Baik

Sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap positif dan baik. Seperti halnya dalam prinsip utilitarisme, bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita, kecuali ada alasan khusus, tentunya kita harus bersikap baik terhadap orang lain.

Prinsip moral dasar pertama disebut prinsip sikap baik. Prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar bagi kehidupan manusia.

Sebagai prinsip dasar etika, prinsip sikap baik menyangkut sikap dasar manusia yang harus memahami segala sifat konkret, tindakan dan kelakuannya. Prinsip ini mengatakan bahwa pada dasarnya, kecuali ada alasan khusus, kita harus mendekati siapa saja dan apa saja dengan positif, dengan menghendaki yang baik bagi dia. Artinya, bukan semata-mata perbuatan baik dalam arti sempit, melainkan sikap hati positif terhadap orang lain, kemauan baik terhadapnya. Bersikap baik berarti, memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya sejauh

(3)

berguna bagi dirinya, melainkan menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan, dan menunjang perkembangannya (Suseno, 1989:131).

Bagaimana sifat baik itu harus dinyatakan secara konkret, tergantung pada apa yang baik dalam situasi konkret itu. Maka prinsip ini menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realitas, supaya dapat diketahui apa yang masing-masing baik bagi yang bersangkutan.

Prinsip sikap baik mendasari semua norma moral, karena hanya atas dasar prinsip itu, maka akan masuk akal bahwa kita harus bersikap adil, atau jujur, atau setia kepada orang lain.

2.2.2 Prinsip Keadilan

Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar kita bersikap baik terhadap siapa saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas, tidak hanya berlaku bagi benda-benda materiil, melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih. Kemampuan untuk memberi hati kita juga terbatas. Maka secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan itu harus dibagi. Prinsip itu adalah prinsip keadilan.

Adil pada hakikinya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Karena pada hakekatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling dasariah keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama (Suseno,1989:132).

(4)

Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan.

Secara singkat, keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk hal yang baik, dengan melanggar hak seseorang.

2.2.3 Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri

Prinsip ini menyatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk yang berakal budi (Suseno, 1989:133).

Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama, dituntut agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, atau diperbudak. Perlakuan tersebut tidak wajar untuk kedua belah pihak, maka yang diperlakukan demikian jangan membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia dapat melawan, sebab kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu tidak pernah wajar. Kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar.

Manusia juga mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri, berarti bahwa kewajibannya terhadap orang lain diimbangi oleh perhatian yang wajar terhadap dirinya sendiri.

Sebagai kesimpulan, kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada orang lain, perlu diimbangi dengan sikap yang menghormati diri kita sendiri

(5)

sebagai mahluk yang bernilai pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri.

2.3 Sikap-Sikap Kepribadian Moral 2.3.1 Kejujuran

Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap lurus. Orang yang tidak lurus, tidak mengambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan apa yang diperkirakan diharapkan oleh orang lain.

Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilai. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan.

Menurut Suseno (2010:142-143), bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: Pertama, sikap terbuka, kedua sikap fair. Dengan terbuka, tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri, sesuai dengan kenyakinan kita. Kita tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan orang lain.

Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar atau fair, ia memperlakukannya menurut standart-standart yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan

(6)

memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati atau kenyakinannya. Tetapi hanya dapat bersikap jujur terhadap orang lain, apabila kita jujur terhadap diri kita sendiri.

2.3.2 Nilai-Nilai Otentik

Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. “Otentik” berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya.

2.3.3 Kesediaan Untuk Bertanggung Jawab

Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi dasar dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita, kita merasa terikat untuk menyelesaikannya.

Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah dimana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus kita pelihara, kita selesaikan dengan baik.

Merasa bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas.

Wawasan orang yang bersedia untuk bertanggug jawab secara prinsipial tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, melainkan merasa bertanggung jawab di mana saja ia diperlukan.

(7)

Ia bersedia untuk mengarahkan tenaga dan kemampuan ketika ia ditantang untuk menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap positif, kreatif, kritis dan objektif (Suseno, 2010:146).

Dan lagi, kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta dan untuk memberikan, mempertanggungjawabkan atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melempar tanggung jawab atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada orang lain. Sebaliknya, ia bersedia untuk mengaku bertanggung jawab atas kesalahannya.

Kesediaan untuk bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin yang sudah mantap.

2.3.4 Kemandirian Moral

Jika kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat, maka kita harus memiliki sikap kemandirian moral.

Kemandirian moral berarti bahwa kita tidak pernah ikut-ikutan saja dengan berbagai pandangan moral lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaiaan dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Kita tidak sekedar meniru apa yang biasa.

Menurut Suseno (2010:147), kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat dibeli oleh mayoritas, bahwa

(8)

kita tidak akan pernah rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.

Sikap mandiri pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral.

2.3.5 Keberaniaan Moral

Keberaniaan moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah dinyakini sebagai kewajiban, sekalipun tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan. Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibuat merasa malau, dicela, ditentang atau diancam oleh banyak orang, oleh orang-orang yang kuat yang memiliki kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya disegani.

Keberaniaan moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik (Suseno, 2010:147).

Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani mempertahankan sikap yang dinyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya , dalam arti ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu.

Moral keberanian akan membuat kita merasa lebih mandiri. Yang memberikan semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah.

(9)

2.3.6 Kerendahan Hati

Keutamaan terakhir yang hakiki bagi kepribadian yang mantap adalah kerendahan hati. Kerendahan hati tidak berarti bahwa kita merendahkan diri, melainkan bahwa kita melihat diri seada kita. Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya (Suseno, 2010:148). Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya melainkan juga kekuatannya.

Dalam bidang moral kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas. Dengan rendah hati, kita betul-betul bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri.

Kerendahan hati tidak bertentangan dengan keberanian moral. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan kita sebenarnya takut dan tidak berani untuk membuka diri.

Orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betul-betul harus diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah menyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.

2.4 Prinsip Etika Moral Bushido

Bushido merupakan suatu sistem moral, sehingga etika yang terkandung adalah etika moral. Etika moral yang terdapat dalam etika moral Bushido berpusat pada konsep kemanusiaan.

(10)

Etika moral yang terkandung dalam Bushido menurut Suryohadiprijo (1982:49) meliputi kejujuran/ 真/ makoto, keberanian/ 勇/ yu, kebajikan atau kemurahan hati/ 仁/ jin, kesopanan atau hormat/ 礼/ rei, keadilan/ kesungguhan atau integritas/ 義/ gi, kehormatan atau martabat/ 名誉/ meiyo, dan kesetiaan/ 忠 義/ chungi.

2.4.1 Kejujuran/ 真/ Makoto

Kejujuran/ Makoto adalah tentang bersikap jujur kepada diri sendiri sebagaimana kepada orang lain. Artinya, bertingkah laku yang benar secara moral dan selalu melakukan hal-hal dengan kemampuan terbaik.

Kejujuran merupakan kenyakinan dalam kode etik samurai. Di dalam diri samurai tidak ada yang lebih buruk dari pada curang dalam pergaulan dan perbuatan yang tidak wajar.

Ajaran Bushido mendefinisikan kejujuran sebagai suatu kekuatan resolusi, kejujuran adalah kekuatan pasti pada setiap tingkah laku tanpa keragu-raguan. Samurai siap mati jika dianggap pantas untuk mati dan berhenti sebagai samurai jika dianggap sebagai kebenaran.

Konsep kejujuran dalam Bushido adalah pembuatan keputusan yang benar dengan alasan yang tepat. Alasan yang tepat ini adalah Giri. Giri lah yang merupaka alasan seseorang untuk memutuskan berbuat sesuatu dan bersikap dengan orang tua, kepada masyarakat luas. Menurut Nitobe (dalam Sipahutar 2007:30), kejujuran adalah sifat yang wajib dimiliki oleh samurai.

Jika seseorang memiliki sifat jujur dan berjalan di atas jalan lurus, dapat dipastikan bahwa ia seorang yang pemberani. Berani tidak saja mengacu kepada

(11)

keberanian dalam berperang tetapi juga berani menghadapi berbagai cobaan hidup.

Kejujuran di kalangan samurai merupakan etika yang tidak bisa diragukan lagi. Ia harus tegas ketika menghadapi kapan harus mati dan kapan harus membunuh, asalkan demi kebenaran yang dianutnya. Keberanian seorang samurai harus didasari oleh kejujuran serta akal sehat, tanpa kecerobohan maupun kecurangan.

2.4.2 Keberanian/ 勇/ Yu

Keberanian/ Yu merupakan kemampuan untuk mengatasi setiap keadaan dengan keberanian dan keyakinan. Keberanian ini dapat dilihat dari sikap orang Jepang dalam mempertahankan kelompoknya, mereka rela mati dalam mempertahankan ataupun membela kelompoknya. Untuk dapat membela kebenaran, diperlukan rasa keberanian dan keteguhan hati. Seorang samurai tidak dibenarkan ragu dalam melaksanakan tugasnya, jika seorang samurai ragu-ragu dalam melaksanakan suatu hal akan membuat mereka menjadi terlihat tidak mempunyai pendirian dalam mengambil keputusan ataupun dalam melaksanakan tugas.

Dalam ajaran Konfutsu, keberanian itu adalah melakukan hal yang dianggap benar. Namun keberanian itu juga dibedakan antara berani karena membela atau mempertahankan prinsip kebenaran dengan keberanian yang ada pada tingkah laku kejahatan (Napitupulu, 2007:21).

(12)

2.4.3 Kebajikan atau Kemurahan Hati / 仁/ Jin

Kebajikan/ Jin merupakan gabungan antara kasih sayang dan kemurahan hati. Prinsip ini terjalin dengan Gi dan menghindarkan samurai dari penggunaan keahlian mereka dengan congkak atau untuk mendominasi.

Simpati dan rasa belas kasihan diakui menjadi unsur tertinggi dalam kebajikan. Kebajikan merupakan semangat dalam membangun pribadi kaum samurai dan mencegah mereka berbuat sewenang-wenang.

Menurut Nitobe (dalam Sipahutar 2007:31), rasa kasih sayang yang dimiliki oleh samurai tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki rakyat biasa, tetapi pada seorang samurai harus didukung oleh kekuatan untuk membela dam melindungi.

2.4.4 Kesopanan atau Hormat/ 礼/ Rei

Kesopanan/ Rei adalah hal yang berkenaan dengan kesopanan dan prilaku yang pantas kepada orang lain. Prinsip ini berarti menghormati semua orang.

Menurut Nitobe (dalam Napitupulu 2008:22), mengatakan bahwa di Jepang penghayatan musik merdu dan sajak-sajak indah merupakan kurikulum pendidikan untuk membangun perasaan dan jiwa lembut, yang kemudian akan menggugah penghayatan terhadap penderitaan orang lain. Kerendahan hati untuk memahami orang lain adalah akar dari sikap sopan-santun.

Kemudian menurut Nitobe (dalam Sipahutar 2007:31-32), mengatakan bahwa etika kesopanan bangsa Jepang sudah di kenal di dunia. Dan sikap ini merupakan unsur kemanusiaan tertinggi dan hasil terbaik dari hubungan masyarakat. Kesopanan yang tercermin pada masyarakat Jepang bermula dari tata

(13)

cara yang bersifat rutinitas. Bagaimana seseorang harus tunduk pada teguran orang lain, bagaimana seseorang harus berjalan, duduk, mengajar dan di ajar dengan penuh kepedulian.

2.4.5 Keadilan/ Kesungguhan atau Integritas/ 義/ Gi

Keadilan/ Gi merupakan kemampuan untuk membuat keputusan yang benar dengan keyakinan moral dan untuk bersikap adil serta sama kepada semua orang tanpa memperdulikan warna kulit, ras, gender atupun usia.

Dalam melaksanakan tugasnya seorang Bushi atau samurai harus memandang sama semua golongan, hal ini juga ada agar para samurai tidak semena-mena ataupun menggunakan kekuasaan atau kekuatannya untuk hal-hal yang tidak sewajarnya.

2.4.6 Kehormatan atau Martabat/ 名誉/ Meiyo

Kehormatan/ Meiyo dicapai dengan sikap positif dalam berpikir dan hanya akan mengikuti perilaku yang tepat. Selain itu, kehormatan merupakan implikasi dari satu kesadaran hidup akan martabat individu yang berharga.

Menurut Nitobe (dalam Sipahutar 2007:32), seorang samurai yang lahir dan dibesarkan dengan nilai-nilai kewajiban dan keistimewaan profesi mereka, sadar benar bahwa kehormatan adalah kemuliaan pribadi yang mewarnai jiwa mereka. Didalam bahasa Jepang ada istilah seperti na (nama), memoku (wajah), dan guaibun (pendengaran). Istilah ini bisa diterjemahkan sebagai reputasi atau nama baik seseorang. Nama baik adalah bagian non-fisik yang tidak kelihatan dari

(14)

manusia, tetapi dapat dirasakan. Kalau hal ini tidak dijaga, maka reputasi bisa jatuh dan memberikan kesan yang tidak baik bagi orang lain.

Kehormatan bagi bangsa Jepang dinyakini sebagai suatu sensitifitas sejak anak berada dalam kandungan ibunya. Hilangnya kehormatan bagi bangsa Jepang tercermin dari rasa malu yang merupakan hukuman yang paling buruk. Kesadaran akan rasa malu menjadikan orang Jepang menolak untuk terhadap segala sesuatu yang berupa penghinaan.

Landasan filosofi yang terkandung dalam etika kehormatan ini adalah adanya yang mencerminkan kebutuhan individu terhadap penghargaan berupa hasil kerja. Dalam bushido, kehormatan bisa dicapai sejalan dengan bertambahnya usia yang mencerminkan bertambahnya pengalaman hidup dan reputasi. Reputasi ini harus dijaga dengan baik, karena reputasi yang dibangun bertahun-tahun mungkin saja bisa hancur dalam satu hari saja.

2.4.7 Kesetiaan/ 忠義/ Chungi

Kesetiaan/ Chungi merupakan dasar dari semua prinsip, tanpa dedikasi dan kesetiaan pada tugas yang sedang dikerjakan dan kepada sesama, seseorang tak dapat berharap akan mencapai hasil yang diinginkan.

Kesetiaan merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang samurai. Kesetiaan muncul dari adanya rasa solidaritas yang memunculkan rasa kebersamaan dalam kehidupan sosial untuk mempertahankan daerah atau wilayah mereka dari serangan musuh.

Kesetiaan untuk kepentingan bersama dan tuannya merupakan pemenuhan kewajiban untuk samurai untuk menaati nilai-nilai kemasyarakatan dengan cara

(15)

mengabdi sepenuhnya kepada tuan dan mewujudkan pengabdian itu dengan cara berprestasi sebaik mungkin.

Kesetiaan yang diajarkan Bushido merupakan kesetiaan seorang bushi dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh tuannya. Dalam menjalankan tugasnya ini mereka dituntut untuk tunduk terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh tuannya.

Sedangkan di dalam Konfusionisme makna kesetiaan menjadi bernuansa moral, nilai moral yang terkandung di dalamnya meliputi nilai moral sosial, yang mendasarkan ajarannya dengan adanya hubungan antara anak dengan orang tua, kakak dengan adik, antar sesama, terhadap pejabat pemerintah, dan terhadap kaisar Sipahutar (dalam Napitupulu 2008:23).

2.5 Dongeng Klasik Jepang

Dongeng disebut juga dengan cerita rakyat. Cerita rakyat Jepang adalah cerita dari folklor lisan yang lahir dan beredar di kalangan rakyat Jepang. Istilah yang digunakan di Jepang dalam literatur yang diterbitkan sesudah zaman Meiji hingga awal zaman Showa adalah minwa, mindan, atau ritan (cerita rakyat), kōhi (cerita yang ditulis di batu), densetsu (legenda), dōwa (cerita anak), otoginabashi (dongeng fantasi), dan mukashibanashi (cerita zaman dulu), dan sebagainya (http://id.wikipedia.org/wiki/Cerita_rakyat_Jepang).

Secara garis besar, cerita rakyat Jepang berdasarkan isi dan bentuk dibagi menjadi 3 kelompok: cerita zaman dulu (昔話 mukashibanshi), legenda (伝説 densetsu), dan cerita masyarakat (世間話 sekembanashi).

(16)

Mukashibanshi atau cerita zaman dahulu adalah istilah Jepang untuk dongeng klasik Jepang. Dongeng klasik Jepang memiliki lokasi cerita dan tokoh-tokoh dalam cerita yang bersifat fiktif, sedangkan waktu kejadian adalah masa lampau yang tidak dijelaskan secara pasti, biasanya bentuk tema ceritanya menunjukkan tentang kejadian ajaib dari suatu daerah, pertolongan yang diberikan kepada orang baik oleh mahluk dengan kekuatan ajaib, moral tentang kebaikan yang selalu menang melawan kejahatan, kejahatan ibu tiri, kecantikan dan keluhuran anak bungsu, kecemburuan saudara kandung yang lebih tua.

Ciri khas lain adalah kata "mukashi" atau "mukashi, mukashi" (zaman dulu kala) yang digunakan untuk kalimat pembuka. Kalimat dalam cerita sering menggunakan kata "attasōna" atau "atta to sa" yang berarti "konon" atau "kabarnya menurut orang zaman dulu". Cerita sering diakhiri dengan kalimat "Dotto harai" yang berarti "Tamat" atau "Mereka bahagia selamanya".

Mukashibanashi adalah dongeng klasik Jepang yang biasanya diceritakan pada anak-anak. Dalam buku Nihon no Minwa, Kinoshita Junji, seorang ahli folklore Jepang menjelaskan alasan mengapa cerita rakyat jenis ini disebut dengan Mukashibanashi.

Istilah Mukashibanashi yang digunakan para ahli folklore untuk menyebut cerita rakyat bukan merupakan cerita nyata, dan lahir dari daya khayal yang bersifat fiktif, diceritakan tanpa dihubung-hubungkan dengan keistimewaan suatu tempat manusia, diceritakan dengan menggunakan kata keterangan waktu yang tetap, yaitu kata mukashi, yang menunjukkan waktu yang telah lampau, biasanya diakhiri dengan kata-kata seperti shiawase ni kurashimashita (mereka hidup bahagia selamanya atau anraku ni kurashimashita (mereka hidup tenang dan

(17)

bahagia), kata-kata yang digunakan adalah kata/ bahasa kehidupan sehari-hari. Selain yang diuraikan diatas, pada bagian akhir sebuah Mukashibanashi ada pula cerita yang diakhiri dengan kata “Tosa” yang mempunyai arti “hal yang diceritaka tersebut didengar dari orang lain” Dilihat dari Jenis Mukashibanashi juga terbagi atas tiga kelompok, yaitu Doobutsu Mukashibanashi, adalah istilah Jepang untuk dongeng-dongeng binatang, Honkaku Mukashibanashi, adalah istilah untuk dongeng biasa, Waraibanashi, adalah istilah untuk lelucon.

Salah satu judul dongeng klasik Jepang adalah Momotaro. Dan beberapa judul lainnya adalah Kakek Pemekar Bunga, Kintaro, Pertarungan Monyet dan Kepiting, Gunung Kachi-kachi, Balas Budi Burung Bangau, UrashimaTaro, Patung Jizo Bertopi Bambu, Periuk Bunbuku, Issun-Bōshi, Shita-kiri Suzume.

2.6 Setting Cerita Momotaro

Menurut Brook dalam Mursini (2007:41), “latar is the physical background, element of place, in story”. “Latar adalah latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang, di dalam cerita”. Wellek dan Werren dalam Mursini (2007:41) juga mengemukakan “setting is environment demesticinterior, may be viewed as metonymic, or expression of character”. Latar adalah lingkungan alam sekitar, terutama lingkungan dalam yang dipandang sebagai pengekspresikan watak secara metominik atau metafori.

Dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setting/ latar adalah situasi tempat, ruang, dan waktu terjadinya cerita. Tercakup di dalamnya lingkungan geografis, rumah tangga, pekerjaan, benda-benda, dan alat-alat yang

(18)

berkaitan dengan tempat terjadinya peristiwa cerita waktu, suasana maupun periode sejarah.

Hudson dalam Mursini (2007:4) membagi setting/ latar cerita atas latar fisik (material) dan latar sosial. Yang termasuk latar fisik adalah latar yang berupa benda-benda fisik seperti bangunan rumah, kamar, perabotan, daerah, dan sebagainya. Latar sosial meliputi pelukisan keadaan sosial budaya, sosial masyarakat, seperti adat istiadat, cara hidup, bahasa kelompok sosial, dan sikap hidupnya yang melewati cerita. Tentunya latar membantu kejelasan jalan cerita. Dalam membahas setting/ latar cerita dongeng Momotaro ini, penulis akan menjelaskan latar tempat dan latar waktu, sebagai berikut:

a. Latar Tempat

Latar tempat menjelaskan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur-unsur yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama-nama tertentu, ataupun lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

Adapun latar tempat terjadinya peristiwa dalam dongeng Momotaro adalah sebagai berikut:

1. Bukit

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Suatu hari, pak tua pergi ke bukit seperti biasanya” (Hal.321).

2. Sungai

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Dikeluarkannya satu persatu baju-baju itu dari dalam keranjang, lalu menggosoknya di atas batu di sungai” (Hal.322).

(19)

3. Sebuah Kamar

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Istrinya lalu berlari masuk ke sebuah kamar yang kecil dan mengeluarkan dari lemari buah persik yang besar itu” (Hal.324).

4. Pulau di bawah Laut

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Nun jauh dari tempat ini ke Utara Jepang, ada sebuah pulau di bawah laut” (Hal.328).

5. Bawah Sebuah Pohon

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Maka dibukanya tasnya dan mengambil satu kue beras, lalu duduk di bawah sebuah pohon di dekat jalan untuk memakannya” (Hal.330).

6. Utara Jepang

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Aku Momotaro, dan aku sedang dalam perjalanan menaklukkan setan-setan di benteng pulau mereka di Utara Jepang” (Hal.331).

7. Lembah

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “ Aku kera yang tinggal di lembah ini” (Hal.333).

8. Ladang

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Lama-kelamaan sampailah mereka di sebuah ladang yang luas” (Hal.334).

(20)

9. Pantai Samudra Timur-Laut

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Setelah berjalan cepat setiap harinya, mereka akhirnya sampai di pantai Samudra Timur-Laut” (Hal.336).

10. Perahu

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Momotaro lalu mengambil sebuah perahu kecil, dan mereka semua naik ke perahu itu” (Hal.338) 11. Lautan

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Angin dan cuaca saat ini cukup baik, dan perahu itu meluncur layaknya anak panah melintasi lautan” (Hal.338).

12. Kastil

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Di puncak pantainya yang terjal dan menjorok ke laut ada sebuah kastil besar” (Hal.339).

13. Puncak

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Momotaro mendarat, dan berharap bias menemukan jalan masuk, berjalan menuju puncak, diikuti si kera dan si anjing” (Hal.341).

b. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Biasanya dapat dihubungkan dengan waktu faktual atau waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah.

(21)

Latar waktu pada cerita ini dimulai pada kata dahulu kala yang sebenarnya tidak faktual. Frasa ini terdapat pada halaman 321, alinea pertama yang menyatakan “dahulu kala, tinggallah seorang pak tua dan istrinya”.

Latar waktu pada cerita ini juga terdapat pada saat musim panas. Frasa itu terdapat halaman 321, alinea ketiga yang menyatakan “saat itu hampir memasuki musim panas, dan seluruh negeri terlihat sangat molek dengan hamparan rerumputan segarnya”.

Latar waktu pagi hari juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman 322, alinea pertama yang menyatakan “kedua-duanya merasa sangat bahagia di pagi itu”.

Latar waktu pada cerita ini juga terdapat pada saat matahari mulai terbenam. Frasa itu terdapat pada halaman 324, alinea pertama yang menyatakan “ pak tua akhirnya pulang begitu matahari mulai terbenam, membawa di punggungnya karung beras berisi rumput”.

Siang dan malam juga disebutkan secara simbolik pada cerita ini, yang terdapat pada halaman 326, alinea kedua yang menyatakan “mereka menangis siang dan malam atas kemalangan mereka karena tak ada anak yang bisa membantu mereka”.

Latar waktu yang menggunakan tahun juga ada digunakan, yang terdapat pada halaman 326, alinea ketiga yang menyatakan “tahun-tahun pun berlalu begitu cepatnya dan si anak tumbuh besar dan sudah berumur lima belas tahun”.

Ada juga latar waktu pada cerita ini terjadi di tengah hari. Frasa ini terdapat pada halaman 330, alinea ketiga yang mengatakan “Momotaro bergegas dalam perjalanannya sampai tengah hari”.

(22)

Latar waktu setiap hari juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman 336, alinea ketiga yang menyatakan “setelah berjalan cepat setiap harinya, mereka akhirnya sampai di pantai Samudra Timur-Laut”.

Matahari tengah terik bersinar juga disebutkan secara simbolik pada cerita ini, yang terdapat pada halaman 339, alinea pertama yang menyatakan “dan suatu hari ketika metahari tengah terik bersinar, terlihat sosok sebuah pulau dikejauhan”.

Tahun yang lebih panjang lagi digunakan juga dalam cerita ini. Hal ini terdapat pada halaman 343, alinea keempat “karena kau telah membunuh dan menyiksa orang-orang serta merampok warga kami selama bertahun-tahun”.

Itulah latar tempat dan latar waktu yang digunakan dan terdapat pada cerita dongeng Momotaro ini.

2.6 Biografi Pengarang

Yei Theodora Ozaki adalah penerjemah era awal abad ke-20 untuk dongeng-dongeng klasik Jepang. Karya terjemahannya sangat popular dan mengalami cetak ulang beberapa kali, hingga setelah akhir hayatnya.

Beliau lahir di Amerika Serikat, putri dari Baron Ozaki, salah satu dari sedikit warga negara Jepang pertama yang mendapat pendidikan di Barat. Setelah orangtuanya bercerai, Yei dan saudara-saudaranya tinggal bersama ibunya, Bathia Chaterina Morrison, hingga remaja, sebelum kemudian dikirim pulang ke Jepang bersama ayahnya.

Ketika beranjak dewasa, Yei menolak perjodohan yang diinginkan ayahnya, lalu pergi meninggalkan rumah dan menjadi guru dan sekretaris.

(23)

Bertahun-tahun kemudian, ia melakukan perjalanan antara Jepang dan Eropa sebagai bagian dari tugasnya. Pada masa-masa itulah, surat-surat untuk Yei Ozaki sering salah kirim kepada Yukio Ozaki, seorang polisi Jepang, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, tahun1904 mereka berduapun bertemu untuk pertama kalinya dan tak lama kemudian menikah.

Referensi

Dokumen terkait

Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, PGPAUD dan PGSD sejumlah 3 peserta karena akan mengajukan akreditasi dalam waktu dekat, 3 peserta tersebut dari

Penelitian Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) menunjukkan pewarna antosianin komersial dari anggur merah (enosianin) memiliki stabilitas yang lebih rendah

Bertrand Russel mendefinisikan filsafat sebagai “daerah tak bertuan” antara teologi dan ilmu pengetahuan, yang berisi spekulasi terhadap semesta, namun juga memiliki sifat

- Bahwa berdasarkan dalil-dalil Pemohon sebagaimana tercantum pada angka 4 dan 5 Posita permohonan Pemohon sebagaimana tersebut di atas, maka SANGAT BERALASAN JIKA

Pada wadah sterofoam berukuran 40 cm x 30 cm x 20 cm dapat mengangkut betutu ukuran 120-260 gram sebanyak 3 kg, atau sebanyak 17 ekor dengan

Untuk mengetahui karakteristik dari material beton kedap suara dengan pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit, semen PC, dan pasir sebagai bahan baku utamanya... 1.3

Puji syukur saya haturkan ke hadirat Tuhan YME, karena dengan karunia- Nya saya dapat menyelesaiakan tugas akhir saya yang berjudul “Tanggapan Mahasiswa Terhap

Pemerintah yang tidak masuk dalam kategori belanja Kementerian/ Lembaga, transfer daerah, subsidi, pembayaran bunga utang, dan dana desa.. Transfer