• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UPAYA PENERAPAN SAFETY BEHAVIOR DI AREA WORKSHOP P.T. TRAKINDO UTAMA CABANG JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN UPAYA PENERAPAN SAFETY BEHAVIOR DI AREA WORKSHOP P.T. TRAKINDO UTAMA CABANG JAKARTA"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

JAKARTA

Oleh : Karina Angelina NIM R0007007

PROGRAM DIPLOMA III HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010

(2)

ii

Utama Cabang Jakarta

dengan peneliti : Karina Angelina

NIM. R0007007

telah diuji dan disahkan pada tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Lusi Ismayenti, S.T., M.Kes. Drs. Hardjono, M.Si. NIP. 19720322 200812 2001

A.n. Ketua Program

DIII Hiperkes dan Keselamatan Kerja FK UNS Sekretaris,

Sumardiyono, SKM, M.Kes. NIP. 19650706 198803 1 002

(3)

iii

Utama Cabang Jakarta

dengan peneliti : Karina Angelina

NIM. R0007007

telah diuji dan disahkan pada tanggal :

Pembimbing Magang,

(4)

iv

BEHAVIOR DI AREA WORKSHOP P.T. TRAKINDO UTAMA CABANG

JAKARTA. PROGRAM DIPLOMA III HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya penerapan safety

behavior di PT. Trakindo Utama cabang Jakarta, khususnya di area workshop, serta

kesesuaian upaya penerapan safety behavior dengan standar perusahaan dan peraturan perundang-undangan yang ada.

Kerangka pemikiran penelitian ini adalah bahwa penyebab kecelakaan terbesar adalah human error hingga pada skala lebih dari 80%. Penyebab langsung (direct cause) sebagai penyebab utama berasal dari unsafe act (tindakan tidak aman) serta unsafe

condition (kondisi tidak aman). Maka dari itu kunci untuk menghilangkan kecelakaan

adalah dengan menghilangkan tindakan tidak aman, dan menerapkan safety behavior (perilaku keselamatan) sebagai pencegahan proaktif terhadap potensi bahaya di tempat kerja, bila setiap individu sudah menerapkan safety behavior maka diharapkan dapat tercipta safety culture di tempat kerja, sehingga risiko kecelakaan dapat menurun dan diharapkan dapat mencapai angka zero accident di tempat kerja.

Metode penelitian yang dipakai adalah deskriptif yaitu menggambarkan tentang upaya penerapan safety behavior di perusahaan dan membandingkannya dengan standar perusahaan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di area workshop P.T. Trakindo Utama Cabang Jakarta telah diselenggarakan upaya-upaya penerapan safety behavior berupa : observasi keselamatan kerja, safety induction, toolbox meeting, safety talk, CIM ideku, lomba K3L, personal SHE performance award, sistem work permit, safety

training, working instruction dan pemasangan safety sign dengan baik sesuai dengan

standar perusahaan dan peraturan perundangan yang berlaku. Saran yang diberikan adalah meningkatkan upaya penerapan safety behavior secara keseluruhan agar tercipta safety culture yang interdependen dan dapat mengurangi angka kecelakaan secara nyata.

Kata kunci : Safety behavior, upaya penerapannya Kepustakaan : 15, 1987-2010

(5)

v

memberikan begitu banyak kelimpahan rahmat, hidayah serta karunia yang tidak terhingga nilainya sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan laporan khusus dengan judul : “Gambaran Upaya Penerapan Safety Behavior di Area

Workshop P.T. Trakindo Utama Cabang Jakarta”

Laporan penelitian ini disusun sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan gelar Ahli Madya pada Program Diploma III Hiperkes dan Keselamatan Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Disamping itu praktek kerja lapangan ini dilaksanakan untuk menambah wawasan guna mengenal, mengetahui, dan memahami mekanisme serta problematika dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja yang ada di dunia kerja yang sesungguhnya.

Penulis juga menyadari bahwa dalam pelaksanaan magang sampai dengan selesainya laporan ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik berupa bimbingan, pengarahan dan motivasi sehingga telah memberikan semangat dalam proses penyusunan laporan ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., M.S., Selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

(6)

vi

3. Ibu Lusi Ismayenti, S.T., M.Kes., Selaku Dosen Pembimbing I 4. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., Selaku Dosen Pembimbing II

5. Bapak Yogo Voluntoro selaku HRD Manager yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan program magang di PT. Trakindo Utama Cabang Jakarta.

6. Bapak Bambang Wiyono, SKM selaku SHE Supervisor sekaligus pembimbing lapangan atas kesabaran dan kesediaannya meluangkan banyak waktu untuk membimbing penulis dalam melakukan praktek kerja lapangan hingga penulisan laporan umum dan khusus.

7. Seluruh keluarga besar karyawan PT. Trakindo Utama cabang Jakarta, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas segala ilmu yang sangat berharga dan bimbingan yang telah diberikan, serta penerimaan yang begitu kekeluargaan sehingga membuat penulis kerasan dalam menjalani program magang.

8. Seluruh dosen Program Studi DIII Hiperkes & KK Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan banyak ilmu yang berharga pada penulis selama 3 tahun masa perkuliahan.

9. Kedua Orang Tuaku, Ayahanda Christian Raprap dan Ibunda Nia Kurniawati, Nenek Sudarmiati tercinta, Kakek Almarhum Suharyadi Prawirodiharjo yang

(7)

vii

henti mendukung dan membimbing penulis, serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, doa, serta dukungan yang tak ternilai harganya.

10. Teman seperjuangan selama magang bersama di Trakindo, Ahmad Zaini Dahlan, terima kasih atas kerjasamanya serta dukungan dan bantuan yang selalu diberikan saat penulis mengalami kesulitan.

11. Teman-teman Program Studi DIII Hiperkes & KK Angkatan 2007 khususnya teman-teman baikku, Retno Wijayaningsih, Alvina Yanuarita C., Anastasia Dyah Ayu K., Kalpika Anis S., Tatik Madiyati, Melinda Putri, Dimas Okhy Anto P., Anton Sujarwo, terima kasih banyak atas segala dukungan yang diberikan, semoga kita semua sukses, amin.

12. Teman-teman yang selalu memberikan dorongan kepada penulis khususnya Friday Wijayanti Hafni, Frienty Fajar Septaria, Riyanto Madandan.

13. Sofan Putra Perdana dan keluarga, terima kasih banyak atas segala dukungan, bantuan, dan doa yang selalu diberikan pada penulis.

14. Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan magang dan penulisan laporan ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan yang besar kepada semua pihak yang telah banyak membantu. Penulis menyadari tidak akan bisa membalas

(8)

viii

baik materi maupun teknik penulisannya. Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna penyempurnaan laporan khusus ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya serta pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juni 2010 Penulis,

(9)

ix

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PERUSAHAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 6

B. Kerangka Pemikiran ... 41

BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 42

(10)

x

F. Analisis Data ... 43 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 45 B. Pembahasan ... 63 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA ... 75 LAMPIRAN

(11)

xi

Gambar 2. ABC Model of Behavioural Change ... 22

Gambar 3. Proses Intervensi Modifikasi Perilaku ... 25

Gambar 4. Program Behavioral Safety ... 31

Gambar 5. The Safety Triad ... 39

Gambar 6. Hubungan Injury Rates dengan Safety Culture ... 40

Gambar 7. Kartu Observasi Keselamatan ... 47

Gambar 8. Trend Temuan Observasi Keselamatan ... 47

Gambar 9. Safety Induction ... 50

Gambar 10. Toolbox Meeting di Small Component ... 52

Gambar 11. Safety Talk pekerja di Machine Bay ... 52

Gambar 12. CIM Ideku Board ... 54

Gambar 13. CIM Ideku Card ... 54

Gambar 14. CIM Ideku Meeting ... 55

Gambar 15. Lomba Fire Fighting ... 55

Gambar 16. Lomba Ketangkasan P3K ... 56

Gambar 17. First Aid Awareness ... 62

Gambar 18. Pemasangan Safety Sign di Workshop Area ... 63

(12)

xii Lampiran 2. Kartu Induksi K3LH untuk Tamu

Lampiran 3. Diagram Proses Prosedur Induksi Tamu, Pelanggan, dan Pemasok Lampiran 4. Diagram Proses Prosedur Induksi sub-Kontraktor atau Kontraktor Lampiran 5. Diagram Proses Prosedur Induksi Karyawan Baru

Lampiran 6. Peta Proses Komunikasi & Konsultasi Internal K3L Lampiran 7. Diagram Proses Surat Ijin Bekerja

Lampiran 8. Diagram Proses Pelatihan K3L dan Kompetensi Personil SHE Lampiran 9. Diagram Proses Pelatihan K3L dan Kompetensi Personil non SHE Lampiran 10. Analisa Kebutuhan Pelatihan K3L (&Matriks) untuk Personil SHE Lampiran 11. Analisa Kebutuhan Pelatihan K3L (&Matriks) untuk Personil non SHE Lampiran 12. Matriks Pelatihan K3L

Lampiran 13. Matriks Safety Induction

Lampiran 14. Flow Proses Penilaian SHE Performance Award Lampiran 15. Matriks Penilaian SHE Performance Award Lampiran 16. Form Penilaian SHE Performance Award Lampiran 17. Surat Keterangan Magang

(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan berkembangnya dunia industri, dunia kerja selalu dihadapkan pada tantangan-tantangan baru yang harus bisa segera diatasi bila perusahaan tersebut ingin tetap eksis. Berbagai macam tantangan baru muncul seiring dengan perkembangan jaman. Namun masalah yang selalu berkaitan dan melekat dengan dunia kerja sejak awal dunia industri dimulai adalah timbulnya kecelakaan kerja (Bhina Patria, 2003).

Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar bagi kelangsungan sebuah perusahaan. Kerugian yang diderita tidak hanya berupa kerugian materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah timbulnya korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya manusia ini merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah satu-satunya sumber daya yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun. Kerugian yang langsung yang nampak dari timbulnya kecelakaan kerja adalah biaya pengobatan dan kompensasi kecelakaan. Sedangkan biaya tak langsung yang tidak nampak ialah kerusakan alat-alat produksi, penataan manajemen keselamatan yang lebih baik, penghentian alat produksi, dan hilangnya waktu kerja (Bhina Patria, 2003).

Jumlah kerugian materi yang timbul akibat kecelakaan kerja sangat besar. Sebagai ilustrasi bisa dilihat catatan National Safety Council (NSC) tentang

(14)

kecelakaan kerja yang terjadi di Amerika Serikat. Di Amerika pada tahun 1980 kecelakaan kerja telah membuat kerugian bagi negara sebesar 51,1 milyar dollar. Kerugian ini setiap tahun terus bertambah seiiring dengan berkembangnya dunia industri di Amerika.

Pada tahun 1995 jumlah kerugian yang diderita oleh pemerintah Amerika sudah mencapai angka 119 milyar dollar. Pertumbuhan kerugian sebesar 67,9 milyar dollar selama 15 tahun merupakan angka yang sulit dibayangkan besarnya. Kerugian ini belum termasuk hilangnya korban jiwa yaitu setiap tahun 1 dari 10 pekerja tewas atau terluka dalam kecelakaan kerja. Di Indonesia sendiri sangat sulit menentukan jumlah angka kerugian materi yang muncul akibat dari kecelakaan kerja. Hal ini karena setiap kejadian kecelakaan kerja perusahaan bersangkutan tidak berkenan menyampaikan kerugian materi yang mereka derita. Namun menurut catatan dari Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) pada tahun 1999 terjadi 27.297 kasus kecelakaan kerja, dengan jumlah korban mencapai 60.975 pekerja. Dari sejumlah korban tersebut terdiri dari 1.125 pekerja tewas, 5.290 cacat seumur hidup dan 54.103 pekerja sementara tidak bisa bekerja.

Melihat angka-angka tersebut tentu saja bukan suatu hal yang membanggakan. Keadaan ini sangat mengganggu keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut. Tentu saja perusahaan-perusahaan-perusahaan-perusahaan tersebut tidak tinggal diam dalam menghadapi angka kecelakaan yang begitu besar. Perusahaan-perusahaan banyak mengeluarkan dana setiap tahun untuk meningkatkan keselamatan di lingkungan perusahaan agar angka kecelakaan kerja yang tinggi bisa diatasi. Dana

(15)

yang besar tersebut digunakan terutama untuk menambah alat-alat keselamatan kerja (alat pemadam kebakaran, rambu-rambu, dll.), memperbaiki proses produksi agar lebih aman dan meningkatkan sistem manajemen keselamatan kerja secara keseluruhan. Dalam beberapa tahun terakhir memang upaya tersebut bisa mengurangi angka kecelakaan kerja. Namun masih jauh untuk mencapai angka kecelakaan kerja yang minimal.

Kenyataan bahwa ternyata perbaikan yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut belum bisa menurunkan angka kecelakaan kerja seminimal mungkin membuat para ahli dibidang industri bertanya-tanya faktor apakah yang terlupakan dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja.

Suizer (1999) salah seorang praktisi Behavioral Safety mengemukakan bahwa para praktisi safety telah melupakan aspek utama dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja yaitu aspek behavioral para pekerja. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Dominic Cooper. Cooper (1999) berpendapat walaupun sulit untuk di kontrol secara tepat, 80-95 persen dari seluruh kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan oleh unsafe behavior.

Pendapat Cooper tersebut didukung oleh hasil riset dari NCS tentang penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Hasil riset NCS menunjukkan bahwa penyebab kecelakaan kerja 88% adalah adanya unsafe behavior, 10% karena unsafe condition dan 2% tidak diketahui penyebabnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh DuPont Company menunjukkan bahwa kecelakaan kerja 96% disebabkan oleh unsafe behavior dan 4% disebabkan oleh unsafe condition.

(16)

bekerja tanpa menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa ijin, menyingkirkan peralatan keselamatan, operasi pekerjaan pada kecepatan yang berbahaya, menggunakan peralatan tidak standar, bertindak kasar, kurang pengetahuan, cacat tubuh atau keadaan emosi yang terganggu (Miner,1994).

Menurut Suizer peningkatan peraturan keselamatan; safety training ; peningkatan alat-alat produksi; penegakan disiplin dan lain-lain belum cukup untuk mencegah kecelakaan kerja. Perubahan yang didapatkan tidak bisa bertahan lama karena para pekerja kembali pada kebiasaan lama yaitu unsafe behavior.

Berdasarkan acuan bahwa unsafe behavior merupakan penyumbang terbesar dalam terjadinya kecelakaan kerja maka untuk mengurangi kecelakaan kerja dan untuk meningkatkan safety performance hanya bisa dicapai dengan usaha memfokuskan pada pengurangan unsafe behavior, dan menerapkan safety

behavior di tempat kerja, yang bila diterapkan oleh seluruh pekerja maka akan

tercipta safety culture di tempat kerja.

Melalui kegiatan pemantauan di workshop P.T. Trakindo Utama Cabang Jakarta, penulis mencoba untuk memberikan gambaran mengenai upaya pengendalian angka kecelakaan dengan penerapan safety behavior melalui laporan dengan judul “Gambaran Upaya Penerapan Safety Behavior di Area Workshop

P.T. Trakindo Utama Cabang Jakarta.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah, “Bagaimana P.T.

(17)

Trakindo Utama Cabang Jakarta mengupayakan penerapan Safety Behavior di Area Workshop?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang penerapan

Safety Behavior di Area Workshop P.T. Trakindo Utama Cabang Jakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Perusahaan

Masukan sebagai bahan pertimbangan evaluasi mengenai penerapan Safety

Behavior di perusahaan serta sebagai motivasi untuk lebih meningkatkan upaya

terciptanya budaya safety berdasarkan kesadaran pekerja masing-masing di PT. Trakindo Utama Cabang Jakarta.

2. Program DIII Hiperkes dan Keselamatan Kerja

Diharapkan dapat menambah kepustakaan yang bermanfaat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peningkatan program belajar mengajar.

3. Penulis

a. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang aplikasi nyata Safety Behavior di tempat kerja.

b. Mempraktekkan ilmu keselamatan dan kesehatan kerja yang telah didapat dan dipelajari dibangku kuliah.

(18)

6 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Sumber Bahaya

Kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat menimbulkan kerugian, baik kerugian langsung maupun tidak langsung. Kerugian ini bisa dikurangi jika kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah dengan cara dideteksi sumber-sumber bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja tersebut (Syukri Sahab, 1997).

Sumber-sumber bahaya bisa berasal dari : a. Manusia

Termasuk pekerja dan manajemen. Kesalahan utama sebagian besar kecelakaan, kerugian, atau kerusakan terletak pada karyawan yang kurang bergairah, kurang terampil, kurang tepat, terganggu emosinya yang pada umumnya menyebabkan kecelakaan dan kerugian (Bennet N.B Silalahi dan Rumondang B. Silalahi, 1995). Selain itu apa yang diterima atau gagal diterima melalui pendidikan, motivasi, serta penggunaan peralatan kerja berkaitan langsung dengan sikap pimpinan (Freeport, 1995).

b. Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam suatu proses dapat menimbulkan bahaya jika tidak digunakan sesuai fungsinya, tidak ada latihan tentang penggunaan alat tersebut, tidak dilengkapi dengan pelindung dan pengaman serta tidak ada

(19)

perawatan atau pemeriksaan. Perawatan atau pemeriksaan dilakukan agar bagian dari mesin atau alat yang berbahaya dapat dideteksi sedini mungkin (Syukri Sahab, 1997)

c. Bahan

Menurut Syukri Sahab (1997) bahaya dari bahan meliputi berbagai resiko sesuai dengan sifat bahan, antara lain :

1) Mudah terbakar, 2) Mudah meledak, 3) Menimbulkan alergi, 4) Menyebabkan kanker, 5) Bersifat racun, 6) Radioaktif,

7) Mengakibatkan kelainan pada janin,

8) Menimbulkan kerusakan pada kulit dan jaringan tubuh.

Sedangkan tingkat bahaya yang ditimbulkan menurut Soeripto (1995) tergantung pada :

1) Bentuk alami bahan atau energi yang terkandung, 2) Berapa banyak terpapar bahan atau energi tersebut, 3) Berapa lama terpapar bahan atau energi tersebut.

d. Proses

Dalam proses kadang menimbulkan asap, debu, panas, bising dan bahaya mekanis seperti terjepit, terpotong atau tertimpa bahan. Hal ini dapat

(20)

mengakibatkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Tingkat bahaya dari proses ini tergantung pada teknologi yang digunakan (Syukri Sahab, 1997).

e. Cara atau sikap kerja

Cara kerja yang berpotensi terhadap terjadinya bahaya atau kecelakaan berupa tindakan tidak aman, misalnya :

1) Cara mengangkat yang salah, 2) Posisi yang tidak benar, 3) Tidak menggunakan APD, 4) Lingkungan kerja,

5) Menggunakan alat atau mesin yang tidak sesuai. f. Lingkungan Kerja

Menurut Bennett N. B. Silalahi dan Rumandaong B. Silalahi (1995), keadaan lingkungan yang dapat merupakan keadaan berbahaya antara lain : 1) Suhu dan kelembaban udara,

2) Kebersihan udara,

3) Penerapan dan kuat cahaya, 4) Kekuatan bunyi,

5) Cara dan proses kerja, 6) Udara, gas-gas bertekanan, 7) Keadaan lingkungan setempat,

(21)

2. Kecelakaan Kerja

Dalam Permenaker No. Per 03/Men/1994 mengenai Program JAMSOSTEK Pasal I Ayat 7, pengertian kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja daan pulang kerumah melalui jalan biasa atau wajar dilalui.

Dalam buku Industrial Safety, David Colling mendefinisikan kecelakaan kerja sebagai berikut: “Kejadian tak terkontrol atau tak direncanakan yang disebabkan oleh faktor manusia, situasi, atau lingkungan, yang membuat terganggunya proses kerja dengan atau tanpa berakibat pada cedera, sakit, kematian, atau kerusakan properti kerja.”

Pada dasarnya kecelakaan disebabkan oleh dua hal yaitu tindakan yang tidak aman (unsafe act) dan kondisi yang tidak aman (unsafe condition). Dari data kecelakaan didapatkan 85% sebab kecelakaan adalah faktor manusia. Oleh karena itu sumber daya manusia dalam hal ini memegang peranan penting dalam penciptaan keselamatan dan kesehatan kerja. Tenaga kerja yang mau membiasakan dirinya dalam keadaan aman dan melakukan pekerjaan dengan aman akan sangat membantu dalam memperkecil angka kecelakaan kerja (Suma‟mur, 1996).

Cara penelusuran penyebab kecelakaan sesuai dengan urutan domino yang digunakan pada cara berpikir modern dalam prinsip pencegahan kecelakaan dan

(22)

sendirinya, akan tetapi ada serangkaian peristiwa sebelumnya yang mendahului terjadinya kecelakaan tersebut. Urutan domino dapat dilihat seperti di bawah ini.

Gambar 1. Teori Domino

(Sumber : Teori Domino Heinrich: Teori Ilmiah Pertama tentang Penyebab Kecelakaan Kerja, 2010)

Dalam Teori Domino Heinrich, kecelakaan terdiri atas lima faktor yang saling berhubungan :

a. Kondisi kerja, b. Kelalaian manusia, c. Tindakan tidak aman, d. Kecelakaan,

e. Cedera.

Kelima faktor ini tersusun layaknya kartu domino yang diberdirikan. Jika satu kartu jatuh, maka kartu ini akan menimpa kartu lain hingga kelimanya akan roboh secara bersama.

(23)

Ilustrasi ini mirip dengan efek domino yang telah kita kenal sebelumnya, jika satu bangunan roboh, kejadian ini akan memicu peristiwa beruntun yang menyebabkan robohnya bangunan lain.

Menurut Heinrich, kunci untuk mencegah kecelakaan adalah dengan menghilangkan tindakan tidak aman sebagai poin ketiga dari lima faktor penyebab kecelakaan. Menurut penelitian yang dilakukannya, tindakan tidak aman ini menyumbang 98% penyebab kecelakaan.

Jika kartu nomer 3 tidak ada lagi, seandainya kartu nomer 1 dan 2 jatuh, ini tidak akan menyebabkan jatuhnya semua kartu.

Dengan adanya gap/jarak antara kartu kedua dengan kartu keempat, pun jika kartu kedua terjatuh, ini tidak akan sampai menimpa kartu nomer 4. Akhirnya, kecelakaan (poin 4) dan cedera (poin 5) dapat dicegah.

Dengan penjelasan ini, Teori Domino Heinrich menjadi teori ilmiah pertama yang menjelaskan terjadinya kecelakaan kerja. Kecelakaan tidak lagi dianggap sebagai sekedar nasib sial atau karena peristiwa kebetulan.

a. Kurangnya Sistem Pengendalian (Lack of Control)

Dalam urutan Domino, kurangnya pengendalian merupakan urutan pertama menuju suatu kejadian yang mengakibatkan kerugian. Pengendalian dalam hal ini ialah salah satu dari empat fungsi manajemen yaitu : planing (perencanaan), organizing (pengorganisasian), leading (kepemimpinan), dan

controling (pengendalian).

Teori Domino yang pertama akan jatuh karena kelemahan pengawas dan pihak manajemen yang tidak merencanakan dan mengorganisasi pekerja dengan

(24)

benar serta tidak mengarahkan para pekerjannya untuk terampil dalam melaksanakan pekerjaannya. Kurangnya pengendalian dapat disebabkan karena faktor :

1) Program yang tidak memadai (Inadequate program)

Hal ini disebabkan terlalu sedikitnya program yang diterapkan di tempat kerja atau karena terlalu banyak kegiatan-kegiatan program. Kegiatan program yang penting bervariasi dengan lingkup, sifat, dan jenis perusahaan.

2) Standar program yang tidak layak (Inadequate Standard Program)

Guna mematuhi pelaksanaan kegiatan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang baik perusahaan harus membuat suatu program keselamatan dan kesehatan kerja, menetapkan standar yang digunakan dan melakukan pemantauan pelaksanaan program tersebut

3) Standar yang tidak layak (Inadequate to Standard)

Faktor yang menyebabkan kurangnya standar yang diterapkan tidak cukup spesifik dan tidak cukup jelas serta kurang tingginya standar yang diterapkan.

b. Penyebab Dasar (Basic Causes)

Adalah penyebab nyata yang dibelakang atau melatarbelakangi penyebab langsung yang mendasari terjadinya kecelakaan, terdiri dari :

1) Faktor Personal (Personal Factor) yaitu meliputi : a) Kurangnya pengetahuan,

b) Kurangnya ketrampilan,

c) Kurangnya kemampuan fisik dan mental, d) Kurangnya motivasi,

(25)

e) Stres fisik atau mental.

2) Faktor Pekerjaan (Job Factor) yaitu meliputi :

a) Kepemimpinan dan kepengawasan yang tidak memadai, b) Engineering kurang memadai,

c) Maintenance kurang memadai, d) Alat dan peralatan kurang memadai, e) Pembelian barang kurang memadai, f) Standar kerja kurang memadai, g) Aus dan retak akibat pemakaian, h) Penyalahgunaan wewenang.

c. Penyebab Langsung (Immediate Causes)

Adalah tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman yang secara langsung menyebabkan kecelakaan yang biasanya dapat dilihat dan dirasakan. Penyebab langsung tersebut berupa :

1) Tindakan tidak aman (Unsafe Act)

Yaitu pelanggaran terhadap tata cara kerja yang aman sehingga dapat menimbulkan peluang akan terjadinya kecelakaan, misalnya :

a) Mengoperasikan peralatan tanpa wewenang,

b) Mengoperasikan mesin/peralatan/kendaraan dengan kecepatan tidak layak, c) Berada dalam pengaruh obat-obatan terlarang dan alkohol,

d) Gagal mengikuti prosedur kerja, e) Melepas alat pengaman,

(26)

g) Tidak memakai alat pelindung diri,

h) Menggunakan peralatan yang sudah rusak, i) Posisi kerja yang salah,

j) Pengangkutan yang tidak layak, k) Bersendau gurau di waktu kerja, l) Kegagalan untuk memperingatkan.

2) Kondisi tidak aman (Unsafe Condition)

Kondisi fisik yang membahayakan dan langsung membuka terhadap kecelakaan. Keadaan tidak aman tersebut antara lain :

a) Peralatan atau material yang rusak,

b) Pelindung atau pembatas yang tidak layak, c) Alat pelindung diri yang kurang sesuai,

d) Sistem peringatan tanda bahaya yang kurang berfungsi, e) Kebersihan dan tata ruang tempat kerja tidak layak,

f) Kondisi lingkungan kerja mengandung debu, gas, asap, atau uap yang melebihi NAB (Nilai Ambang Batas),

g) Intensitas kebisingan yang melebihi NAB, h) Paparan radiasi,

i) Temperatur ruang kerja terlalu tinggi atau rendah, j) Penerangan yang kurang atau berlebihan,

k) Ventilasi yang kurang,

l) Bahaya kebakaran dan peledakan, m) Tindakan yang terbatas atau berlebihan.

(27)

d. Kecelakaan (Accident)

Jika potensi penyebab kecelakaan dibiarkan saja untuk terjadi, maka jalannya akan selalu terbuka untuk kontak dengan sumber bahaya. Kecelakaan tersebut dapat berupa :

1) Terbentur/menabrak suatu benda,

2) Terbentur/tertabrak benda/alat yang bergerak, 3) Jatuh ke tingkat yang lebih rendah,

4) Jatuh pada tingkat yang sama (tergelincir, tersandung, terpeleset), 5) Terjepit diantara dua benda,

6) Terjepit kedalam alat/benda yang berputar,

7) Kontak dengan listrik, panas, dingin, radiasi, bahan beracun.

3. Safety Behavior

Safety behavior adalah perilaku keselamatan manusia di area kerja dalam

mengidentifikasi bahaya serta menilai potensi resiko yang timbul hingga bisa diterima dalam melakukan pekerjaan yang berinteraksi dengan aktivitas, produk dan jasa yang dilakukannya (Dewo P. Rahardjo, 2010).

Dalam mengelola perilaku keselamatan pada tahap dimana seseorang mampu menetapkan pengendalian resiko terkait aktivitasnya merupakan perilaku keselamatan unggul yang diharapkan dalam suatu perusahaan.

Seperti kita ketahui bahwa penyebab kecelakaan terbesar adalah human

error hingga pada skala lebih dari 80%. Penyebab langsung (Direct Cause)

sebagai penyebab utama berasal dari unsafe act (tindakan tidak aman) serta unsafe

(28)

a. Penyebab Unsafe Behavior

Orang atau pekerja sering melakukan unsafe behavior terutama disebabkan oleh :

1) Merasa telah ahli di bidangnya dan belum pernah mengalami kecelakaan Berpendapat bahwa bila selama ini bekerja dengan cara ini (unsafe) tidak terjadi apa-apa, mengapa harus berubah. Pernyataan tersebut mungkin benar namun tentu saja hal ini merupakan potensi besar untuk terjadinya kecelakaan kerja.

2) Reinforcement yang besar dari lingkungan untuk melakukan unsafe act

Reinforcement yang didapat segera, pasti dan positif. Bird (dalam

Muchinsky, 1987) berpendapat bahwa para pekerja sebenarnya ingin mengikuti kebutuhan akan keselamatan (safety needs) namun adanya need lain menimbukan konflik dalam dirinya. Hal ini membuat ia menomorduakan safety need dibandingkan banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalah keinginan untuk menghemat waktu, menghemat usaha, merasa lebih nyaman, menarik perhatian, mendapat kebebasan dan mendapat penerimaan dari lingkungan. Menurut Muchinsky, dalam bukunya Psychology Applied to Work (1987), needs yang menimbulkan konflik dengan safety needs, antara lain :

a) Safety versus saving time, b) Safety versus saving effort, c) Safety versus comfort,

d) Safety versus getting attention, e) Safety versus independence,

(29)

f) Safety versus group acceptance.

3) Pengawas atau manajer yang tidak peduli dengan safety

Para manajer ini secara langsung atau tidak langsung memotivasi para pekerja untuk mengambil jalan pintas, mengabaikan bahwa perilakunya berbahaya demi kepentingan produksi. Keadaan ini menghasilkan efek negatif yaitu para pekerja belajar bahwa ternyata dengan melakukan unsafe behavior ia mendapat

reward. Hal ini membuat unsafe behavior yang seharusnya dihilangkan namun

justru mendapat reinforcement untuk muncul. Selain itu kurangnya kepedulian

manager terhadap safety ini membuat pekerja menjadi meremehkan komitmen

perusahaan terhadap safety.

b. Upaya yang Biasa Dilakukan untuk Mengurangi Unsafe Behavior

1) Menghilangkan bahaya di tempat kerja dengan merekayasa faktor bahaya atau mengenalkan kontrol fisik

Cara ini dilakukan untuk mengurangi potensi terjadinya unsafe behavior, namun tidak selalu berhasil karena pekerja mempunyai kapasitas untuk berperilaku unsafe dan mengatasi kontrol yang ada.

2) Mengubah sikap pekerja agar lebih peduli dengan keselamatan dirinya

Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa perubahan sikap akan mengubah perilaku. Berbagai upaya yang dapat dilakukan adalah melalui kampanye dan

safety training. Pendekatan ini tidak selalu berhasil karena ternyata perubahan

sikap tidak diikuti dengan perubahan perilaku. Sikap sering merupakan apa yang seharusnya dilakukan bukan apa yang sebenarnya dilakukan.

(30)

3) Memberikan punishment terhadap unsafe behavior

Cara ini tidak selalu berhasil karena pemberian punishment terhadap perilaku unsafe harus konsisten dan segera setelah muncul, hal inilah yang sulit dilakukan karena tidak semua unsafe behavior dapat terpantau secara langsung. 4) Memberikan reward terhadap munculnya safety behavior

Cara ini sulit dilakukan karena reward minimal harus setara dengan reinforcement yang didapat dari perilaku unsafe.

c. Pendekatan Behavior Safety untuk Mengurangi Unsafe Behavior

Cooper (1999) mengidentifikasi adanya tujuh kriteria yang sangat penting bagi pelaksanaan program behavioral safety, yaitu antara lain :

1) Melibatkan Partisipasi Karyawan yang Bersangkutan.

Salah satu sebab keberhasilan behavioral safety adalah karena melibatkan seluruh pekerja dalam safety management. Pada masa sebelumnya safety

management bersifat top-down dengan tendensi hanya berhenti di management level saja. Hal ini berarti para pekerja yang berhubungan langsung dengan unsafe behavior tidak dilibatkan dalam proses perbaikan safety performance. Behavioral safety mengatasi hal ini dengan menerapkan sistem bottom-up, sehingga individu

yang berpengalaman dibidangnya terlibat langsung dalam mengidentifikasi unsafe

behavior. Dengan keterlibatan workforce secara menyeluruh dan adanya

komitmen, ownership seluruh pekerja terhadap program safety maka proses improvement akan berjalan dengan baik.

(31)

2) Memusatkan Perhatian pada Perilaku Unsafe yang Spesifik

Alasan lain keberhasilan behavioral safety adalah memfokuskan pada

unsafe behavior (sampai pada proporsi yang terkecil) yang menjadi penyumbang

terbesar terjadinya kecelakaan kerja di perusahaan. Menghilangkan unsafe

behavior berarti pula menghilangkan sejarah kecelakaan kerja yang berhubungan

dengan perilaku tersebut. Untuk mengidentifikasi faktor di lingkungan kerja yang memicu terjadinya unsafe behavior para praktisi menggunakan teknik behavioral analisis terapan dan memberi reward tertentu pada individu yang mengidentifikasi

unsafe behavior.

Praktisi lain juga mengidentifikasikan kekurangan sistem manajemen yang berhubungan agar cepat ditangani sehingga tidak lagi memicu terjadinya unsafe

behavior. Unsafe atau safety behavior yang teridentifikasi dari proses tersebut

disusun dalam check list dalam format tertentu, kemudian dimintakan persetujuan karyawan yang bersangkutan. Ketika sistem behavioral safety semakin matang individu menambahakan unsafe behavior dalam check list sehingga dapat dikontrol atau dihilangkan. Syarat utama yang harus dipenuhi yaitu, unsafe

behavior tersebut harus observable, setiap orang bisa melihatnya

3) Didasarkan pada Data Hasil Observasi.

Observer memonitor safety behavior pada kelompok mereka dalam waktu

tertentu. Makin banyak observasi makin reliabel data tersebut, dan safety behavior akan meningkat.

(32)

4) Proses Pembuatan Keputusan Berdasarkan Data

Hasil observasi atas perilaku kerja dirangkum dalam data prosentase jumlah safety behavior. Berdasarkan data tersebut bisa dilihat letak hambatan yang dihadapi. Data ini menjadi umpan balik yang bisa menjadi reinforcement positif bagi karyawan yang telah berprilaku safe, selain itu bisa juga menjadi dasar untuk mengoreksi unsafe behavior yang sulit dihilangkan.

5) Melibatkan Intervensi secara sistimatis dan observasional

Keunikan sistem behavioral safety adalah adanya jadwal intervensi yang terencana. Dimulai dengan briefing pada seluruh departemen atau lingkungan kerja yang dilibatkan, karyawan diminta untuk menjadi relawan yang bertugas sebagai observer yang tergabung dalam sebuah project team. Observer ditraining agar dapat menjalankan tugas mereka. kemudian mengidentifikasi unsafe

behavior yang diletakkan dalam check list. Daftar ini ditunjukkan pada para

pekerja untuk mendapat persetujuan. Setelah disetujui, observer melakukan observasi pada periode waktu tertentu, untuk menentukan baseline. Setelah itu barulah program interverensi dilakukan dengan menentukan goal setting yang dilakukan oleh karyawan sendiri. Observer terus melakukan observasi. Data hasil observasi kemudian dianalisis untuk mendapatkan feed back bagi para karyawan.

Team project juga bertugas memonitor data secara berkala, sehingga perbaikan

dan koreksi terhadap program dapat terus dilakukan.

6) Menitikberatkan pada umpan balik terhadap perilaku kerja

Dalam sistem behavioral safety umpan balik dapat berbentuk: umpan balik verbal yang langsung diberikan pada karyawan sewaktu observasi; umpan balik

(33)

dalam bentuk data (grafik) yang ditempatkan dalam tempat-tempat yang strategis dalam lingkungan kerja; dan umpan balik berupa briefing dalam periode tertentu dimana data hasil observasi dianalis untuk mendapatkan umpan balik yang mendetail tantang perilaku yang spesifik.

7) Membutuhkan dukungan dari manager

Komitmen management terhadap proses behavioral safety biasanya ditunjukkan dengan memberi keleluasaan pada observer dalam menjalankan tugasnya, memberikan penghargaan yang melakukan safety behavior, menyediakan sarana dan bantuan bagi tindakan yang harus segera dilakukan, membantu menyusun dan menjalankan umpan balik, dan meningkatkan inisiatif untuk melakukan safety behavior dalam setiap kesempatan. Dukungan dari manajemen sangat penting karena kegagalan dalam penerapan behavioral safety biasanya disebabkan oleh kurangnya dukungan dan komitmen dari manajemen.

d. Hasil yang Diharapkan dari Penerapan Behavioral Safety

Ada delapan hasil penerapan behavioral safety yang terencana dalam suatu perusahaan (Cooper,1999).

1) Angka kecelakaan kerja yang rendah, 2) Meningkatkan jumlah safety behavior, 3) Mengurangi accident cost,

4) Program tetap bertahan dalam waktu lama, 5) Penerimaan sistem oleh semua pihak,

6) Generalisasi behavioral safety pada sistem lain (ex: sistem manajemen), 7) Follow up yang cepat dan regular,

(34)

8) Peningkatan laporan tentang kecelakaan kerja yang terjadi. 4. Teori Perubahan Perilaku

Menurut Fleming & Lardner dalam buku strategies to promote safe

behavior as part of a health and safety management system, unsur inti dari

modifikasi perilaku adalah ABC Model of Behavior, Antecedents / Pendahulunya (A), Behavior / Perilaku (B) dan Consequences / Konsekuensi (C).

Gambar 2. ABC Model of Behavioural Change (Sumber : Bureau Veritas, 2010)

ABC Model of Behavior menentukan perilaku yang dipicu oleh satu set

pendahulunya (sesuatu yang mendahului perilaku dan kausal terkait dengan perilaku) dan diikuti oleh konsekuensi (hasil dari perilaku bagi individu) yang menambah atau mengurangi kemungkinan bahwa perilaku akan diulang. Para pendahulu diperlukan tetapi tidak cukup untuk mendorong terjadinya perilaku. Konsekuensi menjelaskan mengapa orang mengadopsi perilaku tertentu.

(35)

Tabel 1. Contoh ABC Analysis

Antecedents Behavior Consequences

- Pelindung telinga disediakan oleh perusahaan - Dibutuhkan oleh perusahaan untuk memakai pelindung telinga di daerah tertentu - Pengetahuan mengenai potensi kerusakan pendengaran jika pelindung telinga tidak dikenakan - Tanda menyorot tempat pelindung telinga diperlukan - Lingkungan yang bising - Memakai pelindung telinga di lingkungan bising - Mengurangi kemungkinan kehilangan fungsi pendengaran di masa depan - Kurang kemungkinan untuk mendapatkan masalah dengan manajemen untuk tidak mengenakan pelindung telinga - Kesulitan mendengar radio mereka - Ketidaknyamanan memakai pelindung telinga

- Teman -teman tidak mengenakan

pelindung telinga - Pengetahuan bahwa

aturan-aturan untuk mengenakan

pelindung telinga tidak ditegakkan - Tidak mengenakan pelindung telinga di lingkungan yang bising - Gangguan pendengaran di masa depan - Menghindari ketidaknyamanan dalam memakai pelindung telinga - Dapat mendengar lebih

baik dalam lingkungan yang bising

(Sumber : The Keil Centre, 2002)

Contoh pada Tabel 1 menunjukkan kompleksitas analisis perilaku. Dalam contoh ini, antecendents mempengaruhi perilaku yang diinginkan terjadi, sebagai karyawan yang disertakan dengan pelindung telinga, mereka diminta untuk memakainya, tanda-tanda menyorot tempat yang membutuhkannya dan mereka

(36)

tahu kebisingan yang dapat merusak pendengaran mereka. Meskipun antecedents sudah jelas dan pada tempatnya, banyak staf tidak mengenakan pelindung telinga mereka, karena mereka menemukan konsekuensi tidak mengenakan pelindung telinga mereka lebih menarik (memperkuat) dibandingkan konsekuensi dari memakai pelindung telinga mereka. Dengan demikian, tabel tersebut menjelaskan bagaimana konsekuensi mempengaruhi perilaku.

Analisis ABC mengidentifikasi pola antecedents dan konsekuensi yang memperkuat terjadinya perilaku dan konsekuensi yang terjadi untuk perilaku yang diinginkan. Analisis ini memfasilitasi identifikasi intervensi untuk mengatur ulang antecedents dan konsekuensi meningkatkan frekuensi perilaku yang diinginkan. Untuk berhasil melakukan analisis ABC, diperlukan untuk memiliki pemahaman yang jelas mengenai perilaku dan apa yang penting bagi orang-orang yang melakukan suatu perilaku. Oleh karena itu, melibatkan individu dengan pengalaman spesifik perilaku sangat penting. ABC model of behavior adalah dasar teoritis untuk intervensi modifikasi perilaku, tetapi menerapkan model teoritis dalam praktik adalah proses yang lebih kompleks.

5. Perancangan Intervensi Modifikasi Perilaku Keselamatan

Menurut buku strategies to promote safe behavior as part of a health and

safety management system, perilaku modifikasi program memiliki tiga unsur

utama :

a. Menunjukkan dengan tepat perilaku yang relevan, hati-hati menentukan perilaku yang akan berubah, dan langsung mengukur perilaku.

(37)

b. Menganalisis perilaku tersebut dan secara khusus berfokus pada

antecedents konsekuensi, sebagai konsekuensi (misalnya jenis dan frekuensi

umpan balik yang diterima) memiliki dampak yang kuat dalam menentukan perilaku. Apa yang terjadi sebelum perilaku (antecedents) juga dapat memiliki dampak yang sangat penting (misalnya pelatihan, penetapan tujuan, komunikasi kebijakan perusahaan).

c. Penekanan pada evaluasi, ketat mengevaluasi apakah perilaku telah berubah sebagai dimaksudkan, dan apakah perubahan itu karena intervensi, atau faktor lainnya.

Gambar 3. Proses Intervensi Modifikasi Perilaku (Sumber : The Keil Centre, 2002)

(38)

Intervensi modifikasi perilaku bervariasi tergantung pada pengaturan organisasi, target populasi dan perilaku yang harus diubah. Ketiga unsur ini membentuk enam langkah proses intervensi:

a. Menetapkan hasil yang diinginkan atau keluaran dari kegiatan atau individu di bawah pemeriksaan

b. Menentukan perilaku kritis yang mempengaruhi area kinerja yang akan diperbaiki

c. Memastikan bahwa individu dapat melakukan perilaku yang diinginkan d. ABC Melakukan analisis terhadap perilaku saat ini dan yang

diinginkan, dan bila perlu mengubah antecedents

e. Mengubah konsekuensi segera setelah perilaku yang diinginkan

f. Mengevaluasi dampak dari mengubah konsekuensi pada perilaku dan pada hasil yang diinginkan.

Proses enam langkah ini dapat digunakan untuk menganalisis dan mempromosikan masalah perilaku keselamatan.

a. Menetapkan Hasil yang Diinginkan

Langkah pertama dalam setiap proses perubahan perilaku adalah membangun hasil yang diinginkan atau output dari kelompok individu yang bersangkutan. Adalah penting untuk memahami apa yang diusahakan untuk dicapai karena jika hal ini tidak diketahui, maka tidaklah mungkin untuk menilai keberhasilan.

(39)

b. Menentukan Perilaku Kritis

Setelah hasil yang diinginkan yang ditentukan, maka perilaku yang diperlukan untuk mencapai hasil ini perlu didirikan. Ketika menentukan perilaku yang diinginkan adalah penting untuk ingat bahwa perilaku yang nyata dan diamati, bukanlah keyakinan, sikap atau subjektif. Perilaku ini perlu didefinisikan secara tepat. Pernyataan seperti: „menunjukkan bahwa mereka berkomitmen untuk keselamatan‟ adalah terlalu umum. Hal ini diperlukan untuk menentukan perilaku aktual yang diperlukan untuk menunjukkan komitmen terhadap keselamatan. Sebuah cara yang berguna untuk mengidentifikasi perilaku kritis adalah memeriksa apa yang membedakan perilaku karyawan yang efektif dari mereka yang kurang efektif di daerah di mana perbaikan yang dicari. Penilaian risiko juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi perilaku kritis yang aman dan tidak aman yang terkait dengan bahaya.

Perilaku ini harus dinyatakan sebagai tindakan yang positif, sebagai lawan dari kurangnya tindakan misalnya 'Mematuhi semua peraturan dan prosedur' bukan 'tidak melanggar' prosedur. Meskipun ini mungkin tampak seperti perbedaan semantik, adalah merupakan perbedaan penting, karena mungkin untuk mencapai yang terakhir dengan tidak melakukan apa-apa, yang berarti itu bukan perilaku. perangkap ini dapat dihindari dengan menerapkan Dead Man Test yang dikembangkan oleh Lindsley, yang menyatakan, "Jika orang mati dapat melakukan itu, itu bukanlah perilaku dan Anda tidak perlu membuang waktu Anda mencoba untuk memproduksinya".

(40)

Meskipun ini mungkin tampak seperti akal sehat, cukup mengejutkan bahwa banyak tujuan bersama melanggar peraturan ini. Misalnya, tujuan keselamatan umum organisasi adalah nol kecelakaan, yang melanggar Dead Man

Test, sebagaimana fakta bahwa orang mati tidak pernah mengalami kecelakaan.

Hal ini penting untuk menentukan perilaku kritis yang positif meningkatkan keselamatan.

Selain menjadi tindakan positif, perilaku harus dapat diamati, diukur, dan dapat diandalkan. Kadang-kadang diperbebatkan bahwa perilaku penting banyak yang tidak diamati, tetapi ini tidak dapat menjadi kasus, misalnya dengan definisi semua perilaku yang diamati, bahkan jika perilaku tersebut hanya diamati oleh seorang aktor. Jika sesuatu itu tidak dapat diamati, maka sesuatu itu bukanlah perilaku.

Begitu sesuatu yang dapat diamati maka dapat diukur, bahkan jika perilaku tidak terjadi itu dapat diukur, "ukurannya adalah nol". Adalah penting bahwa perilaku dapat diukur secara andal apakah perubahan perilaku akan terjadi. Cara yang paling efektif untuk menguji keandalan adalah untuk membandingkan hasil dari dua pengamat yang mengamati perilaku yang sama. Jika mereka datang dengan hasil yang sama, maka pengukuran perilaku mereka cukup handal. Ketiga kriteria (observability, terukurnya dan kehandalan) dapat dicapai melalui deskripsi rinci dari perilaku kritis tertentu.

c. Menetapkan bahwa Grup Target dapat Melakukan Perilaku

Sasaran individu atau kelompok harus memiliki kendali atas perilaku kritis untuk intervensi perilaku untuk bekerja. Jika perilaku tersebut tidak berada dalam

(41)

kendali mereka, maka tidak akan mungkin bagi mereka untuk mengubah perilaku mereka. Jika mereka tidak mampu melakukan perilaku tersebut kemudian perubahan akan dibutuhkan dari lingkungan, sistem, peralatan atau individu melalui program pelatihan.

d. Analisis Perilaku ABC

Analisis ABC dilakukan pada perilaku yang diinginkan dan perilaku saat ini untuk mengidentifikasi pendahulu dan konsekuensi dari perilaku tersebut. 1) Mengubah antecedents

Jika analisis ini menunjukkan bahwa antecedents untuk perilaku yang diinginkan tidak di tempat maka hal ini perlu ditangani. Pendahulu yang penting dan diperlukan agar individu untuk melakukan perilaku sehingga, semua individu yang mungkin diperlukan untuk melakukan perilaku ini akan memerlukan

antecedentsnya. Misalnya, setelah kematian organisasi mengamanatkan bahwa

semua karyawan yang bekerja di atas enam kaki harus mengenakan safety

harness. Akibatnya, ini berarti bahwa semua operator proses perlu memakai safety harness di kesempatan, tetapi mereka belum menerima pelatihan tentang

bagaimana menggunakan safety harness. Insiden berikutnya terungkap bahwa proses operator tidak menggunakan safety harness dengan benar dan dengan demikian safety harness hanya memberikan perlindungan yang terbatas.

2) Analisis Konsekuensi

Analisis ABC melibatkan penilaian konsekuensi yang diinginkan dan perilaku yang tidak diinginkan dalam hal jangka waktu mereka, prediktabilitas dan signifikansi. Sebuah cara yang efektif untuk memastikan bahwa konsekuensi

(42)

bagi individu diidentifikasi adalah melibatkan individu-individu yang melakukan perilaku dalam analisis. Proses mengidentifikasi konsekuensi harus dilakukan di lingkungan terbuka dimana para peserta dapat menyoroti konsekuensi negative (hukuman) untuk melakukan perilaku yang diinginkan.

e. Mengubah Konsekuensi untuk Memperkuat Perilaku yang Diinginkan Analisis ABC mengidentifikasi konsekuensi yang mendorong perilaku saat ini, yang menyoroti area yang membutuhkan perubahan. Intervensi ini akan melibatkan lebih banyak menyediakan konsekuensi yang segera, tertentu dan positif untuk perilaku yang diinginkan atau menghapus konsekuensi-konsekuensi ini dari perilaku yang tidak diinginkan. Pada kenyataannya, campuran keduanya akan dibutuhkan.

f. Evaluasi Dampak Intervensi

Menilai efektivitas program ini membutuhkan pembentukan tingkat perilaku perubahan dan perubahan hasil yang diinginkan berikut intervensi. Dalam prakteknya, ini melibatkan membandingkan output dan perilaku dari kelompok sasaran setelah intervensi dengan ukuran dasar untuk menetapkan tingkat perubahan.

6. Unsur Kunci Program Observasi Keselamatan

Menurut M. Fleming & R. Lardner, observasi perilaku keselamatan dan program feedback mempromosikan perilaku yang diinginkan dengan memperkenalkan dukungan positif untuk berperilaku aman. Dukungan positif tersebut diberikan melalui umpan balik positif. Program-program ini didasarkan pada Model ABC, tetapi ABC analysis jarang digunakan secara eksplisit.

(43)

Gambar 4. Program Behavioral Safety (Sumber : The Keil Centre, 2002)

a. Pelaksanaan

Efektivitas observasi perilaku keselamatan dan program umpan balik tergantung dari pelaksanaan yang efektif. Gambar 3 menggambarkan tahap-tahap utama dalam pelaksanaan perilaku program keselamatan.

1) Penilaian Kematangan atau Kesiapan Budaya

Tahap pertama dalam pelaksanaan adalah penilaian dari kesiapan organisasi untuk menerapkan program keselamatan perilaku. Kematangan budaya merujuk pada unsur-unsur penting budaya keselamatan (misalnya komitmen manajemen, kepercayaan, komunikasi) yang menentukan kesiapan organisasi untuk melaksanakan program keselamatan perilaku. Riset baru-baru ini, menunjukkan bahwa organisasi harus memilih program-program keselamatan perilaku yang sesuai dengan tingkat kematangan budaya di tempat kerja, karena

(44)

ketidakcocokan adalah salah satu alasan mengapa program perilaku keselamatan gagal. Karena itu penting bagi organisasi untuk menetapkan bahwa mereka siap untuk melaksanakan program perilaku keselamatan dan untuk mengidentifikasi masalah potensial yang mungkin mereka hadapi. Dengan mengidentifikasi hambatan potensial sebelum menerapkan program, organisasi akan mampu mengelola masalah-masalah ini lebih efektif. Misalnya, jika reorganisasi mungkin terjadi selama pelaksanaan program, maka program bisa ditunda sampai setelah reorganisasi.

2) Dukungan Manajemen dan Tenaga Kerja

Manajemen dan kepemilikan dan dukungan tenaga kerja untuk proses perilaku keselamatan sangat penting untuk keberhasilan program. Sebuah cara yang efektif untuk memperoleh dukungan dan kepemilikan adalah melibatkan karyawan dalam program ini. Bagi individu untuk terlibat mereka harus merasa bahwa pandangan dan pendapat mereka adalah penting dan bahwa mereka dapat membuat perbedaan. Oleh karena itu, karyawan harus dapat mempengaruhi pemilihan program jenis dan bagaimana akan diimplementasikan. Sebuah kelompok sangat penting untuk dilibatkan adalah para supervisor baris pertama karena mereka dapat baik memfasilitasi atau mencegah pengamatan yang dilakukan.

Selain melibatkan karyawan dalam pemilihan program, mereka juga perlu langsung terlibat dalam pengelolaan program. Tidaklah mungkin bagi semua karyawan untuk terlibat dalam menjalankan program ini karena individu yang akan terlibat perlu untuk dipilih.

(45)

Sebagian besar program-program keselamatan perilaku membutuhkan staf garis depan untuk melakukan perilaku keselamatan pengamatan pada rekan-rekan mereka. Orang-orang ini biasanya disebut sebagai pengamat. Dalam kebanyakan kasus, karyawan diminta untuk secara sukarela untuk menjadi pengamat, tetapi kadang-kadang seluruh tenaga kerja terlatih atau kelompok tertentu (perwakilan

safety atau pengawas) yang dipilih untuk berpartisipasi.

3) Pelatihan Perilaku Keselamatan

Terlepas dari apakah co-ordinator tunggal atau kelompok pengarah mengelola program tersebut, pelatihan dalam teknik perilaku keselamatan akan dibutuhkan. Pelatihan ini mungkin termasuk masukan tentang psikologi mendasari perilaku keselamatan, bagaimana mengidentifikasi keamanan kritis perilaku dan cara memberikan umpan balik, baik tatap muka atau ke grup. Jumlah individu terlatih dan kedalaman pelatihan akan tergantung pada program tertentu. Beberapa program melatih semua staf, sedangkan yang lain melatih minoritas karyawan. Selain pelatihan steering commitee, pengamat membutuhkan pelatihan dalam cara melakukan pengamatan dan bagaimana untuk merekam informasi. Kedalaman dan tingkat pelatihan bervariasi antara penyedia layanan. Beberapa penyedia menilai kualitas pengamatan oleh membandingkan pengamatan mereka sendiri akan situasi dengan pengamatan peserta pelatihan itu. Mayoritas penyedia memberikan bahan organisasi dan instruksi tentang bagaimana untuk melatih pengamat internal.

(46)

4) Menentukan Critical Safety Behaviors

Sebagian besar program-program perilaku keselamatan mengembangkan daftar perilaku keselamatan penting untuk disertakan pada daftar periksa yang dilengkapi dengan pengamat. Berbagai teknik dapat digunakan untuk mengidentifikasi kesehatan dan keselamatan perilaku kritis untuk memasukkan pada daftar. Semua penyedia diwawancarai diidentifikasi perilaku kritis melalui analisis laporan kecelakaan sebelumnya. Setelah mengatakan ini, hanya dua penyedia bergantung sepenuhnya pada laporan kecelakaan sebelumnya sebagai sumber perilaku. Sepenuhnya mengandalkan laporan kecelakaan memiliki keterbatasan yang jarang tetapi kritis kesehatan dan perilaku keselamatan dapat dikecualikan. Analisis Kecelakaan hanya mengidentifikasi perilaku yang menyebabkan cedera, sehingga tidak termasuk perilaku kesehatan kritis dengan konsekuensi yang belum memanifestasikan diri mereka sendiri (misalnya terpapar asbes) dan perilaku yang karena kebetulan belum belum menyebabkan cedera

recordable. Selain itu, kualitas dan tingkat detail yang diberikan oleh laporan

kecelakaan tidak dapat memfasilitasi identifikasi semua perilaku kritis. 5) Membangun sebuah Baseline

Elemen terakhir dalam tahap implementasi adalah membentuk garis dasar. Ini melibatkan melakukan observasi awal untuk menetapkan tingkat saat ini perilaku aman bagi kritis perilaku diidentifikasi. Tidak semua program membentuk garis dasar. baseline adalah berguna karena memungkinkan umpan balik tentang keberhasilan program dalam mengubah perilaku.

(47)

b. Observasi dan Proses Feedback

Setelah tahap implementasi telah selesai, maka proses observasi dan umpan balik dimulai. Ini adalah proses yang berkelanjutan dari observasi, umpan balik, penetapan tujuan dan review.

1) Pengamatan

Tahap pertama dalam proses adalah melakukan pengamatan. Secara umum, rekan-rekan melakukan pengamatan, tetapi di beberapa program mereka yang dilakukan oleh atasan. Kesesuaian program beragam dalam pendekatan mereka untuk melakukan pengamatan dan bagaimana perilaku aman diukur. Secara umum, pengamat diberikan daftar dengan daftar perilaku (misalnya memakai semua APD benar) dan pengamat harus menunjukkan apakah individu tersebut aman, tidak aman atau perilaku tidak diamati. Sangat penting bahwa perilaku jelas digambarkan memungkinkan pengamat untuk menilai apakah seseorang berperilaku aman atau tidak aman.

2) Saran atau Masukan

Umpan balik positif adalah salah satu elemen yang paling penting dalam proses, karena ini adalah konsekuensi positif yang diperkenalkan untuk memperkuat perilaku yang aman. Ada dua jenis utama umpan balik, sumatif dan formatif. Sumatif menyediakan umpan balik individu dengan informasi tentang kinerja mereka, misalnya "Kerja yang bagus, Sam.". Formatif menyediakan umpan balik informasi tentang bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerja mereka, misalnya "Pada saat Anda melakukan penilaian risiko, coba melibatkan tim Anda, karena mereka cenderung memiliki pengetahuan lebih tentang praktis

(48)

pekerjaan". Umpan balik formatif harus disampaikan oleh seseorang yang dianggap kredibel dan berpengetahuan oleh individu menerima umpan balik. Umpan balik sumatif dapat diberikan di depan umum atau secara pribadi, namun khusus untuk formatif harus diberikan secara pribadi karena bila disampaikan di depan umum dapat disalahpersepsikan sebagai hukuman.

Tiga faktor yang mempengaruhi dampak dari umpan balik, yaitu: a) Waktu

Pemberian saran atau masukan harus diperhitungkan waktunya sehingga berguna dan bermakna bagi orang menerima umpan balik. Umpan balik cenderung paling efektif segera setelah perilaku.

b) Fokus

Umpan balik harus spesifik dan fokus pada perilaku yang diinginkan c) Kesesuaian

Umpan balik harus sesuai dengan harapan orang yang menerima umpan balik.

Program perilaku keselamatan bervariasi dalam jenis umpan balik yang diberikan. Beberapa program memberikan umpan balik kepada individu pada saat itu; lain memberikan umpan balik kepada kelompok misalnya mempresentasikan hasil grafis atau dan beberapa memberikan keduanya. Memberikan umpan balik, terutama umpan balik formatif memerlukan keterampilan dan keahlian, karena itu pengamat memerlukan sejumlah besar pelatihan dan pembinaan untuk menguasai keterampilan ini.

(49)

3) Menetapkan Tujuan dan Review

Setelah pengamatan dan proses umpan balik yang beroperasi secara efektif, tujuan perbaikan perilaku partisipatif ditetapkan dengan kelompok sasaran. Meskipun tidak semua program perilaku keselamatan mencakup penetapan tujuan, bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa penetapan sasaran meningkatkan jumlah perubahan perilaku. Hal ini penting untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai yang realistis sehingga orang akan menjadi termotivasi.

4) Modifikasi Lingkungan

Pengamatan dan proses umpan balik dapat mengidentifikasi kondisi tidak aman atau hambatan (antecedents) kepada individu berperilaku aman. Perbaikan lingkungan atau sistem mungkin diperlukan dalam rangka meningkatkan perilaku karyawan. Informasi ini dikumpulkan dan tindakan yang diambil untuk membuat perbaikan. Minta umpan balik kepada staf tentang status tidak aman kondisi disorot oleh sistem sangat penting bagi komitmen yang berkesinambungan untuk program ini.

5) Monitor Performance

Perubahan kinerja dilacak dari waktu ke waktu, untuk menilai dampak program pada perilaku keselamatan. Perubahan persentase observasi di mana perilaku dinyatakan aman menunjukkan efektivitas proses. Jika tidak ada perubahan atau perbaikan terbatas dalam perilaku tertentu dari waktu ke waktu, penting untuk menyelidiki perilaku ini lebih terinci untuk mengidentifikasi apakah ada hambatan untuk kemunculan perilaku aman. Misalnya, manajer dapat memperkuat produktivitas dengan mengorbankan

(50)

perilaku yang aman, atau perancangan pabrik miskin dapat membuat aman perilaku sulit dicapai dalam praktek.

6) Review Daftar Prilaku Kritis

Daftar perilaku kritis direvisi secara berkala dan perilaku baru ditambahkan dan yang sudah ada perilaku diganti. Suatu perilaku kritis dapat dihapus dari daftar dan diganti dengan perilaku baru, ketika telah mencapai 'kekuatan kebiasaan', yakni secara konsisten diamati sebagai aman. Setelah tujuan tercapai maka putaran lain penetapan sasaran partisipatif dilakukan. Di umum, target partisipatif pengaturan sesi yang diadakan secara teratur (misalnya kuartalan).

7. Hubungan Safety Behavior dengan Safety Culture

Menurut Geller, dalam bukunya The Psychology of Safety Handbook, secara umum total safety culture membutuhkan perhatian berkelanjutan terhadap tiga hal berikut :

a. Environment factors (termasuk peralatan, perlengkapan, prosedur, standard, dan temperature, keadaan fisik).

b. Person factors (termasuk sikap, kepercayaan dan kepribadian seseorang)

c. Behavior factors (termasuk praktek kerja aman, serta turut campur dalam masalah safety orang lain)

(51)

Gambar 5. “The Safety Triad” (Sumber : Geller, 1989)

Tiga faktor di atas bersifat dinamis dan interaktif. Perubahan di dalam salah satu faktor dapat mempengaruhi dua faktor lainnya. Sebagai contoh,

behaviors/perilaku yang mengurangi kemungkinan kecelakaan sering melibatkan

perubahan lingkungan dan menuju kepada sikap yang konsisten dengan safe

behaviors. Hal ini secara khusus benar jika behaviors/perilaku dilakukan dengan

sukarela. Dengan kata lain, ketika seseorang memilih untuk bertindak dengan aman (act safely), mereka bertindak dalam pola pikir aman (safe thinking). Perilaku tersebut sering menghasilkan perubahan dalam lingkungan.

Sedangkan DuPont mengeluarkan teori, bahwa seiring dengan berkembangnya safety culture di perusahaan maka angka kecelakaan juga akan menurun. Tahapan safety culture dibagi menjadi empat tahapan, yaitu antara lain :

Reactive, Dependent, Independent, dan Interdependent.

Complying, Coaching, Recognizing, Communicating, Demonstrating “Actively Caring” Knowledge, Skill, Abilities, Intelligence, Motives, Personality Environment, Tools, Machines, Housekeeping, Heat/Cold, Engineering, Standards, Operating Procedures SAFETY CULTURE PERSON ENVIRONMENT BEHAVIOR

(52)

Gambar 6. Hubungan Injury Rates dengan Safety Culture (Sumber : DuPont, 2006)

Di dalam total safety culture, akan tercipta keadaan sebagai berikut : d. Setiap orang merasa bertanggung jawab untuk safety dan melakukan hal yang

berkaitan dengan itu sebagai kebutuhan sehari-hari.

e. Orang-orang peka dalam mengidentifikasi unsafe conditions dan at-risk

behaviors dan mereka dapat mengoreksinya.

f. Praktek kerja aman didukung penuh dengan rewarding feedback dari rekan pekerja dan manajer.

g. Orang-orang secara aktif peduli berkesinambungan terhadap safety untuk dirinya sendiri dan orang lain.

h. Safety tidak dianggap sebagai prioritas yang dapat sewaktu-waktu digantikan tergantung pada keadaan, tetapi safety dianggap sebagai suatu nilai yang menjembatani setiap prioritas dari situasi yang ada.

(53)

Safety Behavior Unsafe Act Safety Culture Upaya Penerapan Safety Behavior B. Kerangka Pemikiran Manusia Mesin atau peralatan

Bahan Proses Cara Kerja Lingkungan kerja Sumber-sumber bahaya Insiden / Accident Zero Accident Kerugian Risiko Kecelakaan Turun Tempat Kerja

Tidak Ada Upaya Pengendalian Upaya Pengendalian

(54)

42 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian deskriptif, yaitu merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di area workshop P.T. Trakindo Utama Cabang Jakarta.

C. Objek Penelitian

Sebagai obyek penelitian adalah tenaga kerja, proses kerja, potensi bahaya yang ada, sikap kerja, peralatan dan mesin yang digunakan di workshop P.T. Trakindo Utama Cabang Jakarta.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung dan ikut serta dalam kegiatan inspeksi umum terencana di lapangan.

(55)

2. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya jawab dengan pihak yang terkait dengan upaya penerapan safety behavior di tempat kerja.

3. Studi pustaka, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari dokumen-dokumen perusahaan, buku-buku kepustakaan, laporan- laporan penelitian yang sudah ada serta sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

E. Sumber Data

Dalam melaksanakan penelitian, penulis menggunakan data-data sebagai berikut :

1. Data Primer

Data primer diperoleh dengan melakukan observasi, survei ke lapangan/ tempat kerja dan wawancara serta diskusi dengan tenaga kerja (mekanik dan administrasi).

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari data perusahaan sebagai pelengkap laporan ini.

F. Analisis Data

Data yang diperoleh akan dibahas secara deskriptif yaitu gambaran mengenai upaya penerapan safety behavior di P.T. Trakindo Utama Cabang

(56)

Jakarta kemudian dari hasil pengamatan akan dibandingkan dengan peraturan-peraturan pemerintah dan juga standar dari perusahaan.

(57)

45 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

Dari hasil observasi di lapangan yaitu mengenai proses pekerjaan serta lingkungan kerja di area workshop PT. Trakindo Utama Cabang Jakarta ditemukan berbagai potensi bahaya yang dapat menyebabkan kecelakaan. PT. Trakindo Utama menetapkan bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Pengelolaan Lingkungan adalah salah satu landasan utama dalam kegiatan operasinya. Dalam rangka mendukung hal tersebut maka PT. Trakindo Utama melakukan upaya-upaya untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja pekerja di tempat kerja, salah satunya dengan upaya menerapkan safety behavior di tempat kerja agar unsafe behavior yang termasuk penyumbang terbesar pada kecelakaan kerja dapat diminimalisir, dan diharapkan dapat mengurangi terjadinya insiden, kerusakan, dan kerugian berkaitan dengan kegiatan operasional diperusahaan.

Upaya-upaya yang telah dilakukan dalam penerapan safety behavior di area workshop PT. Trakindo Utama Cabang Jakarta terutama berfokus pada observasi keselamatan kerja yaitu dengan menggunakan Kartu Laporan Observasi, serta didukung upaya-upaya lain, yaitu : Safety Induction, Toolbox Meeting, Safety

Talk, CIM Ideku, Lomba K3L, Personal SHE Performance Award, Sistem Work Permit, Safety Training, Working Instruction serta Papan Informasi Kinerja K3L.

Gambar

Gambar 1. Teori Domino
Gambar 2. ABC Model of Behavioural Change  (Sumber : Bureau Veritas, 2010)
Gambar 3. Proses Intervensi Modifikasi Perilaku  (Sumber : The Keil Centre, 2002)
Gambar 4. Program Behavioral Safety  (Sumber : The Keil Centre, 2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait