JAKARTA
Oleh : Karina Angelina
NIM R0007007
PROGRAM DIPLOMA III HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
ii
Utama Cabang Jakarta
dengan peneliti : Karina Angelina
NIM. R0007007
telah diuji dan disahkan pada tanggal :
Pembimbing I Pembimbing II
Lusi Ismayenti, S.T., M.Kes. Drs. Hardjono, M.Si.
NIP. 19720322 200812 2001
A.n. Ketua Program
DIII Hiperkes dan Keselamatan Kerja FK UNS
Sekretaris,
Sumardiyono, SKM, M.Kes.
iii
Utama Cabang Jakarta
dengan peneliti : Karina Angelina
NIM. R0007007
telah diuji dan disahkan pada tanggal :
Pembimbing Magang,
iv
BEHAVIOR DI AREA WORKSHOP P.T. TRAKINDO UTAMA CABANG
JAKARTA. PROGRAM DIPLOMA III HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya penerapan safety behavior di PT. Trakindo Utama cabang Jakarta, khususnya di area workshop, serta kesesuaian upaya penerapan safety behavior dengan standar perusahaan dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Kerangka pemikiran penelitian ini adalah bahwa penyebab kecelakaan terbesar adalah human error hingga pada skala lebih dari 80%. Penyebab langsung (direct cause) sebagai penyebab utama berasal dari unsafe act (tindakan tidak aman) serta unsafe
condition (kondisi tidak aman). Maka dari itu kunci untuk menghilangkan kecelakaan
adalah dengan menghilangkan tindakan tidak aman, dan menerapkan safety behavior
(perilaku keselamatan) sebagai pencegahan proaktif terhadap potensi bahaya di tempat kerja, bila setiap individu sudah menerapkan safety behavior maka diharapkan dapat tercipta safety culture di tempat kerja, sehingga risiko kecelakaan dapat menurun dan diharapkan dapat mencapai angka zero accident di tempat kerja.
Metode penelitian yang dipakai adalah deskriptif yaitu menggambarkan tentang upaya penerapan safety behavior di perusahaan dan membandingkannya dengan standar perusahaan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di area workshop P.T. Trakindo Utama Cabang Jakarta telah diselenggarakan upaya-upaya penerapan safety behavior berupa : observasi keselamatan kerja, safety induction, toolbox meeting, safety talk, CIM ideku, lomba K3L, personal SHE performance award, sistem work permit, safety training, working instruction dan pemasangan safety sign dengan baik sesuai dengan standar perusahaan dan peraturan perundangan yang berlaku. Saran yang diberikan adalah meningkatkan upaya penerapan safety behavior secara keseluruhan agar tercipta safety culture yang interdependen dan dapat mengurangi angka kecelakaan secara nyata.
v
memberikan begitu banyak kelimpahan rahmat, hidayah serta karunia yang tidak
terhingga nilainya sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan laporan
khusus dengan judul : “Gambaran Upaya Penerapan Safety Behavior di Area
Workshop P.T. Trakindo Utama Cabang Jakarta”
Laporan penelitian ini disusun sebagai salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan gelar Ahli Madya pada Program
Diploma III Hiperkes dan Keselamatan Kerja Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Disamping itu praktek kerja lapangan ini dilaksanakan
untuk menambah wawasan guna mengenal, mengetahui, dan memahami mekanisme
serta problematika dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja yang ada di
dunia kerja yang sesungguhnya.
Penulis juga menyadari bahwa dalam pelaksanaan magang sampai dengan
selesainya laporan ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik
berupa bimbingan, pengarahan dan motivasi sehingga telah memberikan semangat
dalam proses penyusunan laporan ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., M.S., Selaku Dekan Fakultas Kedokteran
vi
3. Ibu Lusi Ismayenti, S.T., M.Kes., Selaku Dosen Pembimbing I
4. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., Selaku Dosen Pembimbing II
5. Bapak Yogo Voluntoro selaku HRD Manager yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan program magang di PT.
Trakindo Utama Cabang Jakarta.
6. Bapak Bambang Wiyono, SKM selaku SHE Supervisor sekaligus
pembimbing lapangan atas kesabaran dan kesediaannya meluangkan banyak
waktu untuk membimbing penulis dalam melakukan praktek kerja lapangan
hingga penulisan laporan umum dan khusus.
7. Seluruh keluarga besar karyawan PT. Trakindo Utama cabang Jakarta, yang
tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas segala ilmu yang sangat
berharga dan bimbingan yang telah diberikan, serta penerimaan yang begitu
kekeluargaan sehingga membuat penulis kerasan dalam menjalani program
magang.
8. Seluruh dosen Program Studi DIII Hiperkes & KK Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan banyak ilmu
yang berharga pada penulis selama 3 tahun masa perkuliahan.
9. Kedua Orang Tuaku, Ayahanda Christian Raprap dan Ibunda Nia Kurniawati,
vii
henti mendukung dan membimbing penulis, serta seluruh keluarga besar yang
telah memberikan kasih sayang, doa, serta dukungan yang tak ternilai
harganya.
10.Teman seperjuangan selama magang bersama di Trakindo, Ahmad Zaini
Dahlan, terima kasih atas kerjasamanya serta dukungan dan bantuan yang
selalu diberikan saat penulis mengalami kesulitan.
11.Teman-teman Program Studi DIII Hiperkes & KK Angkatan 2007 khususnya
teman-teman baikku, Retno Wijayaningsih, Alvina Yanuarita C., Anastasia
Dyah Ayu K., Kalpika Anis S., Tatik Madiyati, Melinda Putri, Dimas Okhy
Anto P., Anton Sujarwo, terima kasih banyak atas segala dukungan yang
diberikan, semoga kita semua sukses, amin.
12.Teman-teman yang selalu memberikan dorongan kepada penulis khususnya
Friday Wijayanti Hafni, Frienty Fajar Septaria, Riyanto Madandan.
13.Sofan Putra Perdana dan keluarga, terima kasih banyak atas segala dukungan,
bantuan, dan doa yang selalu diberikan pada penulis.
14.Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan magang dan penulisan
laporan ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan yang besar kepada semua
viii
baik materi maupun teknik penulisannya. Karena itu penulis mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun guna penyempurnaan laporan khusus ini. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya serta pembaca pada umumnya.
Surakarta, Juni 2010
Penulis,
ix
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PERUSAHAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 6
B. Kerangka Pemikiran ... 41
BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 42
x
F. Analisis Data ... 43
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ... 45
B. Pembahasan ... 63
BAB V. PENUTUP
A.Kesimpulan ... 73
B.Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 75
LAMPIRAN
xi
Gambar 2. ABC Model of Behavioural Change ... 22
Gambar 3. Proses Intervensi Modifikasi Perilaku ... 25
Gambar 4. Program Behavioral Safety ... 31
Gambar 5. The Safety Triad ... 39
Gambar 6. Hubungan Injury Rates dengan Safety Culture ... 40
Gambar 7. Kartu Observasi Keselamatan ... 47
Gambar 8. Trend Temuan Observasi Keselamatan ... 47
Gambar 9. Safety Induction ... 50
Gambar 10. Toolbox Meeting di Small Component ... 52
Gambar 11. Safety Talk pekerja di Machine Bay ... 52
Gambar 12. CIM Ideku Board ... 54
Gambar 13. CIM Ideku Card ... 54
Gambar 14. CIM Ideku Meeting ... 55
Gambar 15. Lomba Fire Fighting ... 55
Gambar 16. Lomba Ketangkasan P3K ... 56
Gambar 17. First Aid Awareness ... 62
Gambar 18. Pemasangan Safety Sign di Workshop Area ... 63
xii Lampiran 2. Kartu Induksi K3LH untuk Tamu
Lampiran 3. Diagram Proses Prosedur Induksi Tamu, Pelanggan, dan Pemasok
Lampiran 4. Diagram Proses Prosedur Induksi sub-Kontraktor atau Kontraktor
Lampiran 5. Diagram Proses Prosedur Induksi Karyawan Baru
Lampiran 6. Peta Proses Komunikasi & Konsultasi Internal K3L
Lampiran 7. Diagram Proses Surat Ijin Bekerja
Lampiran 8. Diagram Proses Pelatihan K3L dan Kompetensi Personil SHE
Lampiran 9. Diagram Proses Pelatihan K3L dan Kompetensi Personil non SHE
Lampiran 10. Analisa Kebutuhan Pelatihan K3L (&Matriks) untuk Personil SHE
Lampiran 11. Analisa Kebutuhan Pelatihan K3L (&Matriks) untuk Personil non SHE
Lampiran 12. Matriks Pelatihan K3L
Lampiran 13. Matriks Safety Induction
Lampiran 14. Flow Proses Penilaian SHE Performance Award
Lampiran 15. Matriks Penilaian SHE Performance Award
Lampiran 16. Form Penilaian SHE Performance Award
1
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan berkembangnya dunia industri, dunia kerja selalu
dihadapkan pada tantangan-tantangan baru yang harus bisa segera diatasi bila
perusahaan tersebut ingin tetap eksis. Berbagai macam tantangan baru muncul
seiring dengan perkembangan jaman. Namun masalah yang selalu berkaitan dan
melekat dengan dunia kerja sejak awal dunia industri dimulai adalah timbulnya
kecelakaan kerja (Bhina Patria, 2003).
Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar bagi
kelangsungan sebuah perusahaan. Kerugian yang diderita tidak hanya berupa
kerugian materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah timbulnya korban
jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya manusia ini
merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah satu-satunya
sumber daya yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun.
Kerugian yang langsung yang nampak dari timbulnya kecelakaan kerja adalah
biaya pengobatan dan kompensasi kecelakaan. Sedangkan biaya tak langsung
yang tidak nampak ialah kerusakan alat-alat produksi, penataan manajemen
keselamatan yang lebih baik, penghentian alat produksi, dan hilangnya waktu
kerja (Bhina Patria, 2003).
Jumlah kerugian materi yang timbul akibat kecelakaan kerja sangat besar.
kecelakaan kerja yang terjadi di Amerika Serikat. Di Amerika pada tahun 1980
kecelakaan kerja telah membuat kerugian bagi negara sebesar 51,1 milyar dollar.
Kerugian ini setiap tahun terus bertambah seiiring dengan berkembangnya dunia
industri di Amerika.
Pada tahun 1995 jumlah kerugian yang diderita oleh pemerintah Amerika
sudah mencapai angka 119 milyar dollar. Pertumbuhan kerugian sebesar 67,9
milyar dollar selama 15 tahun merupakan angka yang sulit dibayangkan besarnya.
Kerugian ini belum termasuk hilangnya korban jiwa yaitu setiap tahun 1 dari 10
pekerja tewas atau terluka dalam kecelakaan kerja.
Di Indonesia sendiri sangat sulit menentukan jumlah angka kerugian materi yang
muncul akibat dari kecelakaan kerja. Hal ini karena setiap kejadian kecelakaan
kerja perusahaan bersangkutan tidak berkenan menyampaikan kerugian materi
yang mereka derita. Namun menurut catatan dari Departemen Tenaga Kerja
(Depnaker) pada tahun 1999 terjadi 27.297 kasus kecelakaan kerja, dengan jumlah
korban mencapai 60.975 pekerja. Dari sejumlah korban tersebut terdiri dari 1.125
pekerja tewas, 5.290 cacat seumur hidup dan 54.103 pekerja sementara tidak bisa
bekerja.
Melihat angka-angka tersebut tentu saja bukan suatu hal yang
membanggakan. Keadaan ini sangat mengganggu keberadaan
perusahaan-perusahaan tersebut. Tentu saja perusahaan-perusahaan-perusahaan-perusahaan tersebut tidak tinggal diam
dalam menghadapi angka kecelakaan yang begitu besar. Perusahaan-perusahaan
banyak mengeluarkan dana setiap tahun untuk meningkatkan keselamatan di
yang besar tersebut digunakan terutama untuk menambah alat-alat keselamatan
kerja (alat pemadam kebakaran, rambu-rambu, dll.), memperbaiki proses produksi
agar lebih aman dan meningkatkan sistem manajemen keselamatan kerja secara
keseluruhan. Dalam beberapa tahun terakhir memang upaya tersebut bisa
mengurangi angka kecelakaan kerja. Namun masih jauh untuk mencapai angka
kecelakaan kerja yang minimal.
Kenyataan bahwa ternyata perbaikan yang telah dilakukan oleh perusahaan
tersebut belum bisa menurunkan angka kecelakaan kerja seminimal mungkin
membuat para ahli dibidang industri bertanya-tanya faktor apakah yang terlupakan
dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja.
Suizer (1999) salah seorang praktisi Behavioral Safety mengemukakan
bahwa para praktisi safety telah melupakan aspek utama dalam mencegah
terjadinya kecelakaan kerja yaitu aspek behavioral para pekerja. Pernyataan ini
diperkuat oleh pendapat Dominic Cooper. Cooper (1999) berpendapat walaupun
sulit untuk di kontrol secara tepat, 80-95 persen dari seluruh kecelakaan kerja
yang terjadi disebabkan oleh unsafe behavior.
Pendapat Cooper tersebut didukung oleh hasil riset dari NCS tentang
penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Hasil riset NCS menunjukkan bahwa
penyebab kecelakaan kerja 88% adalah adanya unsafe behavior, 10% karena
unsafe condition dan 2% tidak diketahui penyebabnya. Penelitian lain yang
dilakukan oleh DuPont Company menunjukkan bahwa kecelakaan kerja 96%
disebabkan oleh unsafe behavior dan 4% disebabkan oleh unsafe condition.
bekerja tanpa menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa ijin,
menyingkirkan peralatan keselamatan, operasi pekerjaan pada kecepatan yang
berbahaya, menggunakan peralatan tidak standar, bertindak kasar, kurang
pengetahuan, cacat tubuh atau keadaan emosi yang terganggu (Miner,1994).
Menurut Suizer peningkatan peraturan keselamatan; safety training ;
peningkatan alat-alat produksi; penegakan disiplin dan lain-lain belum cukup
untuk mencegah kecelakaan kerja. Perubahan yang didapatkan tidak bisa bertahan
lama karena para pekerja kembali pada kebiasaan lama yaitu unsafe behavior.
Berdasarkan acuan bahwa unsafe behavior merupakan penyumbang terbesar
dalam terjadinya kecelakaan kerja maka untuk mengurangi kecelakaan kerja dan
untuk meningkatkan safety performance hanya bisa dicapai dengan usaha
memfokuskan pada pengurangan unsafe behavior, dan menerapkan safety
behavior di tempat kerja, yang bila diterapkan oleh seluruh pekerja maka akan
tercipta safety culture di tempat kerja.
Melalui kegiatan pemantauan di workshop P.T. Trakindo Utama Cabang
Jakarta, penulis mencoba untuk memberikan gambaran mengenai upaya
pengendalian angka kecelakaan dengan penerapan safety behavior melalui laporan
dengan judul “Gambaran Upaya Penerapan Safety Behavior di Area Workshop
P.T. Trakindo Utama Cabang Jakarta.”
B. Rumusan Masalah
Trakindo Utama Cabang Jakarta mengupayakan penerapan Safety Behavior di
Area Workshop?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang penerapan
Safety Behavior di Area Workshop P.T. Trakindo Utama Cabang Jakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Perusahaan
Masukan sebagai bahan pertimbangan evaluasi mengenai penerapan Safety
Behavior di perusahaan serta sebagai motivasi untuk lebih meningkatkan upaya
terciptanya budaya safety berdasarkan kesadaran pekerja masing-masing di PT.
Trakindo Utama Cabang Jakarta.
2. Program DIII Hiperkes dan Keselamatan Kerja
Diharapkan dapat menambah kepustakaan yang bermanfaat untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan peningkatan program belajar mengajar.
3. Penulis
a. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang aplikasi nyata Safety Behavior
di tempat kerja.
b. Mempraktekkan ilmu keselamatan dan kesehatan kerja yang telah didapat dan
dipelajari dibangku kuliah.
6 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Sumber Bahaya
Kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat menimbulkan kerugian, baik
kerugian langsung maupun tidak langsung. Kerugian ini bisa dikurangi jika
kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah dengan cara dideteksi
sumber-sumber bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja
tersebut (Syukri Sahab, 1997).
Sumber-sumber bahaya bisa berasal dari :
a. Manusia
Termasuk pekerja dan manajemen. Kesalahan utama sebagian besar
kecelakaan, kerugian, atau kerusakan terletak pada karyawan yang kurang
bergairah, kurang terampil, kurang tepat, terganggu emosinya yang pada
umumnya menyebabkan kecelakaan dan kerugian (Bennet N.B Silalahi dan
Rumondang B. Silalahi, 1995). Selain itu apa yang diterima atau gagal diterima
melalui pendidikan, motivasi, serta penggunaan peralatan kerja berkaitan
langsung dengan sikap pimpinan (Freeport, 1995).
b. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam suatu proses dapat menimbulkan bahaya
jika tidak digunakan sesuai fungsinya, tidak ada latihan tentang penggunaan alat
perawatan atau pemeriksaan. Perawatan atau pemeriksaan dilakukan agar bagian
dari mesin atau alat yang berbahaya dapat dideteksi sedini mungkin (Syukri
Sahab, 1997)
c. Bahan
Menurut Syukri Sahab (1997) bahaya dari bahan meliputi berbagai resiko
sesuai dengan sifat bahan, antara lain :
1) Mudah terbakar,
2) Mudah meledak,
3) Menimbulkan alergi,
4) Menyebabkan kanker,
5) Bersifat racun,
6) Radioaktif,
7) Mengakibatkan kelainan pada janin,
8) Menimbulkan kerusakan pada kulit dan jaringan tubuh.
Sedangkan tingkat bahaya yang ditimbulkan menurut Soeripto (1995)
tergantung pada :
1) Bentuk alami bahan atau energi yang terkandung,
2) Berapa banyak terpapar bahan atau energi tersebut,
3) Berapa lama terpapar bahan atau energi tersebut.
d. Proses
Dalam proses kadang menimbulkan asap, debu, panas, bising dan bahaya
mengakibatkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Tingkat bahaya dari proses
ini tergantung pada teknologi yang digunakan (Syukri Sahab, 1997).
e. Cara atau sikap kerja
Cara kerja yang berpotensi terhadap terjadinya bahaya atau kecelakaan
berupa tindakan tidak aman, misalnya :
1) Cara mengangkat yang salah,
2) Posisi yang tidak benar,
3) Tidak menggunakan APD,
4) Lingkungan kerja,
5) Menggunakan alat atau mesin yang tidak sesuai.
f. Lingkungan Kerja
Menurut Bennett N. B. Silalahi dan Rumandaong B. Silalahi (1995),
keadaan lingkungan yang dapat merupakan keadaan berbahaya antara lain :
1) Suhu dan kelembaban udara,
2) Kebersihan udara,
3) Penerapan dan kuat cahaya,
4) Kekuatan bunyi,
5) Cara dan proses kerja,
6) Udara, gas-gas bertekanan,
7) Keadaan lingkungan setempat,
2. Kecelakaan Kerja
Dalam Permenaker No. Per 03/Men/1994 mengenai Program
JAMSOSTEK Pasal I Ayat 7, pengertian kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang
terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena
hubungan kerja demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan
berangkat dari rumah menuju tempat kerja daan pulang kerumah melalui jalan
biasa atau wajar dilalui.
Dalam buku Industrial Safety, David Colling mendefinisikan kecelakaan kerja sebagai berikut: “Kejadian tak terkontrol atau tak direncanakan yang
disebabkan oleh faktor manusia, situasi, atau lingkungan, yang membuat
terganggunya proses kerja dengan atau tanpa berakibat pada cedera, sakit, kematian, atau kerusakan properti kerja.”
Pada dasarnya kecelakaan disebabkan oleh dua hal yaitu tindakan yang
tidak aman (unsafe act) dan kondisi yang tidak aman (unsafe condition). Dari
data kecelakaan didapatkan 85% sebab kecelakaan adalah faktor manusia. Oleh
karena itu sumber daya manusia dalam hal ini memegang peranan penting dalam
penciptaan keselamatan dan kesehatan kerja. Tenaga kerja yang mau
membiasakan dirinya dalam keadaan aman dan melakukan pekerjaan dengan
aman akan sangat membantu dalam memperkecil angka kecelakaan kerja (Suma’mur, 1996).
Cara penelusuran penyebab kecelakaan sesuai dengan urutan domino yang
digunakan pada cara berpikir modern dalam prinsip pencegahan kecelakaan dan
sendirinya, akan tetapi ada serangkaian peristiwa sebelumnya yang mendahului
terjadinya kecelakaan tersebut. Urutan domino dapat dilihat seperti di bawah ini.
Gambar 1. Teori Domino
(Sumber : Teori Domino Heinrich: Teori Ilmiah Pertama tentang Penyebab Kecelakaan Kerja, 2010)
Dalam Teori Domino Heinrich, kecelakaan terdiri atas lima faktor yang
saling berhubungan :
a. Kondisi kerja,
b. Kelalaian manusia,
c. Tindakan tidak aman,
d. Kecelakaan,
e. Cedera.
Kelima faktor ini tersusun layaknya kartu domino yang diberdirikan. Jika
satu kartu jatuh, maka kartu ini akan menimpa kartu lain hingga kelimanya akan
Ilustrasi ini mirip dengan efek domino yang telah kita kenal sebelumnya,
jika satu bangunan roboh, kejadian ini akan memicu peristiwa beruntun yang
menyebabkan robohnya bangunan lain.
Menurut Heinrich, kunci untuk mencegah kecelakaan adalah dengan
menghilangkan tindakan tidak aman sebagai poin ketiga dari lima faktor penyebab
kecelakaan. Menurut penelitian yang dilakukannya, tindakan tidak aman ini
menyumbang 98% penyebab kecelakaan.
Jika kartu nomer 3 tidak ada lagi, seandainya kartu nomer 1 dan 2 jatuh,
ini tidak akan menyebabkan jatuhnya semua kartu.
Dengan adanya gap/jarak antara kartu kedua dengan kartu keempat, pun
jika kartu kedua terjatuh, ini tidak akan sampai menimpa kartu nomer 4.
Akhirnya, kecelakaan (poin 4) dan cedera (poin 5) dapat dicegah.
Dengan penjelasan ini, Teori Domino Heinrich menjadi teori ilmiah
pertama yang menjelaskan terjadinya kecelakaan kerja. Kecelakaan tidak lagi
dianggap sebagai sekedar nasib sial atau karena peristiwa kebetulan.
a. Kurangnya Sistem Pengendalian (Lack of Control)
Dalam urutan Domino, kurangnya pengendalian merupakan urutan
pertama menuju suatu kejadian yang mengakibatkan kerugian. Pengendalian
dalam hal ini ialah salah satu dari empat fungsi manajemen yaitu : planing
(perencanaan), organizing (pengorganisasian), leading (kepemimpinan), dan
controling (pengendalian).
Teori Domino yang pertama akan jatuh karena kelemahan pengawas dan
benar serta tidak mengarahkan para pekerjannya untuk terampil dalam
melaksanakan pekerjaannya. Kurangnya pengendalian dapat disebabkan karena
faktor :
1) Program yang tidak memadai (Inadequate program)
Hal ini disebabkan terlalu sedikitnya program yang diterapkan di tempat
kerja atau karena terlalu banyak kegiatan-kegiatan program. Kegiatan program
yang penting bervariasi dengan lingkup, sifat, dan jenis perusahaan.
2) Standar program yang tidak layak (Inadequate Standard Program)
Guna mematuhi pelaksanaan kegiatan manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang baik perusahaan harus membuat suatu program keselamatan
dan kesehatan kerja, menetapkan standar yang digunakan dan melakukan
pemantauan pelaksanaan program tersebut
3) Standar yang tidak layak (Inadequate to Standard)
Faktor yang menyebabkan kurangnya standar yang diterapkan tidak cukup
spesifik dan tidak cukup jelas serta kurang tingginya standar yang diterapkan.
b. Penyebab Dasar (Basic Causes)
Adalah penyebab nyata yang dibelakang atau melatarbelakangi penyebab
langsung yang mendasari terjadinya kecelakaan, terdiri dari :
1) Faktor Personal (Personal Factor) yaitu meliputi :
a) Kurangnya pengetahuan,
b) Kurangnya ketrampilan,
c) Kurangnya kemampuan fisik dan mental,
e) Stres fisik atau mental.
2) Faktor Pekerjaan (Job Factor) yaitu meliputi :
a) Kepemimpinan dan kepengawasan yang tidak memadai,
b) Engineering kurang memadai,
c) Maintenance kurang memadai,
d) Alat dan peralatan kurang memadai,
e) Pembelian barang kurang memadai,
f) Standar kerja kurang memadai,
g) Aus dan retak akibat pemakaian,
h) Penyalahgunaan wewenang.
c. Penyebab Langsung (Immediate Causes)
Adalah tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman yang secara langsung
menyebabkan kecelakaan yang biasanya dapat dilihat dan dirasakan. Penyebab
langsung tersebut berupa :
1) Tindakan tidak aman (Unsafe Act)
Yaitu pelanggaran terhadap tata cara kerja yang aman sehingga dapat
menimbulkan peluang akan terjadinya kecelakaan, misalnya :
a) Mengoperasikan peralatan tanpa wewenang,
b) Mengoperasikan mesin/peralatan/kendaraan dengan kecepatan tidak layak,
c) Berada dalam pengaruh obat-obatan terlarang dan alkohol,
d) Gagal mengikuti prosedur kerja,
e) Melepas alat pengaman,
g) Tidak memakai alat pelindung diri,
h) Menggunakan peralatan yang sudah rusak,
i) Posisi kerja yang salah,
j) Pengangkutan yang tidak layak,
k) Bersendau gurau di waktu kerja,
l) Kegagalan untuk memperingatkan.
2) Kondisi tidak aman (Unsafe Condition)
Kondisi fisik yang membahayakan dan langsung membuka terhadap
kecelakaan. Keadaan tidak aman tersebut antara lain :
a) Peralatan atau material yang rusak,
b) Pelindung atau pembatas yang tidak layak,
c) Alat pelindung diri yang kurang sesuai,
d) Sistem peringatan tanda bahaya yang kurang berfungsi,
e) Kebersihan dan tata ruang tempat kerja tidak layak,
f) Kondisi lingkungan kerja mengandung debu, gas, asap, atau uap yang
melebihi NAB (Nilai Ambang Batas),
g) Intensitas kebisingan yang melebihi NAB,
h) Paparan radiasi,
i) Temperatur ruang kerja terlalu tinggi atau rendah,
j) Penerangan yang kurang atau berlebihan,
k) Ventilasi yang kurang,
l) Bahaya kebakaran dan peledakan,
d. Kecelakaan (Accident)
Jika potensi penyebab kecelakaan dibiarkan saja untuk terjadi, maka
jalannya akan selalu terbuka untuk kontak dengan sumber bahaya. Kecelakaan
tersebut dapat berupa :
1) Terbentur/menabrak suatu benda,
2) Terbentur/tertabrak benda/alat yang bergerak,
3) Jatuh ke tingkat yang lebih rendah,
4) Jatuh pada tingkat yang sama (tergelincir, tersandung, terpeleset),
5) Terjepit diantara dua benda,
6) Terjepit kedalam alat/benda yang berputar,
7) Kontak dengan listrik, panas, dingin, radiasi, bahan beracun.
3. Safety Behavior
Safety behavior adalah perilaku keselamatan manusia di area kerja dalam
mengidentifikasi bahaya serta menilai potensi resiko yang timbul hingga bisa
diterima dalam melakukan pekerjaan yang berinteraksi dengan aktivitas, produk
dan jasa yang dilakukannya (Dewo P. Rahardjo, 2010).
Dalam mengelola perilaku keselamatan pada tahap dimana seseorang
mampu menetapkan pengendalian resiko terkait aktivitasnya merupakan perilaku
keselamatan unggul yang diharapkan dalam suatu perusahaan.
Seperti kita ketahui bahwa penyebab kecelakaan terbesar adalah human
error hingga pada skala lebih dari 80%. Penyebab langsung (Direct Cause)
sebagai penyebab utama berasal dari unsafe act (tindakan tidak aman) serta unsafe
a. Penyebab Unsafe Behavior
Orang atau pekerja sering melakukan unsafe behavior terutama disebabkan
oleh :
1) Merasa telah ahli di bidangnya dan belum pernah mengalami kecelakaan
Berpendapat bahwa bila selama ini bekerja dengan cara ini (unsafe) tidak
terjadi apa-apa, mengapa harus berubah. Pernyataan tersebut mungkin benar
namun tentu saja hal ini merupakan potensi besar untuk terjadinya kecelakaan
kerja.
2) Reinforcement yang besar dari lingkungan untuk melakukan unsafe act
Reinforcement yang didapat segera, pasti dan positif. Bird (dalam
Muchinsky, 1987) berpendapat bahwa para pekerja sebenarnya ingin mengikuti
kebutuhan akan keselamatan (safety needs) namun adanya need lain menimbukan
konflik dalam dirinya. Hal ini membuat ia menomorduakan safety need
dibandingkan banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalah keinginan untuk
menghemat waktu, menghemat usaha, merasa lebih nyaman, menarik perhatian,
mendapat kebebasan dan mendapat penerimaan dari lingkungan. Menurut
Muchinsky, dalam bukunya Psychology Applied to Work (1987), needs yang
menimbulkan konflik dengan safety needs, antara lain :
a) Safety versus saving time,
b) Safety versus saving effort,
c) Safety versus comfort,
d) Safety versus getting attention,
f) Safety versus group acceptance.
3) Pengawas atau manajer yang tidak peduli dengan safety
Para manajer ini secara langsung atau tidak langsung memotivasi para
pekerja untuk mengambil jalan pintas, mengabaikan bahwa perilakunya berbahaya
demi kepentingan produksi. Keadaan ini menghasilkan efek negatif yaitu para
pekerja belajar bahwa ternyata dengan melakukan unsafe behavior ia mendapat
reward. Hal ini membuat unsafe behavior yang seharusnya dihilangkan namun
justru mendapat reinforcement untuk muncul. Selain itu kurangnya kepedulian
manager terhadap safety ini membuat pekerja menjadi meremehkan komitmen
perusahaan terhadap safety.
b. Upaya yang Biasa Dilakukan untuk Mengurangi Unsafe Behavior
1) Menghilangkan bahaya di tempat kerja dengan merekayasa faktor bahaya
atau mengenalkan kontrol fisik
Cara ini dilakukan untuk mengurangi potensi terjadinya unsafe behavior,
namun tidak selalu berhasil karena pekerja mempunyai kapasitas untuk
berperilaku unsafe dan mengatasi kontrol yang ada.
2) Mengubah sikap pekerja agar lebih peduli dengan keselamatan dirinya
Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa perubahan sikap akan mengubah
perilaku. Berbagai upaya yang dapat dilakukan adalah melalui kampanye dan
safety training. Pendekatan ini tidak selalu berhasil karena ternyata perubahan
sikap tidak diikuti dengan perubahan perilaku. Sikap sering merupakan apa yang
3) Memberikan punishment terhadap unsafe behavior
Cara ini tidak selalu berhasil karena pemberian punishment terhadap
perilaku unsafe harus konsisten dan segera setelah muncul, hal inilah yang sulit
dilakukan karena tidak semua unsafe behavior dapat terpantau secara langsung.
4) Memberikan reward terhadap munculnya safety behavior
Cara ini sulit dilakukan karena reward minimal harus setara dengan
reinforcement yang didapat dari perilaku unsafe.
c. Pendekatan Behavior Safety untuk Mengurangi Unsafe Behavior
Cooper (1999) mengidentifikasi adanya tujuh kriteria yang sangat penting
bagi pelaksanaan program behavioral safety, yaitu antara lain :
1) Melibatkan Partisipasi Karyawan yang Bersangkutan.
Salah satu sebab keberhasilan behavioral safety adalah karena melibatkan
seluruh pekerja dalam safety management. Pada masa sebelumnya safety
management bersifat top-down dengan tendensi hanya berhenti di management
level saja. Hal ini berarti para pekerja yang berhubungan langsung dengan unsafe
behavior tidak dilibatkan dalam proses perbaikan safety performance. Behavioral
safety mengatasi hal ini dengan menerapkan sistem bottom-up, sehingga individu
yang berpengalaman dibidangnya terlibat langsung dalam mengidentifikasi unsafe
behavior. Dengan keterlibatan workforce secara menyeluruh dan adanya
komitmen, ownership seluruh pekerja terhadap program safety maka proses
2) Memusatkan Perhatian pada Perilaku Unsafe yang Spesifik
Alasan lain keberhasilan behavioral safety adalah memfokuskan pada
unsafe behavior (sampai pada proporsi yang terkecil) yang menjadi penyumbang
terbesar terjadinya kecelakaan kerja di perusahaan. Menghilangkan unsafe
behavior berarti pula menghilangkan sejarah kecelakaan kerja yang berhubungan
dengan perilaku tersebut. Untuk mengidentifikasi faktor di lingkungan kerja yang
memicu terjadinya unsafe behavior para praktisi menggunakan teknik behavioral
analisis terapan dan memberi reward tertentu pada individu yang mengidentifikasi
unsafe behavior.
Praktisi lain juga mengidentifikasikan kekurangan sistem manajemen yang
berhubungan agar cepat ditangani sehingga tidak lagi memicu terjadinya unsafe
behavior. Unsafe atau safety behavior yang teridentifikasi dari proses tersebut
disusun dalam check list dalam format tertentu, kemudian dimintakan persetujuan
karyawan yang bersangkutan. Ketika sistem behavioral safety semakin matang
individu menambahakan unsafe behavior dalam check list sehingga dapat
dikontrol atau dihilangkan. Syarat utama yang harus dipenuhi yaitu, unsafe
behavior tersebut harus observable, setiap orang bisa melihatnya
3) Didasarkan pada Data Hasil Observasi.
Observer memonitor safety behavior pada kelompok mereka dalam waktu
tertentu. Makin banyak observasi makin reliabel data tersebut, dan safety behavior
4) Proses Pembuatan Keputusan Berdasarkan Data
Hasil observasi atas perilaku kerja dirangkum dalam data prosentase
jumlah safety behavior. Berdasarkan data tersebut bisa dilihat letak hambatan
yang dihadapi. Data ini menjadi umpan balik yang bisa menjadi reinforcement
positif bagi karyawan yang telah berprilaku safe, selain itu bisa juga menjadi dasar
untuk mengoreksi unsafe behavior yang sulit dihilangkan.
5) Melibatkan Intervensi secara sistimatis dan observasional
Keunikan sistem behavioral safety adalah adanya jadwal intervensi yang
terencana. Dimulai dengan briefing pada seluruh departemen atau lingkungan
kerja yang dilibatkan, karyawan diminta untuk menjadi relawan yang bertugas
sebagai observer yang tergabung dalam sebuah project team. Observer ditraining
agar dapat menjalankan tugas mereka. kemudian mengidentifikasi unsafe
behavior yang diletakkan dalam check list. Daftar ini ditunjukkan pada para
pekerja untuk mendapat persetujuan. Setelah disetujui, observer melakukan
observasi pada periode waktu tertentu, untuk menentukan baseline. Setelah itu
barulah program interverensi dilakukan dengan menentukan goal setting yang
dilakukan oleh karyawan sendiri. Observer terus melakukan observasi. Data hasil
observasi kemudian dianalisis untuk mendapatkan feed back bagi para karyawan.
Team project juga bertugas memonitor data secara berkala, sehingga perbaikan
dan koreksi terhadap program dapat terus dilakukan.
6) Menitikberatkan pada umpan balik terhadap perilaku kerja
Dalam sistem behavioral safety umpan balik dapat berbentuk: umpan balik
dalam bentuk data (grafik) yang ditempatkan dalam tempat-tempat yang strategis
dalam lingkungan kerja; dan umpan balik berupa briefing dalam periode tertentu
dimana data hasil observasi dianalis untuk mendapatkan umpan balik yang
mendetail tantang perilaku yang spesifik.
7) Membutuhkan dukungan dari manager
Komitmen management terhadap proses behavioral safety biasanya
ditunjukkan dengan memberi keleluasaan pada observer dalam menjalankan
tugasnya, memberikan penghargaan yang melakukan safety behavior,
menyediakan sarana dan bantuan bagi tindakan yang harus segera dilakukan,
membantu menyusun dan menjalankan umpan balik, dan meningkatkan inisiatif
untuk melakukan safety behavior dalam setiap kesempatan. Dukungan dari
manajemen sangat penting karena kegagalan dalam penerapan behavioral safety
biasanya disebabkan oleh kurangnya dukungan dan komitmen dari manajemen.
d. Hasil yang Diharapkan dari Penerapan Behavioral Safety
Ada delapan hasil penerapan behavioral safety yang terencana dalam suatu
perusahaan (Cooper,1999).
1) Angka kecelakaan kerja yang rendah,
2) Meningkatkan jumlah safety behavior,
3) Mengurangi accident cost,
4) Program tetap bertahan dalam waktu lama,
5) Penerimaan sistem oleh semua pihak,
6) Generalisasi behavioral safety pada sistem lain (ex: sistem manajemen),
8) Peningkatan laporan tentang kecelakaan kerja yang terjadi.
4. Teori Perubahan Perilaku
Menurut Fleming & Lardner dalam buku strategies to promote safe
behavior as part of a health and safety management system, unsur inti dari
modifikasi perilaku adalah ABC Model of Behavior, Antecedents / Pendahulunya
(A), Behavior / Perilaku (B) dan Consequences / Konsekuensi (C).
Gambar 2. ABC Model of Behavioural Change
(Sumber : Bureau Veritas, 2010)
ABC Model of Behavior menentukan perilaku yang dipicu oleh satu set
pendahulunya (sesuatu yang mendahului perilaku dan kausal terkait dengan
perilaku) dan diikuti oleh konsekuensi (hasil dari perilaku bagi individu) yang
menambah atau mengurangi kemungkinan bahwa perilaku akan diulang. Para
pendahulu diperlukan tetapi tidak cukup untuk mendorong terjadinya perilaku.
Tabel 1. Contoh ABC Analysis
(Sumber : The Keil Centre, 2002)
Contoh pada Tabel 1 menunjukkan kompleksitas analisis perilaku. Dalam
contoh ini, antecendents mempengaruhi perilaku yang diinginkan terjadi, sebagai
karyawan yang disertakan dengan pelindung telinga, mereka diminta untuk
tahu kebisingan yang dapat merusak pendengaran mereka. Meskipun antecedents
sudah jelas dan pada tempatnya, banyak staf tidak mengenakan pelindung telinga
mereka, karena mereka menemukan konsekuensi tidak mengenakan pelindung
telinga mereka lebih menarik (memperkuat) dibandingkan konsekuensi dari
memakai pelindung telinga mereka. Dengan demikian, tabel tersebut menjelaskan
bagaimana konsekuensi mempengaruhi perilaku.
Analisis ABC mengidentifikasi pola antecedents dan konsekuensi yang
memperkuat terjadinya perilaku dan konsekuensi yang terjadi untuk perilaku yang
diinginkan. Analisis ini memfasilitasi identifikasi intervensi untuk mengatur ulang
antecedents dan konsekuensi meningkatkan frekuensi perilaku yang diinginkan.
Untuk berhasil melakukan analisis ABC, diperlukan untuk memiliki pemahaman
yang jelas mengenai perilaku dan apa yang penting bagi orang-orang yang
melakukan suatu perilaku. Oleh karena itu, melibatkan individu dengan
pengalaman spesifik perilaku sangat penting. ABC model of behavior adalah dasar
teoritis untuk intervensi modifikasi perilaku, tetapi menerapkan model teoritis
dalam praktik adalah proses yang lebih kompleks.
5. Perancangan Intervensi Modifikasi Perilaku Keselamatan
Menurut buku strategies to promote safe behavior as part of a health and
safety management system, perilaku modifikasi program memiliki tiga unsur
utama :
a. Menunjukkan dengan tepat perilaku yang relevan, hati-hati menentukan
b. Menganalisis perilaku tersebut dan secara khusus berfokus pada
antecedents konsekuensi, sebagai konsekuensi (misalnya jenis dan frekuensi
umpan balik yang diterima) memiliki dampak yang kuat dalam menentukan
perilaku. Apa yang terjadi sebelum perilaku (antecedents) juga dapat memiliki
dampak yang sangat penting (misalnya pelatihan, penetapan tujuan, komunikasi
kebijakan perusahaan).
c. Penekanan pada evaluasi, ketat mengevaluasi apakah perilaku telah
berubah sebagai dimaksudkan, dan apakah perubahan itu karena intervensi, atau
faktor lainnya.
Intervensi modifikasi perilaku bervariasi tergantung pada pengaturan
organisasi, target populasi dan perilaku yang harus diubah. Ketiga unsur ini
membentuk enam langkah proses intervensi:
a. Menetapkan hasil yang diinginkan atau keluaran dari kegiatan atau
individu di bawah pemeriksaan
b. Menentukan perilaku kritis yang mempengaruhi area kinerja yang akan
diperbaiki
c. Memastikan bahwa individu dapat melakukan perilaku yang diinginkan
d. ABC Melakukan analisis terhadap perilaku saat ini dan yang
diinginkan, dan bila perlu mengubah antecedents
e. Mengubah konsekuensi segera setelah perilaku yang diinginkan
f. Mengevaluasi dampak dari mengubah konsekuensi pada perilaku dan
pada hasil yang diinginkan.
Proses enam langkah ini dapat digunakan untuk menganalisis dan
mempromosikan masalah perilaku keselamatan.
a. Menetapkan Hasil yang Diinginkan
Langkah pertama dalam setiap proses perubahan perilaku adalah
membangun hasil yang diinginkan atau output dari kelompok individu yang
bersangkutan. Adalah penting untuk memahami apa yang diusahakan untuk
dicapai karena jika hal ini tidak diketahui, maka tidaklah mungkin untuk menilai
b. Menentukan Perilaku Kritis
Setelah hasil yang diinginkan yang ditentukan, maka perilaku yang
diperlukan untuk mencapai hasil ini perlu didirikan. Ketika menentukan perilaku
yang diinginkan adalah penting untuk ingat bahwa perilaku yang nyata dan
diamati, bukanlah keyakinan, sikap atau subjektif. Perilaku ini perlu didefinisikan secara tepat. Pernyataan seperti: „menunjukkan bahwa mereka berkomitmen untuk
keselamatan’ adalah terlalu umum. Hal ini diperlukan untuk menentukan perilaku
aktual yang diperlukan untuk menunjukkan komitmen terhadap keselamatan.
Sebuah cara yang berguna untuk mengidentifikasi perilaku kritis adalah
memeriksa apa yang membedakan perilaku karyawan yang efektif dari mereka
yang kurang efektif di daerah di mana perbaikan yang dicari. Penilaian risiko juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi perilaku kritis yang aman dan tidak aman
yang terkait dengan bahaya.
Perilaku ini harus dinyatakan sebagai tindakan yang positif, sebagai lawan
dari kurangnya tindakan misalnya 'Mematuhi semua peraturan dan prosedur'
bukan 'tidak melanggar' prosedur. Meskipun ini mungkin tampak seperti
perbedaan semantik, adalah merupakan perbedaan penting, karena mungkin untuk
mencapai yang terakhir dengan tidak melakukan apa-apa, yang berarti itu bukan
perilaku. perangkap ini dapat dihindari dengan menerapkan Dead Man Test yang
dikembangkan oleh Lindsley, yang menyatakan, "Jika orang mati dapat
melakukan itu, itu bukanlah perilaku dan Anda tidak perlu membuang waktu
Meskipun ini mungkin tampak seperti akal sehat, cukup mengejutkan
bahwa banyak tujuan bersama melanggar peraturan ini. Misalnya, tujuan
keselamatan umum organisasi adalah nol kecelakaan, yang melanggar Dead Man
Test, sebagaimana fakta bahwa orang mati tidak pernah mengalami kecelakaan.
Hal ini penting untuk menentukan perilaku kritis yang positif meningkatkan
keselamatan.
Selain menjadi tindakan positif, perilaku harus dapat diamati, diukur, dan
dapat diandalkan. Kadang-kadang diperbebatkan bahwa perilaku penting banyak
yang tidak diamati, tetapi ini tidak dapat menjadi kasus, misalnya dengan definisi
semua perilaku yang diamati, bahkan jika perilaku tersebut hanya diamati
oleh seorang aktor. Jika sesuatu itu tidak dapat diamati, maka sesuatu itu bukanlah
perilaku.
Begitu sesuatu yang dapat diamati maka dapat diukur, bahkan jika perilaku
tidak terjadi itu dapat diukur, "ukurannya adalah nol". Adalah penting bahwa
perilaku dapat diukur secara andal apakah perubahan perilaku akan terjadi. Cara
yang paling efektif untuk menguji keandalan adalah untuk membandingkan hasil
dari dua pengamat yang mengamati perilaku yang sama. Jika mereka datang
dengan hasil yang sama, maka pengukuran perilaku mereka cukup handal. Ketiga
kriteria (observability, terukurnya dan kehandalan) dapat dicapai melalui deskripsi
rinci dari perilaku kritis tertentu.
c. Menetapkan bahwa Grup Target dapat Melakukan Perilaku
Sasaran individu atau kelompok harus memiliki kendali atas perilaku kritis
kendali mereka, maka tidak akan mungkin bagi mereka untuk mengubah perilaku
mereka. Jika mereka tidak mampu melakukan perilaku tersebut kemudian
perubahan akan dibutuhkan dari lingkungan, sistem, peralatan atau individu
melalui program pelatihan.
d. Analisis Perilaku ABC
Analisis ABC dilakukan pada perilaku yang diinginkan dan perilaku saat
ini untuk mengidentifikasi pendahulu dan konsekuensi dari perilaku tersebut.
1) Mengubah antecedents
Jika analisis ini menunjukkan bahwa antecedents untuk perilaku yang
diinginkan tidak di tempat maka hal ini perlu ditangani. Pendahulu yang penting
dan diperlukan agar individu untuk melakukan perilaku sehingga, semua individu
yang mungkin diperlukan untuk melakukan perilaku ini akan memerlukan
antecedentsnya. Misalnya, setelah kematian organisasi mengamanatkan bahwa
semua karyawan yang bekerja di atas enam kaki harus mengenakan safety
harness. Akibatnya, ini berarti bahwa semua operator proses perlu memakai safety
harness di kesempatan, tetapi mereka belum menerima pelatihan tentang
bagaimana menggunakan safety harness. Insiden berikutnya terungkap bahwa
proses operator tidak menggunakan safety harness dengan benar dan dengan
demikian safety harness hanya memberikan perlindungan yang terbatas.
2) Analisis Konsekuensi
Analisis ABC melibatkan penilaian konsekuensi yang diinginkan dan
perilaku yang tidak diinginkan dalam hal jangka waktu mereka, prediktabilitas
bagi individu diidentifikasi adalah melibatkan individu-individu yang melakukan
perilaku dalam analisis. Proses mengidentifikasi konsekuensi harus dilakukan di
lingkungan terbuka dimana para peserta dapat menyoroti konsekuensi negative
(hukuman) untuk melakukan perilaku yang diinginkan.
e. Mengubah Konsekuensi untuk Memperkuat Perilaku yang Diinginkan
Analisis ABC mengidentifikasi konsekuensi yang mendorong perilaku saat
ini, yang menyoroti area yang membutuhkan perubahan. Intervensi ini akan
melibatkan lebih banyak menyediakan konsekuensi yang segera, tertentu dan
positif untuk perilaku yang diinginkan atau menghapus konsekuensi-konsekuensi
ini dari perilaku yang tidak diinginkan. Pada kenyataannya, campuran keduanya
akan dibutuhkan.
f. Evaluasi Dampak Intervensi
Menilai efektivitas program ini membutuhkan pembentukan tingkat
perilaku perubahan dan perubahan hasil yang diinginkan berikut intervensi.
Dalam prakteknya, ini melibatkan membandingkan output dan perilaku dari
kelompok sasaran setelah intervensi dengan ukuran dasar untuk menetapkan
tingkat perubahan.
6. Unsur Kunci Program Observasi Keselamatan
Menurut M. Fleming & R. Lardner, observasi perilaku keselamatan dan
program feedback mempromosikan perilaku yang diinginkan dengan
memperkenalkan dukungan positif untuk berperilaku aman. Dukungan positif
tersebut diberikan melalui umpan balik positif. Program-program ini didasarkan
Gambar 4. Program Behavioral Safety (Sumber : The Keil Centre, 2002)
a. Pelaksanaan
Efektivitas observasi perilaku keselamatan dan program umpan balik
tergantung dari pelaksanaan yang efektif. Gambar 3 menggambarkan tahap-tahap
utama dalam pelaksanaan perilaku program keselamatan.
1) Penilaian Kematangan atau Kesiapan Budaya
Tahap pertama dalam pelaksanaan adalah penilaian dari kesiapan
organisasi untuk menerapkan program keselamatan perilaku. Kematangan budaya
merujuk pada unsur-unsur penting budaya keselamatan (misalnya komitmen
manajemen, kepercayaan, komunikasi) yang menentukan kesiapan organisasi
untuk melaksanakan program keselamatan perilaku. Riset baru-baru ini,
menunjukkan bahwa organisasi harus memilih program-program keselamatan
ketidakcocokan adalah salah satu alasan mengapa program perilaku keselamatan
gagal. Karena itu penting bagi organisasi untuk menetapkan bahwa mereka siap
untuk melaksanakan program perilaku keselamatan dan untuk mengidentifikasi
masalah potensial yang mungkin mereka hadapi. Dengan mengidentifikasi
hambatan potensial sebelum menerapkan program, organisasi akan mampu
mengelola masalah-masalah ini lebih efektif. Misalnya, jika reorganisasi mungkin
terjadi selama pelaksanaan program, maka program bisa ditunda sampai setelah
reorganisasi.
2) Dukungan Manajemen dan Tenaga Kerja
Manajemen dan kepemilikan dan dukungan tenaga kerja untuk proses
perilaku keselamatan sangat penting untuk keberhasilan program. Sebuah cara
yang efektif untuk memperoleh dukungan dan kepemilikan adalah melibatkan
karyawan dalam program ini. Bagi individu untuk terlibat mereka harus merasa
bahwa pandangan dan pendapat mereka adalah penting dan bahwa mereka dapat
membuat perbedaan. Oleh karena itu, karyawan harus dapat mempengaruhi
pemilihan program jenis dan bagaimana akan diimplementasikan. Sebuah
kelompok sangat penting untuk dilibatkan adalah para supervisor baris pertama
karena mereka dapat baik memfasilitasi atau mencegah pengamatan yang
dilakukan.
Selain melibatkan karyawan dalam pemilihan program, mereka juga perlu
langsung terlibat dalam pengelolaan program. Tidaklah mungkin bagi semua
karyawan untuk terlibat dalam menjalankan program ini karena individu yang
Sebagian besar program-program keselamatan perilaku membutuhkan staf
garis depan untuk melakukan perilaku keselamatan pengamatan pada rekan-rekan
mereka. Orang-orang ini biasanya disebut sebagai pengamat. Dalam kebanyakan
kasus, karyawan diminta untuk secara sukarela untuk menjadi pengamat, tetapi
kadang-kadang seluruh tenaga kerja terlatih atau kelompok tertentu (perwakilan
safety atau pengawas) yang dipilih untuk berpartisipasi.
3) Pelatihan Perilaku Keselamatan
Terlepas dari apakah co-ordinator tunggal atau kelompok pengarah
mengelola program tersebut, pelatihan dalam teknik perilaku keselamatan akan
dibutuhkan. Pelatihan ini mungkin termasuk masukan tentang psikologi mendasari
perilaku keselamatan, bagaimana mengidentifikasi keamanan kritis perilaku dan
cara memberikan umpan balik, baik tatap muka atau ke grup. Jumlah
individu terlatih dan kedalaman pelatihan akan tergantung pada program tertentu.
Beberapa program melatih semua staf, sedangkan yang lain melatih minoritas
karyawan. Selain pelatihan steering commitee, pengamat membutuhkan pelatihan
dalam cara melakukan pengamatan dan bagaimana untuk merekam informasi.
Kedalaman dan tingkat pelatihan bervariasi antara penyedia layanan. Beberapa
penyedia menilai kualitas pengamatan oleh membandingkan pengamatan mereka
sendiri akan situasi dengan pengamatan peserta pelatihan itu. Mayoritas penyedia
memberikan bahan organisasi dan instruksi tentang bagaimana untuk melatih
4) Menentukan Critical Safety Behaviors
Sebagian besar program-program perilaku keselamatan mengembangkan
daftar perilaku keselamatan penting untuk disertakan pada daftar periksa yang
dilengkapi dengan pengamat. Berbagai teknik dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kesehatan dan keselamatan perilaku kritis untuk memasukkan
pada daftar. Semua penyedia diwawancarai diidentifikasi perilaku kritis melalui
analisis laporan kecelakaan sebelumnya. Setelah mengatakan ini, hanya dua
penyedia bergantung sepenuhnya pada laporan kecelakaan sebelumnya sebagai
sumber perilaku. Sepenuhnya mengandalkan laporan kecelakaan memiliki
keterbatasan yang jarang tetapi kritis kesehatan dan perilaku keselamatan dapat
dikecualikan. Analisis Kecelakaan hanya mengidentifikasi perilaku yang
menyebabkan cedera, sehingga tidak termasuk perilaku kesehatan kritis dengan
konsekuensi yang belum memanifestasikan diri mereka sendiri (misalnya terpapar
asbes) dan perilaku yang karena kebetulan belum belum menyebabkan cedera
recordable. Selain itu, kualitas dan tingkat detail yang diberikan oleh laporan
kecelakaan tidak dapat memfasilitasi identifikasi semua perilaku kritis.
5) Membangun sebuah Baseline
Elemen terakhir dalam tahap implementasi adalah membentuk garis dasar.
Ini melibatkan melakukan observasi awal untuk menetapkan tingkat saat ini
perilaku aman bagi kritis perilaku diidentifikasi. Tidak semua program
membentuk garis dasar. baseline adalah berguna karena memungkinkan umpan
b. Observasi dan Proses Feedback
Setelah tahap implementasi telah selesai, maka proses observasi dan
umpan balik dimulai. Ini adalah proses yang berkelanjutan dari observasi, umpan
balik, penetapan tujuan dan review.
1) Pengamatan
Tahap pertama dalam proses adalah melakukan pengamatan. Secara
umum, rekan-rekan melakukan pengamatan, tetapi di beberapa program mereka
yang dilakukan oleh atasan. Kesesuaian program beragam dalam pendekatan
mereka untuk melakukan pengamatan dan bagaimana perilaku aman diukur.
Secara umum, pengamat diberikan daftar dengan daftar perilaku (misalnya
memakai semua APD benar) dan pengamat harus menunjukkan apakah individu
tersebut aman, tidak aman atau perilaku tidak diamati. Sangat penting bahwa
perilaku jelas digambarkan memungkinkan pengamat untuk menilai apakah
seseorang berperilaku aman atau tidak aman.
2) Saran atau Masukan
Umpan balik positif adalah salah satu elemen yang paling penting dalam
proses, karena ini adalah konsekuensi positif yang diperkenalkan untuk
memperkuat perilaku yang aman. Ada dua jenis utama umpan balik, sumatif dan
formatif. Sumatif menyediakan umpan balik individu dengan informasi tentang
kinerja mereka, misalnya "Kerja yang bagus, Sam.". Formatif menyediakan
umpan balik informasi tentang bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerja
mereka, misalnya "Pada saat Anda melakukan penilaian risiko, coba melibatkan
pekerjaan". Umpan balik formatif harus disampaikan oleh seseorang yang
dianggap kredibel dan berpengetahuan oleh individu menerima umpan balik.
Umpan balik sumatif dapat diberikan di depan umum atau secara pribadi, namun
khusus untuk formatif harus diberikan secara pribadi karena bila disampaikan di
depan umum dapat disalahpersepsikan sebagai hukuman.
Tiga faktor yang mempengaruhi dampak dari umpan balik, yaitu:
a) Waktu
Pemberian saran atau masukan harus diperhitungkan waktunya sehingga
berguna dan bermakna bagi orang menerima umpan balik. Umpan balik
cenderung paling efektif segera setelah perilaku.
b) Fokus
Umpan balik harus spesifik dan fokus pada perilaku yang diinginkan
c) Kesesuaian
Umpan balik harus sesuai dengan harapan orang yang menerima umpan
balik.
Program perilaku keselamatan bervariasi dalam jenis umpan balik yang
diberikan. Beberapa program memberikan umpan balik kepada individu pada saat
itu; lain memberikan umpan balik kepada kelompok misalnya
mempresentasikan hasil grafis atau dan beberapa memberikan keduanya.
Memberikan umpan balik, terutama umpan balik formatif memerlukan
keterampilan dan keahlian, karena itu pengamat memerlukan sejumlah besar
3) Menetapkan Tujuan dan Review
Setelah pengamatan dan proses umpan balik yang beroperasi secara
efektif, tujuan perbaikan perilaku partisipatif ditetapkan dengan kelompok
sasaran. Meskipun tidak semua program perilaku keselamatan mencakup
penetapan tujuan, bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa penetapan sasaran
meningkatkan jumlah perubahan perilaku. Hal ini penting untuk menetapkan
tujuan yang akan dicapai yang realistis sehingga orang akan menjadi termotivasi.
4) Modifikasi Lingkungan
Pengamatan dan proses umpan balik dapat mengidentifikasi kondisi tidak
aman atau hambatan (antecedents) kepada individu berperilaku aman. Perbaikan
lingkungan atau sistem mungkin diperlukan dalam rangka meningkatkan perilaku
karyawan. Informasi ini dikumpulkan dan tindakan yang diambil untuk membuat
perbaikan. Minta umpan balik kepada staf tentang status tidak aman
kondisi disorot oleh sistem sangat penting bagi komitmen yang berkesinambungan
untuk program ini.
5) Monitor Performance
Perubahan kinerja dilacak dari waktu ke waktu, untuk menilai dampak
program pada perilaku keselamatan. Perubahan persentase observasi di mana
perilaku dinyatakan aman menunjukkan efektivitas proses. Jika tidak ada
perubahan atau perbaikan terbatas dalam perilaku tertentu dari waktu ke waktu,
penting untuk menyelidiki perilaku ini lebih terinci untuk
mengidentifikasi apakah ada hambatan untuk kemunculan perilaku aman.
perilaku yang aman, atau perancangan pabrik miskin dapat membuat aman
perilaku sulit dicapai dalam praktek.
6) Review Daftar Prilaku Kritis
Daftar perilaku kritis direvisi secara berkala dan perilaku baru
ditambahkan dan yang sudah ada perilaku diganti. Suatu perilaku kritis dapat
dihapus dari daftar dan diganti dengan perilaku baru, ketika telah mencapai
'kekuatan kebiasaan', yakni secara konsisten diamati sebagai aman.
Setelah tujuan tercapai maka putaran lain penetapan sasaran partisipatif dilakukan.
Di umum, target partisipatif pengaturan sesi yang diadakan secara teratur
(misalnya kuartalan).
7. Hubungan Safety Behavior dengan Safety Culture
Menurut Geller, dalam bukunya The Psychology of Safety Handbook,
secara umum total safety culture membutuhkan perhatian berkelanjutan terhadap
tiga hal berikut :
a. Environment factors (termasuk peralatan, perlengkapan, prosedur,
standard, dan temperature, keadaan fisik).
b. Person factors (termasuk sikap, kepercayaan dan kepribadian
seseorang)
c. Behavior factors (termasuk praktek kerja aman, serta turut campur
Gambar 5. “The Safety Triad” (Sumber : Geller, 1989)
Tiga faktor di atas bersifat dinamis dan interaktif. Perubahan di dalam
salah satu faktor dapat mempengaruhi dua faktor lainnya. Sebagai contoh,
behaviors/perilaku yang mengurangi kemungkinan kecelakaan sering melibatkan
perubahan lingkungan dan menuju kepada sikap yang konsisten dengan safe
behaviors. Hal ini secara khusus benar jika behaviors/perilaku dilakukan dengan
sukarela. Dengan kata lain, ketika seseorang memilih untuk bertindak dengan
aman (act safely), mereka bertindak dalam pola pikir aman (safe thinking).
Perilaku tersebut sering menghasilkan perubahan dalam lingkungan.
Sedangkan DuPont mengeluarkan teori, bahwa seiring dengan
berkembangnya safety culture di perusahaan maka angka kecelakaan juga akan
menurun. Tahapan safety culture dibagi menjadi empat tahapan, yaitu antara lain :
Gambar 6. Hubungan Injury Rates dengan Safety Culture (Sumber : DuPont, 2006)
Di dalam total safety culture, akan tercipta keadaan sebagai berikut :
d. Setiap orang merasa bertanggung jawab untuk safety dan melakukan hal yang
berkaitan dengan itu sebagai kebutuhan sehari-hari.
e. Orang-orang peka dalam mengidentifikasi unsafe conditions dan at-risk
behaviors dan mereka dapat mengoreksinya.
f. Praktek kerja aman didukung penuh dengan rewarding feedback dari rekan
pekerja dan manajer.
g. Orang-orang secara aktif peduli berkesinambungan terhadap safety untuk
dirinya sendiri dan orang lain.
h. Safety tidak dianggap sebagai prioritas yang dapat sewaktu-waktu digantikan
tergantung pada keadaan, tetapi safety dianggap sebagai suatu nilai yang
42 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian deskriptif, yaitu
merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan
sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang,
proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang
kecenderungan yang tengah berlangsung.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di area workshop P.T. Trakindo Utama Cabang
Jakarta.
C. Objek Penelitian
Sebagai obyek penelitian adalah tenaga kerja, proses kerja, potensi bahaya
yang ada, sikap kerja, peralatan dan mesin yang digunakan di workshop P.T.
Trakindo Utama Cabang Jakarta.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai
berikut :
1. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung
2. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya
jawab dengan pihak yang terkait dengan upaya penerapan safety behavior di
tempat kerja.
3. Studi pustaka, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari
dokumen-dokumen perusahaan, buku-buku kepustakaan, laporan- laporan
penelitian yang sudah ada serta sumber lain yang berhubungan dengan
penelitian ini.
E. Sumber Data
Dalam melaksanakan penelitian, penulis menggunakan data-data sebagai
berikut :
1. Data Primer
Data primer diperoleh dengan melakukan observasi, survei ke lapangan/
tempat kerja dan wawancara serta diskusi dengan tenaga kerja (mekanik dan
administrasi).
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari data perusahaan sebagai pelengkap laporan
ini.
F. Analisis Data
Data yang diperoleh akan dibahas secara deskriptif yaitu gambaran
Jakarta kemudian dari hasil pengamatan akan dibandingkan dengan
peraturan-peraturan pemerintah dan juga standar dari perusahaan.
45 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Dari hasil observasi di lapangan yaitu mengenai proses pekerjaan serta
lingkungan kerja di area workshop PT. Trakindo Utama Cabang Jakarta
ditemukan berbagai potensi bahaya yang dapat menyebabkan kecelakaan. PT.
Trakindo Utama menetapkan bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta
Pengelolaan Lingkungan adalah salah satu landasan utama dalam kegiatan
operasinya. Dalam rangka mendukung hal tersebut maka PT. Trakindo Utama
melakukan upaya-upaya untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja pekerja
di tempat kerja, salah satunya dengan upaya menerapkan safety behavior di
tempat kerja agar unsafe behavior yang termasuk penyumbang terbesar pada
kecelakaan kerja dapat diminimalisir, dan diharapkan dapat mengurangi terjadinya
insiden, kerusakan, dan kerugian berkaitan dengan kegiatan operasional
diperusahaan.
Upaya-upaya yang telah dilakukan dalam penerapan safety behavior di
area workshop PT. Trakindo Utama Cabang Jakarta terutama berfokus pada
observasi keselamatan kerja yaitu dengan menggunakan Kartu Laporan Observasi,
serta didukung upaya-upaya lain, yaitu : Safety Induction, Toolbox Meeting, Safety
Talk, CIM Ideku, Lomba K3L, Personal SHE Performance Award, Sistem Work
Seperti yang dijelaskan dalam ABC Model of Behavior Change, bahwa sebuah
activator dapat mempengaruhi behavior dan menghasilkan consequences. Dalam hal
ini upaya-upaya yang dilakukan adalah sebagai activator yang memberi arahan
kepada pekerja untuk menghasilkan safety behavior yang pada akhirnya
berkonsekuensi kepada terhindarnya pekerja dari potensi bahaya yang ada.
1. Observasi Keselamatan Kerja
Di P.T. Trakindo Utama Cabang Jakarta, semua atasan harus memeriksa
untuk memastikan bahwa karyawan mematuhi standard, prosedur dan peraturan
keselamatan perusahaan. Atasan dapat menggunakan metode berikut untuk
melakukan pemeriksaan : berjalan keliling tempat kerja secara acak untuk
mengidentifikasi secara acak adanya tindakan / kondisi tak aman dalam wilayah
tanggungan. Bila ditemukan bahwa terdapat pekerjaan yang dilakukan dalam
kondisi tidak aman, atasan tersebut berhak untuk menghentikan pekerjaan tersebut
lalu memberikan pengarahan kepada pekerja. Temuan tersebut harus dituangkan
kedalam Kartu Laporan Observasi. Kartu Laporan Observasi adalah merupakan “alat bantu” untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dengan melakukan
pengamatan pada tindakan tidak aman dan melakukan komunikasi untuk
perbaikan.
Kartu Laporan Observasi digunakan bukan untuk menghukum, melainkan
untuk mengingatkan, memberi arahan serta meningkatkan kepedulian terhadap
aspek K3. Sebagai alat bantu dalam melakukan inspeksi bagi setiap personnel
tanpa mengenal jabatan dan ruang lingkup pekerjaan untuk perbaikan behavior
dan lingkungan kerja. Rincian tentang cara pengisian dan keterangan Kartu