• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Affirmative Action Dalam Rekrutmen Dan Seleksi Bintara Polri di Polda Papua 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implementasi Affirmative Action Dalam Rekrutmen Dan Seleksi Bintara Polri di Polda Papua 2019"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

40

PUBLIKAUMA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik UMA, 8 (1) (2020): 40-49 DOI: 10.31289/publika.v8i1.3621

Jurnal Ilmu Administrasi Publik

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/publikauma

Implementasi

Affirmative Action

Dalam Rekrutmen Dan Seleksi

Bintara Polri Di Polda Papua 2019

Noach Hendrik Daud Dwaa

1)

1) Program Pascasarjana Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Indonesia

Eko Prasojo2)

2) Program Pascasarjana Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Indonesia

Diterima Februari, 2020; Disetujui April, 2020; Dipublikasikan Juni, 2020

Abstrak

Tujuan kajian ini adalah menganalisis hasil penerapan tindakan afirmatif selama proses rekrutmen beserta seleksi Kepolisian di Papua, sehingga realisasi kompetensi Polri yang sesuai dengan standar akan menghasilkan kinerja profesional yang baik untuk organisasi. Metode penelitian menggunakan metode post-positivisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan affirmative action selama rekrutmen beserta seleksi calon Non-commissioning Officer di Polda Papua masih belum optimal, di mana perekrutan dan seleksi petugas Polri di Polda Papua, Orang Asli Papua (OAP) atau Ras Melanesia lebih cenderung mengambil alih Penduduk Asli Non-Papua. Fungsi tindakan afirmatif dari sistem rekrutmen dan seleksi di Kepolisian Daerah Papua adalah tempat perubahan yang diharapkan untuk menyelesaikan pembangunan di Papua. Kapolri juga meminta agar merit system yang diterapkan dapat meningkatkan motivasi Penduduk Asli Papua untuk mendaftar sebagai calon Pejabat Non-Nomisi dan dapat mendukung tindakan afirmatif yang diambil melalui perekrutan dan seleksi dengan merit system

yang akan meminimalkan hubungan kelompok yang akan didiskriminasi oleh organisasi yang menggunakan non-bantuan atau terkait dengan kelompok atau ras tertentu.

Kata kunci: Petugas non-Komisi, Tindakan Afirmatif, Sumber Daya Manusia, Polisi Abstract

The purpose of this research is to analyze the results of the application of affirmative action in the recruitment and selection of the Police in Papua, so that the realization of Polri competencies that are in accordance with the standards will produce good professional performance for the organization. The research method uses the post-positivism method. The results showed that the implementation of affirmative action in the recruitment and selection of prospective Non-commissioned Officer in the Papua Regional Police was still not optimal, where the recruitment and selection of Polri officers in the Papua Regional Police, the Papuan Native (OAP) or the Melanesian Race were more likely to take over the Non Papuan Native. The affirmative action function of the recruitment and selection system within the Papua Regional Police is a place of change that is expected to complete development in Papua. The Chief of Police also requested that the merit system applied be able to increase Papuan Native motivation to register as a candidate for Non-commissioned Officer and be able to support optimal, affirmative action taken through recruitment and selection with a merit system that would minimize the group relations that would be discriminated against by organizations using non-assistance or related to certain groups or races.

Keywords : Non-commissioned Officer, Affirmative Action, Human Resources, Police

How to Cite: Dwaa, D.H.N. & Prasojo, E. (2020). Implementasi Affirmative Action dalam Rekrutmen dan Seleksi Bintara Polri di Polda Papua 2019. PUBLIKAUMA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik UMA, 8 (1): 40-49

*Corresponding author: [email protected]

ISSN 2549-9165 (Print) ISSN 2580-2011 (Online)

(2)
(3)

Noach Hendrik Daud Dwaa & Eko Prasojo. Implementasi Affirmative Action dalam Rekrutmen & Seleksi

42 PENDAHULUAN

Tuntutan menciptakan kinerja yang

semakin berkualitas merupakan bentuk

konsekuensi

dari

keberadaan

profesionalisme.

Selain

itu,

tidak

mengesampingkan

aspek

moralitas

personel dalam melaksanakan tugas

(Raharjo & Angkasa, 2011). Tindakan

profesional cenderung mengupayakan

tercapainya suatu kinerja yang diharapkan

sesuai dengan standar atau penilaian dari

organisasi maupun pengguna jasa atau

masyarakat (Carlan & Lewis, 2009).

Meskipun kinerja polisi memiliki standar

yang telah dibuat oleh institusi tersebut,

namun

faktanya

penilaian

variabel

kesuksesan personil kepolisian selama

pelaksanaan tugas pokok yakni berupa

kompetensi agar personil polisi dapat

profesional dalam pelaksanaan tugas

didukung dengan penilaian masyarakat

terhadap kinerja polisi itu sendiri (Loftus

& Price, 2016). Hal ini juga berlaku pada

institusi Kepolisian Negara Republik

Indonesia, dimana kompetensi Polri yang

sesuai

standar

akan

menghasilkan

profesionalisme kinerja yang baik bagi

organisasi. Dalam pemenuhan kebutuhan

personil kepolisian berpangkat brigadir,

Kapolri melalui lembaga Kepolisian

Republik

Indonesia

melaksanakan

perekrutan

secara

bertahap.

Pada

pelaksanaannya, Kapolri mendeligasikan

kewenangan kepada Kapolda dan jajaran

melalui seleksi penerimaan Brigadir Polri

yang dilaksanakan di Kepolisian Daerah.

Hal ini dilaksankan untuk memenuhi

standar rasio jumlah personel Polri sesuai

dengan daftar susunan personel (Austriani

et al.

, 2016).

Pengelolaan sumber daya manusia

(SDM) kepolisian secara profesional

merupakan salah satu misi kepolisian

dalam pencapaian tujuan. Tujuan tersebut

adalah

terwujudnya

pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat

(Harkantibmas)

sehingga

dapat

mendorong meningkatnya motivasi kerja

guna mencapai kesejahteraan dalam

organisasi maupun

output

dari organisasi

(Inga, 2016). Misi tersebut menjadi dasar

upaya membina SDM kepolisian di

Indonesia. Misi dalam bentuk pembinaan

SDM

diawali

dengan

menerapkan

komitmen terhadap kualitas rekrutmen

dan seleksi anggota Polri yang tepat sejak

awal perekrutan yang berbasis

merit

system

. Kajian sebelumnya menyebutkan

bahwa sistem perekrutan berbasis

merit

system

merupakan opsi terbaik, yang

menerapkan prosedur terbuka, terdapat

analisis kompetensi (substansi dan teknis),

serta tidak ada kriteria terbaik selain

merit

system

dalam

perekrutan

personil

organisasi baik di publik mupun privat

(Berman

et al

., 2001; Zaman, 2015).

Berkenaan dengan kajian tersebut, maka

diharapkan penerapan

merit system

selama rekrutmen beserta seleksi anggota

Polri yang tepat, dapat menghasilkan

personil Polri yang unggul sehingga dapat

mendukung pelaksanaan tugas-tugas Polri

sebagai pengemban fungsi keamanan

dalam negeri (Hollyer, 2009; Roberts &

Hill, 1941; Sylvia & Meyer 2002; Zaman,

2015). Dalam konteks manajemen SDM,

maka hal ini merupakan bentuk penyiapan

dan pelaksanaan strategi koordinatif

dalam

menjamin

optimalisasi

kebermanfaatan SDM dalam pencapaian

tujuan institusi (Desseler, 2004; Hasibuan,

2006; Huselid

et al.

, 1997; Irianto, 2001;

Sofyandi, 2008).

Merit

system

pada

dasarnya

menggambarkan suatu sistem yang

memungkinkan seseorang untuk mencapai

keberhasilan secara proporsional dengan

bakat dan kemampuan, dimana bertujuan

untuk mengembangkan pegawai atau

anggota sehingga memiliki kompetensi

yang sesuai dan dapat mewujudkan tujuan

organisasi dengan optimal (Aronson,

1950). Meskipun

merit system

belum

secara

eksplisit

tersebutkan

dalam

regulasi (UU Nomor 2/2002), namun

secara prinsip telah diturunkan dalam

Roadmap

Reformasi Birokrasi Polri

Gelombang 3 Tahun 2016-2019 Bab 3c

poin 6b tentang penguatan sistem SDM

(4)

dengan menggunakan

merit system

. Upaya

tersebut berpeluang melahirkan transisi

yang lebih baik dalam aspek kemajuan

budaya kepolisian yang bermula dari

pembangunan SDM secara terpadu dan

berkelanjutan.

Bukan

hanya

membebankan profesionalisme aparatur

pada aparat pelaksana, tetapi juga harus

diawali dari pengambil kebijakan dan

aktor penyusun strategi secara objektif

serta menghilangkan subjektivitas. Jika

Polri mampu melaksanakan manajemen

rekrutmen beserta seleksi SDM Polri yang

berkualitas, maka probabilitas dalam

meningkatkan budaya kepolisian yang

lebih baik (profesional, taat hukum,

bermoral, dan modern) pada masyarakat

demokratis

akan

sangat

mungkin

terlaksana secara optimal.

Sistem perekrutan beserta seleksi

personil Polri di Papua dilakukan dengan

dua model. Model pertama yaitu

rekrutmen dan seleksi Orang Asli Papua

(OAP), dan; model kedua berupa

rekrutmen dan seleksi Non Orang Asli

Papua (Non-OAP). Selama rekrutmen dan

seleksi personil berlangsung, jumlah

kelulusan OAP atau Ras Melanesia lebih

sedikit sehingga menampakkan adanya

kontras yang terjadi dan ada anggapan

diskriminatif.

Fenomena

tersebut

memunculkan tuntutan masyarakat dan

lembaga-lembaga masyarakat seperti MRP,

DPRD, dan LSM di Papua dalam bentuk

desakan pada Polri meningkatkan jumlah

lulusan OAP sebagai anggota Polri

sehingga

terhindar

dari

rasa

terdiskriminasi terhadap OAP. Oleh karena

itu, dibutuhkan sistem yang mendukung

anti diskriminasi terhadap setiap individu

selama perekrutan dan seleksi melalui

Affirmative Action

.

Affirmative Action

sejalan dengan prinsip-prinsip dan nilai

keadilan

sosial.

Prinsip

dan nilai

Affirmative Action

memiliki potensi dan

peluang dalam menjembatani masalah

sosial budaya yang muncul, sekaligus

menjamin representasi dan proporsi SDM

secara

ideal

di

karakteristik

kependudukan, geografi, dan budaya

masyarakat pada organisasi, baik publik

atau privat (Gomez, 2003). Dengan

kebijakan afirmasi, maka diharapkan dapat

meningkatkan jumlah minat pendaftar

calon anggota Polri oleh masyarakat OAP

untuk berpartisipasi selama perekrutan

dan seleksi calon anggota Polri oleh BIRO

SDM Polda Papua. Hal tersebut salah

satunya bermuara dalam menghasilkan

calon anggota Polri OAP dari berbagai

daerah di Provinsi Papua,

dalam

dukungannya

terhadap

percepatan

pembangunan SDM di Papua. Berdasar

pada kajian, maka tujuan kajian ini adalah

melakukan

deskripsi

dan

analisis

penerapan

Affirmative Action

dalam

perekrutan beserta seleksi Bintara Polri

OAP (Ras Melanesia) dan Non-OAP di

Polda Papua serta mendeskripsikan

apakah penerapan

Affirmative Action

dapat

memotivasi pendaftaran calon Bintara

Polri OAP (Ras Melanesia) di Polda Papua.

METODE PENELITIAN

Metode riset kualitatif dengan

pendekatan studi kasus merupakan

metode

yang

digunakan

untuk

menganalisis

Affirmative Action

dalam

perekrutan beserta seleksi bintara Polri di

Polda Papua tahun 2019 serta dampak dari

penerapan

Affirmative Action.

Penulis

menggunakan pendekatan

post-positivism

selama

menganalisis

kasus

terkait

.

Pendekatan tersebut menerangkan bahwa

kaum

post-positivis

mengaplikasikan

filsafat deterministik dan keyakinan

penyebab (kausatif) sebagai pendorong

akibat (Creswell, 2017)

.

Penggunaan

pendekatan

postpositivis

dalam kajian ini

memiliki tujuan analisis

mendalam pada

penerapan

Affirmative Action

selama

perekrutan beserta seleksi bintara Polri di

Polda Papua tahun 2019 beserta dampak

dari

penerapan

Affirmative

Action

(5)

Noach Hendrik Daud Dwaa & Eko Prasojo. Implementasi Affirmative Action dalam Rekrutmen & Seleksi

44 HASIL DAN PEMBAHASAN

Implementasi Affirmative Action dalam

rekrutmen dan seleksi Bintara Polri

Orang Asli Papua (Ras Melanesia)

Rekrutment merupakan suatu proses

yang dilakukan oleh organisasi untuk

mencari personil yang memenuhi standar

syarat tertentu sesuai dengan kebutuhan

organisasi. Secara konseptual, perekrutan

personil adalah upaya pencarian personil

dan

mendorong

serta

memberikan

peluang yang seluas-luasnya kepada

seseorang untuk mengisi formasi yang

tersedia

dalam

sebuah

organisasi.

Sedangkan proses seleksi merupakan

lanjutan dari perekrutan personil dalam

institusi atau organisasi, yang bertujuan

untuk memilih calon personil Polri yang

tepat dan berkualitas melalui beberapa

tahapan seleksi yang telah ditentukan

sesuai dengan kebutuhan organisasi

(Jamin, 1995).

Proses rekrutmen dan seleksi selalu

dilaksanakan setiap tahunnya untuk

meningkatkan jumlah personil Polri

sebagai kebutuhan organisasi Polri sesuai

dengan anggaran yang tersedia. Seperti di

wilayah lainnya, Polda Papua melakukan

rekrutmen dan seleksi personil Polri

dengan membagi dua kelompok yaitu

calon anggota Polri OAP dan calon anggota

Polri Non-OAP. Menurut SK Kapolda Papua

Nomor.Kep/308/VII/2019

tentang

Penentuan Kelulusan Akhir Peserta

Penerimaan Calon Bintara Polri antara

OAP dan Non-OAP tahun 2019 di Polda

Papua, dijelaskan bahwa yang dimaksud

peserta OAP adalah peserta dengan orang

tua kandung (Bapak dan Ibu) OAP

dan/atau salah satu dari Bapak/Ibu

kandung adalah OAP. Berikut ini adalah

data minat masyarakat daerah Papua

dalam melaksanakan pendaftaran sebagai

calon anggota Bintara Polri Ras Melanesia

(OAP) dan bukan Ras Melanesia

(Non-OAP).

Tabel 1. Minat Pendaftar dan Kelulusan Bintara Polri Tahun 2019

No Th. Jumlah

Pendaftar Masuk Pendidikan/Lolos Seleksi Non-OAP OAP Jumlah

1 2019 2.972 145 112 257

Sumber. Data Biro SDM Polda Provinsi Papua (2019)

Berdasarkan data yang ada, dinyatakan bahwa OAP atau Ras Melanesia lebih sedikit yang lulus dibandingkan Non-OAP. Angka tersebut menjadi dasar tuntutan masyarakat dan lembaga masyarakat seperti MRP, DPRD, dan LSM di Papua mendesak Polri agar dapat memperbanyak lulusan OAP sehingga terhindar dari rasa terdiskriminasi terhadap OAP. Berdasarkan data pendidikan Bintara Polri 2019, calon yang dinyatakan lulus seleksi berjumlah: polisi laki-laki adalah reguler 7.832, kompetensi khusus 411, talent scouting 104, ppkt/wilayah perbatasan 88, gagal calon taruna Akpol 40 sehingga total 8475 sedangkan polisi wanita: reguler 279, kompetensi khusus 56, talent scouting 53, ppkt/wilayah perbatasan 6, gagal calon taruna Akpol 6, sehingga total Polwan 400. sehingga jumlah keseluruhan calon anggota Polri yang lulus rekrutmen dan seleksi menjadi anggota Polri berpangkat Bintara pada tahuan 2019 adalah 8.875 orang dari seluruh daerah di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan kuota dik Bintara Nomor kep/1317/VII/2019. Sehingga dari total 8.875 orang terdapat hanya ada 1,3% OAP dari Polda Papua yang lulus seleksi menjadi anggota Polri pada tahun 2019.

Tabel 2. Minat Pendaftar dan Kelulusan Bintara Polri Tahun 2014-2019

Th. PendaJml ftar

Masuk Pendidikan/Lolos Seleksi

Tota l Laki-laki Perempuan Non-OAP OAP Juml ah 100 % Non-OAP OAP Jumla h 100% 201 4 6.353 374/ 68% 180/ 32% 554 51% 93/ 49% 92/ 185 739 201 5 3.835 211/ 60% 139/ 40% 350 64% 37/ 36% 21/ 58 408 201 6 3.172 31% 83/ 187/ 69% 270 32% 6/ 68% 13/ 19 289 201 7 3.257 196/ 59% 137/ 41% 333 46% 6/ 54% 7/ 13 346 201 8 1.631 262/ 73% 27% 99/ 361 37% 6/ 63% 10/ 16 377 201 9 2.972 139/ 57% 105/ 43% 244 46% 6 54% 7/ 13 257 Juml ah 18.248 1.265 / 60% 847/ 40% 2.112 154/ 51% 150/ 49% 304 2.416 Sumber. Data Biro SDM Polda Provinsi Papua tahun

(6)

Berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2017, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang kemudian dilanjutkan oleh Kepolisian Republik Indonesia untuk mendukung penuh terhadap peningkatan SDM dalam rekrutmen Polri di Polda Papua, Kapolri mengeluarkan beberapa kebijakan yang tercantum dalam Surat Pengumuman Kapolri Nomor PENG/4/III/DIK.2.1./2019 per 5 Maret 2019 tentang Penerimaan Terpadu Bintara Polri T.A. 2019. Kebijakan Kapolri yakni: pertama, sumber rekrutmen terdiri dari bintara regular, bintara kompetensi khusus, bintara talent scouting, bintara ppkt/wilayah perbatasan, bintara yang tidak lulus sebagai taruna Akpol di tingkat pusat, dan; kedua, syarat fisik (tinggi badan) berupa calon pendaftar umum (pria dengan tinggi badan 165 cm dan wanita 160 cm) serta Ras Melansesia di Polda Papua dan Papua Barat (daerah asal pesisir, pria dengan tinggi badan 163 cm dan wanita 165 cm; daerah asalh pegunungan, pria dengan tinggi badan 160 cm dan wanita 155 cm). Polda Papua mendapat perlakuan khusus bagi OAP dalam rekrutment dan seleksi calon Bintara Polri tahun 2019, karena syarat tinggi badan calon anggota Polri ras melanesia dapat dikurangi. Sehingga, seharusnya jumlah bintara Polri dari OAP bertambah dan tanpa diskriminasi, karena peraturan pemerintah yang ingin mempercepat pengembangan papua dan putra putri asli Papua.

Perihal adanya pengurangan tinggi badan dalam persyarataran pendaftaran calon Bintara, terdapat beberapa permasalahan antara lain: Pertama, kurangnya sosialisasi kebijakan Affirmative Action oleh Polda Papua terkait tinggi badan tersebut berupa pengurangan tinggi badan yang disesuaikan dengan karakteristik OAP. Sehingga, banyak putra putri daerah Papua yang kurang berminat untuk mendaftar sebagai Bintara Polda Papua; Kedua, lokasi pendaftaran di Polda Papua yang terletak di Jayapura, sementara kemampuan ekonomi calon pendaftar yang minim. Hal ini menjadikan motivasi dalam mengikuti rekrutmen dan seleksi cenderung rendah, dan; Ketiga, pemberlakuan sistem online belum sepenuhnya mampu diaplikasikan mengingat fasilitas koneksi internet yang belum

sepenuhnya merata. Hal ini kemudian, juga menjadi kendala teknis yang menurunkan motivasi OAP dalam mengikuti rekrutmen dan seleksi calon Bintara di Polda Papua.

Sejatinya, menurut Castle (dalam Smit, 2006), strategi dan praktik mengembangkan SDM melalui tindakan afirmatif harus menekankan perencanaan, induksi, sosialisasi dan pendidikan dan pelatihan kompensasi yang sesuai dengan lingkungan pembangunan atau wilayah lokal. Sehingga, terbentuk motivasi yang lebih tinggi. Strategi yang dimaksud termasuk:

Pengembangan model perencanaan tenaga kerja untuk memandu seleksi, pengembangan, dan penilaian karyawan (termasuk spesifikasi pekerjaan dan kinerja secara terperinci), serta melakukan perencanaan wilayah rekrutmen dan seleksi yang terjangkau oleh masyarakat lokal;

Pelatihan kepemimpinan dan prestasi yang dirancang untuk merangsang individualitas dan ketegasan peserta, dan untuk mengembangkan manajemen resiko;

Menjembatani program pendidikan yang mempersiapkan individu atau kelompok kecil lulusan sekolah untuk masuk ke dalam tujuan organisasi dan lebih fokus pada pembinaan sesuai budaya dan kemampuan lokal. Sehingga, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah keterampilan serta prinsip-prinsip dasar organisasi dapat dipahami secara efektif dan efisien;

Program pelatihan dan bimbingan untuk mempersiapkan anggota berpotensi besar untuk peran manajemen, dan;

Penempatan awal manajer dari kelompok yang sama dan dianggap sebagai satu kesatuan dari kondisi budaya asli yang membuat mereka lebih cocok.

Fungsi Affirmative Action dan Motivasi Calon Personil Polri

Affirmative Action adalah kebijakan yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu mendapat kesetaraan dan kesamaan peluang antar kelompok/golongan lain dalam bidang relevan. Hal ini termasuk proses perekrutan beserta seleksi Polri di Papua. Kompleksitas masalah di Papua yang rumit dan fundamental mendorong stakeholder untuk menyusun Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (P4B) dan Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit

(7)

Noach Hendrik Daud Dwaa & Eko Prasojo. Implementasi Affirmative Action dalam Rekrutmen & Seleksi

46 Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). UP4B memiliki tugas pokok: "Memberikan dukungan kepada Presiden Republik Indonesia dalam koordinasi, sinkronisasi, fasilitasi serta pengendalian dan evaluasi pelaksanaan program percepatan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat".

Adanya tindakan afirmatif pada sistem rekrutmen dan seleksi di tubuh Polda Papua, menjadi suatu perubahan yang diharapkan dapat mempercepat pembangunan di Papua. Kapolri juga berharap merit system yang diterapkan dapat meningkatkan motivasi OAP untuk mendaftar sebagai calon Bintara dan dapat bertugas secara optimal. Saat ini, meritokrasi sering digunakan sebagai konotasi yang positif untuk menggambarkan sistem sosial yang memungkinkan orang untuk mencapai keberhasilan secara proporsional dengan bakat dan kemampuan mereka. Tindakan afirmatif yang diwujudkan melalui rekrutmen dan seleksi dengan merit system akan meminimalisir pembentukan “kelompok” dalam kelompok yang merasa didiskriminasi dari organisasi berdasarkan kemampuan mereka yang kurang memadai, atau berkaitan dengan kelompok atau ras tertentu.

Padahal, menurut Johnson dan Redmond (dalam Smit, 2006) menyatakan adanya hubungan yang terkait antara motivasi kinerja dengan pelaksanaan merit system pada suatu organisasi. Lebih lanjut, Bredell (dalam Smit, 2006) menyatakan bahwa kinerja pekerjaan seseorang terutama tergantung pada dua aspek, yaitu kemampuan dan motivasi. Kemampuan mengacu pada potensi individu untuk berhasil menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Motivasi adalah sebuah kekuatan pendorong internal yang mengaktifkan dan memberi energi pada individu dan yang mengarahkan perilakunya sedemikian rupa sehingga tujuan dapat dicapai. Kanter (1997) berpendapat bahwa ketika orang berada diberdayakan untuk berkontribusi, mereka ingin diberi penghargaan khusus untuk keberhasilan yang telah dicapai. Motivasi dan motif adalah dua kata yang saling berhubungan secara etimologis, motif dalam bahasa inggris motive, berasal dari kata motion, yang berarti gerakan. Menurut Suryabrata (dalam Kristanto & Hary, 2015) motif adalah keadaan dalam setiap pribadi individu yang mendorong individu tersebut

untuk melakukan aktivitas-aktivitas khusus dalam pencapaian tujuan tertentu. Selain motif, dalam psikologi juga dikenal istilah motivasi. Berawal dari kata motif itulah maka motivasi dapat diartikan sebagai proses sadar dalam mempengaruhi tingkah laku individu agar tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu sehingga akan mencapai hasil ataupun juga tujuan tertentu.

Selanjutnya, Johnson dan Redmond (dalam Smit, 2006) memperjelas bahwa orang yang berbagi budaya dan latar belakang cenderung membentuk kelompok atau "dalam kelompok" dan dengan cara ini mereka memperoleh informasi melalui jaringan di luar selain sumber formal, atau dengan kata lain, adanya bias kelompok dan tujuan organisasi. Sehingga, apabila dikaitkan dengan pendaftaran bintara Polri di Papua, dapat dipahami perlu adanya tindakan afirmatif untuk meningkatkan motivasi kinerja di lingkungan Polda Papua, terutama untuk pendaftaran calon Bintara Polri sebagai titik manajerial yang penting, dalam upaya menghindari bias tujuan organisasi akibat sistem patronase. Bintara sendiri memiliki tugas dan peran sebagai konektor antara tingkat tertinggi (perwira) dengan terendah (tamtama) secara teknis. Biasanya bintara melatih aparat menjadi lebih professional, sehingga kemampuan manajerial yang sesuai dengan karakter orang lokal sangat dibutuhkan. Apabila terdapat Non-OAP, maka perlu tindakan yang adil dengan menerapkan sistem edukasi lokal, sehingga orang yang mengalami kesulitan dalam komunikasi (karena masalah dengan bahasa, penglihatan, pendengaran, atau literasi) harus diberikan waktu untuk memahami dan menyerap ide dan prosedur sebelum bertugas sebagai Bintara di wilayah Papua tersebut.

Mengedepankan masyarakat lokal sama

artinya dengan menjadikan birokrasi

representatif berada pada konteks pola

rekrutmen seseorang dalam posisi

administrasi publik, utamanya pada kesamaan kesempatan dan keterwakilan asal penduduk. Birokrasi representatif berfokus pada keadilan komposisi demografis masyarakat untuk

memediasi ketegangan demokrasi dan

birokrasi sehingga menjawab permasalahan proporsi keterwakilan, pertimbangan unsur sosio-ekonomi, dan karakter kewilayahan masyarakat (Groeneveld & Walle, 2010;

(8)

Mustofa, 2011). Birokrasi representatif berkaitan dengan kemampuan menjalankan 3 fungsi utama (kekuatan, pengambil keputusan, dan manajemen) dalam menyelesaikan 6 persoalan yang menjadi target dari pemerintahan good governance. Fungsi utamanya yakni bureaucracy as a power (birokrasi berorientasi pada kinerja dalam mengakomodasikan kepentingan dan merepresentasikan kepentingan lokal) (Kingsley, 1944; Lind, 2016 McMahon, 1946); bureaucracy as equal opportunity (birokrasi mewadahi kepentingan publik dan mampu merumuskannya ke dalam keputusan manajerial) (Wilson, 1941; Alves da Silva, 2007; Dahlberg et al., 2008), dan; bureaucracy

as diversity management (birokrasi

meningkatkan performa sebagai manajer publik sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kekinian).

Motivasi: Faktor Intrinsik-Ekstrinsik

Kompleksitas permasalahan di Papua berkaitan dengan fenomena ketimpangan proporsi kelulusan personil Polri membutuhkan strategi mendorong minat calon pendaftar untuk mengikuti seleksi. Berkenaan dengan strategi, maka harus dilakukan pemetaan motivasi internal dan eksternal. Motivasi sendiri merupakan bagian dan proses dalam diri seseorang yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik intrinsik atau ekstrinsik. Menurut Wahjosumidjo (dalam Kuddy, 2017), faktor berpengaruh pada motivasi berupa faktor intrinsik (dari dalam individu) dan faktor ekstrinsik (dari luar individu). Faktor intrinsik berupa sikap terhadap aktivitas kerja, bakat diri, minat, kepuasan, pengalaman, dan lain-lain serta faktor dari luar individu yang bersangkutan seperti pengawasan, gaji, lingkungan kerja dan kepemimpinan (Widiastuti et al., 2018). Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa motivasi adalah upaya sadar memengaruhi tingkah laku individu untuk berbuat dan mencapai hasil atau tujuan guna mempertahankan hidupnya, dimana individu melakukan suatu kinerja ditentukan oleh faktor internal maupun faktor eksternal.

Dalam menyusun strategi meningkatkan minat bergabung sebagai personil Polri, maka harus dipahami dimana letak ketertarikan dan alasan para personil atau calon personil dalam mengikuti seleksi atau rekrutmen. Pemahaman tersebut lebih tepatnya berangkat

dari aspek pemetaan minat dan motivasi yang mendasari. Telah dijelaskan bahwa terdapat 2 faktor yakni faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yang terdiri dari persepsi, harga diri, harapan pribadi, kebutuhan, keinginan, kepuasan kerja, dan prestasi, serta; faktor ekstrinsik yang terdiri dari jenis/sifat pekerjaan, kelompok, lingkungan organisasi, situasi lingkungan kerja dan gaji/pendapatan. Berdasarkan riset yang telah dilakukan, ditemukan bahwa terdapat faktor baik intrinsik maupun ekstrinsik yang mendasari masing-masing motivasi calon pendaftar. Dari segi motivasi intrinsik, aspek yang paling utama mendasari minat calon pendaftar adalah aspek kebutuhan dan harapan pribadi, sedangkan faktor ekstrinsik berdasar pada gaji dan organisasi lingkungan kerja.

Aspek kebutuhan dan harapan pribadi menjadi dasar utama calon pendaftar dalam mengikuti seleksi dan rekrutmen di Polda Papua. Aspek ini berpeluang menjadi strategi Berkaitan dengan tujuan kesatuan di Polri, maka kemudian hal ini menjadi kesempatan dalam meningkatkan loyalitas anggota yang secara khusus berasal dari Papua. Semangat Esprit de Corps yang ada di lembaga Polri harus dikuatkan melalui pemahaman akan kebutuhan dan harapan pribadi. Tentunya hal ini juga disesuaikan dengan visi dan misi yang ada di tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Selain faktor intrinsik, faktor ekstrinsik berupa gaji dan organisasi lingkungan kerja merupakan aspek yang harus diperhatikan. Dalam konteks penguatan kinerja, tentunya hal ini sangat berdampak pada kualitas kinerja. Beban kerja dan resiko pekerjaan sebagai polisi yang tinggi harus diimbangi dengan kuatnya faktor pendorong dan menciptakan dampak yang signifikan khususnya dalam aspek kesejahteraan anggota.

SIMPULAN

Berdasar pada proses telaah dan analisis yang sudah dilakukan, maka beberapa kesimpulan yang diajukan yakni: Pertama, implementasi affirmative action dalam rekrutmen dan seleksi calon Bintara di Polda Papua belum optimal, dimana rekrutmen dan seleksi personil Polri di Polda Papua, OAP atau Ras Melanesia lebih sedikit yang lulus dibandingkan Non-OAP, hal ini yang membuat tuntutan masyarakat dan lembaga-lembaga

(9)

Noach Hendrik Daud Dwaa & Eko Prasojo. Implementasi Affirmative Action dalam Rekrutmen & Seleksi

48 masyarakat seperti MRP, DPRD, dan LSM di Papua mendesak Polri agar Polri dapat memperbanyak lulusan OAP untuk menjadi anggota Polri sehingga terhindar dari rasa terdiskriminasi terhadap OAP; kedua, fungsi tindakan afirmatif pada sistem rekrutmen dan seleksi di tubuh Polda Papua menjadi suatu perubahan yang diharapkan mempercepat pembangunan di Papua. Untuk itu, merit system yang diterapkan adalah bertujuan meningkatkan motivasi OAP dalam bergabung sebagai calon Bintara secara optimal. Tindakan afirmatif melalui rekrutmen dan seleksi dengan merit system diharapkan meminimalisir pembentukan kelompok dalam kelompok yang merasa didiskriminasi dari organisasi berdasarkan non kemampuan mereka, atau berkaitan dengan kelompok/ras tertentu, dan; ketiga, Sebagai konsekuensi dari keberadaan kehidupan yang bersifat komunal, maka terdapat beberapa suku tertentu yang anti terhadap pemerintah sehingga motivasi menurun hingga hilang motivasi bergabung sebagai anggota Polri. Untuk itu, berangkat dari mayoritas motivasi utama tersebut adalah faktor internal (kebutuhan dan harapan pribadi) dan faktor eksternal (gaji dan lingkungan organisasi bekerja), maka strategi yang harus diupayakan adalah pemenuhan dan peningkatan 4 aspek kebutuhan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Alvarado, L. A. (2010). Dispelling the Meritocracy Myth: Lessons for Higher Education and Student Affairs Educators. The Vermont

Connection, 31(1-2), 10-20.

https://scholarworks.uvm.edu/tvc/vol31/is

s1/2/

Aronson, A. H. (1950). Merit System Objectives and Realities. Buletin, 13(4), 3-19.

https://www.ssa.gov/policy/docs/ssb/v13n

4/v13n4p3.pdf

Austriani, N. L., Erviantono, T., & Purnamaningsih, E. (2016). Penerimaan Sumber Daya Manusia Brigadir Polri dalam Perspektif Governance (Studi Penerimaan Sumber Daya Manusia Kepolisian Daerah Bali Tahun Anggaran 2015). Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, 1(1), 1-10.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/citizen/art

icle/view/21636

Berman, E., Bowman, J., West, J., & Van Mart, M. R. (2001). Human Resource Management in Public Service: Paradoxes, Processes, and Problems. USA: Sage Publications, Inc.

Carlan, P. E., & Lewis, J. A. (2009). Dissecting Police Professionalism: A Comparison of Predictors Within Five Professionalism Subsets. Police

Quarterly, 12(4), 370-387.

https://doi.org/10.1177/109861110934846

9

Creswell, J. W. (2017). Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gomes, F. C. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi.

Groeneveld, S., & Walle, S. V. (2010). A Contingency Approach to Representative Bureaucracy: Power, Equal Opportunities and Diversity.

International Review of Administrative

Science, 76(2), 239-258.

https://doi.org/10.1177/002085230936567

0

Herman, S. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Graha Ilmu.

Hollyer, J. R. (2009). Patronage or Merit? Bureaucratic Recruitment in 19th and Early

20th Century Europe. New York University Department of Politics, 1, 1-38.

https://ssrn.com/abstract=1657615

Huselid, M. A., Jackson, S. E., & Schuler, R. S. (1997). Technical and Strategic Human Resource Management Effectiveness as Determinants of Firm Performance. Academy of Management Journal, 40(1), 171-188.

https://www.markhuselid.com/pdfs/article s/1997_AMJ_Technical_and_Strategic_SHRM.

pdf

Inga, L. O. (2016). Pengembangan Kapasitas Kemampuan Anggota di Kepolisian Resor (Polres) Palu Sulawesi Tengah. e-Jurnal

Katalogis, 4(1), 82-94.

http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/

Katalogis/article/view/6515

Irianto, J. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia. Surabaya: Insan Cendekia.

Jackson, S. E., & Schuler, R. S. (1995). Understanding Human Resource Management in the Context of Organizations and Their Environments.

Anna Rev. Psychol, 237-263.

https://doi.org/10.1146/annurev.ps.46.020

195.001321

Kingsley, J. D. (1944). Representative Bureaucracy: An Interpretation of the British Civil Service. Yellow Springs: The Antioch Press.

Kuddy, A. (2017). Pengaruh Kepemimpinan, Motovasi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Pegawai pada Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua. Jurnal Manajemen & Bisnis, Fakultas Ekonomi & Bisnis, 1(2), 22-36.

Lind, N. S. (2016). Representative Bureaucracy.

Global Encyclopedia of Public Administration, Public Policy, and Governance,

(10)

1-6.

https://doi.org/10.1007/978-3-319-31816-5_656-2

Loftus, J., & Price, K. (2016). Police Attitudes and Professionalism. Administrative Issues Journal: Connecting Education, Practice, and Research, Winter, 6(2), 53-73. Diakses dari

http://www.jurnal.manuncen.ac.id/index.ph

p/jmb/article/view/8

Malayu, S. H. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Macmahon, A. W. (1946). Representative Bureucracy: An Interpretation of the British Civil Service by J. Donald Kingsley. The American Historical Review, 52(1), 129-132.

https://doi.org/10.1086/ahr/52.1.129

Mustofa, A. (2011). Reformasi Administrasi: Pendekatan Birokrasi Representatif dalam Meningkatkan Performa Birokrasi. Jurnal

Kalamsiasi, 4(2), 141-154.

http://repository.unitomo.ac.id/id/eprint/2

32

Raharjo, A., & Angkasa. (2011). Profesionalisme Polisi dalam Penegakan Hukum. Jurnal Dinamika Hukum, 11(3), 389-401. Diakses dari

http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/inde

x.php/JDH/article/download/167/115

Roberts, F. L., & Hill, B. (1941). The Merit System in Relationship to Public Health Personnel.

American Journal of Public Health, 31, 121-126.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles

/PMC1531288/

Smit, P. K. (2006). The Effect of Affirmative Action on Employee Motivation in the Sandf.

Department of Human Resource, Tswane University of Technology. Diakses dari

http://tutvital.tut.ac.za:8080/vital/access/m

anager/Repository/tut:3941

Sylvia, R. D., & Meyer, C. K. (2002). Public Personnel Administration. California: Harcourt College Publishers.

Widiastuti, R., Sudharto, & Suwandi. (2018). Pengaruh Kepemimpinan Kepala Madrasah dan Motivasi Kerja Terhadap Budaya Kerja Guru Madrasah Aliyah di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. JMP Universitas PGRI Semarang, 7(3), 311-327.

http://dx.doi.org/10.26877/jmp.v7i3.3147

Zaman, M. S. (2015). Merit-Based Recruitment: The Key to Effective Public Administration in Bangladesh. Journal of Public Administration and Governance, 5(3), 96-119.

e http://ojs.uma.ac.id/index.php/publikauma https://scholarworks.uvm.edu/tvc/vol31/iss1/2/ https://www.ssa.gov/policy/docs/ssb/v13n4/v13n4p3.pdf https://ojs.unud.ac.id/index.php/citizen/article/view/21636 https://doi.org/10.1177/1098611109348469 https://doi.org/10.1177/0020852309365670 https://ssrn.com/abstract=1657615 https://www.markhuselid.com/pdfs/articles/1997_AMJ_Technical_and_Strategic_SHRM. http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/Katalogis/article/view/6515 https://doi.org/10.1146/annurev.ps.46.020195.001321 https://doi.org/10.1007/978-3-319-31816-5_656-2 http://www.jurnal.manuncen.ac.id/index.php/jmb/article/view/8 https://doi.org/10.1086/ahr/52.1.129 http://repository.unitomo.ac.id/id/eprint/232 http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/download/167/115 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1531288/ http://tutvital.tut.ac.za:8080/vital/access/manager/Repository/tut:3941 http://dx.doi.org/10.26877/jmp.v7i3.3147 https://doi.org/10.5296/jpag.v5i3.8216

Referensi

Dokumen terkait

Kategori Kesehatan & kenyamanan Dalam Ruang dari ketiga gedung hanya Perencanaan GOR Badminton saja yang memiliki nilai pencapaian rating sebesar 20 %, sedangkan untuk

Jika Anda ingin item pertama dari data pada Combobox langsung tampil, ubah script nya menjadi seperti di bawah ini :.. procedure TForm1.Button1Click(Sender: TObject);

dibuat oleh Pejabat yang Berwenang... PELAKSANAAN PENGALIHAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN/KOTA YANG MENDUDUKI JABATAN FUNGSIONAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Akurasi dari verifikasi model ANSWERS terhadap kasus lapangan sangat ditentukan oleh reperesentasi curah hujan yang berlaku pada lokasi studi, kelengkapan dari data DAS seperti

online penanganan keluhan konsumen yang diusulkan ini selanjutnya di uji coba sebelum sistem diimplementasikan dengan melakukan wawancara konsumen setelah mencoba

Penyeberangan tidak sebidang juga dapat digunakan apabila angka kecelakaan antara pejalan kaki dengan kendaraan bermotor sudah tinggi, ruas jalan memiliki kecepatan rencana

• Untuk menentukan persediaan spare part dengan waktu pemesanan yang tepat pada aktivitas perawatan yang memerlukan penggantian

Komoditas pertanian merupakan bahan baku utama sektor agroindustri, yang bersama-sama dengan input lain (tenaga kerja dan modal) dalam suatu proses produksi pada suatu