40
PUBLIKAUMA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik UMA, 8 (1) (2020): 40-49 DOI: 10.31289/publika.v8i1.3621
Jurnal Ilmu Administrasi Publik
Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/publikauma
Implementasi
Affirmative Action
Dalam Rekrutmen Dan Seleksi
Bintara Polri Di Polda Papua 2019
Noach Hendrik Daud Dwaa
1)1) Program Pascasarjana Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Indonesia
Eko Prasojo2)
2) Program Pascasarjana Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Indonesia
Diterima Februari, 2020; Disetujui April, 2020; Dipublikasikan Juni, 2020
Abstrak
Tujuan kajian ini adalah menganalisis hasil penerapan tindakan afirmatif selama proses rekrutmen beserta seleksi Kepolisian di Papua, sehingga realisasi kompetensi Polri yang sesuai dengan standar akan menghasilkan kinerja profesional yang baik untuk organisasi. Metode penelitian menggunakan metode post-positivisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan affirmative action selama rekrutmen beserta seleksi calon Non-commissioning Officer di Polda Papua masih belum optimal, di mana perekrutan dan seleksi petugas Polri di Polda Papua, Orang Asli Papua (OAP) atau Ras Melanesia lebih cenderung mengambil alih Penduduk Asli Non-Papua. Fungsi tindakan afirmatif dari sistem rekrutmen dan seleksi di Kepolisian Daerah Papua adalah tempat perubahan yang diharapkan untuk menyelesaikan pembangunan di Papua. Kapolri juga meminta agar merit system yang diterapkan dapat meningkatkan motivasi Penduduk Asli Papua untuk mendaftar sebagai calon Pejabat Non-Nomisi dan dapat mendukung tindakan afirmatif yang diambil melalui perekrutan dan seleksi dengan merit system
yang akan meminimalkan hubungan kelompok yang akan didiskriminasi oleh organisasi yang menggunakan non-bantuan atau terkait dengan kelompok atau ras tertentu.
Kata kunci: Petugas non-Komisi, Tindakan Afirmatif, Sumber Daya Manusia, Polisi Abstract
The purpose of this research is to analyze the results of the application of affirmative action in the recruitment and selection of the Police in Papua, so that the realization of Polri competencies that are in accordance with the standards will produce good professional performance for the organization. The research method uses the post-positivism method. The results showed that the implementation of affirmative action in the recruitment and selection of prospective Non-commissioned Officer in the Papua Regional Police was still not optimal, where the recruitment and selection of Polri officers in the Papua Regional Police, the Papuan Native (OAP) or the Melanesian Race were more likely to take over the Non Papuan Native. The affirmative action function of the recruitment and selection system within the Papua Regional Police is a place of change that is expected to complete development in Papua. The Chief of Police also requested that the merit system applied be able to increase Papuan Native motivation to register as a candidate for Non-commissioned Officer and be able to support optimal, affirmative action taken through recruitment and selection with a merit system that would minimize the group relations that would be discriminated against by organizations using non-assistance or related to certain groups or races.
Keywords : Non-commissioned Officer, Affirmative Action, Human Resources, Police
How to Cite: Dwaa, D.H.N. & Prasojo, E. (2020). Implementasi Affirmative Action dalam Rekrutmen dan Seleksi Bintara Polri di Polda Papua 2019. PUBLIKAUMA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik UMA, 8 (1): 40-49
*Corresponding author: [email protected]
ISSN 2549-9165 (Print) ISSN 2580-2011 (Online)
Noach Hendrik Daud Dwaa & Eko Prasojo. Implementasi Affirmative Action dalam Rekrutmen & Seleksi
42 PENDAHULUAN
Tuntutan menciptakan kinerja yang
semakin berkualitas merupakan bentuk
konsekuensi
dari
keberadaan
profesionalisme.
Selain
itu,
tidak
mengesampingkan
aspek
moralitas
personel dalam melaksanakan tugas
(Raharjo & Angkasa, 2011). Tindakan
profesional cenderung mengupayakan
tercapainya suatu kinerja yang diharapkan
sesuai dengan standar atau penilaian dari
organisasi maupun pengguna jasa atau
masyarakat (Carlan & Lewis, 2009).
Meskipun kinerja polisi memiliki standar
yang telah dibuat oleh institusi tersebut,
namun
faktanya
penilaian
variabel
kesuksesan personil kepolisian selama
pelaksanaan tugas pokok yakni berupa
kompetensi agar personil polisi dapat
profesional dalam pelaksanaan tugas
didukung dengan penilaian masyarakat
terhadap kinerja polisi itu sendiri (Loftus
& Price, 2016). Hal ini juga berlaku pada
institusi Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dimana kompetensi Polri yang
sesuai
standar
akan
menghasilkan
profesionalisme kinerja yang baik bagi
organisasi. Dalam pemenuhan kebutuhan
personil kepolisian berpangkat brigadir,
Kapolri melalui lembaga Kepolisian
Republik
Indonesia
melaksanakan
perekrutan
secara
bertahap.
Pada
pelaksanaannya, Kapolri mendeligasikan
kewenangan kepada Kapolda dan jajaran
melalui seleksi penerimaan Brigadir Polri
yang dilaksanakan di Kepolisian Daerah.
Hal ini dilaksankan untuk memenuhi
standar rasio jumlah personel Polri sesuai
dengan daftar susunan personel (Austriani
et al.
, 2016).
Pengelolaan sumber daya manusia
(SDM) kepolisian secara profesional
merupakan salah satu misi kepolisian
dalam pencapaian tujuan. Tujuan tersebut
adalah
terwujudnya
pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat
(Harkantibmas)
sehingga
dapat
mendorong meningkatnya motivasi kerja
guna mencapai kesejahteraan dalam
organisasi maupun
output
dari organisasi
(Inga, 2016). Misi tersebut menjadi dasar
upaya membina SDM kepolisian di
Indonesia. Misi dalam bentuk pembinaan
SDM
diawali
dengan
menerapkan
komitmen terhadap kualitas rekrutmen
dan seleksi anggota Polri yang tepat sejak
awal perekrutan yang berbasis
merit
system
. Kajian sebelumnya menyebutkan
bahwa sistem perekrutan berbasis
merit
system
merupakan opsi terbaik, yang
menerapkan prosedur terbuka, terdapat
analisis kompetensi (substansi dan teknis),
serta tidak ada kriteria terbaik selain
merit
system
dalam
perekrutan
personil
organisasi baik di publik mupun privat
(Berman
et al
., 2001; Zaman, 2015).
Berkenaan dengan kajian tersebut, maka
diharapkan penerapan
merit system
selama rekrutmen beserta seleksi anggota
Polri yang tepat, dapat menghasilkan
personil Polri yang unggul sehingga dapat
mendukung pelaksanaan tugas-tugas Polri
sebagai pengemban fungsi keamanan
dalam negeri (Hollyer, 2009; Roberts &
Hill, 1941; Sylvia & Meyer 2002; Zaman,
2015). Dalam konteks manajemen SDM,
maka hal ini merupakan bentuk penyiapan
dan pelaksanaan strategi koordinatif
dalam
menjamin
optimalisasi
kebermanfaatan SDM dalam pencapaian
tujuan institusi (Desseler, 2004; Hasibuan,
2006; Huselid
et al.
, 1997; Irianto, 2001;
Sofyandi, 2008).
Merit
system
pada
dasarnya
menggambarkan suatu sistem yang
memungkinkan seseorang untuk mencapai
keberhasilan secara proporsional dengan
bakat dan kemampuan, dimana bertujuan
untuk mengembangkan pegawai atau
anggota sehingga memiliki kompetensi
yang sesuai dan dapat mewujudkan tujuan
organisasi dengan optimal (Aronson,
1950). Meskipun
merit system
belum
secara
eksplisit
tersebutkan
dalam
regulasi (UU Nomor 2/2002), namun
secara prinsip telah diturunkan dalam
Roadmap
Reformasi Birokrasi Polri
Gelombang 3 Tahun 2016-2019 Bab 3c
poin 6b tentang penguatan sistem SDM
dengan menggunakan
merit system
. Upaya
tersebut berpeluang melahirkan transisi
yang lebih baik dalam aspek kemajuan
budaya kepolisian yang bermula dari
pembangunan SDM secara terpadu dan
berkelanjutan.
Bukan
hanya
membebankan profesionalisme aparatur
pada aparat pelaksana, tetapi juga harus
diawali dari pengambil kebijakan dan
aktor penyusun strategi secara objektif
serta menghilangkan subjektivitas. Jika
Polri mampu melaksanakan manajemen
rekrutmen beserta seleksi SDM Polri yang
berkualitas, maka probabilitas dalam
meningkatkan budaya kepolisian yang
lebih baik (profesional, taat hukum,
bermoral, dan modern) pada masyarakat
demokratis
akan
sangat
mungkin
terlaksana secara optimal.
Sistem perekrutan beserta seleksi
personil Polri di Papua dilakukan dengan
dua model. Model pertama yaitu
rekrutmen dan seleksi Orang Asli Papua
(OAP), dan; model kedua berupa
rekrutmen dan seleksi Non Orang Asli
Papua (Non-OAP). Selama rekrutmen dan
seleksi personil berlangsung, jumlah
kelulusan OAP atau Ras Melanesia lebih
sedikit sehingga menampakkan adanya
kontras yang terjadi dan ada anggapan
diskriminatif.
Fenomena
tersebut
memunculkan tuntutan masyarakat dan
lembaga-lembaga masyarakat seperti MRP,
DPRD, dan LSM di Papua dalam bentuk
desakan pada Polri meningkatkan jumlah
lulusan OAP sebagai anggota Polri
sehingga
terhindar
dari
rasa
terdiskriminasi terhadap OAP. Oleh karena
itu, dibutuhkan sistem yang mendukung
anti diskriminasi terhadap setiap individu
selama perekrutan dan seleksi melalui
Affirmative Action
.
Affirmative Action
sejalan dengan prinsip-prinsip dan nilai
keadilan
sosial.
Prinsip
dan nilai
Affirmative Action
memiliki potensi dan
peluang dalam menjembatani masalah
sosial budaya yang muncul, sekaligus
menjamin representasi dan proporsi SDM
secara
ideal
di
karakteristik
kependudukan, geografi, dan budaya
masyarakat pada organisasi, baik publik
atau privat (Gomez, 2003). Dengan
kebijakan afirmasi, maka diharapkan dapat
meningkatkan jumlah minat pendaftar
calon anggota Polri oleh masyarakat OAP
untuk berpartisipasi selama perekrutan
dan seleksi calon anggota Polri oleh BIRO
SDM Polda Papua. Hal tersebut salah
satunya bermuara dalam menghasilkan
calon anggota Polri OAP dari berbagai
daerah di Provinsi Papua,
dalam
dukungannya
terhadap
percepatan
pembangunan SDM di Papua. Berdasar
pada kajian, maka tujuan kajian ini adalah
melakukan
deskripsi
dan
analisis
penerapan
Affirmative Action
dalam
perekrutan beserta seleksi Bintara Polri
OAP (Ras Melanesia) dan Non-OAP di
Polda Papua serta mendeskripsikan
apakah penerapan
Affirmative Action
dapat
memotivasi pendaftaran calon Bintara
Polri OAP (Ras Melanesia) di Polda Papua.
METODE PENELITIAN
Metode riset kualitatif dengan
pendekatan studi kasus merupakan
metode
yang
digunakan
untuk
menganalisis
Affirmative Action
dalam
perekrutan beserta seleksi bintara Polri di
Polda Papua tahun 2019 serta dampak dari
penerapan
Affirmative Action.
Penulis
menggunakan pendekatan
post-positivism
selama
menganalisis
kasus
terkait
.
Pendekatan tersebut menerangkan bahwa
kaum
post-positivis
mengaplikasikan
filsafat deterministik dan keyakinan
penyebab (kausatif) sebagai pendorong
akibat (Creswell, 2017)
.
Penggunaan
pendekatan
postpositivis
dalam kajian ini
memiliki tujuan analisis
mendalam pada
penerapan
Affirmative Action
selama
perekrutan beserta seleksi bintara Polri di
Polda Papua tahun 2019 beserta dampak
dari
penerapan
Affirmative
Action
Noach Hendrik Daud Dwaa & Eko Prasojo. Implementasi Affirmative Action dalam Rekrutmen & Seleksi
44 HASIL DAN PEMBAHASAN
Implementasi Affirmative Action dalam
rekrutmen dan seleksi Bintara Polri
Orang Asli Papua (Ras Melanesia)
Rekrutment merupakan suatu proses
yang dilakukan oleh organisasi untuk
mencari personil yang memenuhi standar
syarat tertentu sesuai dengan kebutuhan
organisasi. Secara konseptual, perekrutan
personil adalah upaya pencarian personil
dan
mendorong
serta
memberikan
peluang yang seluas-luasnya kepada
seseorang untuk mengisi formasi yang
tersedia
dalam
sebuah
organisasi.
Sedangkan proses seleksi merupakan
lanjutan dari perekrutan personil dalam
institusi atau organisasi, yang bertujuan
untuk memilih calon personil Polri yang
tepat dan berkualitas melalui beberapa
tahapan seleksi yang telah ditentukan
sesuai dengan kebutuhan organisasi
(Jamin, 1995).
Proses rekrutmen dan seleksi selalu
dilaksanakan setiap tahunnya untuk
meningkatkan jumlah personil Polri
sebagai kebutuhan organisasi Polri sesuai
dengan anggaran yang tersedia. Seperti di
wilayah lainnya, Polda Papua melakukan
rekrutmen dan seleksi personil Polri
dengan membagi dua kelompok yaitu
calon anggota Polri OAP dan calon anggota
Polri Non-OAP. Menurut SK Kapolda Papua
Nomor.Kep/308/VII/2019
tentang
Penentuan Kelulusan Akhir Peserta
Penerimaan Calon Bintara Polri antara
OAP dan Non-OAP tahun 2019 di Polda
Papua, dijelaskan bahwa yang dimaksud
peserta OAP adalah peserta dengan orang
tua kandung (Bapak dan Ibu) OAP
dan/atau salah satu dari Bapak/Ibu
kandung adalah OAP. Berikut ini adalah
data minat masyarakat daerah Papua
dalam melaksanakan pendaftaran sebagai
calon anggota Bintara Polri Ras Melanesia
(OAP) dan bukan Ras Melanesia
(Non-OAP).
Tabel 1. Minat Pendaftar dan Kelulusan Bintara Polri Tahun 2019
No Th. Jumlah
Pendaftar Masuk Pendidikan/Lolos Seleksi Non-OAP OAP Jumlah
1 2019 2.972 145 112 257
Sumber. Data Biro SDM Polda Provinsi Papua (2019)
Berdasarkan data yang ada, dinyatakan bahwa OAP atau Ras Melanesia lebih sedikit yang lulus dibandingkan Non-OAP. Angka tersebut menjadi dasar tuntutan masyarakat dan lembaga masyarakat seperti MRP, DPRD, dan LSM di Papua mendesak Polri agar dapat memperbanyak lulusan OAP sehingga terhindar dari rasa terdiskriminasi terhadap OAP. Berdasarkan data pendidikan Bintara Polri 2019, calon yang dinyatakan lulus seleksi berjumlah: polisi laki-laki adalah reguler 7.832, kompetensi khusus 411, talent scouting 104, ppkt/wilayah perbatasan 88, gagal calon taruna Akpol 40 sehingga total 8475 sedangkan polisi wanita: reguler 279, kompetensi khusus 56, talent scouting 53, ppkt/wilayah perbatasan 6, gagal calon taruna Akpol 6, sehingga total Polwan 400. sehingga jumlah keseluruhan calon anggota Polri yang lulus rekrutmen dan seleksi menjadi anggota Polri berpangkat Bintara pada tahuan 2019 adalah 8.875 orang dari seluruh daerah di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan kuota dik Bintara Nomor kep/1317/VII/2019. Sehingga dari total 8.875 orang terdapat hanya ada 1,3% OAP dari Polda Papua yang lulus seleksi menjadi anggota Polri pada tahun 2019.
Tabel 2. Minat Pendaftar dan Kelulusan Bintara Polri Tahun 2014-2019
Th. PendaJml ftar
Masuk Pendidikan/Lolos Seleksi
Tota l Laki-laki Perempuan Non-OAP OAP Juml ah 100 % Non-OAP OAP Jumla h 100% 201 4 6.353 374/ 68% 180/ 32% 554 51% 93/ 49% 92/ 185 739 201 5 3.835 211/ 60% 139/ 40% 350 64% 37/ 36% 21/ 58 408 201 6 3.172 31% 83/ 187/ 69% 270 32% 6/ 68% 13/ 19 289 201 7 3.257 196/ 59% 137/ 41% 333 46% 6/ 54% 7/ 13 346 201 8 1.631 262/ 73% 27% 99/ 361 37% 6/ 63% 10/ 16 377 201 9 2.972 139/ 57% 105/ 43% 244 46% 6 54% 7/ 13 257 Juml ah 18.248 1.265 / 60% 847/ 40% 2.112 154/ 51% 150/ 49% 304 2.416 Sumber. Data Biro SDM Polda Provinsi Papua tahun
Berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2017, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang kemudian dilanjutkan oleh Kepolisian Republik Indonesia untuk mendukung penuh terhadap peningkatan SDM dalam rekrutmen Polri di Polda Papua, Kapolri mengeluarkan beberapa kebijakan yang tercantum dalam Surat Pengumuman Kapolri Nomor PENG/4/III/DIK.2.1./2019 per 5 Maret 2019 tentang Penerimaan Terpadu Bintara Polri T.A. 2019. Kebijakan Kapolri yakni: pertama, sumber rekrutmen terdiri dari bintara regular, bintara kompetensi khusus, bintara talent scouting, bintara ppkt/wilayah perbatasan, bintara yang tidak lulus sebagai taruna Akpol di tingkat pusat, dan; kedua, syarat fisik (tinggi badan) berupa calon pendaftar umum (pria dengan tinggi badan 165 cm dan wanita 160 cm) serta Ras Melansesia di Polda Papua dan Papua Barat (daerah asal pesisir, pria dengan tinggi badan 163 cm dan wanita 165 cm; daerah asalh pegunungan, pria dengan tinggi badan 160 cm dan wanita 155 cm). Polda Papua mendapat perlakuan khusus bagi OAP dalam rekrutment dan seleksi calon Bintara Polri tahun 2019, karena syarat tinggi badan calon anggota Polri ras melanesia dapat dikurangi. Sehingga, seharusnya jumlah bintara Polri dari OAP bertambah dan tanpa diskriminasi, karena peraturan pemerintah yang ingin mempercepat pengembangan papua dan putra putri asli Papua.
Perihal adanya pengurangan tinggi badan dalam persyarataran pendaftaran calon Bintara, terdapat beberapa permasalahan antara lain: Pertama, kurangnya sosialisasi kebijakan Affirmative Action oleh Polda Papua terkait tinggi badan tersebut berupa pengurangan tinggi badan yang disesuaikan dengan karakteristik OAP. Sehingga, banyak putra putri daerah Papua yang kurang berminat untuk mendaftar sebagai Bintara Polda Papua; Kedua, lokasi pendaftaran di Polda Papua yang terletak di Jayapura, sementara kemampuan ekonomi calon pendaftar yang minim. Hal ini menjadikan motivasi dalam mengikuti rekrutmen dan seleksi cenderung rendah, dan; Ketiga, pemberlakuan sistem online belum sepenuhnya mampu diaplikasikan mengingat fasilitas koneksi internet yang belum
sepenuhnya merata. Hal ini kemudian, juga menjadi kendala teknis yang menurunkan motivasi OAP dalam mengikuti rekrutmen dan seleksi calon Bintara di Polda Papua.
Sejatinya, menurut Castle (dalam Smit, 2006), strategi dan praktik mengembangkan SDM melalui tindakan afirmatif harus menekankan perencanaan, induksi, sosialisasi dan pendidikan dan pelatihan kompensasi yang sesuai dengan lingkungan pembangunan atau wilayah lokal. Sehingga, terbentuk motivasi yang lebih tinggi. Strategi yang dimaksud termasuk:
Pengembangan model perencanaan tenaga kerja untuk memandu seleksi, pengembangan, dan penilaian karyawan (termasuk spesifikasi pekerjaan dan kinerja secara terperinci), serta melakukan perencanaan wilayah rekrutmen dan seleksi yang terjangkau oleh masyarakat lokal;
Pelatihan kepemimpinan dan prestasi yang dirancang untuk merangsang individualitas dan ketegasan peserta, dan untuk mengembangkan manajemen resiko;
Menjembatani program pendidikan yang mempersiapkan individu atau kelompok kecil lulusan sekolah untuk masuk ke dalam tujuan organisasi dan lebih fokus pada pembinaan sesuai budaya dan kemampuan lokal. Sehingga, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah keterampilan serta prinsip-prinsip dasar organisasi dapat dipahami secara efektif dan efisien;
Program pelatihan dan bimbingan untuk mempersiapkan anggota berpotensi besar untuk peran manajemen, dan;
Penempatan awal manajer dari kelompok yang sama dan dianggap sebagai satu kesatuan dari kondisi budaya asli yang membuat mereka lebih cocok.
Fungsi Affirmative Action dan Motivasi Calon Personil Polri
Affirmative Action adalah kebijakan yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu mendapat kesetaraan dan kesamaan peluang antar kelompok/golongan lain dalam bidang relevan. Hal ini termasuk proses perekrutan beserta seleksi Polri di Papua. Kompleksitas masalah di Papua yang rumit dan fundamental mendorong stakeholder untuk menyusun Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (P4B) dan Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit
Noach Hendrik Daud Dwaa & Eko Prasojo. Implementasi Affirmative Action dalam Rekrutmen & Seleksi
46 Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). UP4B memiliki tugas pokok: "Memberikan dukungan kepada Presiden Republik Indonesia dalam koordinasi, sinkronisasi, fasilitasi serta pengendalian dan evaluasi pelaksanaan program percepatan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat".
Adanya tindakan afirmatif pada sistem rekrutmen dan seleksi di tubuh Polda Papua, menjadi suatu perubahan yang diharapkan dapat mempercepat pembangunan di Papua. Kapolri juga berharap merit system yang diterapkan dapat meningkatkan motivasi OAP untuk mendaftar sebagai calon Bintara dan dapat bertugas secara optimal. Saat ini, meritokrasi sering digunakan sebagai konotasi yang positif untuk menggambarkan sistem sosial yang memungkinkan orang untuk mencapai keberhasilan secara proporsional dengan bakat dan kemampuan mereka. Tindakan afirmatif yang diwujudkan melalui rekrutmen dan seleksi dengan merit system akan meminimalisir pembentukan “kelompok” dalam kelompok yang merasa didiskriminasi dari organisasi berdasarkan kemampuan mereka yang kurang memadai, atau berkaitan dengan kelompok atau ras tertentu.
Padahal, menurut Johnson dan Redmond (dalam Smit, 2006) menyatakan adanya hubungan yang terkait antara motivasi kinerja dengan pelaksanaan merit system pada suatu organisasi. Lebih lanjut, Bredell (dalam Smit, 2006) menyatakan bahwa kinerja pekerjaan seseorang terutama tergantung pada dua aspek, yaitu kemampuan dan motivasi. Kemampuan mengacu pada potensi individu untuk berhasil menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Motivasi adalah sebuah kekuatan pendorong internal yang mengaktifkan dan memberi energi pada individu dan yang mengarahkan perilakunya sedemikian rupa sehingga tujuan dapat dicapai. Kanter (1997) berpendapat bahwa ketika orang berada diberdayakan untuk berkontribusi, mereka ingin diberi penghargaan khusus untuk keberhasilan yang telah dicapai. Motivasi dan motif adalah dua kata yang saling berhubungan secara etimologis, motif dalam bahasa inggris motive, berasal dari kata motion, yang berarti gerakan. Menurut Suryabrata (dalam Kristanto & Hary, 2015) motif adalah keadaan dalam setiap pribadi individu yang mendorong individu tersebut
untuk melakukan aktivitas-aktivitas khusus dalam pencapaian tujuan tertentu. Selain motif, dalam psikologi juga dikenal istilah motivasi. Berawal dari kata motif itulah maka motivasi dapat diartikan sebagai proses sadar dalam mempengaruhi tingkah laku individu agar tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu sehingga akan mencapai hasil ataupun juga tujuan tertentu.
Selanjutnya, Johnson dan Redmond (dalam Smit, 2006) memperjelas bahwa orang yang berbagi budaya dan latar belakang cenderung membentuk kelompok atau "dalam kelompok" dan dengan cara ini mereka memperoleh informasi melalui jaringan di luar selain sumber formal, atau dengan kata lain, adanya bias kelompok dan tujuan organisasi. Sehingga, apabila dikaitkan dengan pendaftaran bintara Polri di Papua, dapat dipahami perlu adanya tindakan afirmatif untuk meningkatkan motivasi kinerja di lingkungan Polda Papua, terutama untuk pendaftaran calon Bintara Polri sebagai titik manajerial yang penting, dalam upaya menghindari bias tujuan organisasi akibat sistem patronase. Bintara sendiri memiliki tugas dan peran sebagai konektor antara tingkat tertinggi (perwira) dengan terendah (tamtama) secara teknis. Biasanya bintara melatih aparat menjadi lebih professional, sehingga kemampuan manajerial yang sesuai dengan karakter orang lokal sangat dibutuhkan. Apabila terdapat Non-OAP, maka perlu tindakan yang adil dengan menerapkan sistem edukasi lokal, sehingga orang yang mengalami kesulitan dalam komunikasi (karena masalah dengan bahasa, penglihatan, pendengaran, atau literasi) harus diberikan waktu untuk memahami dan menyerap ide dan prosedur sebelum bertugas sebagai Bintara di wilayah Papua tersebut.
Mengedepankan masyarakat lokal sama
artinya dengan menjadikan birokrasi
representatif berada pada konteks pola
rekrutmen seseorang dalam posisi
administrasi publik, utamanya pada kesamaan kesempatan dan keterwakilan asal penduduk. Birokrasi representatif berfokus pada keadilan komposisi demografis masyarakat untuk
memediasi ketegangan demokrasi dan
birokrasi sehingga menjawab permasalahan proporsi keterwakilan, pertimbangan unsur sosio-ekonomi, dan karakter kewilayahan masyarakat (Groeneveld & Walle, 2010;
Mustofa, 2011). Birokrasi representatif berkaitan dengan kemampuan menjalankan 3 fungsi utama (kekuatan, pengambil keputusan, dan manajemen) dalam menyelesaikan 6 persoalan yang menjadi target dari pemerintahan good governance. Fungsi utamanya yakni bureaucracy as a power (birokrasi berorientasi pada kinerja dalam mengakomodasikan kepentingan dan merepresentasikan kepentingan lokal) (Kingsley, 1944; Lind, 2016 McMahon, 1946); bureaucracy as equal opportunity (birokrasi mewadahi kepentingan publik dan mampu merumuskannya ke dalam keputusan manajerial) (Wilson, 1941; Alves da Silva, 2007; Dahlberg et al., 2008), dan; bureaucracy
as diversity management (birokrasi
meningkatkan performa sebagai manajer publik sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kekinian).
Motivasi: Faktor Intrinsik-Ekstrinsik
Kompleksitas permasalahan di Papua berkaitan dengan fenomena ketimpangan proporsi kelulusan personil Polri membutuhkan strategi mendorong minat calon pendaftar untuk mengikuti seleksi. Berkenaan dengan strategi, maka harus dilakukan pemetaan motivasi internal dan eksternal. Motivasi sendiri merupakan bagian dan proses dalam diri seseorang yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik intrinsik atau ekstrinsik. Menurut Wahjosumidjo (dalam Kuddy, 2017), faktor berpengaruh pada motivasi berupa faktor intrinsik (dari dalam individu) dan faktor ekstrinsik (dari luar individu). Faktor intrinsik berupa sikap terhadap aktivitas kerja, bakat diri, minat, kepuasan, pengalaman, dan lain-lain serta faktor dari luar individu yang bersangkutan seperti pengawasan, gaji, lingkungan kerja dan kepemimpinan (Widiastuti et al., 2018). Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa motivasi adalah upaya sadar memengaruhi tingkah laku individu untuk berbuat dan mencapai hasil atau tujuan guna mempertahankan hidupnya, dimana individu melakukan suatu kinerja ditentukan oleh faktor internal maupun faktor eksternal.
Dalam menyusun strategi meningkatkan minat bergabung sebagai personil Polri, maka harus dipahami dimana letak ketertarikan dan alasan para personil atau calon personil dalam mengikuti seleksi atau rekrutmen. Pemahaman tersebut lebih tepatnya berangkat
dari aspek pemetaan minat dan motivasi yang mendasari. Telah dijelaskan bahwa terdapat 2 faktor yakni faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yang terdiri dari persepsi, harga diri, harapan pribadi, kebutuhan, keinginan, kepuasan kerja, dan prestasi, serta; faktor ekstrinsik yang terdiri dari jenis/sifat pekerjaan, kelompok, lingkungan organisasi, situasi lingkungan kerja dan gaji/pendapatan. Berdasarkan riset yang telah dilakukan, ditemukan bahwa terdapat faktor baik intrinsik maupun ekstrinsik yang mendasari masing-masing motivasi calon pendaftar. Dari segi motivasi intrinsik, aspek yang paling utama mendasari minat calon pendaftar adalah aspek kebutuhan dan harapan pribadi, sedangkan faktor ekstrinsik berdasar pada gaji dan organisasi lingkungan kerja.
Aspek kebutuhan dan harapan pribadi menjadi dasar utama calon pendaftar dalam mengikuti seleksi dan rekrutmen di Polda Papua. Aspek ini berpeluang menjadi strategi Berkaitan dengan tujuan kesatuan di Polri, maka kemudian hal ini menjadi kesempatan dalam meningkatkan loyalitas anggota yang secara khusus berasal dari Papua. Semangat Esprit de Corps yang ada di lembaga Polri harus dikuatkan melalui pemahaman akan kebutuhan dan harapan pribadi. Tentunya hal ini juga disesuaikan dengan visi dan misi yang ada di tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Selain faktor intrinsik, faktor ekstrinsik berupa gaji dan organisasi lingkungan kerja merupakan aspek yang harus diperhatikan. Dalam konteks penguatan kinerja, tentunya hal ini sangat berdampak pada kualitas kinerja. Beban kerja dan resiko pekerjaan sebagai polisi yang tinggi harus diimbangi dengan kuatnya faktor pendorong dan menciptakan dampak yang signifikan khususnya dalam aspek kesejahteraan anggota.
SIMPULAN
Berdasar pada proses telaah dan analisis yang sudah dilakukan, maka beberapa kesimpulan yang diajukan yakni: Pertama, implementasi affirmative action dalam rekrutmen dan seleksi calon Bintara di Polda Papua belum optimal, dimana rekrutmen dan seleksi personil Polri di Polda Papua, OAP atau Ras Melanesia lebih sedikit yang lulus dibandingkan Non-OAP, hal ini yang membuat tuntutan masyarakat dan lembaga-lembaga
Noach Hendrik Daud Dwaa & Eko Prasojo. Implementasi Affirmative Action dalam Rekrutmen & Seleksi
48 masyarakat seperti MRP, DPRD, dan LSM di Papua mendesak Polri agar Polri dapat memperbanyak lulusan OAP untuk menjadi anggota Polri sehingga terhindar dari rasa terdiskriminasi terhadap OAP; kedua, fungsi tindakan afirmatif pada sistem rekrutmen dan seleksi di tubuh Polda Papua menjadi suatu perubahan yang diharapkan mempercepat pembangunan di Papua. Untuk itu, merit system yang diterapkan adalah bertujuan meningkatkan motivasi OAP dalam bergabung sebagai calon Bintara secara optimal. Tindakan afirmatif melalui rekrutmen dan seleksi dengan merit system diharapkan meminimalisir pembentukan kelompok dalam kelompok yang merasa didiskriminasi dari organisasi berdasarkan non kemampuan mereka, atau berkaitan dengan kelompok/ras tertentu, dan; ketiga, Sebagai konsekuensi dari keberadaan kehidupan yang bersifat komunal, maka terdapat beberapa suku tertentu yang anti terhadap pemerintah sehingga motivasi menurun hingga hilang motivasi bergabung sebagai anggota Polri. Untuk itu, berangkat dari mayoritas motivasi utama tersebut adalah faktor internal (kebutuhan dan harapan pribadi) dan faktor eksternal (gaji dan lingkungan organisasi bekerja), maka strategi yang harus diupayakan adalah pemenuhan dan peningkatan 4 aspek kebutuhan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Alvarado, L. A. (2010). Dispelling the Meritocracy Myth: Lessons for Higher Education and Student Affairs Educators. The Vermont
Connection, 31(1-2), 10-20.
https://scholarworks.uvm.edu/tvc/vol31/is
s1/2/
Aronson, A. H. (1950). Merit System Objectives and Realities. Buletin, 13(4), 3-19.
https://www.ssa.gov/policy/docs/ssb/v13n
4/v13n4p3.pdf
Austriani, N. L., Erviantono, T., & Purnamaningsih, E. (2016). Penerimaan Sumber Daya Manusia Brigadir Polri dalam Perspektif Governance (Studi Penerimaan Sumber Daya Manusia Kepolisian Daerah Bali Tahun Anggaran 2015). Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, 1(1), 1-10.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/citizen/art
icle/view/21636
Berman, E., Bowman, J., West, J., & Van Mart, M. R. (2001). Human Resource Management in Public Service: Paradoxes, Processes, and Problems. USA: Sage Publications, Inc.
Carlan, P. E., & Lewis, J. A. (2009). Dissecting Police Professionalism: A Comparison of Predictors Within Five Professionalism Subsets. Police
Quarterly, 12(4), 370-387.
https://doi.org/10.1177/109861110934846
9
Creswell, J. W. (2017). Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gomes, F. C. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi.
Groeneveld, S., & Walle, S. V. (2010). A Contingency Approach to Representative Bureaucracy: Power, Equal Opportunities and Diversity.
International Review of Administrative
Science, 76(2), 239-258.
https://doi.org/10.1177/002085230936567
0
Herman, S. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Graha Ilmu.
Hollyer, J. R. (2009). Patronage or Merit? Bureaucratic Recruitment in 19th and Early
20th Century Europe. New York University Department of Politics, 1, 1-38.
https://ssrn.com/abstract=1657615
Huselid, M. A., Jackson, S. E., & Schuler, R. S. (1997). Technical and Strategic Human Resource Management Effectiveness as Determinants of Firm Performance. Academy of Management Journal, 40(1), 171-188.
https://www.markhuselid.com/pdfs/article s/1997_AMJ_Technical_and_Strategic_SHRM.
Inga, L. O. (2016). Pengembangan Kapasitas Kemampuan Anggota di Kepolisian Resor (Polres) Palu Sulawesi Tengah. e-Jurnal
Katalogis, 4(1), 82-94.
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/
Katalogis/article/view/6515
Irianto, J. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia. Surabaya: Insan Cendekia.
Jackson, S. E., & Schuler, R. S. (1995). Understanding Human Resource Management in the Context of Organizations and Their Environments.
Anna Rev. Psychol, 237-263.
https://doi.org/10.1146/annurev.ps.46.020
195.001321
Kingsley, J. D. (1944). Representative Bureaucracy: An Interpretation of the British Civil Service. Yellow Springs: The Antioch Press.
Kuddy, A. (2017). Pengaruh Kepemimpinan, Motovasi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Pegawai pada Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua. Jurnal Manajemen & Bisnis, Fakultas Ekonomi & Bisnis, 1(2), 22-36.
Lind, N. S. (2016). Representative Bureaucracy.
Global Encyclopedia of Public Administration, Public Policy, and Governance,
1-6.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-31816-5_656-2
Loftus, J., & Price, K. (2016). Police Attitudes and Professionalism. Administrative Issues Journal: Connecting Education, Practice, and Research, Winter, 6(2), 53-73. Diakses dari
http://www.jurnal.manuncen.ac.id/index.ph
p/jmb/article/view/8
Malayu, S. H. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Macmahon, A. W. (1946). Representative Bureucracy: An Interpretation of the British Civil Service by J. Donald Kingsley. The American Historical Review, 52(1), 129-132.
https://doi.org/10.1086/ahr/52.1.129
Mustofa, A. (2011). Reformasi Administrasi: Pendekatan Birokrasi Representatif dalam Meningkatkan Performa Birokrasi. Jurnal
Kalamsiasi, 4(2), 141-154.
http://repository.unitomo.ac.id/id/eprint/2
32
Raharjo, A., & Angkasa. (2011). Profesionalisme Polisi dalam Penegakan Hukum. Jurnal Dinamika Hukum, 11(3), 389-401. Diakses dari
http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/inde
x.php/JDH/article/download/167/115
Roberts, F. L., & Hill, B. (1941). The Merit System in Relationship to Public Health Personnel.
American Journal of Public Health, 31, 121-126.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles
/PMC1531288/
Smit, P. K. (2006). The Effect of Affirmative Action on Employee Motivation in the Sandf.
Department of Human Resource, Tswane University of Technology. Diakses dari
http://tutvital.tut.ac.za:8080/vital/access/m
anager/Repository/tut:3941
Sylvia, R. D., & Meyer, C. K. (2002). Public Personnel Administration. California: Harcourt College Publishers.
Widiastuti, R., Sudharto, & Suwandi. (2018). Pengaruh Kepemimpinan Kepala Madrasah dan Motivasi Kerja Terhadap Budaya Kerja Guru Madrasah Aliyah di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. JMP Universitas PGRI Semarang, 7(3), 311-327.
http://dx.doi.org/10.26877/jmp.v7i3.3147
Zaman, M. S. (2015). Merit-Based Recruitment: The Key to Effective Public Administration in Bangladesh. Journal of Public Administration and Governance, 5(3), 96-119.