• Tidak ada hasil yang ditemukan

ECO ETHICS SPIRITUAL MEMBANGUN RELASI AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ECO ETHICS SPIRITUAL MEMBANGUN RELASI AN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. x. No. 2, 2011

ECO-ETHICS SPIRITUAL:

MEMBANGUN RELASI ANTARA MANUSIA DAN LINGKUNGAN BERBASIS NORMATIVITAS ISLAM

Oleh: Mohd. Arifullah

Pendahuluan

“If nature is not prison and earth a shoddy way-station, we must find the faith and force to affirm its metabolism as our own--or rather, our own as past of it. To do so means nothing less than a shift in our whole frame of reference and our attitude toward life itself, a wider perception of the landscape as a creative, harmonious being where relationships of things are as real as the things. Without losing our sense of a great human destiny and without intellectual surrender, we must affirm tha the world is a being, a part of our own body”. (Paul Shepard).1

Ungkapan Paul Shepard di atas menunjukkan bagaimana manusia harus bersikap

etis terhadap alam, yaitu bersikap seolah alam adalah bagian dari diri manusia sendiri,

karena itu manusia dan alam semestinya dapat menumbuhkan hubungan

simbiosis-mutualis yang menguntungkan keduanya. Shepard menyadari bahwa sumberdaya alam

termasuk sumberdaya hutan, air, udara, dan mineral, merupakan modal utama dan

fundamental bagi kelangsungan hidup manusia, tanpa dukungan sumber daya alam

tersebut, manusia akan kesulitan mengemban amanah kehidupannya. Untuk itu,

manusia secara ideal dan moral berkewajiban melestarikan sumber daya alam dan

lingkungannya, sehingga berbagai sumberdaya alam dapat dipertahankan eksistensinya

dari generasi ke generasi. Dalam konteks ini kesadaran terhadap dampak negatif

berbagai bentuk eksploitasi sumber daya alam menjadi kemutlakan, bahwa eksploitasi

sumber daya alam secara massif akan mengakibatkan penyusutan sumber daya alam

yang akhirnya akan menimbulkan berbagai dampak lingkungan yang tidak terkira bagi

manusia.

Dihubungkan dengan pandangan Islam, manusia sebagai khalifat Lah fi al-Ardh, memiliki kewenangan untuk mendayagunakan atau mengoptimalisasikan penggunaan sumber daya alam, namun tidak harus dilakukan semata dengan

mempertimbangkan aspek ekonomi. Manusia sebagai makhluk rasional dan religius,

1 Lihat Paul Shepard and Daniel McKinley, The Subversive Science: Essays toward and Ecology

(2)

cerdas dan bernurani juga harus mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan,

kesesuaian lahan, nilai potensi, dan konsistensi demi tercapainya pembangunan

lingkungan yang berkelanjutan, singkatnya dapat mempertimbangkan dampak

lingkungan. Artinya eksploitasi sumber daya alam perlu diimbangi dengan kesadaran

terhadap kondisi lingkungan akibat eksploitasi tersebut.2 Melalui kesadaran seperti ini, penulis menilai dibutuhkan suatu nilai etika tertentu dalam melihat relasi manusia

sebagai khalifah Allah dengan alam/ lingkungan hidup sebagai amanah kekhalifahan

manusia. Dalam konteks ini penulis tertarik untuk menelisik lebih jauh perspektif etika

Islam dalam melihat relasi antara manusia sebagai subjek dan lingkungan sebagai

objek. Tujuannya adalah memberikan basis konseptual-normatif bagi sebuah tindakan

mulia, yaitu pelestarian lingkungan hidup.

Realitas Krisis Lingkungan Kontemporer

Krisis lingkungan, dewasa ini telah menjadi momok yang menakutkan dan

menjadi kewaspadaan bersama dunia global. Kesadaran intelektual terhadap bahaya

krisis lingkungan telah ada sejak abad-abad pasca Revolusi Industri,3 sebagai akibat

keserakahan manusia yang merasa mandiri dan tidak memiliki “keterkaitan/

ketundukannya” terhadap alam. Kesadaran ini, secara transendental bahkan telah

disadari oleh para pembawa risalah kenabi, yang tersempurnakan pada visi profetis

Muhammad. Dewasa ini kesadaran yang lebih aktual tentang krisis lingkungan telah

pula menjadi perhatian dunia, seperti diungkap di antaranya oleh E. Goldsmith dan R.

Allen dalam A Blueprint for Survival, bahwa krisis lingkungan telah menjadi perhatian dunia, terutama sejak Konfrensi Stockholm pada Juni 1972.4

Revolusi Industri yang awalnya diarahkan untuk memanusiakan manusia,

ternyata telah menjadi bumerang bagi manusia dan lingkungannya. Revolusi Industri

yang bermula di Inggris dan meluas ke negara-negara Eropa serta dunia secara global

ternyata memiliki dampak kemanusiaan dan ekologi yang tak terkirakan, perubahan

masyarakat agrikultural ke industrial yang berbasis metal telah mengubah dunia secara

2 Herwan Parwiyanto, Lingkungan dalam Kajian Etika & Moral, www.google.com.

3 Dikatakan oleh John Houghton pengarang Global Warming, bahwa manusia selama beberapa

abad telah mengeksploitasi bumi (exploiting the Earth) dan juga berbagai sumber daya alam yang terdapat di dalamnya. Hal ini telah dimulai sejak meletusnya Revolusi Industri sekitas dua ratus tahun yang lalu. John Houghton, Global Warming (Cambridge: Cambridge University Press, 2004, 198. Karena itu kesadaran terhadap krisis lingkungan mulai tumbuh setelah masa-masa Revolusi Industri.

4E. Goldsmith, R. Allen, et. al., “A Blueprint for Survival, dalam The Ecologist, vo. 2, no. 1

(3)

drastis dan sangat cepat.5 Perubahan ini sebenarnya bernilai ganda, positif dan juga negatif, positif karena ia membawa manusia pada kemajuan ilmu pengetahuan dan

tekhnologi yang berdampak pada kemakmuran dan kesejahteraan manusia, namun

negatif, karena memiliki dampak ekologis yang berbahaya. E.F. Schumacher dalam

karyanya Small is Beautiful: Economics as if People Mattered mengungkapkan bahwa dampak negatif Revolusi Industri diakibatkan oleh “Revolusi Konsumsi” yang menjadi

anak dari Revolusi Indutri.6 “Revolusi Konsumsi” tidak berbeda dengan “Revolusi Keserakahan” yang menghalalkan segala bentuk dan cara eksploitasi alam demi

memenuhi keserakahan ekonomi manusia, tanpa mempedulikan menyusutnya sumber

daya alam.

Akibat langsung dari Revolusi Konsumsi ini adalah eksploitasi alam yang tidak

mengenal puas. Akibatnya, seperti dikatakan John Houghton persediaan mineral bumi

menjadi menipis, biji bisi, metal, minyak, dan gas telah dieksploitasi habis-habisan.7 Tidak hanya sumber daya mineral, manusia modern juga telah mengeksploitasi

sumber-sumber alam biologis, yang dewasa ini semakin menipis jumlahnya.

Hutan-hutan telah dibabat dalam skala yang luas, yang digunakan sebagai lahan pertanian

ataupun perumahan. Hutan-hutan tropis yang memiliki arti penting dalam menjaga

keseimbangan iklim juga telah dirambah, dijarah, dan dieksploitasi sedemikian rupa.

Kenyataan ini telah memusnahkan separuh dari spesies mahluk hidup (binatang/

tumbuhan) dunia.8

Selain itu, Industri pertambangan dan juga emisi berbagai jenis kendaraan di

kota-kota besar telah mengakibatkan pencemaran udara oleh carbon dioksida.

Beberapa fenomena ini saja telah mengakibatkan dampak kerusakan lingkungan yang

sangat besar, berupa menipisnya lapisan ozon, yang menyebabkan efek rumah kaca,

sehingga bumi menjadi semakin panas. Akibatnya, seperti dikatakan oleh Jonathan

Bate, dalam karyanya The Song of the Earth, daratan es di Kutub Utara dan Selatan

5 Lihat Microsoft Encarta Encyclopedia, 2001, “Industrial Revolution”. 6

Lihat E.F. Schumacher, Small is Beautiful: Economics as if People Mattered, (New York: Harper and Row, 1973).

7 Houghton, Global Warming, 198.

8 Lihat Lean G. Hinrichsen D. & Markham A. , Atlas of the Environment (London: Arrow Books,

(4)

mulai mencair dan menaikkan permukaan air laut, huam asam yang berbahaya bagi

kehidupan makhluk hidup, menciutnya hutan, meluasnya padang pasir, timbulnya

berbagai penyakit baru, berbagai biodiversity terancam punah, dan juga perubahan

iklim ekstrem,9 yang dewasa ini mulai dirasakan.

Krisis lingkungan di atas, pada dasarnya terkait dengan pola hubungan manusia

dengan lingkungannya, atau bagaimana cara manusia memahami lingkungannya. Hal

itu diperparah oleh kenyataan pesatnya pertumbuhan penduduk dunia yang tidak

terkontrol yang tentu saja membutuhkan asupan sumber daya alam yang semakin besar

pula. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia inilah alam menjadi objek

eksploitasi yang seakan tidak mengenal puas.

Melihat kenyataan tersebut, banyak pakar mulai menyerukan sikap untuk

menjaga kelestarian lingkungan, dengan melakukan perubahan pandangan atau world

view terhadap lingkungan, seperti dilakukan oleh Sandra Postel dalam karyanya

Defusing the Toxics Threath.10 Demikian juga Al Gore yang mewanti-wanti soal kepunahan umat manusia. Berdasarkan pembelajarannya dari sejarah masa lampau. Al

Gore melihat bahwa kepunahan umat manusia dapat diakibatkan oleh perubahan iklim

drastis yang dipicu oleh krisis lingkungan. Al Gore juga mengungkapkan banyaknya

peradaban besar dunia yang punah karena kehilangan kesuburan tanah, krisis air,

ataupun penggundulan hutan, sebagaimana yang menimpa peradaban Maya tahun 950

M.11 Namun demikian seruan yang dilakukan oleh para intelektual belum dapat mengubah banyak krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini.

Karena itu dalam kenyataannya adalah tugas yang maha berat untuk mengatasi

krisis lingkungan tersebut. Umat beragama kiranya dapat memainkan salah satu peran

dalam upaya tersebut yaitu melalui internalisasi nilai-nilai normativitas agama dalam

upaya pelestarian lingkungan. Dalam hal ini David Tacey menilai perlunya suatu

gerakan revolusi spiritual yang diarahkan untuk mengkonservasi alam yang saat ini

telah berada pada tahap kritis. Tacey lebih jauh menawarkan konsep eco-spirituality,

yang menurutnya dapat mengubah paradigma alam dan lingkungan dan menumbuhkan

9 Jonathan Bate, The Song of the Earth (London: Macmillan Publisher, Ltd., 2000), 24. 10 Sandra POstel, Defusing the Toxics Threath (Wahington: Worldwatch Paper 79, 1987). 11 Lihat Al Gore, Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit (Boston: Houghton

(5)

peremajaan spiritualitas alam (Nature and Spiritual Renewal).12 Apa yang diinginkan oleh Tacey ini tampaknya mulai dilakukan oleh beberapa cendikiawan Islam

Kontemporer.

Lingkungan dalam Khazanah Intelektual Islam

Lingkungan, kini sepertinya telah menjadi term yang terlupakan dalam khazanah

keilmuan Islam, namun bukan berarti term ini tidak dikenal dalam khazanah keilmuan

Islam. Sejak zaman klasik Islam term ini sebenarnya telah menjadi perhatian beberapa

filsosof Islam, seperti Ikhwan al-Shafa,13 atau bahkan menjadi bagian yang integral dalam pemikiran sufistik Ibn Arabi.14 Dewasa ini, persoalan lingkungan mendapatkan perhatian yang lebih fokus walaupun belum intens dalam pemikiran beberapa

intelektual Islam, seperti dalam pemikiran Syed Hossein Nasr, Isma’il raji al-Faruqi,

ataupun Ziauddin Sardar. Pemikiran para intelektual Islam kontemporer ini kiranya

menarik untuk diulas sebagai landasan wawasan dalam memahami krisis lingkungan

dalam perspektif Islam.

Syed Hossein Nasr yang terkenal dengan gagasannya tentang a sacred science

atau sains sakral, mengungkapkan bahwa berdasarkan pengetahuan profetis Islam,

Islam menganjurkan penganutnya untuk tidak menaklukkan alam, dalam arti

mengeksplorasi sumber daya alam secara brutal. Manusia dapat memanfaatkan sumber

daya alam sesuai dengan perintah Allah. Nasr juga mengkritisi modernisme, karena

12

Melalui eco-spirituality, Tacey berkeinginan menumbuhkan sebuah paradigma baru tentang alam dan lingkungan hidup, yang diharapkan dapat menambah kepedulian dan kecintaan manusia terhadap alam (falling in love with the world), yang nantinya diinginkan pula dapat memunculkan kesadaran bahwa alam ini merupakan “titipan anak cucu kita, bukan warisan dari nenek moyang kita”. Artinya sudah saatnya manusia modern dapat memahami alam dalam koridor kesadaran spiritual yang mendalam. David Tacey, The Spirituality Revolution, The Emergence of Contemporary Spirituality, (New York, Brunner-Routledge, 2004), 183-191.

13

Ikhwan al-Shafa memahami adanya dua datarn kosmos, yaitu manusia sebagai mikrokosmos dan alam sebagai makrokosmos. Keduanya dalam pandangan Ikhwan al-Shafa merupakan entitas yang tidak terpisahkan sehingga mesti terkait satu sama lain dan saling menjaga. Dalam konteks ini Ikhwan al-Shafa telah menetapkan satu eco-ethics berdasarkan nilai-nilai spiritual Islam. Baca lebih jauh dalam Ikhwan as-Shafa, Rasa>’il Ikhwa>n al-S}afa> (Beirut, Dar Sadir, 1957), vol. I-IV.

14 Ibn ‘Arabi memiliki konsep Insan Kamil sebagai manifestasi tajalli Tuhan yang paling

(6)

ambisinya untuk menguasai alam hanya akan berakhir pada krisis lingkungan.15

Isma’il Raji al-Faruqi setuju dengan pandangan Nasr, baginya, umat Islam dewasa ini

dalam keadaan sakit sebagai diakibat dari pengaruh asing Barat. Umat Islam dan juga

manusia modern umumnya telah melupakan fungsinya sebagai khalifah16 Allah di muka bumi, yang berkewajiban untuk menjaga amanah Allah dengan menjaga alam

dari tindakan eksploitasi yang berlebihan.17

Selain itu, masih terdapat beberapa pemikir Islam kontemporer yang memiliki

imbas pemikiran secara tidak langsung pada upaya pelestarian lingkungan. Pemikiran

Maurice Buceile dalam The Bible, the Coran, and Science (1978), misalnya, sungguhpun dinilai oleh beberapa kalangan sebagai karya yang sarat dengan muatan

emosional dan benada apologi seperti diungkapkan oleh Ziauddin Sardar, namun

berbagai fakta ilmiah yang diungkapkannnya, terutama terkait dengan konsepsi

lingkungan yang ia temukan dalam al-Qur’an telah memberikan kesadaran untuk

melestarikan lingkungan. Hakikat lingkungan dalam al-Qur’an, menurutnya adalah

amanah Allah.18 Hal ini pula yang dapat dilihat dalam karya Ahmad Baiquni ketika

mencoba menampilkan ulasan ilmiah dalam al-Qur’an.

Selain tokoh-tokoh Islam kontemporer di atas, kritik Ali Syari’ati terhadap

ideologi Barat Modern, terutama kapitalisme, Marxisme, dan eksistensialisme, juga

memiliki dampak tidak langsung (implication) pada upaya konservasi lingkungan.

Menurut Syari’ati, ketiga ideologi tersebut walaupun memiliki perbedaan, namun

memiliki kesatuan tujuan yakni memenuhi harsat dunia melalui kerakusan terhadap

sumber daya alam dengan memahami segalanya berpusat kepada manusia

(antroposentris). Inilah yang kemudian menjadikan manusia modern sebagai pemuja

materi, yang mengkristal dalam bentuk materialisme.19

Pemujaan terhadap materi ini bagi Ziauddin Sardar menjadi penyebab utama

krisis lingkungan dewasa ini. Namun faktor tersebut vtidak independen, karena juga

15 Lihat dalam Muzaffar Iqbal, Science and Islam (London: Greenwood Press, 2007).

16 Berkenaan dengan konsep khalifah ini, Musthafa Abu Sway mengungkapkan bahwa konsep

khalifah dalam Islam tidak akan berarti apa-apa jika manusia tidak mampu menjalankan tugas-tugasnya dalam mengkonservasi lingkungan. Musthafa Abu Sway, Toward an Islamic Jurisprudence of the Environment: Fiqh al-Bi’ah fi al-Islam, htttp://homepage.iol,ie /~afifi /Article /evironment. htm. Februari 2008.

17Lihat Isma’il Raji al

-Faruqi dan Lois Lamya, The Culturtal Atlas of Islam (New York: Mac Millan, 1986).

18 Maurice Buceile, (Terj.) The Bible, the Coran, and Science (Jakarta: Bulan Bintang, 1987) 19 Lihat Ali Syari’ati, (Terj.) Afif Muhammad, Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat

(7)

didorong oleh berbagai fakktor lainnya terutama adanya krisis moral dan spiritual yang

dialami oleh manusia modern. Karena itu, bagai Sardar krisis lingkungan selalu

meliputi krisis manusia baik fisik, psikis, dan nilai yang menopang pandangan hidup

mereka.20

Pandangan para intelektual Islam di atas hanya sebagian kecil dari suara

kepedulian kaum Muslim terhadap lingkungan, walaupun demikian

pandangan-pandangan tersebut dapat memperlihatkan kesadaran terhadap fenomena kemodernan

dewasa ini, bahwa manusia modern kini telah mengalami krisis lingkungan sebagai

akibat dari hilangnya nilai-nilai luhur transenden yang dapat mengerem gerak laju

keserakahan manusia terhadap sumber daya alam. Untuk itu, upaya yang efektif dalam

mengatasi krisis lingkungan dan juga menggiatkan kembali konservasi lingkungan

adalah dengan membangun nilai-nilai etika lingkungan berbasiskan agama atau

tepatnya etika lingkungan berbasis normativitas Islam.

Keinginan untuk membangun basis etika ekologis melalui normativitas Islam

bukanlah sebuah pandangan yang apriori, karena dalam kenyataannya etika terkait erat

dengan perilaku dan juga sains, seperti diistilahkan oleh Jalaluddin Rakhmat, etika

merupakan “pengawal moral” sains. Bahkan dewasa ini dunia telah menyadari peran

etika dalam pengembangan sains, sehingga beberapa negara mendirikan

lembaga-lembaga “pengawal moral” untuk sains. Seperti The Institute of Society di Hasting atau

Ethics and Life Sciences di New York.21 Artinya etika masih dipercaya sebagai pengawal moral sains dan juga perilaku pengguna sains.

Relasi Manusia dan Lingkungan dalam Perspektif Etika Ekologi Islam

Islam adalah Di>n yang sha>mil (integral), ka>mil (Sempurna), dan mutaka>mil

(menyempurnakan semua sistem yang lain), karena ia adalah sistem hidup yang

diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana,22 sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah QS. al-Ma>’idah/5 ayat 3: “…Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku cukupkan atasmu nikmatku, dan Aku ridhai

20

Ziauddin Sardar, Islamic Futures (New York: Mensell Publishing Limited, 1985).

21 Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan, 1998),

158.

22Nishi Chiba, “Pelestarian Lingkungan Hidup menurut Islam”,

(8)

Islam sebagai aturan hidupmu…" (QS. al-Ma>’idah/5: 3).23 Ayat ini mengindikasikan Islam mencakup semua sisi yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, tidak

hanya mencakup dimensi shari’ah, tapi juga aturan bagi sesama manusia, bahkan

aturan atau etika terhadap alam dan lingkungan hidupnya.

Bagi penulis terdapat tiga ajaran prinsip Islam yang dapat menjadi landasan etis

pengembangan etika lingkungan (eco-ethics) berbasis normativitas Islam, yaitu pandangan normativitas Islam terhadap lingkungan, universalitas sebagai landasan

ideal etis dan juga konsep manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi sebagai

landasan praktis.

Lingkungan dalam Normativitas Islam

Ajaran Islam, terutama al-Qur’an banyak memberikan penjelasan tentang

lingkungan, baik berupa gambaran, tujuan penciptaan, ataupun keutamaan-keutamaan

alam, seperti tergambar dalam QS. al-Baqarah/2, ayat 22; QS. al-Nazi’at/79, ayat

27-33; QS. al-Anbiya>’/21, ayat 16-18, serta ayat-ayat lainnya yang tersebar dalam

al-Qur’an. Selain itu, banyak pula ayat al-Qur’an yang menejelaskan tentang berbagai

unsur alam, seperti terlihat dalam QS. al-Baqarah/2, ayat 60, 164; QS. al-Nahl/16, ayat

79; QS. al-Anbiya’/21, ayat 30; QS. al-Nu>r/24, ayat 40, 43, ataupun 45; dan lain

sebagainya.

Sehubungan dengan krisis lingkungan, banyak pula ayat-ayat al-Qur’an yang

memberikan gambaran dan peringatan kepada manusia tentang kerusakan lingkungan

dan juga bahayanya bagi eksistensi manusia. Di antaranya QS. al-Baqarah/2, ayat 22,

sebagai berikut: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah

kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui”(QS.

al-Baqarah/ 2: 22). 24; Atau QS. Luqman/31 ayat 20: “Telah nampak kerusakan di darat

dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari

23 Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 157. 24

(9)

mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah). Oleh Karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (kedatangannya): pada hari itu mereka

terpisah-pisah” (QS. al-Rum/ 30 ayat 41-43).25

Universalitas sebagai Landasan Ideal Etika Ekologi Islam

Islam adalah agama, aturan, dan sistem hidup yang universal.26 Dari sejak kelahirannya yang resmi Juni 610 M hingga sekarang ini, semua konsep Islam yang

dibangun sepanjang sekitar 23 tahun itu hidup dan bergerak dalam sejarah dengan

percaya diri menjelma sebagai salah satu alternatif yang dipakai manusia untuk

mengatur kehidupannya. Sistem nilai etisnya yang berprinsip pada universalitas tidak

saja dapat mengantarkan manusia pada kedamaian, kesejahteraan dan keadilan, namun

juga membawa kebaikan bagi alam sekitar.

Konsep teologis ajaran universalitas Islam, menurut Kuntowijoyo dapat dilacak

dari perkataan al-Isla>m itu sendiri, yang berarti "sikap pasrah kepada Tuhan" atau "perdamaian". Melalui pengertian ini, semua agama yang benar pasti bersifat al-Isla>m

karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan dan perdamaian. Tafsir Islam seperti

ini, akan bermuara pada konsep kesatuan kenabian (the unity of prophecy) dan kesatuan kemanusiaan (the unityof humanity). Kedua konsep ini merupakan implikasi dari konsep ke-Maha Esa-an Tuhan (the unity of God atau tawhid). Semua konsepsi kestauan ini menjadikan Islam bersifat kosmopolit dan mampu menjadi rahmat bagi

25

Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 647.

26 Universal berasal dari bahasa Latin, universum, berarti “alam semesta/ dunia”. Dari kata itu

(10)

seluruh alam (rahmatan li al-‘a>lami>n).27 M. Quraish Shihab menyatakan bahwa

al-Qur’an banyak menyuarakan persatuan seperti dijelaskan dalam QS. al-Anbiya’/ 21

ayat 92 dan juga QS. al-Mu’minun/ 23 ayat 52: “Sesungguhnya (agama tauhid) ini

adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (QS. al-Anbiya’/21: 92).28

Pertanyaannya kini, apakah ayat di atas menyatakan persatuan dalam konteks

umat Islam semata? Menjawab persoalan tersebut Shihab menjelaskan bahwa kata

ummat yang terulang sebanyak 51 kali dalam al-Qur’an memiliki banyak makna. Mengutif Raghib al-Isfahani, pakar bahasa yang menyusun kamus al-Qur’an

al-Mufrada>t fi Gha>rib al-Qur’a>n dapat diketahui bahwa kata ummat adalah “kelompok

yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri”. Menurut Shihab makna ummat dalam al-Qur’an sangat lentur dan mudah menyesuaikan diri, tidak ada batas minimal atau maksimal untuk satu persatuan umat.

Hal yang mencengangkan --menurut Shihab-- tercatat sebanyak sembilan kali

kata ummat digandengkan dengan kata wa>h}idah, sebagai sifat ummat. Tidak sekalipun

al-Qur’an menggunakan istilah wah}dat al-ummah atau tauhid al-ummah (kesatuan/

penyatuan umat). Karena itu sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, Mantan

Dekan Fak Ushuluddin al-Azhar, bahwa al-Qur’an menekankan sifat umat yang satu

dan bukan penyatuan umat. Artinya al-Qur’an mengakui kebhinekaan dan keragamaan

dalam ketunggalan.29 Sebagaimana firman Allah dalam QS, al-Maidah/ 5 ayat 48: “…Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan…” (QS. al-Ma’idah/ 5: 48).30

Selanjutnya ajaran prinsip universalitas Islam secara umum dapat dilihat dalam

ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara kepada umat manusia dengan ungkapan ya> ayyuha>

al-na>s (wahai sekalian manusia), atau ya> Bani> A<dama (wahai anak-anak Adam),

sebagaimana terlihat dalam karakter ayat-ayat Makkiyah, yang berbicara secara umum

27Kuntowijoyo, Universalitas Islam, Islam Sebagai Ilmu, http: // puvandexter. blog.

friendster.com/ 2008.

28Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1971), 507.

29 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,

(Bandung: Mizan, 1996), cet. ke-1, 334-336.

30

(11)

kepada manusia. Menurut Yusuf al-Qardhawi, universalisme (al-'alamiyah) Islam

adalah salah satu karakteristik Islam yang agung yang dilandasi oleh prinsip

Rabbaniyyah; insaniyyah (humanistik); syumul (totalitas) yang mencakup unsur

keabadian, universalisme yang menyentuh semua aspek manusia (ruh, akal, hati dan

badan); wasathiyah (moderat dan seimbang), waqi'iyah (realistis), jelas dan gamblang,

dan mengintegrasikan antara yang permanen dan yang elastis.31

Pengertian prinsip universalitas Islam adalah bahwa risalah Islam ditujukan

untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia

bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dialah bangsa yang

terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Risalah Islam adalah

hidayah Allah untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya,

termasuk alam atau lingkungan hidup. Manifesto ini termaktub abadi dalam

firman-Nya QS. al-Anbiya’/21 ayat 107 dan QS. al-A’ra>f/ 7 ayat 158: "Dan tidak Kami utus

engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam". (QS. al-Anbiya’/21: 107).32; “Katakanlah ‘hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-kalimat-kalimat-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS. al

-A’ra>f/ 7: 158)33

Ayat-ayat Makkiyah tersebut dapat dijadikan dasar dalam membantah tuduhan

sebagian orientalis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak memproklamirkan

pengutusan dirinya untuk seluruh umat manusia pada awal kerisalahannya, akan tetapi

baru diproklamirkan setelah mendapat kemenangan atas bangsa Arab.34 Ayat-ayat di atas pada dasarnya memperlihatkan sifat universalitas Islam, ketika ia ditujukan bagi

manusia secara keseluruhan, tanpa melihat ras, agama, ataupun kebangsaan dan juga

kepada alam secara keseluruhan. Universalitas ini terlihat ketika al-Qur’an memahami

manusia sebagai anak-cucu Adam, bahwa manusia pada dasarnya berasal dari satu

sumber keturunan, yaitu Alam dan Hawa, sebagai mana terlihat dalam QS. al-A’ra>f/7

31

Dr. Yusuf Qardhawi, al-Khasha>ish al-‘A<miyah al-Isla>m, (Beirut cet. VIII, 1993), 3.

32 Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 508. 33 Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 247. 34

(12)

ayat 172: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘betul, kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan)” (QS. al-A’ra>f/ 7: 172).35

Dengan demikian universalitas Islam menampakkan diri dalam berbagai

manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran yang mencakup aspek

akidah, syari'ah dan akhlak yang menampakkan perhatiannya yang sangat besar

terhadap persoalan kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari tujuan umum syari'ah yaitu:

menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Selain

itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang luhur, yang bisa di katakan sebagai tujuan dasar syari'ah yaitu; keadilan, ukhuwwah, kebebasan dan kehormatan.36 Walaupun demikian cakupan universalitas Islam sebenarnya tidak hanya antar manusia, namun juga meluas hingga ke alam raya, hal ini

dapat dilihat dalam perikehidupan Nabi yang menaruh kehormatan terhadap seluruh isi

alam, baik manusia, binatang, dan juga tumbuh-tumbuhan yang ada di alam raya.

Karena itulah penulis menilai bahwa universalitas merupakan satu prinsip etika Islam

yang mencakup penghormatan terhadap alam secara keseluruhan. Dalam konteks

inilah Islam dinamakan sebagai Rahmat al-‘A<lami>n.

Tugas Kekhalifahan sebagai Praxis Etika Lingkungan Islam

Islam mengakui bahwa manusia mesti memiliki etika terhadap alam dan

lingkungan hidup, karena kelestarian alam dan lingkungan hidup ini tak terlepas dari

peran manusia, sebagai khalifah di muka bumi. Artinya tugas kekhalifahan manusia

pada dasarnya merupakan prinsip praxis bagi manusia dalam menjalin hubungannya

dengan sesama dan juga alam. Urgensitas tugas kekhalifahan manusia sendiri telah

digambarkan dalam QS. al-Baqarah/2 ayat 30, ketika Allah terlibat “perdebatan”

dengan para malaikat-Nya. Khalifah dalam hal ini berarti wakil Tuhan yang diberi

kedudukan untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu

masyarakat yang memiliki keterhubungan baik dengan Allah sehingga dapat

35Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 250. 36

(13)

menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis, dan juga kesadaran terhadap

kelestarian lingkungan hidupnya.37 Dalam QS. al-Rahman/55 ayat 1-12, misalnya Allah menggambarkan hubungan penciptaan alam semesta dan tugas manusia sebagai

khalifah: (Tuhan) Yang Maha Pemurah; yang telah mengajarkan al-Qur’an; Dia menciptakan manusia; Mengajarkan pantai berbicara; Matahari dan bulan beredar

menurut perhitungan; dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan keduanya tunduk kepada-Nya; Dan Allah telah meninggalkan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan); Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu; Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah menguraingi neraca itu; Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya; di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang; dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya”. (QS. al-Baqarah/2 ayat 30).38

Ayat di atas ditafsirkan lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dalam dua

bukunya Man and Nature (1990) dan Religion and the Environmental Crisis (1993), dalam sajian sebagai berikut:

Man therefore occupies a particular position in this world. He is at the axis and centre of the cosmic milieu at once the master and custodian of nature. By being taught the names of all things he gains domination over them, but he is given this power only because he is the vicegerent (khalifah) of God on earth and the instrument of His Will. Man is given the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic make up, not as a rebel against heaven.39

Melalui penjelasan di atas jelaslah bahwa manusia sebagai khalifah Allah

mengemban tugas etis sebagai wakil (khalifah) Allah dalam memelihara bumi

(mengelola lingkungan hidup), karena “kekuasaan” manusia sebagai khalifah

merupakan anugrah dari Allah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan manusia

tentang apa yang tidak mereka ketahui (‘allam al-insa>n ma> lam ya’lam). Karena itu

hakikatnya tugas kekhalifahan manusia di muka bumi selalu terhubung dengan

keridhaan Allah.

Artinya, tugas kekhalifahan manusia di muka bumi tidak menjadikan manusia

sebagai penguasa yang dapat mendominasi alam atau jagat raya sekehendaknya.

Justeru tugas kekhalifahan telah membatasi ruang gerak manusia dalam memanfaatkan

37 Chiba, www.Indonesiamuslimblogger.com. 38 Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 885.

39Lihat Yusmin Alim, “Lingkungan dan Kadar Iman Kita”,

(14)

alam berdasarkan nilai-nilai etika tertentu, yaitu nilai-nilai yang telah digariskan oleh

sang Khalik pemilik sekalian alam. Sebagaimana diungkapkan oleh M. Quraish

Shihab, bahwa sebagai khalifah Allah di muka bumi manusia dikehendaki dapat

menjalin hubungan baik dengan alam dan juga sesamanya, bukan dalam pola

hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan atau antara tuan dan hamba, namun

hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah. Mengingat kemampuan

manusia dalam mengelola alam bukan sebagai akibat dari kekuatan yang mereka

miliki, namun bentuk dari anugrah Allah terhadap manusia.40 Hal ini tergambar dalam QS. Ibrahim/14 ayat 32.41

Karena itu, lanjut Shihab, kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara

manusia dengan sesamanya dan juga alam, secara harmonis sesuai dengan

petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. Namun tentu dibutuhkan

kreativitas manusia dalam memahami wahyu yang diarahkan sesuai dengan

perkembangan dan situasi lingkungan yang ada. Bagi Shihab, inilah prinsip pokok

landasan interaksi antara manusia dengan lingkungannya, yaitu menjaga keharmonisan

hubungan yang prinsipnya menjadi tujuan semua nilai etis ataupun agama.42

Hal ini pula yang sejak awal disadari oleh Musthafa Abu Sway, ketika

menegaskan bahwa tugas manusia sebagai khalifah tidak akan bermakna apa-apa bila

manusia tidak mampu melaksanakan tugas-tugasnya dalam mengelola lingkungan dan

mengkonservasi lingkungan. Lebih jauh Abu Sway menandaskan bahwa al-maqa>shid

al-syar’iyyah (tujuan shari’ah) yang menduduki peringkat paling tinggi adalah

merawat lingkungan. Argumennya, al-maqa>shid al-syar’iyyah yang terformulasikan

dalam lima ajaran prinsip Islam, yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hak

milik, hanya akan bermakna ketika lingkungan rusak atau kian buruk. Dengan kata

lain, eksistensi al-maqa>shid al-syar’iyyah tergantung pada berbagai kondisi lingkungan

40

M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), 295.

41 Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit,

kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai”. (QS. Ibrahim/14 : 32)Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, 385.

42 Shihab, “Membumikan” al

-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,

(15)

yang dihadapi oleh manusia.43

Sementara itu, bagi Cak-Nur fungsi manusia sebagai khalifah Allah itu

memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih

sendiri tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya di atas bumi, sekaligus

memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas

perbuatan-perbuatan itu di hadapan Tuhan. Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang adalah bahwa

umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini, sehingga memberikan

kesan seolah-olah mereka telah memilih untuk diam dan tidak berbuat apa-apa.

Dengan kata lain, mereka telah kehilangan semangat ijtihad.44

Kenyataan ini yang ditakutkan dalam mengemban tugas kekhalifahan, yaitu

ketika kemampuan kreatif manusia hilang. Hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh

Shihab bisa muncul karena ketidaktahuan, ataupun karena pembelokan orientasi, yaitu

ketika manusia hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsanya

saja, sehingga secara destruktif mereka berupaya menundukkan alam, padahal yang

menundukkan alam hanyalah Allah. Bahwa manusia dalam hubungannya dengan alam

tidak bertindak sebagai penguasa, penunduk, dan semacamnya, tetapi berupaya

mencari keselarasan dengan alam, karena baik manusia dan alam pada dasarnya

sama-sama telah tunduk kepada Allah.45

Dalam konteks etika ekologis yang lebih nyata, kekhalifahan yang berdimensi

etis ekologis, dapat dilihat dalam suri tauladan yang telah ditunjukkan oleh Nabi Allah

Muhammad, yang disebut-sebut membawa rahmat bagi seluruh alam. Nabi misalnya

memberikan nama terhadap benda-benda yang tidak bernyawa yang dimilikinya,

karena Nabi memahami dengan demikian akan mengesankan benda-benda tersebut

memiliki kepribadian, sehingga pihak lain yang berhubungan akan cenderung bersikap

baik dan bersahabat, sebagaimana seharusnya ia bersikap terhadap benda-benda yang

bernyawa. Artinya sejak dini Nabi telah mengajarkan kepada umatnya untuk dapat

menghargai benda-benda alam sekecil apapun itu, hal ini adalah bagian dari etika

43

Ada kesan dalam hal ini bahwa Abu Sway ingin menyatrakan bahwa menjaga lingkungan juga harus dimasukkan dalam al-maqa>shid al-syar’iyyah karena justeru ia menjadi yang terpenting untuk dijaga. Lihat Abu Sway. Towa rd an Islamic Jurisprudence of the Evironment.

44Nurcholish Madjid, “

Keharuan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali pemahaman Keagamaan”, dalam Charles Kurzman (Ed), Liberal Islam: A Source Book, (Terj.) Bahrul Ulum et. all, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 1998), 488

45 Shihab, “Membumikan” al

-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,

(16)

Islam terhadap alam, yang pada gilirannya akan mengantarkan manusia dapat

bertanggung-jawab terhadap kelestarian alam. Dalam hal ini Nabi telah menggariskan: “Tiada kebaikan dalam pemborosan… dan gunakanlah air secukupnya, cukup membasuh anggota wudhu tiga kali, walaupun engkau berwudhu di sungai yang mengalir… sungguh orang yang boros adalah saudara setan”.46

Dalam kenyataannya Rasulullah dan para sahabat telah memberikan teladan

pengelolaan lingkungan hidup yang mengacu kepada tauhid dan keimanan. Seperti

yang dilaporkan Sir Thomas Arnold bahwa Islam mengutamakan kebersihan sebagai

standar lingkungan hidup. Standar inilah yang mempengaruhi pembangunan kota

Cordoba. Menjadikan kota ini memiliki tingkat peradaban tertinggi di Eropa pada

masa itu. Kota dengan 70 perpustakaan yang berisi ratusan ribu koleksi buku, 900

tempat pemandian umum, serta pusatnya segala macam profesi tercanggih pada masa

itu. Kebersihan dan keindahan kota tersebut menjadi standar pembangunan kota lain di

Eropa.

Contoh lain adalah inovasi rumah sakit dan manajemennya (Arnold, 1931). Pada

masa itu manajemen rumah sakit sudah sedemikian canggih sebagai pusat perawatan

dan juga pusat pendidikan calon-calon dokter. Rumah sakit tersebut sudah memiliki

ahli bedah, ahli mata, dokter umum, perawat, dan administrator. Tercatat 34 rumah

sakit yang tersebar dari Persia ke Maroko serta dari Siria Utara sampai ke Mesir.

Rumah sakit pertama yang berdiri di Kairo pada tahun 872 Masehi, bahkan beroperasi

selama 700 tahun kemudian. Inovasi bidang kesehatan ini bahkan berkembang sampai

pada penemuan ambulan atau menurut Arnold (1931) sebagai traveling hospital.47

Kemungkinan Pengembangan Etika Ekologi Islam

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa nilai-nilai etika ekologis sangatlah

kaya dalam khazanah normatiovitas Islam, sehingga nilai-nilai etis tersebut dapat terus

digali, misalnya dengan memperhatikan berbagai matra yang dapat dijadikan dalil

pengembangan etika ekologis Islam. Lewat penjabaran di atas misalnya dapat

dikembangkan dalil tentang etika ekologis sebagai berikut.

Dalil pertama, bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi (alam semesta) dan

46Lihat Shihab, “Membumikan” al

-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, 297.

47

(17)

hanya Dialah sumber pengetahuan. Selanjutnya dari dalil pertama, melahirkan dalil kedua, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dalam konteks ini perlu dijelaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi itu bukan sesuatu yang otomatis didapat ketika manusia lahir ke bumi. Manusia harus

membuktikan dulu kapasitasnya sebelum dianggap layak untuk menjadi khafilah.

Karena itu dibutuhkan dalil ketiga sebagai pengikat dalil kedua, yaitu tauhid.48 Dengan demikian maka akan tercipta suatu dalil etika ekologis yang bernuansa

transenden-spiritual. Tauhid tampaknya menjadi inti dari etika ekologis dalam Islam. Hope dan

Young misalnya melihat bahwa tauhid adalah salah satu kunci untuk memahami

masalah alam dan lingkungan hidup. Tauhid adalah pengakuan kepada ke-esa-an

Allah serta pengakuan bahwa Dia-lah pencipta alam semesta ini.

Dalil-dalil di atas dapat terus dikembangkan, dengan visi dan misi yang jelas,

misinya adalah menjaga kelestarian alam dan visinya mendekatkan diri pada Allah

berdasarkan ketajaman nalar, kelembagaan, keahlian, dan kegiatan konservasi

lingkungan. Adapun tolak ukur keberhasilannya adalah mutu atau kualitas lingkungan

hidup di Indonesia, akhirnya rambu-rambu untuk menilai keberhasilan pelaksanaan

misi tersebut adalah fenomena dari berbagai kerusakan lingkungan yang mengglobal

dewasa ini.

Pengembangan dalil-dalil yang bernilai etis di atas tentu saja tidak dapat

diharapkan berefek secara cepat terhadap berbagai kerusakan lingkungan di Indonesia.

Untuk itu seiring dengan pembangunan eco-ethics berbasis normativitas Islam tersebut Indonesia perlu mengoptimalkan fungsi berbagai perangkat yang telah dimiliki untuk

mencapai misi pelestarian lingkungan, yaitu kelembagaan dalam bidang lingkungan

hidup (Menteri Negara Lingkungan Hidup, Pusat Studi Lingkungan Hidup, dan

lainnya) dan berbagai tenaga ahli (doktor dan peneliti yang mendalami ilmu

lingkungan), untuk bahu membahu dalam melestarikan lingkungan. Dalam hal ini

supermasi hukum juga tentu menjadi syarat utama untuk menciptakan kerangka kerja

di atas. Artinya, pengembangan etika ekologis di atas pada dasarnya merupakan

capaian jangka panjang, yang perlu diiringi dengan penegakan hukum lingkungan yang

baik.

***

48

(18)

DAFTAR PUSTAKA

‘Arabi, Muhy al-Din Ibn al-, Fus}us} al-H{ika>m, Beirut, Dar Sadir, 2004.

---, futu>h}at al-Makkiyyah, Beirut, Dar Sadir, 2004.

Alim, Yusmin, “Lingkungan dan Kadar Iman Kita”, Hidayatullah.com, 27 Juni 2006 Bate, Jonathan, The Song of the Earth, London: Macmillan Publisher, Ltd., 2000. Buceile, Maurice, (Terj.) The Bible, the Coran, and Science, Jakarta: Bulan Bintang,

1987.

Chiba, Nishi, “Pelestarian Lingkungan Hidup menurut Islam”, www.Indonesiamuslim blogger. com. 17 Mei 2008.

Faruqi, Isma’il Raji al- dan Lois Lamya, The Culturtal Atlas of Islam, New York: Mac Millan, 1986.

Goldsmith, E., R. Allen, et. al., “A Blueprint for Survival, dalam The Ecologist, vo. 2, no. 1 Januari 1972.

Gore, Al, Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit, Boston: Houghton Mifflin, 1992.

Hinrichren, Lean G. D. & Markham A. , Atlas of the Environment, London: Arrow Books, 1990.

Houghton, John, Global Warming, Cambridge: Cambridge University Press, 2004. Iqbal, Muzaffar, Science and Islam, London: Greenwood Press, 2007.

Issar, Arie S. & Mattanyah Zohar, Climate Change, Enviroment and History of the Near East, Berlin, Springer, 2007.

Kuntowijoyo, Universalitas Islam, Islam Sebagai Ilmu, http: // puvandexter. blog. friendster.com/ 2008.

Charles Kurzman (Ed) (Terj.) Bahrul Ulum et. all, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 1998.

Mangunhardjana, A., Isme-isme dari A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Microsoft Encarta Encyclopedia, 2001, “Industrial Revolution”.

Parwiyanto, Herwan, Lingkungan dalam Kajian Etika & Moral, www.google.com. Postel, Sandra, Defusing the Toxics Threath, Wahington: Worldwatch Paper 79, 1987. Qardhawi, Yusuf, Madkhal li al-Dirasat al-Islamiyah, Beirut, Dar al-Maktabat,1993. ---, al-Khashaish al-‘Âmiyah al-Islam, Beirut cet. VIII, 1993.

Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, 1998.

Sardar, Ziauddin, Islamic Futures, New York: Mensell Publishing Limited, 1985. Schumacher, EF., Small is Beautiful: Economics as if People Mattered, New York:

Harper and Row, 1973.

Shafa, Ikhwan al-, Rasa>’il Ikhwa>n al-S}afa,>Beirut, Dar Sadir, 1957, vol. I-IV.

Shepard, Paul & Daniel McKinley, The Subversive Science: Essays toward and Ecology of Man, Boston: Houhton, Mifflin, 1969.

Shihab, M. Quraish, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.

---, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996, cet. ke-1.

Sway, Musthafa Abu, Toward an Islamic Jurisprudence of the Environment: Fiqh

al-Bi’ah fi al-Islam, htttp://homepage.iol,ie /~afifi /Article /evironment. htm.

(19)

Syari’ati, Ali, (Terj.) Afif Muhammad, Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat,

Bandung: Pustaka Hidayuah, 1996.

Tim YPPA, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1971.

Ward, Bud, (Ed), Reporting On Climate Change: Understanding The Science,

Washington DC, Environmental Law Institute, 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi, terlepas dari perdebatan itu, yang jelas Mahkamah Konstitusi (MK) ketika memberikan putusan terhadap permohonan judicial review Pasal 27 ayat 3 UU No 11

menunjukkan bahwa perlakuan shortening berpengaruh terhadap total hasil tangkapan. Uji lanjutan dengan BNT terhadap hasil tangkapan jaring insang dengan shortening 45%, 50% dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh positif terhadap kerjasama dan prestasi belajar siswa antara siswa yang memperoleh pembelajaran Model Cooperative Learning

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pengembangan

Panitia kemudian menyampaikan hal tersebut kepada Majelis Gereja yang kemudian diputuskan untuk proses selanjutnya hanya memutuskan 1 (satu) peserta untuk

Nasih, SE., MT., Ak., CMA, berkesempatan untuk bertemu dengan alumni Ilmu Komunikasi UNAIR yang telah sukses dalam merambah dunia profesi.. Setidaknya ada tiga alumni

Kanti Suliyastika, 2012 Penerapan Metode Active Learning Model Card Sort Dalam Pembelajaran Kosakata Josuushi Bahasa Jepang Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu...

Tamu yang telah tinggal di rumah tangga 6 bulan atau lebih dan tamu yang tinggal di rumah tangga kurang dari 6 bulan tetapi akan bertempat tinggal 6 bulan atau lebih dianggap