• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ayyuha al- Walad karya Imam Al-Ghazali - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ayyuha al- Walad karya Imam Al-Ghazali - Test Repository"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB

AYYUHA AL-WALAD KARYA IMAM AL-GHAZALI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh:

PUTIK NUR ROHMAWATI

111-12-223

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB

AYYUHA AL-WALAD KARYA IMAM AL GHAZALI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh:

PUTIK NUR ROHMAWATI

111-12-223

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(4)
(5)
(6)
(7)

vii

:ٍن اَيَبِب اَهِلْيِصْفَت ْنَع َكْيِبْن ُأَس َتَتِسِب َلَِا َمْلِعْلا َلاَنَت ْنَل ْىِخَأاَي

ُلىُطَو ٍذ اَتْسًأ ُةاَبْحُصَو ٌمَهْرِدَو ٌداِهَتْجاَو ٌص ْرِحَو ٌءاَكَذ

ٍناَمَز

“ Wahai saudaraku engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam

perkara,akan aku berikan kepadamu rinciannya berikut ini: Kecerdasan, Tamak

(terhadap ilmu), Kesungguhan, Modal, Berkawan dengan guru, dan waktu yang

panjang.”

(8)

viii

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah Bacalah, dan Tuhanmulah yang

maha mulia, Yang mengajar manusia dengan pena,

Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (QS: Al-’Alaq 1-5) Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ? (QS: Ar-Rahman 13)

Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan

orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat

(QS : Al-Mujadilah 11)

Kupersembahkan sebuah karya kecil ini untuk:

1. Kedua orang tuaku tercinta Bapak (Wagiyo) dan Ibu (Ngatiyem) yang tiada pernah hentinya selama ini memberiku semangat, doa, dorongan, nasehat dan kasih sayang serta pengorbanan yang tak tergantikan hingga aku selalu kuat menjalani setiap rintangan yang ada di depanku.

2. Orang tua keduaku Bapak (Drs. M. Rofi’i. M. Pd. I) dan Ibu (Dra. Supainem) yang selalu memberikan motivasi.

3. Kakakku tersayang Annis Muhammad S. Pd. I yang selalu membimbingku dan mendukungku dalam setiap hal.

4. Keluarga besarku yang selalu mendoakan keberhasilanku.

5. Teman sejawat saudara seperjuangan PAI angkatan 2012. "Tak ada tempat terbaik untuk berkeluh kesah selain bersama sahabat-sahabat terbaik”.

6. Mas Ashnan Habib yang selalu memberi motivasi dan dukungan sampai terselesainya skripsi ini.

(9)

ix Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikut setianya.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

2. Bapak Suwardi, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

(10)

x

6. Keluarga besar penulis, atas segala motivasi, dukungan dan doa restu kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Berbagai pihak yang secara langsung dan tidak langsung yang telah membantu baik moral maupu materil dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Harapan penulis, semoga amal baik dari beliau mendapatkan balasan yang setimpal dan mendapatkan ridho Allah SWT.

Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salatiga, 9 Maret 2017 Penulis

(11)

xi

Rohmawati, Putik Nur. 2017. Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali. Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah dan ilmu keguruan (FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Drs. A. Bahrudin, M. Ag.

Kata Kunci: Konsep dan Pendidikan Akhlak

Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana konsep pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad?, (2) Bagaimana relevansi konsep pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali dalam dunia pendidikan?

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library research), maka data yang diperoleh bersumber dari literatur. Adapun referensi yang menjadi sumber data primer yaitu dari kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali.

Konsep pendidikan anak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ayyuha al-Walad berpangkal pada empat hal, yaitu: (1) Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menghilangkan sifat-sifat atau akhlak buruk. Sehingga, tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menanamkan akhlak yang baik pada anak didik. (2) Syarat agar seorang syaikh dapat menjadi wakil Rasulullah SAW ia haruslah seorang yang alim, meski tidak semua orang yang alim dapat menjadi khalifahnya. Aku akan menjelaskan kepadamu sebagaimana persyaratan syaikh agar tidak semua orang dapat mendakwakan dirinya seorang mursyid. (3) Inti ilmu adalah pengetahuan yang membuat seseorang faham akan makna ketaatan dan ibadah. Sebab ketaatan dan ibadah dalam rangka

melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya harus mengikuti syari’ah.

(12)

xii

SAMPUL ... i

LEMBAR BERLOGO ... ii

JUDUL ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN KELULUSAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

ABSTRAK ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ... 1

B. Rumusan masalah ... 7

C. Tujuan penelitian ... 8

D. Kegunaan penelitian ... 8

E. Metode penelitian ... 9

F. Penegasan istilah ... 12

(13)

xiii AHMAD AL-GHAZALI

A. Biografi Al-Ghazali ... 16

B. Peran Al-Ghazali dalam masyarakat ... 20

C. Karya-karya Al-Ghazali ... 24

1. Kelompok filsafat dan ilmu kalam ... 25

2. Kelompok ilmu fiqih dan ushul fiqih ... 26

3. Kelompok ilmu tasawwuf ... 26

4. Kelompok ilmu tafsir ... 27

BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK A. Pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali ... 28

1. Tujuan pendidikan ... 29

a. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja ... 29

b. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak ... 30

c. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat30 2. Pendidik ... 32

a. Profesi pendidik menurut Al-Ghazali ... 32

1) Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriah ... 32

2) Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum ... 33

3) Alasan yang berhubungan dengan yang dikerjakan ... 34

(14)

xiv

1) Mengikuti jejak Rasulullah ... 37

2) Memberikan kasih sayang terhadap anak didik ... 37

3) Menjadi teladan bagi anak didik ... 37

4) Menghormati kode etik guru ... 37

3. Anak didik ... 38

a. Fitrah menurut Al-Ghazali ... 38

b. Perkembangan anak didik menurut Al-Ghazali ... 39

c. Etika anak didik terhadap pendidik menurut Al-Ghazali ... 40

d. Tugas dan kewajiban para pelajar ... 41

1) Mendahului kesucian jiwa ... 42

2) Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan ... 42

3) Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya ... 42

4) Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan ... 43

B. Pengetian akhlak menurut Imam Al-Ghazali ... 43

1. Akhlak yang baik ... 45

2. Akhlak yang buruk ... 47

C. Pemikiran Imam Al Ghazali tentang pendidikan akhlak ... 48

BAB IV PEMBAHASAN A. Konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali ... 55

(15)

xv

2. Pemikiran Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad ... 58

a. Tujuan pendidikan ... 58

b. Subjek pendidikan ... 61

1) Guru: tugas dan persyaratan ... 61

2) Sikap murid terhadap syaikhnya ... 63

c. Materi pendidikan ... 64

1) Ilmu ... 65

2) Tasawwuf ... 68

3) Ubudiyah dan tawakal, ikhlas dan riya’ ... 69

4) Delapan nasehat Al-Ghazali ... 71

d. Metode pendidikan ... 77

1) Metode keteladanan ... 78

2) Metode cerita atau kisah ... 79

3) Metode pembiasaan ... 80

B. Relevansi Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ayyuha al-Walad dengan Pendidikan di Indonesia ... 81

1. Aspek tujuan pendidikan akhlak ... 82

2. Aspek subjek pendidikan akhlak ... 86

3. Aspek materi pendidikan akhlak ... 88

4. Aspek metode pendidikan akhlak ... 89

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 94

(16)
(17)

xvii Lamp. 1 : Lembar Konsultasi Skripsi Lamp. 2 : Surat Penunjukan Pembimbing Lamp. 3 : Daftar Nilai SKK

(18)

1 A. Latar Belakang

Islam sebagai agama rahmah lil al-‘alaamin sangat mewajibkan manusia untuk selalu belajar. Bahkan, Allah SWT mengawali menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia dengan ayat yang memerintahkan rasul-Nya, Muhammad SAW untuk membaca dan membaca (iqra’). Iqra’ merupakan salah satu perwujudan dari aktivitas belajar. Dan dalam arti yang luas, dengan iqra’ pula manusia dapat mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki kehidupan. Betapa pentingnya belajar, karena itu Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Mujadalah/58: 11

Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: Berlapang-lapanglah dalam majlis, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Depag, 2004: 544).

(19)

yang melibatkan guru, murid, dan kurikulum. Sedangkan yang kedua yaitu pendidikan nonformal yang melibatkan pendidikan di luar kelas yang mana pendidikan dapat didapatkan dari banyak hal, bisa melalui lingkungan, tempat berbeda dan hal-hal benda mati seperti buku, koran dan sebagainya.

Sedangkan pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan secara sederhana diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan (Hasbullah, 2009: 1).

Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha memanusiakan manusia. Artinya, dengan pendidikan manusia diharapkan mampu menemukan dirinya dari mana berasal, hadir di dunia ini untuk apa dan setelah kehidupan ini akan ke mana, sehingga ia menjadi lebih manusiawi, baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak.

(20)

dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata (Muhammad, 2003: 24).

Hakikat pendidikan akhlak adalah menumbuhkembangkan sikap manusia agar menjadi lebih sempurna secara moral sehingga hidupnya selalu terbuka bagi kebaikan dan tertutup dari segala macam keburukan dan menjadikan manusia yang berakhlak. Hal ini dikarenakan manusia dibekali akal pikiran untuk bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil (Al-Mansur, 2000: 165).

Pendidikan akhlak menduduki posisi yang sangat penting dalam percaturan pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat daripada tujuan pendidikan dalam perundang-undangan tentang pendidikan yaitu mewujudkan manusia yang berkarakter dan berakhlak mulia. Apabila pendidikan akhlak tidak dianggap penting atau hanya sekedar sebagai pengetahuan saja makan akan luar biasa sekali dampaknya.

(21)

Penyimpangan akhlak yang terjadi pada kebanyakan manusia itu disebabkan karena lemahnya iman seseorang, lingkungan yang buruk, serta gencarnya media sehingga akses apapun dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat dan bahkan tanpa ada penyaringan mana yang baik dan mana yang buruk. Selain itu juga, mereka tumbuh dan berkembang dalam atmosfir tarbiyah dan pendidikan yang buruk. Maka dari sini betapa butuhnya kita kepada sebuah pendidikan yang mampu membawa kita dan anak cucu kita ke puncak ketinggian akhlak yang menebarkan kebahagiaan dan ketentraman.

Ironisnya perhatian dari dunia pendidikan nasional terhadap akhlak atau budi pekerti dapat dikatankan masih sangat kurang, lantaran orientasi pendidikan kita masih cenderung mengutamakan dimensi pengetahuan. Mayoritas praktisi pendidikan masih berasumsi bahwa jika aspek kognitif telah dikembangkan secara benar maka aspek afektif dengan sendirinya akan ikut berkembang secara positif, padahal asumsi itu merupakan kekeliruan besar (Juwariyah, 2010: 14). Hal itu dikarenakan pengembangan efektif pada sistem pendidikan sangat memerlukan kondisi yang kondusif. Itu berarti akhlak dan budi pekerti perlu dibuat secara sungguh-sungguh, karena pendidikan yang tidak dirancang secara baik hanya akan membawa hasil yang mengecewakan sehingga harus ada porsi seimbang dalam pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.

(22)

atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugas-tugas ketuhanan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain, pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila output-nya adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan tersebut mengalami kegagalan (Ibnu, 2009: 123).

Manusia dibekali akal pikiran yang berguna untuk membedakan antara yang haq dan yang batil, baik-buruk dan hitam-putihnya dunia (Al-Mansur, 2000: 165). Selamat dan tidaknya manusia, tenang dan resahnya manusia tergantung pada akhlaknya. Dengan akhlak pulalah, manusia secara pribadi maupun kelompok dapat mengantarkan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi untuk membangun dunia ini dengan konsep yang ditetapkan Allah SWT (Shihab, 1994: 152).

Akhlak merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengoptimalkan sumber data potensi untuk mencapai kesejahteraan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, bagaimana manusia dalam menggunakan sumber daya potensi yang tersedia untuk meningkatkan kehidupan lebih baik. Karenanya diperlukan alat yang digunakan untuk menganalisis sekaligus membuktikan konsep Al-Qur’an dan Hadits yang secara langsung maupun tidak langsung bersentuhan dengan masalah akhlak.

(23)

keburukan, maka ia pun akan tumbuh sebagaimana yang diberikan dan dibiasakan kepadanya. Memelihara anak yang baik adalah dengan mendidik dan mengajarkan akhlak yang mulia kepadanya.

Mengingat pentingnya akhlak manusia tersebut, tentu saja tidak meninggalkan jasa para pemikir pendidikan Islam yang tidak diragukan lagi pengaruhnya dalam kemajuan Islam. Dalam pendidikan Islam terdapat seorang tokoh yang tidak asing lagi yaitu Hujjatul Islam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad Ghazali yang sering disebut dengan Al-Ghazali, sebuah nama yang tidak asing lagi baik di kalangan ulama maupun orang awam. Buah fikiranya banyak mempengaruhi para ahli, baik di timur maupun di barat. Beliau adalah salah satu ulama yang cerdas dan banyak menarik perhatian para pengkaji ilmiah di zaman dahulu maupun sekarang, baik dari umat Islam sendiri maupun para orientalis. Imam Al-Ghazali memang sangat luas pengetahuannya dan banyak berjasa bagi kemajuan agama Islam, beliau sangat berperan penting untuk mensikapi dan menindaklanjuti berbagai macam persoalan, baik mengenai pendidikan, syari’at, akhlak dan lain sebagainya.

(24)

mengetahui dan membedakan antara ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.

Terhadap bidang pengajaran dan pendidikan, Al-Ghazali telah banyak mencurahkan perhatiannya. Yang mendasari pemikirannya tentang kedua bidang ini ialah analisinya terhadap manusia. Menurut Al-Ghazali, manusia dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan pendidikan, karena ilmu dan amalnya.

Dari uraian di atas, penulis ingin lebih jauh mengkaji tentang nilai pendidikan akhlak pada pemikiran Imam Al-Ghazali melalui sebagian karya-karyanya yang cukup fundamental yaitu kitab Ayyuha al-Walad yang di dalamnya terdapat beberapa uraian tentang pendidikan. Untuk itu, maka penulis mencoba untuk menyusun sebuah skripsi yang berjudul: KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB AYYUHA AL-WALAD KARYA IMAM AL-GHAZALI, dengan harapan semoga dapat memberikan kontribusi dan manfaat terutama bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis pada beberapa pokok bahasan. Diantaranya:

1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad?

(25)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad.

2. Untuk mengetahui relevansi konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam dunia pendidikan.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua bagian, yaitu:

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, berupa pengetahuan tentang nilai pendidikan yang terkandung dalam karya Imam Al-Ghazali serta bermanfaat sebagai kontribusi pemikiran bagi dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan Islam. 2. Kegunaan Praktis

a. Bagi Penulis

Menambah wawasan dan pemahaman penulis mengenai konsep pendidikan untuk selanjutnya dijadikan sebagai pedoman dalam aktifitas sehari-hari.

b. Bagi Lembaga Pendidikan

(26)

kebijakan dalam lembaga pendidikan serta pemerintah secara umum.

2) Sebagai bahan pertimbangan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Indonesia terutama pendidikan Islam (seperti Madrasah Diniyah, Pondok Pesantren), sebagai solusi terhadap permasalahan pendidikan yang ada.

3) Bagi Ilmu Pengetahuan

a) Menambah khazanah mengenai konsep pendidikan yang terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad sehingga mengetahui betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian seorang mukallaf akan berusaha memperbaiki diri agar semakin meningkatkan mutu kualitas diri menjadi yang lebih baik di hadapan Allah dan di hadapan manusia.

b) Sebagai bahan referensi dalam ilmu pendidikan terutama ilmu pendidikan Islam, sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan di bidang tersebut khusunya dan bidang ilmu pengetahuan yang lain pada umumnya.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

(27)

dari pustaka. Dan yang dijadikan obyek kajian adalah hasil karya tulis yang merupakan hasil dari pemikiran (Hadi, 1990: 3).

2. Sumber Data

Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam kajian ini merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan yang dikatagorikan sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), maka data yang diperoleh bersumber dari literatur. Adapun referensi yang menjadi sumber data primer yaitu data yang diambil dari sumber utamanya. Data ini diambil dari Kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali.

b. Sumber Data Sekunder

(28)

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian library research, sebagai sumber primer. Dengan demikian pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi data terkait variabel-variabel yang berupa catatan seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen harian, catatan rapat, dan sebagainya (Arikunto, 2010: 202).

4. Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah:

a. Deduktif

Metode yang digunakan untuk menjelaskan konsep pendidikan akhlak adalah metode deduktif sesuai dengan yang telah dicanangkan pemerintah yaitu tentang pendidikan karakter. Yang dimaksud metode deduktif adalah metode berfikir yang berdasarkan pada pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus (Hadi, 1987: 42).

b. Induktif

Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret, kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1987: 42).

(29)

konsep pendidikan akhlak yang dipaparkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad dan dikaitkan dengan relevansi kekinian.

F. Penegasan Istilah

Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda-beda dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah di dalam judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:

1. Konsep

Konsep adalah ide abstrak dari peristiwa konkret yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau pengolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata (KBBI, 2007: 588).

2. Pendidikan

Pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu: “Paedagogike”. Ini

(30)

3. Akhlak

Akhlak secara etimologi adalah tabi’at/sistem perilaku yang

dibuat. Sedangkan di Indonesia kata akhlak mengandung konotasi yang baik. Jadi dapat dikatakan orang yang berakhlak adalah orang baik. Pengertian akhlak secara istilah adalah kelakuan yang timbul dari hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu membentuk kesatuan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral yang terdapat pada diri manusia sebagai fitrah sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana tidak, karena yang cantik dan mana yang buruk (Darajat, 1996: 10).

Sedangkan Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai berikut: “Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya

lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal maupun syara’, maka ia disebut

akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan yang tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak buruk” (Ibnu, 2009: 99).

(31)

meninggalkan perilaku yang buruk menurut akal maupun tuntunan agama Islam.

4. Al-Ghazali

Al-Ghazali yang dimaksud di sini adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at Tusi Al-Ghazali, beliau termasuk seorang pemikir Islam, teolog, filsuf dan sufi termasyur. Ia dilahirkan di kota Gazalah, sebuah kota kecil dekat Tus di Khurasan, yang pada waktu itu sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Beliau meninggal juga di kota Tus setelah perjalanan mencari ilmu dan ketenangan batin, kemudian nama Al-Ghazali dan At Tusi itu dinisbatkan kepada tempat kelahirannya (Ensiklopedi Islam, 1994: 25).

5. Kitab Ayyuha al-Walad

Kitab Ayyuha al-Walad adalah kitab kecil berbahasa Arab dan termasuk salah satu karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. Di dalam kitab ini dari segi isinya menggunakan metode mauziah atau pemberian nasehat dengan memberikan arahan-arahan kepada anak meliputi teori-teori yang didasarkan pada al-Qur’an maupun Hadits juga dengan menggunakan pemikiran-pemikiran Al-Ghazali itu sendiri dengan pengalamannya sebagai seorang pendidik yang profesional.

(32)

yang bermanfaat yang tidak bermanfaat bagi dirinya di dunia maupun di akhirat.

G. Sistematika Penulisan

Guna memperoleh gambaran yang jelas, mmenyeluruh dan mempermudah dalam memahami masalah-masalah yang akan dibahas, maka penulis menyusun sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, menguraikan tentang: Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah, sistematika penelitian.

Bab II Kehidupan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ghazali, menguraikan tentang: Biografi Ghazali, peran Al-Ghazali dalam masyarakat, karya-karya Al-Al-Ghazali.

Bab III Deskripsi pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak, menguraikan tentang: Pendidikan menurut Imam Al-Ghazali, Akhlak menurut Imam Al-Ghazali, Pandangan Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak.

Bab IV Pembahasan konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad serta relevansinya dalam pendidikan di Indonesia

(33)

16

KEHIDUPAN ABU HAMID MUHAMMAD BIN MUHAMMAD BIN AHMAD AL-GHAZALI

A. Biografi Al-Ghazali

Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Ia lahir di Ghazaleh, sebuah kota kecil di Tus, wilayah Khurasan, pada 450 H (1059 M), dan wafat di Tabristan, sebuah wilayah di Provinsi Tus pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 H / 1 Desember 1111 M (Nata, 1997). Al-Ghazali memulai pendidikannya di tempat kelahirannya Tus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nishafur dan Khurasan, dua kota yang dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam saat itu. Di kota Nishafur inilah Al Ghazali berguru kepada Imam Al-Haramain Abi Al-Ma‟ali Al-Juwainy,

seorang ulama yang bermazhab Syafi‟i yang menjadi guru besar di Nishafur

(Nasution, 1978: 42).

Al-Ghazali adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar

“Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra

(34)

Al-Ghazali seorang buta huruf dan miskin, beliau memperhatikan masalah pendidikan anaknya. Sesaat sebelum meninggal, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang sufi agar memberikan pendidikan kepada kedua anaknya, Ahmad dan Al-Ghazali. Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh Al-Ghazali untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Mula-mula ia belajar agama sebagai pendidikan dasar kepada ustadz setempat yaitu Ahmad bin Muhammad Razkafi. Kemudian Al-Ghazali pergi ke Jurjan dan menjadi santri Abu Nasr Ismaili (Ibnu, 2009: 10).

Di antara mata pelajaran yang dipelajari Al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya di kemudian hari. Hal ini antara lain terlihat dari karya tulisnya yang dibuat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Di madrasah Al-Ghazali belajar ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani dan belajar ilmu tasawuf kepada Yusuf Al-Nasaaj di umur 20 tahun. Pada tahun 471 H, Al-Ghazali berangkat menuju Kota Nishapur (Neisabur) karena tertarik dengan sekolah tinggi Nizhamiyyah (Zainuddin, 1991: 7). Di sinilah beliau bertemu dengan dekannya yang terkenal Abu Al-Ma‟ali Dhiyauddin Al-Juwaini, yang bergelar kehormatan

“Imam Al-Haramain” (Imam dari dua kota suci, Makkah dan Madinah).

(35)

Pada tahun 475 H dalam usia 25 tahun , Al-Ghazali mulai menjadi dosen, dibawah pimpinan gurunya Imam Haramain. Jabatan dosen di Universitas Nihamiyyah Nishapun mengangkat namanya begitu tinggi, apalagi setelah beliau dipercaya oleh gurunya untuk menggantikan kedudukannya, baik sebagai maha guru maupun sebagai pimpinan Universitas.

Pada tahun 479 H/ 1085 M, Imam Al-Haramain meninggal dunia. Untuk mengisi kekosongan itu maka tidak ada pilihan lain bagi perdana menteri Nizham Mulk untuk menggantikannya kecuali dengan Al-Ghazali. Dalam usia 28 tahun, Al-Ghazali telah dapat menggemparkan kaum sarjana dan ulama pada masanya, sehingga perdana menteri Nizham Al-Mulk sangat kagum padanya. Di Naisabur beliau mnghidupkan paham skeptisme yang dianut oleh para sarjana Eropa pada masa berikutnya (Zainuddin, 1997: 8).

Sejak kecil Al-Ghazali dikenal sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan tak pernah berhenti mencari kebenaran hakiki. Dalam sebuah karyanya Al-Ghazali mengatakan:

“Kehausan untuk mencari kebenaran adalah favoritku sejak kecil masa mudaku yang menjadi naluri dan bakat yang dicampakan oleh Allah SWT.

Pada temperamenku, bukan merupakan usaha dan rekaan belaka” (Al-Ghazali, 2001: 107).

(36)

berdatangan untuk berguru kepadanya dari berbagai daerah. Hal inilah yang semakin membuat nama besar Al-Ghazali bertambah tenar di zamannya,

hingga beliau mendapatkan gelar “Imam Irak” dari kholifah Al-Mustadzir

Billah. Kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk menangkis ajaran kaum Batiniyyah dan kaum Ismailiyyah yang sangat meresahkan. Akhirnya beliau menyusun karya-karya tulis yang mengcounter aliran tersebut, diantaranya: Al-Mustadzhir Wa Hujjah Al-Haq dan Al-Qisthas Al-Mustaqim (Jawaad, 2002: 116). Antusiasme itu juga ditunjukkan oleh besarnya animo masyarakat dan para ulama dalam mengikuti perkembangan pemikiran dan pandangannya.

Demikianlah Al-Ghazali menjadi publik figur otoritatif dalam menolak pendapat keyakinan para penentangnya. Beliau juga telah banyak menelan seluruh paham dan ajaran firqoh, taifah dan filsafat. Semua itu kemudian meninggalkan pergolakan dalam batinnya sendiri, karena tidak ada yang dapat memuaskan batinnya, ia ragu akan kesanggupan akal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, terlebih untuk mengetahui hakikat-Nya. Lebih lanjut A. Hanafi mengisahkan:

“Dan selama itu beliau tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan dengan obat lahiriyah. Pekerjaan itu kemudian ditinggalkannya pada tahun 488 H, untuk menuju Damsyik dan di kota ini beliau merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih dua tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya(Hanafi, 1976: 198).

(37)

beliau wafat di Thusia pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/ 19 Desember 1111 M dihadapan adiknya, Abu Ahmad Mujiduddin. Al-Ghazali meninggalkan 3 orang anak perempuan, sedangkan Hamid anak laki-lakinya meninggal sewaktu kecil mendahului Al-Ghazali. Karena itulah beliau diberi

gelar “Abu Hamid” /Bapak si Hamid (Zainuddin, 1991: 10).

B. Peran Al-Ghazali dalam masyarakat.

Abu Hamid Al-Ghazali hidup pada masa Nizamul Mulk, seorang wazir besar dari kalangan Bani Saljuk, pada waktu itu Wazir telah berhasil mendirikan sekolah-sekolah tinggi yang disediakan untuk memperdalam penyelidikan tentang agama dan perkembangannya. Ini membuktikan bahwa kondisi pendidikan pada masanya mengalami kemajuan (Hamka, 1993: 120).

Abad ke 5 merupakan masa terjadinya konflik antara

kelompok-kelompok beragama dalam Islam, seperti halnya Mu‟tazilah, Syi‟ah, Asy

„ariyah, Hanafiyah, Hambaliyah, dan Syafi‟iyah. Wazir Saljuk sebelum

Nizham Al Mulk yaitu Al Kunduri salah seorang yang menganut madzhab

Hanafi dan pendukung Mu‟tazilah, termasuk dari kebijakannya sebagai wazir

adalah mengusir dan menganiaya para penganut Asy‟ariyah yang sering kali

juga berarti penganut mazhab Syafi‟i. Al Kunduri selanjutnya digantikan

posisinya sebagai wazir oleh Nizham Al Mulk, salah seorang yang menganut

mazhab Syafi‟i Asy‟ariyah, oleh karena itu secara alamiah ia berhadapan

dengan kelompok yang bermazhab Mu‟tazilah, Hambaliyah dan Hanafiyah.

(38)

sebelumnya. Tetapi Nizham Al Mulk sebagai seorang Syafi‟iyah, seluruh

sekolahan yang ia bangun diperuntukkan secara khusus bagi penganut

mazhab yang sama. Jelas bahwa hal ini posisi mazhab Syafi‟iyah Asy‟ariyah

menjadi semakin kuat dan secara tidak langsung melemahkan. Walaupun para pengkaji yang dahulu menyimpulkan bahwa pembangunan sekolah atau madrasah oleh Nizham Al Mulk guna menghancurkan mazhab-mazhab lain

terutama Mu‟tazilah dan Syi‟ah. Hal ini tidak didasari alasan dan bukti yang

kuat. Bahwa dirinya menginginkan kuatnya posisi Syafi‟iyah Asy‟ariyah

yang sebelumnya dianiaya, tetapi hal ini tidak berarti Nizham Al Mulk menghancurkan yang lain. Jadi pada dasarnya, percekcokan kelompok inilah yang melatarbelakangi usahanya lewat pembangunan sekolah, guna

memperbaiki keadaan kelompok yang bermazhab Syafi‟iyah Asy‟ariyah guna

mencapai stabilitas yang diinginkan dengan jalan pendidikan (Asari, 1994: 51-52).

(39)

Sesuatu hal yang wajar dan menjadi kebiasaan umat manusia sepanjang sejarah, bahwa seorang pemikir yang kontroversial adalah dikutuk dan dipuja. Demikian pula Al-Ghazali, ia adalah seorang tokoh dan pemikir dalam berbagai disiplin (universalist) yang terkenang sepanjang masa, banyak yang memuja dan banyak yang pula yang mencerca, banyak kawan yang sepaham dan banyak pula lawan yang menentang, diagungkan dan dicaci maki, dibela dan dibenci.

Menurut pengkajian Abul A‟la Al-Maududi, ada delapan segi amaliah

pembaharuan yang dilakukan Al-Ghazali pada masa hidupnya, yaitu:

1. Pengkajian filsafat Yunani dengan cara yang mendalam dan teliti lalu mengemukakan kritik yang tajam, yang kemudian dimasukkannya ke dalam hati dan jiwa kaum muslimin.

2. Meluruskan kekeliruan yang terjadi akibat upaya perbaikan yang dilakukan oleh ulama mutakallimin yang kurang menguasai logika.

3. Menjelaskan akidah-akidah Islami dan prinsip-prinsipnya melalui logika yang tidak bertentangan dengan filsafat dan ilmu logika yang berkembang saat itu. Al-Ghazali juga berusaha menjelaskan berbagai hikamah dan

rahasia syari‟at dan ibadat dalam rangka meluruskan pandangan

masyarakat, yang selama ini diracuni suatu keyakinan bahwa agama mereka sudah tidak sesuai lagi dengan akal.

(40)

5. Memperbarui pemahaman keagamaan umat dan menyatakan ketidakbergunaan keimanan seseorang yang tidak disertai dengan komitmen batin, mengikis habis taklid buta di kalangan mereka dan berusaha mendorong umat agar kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunnah yang bersih serta menghidupkan kembali semangat ijtihad.

6. Melakukan kritik terhadap sistem pendidikan dan pengajaran yang telah usang, menggatikannya sistem baru. Dalam sistem pendidikan dan pengajaran lama itu terdapat dua kelemahan:

a. Polarisasi ilmu agama dan ilmu umum yang tidak mustahil akan menyebabkan umat akan menerapkan sekularisasi, pandangan dikotomi semacam ini menurut Al-Ghazali jelas amat keliru.

b. Masuknya berbgai hal yang diatas memiliki ilmu syari‟at yang pada

hakikatnya tidak memiliki kaitan apapun dengan syari‟at, yang bisa

mengakibatkan munculnya pemahaman keagamaan dalam masyarakat yang menjurus pada kesesatan.

7. Mengkaji moral umat dengan pengkjian yang mendalam, Al-Ghazali memang memiliki kesempatan yang amat luas untuk mengungkapkan kehidupan ulama, tokoh-tokoh agama, umara, pangeran-pangeran dan orang awam.

(41)

agar mereka mengemukakan pendapat-pendapatnya tanpa disertai rasa takut dan khawatir (Zainuddin, 1991: 15-16).

Adapun gelar “Hujjatul Islam” dari dunia Islam kepada Al-Ghazali,

dapat diartikan bahwa umat Islam umumnya mengakui bahwa amal dan ilmu Al-Ghazali selama hidupnya merupakan suatu hujjah, pembelaan yang berhasil menentang anasir luar yang membahayakan kepercayaan umat Islam. Dalam hal ini Hasbullah Bakry menyebutkan dua macam serangan, yaitu: Pertama, serangan dari dunia filsafat yang telah menjadikan ilmu tentang ketuhanan itu berupa pengetahuan yang akali semata-mata dan mereka memberikan gambaran tentang ketuhanan umat Islam umumnya. Kedua, Al-Ghazali dianggap telah berhasil memberikan

tuntunan yang sesuai dengan syari‟at agama Islam terhadap

perkembangan mistik (tasauf) dan kebatinan (batiniyah)yang keterlaluan dan membahayakan amal syari‟at Islam (Zainuddin, 1991: 16).

C. Karya-karya Al-Ghazali

Buku-buku karangannya itu pada umumnya berisikan kritikan dan komentar terhadap pemikiran filsafat terdahulu. Tulisan-tulisannya diberikan kepada gurunya untuk dibaca dan mendapat tanggapan positif, bahkan pujian dari gurunya. Bukunya kemudian berhasil menarik perhatian daripada orientalis dan diterjemahkan keberbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia (Ensiklopedi Islam, 1994: 25).

(42)

1. Kelompok filsafat dan ilmu kalam, yang meliputi: a. Maqhasid Al-Falasifah (Tujuan Para Filosuf) b. Tahafut Al-Falasifah (Keracunan Para Filosuf) c. Al-Iqtishad Fil I‟tiqod (Moderasi dalam Aqidah)

d. Al-Munqiz Min Al-Dlalal (Pembebasan dari Kesesatan)

e. Al-Maqshidul Fii Ma‟ani ismillah Al-Husna (Arti Nama-Nama Tuhan Allah yang Indah)

f. Faishalut Tafriqoh Bainal Islam Waz Zindiqoh (Perbedaan antara Islam dan Zindiq)

g. Al-Qisthas Al-Mustaqim (Timbangan yang Benar) h. Al-Mustazhiri (Penjelasan-Penjelasan)

i. Hijjatul Haq (Argumen yang Benar)

j. Mufasshal Al-Khilaf Fii Ushuluddin (Memisahkan Perselisihan dalam Ushuluddin)

k. Al-Muntahalu Fil „Ilmi Al-Jidal (Tata Cara dalam Ilmu Diskusi) l. Al-Madhum bin „Ala Ghairi Ahlihi (Pesangkaan oleh Orang yang

Bukan Ahlinya)

m. Mahkun Nadhar (Metodologi Logika) n. Asraar „Ilmiddin (Rahasia Ilmu Agama)

o. Al-Arbain fii Al-Ushuluddin (40 Masalah Ushuluddin)

(43)

q. Al-Qulul Jamil Firraddi „Ala Man Gayaral Injil (Jawaban yang Tepat untuk Orang yang Mengubah Injil)

r. Mi‟yarul „Ilmi (Timbangan Ilmu) s. Al-Intishar (Rahasia-Rahasia Alam) t. Isbatun Al-Nadhar (Pemantapan Logika)

2. Kelompok ilmu fiqih dan ushul fiqih, yang meliputi: a. Al-Basrih (Pembahasan yang Mendalam)

b. Al-Wasit (Perantara)

c. Al-Wajiz (Surat-Surat Wasiat)

d. Khulasatul Mukhtasar (Intisari Ringkasan Karangan) e. Al-Mustasfa (Pilihan)

f. Al-Mankul (Adat Kebiasaan)

g. Syifakhul „Alifi Fii Qiyas Wattahlil (Penyembuhan yang Baik dalam Kias Tahlil)

h. Al-Dzari‟ah Ila Makarimis Syari‟ah (Jalan kepada Kemuliaan

Syari‟ah )

3. Kelompok ilmu tasawwuf, yang meliputi:

a. Ihya‟ Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama) b. Mizanul Amal (Timbangan Amal)

c. Kimiyaus Sa‟adah (Kimia Kebahagiaan) d. Misykatul Anwar (Pedoman Beribadah)

(44)

f. Al-„Ainis Fil Wahdah (Lembut-lembut dalam kesatuan)

g. Al-Qurbah Ilallahi Azza Wajallah (Mendekatkan Diri pada Allah) h. Akhlak Al-Abrar Wanajjat Minal Asrar (Akhlak yang Luhur dan

Penyelamat dari Keburukan)

i. Al-Mabadi Wagayyah (Pemula dan Tujuan) j. Nashihat Al-Mulk (Nasihat untuk Raja-Raja) k. Al-„Ulum Al-Ladoniyyah (Ilmu-Ilmu Laduni) l. Ar-Risalah Al-Qudsiyyah (Risalah Suci) m. Al-Ma‟khadz (Tempat Pengambilan) n. Al-Amali (Kemuliaan)

o. Ayyuha Al-Walad (Wahai Anakku) 4. Kelompok ilmu tafsir, yang meliputi:

a. Yaaqut Ta‟wil Fii tafsirit Tanzil (Metodologi Ta‟wil di dalam Tafsir yang Diturunkan)

(45)

28 BAB III

DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK

A. Pengertian pendidikan menurut Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali adalah tokoh yang sangat memperhatikan bidang pendidikan. Menurut Al-Ghazali, pendidikanlah yang banyak membentuk corak kehidupan suatu bangsa. Menurut al-Tibawi, pemikiran pendidikan Al-Ghazali ini paling baik, sistematis, dan komprehensif dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. Hal ini disebabkan Al-Ghazali adalah seorang guru besar yang juga sekaligus pemikir besar.

(46)

1. Tujuan pendidikan

Al-Ghazali menjelaskan tentang tujuan pendidikan dalam berbagai kitabnya , yang disusun sebagai berikut:

a. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja. Al-Ghazali mengatakan:

“Apabila engkau mengadakan penyelidikan/penalaran terhadap ilmu pengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya, oleh karena itu tujuan mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri” (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 1, 13).

Dari perkataan tersebut jelas menunjukkan bahwa penelitian, penalaran, dan pengkajian yang mendalam dengan mencurahkan tenaga dan pikiran adalah mengandung kelezatan intelektual dan spiritual yang akan menumbuhkan roh ilmiah, kepada mereka dalam mencari hakikat mencari ilmu pengetahuan. Demikian Al-Ghazali sangat menganjurkan kepada para pelajar agar menjadi orang yang cerdas, pandai berfikir, mengadakan penelitian yang mendalam dan dapat menggunakan akal pikiranmya dengan baik dan optimal, untuk menguasai ilmu pengetahuan dengan sesungguhnya dan mengerti maksudnya.

(47)

merata, terutama dalam rangkaian perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin tinggi di akhir abad 20 ini.

b. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak Al-Ghazali mengatakan:

“Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya” (Al Ghazali, Mizanul Amal, 1961, I: 361).

Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa Al-Ghazali menghendaki keluhuran rohani , keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat, maupun suatu negara.

c. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat Al-Ghazali mengatakan:

“Dan sungguh engkau mengetahui bahwa hasil ilmu pengetahuan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam, menghubungkan diri dan berhampiran dalam ketinggian malaikat, demikian itu di akhirat. Adapun di dunia adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh pemerintahan bagi pimpinan negara dan penghormatan menurut kebiasaannya.”

(48)

masyarakat muslim khususnya, menurut Al-Ghazali tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau kehidupan akhirat semata-mata, akan tetapi harus mencakup kebahagiaan dunia dan akhirat.

Akan tetapi kesenangan dan kebahagiaan di dunia adalah merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat, karena kebahagiaan dunia bersifat sementara. Jadi kebahagiaan di dunia merupakan tujuan sementara yang harus dicapai untuk menuju tujuan yang lebih tinggi, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam rangka mencapai kebahagiaan akhirat (Zainuddin, 1991: 48).

Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali meliputi:

1) Aspek keilmuan, yang mengantarkan manusia agar senang berpikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi manusia yang cerdas dan terampil.

2) Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian yang kuat. 3) Aspek ke-Tuhan-an, yang mengantarkan manusia beragama agar

dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Senada dengan tujuan pendidikan Al-Ghazali tersebut, Pendidikan Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan:

“Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia

(49)

terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab

kemasyarakatan dan kebangsaan” (UU No. 2/1989 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, Pasal 1 dan 2). 2. Pendidik

Dalam bukunya Zainuddin (1991: 50) bahwanya Al-Ghazali mempergunakan istilah pendidik dengan berbagai kata seperti, al-Muallimin (guru), al-Mudarris (pengajar), al-Muadib (pendidik) dan al-Walid (orang tua). Oleh karena itu istilah pendidik tersebut yakni pendidik dalam arti yang umum, yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran.

a. Profesi pendidik menurut Al-Ghazali

1) Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriah Dalam kitab Ihya Ulumuddin ia menyebutkan:

“Apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu. Maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu.”

(50)

Akan tetapi, posisi pengajar dalam masyarakat modern dewasa ini, lebih sering hanya di pandang sebagai petugas semata yang mendapat gaji dari negara atau instansi/organisasi swasta dan tanggung jawabnya tertentu, serta tugasnya relatif dilimitasi dengan dinding sekolah. Padahal sesungguhnya tugas mengajar ilmu itu menduduki posisi-status terhormat atau mulia. Dengan kehormatan atau kemuliaan yang disandangnya itulah membawa konsekuensi logis bahwa pengajar lebih dari sekedar petugas gajian. Dia sebagai figur teladan yang mesti ditiru dan diharapkan dalam memperlakukan anak didiknya tidak seperti domba atau ternak yang perlu di digembala/didisiplinkan. Anak didik sebagai manusia yang mudah dipengaruhi yang sifat-sifatnya perlu dibentuk dan dituntun olehnya untuk mengenal peraturan moral yang dianut oleh masyarakat. Itulah sebabnya, seorang pengajar tak cukup hanya mengandalkan kepandaian atau pemilikan otoritas disiplin ilmu tertentu saja. Dia haruslah orang yang berbudi dan beriman sekaligus amalnya, yang perbuatannya sendiri dapat memberikan pengaruh jiwa anak didiknya.

2) Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum

Dalam bukunya Zainuddin (1991: 52) bahwasanya Al-Ghazali dalam kitab Mizanul Amal mengatakan:

“Orang yang mempunyai ilmu itu berada dalam keadaan

(51)

a) Mencari faedah dan guna ilmu.

b) Mencari hasil ilmu pengetahuan sehingga ia tidak bertanya-tanya.

c) Memberikan wawasan ilmu dan mengajarkannya. Dan inilah keadaan yang termulia baginya. Jadi barangsiapa telah mencapai ilmu pengetahuan, kemudian ia dapat mengambil faedahnya dan selanjutnya diajarkannya, maka ia adalah laksana matahari yang bersinar dan menyinari lainnya. Ia adalah laksana kasturi yang dapat mengharumkan dan ia sendiri berbau harum”.

Adalah menjadi jelas bahwa kemuliaan mengajar adalah mempunyai dua segi kemanfaatan. Pertama, bagi orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan itu sendiri akan semakin bertambah pengetahuan dan pengalamannya, sehingga dapat mengambil manfaatnya dan mengambil ilmu pengetahuan sebaik-baiknya. Kedua, bagi orang lain yang diberi ilmu pengetahuan, diajar dan didik akan semakin tambah pula pengetahuan dan pengalamannya, sehingga dapat mengambil manfaat ilmu pengetahuan tersebut.

3) Alasan yang berhubungan dengan unsur yang dikerjakan Al-Ghazali menyebutkan:

“Seorang guru adalah berurusan langsung dengan hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia di muka bumi ini adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari bagian-bagian (jauhar) tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan guru adalah bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT” (Zainuddin, 1991: 53).

(52)

yang paling mulia di dunia ini dibandingkan dengan makhluk yang lain.

b. Gaji pengajar (guru) menurut Al-Ghazali

Pemimpin-pemimpin kaum muslimin pada masa awal kebangkitan Islam, semua memperhatikan kaum muslimin. Tidak kedengaran bahwa mereka mengkhususkan para guru untuk mengajar anak-anak mereka di surau-surau (kuttab) dan mengambil harta Allah untuk menggaji guru-guru tersebut.

Suatu ketika, Al-Ghazali mengatakan:

“Lihatlah kesudahan agama di tangan orang-orang yang mengatakan

bahwa mereka bermaksud mendekatkan diri pada Tuhan (Allah) oleh sebab mereka memiliki ilmu fiqh dan kalam serta mengajarkan dua ilmu itu dan lain-lainnya lagi. Mereka menghabiskan harta dan pangkat serta menanggung kehinaan untuk melayani Sultan-Sultan untuk mencari pembagian makanan. Alangkah hinanya seorang alim yang rela menerima kedudukan seperti ini” (zainuddin, 1991: 55).

Sesungguhnya, kesimpulan Al-Ghazali dalam hal mengharamkan gaji guru dapat dipahami secara tersirat bahwa gaji tercela (diharamkan) sebagai yang dikecam Al-Ghazali itu, adalah apabila Al-Qur‟an (ilmu-ilmu yang lain) dijadikan sebagai alat untuk mencari rezeki, menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar (dari seorang guru) hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya.

c. Persyaratan kepribadian pendidik menurut Al-Ghazali

(53)

1) Sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus harus diterima baik.

2) Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih.

3) Sopan dan tunduk, tidak riya‟/pamer.

4) Tidak takabur.

5) Bersikap tawadlu‟ dalam pertemuan-pertemuan. 6) Sikap dan pembicaraannya tidak main-main.

7) Menanam sifat bersahabat terhadap murid-muridnya.

8) Menyantuni serta tidak membentak-bentak orang-orang bodoh. 9) Membimbing dan mendidik murid secara sebaik-baiknya.

10)Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak dimengerti.

11)Menampilkan hujjah yang benar (Zainuddin, 1991: 56-57).

Dari pernyataan di atas, dapat dikemukakan bahwa persyaratan bagi seorang pendidik meliputi berbegai aspek, yaitu:

- Tabiat dan perilaku pendidik.

- Minat dan perhatian terhadap proses belajar mengajar. - Kecakapan dan keterampilan mengajar.

- Sikap ilmiah dan cinta terhadap keberanian. d. Tugas dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali

(54)

1) Mengikuti jejak Rasulullah

Seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarkannya adalah mendekatkan diri kepada Allah semata-mata. Dan ini dapat dipandang dari dua segi: pertama, sebagai tugas kekhalifahan dari allah. Kedua, sebagai pelaksanaan ibadah kepada Allah yang mencari keridlaanNya dan mendekatkan diri kepadaNya.

2) Memberikan kasih sayang terhadap anak didik

Seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti mencintai anaknya sendiri.

3) Menjadi teladan bagi anak didik

Jelaslah bahwa guru hendaklah mengerjakan apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarangnya dan mengamalkan segala ilmu pengetahuan yang diajarkannya. Karena tindakan dan perbuatan guru adalah menjadi teladan bagi anak didiknya. 4) Menghormati kode etik guru

(55)

sekaligus seluruh ilmu pengetahuan, bukan saling menjelek-jelekkan.

3. Anak didik

Al-Ghazali mempergunakan istilah anak dengan beberapa kata, seperti: al-Shobiy (kanak-kanak), al-Mutaallim (pelajar) dan tholibul ilmi (penuntut ilmu pengetahuan). Oleh karena itu, istilah anak didik di sini dapat diartikan; anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan obyek utama dari pendidikan (dalam arti yang luas) (Zainuddin, 1991: 64).

a. Fitrah menurut Al-Ghazali

Kata fitrah berasal dari kata “fathara” (menciptakan),

sepadan dengan kata “khalaqa”. Jadi fitrah (isim masdar) berarti

ciptaan atau sifat dasar yang telah ada pada saat diciptakannya atau

“asal kejadian”. Untuk mendapatkan pengertian yang jelas tentang

fitrah sebagaimana yang dikehendaki Al-Ghazali, maka perlu dikemukakan ayat ayat Al-Qur‟an dan Al-Hadits yang menjadi sumber pemikirannya, beserta interprestasinya ataupun perkataan-perkataannya sendiri yang berhubungan dengan hal tersebut.

(56)

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum: 30) (Depag, 2004: 408)

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa pengertian fitrah menurut Al-Ghazali adalah suatu sifat dari dasar manusia yang dibekali sejak lahirnya dengan memiliki keistimewaan sebagai berikut:

a) Beriman kepada Allah.

b) Kemampuan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.

c) Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berpikir.

d) Dorongan biologis yang berupa syahwat dan insting.

e) Kekuatan-kekuatan lain atau sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan.

b. Perkembangan anak didik menurut Al-Ghazali

1) Al-Janin, yaitu tingkat anak yang berada dalam kandungan. Adanya kehidupan setelah diberi roh oleh Allah.

(57)

3) Al-Tamziz, yaitu tingkat anak yang telah dapat membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk, bahkan akal pikirannya telah berkembang sedemikian rupa sehingga telah dapat memahami ilmu dlaluri.

4) Al-„Aqil, yaitu tingkat manusia yang telah berakal sempurna

bahkan akal pikirannya telah berkembang secara maksimal sehingga telah menguasai ilmu dlaluri.

5) Al-Auliya‟ dan Al-Anbiya‟, yaitu tingkat tertinggi pada

perkembangan manusia. Bagi para Nabi telah mendapatkan ilmu dari Tuhan melalui malaikat yaitu ilmu wahyu. Dan bagi para wali telah mendapatkan ilmu ilham atau ilmu laduni yang tidak tahu bagaimana dan dari mana ilmu itu didapatkannya.

c. Etika anak didik terhadap pendidik menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali menjelaskan etika anak didik terhadap pendidik

ini secara terinci dalam kitabnya “Bidayatul Hidayah”, yang

meliputi:

1) Jika berkunjung kepada guru harus menghormat dan menyampaikan salam terlebih dahulu.

2) Jangan banyak bicara dihadapan guru.

(58)

6) Jangan mengisyarati terhadap guru, yang dapat memberi perasaan khilaf dengan pendapat guru. Kalau demikian itu menganggap murid lebih besar daripadanya.

7) Jangan berunding dengan temanmu di tempat duduknya, atau berbicara denagn guru sambil tertawa.

8) Jika duduk di hadapan guru jangan menoleh-noleh tapi duduklah

dengan menundukkan kepala dan tawadlu‟ sebagaimana ketika

melakukan shalat.

9) Jangan banyak bertanya sewaktu guru kelihatan bosan atau kurang enak.

10)Sewaktu guru berdiri, murid harus berdiri sambil memberikan penghormatan kepada guru.

11)Sewaktu guru sedang berdiri dan sudah akan pergi, jangan sampai dihentikan cuma perlu bertanya.

12)Jangan sekali-kali bertanya sesuatu kepada guru di tengah jalan, tapi sabarlah nanti setelah sampai di rumah.

13)Jangan sekali-kali su’udlon (beranggapan buruk) terhadap guru mengenai tindakannya yang kelihatannya munkar atau tidak diridhai Allahmenurut pandangan murid. Sebab guru lebih mengerti rahasia-rahasia yang terkandung dalam tindakan itu. d. Tugas dan kewajiban para pelajar

(59)

“Mizamul Amal”, dengan pembahasan yang luas dan mendalam

yang diuraikan sebagai berikut: 1) Mendahului kesucian jiwa

Belajar dan mengajar adalah sama dengan ibadah shalat, sehingga shalat tidak sah kecuali dengan menghilangkan hadas dan najis, maka demikian pula dalam hal mencari ilmu, mula-mula harus menghilangkan sifat-sifat yang tercela seperti: dengki, takabbur, menipu, angkuh, dan sebagainya. Namun apabila ada pelajar yang budi pekertinya buruk dan hina tapi memperoleh ilmu pengetahuan, maka ia hanya memperolehnya pada kulit dan lahirnya saja, bukan isi dan hakikatnya sehingga tidak bermanfaat bagi dirinya dan lainnya. Jadi tidak membawa kebahagiaan dunia akhirat.

2) Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan

Mencurahkan segala tenaga, jiwa, raga, dan pikiran agar dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada ilmu pengetahuan.

(60)

4) Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan

Pelajar harus mendahulukan ilmu pengetahuan yang paling pokok dan mulia, kemudian ilmu pengetahuan yang penting, lalu ilmu pengetahuan sebagai pelengkap dan seterusnya, karena ilmu pengetahuan yang satu dengan lainya erat sekali dan saling membantu.

B. Pengertian akhlak menurut Imam Al-Ghazali

Al-Ghazali memberi pengertian tentang akhlak: “Al-Khuluq (jamaknya Al-Akhlak) ialah ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah, anpa memerlukan pikiran dan

pertimbangan”.

(61)

Misalnya: orang yang memberikan harta benda karena tekanan moril dan pertimbangan, maka belum juga termasuk kelompok orang yang bersifat pemurah. Pemurah sebagai sifat dan sikap yang melekat dalam pribadi yang didapat karena didikan atau memang naluri.

Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak itu ibarat dari keadaan jiwa dan bentuknya yang batiniyah. Kalau bentuk lahirnya manusia tidak dapat dikatakan bagus kecuali kebagusan aspek lahir semuanya, baik kedua matanya, hidungnya, pipinya dan seterusnya. Demikian pula batiniyah manusia, tidak akan memperoleh kebagusan kecuali terpenuhinya empat sendi yakni: kekuatan ilmu, kekuatan marah, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keseimbangan diantara kekuatan yang tiga tersebut. Kekuatan untuk mengetahui perbedaan antara benar dan dustanya perkataan, antara baik dan buruknya iktikad kepercayaan, juga antara baik buruknya perbuatan.

Kemudian, Al-Ghazali mengemukakan norma-norma kebaikan dan keburukan akhlak ditinjau dari pandangan akal pikiran dan syariat agama Islam. Akhlak yang sesuai dengan akal pikiran dan syariat dinamakan akhlak mulia dan baik, sebaliknya akhlak yang tidak sesuai (bertentangan) dengan akal baik dan syariat dinamakan akhlak sesat dan buruk, hanya menyesatkan manusia belaka.

Akhlak menurut Al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua, yakni akhlak yang baik dan akhlak yaang buruk (tercela). Akhlak yang baik adalah akhlak

yang sesuai dengan akal dan agama (syari‟at). Sedangkan akhlak yang buruk

(62)

Al-Ghazali (Mizan al-Amal, 1982: 40) mengatakan bahwa jiwa itu seakan-akan mempunyai dua arah. Pertama, arah menuju badan. Arah ini harus menguasai serta tidak menerima sifat-sifat yang melekat pada badan dan hawa nafsu. Kedua, arah menuju derajat yang mulia. Arah ini harus menerima hal-hal yang bersifat luhur, karena arah itu merupakan sarana menuju kebahagiaan.

Adapun pengelompokan akhlak dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Akhlak yang baik.

Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin, III, tt. : 47) mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah yang menurut atau sesuai dengan akal syara‟, selanjutnya ia menambahkan, bahwa akhlak yang baik adalah tingkah laku yang diperagakan oleh para rasul. Menurutnya akal merupakan salah satu kriteria dalam menentukan tolak ukur akhlak yang baik.

Akal menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang dapat memperoleh pengetahuan, atau tempat pengetahuan (yang mengetahui). Kalau

dikatakan bahwa standar akhlak adalah akal dan syara‟, maka syara‟

berfungsi menunjukkan baik dan buruk secara mutlak. Oleh karena itu akhlak yang baik pasti direalisasikan dalam bentuk iman. Dalam hal ini Al-Ghazali (Ihya ulumuddin, III, tt. : 67) mengatakan:

“Sesungguhnya kebagusan akhlak itu adalah iman. Dan keburukan akhlak itu adalah nifaq (sifat orang munafiq)”.

(63)



Artinya: 1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, 2. (yaitu) orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, 3. dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, 4. dan orang yang menunaikan zakat, 5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa, 7. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang yang melampaui batas, 8. dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, 9. dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya, 10. mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi (Q.S. Al-Mu‟minun: 1-10) (Depag, 2004: 343).

Adapun yang termasuk dalam kategori akhlak baik, antara lain: ikhlas (berbuat semata-mata karena Allah), tawakkal (berserah diri pada Allah), syukur (berterima kasih atas nikmat Allah), sidiq (benar/jujur),

amanah (dapat dipercaya), „adl (adil), „afw (pemaaf), wafa‟ (menepati

janji), „iffah (menjaga kehormatan diri), haya‟ (punya rasa malu),

syaja‟ah (berani), shabr (sabar), rahmah (kasih sayang), sakha‟ (murah

(64)

maru‟ah (menjaga perasaan orang lain), qana‟ah (merasa cukup dengan

pemberian Allah), rifq (berbelas kasih), dan lain sebagainya. 2. Akhlak yang buruk

Akhlak yang buruk adalah keadaan jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan jelek, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin, III, tt. : 67-68):

“Akhlak yang jahat adalah akhlak yang racun yang membunuh,

membinasakan, yang memecahkan kepala (memusingkan), perbuatan-perbuatan hina yang keji, perbuatan-perbuatan-perbuatan-perbuatan yang kotor yang nyata, kekejian yang menjauhkan dari sisi Tuhan Semesta Alam dan memasukkan orang yang berakhlak demikian dalam kawasan syetan”.

Menurut Al-Ghazali, akhlak yang buruk adalah akhlak yang

sudah menyimpang jauh dari kontrol dan aturan akal dan syara‟. Akhlak

yang keji tersebut merupakan penyakit hati dan jiwa, penyakit yang menghilangkan hidup abadi. Kalau akhlak yang tercela dikarenakan hati atau jiwanya terkena penyakit, tentu ada penyebab mengapa jiwa itu sakit. Menurutnya penyebab utaman penyakit jiwa adalah syetan. Syetanlah yang menanamkan bibit-bibit penyakit dalam jiwa manusia yang akhirnya menimbulkan akhlak yang keji dan tercela.

Secara umum manusia itu dapat terseret ajakan dan bujukan syetan, sehingga mereka mendapatkan kebinasaan dan kesengsaraan, karena mereka mengikuti hawa nafsunya dan tidak menghiraukan

(65)

C. Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak

Dalam bukunya Kholiq (1999: 91) bahwasanya Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, secara tegas mengatakan bahwa perubahan akhlak atau membentuk akhlak menjadi bagus adalah mungkin, sepanjang ia melalui usaha dan latihan moral yang sesuai. Menurutnya fungsi utama agama adalah membimbing manusia memperindah akhlak. Jika akhlak tidak dapat diubah maka semua perintah maka semua perintah dan ajaran, anjuran dan hukuman agama tidak berarti. Bahkan Rasulullah bersabda: “Jadikanlah akhlak kamu

indah.” Jika hal ini benar tidak mungkin, jelas tidak akan diperintahkan.

(66)

Menurut Al-Ghazali manusia menerima perubahan dan penyempurnaan akhlak, ia membagi manusia menjadi menjadi empat tingkatan, yaitu:

1. Manusia yang lalai, yang tidak dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, antara yang bagus dan yang buruk. Bahkan manusia seperti kejadian fitrahnya, kosong dari semua keyakinan. Mereka itu adalah orang-orang yang bodoh dan mudah sekali menerima pengobatan.

2. Manusia yang mengetahui keburukan sesuatu yang buruk, tetapi ia tidak membiasakan mengerjakan amal shalih; bahkan selalu berbuat jahat, mengikuti hawa nafsunya dan berpaling dari pikiran yang benar. Ia tahu keteledoran perbuatannya. Mereka itu adalah orang-orang yang boodoh dan sesat, serta lebih sukar pengobatannya daripada orang tingkat pertama.

3. Manusia yang menyakini bahwa akhlak yang keji itu harus dipakai dan dianggap baik. Mereka itu adalah orang-orang yang bodoh, sesat dan fasik. Orang yang seperti ini hampir-hampir tidak dapat diobati.

4. Manusia yang tumbuh pikiran batil dan dididik dengan perbuatan yang batil pula, ia akan menganggap utama terhadap terhadap perbuatan jahat yang akan merusak diri. Mereka itulah orang-orang yang bodoh, sesat, fasik dan jahat. Manusia pada tingkat inilah yang paling sukar untuk diobati (Ihya Ulumuddin, III, tt,: 55).

(67)

yang mengira bahwa yang dimaksud mujahadah dalam perubahan akhlak ialah mencegah dan menghilangkan sifat-sifat manusia tersebut secara keseluruhan.

Inti dari perubahan akhlak adalah perubahan dari akhlak yang buruk ke akhlak yang baik, yakni kembali kepada akal dan hikmah. Mengembalikan akhlak ke posisi yang sebenarnya ini akan berhasil karena dua sebab, yaitu: Pertama, atas karunia Allah yang telah memberikan fitrah manusia secara sempurna. Manusia dijadikan dan dilahirkan dengan akal yang sempurna, akhlak yang baik, yang dapat mengendalikan nafsu syahwat dan amarah. Bahkan nafsu syahwat dan amarah dijadikan lurus, serta patuh terhadap agama. Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah. Maksudnya membawa diri ke arah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan akhlak yang baik (Ihya Ulumuddin, III, tt,: 56).

Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa adanya perubahan akhlak adalah sangat mungkin. Karena akhlak ada kaitannya dengan fitrah dan jiwa manusia yang harus diarahkan dan disempurnakan. Menurut Al-Ghazali bagi manusia biasa terdapat dua jalan untuk mengarahkan akhlaknya ke sana, yaitu dengan jalan mujahadah (usaha yang sumgguh-sungguh untuk mendekatkan kepada Allah) dan riyadhah (latihan yang terus menerus diorientasiakan pada ridha Allah).

(68)

tujuan-tujuan yang hendak dicapai maupun sarana-sarana yang tanpa mangabaikan aspek duniawiyah.

Demikian halnya pemikiran Al-Ghazali dalam pendidikan juga bernuansa Islami dan moral. Disamping itu juga tidak mengabaikan masalah-masalah duniawiyah, sehingga ia juga menyediakan porsi yang sesuai dalam pendidikan. Tetapi pencapaian kebahagiaan yang hakiki yakni di akhirat. Sehingga tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Referensi

Dokumen terkait

Pertimbangan dokter bedah I untuk tidak memberikan antibiotika profilaksis adalah jarang ditemukannya infeksi setelah operasi pada pasien operasi apendisitis akut

Komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator kepada komunikan bukanlah semata-mata untuk menyampaikan pesan dan sekadar saling tukar pikiran dan bertukar

Kesimpulan yang dapat diambil adalah perlindungan konsumen terhadap penumpang angkot di Kota Semarang sebenarnya telah cukup baik, akan tetapi memang masih terdapat hak-

Penelitian mengenai tumbuhan paku di Petungkriyono telah dilakukan sebelumnya oleh Widhiono (2015) dengan jumlah jenis tumbuhan paku yang sebanyak 12 jenis, namun

Data lalu lintas memegang peranan terpenting pada perencanaan tebal perkerasan karena data lalu lintas ini dibutuhkan untuk menghitung beban lalu lintas rencana yang akan dipikul

Student activities are education in nature, based on genuine student interest areas, usually conducted during student time rather than on school time, student

Ide penelitian “Kajian Efek Aerasi pada Kinerja Biofilter Aerob dengan Media Botol Plastik Jenis Polystyrene untuk Pengolahan Limbah Tambak Udang” didapatkan dari

Penelitian ini berawal dari pengamatan peneliti selama peneliti melakukan Praktek Lapangan Industri (PLI) tanggal 2 September 2013 terhadap prosedur kerja karyawan Bar