• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

1) Ilmu

2. Ilmu pengetahuan yang terpuji secara mutlak, yakni pelajaran-pelajaran agama dan berbagai macam ibadah.

3. Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya dapat menjadi tercela, seperti: ilmu ketuhanan, cabang dari ilmu filsafat dan sebagian aliran naturalisme.

Dari faktor-faktor pendidikan dari Al-Ghazali jelas, bahwa arah dan orientasi pendidikan akhlak Al-Ghazali adalah untuk mendekatkan diri pada Allah, agar mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Di samping itu untuk dapat mencapainya haruslah ada keseimbangan pengembangan fitrah dan potensi manusia yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

55 BAB IV PEMBAHASAN

A. Konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali

1. Latar belakang penulisan kitab Ayyuha al-Walad

Salah satu murid Imam Zainuddin Hujjatt al-Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazali suatu hari merenung. Ia dikenal kenal sebagai murid yang selalu berkhidmat kepada gurunya, dan senantiasa menyibukkan diri untuk menuntut ilmu, sehingga memperoleh banyak pengetahuan dan mencapai kesempurnaan jiwa. Ia merenungkan keadaan dirinya, dan berkata: Aku telah mengkaji berbagai macam ilmu, dan telah melewatkan umurku yang berharga ini untuk mempelajari dan menghafalnya. Seharusnya sekarang sudah mengerti ilmuku yang mana yang kelak bermanfaat bagiku, ilmuku yang mana yang tidak bermanfaat, sehingga dapat kutinggalkan? Padahal Rasulullah SAW

sendiri dalam doanya memohon: “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu

dari ilmu yang tidak bermanfaat”.

Pikiran ini terus mengusiknya, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk menulis surat kepada gurunya, Imam Al-Ghazali untuk menanyakan masalah yang dihadapinya sekaligus meminta nasihat dan doa.

Si murid berkata: “Meskipun jawaban atas persoalanku ini ada

dalam buku-buku guruku, seperti dalam Ihya‟ Ulum al-Din dan lain sebagainya, tetapi maksudku menulis kepada guruku agar jawabannya dapat kusimpan dan kujadikan sebagai pegangan dalam beramal sepanjang

hidupku... sepanjang umurku... insyaa Allah”. Kemudian atas keinginan muridnya tersebut, Al-Ghazali kemudian menulis risalah ini untuk menjawabnya.

Risalah Ayyuha Al-Walad dalam bentuknya yang ringkas terdiri dari kata pengantar dan 6 bagian pembahasan. Bagian pertama merupakan prolok yang berisi seputar nasihat dan perdebatan filosofis tentang tujuan ilmu dan ketertarikan antara ilmu dan amal. Bagi Al-Ghazali, ilmu adalah manifestasi dari ketaatan, sedangkan ibadah harus tunduk pada syara’.

Pada bagian pertama, Al-Ghazali bercerita tentang i‟tiqad yang benar, taubat, menghindari perdebatan kusir dalam ilmu pengetahuan serta pemerolehan ilmu-ilmu syariah. Bagian kedua, berisi tentang amal saleh, mujahadah al-nafs (pensucian jiwa), dan menganggap rendah dunia dalam melakukan ibadah, pembersihan jiwa dari sifat serakah, serta anjuran untuk memerangi setan. Pada bagian ketiga, dia membahas pendidiakan sebagai sarana menghilangkan kebiasaan yang buruk dalam jiwa dan mengisinya dengan akhlak yang baik. Sedangkan bagian keempat, berisi kode etik guru yang hampir sama dengan apa yang diungkapkan dalam Ihya‟ Ulumuddin. Adapun bagian kelima, berisi tentang karakteristik seorang sufi yang sebenarnya, syarat-syarat beristiqomah kepada Allah dan hubungannya dengan makhluk. Dalam bagian keenam, Al-Ghazali mengakhirinya dengan sejumlah nasihat yang diberikan kepada anak didik. Diantaranya adalah anjuran untuk berdebat kecuali untuk membuktikan kebenaran, larangan bergaul dengan pejabat dan menerima

pemberian mereka, karena dalam pandangan Al-Ghazali, interaksi yang benar dan wajib terhadap Allah melalui berbuat kebaikan yang diridhai-Nya.

Abu abdillah al-Husainy menterjemahkan kitab Ayyuha al-Walad dengan judul Ayyuha al-Walad Duhai Anakku: Wasiat al-Ghazali untuk Murid Kesayangannya, membagi isi kitab Ayyuha al-Walad menjadi sepuluh bagian sebagai berikut (Al-Husainy, 2003: iii):

a. Ilmu yang perlu dipelajari b. Ilmu sejati

c. Pelajaran dari Hatim al-Asham d. Syaikh: Tugas dan Persyaratannya e. Sikap Murid terhadap Syaikhnya f. Tasawwuf

g. Ubudiyyah dan Tawakkal h. Ikhlas dan Riya’

i. Delapan Nasehat Penting Al-Ghazali j. Doa

Atas dasar inilah, maka Busyairi Madjidi berpendapat bahwa kitab Ayyuha al-Walad merupakan kitab yang berisi tentang akhlak. Namun yang lebih penting dari buku ini adalah gambaran tentang perkembangan pemikiran Al-Ghazali dan riwayat studinya serta kedudukan yang dicapainya di antara filosof-filosof Islam dan pengaruhnya terhadap filsafat sezamannya (Madjidi, 1997: 81).

2. Pemikiran Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha Al-Walad

Pemikiran pendidikan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad setidaknya dapat ditinjau dari empat hal. Pertama, tujuan pendidikan. Kedua, subjek pendidikan. Ketiga, materi pendidikan. Keempat, metode pendidikan.

a. Tujuan Pendidikan

Pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menghilangkan sifat-sifat atau akhlak buruk. Sehingga, tujuan pendidikan menurut Ghazali adalah menanamkan akhlak yang baik pada anak didik. Al-Ghazali mengibaratkan pendidikan dengan pekerjaan seorang petani yang membuang dan mencabut rumput (tumbuhan-tumbuhan lain) yang mengelilingi tanaman supaya bisa tumbuh sempurna dan hasilnya bagus (maksimal). Hal ini dapat dilihat dalam kata-katanya berikut ini:

خ١ش هٌحغٌٍ ٝغرٕ٠ ٗٔج ٍُػج

ذششِ

ٗط١ذشطذ ِٕٗ سث١غٌج قلاخ لاج ؼشخ١ٌ خشِ

حلافٌج ًؼف ٗرش٠ س١ذشطٌج ٟٕؼِٚ حٕغد حمٍخ حٙٔحىِ ًؼج٠ٚ

نٛشٌج غٍم٠ ٜزٌج

ٗؼ٠س ًّى٠ٚ ٗضحرٔ ٓغذ١ٌ عسضٌج ٓ١ذ ِٓ س١رٕجٌج شحضحرٌٕج ؼشخ٠ٚ

Imam Al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah dalam membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu akan kewajibannya baik sebagai hamba Allah, maupun sebagai khalifah Allah yang mendapatkan ridho Allah SWT.

Imam Al-Ghazali memberikan perhatian besar terhadap pendidikan akhlak. Karena kuatnya keyakinan beliau bahwa

pendidikan akhlak yang benar merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, membentuk akhlakul karimah, dan mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat dengan cara beramal shaleh, beribadah, mengenal dan mencintai Allah sehingga mendapatkan keridhaanNya.

Pemikiran Imam Al-Ghazali yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya merupakan gambaran tentang pemikiran bagaimana membimbing dan membina peserta didik sejak dini, supaya berakhlak mulia dan hal tersebut relevan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu membantu manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memiliki dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pencegahan jiwa manusia dari hal-hal yang mengotori jiwa, penanggulangan rusaknya jiwa manusia, dan pengembangan akhlak manusia dalam membangun kehidupan yang diridhoi Allah SWT yang membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Studi mengenai pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak ini menyingkapkan bahwa Imam Al-Ghazali telah berhasil menata suatu sistem pendidikan akhlak yang lengkap, menyeluruh dengan batasan-batasan yang jelas. Imam Al-Ghazali melaksanakan sistem pendidikan akhlaknya itu benar-benar mengarah kepada tujuan pndidikan akhlak yang benar, yaitu meraih ridho Allah SWT. Dia bercita-cita dapat membentuk individu-individu yang mulia

dan bertaqwa, selanjutnya dapat menyebarkan keutamaan kepada seluruh umat manusia.

Pada umumnya, pemikiran tentang pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh Islam memiliki karakteristik religius moralis yang terlihat melalui tujuan dan metodenya. Dengan tidak mengesampingkan urusan-urusan duniawi, pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan Akhlak secara umum sesuai dengan konsepsi pendidikan akhlak para ulama-ulama Islam. Imam Al-Ghazali tidak mengabaikan urusan-urusan keduniaan. Beliau telah mempersiapkan urusan-urusan ini dalam pendidikan akhlak. Beliau memandang bahwa persiapan untuk urusan-urusan dan kebahagiaan duniawi hanya merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat yang lebih utama dan lebih kekal dari kebahagiaan hidup di dunia. Beliau memandang dunia adalah ladang tempat persemaiaan benih-benih akhirat.

Menurut Imam Al-Ghazali, tujuan pendidikan akhlak ialah kesempurnaan insan di dunia dan di akhirat. Manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui pencariaan keutamaan dengan menggunakan ilmu. Keutamaan itu akan memberinya kebahagiaan di dunia dan serta mendekatkannya kepada Allah SWT, sehingga dia akan mendapatkan kebahagiaan akhirat.

Keadaan Imam Al-Ghazali sebagi seoang yang taat beragama dan ahli pendidikan akhlak telah mempengaruhi pandangannya untuk

menjadikan pendekatan diri kepada Allah dan pencapaian kebahagiaan akhirat sebagai tujuan pendidikan akhlaknya. Sehingga beliau menggariskan di dalam kitab-kitabnya bahwa tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali adalah mencapai ridho Allah SWT dengan cara beribadah dan beramal sholeh serta makrifat dan cinta kepada Allah SWT.

b. Subjek Pendidikan

Subjek pendidikan menurut Al-Ghazali tidak bisa dilepaskan dari pola hubungan (relasi) guru dan murid. Karena kedua hal inilah yang akan menentukan berhasil tidaknya tujuan pendidikan. Ibarat pendidikan kalau sarana dan prasarananya jelek akan tetap bisa berjalan, namun kalau tidak ada guru pendidikan tidak akan bisa berjalan. Oleh karena itu, guru sebagai subjek ajar dalam pendidikan harus mempunyai berbagai persyaratan supaya mempunyai keprofesionalan di bidangnya dan tanggungjawabnya terhadap anak didiknya.

Sedangkan murid yang juga bagian dari subjek dalam pendidikan juga mempunyai peranan yang sangat penting yang menentukan masa depan pendidikan. Disamping murid, harus bisa bersikap baik kepada gurunya, dia juga mempunyai persyaratan. 1) Guru: tugas dan Persyaratannya

Dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 14

merinci tugas dan syarat yang harus dipenuhi seorang guru sebagai berikut:

سفلاخٌٍ خٍظ٠ ٌُحػ ًولا ٓىٌٚ حٌّحػ ْٛى٠ ْج خٍظ٠ ٜزٌج خ١شٌج ؽششٚ

.

ٗٔج ذدج ًو ٝػذ٠لا ٝطد يحّجلاج ً١رع ٍٝػ ٗطِلاػ غؼذ هٌ ْٟٔجٚ

.ذششِ

ش١ظذ ضخشٌ غذحض ذل ْحوٚ ،ٖحجٌج ددٚ ح١ٔذٌج دد ٓػ عشؼ٠ ِٓ :يٛمٕف

حطِ ًغٍغطض

ْحوٚ ٍُعٚ ٗ١ٍػ الله ٍٝط ٓ١ٍعشٌّج ذ١ع ٌٝج ٗطؼذ

حٕغذِ

ٌجٚ شجٍٛظٌج زش١ػوٚ ،ٌَٕٛج ٚ يٛمٌجٚ ًو لاج سٍمذ ٗغفٔ سػح٠س

سلذظ

قلاخلاج ٓعحذِ لاػحج ش١ظرٌج خ١شٌج هٌر ٗطؼذ حطّذ ْحوٚ .َٛظٌجٚ

ٌٗ

ظفٌٕج سٕٔ أّؽٚ سػحٕمٌجٚ ٓ١م١ٌجٚ ًوٛطٌجٚ شىشٌجٚ زلاظٌجٚ دظٌحو زش١ع

سحلٌٛجٚ ءحفٌٛجٚ ءح١ذٌجٚ قذظٌجٚ ٍُؼٌجٚ غػجٛطٌجٚ ٍُذٌجٚ

ٝٔأطٌجٚ ْٛىغٌجٚ

جرجٛٙف حٌٙحػِجٚ

ءجذطللاٌ خٍظ٠ ٍُعٚ ٗ١ٍػ الله ٍٝظٌج ٝرٌٕج سجٛٔج ِٓ سٛٔ

.شّدلاج ص٠شرىٌج ِٓ ضػأ سدحٔ ٍٗػِ دٛجٚ ٓىٌٚ .ٗذ

Artinya: Syarat agar seorang syaikh dapat menjadi wakil Rasulullah SAW ia haruslah seorang yang alim, meski tidak semua orang yang alim dapat menjadi khalifahnya. Aku akan menjelaskan kepadamu sebagaimana persyaratan syaikh agar tidak semua orang dapat mendakwakan dirinya seorang mursyid. Sebagaimana persyaratan itu adalah: tidak mencintai dunia dan kedudukan; pernah belajar kepada seorang syaikh yang memiliki silsilah pembimbing sampai kepada penghulu para nabi; memilih riyadhah yang baik dalam bentuk sedikit makan; sedikit bicara dan sedikit tidur; banyak melakukan shalat sunnah; sedekah dan puasa; selama masa belajarnya, sang syaikh telah berhasil meraih berbagai budi pekerti mulia, seperti: sabar, rajin shalat, syukur, tawakkal, yakin, dermawan, qana‟ah, berjiwa tenang, santun, rendah hati, berilmu, jujur dan benar, pemalu, setia (janji), khidmat, tenang, tidak terburu nafsu dan lain-lain. Dengan sifat-sifat ini, ia menjadi secercah cahaya dari cahaya-cahaya

(petunjuk) nabi SAW, sehingga ia pantas dijadikan panutan. Namun, keberadaan syaikh semacam ini sangat jarang, lebih berharga dari al-Kibrit ahmar.

2) Sikap Murid terhadap Syaikhnya

Sedangkan tentang etika murid terhadap guru, Al-Ghazali merinci dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman 14 adalahsebagai berikut:

ِٗشطذ٠ ْج ٝغرٕ٠ ،خ١شٌج سٍرلٚ ،حٔشور حّو حخ١ش ذجٛف زدحؼغٌج ٗضذػحع ِٓٚ

حِج .حٕطذٚ جش٘حظ

لاأ ٛٙفش٘حظٌج َجشطدج

ٟف ٗؼِ ؼحجطدإححذ ًغطش٠لاٚ ٌٗدحج٠

زلاظٌج ءجدج صلٚ لائ ٗضدحجع ٗ٠ذ٠ ٓ١ذ ٝمٍ٠لاٚ .ٖحطخ ٍُػ ٗٔجٚ ،سٌأغِ ًو

٠لاٚ .حٙؼفش٠ ؽشف جرحف

خ١شٌج ٖشِأ٠ حِ ًّؼ٠ٚ .ٗضشؼخذ زلاظٌج ًفجٛذ شػى

غّغ٠ حِ ًو ْأ ٛٙف ٓؽحرٌج َجشطدج حِأٚ .ٗطلحؽٚ سؼعٚ سذمذ ًّؼٌج ِٓ

م٠ٚ

لاٛل لاٚ لاؼف لا ٓؽحرٌج ٟف ٖشىٕ٠لا ش٘حظٌج ٟف ِٕٗ ًر

.قحفٌٕحذ ُغط٠ لاثٌ

ٓػ صشطذ٠ٚ .ٖش٘حظ ٕٗضحذ كفجٛ٠ ْج ٌٝج ٗطرذط نشط٠ غططغ٠ ٌُ ْئٚ

ءٛغٌج ددحط سغٌحجِ

ٓ١ؽح١ش س٠لاٚشظم١ٌ

ٓذط ٓػ طحٌٕجٚ ٓجٌج

.ٕٝغٌج ٍٝػ شمفٌج سحطذ٠ ًد ًو ٍٝػٚ سٕط١شٌج ظٌٛ ِٓ ٝفظ١ف ٍٗرل

Artinya: Barang siapa bernasib baik dan dapat menemukan syaikh sebagaimana yang telah kujelaskan, dan syaikh itu pun bersedia menerimanya sebagai murid, maka hendaknya ia menghormatinya secara lahir dan batin. Penghormatan secara lahiriyah adalah dengan cara tidak mendebatnya; tidak menyibukkannya dengan bantahan-bantahan dalam masalah apapun meskipun si murid mengetahui kesalahan syaikhnya; tidak menggelar sajadah

didepannya, kecuali pada waktu sholat dan segera

menggulungnya kembali setelah selesai; tidak memperbanyak shalat-shalat sunnah selama kehadirannya; dan selalu melaksanakan perintahnya. Adapun penghormatan secara

batiniah, yaitu si murid tidak mengingkari dalam hatinya semua yang telah ia dengar dan sepakati secara lahiriah, baik dengan perbuatan maupun perkataan, sehingga ia tidak dianggap munafik. Apabila ia tidak dapat berbuat demikian, maka hendaknya ia menunda dulu hubungannya dengan syaikhnya sampai keadaan lahiriahnya sesuai dengan batiniyahnya. Dan hendaknya ia tidak bergaul dengan orang-orang jahat agar hatinya terhindar dari pengaruh setan, baik dari kalangan jin maupun manusia agar ia terbebas dari kejahatan setan. Dan di atas segalaya, hendaknya ia lebih memilih kemiskinan daripada kekayaan.

c. Materi Pendidikan

Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim merekayasa pembentukan insan kamil melalui penciptaan situasi interaksi edukstif yang kondusif. Dalam posisinya demikian, pendidikan Islam adalah model rekayasa individual dan sosial yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat ideal di masa depan. Sejalan dengan perekayasaan masa depan umat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang sakan ditransformasikan kepada peserta didik agar menjadi milik dan kepribadiannya sesuai dengan idealitas Islam (Nizar, 2002: 55).

Pendidikan akhlak adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (cipta, karya, karsa) dan jasmani (panca indra dan keterampilan). Apabila pendidikan akhlak itu berjalan dengan baik, lancar serta sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an, maka

hasil yang dicapainyapun akan sesuai dengan yang dicita-citakan. Sebaliknya apabila pendidikan itu dilaksanakan dengan tanpa adanya program dan keseriusan, maka hasilnyapun akan mengecewakan.

Maka dari itu, hal inilah yang menjadi perhatian Al-Ghazali di dalam merancang pendidikannya dengan memberikan materi ajar kepada peserta didik yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Inilah penjelasan materi pendidikan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad:

1) Ilmu

Inti ilmu adalah pengetahuan yang membuat seseorang faham akan makna ketaatan dan ibadah. Sebab ketaatan dan ibadah dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan menjauhi

larangannya harus mengikuti syari’ah. Maksudnya, semua yang dikatakan, diperbuat, dan ditinggalkan harus berlandaskan

syari’ah. Al-Ghazali mencontohkan ketika seorang berpuasa di hari raya atau hari tasyriq, maka baginya itu adalah maksiat. Atau contoh yang lain, apabila seseorang shalat mengenakan pakaian dari usaha tidak halal, meskipun hal itu tampak seperti ibadah. Namun perbuatan itu adalah dosa. Hal ini sesuai dengan pendapatnya dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 9 adalah sebagai berikut:

ج ْج ٍُػج

ًؼفٌجٚ يٛمٌحذ ٝ٘جٌٕٛجٚ شِجٚلأج ٟف عسحشٌج سؼذحطِ زدحرؼٌجٚ سػحطٌ

طٌٛ حّو ،عششٌج ءجذطلحذ ْٛى٠ نشطضٚ ًؼفضٚ يٛمضحِ ًو ٕٝؼ٠

ذ١ؼٌج َٛ٠ صّ

زسٛط صٔحو ْئٚ خٛظغِ خٛغ ٟف حٕ١ٍط ٚج .ح١طحػ ْٛىض ه٠ششطٌج َح٠جٚ

ُغأض زدحرؼٌج

.

Bagi Al-Ghazali, perkataan dan perbuatan harus konsisten

dan tidak bertentangan dengan syari’ah, sebab baginya ilmu dan amal tanpa landasan syari’ah adalah sesat. Sehingga beliau menganjurkan agar seseorang tidak tertipu ucapan-ucapan aneh kaum sufi. Al-Ghazali menganjurkan seseorang agar bermujahadah, mengalahkan syahwat dan menundukkan hawa nafsu dengan pedang riyadhah, bukan dengan ucapan-ucapan kosong kosong yang tidak bermanfaat. Sebab bagi Al-Ghazali, bahwa lidah yang bebas seenaknya berkata-kata dan hati yang tertutup dan dipenuhi dengan kelalaian dan syahwat adalah pertanda kesengsaraan (syaqawah), sehingga apabila seseorang tidak dapat menundukkan nafsunya, maka hatinya tidak akan pernah hidup dengan nur makrifat. Hal ini sesuai dengan pendapatnya dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 9 adalah sebagai berikut:

ِ هٍؼفٚ هٌٛل ْٛى٠ ْج هٌ ٝغرٕ٠ ،ٚذٌٌٛج حٙ٠ج

ٍُؼٌج جرج : عششٌٍ حمفجٛ

ى٠ ك٠شطٌج جز٘ هٍغٌج ْلا ،س١فٛظٌج

ظفٌٕج شٛٙش غطلٚ زذ٘حجٌّحذ ْٛ

شح٘شطٌجٚ شحِحطٌحذلا ،سػح٠شٌج ف١غذ ح٘جٛ٘ ًطلٚ

ٌّج دٍمٌجٚ ،كٍطٌّج ْحغٌٍج ْج ٍُػجٚ

سِلاػ ،زٛٙشٌجٚ سٍفغٌحذ ءٌٍّّٛج كرط

.سفشؼٌّج سجٛٔحذ هرٍل ح١ذ٠ ٍٓف زذ٘حجٌّج قذظذ ظفٌٕج ًطمض ٌُ جرحف ،زٚحمشٌج

Berkaitan dengan hal di atas, maka ada empat hal yang wajib dilakukan oleh seorang salik. Pertama, berakidah yang benar tanpa dicampuri bid‟ah. Kedua, bertaubat dengan tulus dan tidak mengulang lagi perbuatan hina (dosa) itu. Ketiga, meminta keridhaan dari musuh-musuhmu, sehingga tidak ada lagi hak orang lain yang masih tertinggal padamu. Keempat, mempelajari

ilmu syari’ah sekedar yang dibutuhkan untuk melaksanakan perintah Allah. Juga pengetahuan lain yang dengannya seseorang selamat. Hal ini sesuai dengan ungkapannya yang terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 10 adalah sebagai berikut:

دجٚ ذل

:سِٛج سؼذسج هٌحغٌج ٍٝػ

سػذذ ٗ١ف ْٛى٠ لا خ١ذط دحمطػج : يٚلأج شِلأج

ْحػٌجٚ

:

ح٘ذؼذ غجش٠ لا حٛظٔ سذٛض

سٌضٌج ٌٝج

عٌحػٌجٚ

:

كد ه١ٍػ ذدلأ ٝمر٠ لا ٝطد َٛظخٌج ءحػشطعج

خجشٌجٚ

اللهشِج ٚج ٗذ ٜدإض حِس ذل سؼ٠ششٌج ٍُػ ً١ظذض :

ُغ ٌٝحؼض

ِٓ

زحجٌٕج ٗذ ْٛىض حِ ٜشخلاج ٍَٛؼٌج

Pendapat Al-Ghazali yang keempat ini didasarkan pada sabda nabi SAW yang terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 10-11 adalah sebagai berikut: sebagai berikut:

لله ًّػجٚ ،حٙ١ف هتحمذسذمذ هضشخلأ ًّػجٚ ،حٙ١ف هِحمِ سذمذ نح١ٔ ذٌ ًّػج

ج هطجحد سذمذ

حٙ١ٍػ نشرط سذمذ سحٌٍٕ ًّػجٚ ،ٗ١ٌ

Artinya: Beramallah untuk duniamu sesuai dengan keduduknmu di dalamnya, beramallah untuk akhiratmu sesuai dengan keabadianmu di dalamnya, beramallah untuk Allah sesuai dengan kebutuhanmu kepada-Nya, beramallah untuk neraka sesuai dengan kemampuanmu untuk bersabar terhadap siksanya.

Dokumen terkait