• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Matematika - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MAKE A MATCH TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KEAKTIFAN SISWA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS VIII SMP NEGERI 2 GODEAN - UMBY repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Matematika - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MAKE A MATCH TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KEAKTIFAN SISWA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS VIII SMP NEGERI 2 GODEAN - UMBY repository"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II KAJIAN TEORI

A. Pembelajaran Matematika

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 Ayat 1 menyakatan bahwa kurikulum pendidikan dasar sampai menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus diajarkan sejak jenjang pendidikan dasar sampai menengah. Suatu mata pelajaran yang diharapkan mampu mempunyai kegunaan dalam kehidupan sehari-hari bagi yang mempelajarinya.

1. Belajar

(2)

12

Cronbach, Harold Spears, dan Geoch (Sardiman, 2016: 20) memberikan definisi belajar. Cronbach mendefinisikan “Learning is shown by a change in behavior as a result of experience”. Artinya Belajar itu adalah perubahan

perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Harold Spears memberikan batasan “Learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to

listen, to follow direction”. Artinya Belajar adalah mengamati, membaca,

meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan mengikuti arah tertentu. Geoch mengatakan “Learning is change in performence as a result of practice”. Artinya Belajar adalah perubahan prestasi sebagai hasil latihan.

Menurut Klein (1996: 2), “Learning can be defined as an experiential process resulting in a relatively permanent change in behavior that cannot be

explained by temporary states, maturation, or innate respons tendencies”.

Artinya bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai proses pengalaman yang mengakibatkan perubahan yang relatif permanen dalam perilaku.

Berdasarkan definisi-definisi sebelumnya dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang merupakan bagian penting dari pendidikan sebagai hasil dari latihan yang menghasilkan suatu perubahan yang relatif menetap, baik perubahan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap.

2. Pembelajaran

(3)

13

kepada apa yang harus dilakukan oleh siswa dan mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Jadi, dalam pembelajaran bukan hanya guru yang memegang peranan penting tetapi siswa juga memegang peranan penting dalam proses pembelajaran agar tujuan pembelajaran tercapai.

Suprijono (2009: 13) mengatakan bahwa pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Menurut Horsley (1990: 59) ada empat tahap yang umumnya dialami seseorang saat proses pembelajaran berlangsung, yaitu: (1) tahap apersepsi, tahap ini berguna untuk mengungkapkan konsep awal siswa dan digunakan untuk membangkitkan motivasi belajar siswa; (2) tahap eksplorasi, tahap ini berguna untuk mediasi pengungkapan ide-ide atau pengetahuan dalam diri siswa; (3) tahap diskusi dan penjelasan konsep, pada tahap ini siswa diupayakan untuk bekerjasama dengan teman-temannya, berusaha menjelaskan pemahamannya kepada orang lain, bahkan menghargai penemuan temannya; (4) tahap pengembangan dan aplikasi konsep, tahap ini adalah tahap untuk mengukur sejauh mana pemahaman siswa terhadap suatu konsep dengan menyelesaikan permasalahan.

(4)

14 3. Pembelajaran Matematika

Menurut Suherman (2003: 18) istilah matematika menurut berbagai bahasa antara lain Mathematics (bahasa Inggris), Mathematik (bahasa Jerman), Mathematique (bahasa Prancis), Matematiceski (bahasa Rusia), atau Mathematik (bahasa Belanda). Istilah matematika tersebut berasal dari bahasa Yunani yaitu Mathematike yang berarti relating to learning. Kata Mathematike mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu. Kata ini berhubungan erat dengan sebuah kata mathanein yang mengandung arti belajar (berpikir).

Menurut Abdurrahman (2003: 252) matematika adalah suatu cara yang dilakukan untuk menemukan jawaban, menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, serta menggunakan pengetahuan tentang menghitung dan memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Sedangkan seorang matematikawan Peirce (American Journal of Mathematics, 1881: 97) menyebutkan matematika sebagai ilmu yang menggambarkan simpulan-simpulan yang penting.

Menurut Cornelius (Abdurrahman, 1999: 253) ada 5 alasan perlunya belajar matematika merupakan:

a. Sarana berfikir yang jelas dan logis.

b. Sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.

(5)

15

e. Sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya. Lebih lanjut, Suherman (2003: 58) mengemukakan tujuan pembelajaran matematika adalah memberikan penekanan pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa. Selain itu, pembelajaran matematika juga dapat melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik suatu kesimpulan secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efesien serta memberikan penekanan pada keterampilan dalam penerapan matematika didalam kehidupan sehari-hari maupun dalam mempelajari ilmu pengetahuan lainnya. Pembelajaran matematika pada dasarnya adalah memberikan kemampuan belajar mandiri sehingga mampu meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya.

Pada pembelajaran matematika prinsip belajar menurut Sardiman (2010: 95) adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Berbuat salah satunya menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya. Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesian secara informal dalam pembelajaran matematika di kelas. Walaupun penemuan tersebut sederhana dan bukan hal yang baru bagi orang yang telah mengetahuinya.

(6)

16

yang dapat merubah pandangan siswa terhadap pelajaran matematika yang dianggap sulit dengan cara memilih suatu model pembelajaran yang dapat membuat siswa merasa senang belajar matematika dan membuat siswa aktif dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan eksak dan ilmu tentang logika mengenai bentuk, besaran, susunan dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dan suatu cara untuk menemukan jawaban dengan menggunakan pengetahuan menghitung. Pembelajaran matematika adalah proses interaksi antara siswa dan guru, antara siswa dan siswa, juga antara siswa dan bahan ajar yang melibatkan pola pikir dan memberikan peluang kepada siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika. Dengan demikian pembelajaran matematika yang bermutu adalah jika proses belajar yang dialami siswa dan proses mengajar yang dialami oleh guru berjalan efektif. Dari pengertian tersebut pembelajaran matematika meliputi guru, siswa, proses pembelajaran, dan materi matematika di sekolah.

B. Model Pembelajaran Make A Match

(7)

17

(bisa jawaban atau soal) lalu secepatnya mencari pasangan yang sesuai dengan kartu yang ia pegang.

Teori yang melandasi model pembelajaran Make A Match adalah Teori Vygotski dan Teori Behaviorisme.

1. Teori Vygotski

Slavin (2000: 46) menegaskan bahwa vygotski sangat menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia. Vygotski (Ormrod, 1995: 178) menyatakan bahwa, children’s cognitive depelopment is promoted and enchanced through their interaction with more advanced and capable

individuals. Maknanya adalah bahwa siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.

Bruner (Arends, 1997: 165), mengatakan bahwa panduan yang diberikan oleh orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu disebut scaffolding. Mengutip dari Ormrod (1995: 368),

Scaffolding support mechanism, provided by a more competent individual, that helps a leraner successfully perform a task within his or her ZPD (zone of proximal development).

(8)

18

harus dilakukan siswa, pemberian model prosedur penyelesaian tugas, menunjukkan kepada siswa apa saja yang telah dilakukannya dengan baik, dan pemberitahuan kekeliruan yang dilakukan siswa dalam langkah pengerjaan tugas. Maka dapat dikatakan bahwa scaffolding merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran kooperatif.

2. Teori Behaviorisme

Menurut teori behaviorisme belajar adalah perubahan tingkah laku, seseorang dianggap belajar sesuatu bila ada menunjukkan perubahan tingkah laku. Belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.

Teori behaviorisme menyatakan bahwa dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan oleh guru sedangkan respon berupa reaksi siswa terhadap apa yang diberikan guru. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Hartley & Davies (Toeti, 1992: 23) menyatakan bahwa prinsip-prinsip teori behaviorisme yang banyak dipakai di dunia pendidikan adalah:

a. Proses belajar dapat berhasil dengan baik apabila si pelajar ikut berpartisipasi secara aktif didalamnya.

(9)

19

c. Tiap-tiap respon perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga si pelajar dapat mengetahui apakah respon yang diberikan telah benar atau belum.

d. Setiap kali si pelajar memberikan respon yang benar maka ia perlu diberikan penguatan. Penguatan positif ternyata memberikan pengaruh yang lebih baik dari pada penguatan negatif.

Model belajar mengajar mencari pasangan (Make A Match) ini pada tahun 1994 dikembangkan oleh seorang pakar pendidikan yaitu Lorna Curran. Menurut Rusman (2011: 223), salah satu keunggulannya adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.

Aturan main pada model pembelajaran Make A Match yaitu siswa diminta untuk mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban atau soal sebelum batas waktunya, dan siswa yang dapat menemukan terlebih dahulu pasangannya atau dapat mencocokkan kartunya akan diberi poin. Menurut Suyatno (Komalasari, 2010: 85-86), langkah-langkah model pembelajaran Make A Match yaitu:

1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.

2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu.

3) Tiap siswa memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang.

(10)

20

5) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.

6) Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.

7) Kesimpulan. 8) Penutup.

C. Model Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang biasa digunakan guru dalam mengajar dan paling banyak digunakan guru dalam proses pembelajaran. Hadi (2005: 11-12) mengemukakan beberapa hal yang menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan materi pelajaran, siswa mendengarkan dan mencatat materi yang disampaikan guru.

Menurut Sanjaya (2006: 259) pada pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif. Model pembelajaran konvensional menuntut guru yang lebih aktif dari pada siswa sehingga proses pembelajaran hanya berjalan satu arah. Seperti yang dikemukakan Djafar, Zahara (2001: 86) bahwa pembelajaran konvensional dilakukan dengan satu arah.

Lebih lanjut, model pembelajaran konvensional sering disebut sebagai model pembelajaran tradisional. Armstrong (2009: 56) menjelaskan bahwa “In the traditional classroom, the teacher lectures while standing at the front of the

(11)

21

reading or handouts, and waits while students finish their written work”.

Maknanya bahwa dalam ruang kelas dengan pembelajaran tradisional, guru berdiri di depan kelas sambil menulis di papan tulis, mengajukan pertanyaan tentang bacaan yang ditugaskan atau yang ada dalam handout, dan menunggu siswa menyelesaikan apa yang mereka tulis.

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka model pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang utamanya adalah menghafal, pembelajaran berpusat kepada guru dan menjadikan siswa sebagai objek penerima materi yang pasif, dan yang dilihat adalah benar atau tidaknya jawaban dari soal yang diberikan guru. Sehingga, dalam pembelajaran konvensional dapat dikatakan bahwa guru adalah tokoh utama dalam pembelajaran.

D. Kemampuan Komunikasi Matematis

Komunikasi melalui interaksi sosial memiliki peranan penting dalam membina pengetahuan matematika siswa. Oleh karena itu, guru hendaknya mewujudkan komunikasi yang berbentuk interaksi sosial di kalangan siswa dengan siswa, siswa dengan guru dalam proses pembelajaran matematika.

Menurut Sardiman (2016: 7-8) mengartikan bahwa istilah komunikasi yang berasal dari perkataan „communicare‟ berarti „berpartisipasi‟, „memberitahukan‟,

„menjadi milik bersama‟. Secara konseptual arti komunikasi itu adalah

(12)

22

merupakan kepentingan bersama. Sardiman (2016: 7) berpendapat bahwa komunikasi erat kaitannya dengan interaksi yaitu:

...interaksi berkaitan dengan istilah komunikasi atau hubungan. Dalam proses komunikasi, dikenal dengan adanya unsur komunikan dan komunikator. Hubungan komunikator dengan komunikasi biasanya karena menginteraksikan sesuatu, dikenal dengan pesan. Kemudian untuk menyampaikannya perlu adanya media atau saluran. Jadi unsur-unsur yang terlibat dalam komunikasi adalah komunikator, komunikan, pesan dan media.

Interaksi antara siswa dengan guru dan teman sebayanya dapat diibaratkan “denyut nadi” dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, interaksi

sosial di antara siswa dengan guru, siswa dengan bahan ajar, siswa dengan siswa, secara individu atau kelompok merupakan salah satu proses komunikasi yang harus diwujudkan dalam proses pembelajaran matematika.

Berdasarkan pengertian-pengertian komunikasi sebelumnya, ada beberapa faktor dalam komunikasi antara lain pemberi informasi, penerima informasi, dan pesan atau informasi itu sendiri. Komunikasi merupakan suatu sarana untuk mengungkapkan gagasan, pendapat, atau penemuannya pada orang lain saat berinteraksi. Maka, komunikasi adalah proses penyampaian sebuah informasi antara dua orang atau lebih, baik penyampaian secara lisan dan tulisan.

Baroody (Ansari, 2012: 13) mengungkapkan bahwa komunikasi adalah kemampuan siswa yang dapat diukur melalui aspek-aspek:

1. Representasi (Representing)

(13)

23 2. Mendengar (Listening)

Mendengarkan merupakan hal penting ketika diskusi. Begitu juga dalam kemampuan komunikasi, mendengar merupakan hal penting untuk dapat terjadi komunikasi yang baik.

3. Membaca (Reading)

Membaca adalah aktivitas membaca aktif untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang telah disusun. Membaca aktif artinya membaca yang difokuskan pada paragraf yang dianggap mempunyai jawaban yang tepat dengan pertanyaannya.

4. Diskusi (Discussing)

Mendiskusikan suatu gagasan atau ide merupakan hal yang baik bagi siswa untuk menjauhi perselisihan. Diskusi juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

5. Menulis (Writing)

Menulis merupakan aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan. Menulis merupakan proses tahapan berpikir keras dan kemudian dituangkan kedalam kertas. Dalam komunikasi, menulis sangat diperlukan untuk merangkum pelajaran yang telah terlaksana dan dituangkan dalam bahasa sendiri agar lebih mudah dipahami.

(14)

24

matematika karena secara mental simbol terhubung dengan ide. Melalui komunikasi pula, ide siswa dapat diketahui oleh guru maupun siswa yang lainnya.

Selain itu, Cheach (Sukoco, 2013: 15) mengungkapkan bahwa pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika yaitu:

Communication is an essential part of the mathematical classroom. Students may use verbal language to communicate their thoughts, extend thinking, and understand mathematical concepts. They may also use written language to explain, reason, and process their thinking of mathematical ideas.

Artinya bahwa siswa dapat menggunakan bahasa secara lisan untuk mengkomunikasikan idenya, memperluas pemikiran, dan memahami konsep-konsep matematika. Selain itu, siswa juga dapat menggunakan bahasa secara tertulis untuk menjelaskan, memberi alasan, dan menunjukkan proses berpikir mengenai ide-idenya secara matematis.

Kilpatrick, Swafford, & Findell (2001: 130) mengatakan bahwa siswa harus mampu membenarkan dan menjelaskan ide-ide untuk membuat penalarannya jelas, mengasah kemampuan bernalar, dan meningkatkan pemahaman konsepnya. Jika diperhatikan, kata “membenarkan dan menjelaskan” lebih mengarah kepada kemampuan komunikasi matematis siswa. Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu bagian dari percakapan yang harus dimiliki siswa dalam mempelajari matematika.

(15)

25

keyakinan siswa terhadap kemampuannya sendiri dan secara perlahan siswa akan menunjukkan keaktifannya saat pembelajaran. Mengutip pendapat Lee (2006: 69), Teachers can accomplish this in several ways: by changing the ways in which pupils interact with the work and each other: by giving them more challenging problems to solve: and by asking them to express their mathematical ideas in writting...

Pendapat diatas mengatakan bahwa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis yang dapat dilakukan oleh guru adalah mengubah cara siswa berinteraksi dengan pekerjaannya dan siswa yang lain, memberikan siswa lebih banyak masalah yang menantang untuk dipecahkan, dan meminta siswa untuk mengekspresikan ide-idenya secara tertulis.

Proses pembelajaran matematika harus melibatkan komunikasi matematis tertulis agar siswa dapat mengasah kemampuannya dalam menyelesaikan masalah matematika. Melihat begitu pentingnya komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika, tidak hanya memahami konsep dan bernalar, tetapi kemampuan komunikasi perlu menjadi perhatian karena dengan kemampuan komunikasi matematis siswa dapat membantu siswa dalam memecahkan permasalahan matematika yang dihadapinya. Pada penelitian ini difokuskan pada kemampuan komunikasi matematis tertulis.

Adapun indikator kemampuan komunikasi matematis menurut NCTM (2000: 60) adalah sebagai berikut:

a. Mampu mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan pemikiran matematis melalui komunikasi.

(16)

26

c. Mampu menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis dan strategi-strategi siswa lain.

d. Mampu menggunakan bahasa matematis untuk mengekspresikan ide-ide matematis secara tepat.

Vermont Departement of Education (Sukoco, 2013: 21) menjabarkan dua indikator penting dari komunikasi matematis. Pertama, menggunakan bahasa matematika dan representasinya untuk mengkomunikasikan penyelesaian suatu masalah. Kedua, komunikasi yang efektif dapat dilihat dari bagaimana suatu masalah dapat diselesaikan dan penalaran yang digunakan.

Menurut Ontario Ministry of Education (2005: 21), komunikasi matematis mencakup tiga indikator:

1) Mengekspresikan dan mengorganisasikan ide-ide dan berpikir secara matematis (kejelasan ekspresi, organisasi logis), menggunakan bahasa lisan, visual, dan bentuk tulis (misalnya gambar, grafik, hitungan, bentuk aljabar: materi-materi dalam bentuk konkret).

2) Komunikasi untuk audiensi yang berbeda (misalnya siswa lain, guru) dan tujuan (mengumpulkan data, membenarkan penyelesaian, dan mengungkapkan pendapat secara matematis) secara lisan, visual, dan tertulis. 3) Menggunakan konvensi, kosakata, dan istilah dari matematika (misalkan

istilah, simbol) secara lisan, visual, dan tertulis.

(17)

27

Tabel 2.1

Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis

No Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis

1 Kemampuan menyelesaikan masalah matematika dengan tahap-tahap yang terstruktur serta penggunaan istilah dan simbol matematika dalam penyelesaian masalah matematika dengan tepat.

2 Kemampuan mengintepretasikan ide-ide matematis secara tertulis.

3 Kemampuan memberikan penjelasan atau alasan yang logis sesuai dengan solusi, konsep, dan penalaran yang digunakan.

E. Keaktifan Siswa

Keaktifan siswa merupakan unsur yang penting dalam proses pembelajaran. Seperti yang dikemukakan Nasution (2010: 86) bahwa keaktifan belajar merupakan asas yang terpenting dalam proses belajar mengajar. Dimyati & Mudjiono (2010: 45) menjelaskan bahwa dalam proses belajar, siswa selalu menampakkan keaktifan. Keaktifan mulai dari aktivitas fisik yang mudah diamati sampai aktivitas psikis yang sulit untuk diamati.

(18)

28

Student activities are education in nature, based on genuine student interest areas, usually conducted during student time rather than on school time, student led, opportunities for student to learn through feedback and evaluation, centered in the purpose of education and a process in which the final product in sometimes not as educationally important as the pocess of achieving it and the learning outcomes for each participant.

Maknanya adalah bahwa pendidikan adalah aktivitas siswa yang muncul secara alami, hal tersebut dikarenakan kesungguhan dan ketertarikan siswa terjadi selama waktu belajar jika dibandingkan dengan aktivitas lain yang dilakukan disekolah, kemudian timbal balik dari belajar tersebut adalah evaluasi yang dapat mengukur kemampuan siswa dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk terus meningkatkan hasil belajar, walaupun demikian, aktivitas siswa dapat dilihat saat proses pembelajaran berlangsung, sedangkan hasil akhir terkadang tidak dipentingkan.

Berdasarkan pengertian-pengertian sebelumnya, maka keaktifan siswa dalam belajar merupakan segala aktivitas yang bersifat fisik dan psikis dalam proses pembelajaran. Paul B. Diendrich (Sardiman, 2016: 101) mengklasifikasikan aktivitas siswa dalam belajar menjadi beberapa jenis sebagai berikut:

1. Visual activities, seperti membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, melakukan percobaan.

2. Oral activities, seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.

3. Listening activities, seperti mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato.

(19)

29

5. Drawing activities, seperti menggambar grafik, menggambar peta, diagram. 6. Motor activities, seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi, model

mereparasi, bermain, berkebun, beternak.

7. Mental activities, seperti menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, menemukan hubungan-hubungan, mengambil keputusan.

8. Emotional activities, seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, semangat, bergairah, berani, tenang, gugup.

Salah satu penilaian dalam proses pembelajaran adalah dengan melihat sejauh mana siswa aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Sudjana (2013: 61) menyatakan keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal:

a. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya. b. Terlibat dalam pemecahan masalah.

c. Bertanya kepada siswa yang lain atau guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya.

d. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.

e. Melaksanakan diskusi kelompok.

f. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya. g. Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis.

h. Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya.

(20)

30

1) Membaca materi pelajaran sebelum proses belajar mengajar berlangsung. 2) Mengajukan suatu pertanyaan ketika ada materi yang belum dipahami. 3) Mengemukakan pendapat pada saat proses belajar mengajar.

4) Mendengarkan penyajian materi pelajaran. 5) Aktif dalam diskusi.

6) Membuat rangkuman atau catatan materi yang disampaikan oleh guru.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, keaktifan siswa dalam belajar merupakan segala aktivitas yang bersifat fisik ataupun nonfisik dalam proses pembelajaran yang dapat dilihat dari banyak hal. Adapun aspek keaktifan siswa yang akan diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2

Aspek dan Indikator Keaktifan Siswa

Aspek Indikator

Visual activities 1. 2.

Memperhatikan penjelasan guru Mengamati kegiatan presentasi

Oral activities 3.

4. 5.

6.

Bertanya kepada guru maupun teman mengenai materi lingkaran yang belum dipahami

Menjawab pertanyaan yang diberikan guru. Mengemukakan pendapat saat proses pembelajaran.

Diskusi kelompok. Listening activities 7.

Mendengarkan sajian presentasi dari kelompok lain.

(21)

31 F. Kajian Peneitian yang Relevan

Adapun beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan Make A Match adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian Riyana Hari Rahayu (2014) yang berjudul “Peningkatan Keaktifan dan Kemampuan Komunikasi Belajar Matematika Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match”. Dilihat dari indikator keaktifan siswa: (1) siswa mampu mengerjakan tugas dari kondisi awal 19,23% meningkat menjadi 84,61%; (2) siswa mampu menyelesaikan soal latihan dari kondisi awal 26,92% meningkat menjadi 73,07%; (3) siswa mampu bekerjasama dalam kelompok menunjukkan peningkatan dari kondisi awal 11,53% meningkat menjadi 76,92%. Dilihat dari indikator kemampuan komunikasi belajar: (1) siswa mampu menjawab pertanyaan dari kondisi awal 19,23% meningkat menjadi 88,46%; (2) siswa mampu mengajukan pertanyaan dari kondisi awal 38,46% meningkat menjadi 80,76%; (3) siswa mampu mengemukakan ide matematika secara tertulis menunjukkan peningkatan dari kondisi awal 26,92% meningkat menjadi 73,07%. Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Make A Match dapat meningkatkan keaktifan dan kemampuan komunikasi belajar matematika pada siswa kelas VIIIG SMP Negeri 3 Ngadirojo tahun ajaran 2014/2015.

(22)

32

peroleh (3,456 > 1,67) sehingga ditolak. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Make A Match terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa dengan menggunakan Geoboard pada materi bangun datar lebih baik dari pada model pembelajaran konvensional.

3. Hasil penelitian Ari Mulyani (2013) yang berjudul “Peningkatan Keaktifan dan Prestasi Belajar Siswa menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match”. Hasil penelitian ini adalah bahwa menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan keaktifan siswa dan prestasi belajar siswa. Sebelum dilakukan penelitian keaktifan siswa hanya mencapai 39% (kategori kurang). Pada siklus I keaktifan siswa mencapai 50% (kategori cukup) dan pada siklus II keaktifan meningkat mencapai 60% (kategori aktif). Sedangkan untuk prestasi belajar siswa sebelum menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match hanya mencapai 47,39% (kategori kurang). Pada siklus I mencapai 67,22% (kategori cukup) dan pada siklus II meningkat 79,44% (kategori tinggi).

G. Kerangka Berfikir

(23)

33

pembelajaran matematika. Pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas jika seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar siswa terlibat aktif baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran.

Dalam pembelajaran matematika, semua siswa yang telibat aktif dalam pembelajaran dapat menumbuh kembangkan potensi yang dimilikinya dan juga dapat mengasah kemampuan komunikasi dalam pembelajaran matematika. Namun, pada kenyataannya berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa sebagian besar siswa tidak telibat aktif selama proses pembelajaran matematika berlangsung. Siswa takut bertanya pada guru jika ada materi yang tidak dipahami, dan siswa juga tidak aktif menjawab pertanyaan guru sehingga guru harus menunjuk salah satu siswa untuk menjawab.

Dalam pembelajaran matematika guru harus mampu menciptakan suasana yang nyaman dalam belajar, yang melibatkan seluruh aktivitas siswa dalam belajar tanpa ada perbedaan status. Guru hendaknya dapat memilih salah satu model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan serta melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Keterlibatan siswa dalam belajar dapat mengasah kemampuan komunikasi matematis sehingga siswa dapat menyelesaikan masalah matematika dengan baik.

(24)

34

matematis siswa akan terasah, terutama kemampuan komunikasi matematis tertulis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diterapkan model pembelajaran Make A Match yang diasumsikan dapat memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan komunikasi matematis dan keaktifan siswa. Dengan demikian kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1

Kerangka Berfikir Penelitian Model pembelajaran Make A Match lebih baik/unggul terhadap kemampuan

komunikasi matematis dan keaktifan siswa.

Model pembelajaran

Make A Match

Model pembelajaran konvensional Pretest

Kemampuan komunikasi dan keaktifan siswa belum maksimal

Pretest

(25)

35 H. Hipotesis

Hipotesis utama dalam penelitian ini adalah “Model pembelajaran Make A

Match berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis dan keaktifan siswa.”

Lebih rinci, hipotesis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Model pembelajaran Make A Match efektif baik terhadap kemampuan komunikasi matematis maupun keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika.

Gambar

Tabel 2.2
 Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sistem JPKM ini merupakan sistem asuransi bagi keluarga mampu sehingga kedepan diharapkan akan mengurangi beban Pemerintah daerah Kabupaten Polewali Mandar di bidang kesehatan

Dimana penjualan sebelumnya masih banyak mengalami kendala hal ini disebabkan karena masih menggunakan prosedur secara manual, sehingga penulis mencoba membuat aplikasi untuk

Sehubungan dengan telah berakhirnya masa sanggah terhadap Pengumuman Hasil Kualifikasi Nomor : 602.1/07/EDP-NBM-SS/POKJA BAPELUH/STG/IX/2014, tanggal 12 September 2014 untuk

physical parameter as well as its reflectance data [7], [8]. Hence, the existing algorithm that was designed in different water area was directly implemented without

(3) Dalam hal pembangunan rumah susun dilakukan di atas tanah hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c,

Bagi Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, apabila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau

Sarana prasarana berfungsi menyediakan pelayanan untuk mendukung aktifitas wilayah dengan substansi yang berbeda contohnya jaringan jalan, air bersih, listrik, sarana